Radikalisme dalam Agama Islam
Abstrak:
Terorisme adalah
salah satu tindakan yang radikal dengan mengatasnamakan agama. Teroris yang
tergabung dalam suatu komunitas agama seperti yang dilakukan oleh tokoh utama
yang bernama Kemala dan teman-temannya dalam novel karya Damien Dematra yang
berjudul “ Demi Allah Aku Jadi Teroris”
tersebut telah terjerumus dalam memahami ajaran agama yang salah meski
mengatasnamakan ajaran Agama Islam. Banyak jiwa yang menjadi korban akibat
kesesatan ajaran tersebut . Oleh karena itu, melalui kisah yang disuguhkan
dalam novel tersebut kita ditarik untuk melihat lebih jauh mengapa seseorang
dapat menjadi seorang teroris yang menggambarkan radikalisme dengan mengatasnamakan
Agama Islam.
Pendahuluan
Manusia
memiliki kemampuan yang terbatas,
kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya sehingga menyadari bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya, yakni
Tuhan. Manusia yang
pecaya kepada Tuhan akan mencari jalan
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan
cara menghambakan diri dan memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya
tanpa ada unsur paksaan dari siapapun. Agama adalah sistem atau prinsip
kepercayaan kepada Tuhan atau Dewa
dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan tersebut[1]. Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti tradisi, tidak
kacau, sedangkan kata lain untuk
menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa
Latin religio yang berarti mengikat kembali. Artinya, seseorang dapat mengikat dirinya kepada Tuhan dengan berreligi. Dalam novel karya Damien Dematra yang berjudul “
Demi Allah Aku Jadi Teroris” memperlihatkan bagaimana seorang muslim yang rela
berkorban demi Allah sebagai wujud implementasi kepercayaannya.
Setiap agama mengajarkan tentang
kebaikan, kasih, toleransi antar sesama dan relasi yang baik dengan Tuhan
sehingga tercipta hubungan yang damai. Agama seharusnya dapat mempersatukan
masyarakat, apalagi setiap agama mengajarkan keadilan, kejujuran dan perdamaian.
Namun pada kenyataanya, sekarang ini agama kerap justru menjadi unsur pemecah
bangsa. Ada kecendrungan setiap pemeluk agama beranggapan hanya agamanya
sendiri yang paling benar dan kemudian mulai ekspansi dan penetrasi[2].
Agama Islam adalah salah satu agama
yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Agama ini termasuk agama samawi
(agama-agama yang dipercaya oleh para pengikutnya diturunkan dari langit). Islam dianggap sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah agama
Kristen
karena memiliki pengikut lebih dari satu seperempat miliyar orang. Islam memiliki arti "penyerahan", atau
penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan dengan
memberi makna lebih terhadap hubungannya dengan Tuhan. Namun beberapa dari pemeluk
agama ini sering terjebak dalam konsep pemikiran tersebut karena salah
menafsirkannya, sehingga mereka menjadi menutup diri terhadap agama lain karena
menganggap bahwa agama merekalah yang paling benar dibanding dengan agama lain
di luar agamanya bahkan menimbulkan suatu tindak radikalisme agama yang dapat
merugikan berbagai pihak.
Radikalisme adalah paham atau
aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan
cara kekerasan atau drastis[3].
Radikalisme sering dihubungkan dengan suatu komunitas kelompok agama yang
bertindak tegas dalam membela agama mereka, namun radikalisme yang terjadi
cenderung menjadi suatu tindak kekerasan yang tidak terkontrol. Radikalisme
agama terjadi di berbagai belahan dunia, di Indonesia sendiri radikalisme
tersebut kian marak sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tanggal 21 Mei
1998. Radikalisme agama yang terjadi tidak terlepas dari masalah teror dan
teroris. Dalam paper ini akan dibahas tentang radikalisme Agama Islam, apa yang
menjadi pendorong tindakan radikalisme, siapa pelaku radikalisme tersebut, dan
apa saja yang menjadi tindakan radikalisme. Tujuan penulisan paper ini adalah
untuk dapat memahami radikalisme yang terjadi dalam Agama Islam dengan
membandingkan novel karya Damien Dematra tersebut dengan fakta dan realitas
yang ada dalam kehidupan nyata.
Sinopsis
Kisah
ini menceritakan tentang seorang gadis bernama Kemala. Dia dilahirkan oleh
seorang wanita yang bernama Madewi Kurnia yang memiliki hubungan gelap dengan
seorang pria kaya yang bernama Wisnu Ariwahyu. Akan tetapi hubungan mereka
tidak dapat berjalan dengan mulus karena status Wisnu yang telah mempunyai
istri dan anak-anak. Madewi sangat mencintai Kemala sehingga ia membesarkan dan
mendidik Kemala dengan penuh kasih sayang, namun sangat disayangkan karena
Kemala tidak dapat menikmati kasih sayang dari Madewi untuk seterusnya karena Madewi menderita penyakit kanker otak.
Madewi meninggal dunia pada saat Kemala berumur 7 tahun. Sebelum meninggal,
Madewi sempat menitipkan Kemala kepada sahabatnya yang bernama Mirasati. Mirasati
pun menyayangi Kemala dengan sepenuh hati, demikian pula sebaliknya dengan
Madewi yang juga menganggap Mirasati seperti ibu kandungnya sendiri.
Kemala
tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, pintar, pandai menari, dan disukai oleh
banyak orang. Banyak lelaki yang menyukainya dan ingin menaklukkan hatinya,
namun hati Kemala sangat dingin dan tertutup sehingga tidak mudah untuk
menaklukkan hatinya. Hanya ada satu
orang laki-laki yang sanggup menjadi tambatan hati Kemala yang bernama Prakasa
Adipurna. Prakasa Adipurna adalah anak dari Setiawan Adipurna, seorang
pengacara kaya dan terkenal. Akan tetapi hal itu tidak menjamin kehidupan
Prakasa dapat berjalan dengan baik dan mulus. Prakasa kabur dari rumah ketika
ia melihat ayahnya secara tidak sengaja membunuh ibunya sendiri. Setelah kabur
dari rumah, Prakasa menjalani kehidupannya yang tidak menentu di jalanan hingga
akhirnya ia tergabung dengan kelompok antiteroris.
Sebelumnya
Kemala ingin sekali belajar mengaji, lalu ia pun mencari tahu segala hal
tentang pengajian, termasuk melalui sahabatnya yang bernama Rafa. Namun
sayangnya mereka terjerumus dalam ajaran agama Islam sesat di sebuah pesantren
yang membuat mereka menjadi teroris. Beruntungnya, Kemala dapat diselamatkan
dan disadarkan oleh Prakasa. Kemala akhirnya memulai hidup baru bersama Prakasa
dan meniggalkan dunianya yang radikal tersebut. Kemala tidak lagi menjadi
seorang teroris dan mengajarkan tentang kebaikan Agama Islam kepada anaknya dan
mereka hidup bahagia.
Analisis Masalah
Radikalisme
adalah gerakan yang berpandangan kolot
dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan
keyakinan mereka[4].
Sementara Islam merupakan agama perdamaian
yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian. Islam tidak pernah
membenarkan praktek penggunaan kekerasan
dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik. Namun pemahaman agama yang salah dan bagaimana agama
tersebut diintrepretasikan merupakan salah satu alasan yang mendasari
kekerasaan dalam Agama Islam. Karena itu, terdapat kelompok-kelompok Islam
tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan
paham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering
disebut kaum radikalisme Islam, yaitu gerakan yang menggunakan kekerasan untuk
mencapai target politik yang ditopang oleh sentimen atau emosi keagamaan. Terorisme
berasal dari bahasa Latin Terrere
yang berarti menimbulkan rasa gemetar dan cemas.[5]
Terorisme jarang sekali tampil dalam bentuk aksi yang sendiri-sendiri.
Sebagaimana terlihat dalam berbagai kasus dan peristiwa yang terjadi, maka
dapat dikatakan bahwa terorisme selalu melibatkan komunitas dan jaringan
organisasi yang cukup besar untuk melakukan sebuah keberhasilan aksinya.
Demikian
juga halnya dengan kelompok terorisme yang diceritakan dalam novel karya Demian
Dematra yang berjudul “Demi Allah Aku Jadi Teroris” tersebut. Mereka yang
tergabung dalam suatu kelompok agama yang tergolong radikal tersebut
menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Mereka juga mengatasnamakan
agama sebagai dasar tindakan mereka yang radikal tersebut.
Radikalisme
dalam Agama Islam yang terjadi di Indonesia didukung oleh partai-partai Islam
seperti PBB (Partai Bulan Bintang), PUI (Partai Umat Islam), Masyumi, dan
sejumlah gerakan Islam seperti FPI (Front Pembela Islam), Laskar Jihad, Jama’ah
Islamiyah dan KISDI (Komite Indonesia untuk Soloidaritas Dunia Islam) yang
menjadikan beberapa kelompok Islam menjadi semakin radikal. Radikalisme yang
terjadi merupakan praktek-praktek kekerasan yang dilakukan oleh individu atau kelompok
Islam dengan membawa simbol-simbol agama. Gejala praktek kekerasan yang
dilakukan oleh sekelompok umat Islam tersebut lebih tepat disebut sebagai
gejala sosial-politik ketimbang gejala keagamaan meskipun dengan mengibarkan
panji-panji keagamaan.
Fenomena
radikalisme yang dilakukan oleh sebagian kalangan umat Islam dengan selalu
mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad, mati sahid
ataupun menjadi teroris adalah suatu tindakan yang merugikan banyak pihak. Kegiatan
radikal seperti teroris yang mati sahid dengan aksi bom bunuh diri sering kali
dianggap sebagai suatu pembelaan terhadap Tuhan yang seharusnya tidak perlu
dilakukan karena Tuhan tidak perlu dibela apalagi dengan cara yang salah
seperti itu. Istilah terorisme muncul pada saat Revolusi Prancis tahun 1789
yang dilakukan untuk menggulingkan penguasa yang lalim. Mereka meneror para
penguasa dengan kata-kata makian sehingga membuat penguasa tersebut
mengundurkan diri dari jabatannya. Tindakan teroris yang meneror memang sah-sah
saja mengatasnamakan perjuangannya untuk kepentingan agama, rakyat dan
kedamaian, namun pada kenyataanya cara-cara yang mereka tempuh telah merugikan
banyak pihak. Tidak sedikit yang menjadi korban adalah orang-orang yang tidak
bersalah. Sekarang ini terorisme tidak hanya bertindak meneror tapi juga
melakukan pembunuhan dengan menggunakan bom bunuh diri. Aksi seperti ini
ditujikan kepada sasaran yang tidak langsung dengan merugikan dirinya sendiri
dan banyak orang lainnya. Pada novel tersebut juga mengangkat isu bom bunuh
diri sebagai isu utama dari cerita. Penulis mengedepankan kasus bom bunuh diri
yang diperankan oleh seorang tokoh wanita, Kemala yang menjadi teroris demi
agamanya. Bom bunuh diri yang hendak digencarkannya di sebuah kafe di Jakarta itu
tidak hanya akan merugikan dirinya sendiri, tetapi dapat juga merugikan nyawa
banyak orang yang menjadi pengunjung kafe tersebut yang ramai dikunjungi oleh
orang asing. Dalam novel tersebut diceritakan bahwa orang asing kurang
disenangi oleh sebagian kelompok Agama Islam yang akhirnya berniat memusnahkan
mereka dengan menggunakan bom bunuh diri.
Aksi
terorisme di Indonesia seperti itu memiliki frekuensi yang meningkat pesat
pasca keruntuhan pemerintahan Orde Baru. Hal tersebut dapat dilihat dengan
adanya aksi pengeboman gereja dan tempat ibadah di sejumlah kota, seperti
Jakarta, Medan dan Makassar pada tahun 2002, bom Bali pada tahun 2002 dan 2005,
hotel J.W Mariot Jakarta pada tahun 2003 dan 2009 dan Kuningan pada tahun 2003.
Terorisme tersebut selalu terkait dengan upaya untuk mencapai tujuan meski
menghalalkan berbagai cara. Mereka berusaha menyingkirkan orang-orang yang
mereka anggap kafir dengan pedoman Al-Qur’an yang mereka simpulkan dan
tafsirkan dengan cara yang salah, sehingga mereka memposisikan Agama Islam
sebagai agama perang yang harus menumpas eksistensi umat agama lain sesuai
dengan ajaran agama mereka tersebut.
Gerakan-gerakan
radikalisme yang dilakukan oleh sebagian kelompok umat Islam sesungguhnya didasari
oleh emosi keagamaan yang berpedoman pada interpretasi ajaran agama. Dalam hal
ini, jika gerakan radikalisme berbasis pada interpretasi ajaran agama maka
jalan yang
perlu ditempuh
untuk meminimalisir gerakan radikalisme agama (khususnya Islam) harus mulai
dengan rekontruksi terhadap pemahaman agama, dari yang bersifar
simbolik-normatif menuju
pemahaman yang etik,
substansial dan universal[6].
Namun hal ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan karena memerlukan upaya yang
menyeluruh dan kompleks. Mengubah pola pikir dan sikap mental adalah perbuatan
yang amat sulit dilakukan terlebih-lebih jika pola pikir sebelumnya sudah
ditopang dengan akidah (keyakinan) keagamaan dan ajaran yang kuat dan mengakar.
Terorisme agama dapat muncul dari
orang-orang atau kelompok-kelompok yang mendalami agama, salah satunya adalah
pesantren yang memberi suatu pengajaran agama yang salah. Kebanyakan teroris
menerima ajaran dan pemahaman tentang Agama Islam sebelum mereka melakukan aksi
terorisme. Ajaran keagaaman yang diterima oleh para teroris kebanyakan dari pesantren
yang mendakwahkan radikalisme dengan pandangan-pandangan tertentu. Beberapa teroris
seperti Amrozi, Muklas, Ali Imron dan Imam Samudra menjadi teroris setelah
mendapat pelajaran dan pelatihan dari pesantren yang merupakan asrama tempat
santri atau tempat murid-murid belajar mengaji[7].
Terorisme agama biasanya muncul akibat adanya pemahaman keagamaan yang bercorak
spiritual, yakni berdasarkan teks semata tanpa mengaitkannya dengan konteks
yang mengitarinya. Pemahaman seperti ini melahirkan sikap fanatik dan militant
yang berujung pada pandangan yang menganggap bahwa hanya dirinya sajalah yang
benar. Sikap seperti itu akan mendatangkan lahirnya terorisme bila didukung
oleh lingkungan sosial politik yang dianggap tidak benar dan menekan, sehingga
mengakibatkan seseorang atau sekelompok orang tersebut mengarah kepada aksi
terorisme. Kelompok seperti ini memiliki ciri khas seperti menafsirkan hukum
Islam secara kaku, bersikap anti-Barat dan Agama Semit, dan kritis terhadap
etnik China dan umat Kristen yang secara ekonomi dan politik lebih mapan
ketimbang kelompok-kelompok Islam militan[8].
Melalui novel yang mengedepankan masalah terorisme tersebut, jelas terlihat
bahwa terorisme itu dapat terbentuk karena adanya pandangan dan persepsi yang
salah terhadap pemahaman seseorang atau kelompok tentang Agama Islam. Novel
tersebut memperlihatkan bagaimana suatu agama yang benar diajarkan dengan cara
yang salah sehingga berdampak fatal dalam penerapannya. Kisah yang digambarkan
oleh penulis dapat mengajak kita untuk membuka pikiran kita agar terlebih
dahulu dapat memahami suatu ajaran sebelum kita akhirnya tergabung didalamnya.
Selain itu, implementasi konsep jihad yang dipegang oleh para teroris dipahami
sebagai perang suci yang wajib dilakukan oleh setiap muslim ada kaitanya dengan
novel tersebut. Kelompok teroris merujuk tindakan mereka tersebut pada
ayat-ayat Al-Qur’an yang membenarkan tindakan jihad sebagai dasar untuk
membunuh orang yang dianggap menyimpang dari ajaran agama. Dalam Al-Qur’an
terdapat 28 ayat-ayat jihad yakni dalam surat al-Baqarah 28, Ali Imron 142,
an-Nisa 95, al-Maidah 35, al-Anfal 72,75-5, at-Taubah 16, 19-20, 24, 41, 44,
73, 81, 86, 88, an-Nahl 110, al-Hajj 78, al-Furqon 52, al-Ankbut 6, 69,
Muhammad 31, al-Hujurat 15, al-Mumtahanah 1, ash-Shaff 11, dan at-Tahrim 9.
Dalam novel tersebut terdapat beberapa tokoh yang menjadi teroris dengan
didasari pemikiran atas konsep tafsiran Al-Qur’an yang mengajak para umat
muslim untuk berjihad. Namun pemahaman yang salah tersebutlah yang menjadikan
ayat Al-Qur’an seolah menganjurkan umat Islam untuk menjadi teroris demi
membela Agama Islam.
Penutup
Terorisme adalah salah satu contoh tindakan radikal
yang terjadi dengan mengatasnamakan ajaran Agama Islam. Teroris meneror banyak
pihak yang menurut mereka kafir karena tidak sesuai dengan ajaran mereka.
Teroris beraksi dengan menggunakan kekerasan demi mencapai maksud dan tujuan
mereka tanpa memperdulikan kepentingan orang banyak lainnya yang menjadi korban
mereka. Oleh karena itu, sebagian orang menjadi takut bahkan kecewa terhadap
pemeluk Agama Islam yang dianggap menjadi penghancur agama yang ada di
Indonesia karena tindakan mereka tersebut dapat menyebabkan perpecahan agama
yang dulunya sangat solid. Pemahaman seperti inilah yang seharusnya kita ubah agar
terhindar dari kesalahpahaman terhadap agama lain dan kesesatan dalam agama
sendiri sehingga rasa percaya, tenggang rasa, dan solidaritas antar agama dapat
terjalin kembali. Agar teroris yang ada pun akan menjadi semakin berkurang dan
mengurangi aksi-aksi radikalisme Agama Islam yang terjadi khususnya di
Indonesia. Dengan berkurangnya aksi terorisme seperti itu maka kita akan dapat
hidup tenang dan damai antar umat beragama di Indonesia.
Daftar
Pustaka
Asfar,
Muhammad. Islam Lunak Islam Radikal .
Surabaya: JP Press, 2003.
Juergensmeyer,
Mark. Terorisme Para Pembela Agama. Yogyakarta:
Tarawang Press, 2003.
Nasution, Harun. Islam Rasional,
Bandung: Mizan Media Utama, 1995.
Santoso, Thomas. Kekerasan Agama Tanpa Agama. Jakarta: PT. Utan Kayu, 2002.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Zada,
Khamami. Islam Radikal. Bandung:
Mizan Media Utama, 2002.
[1]
http://islamlib.com/id/artikel/islam-dan-terorisme/, diakses oleh Shandy Yoan Barus pada
hari Senin, 15 Februari 2010 pukul 14.40 WIB.
[2]
Thomas Santoso, Kekerasan Agama Tanpa Agama, Jakarta:
PT. Utan Kayu, 2002, hal. 6.
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
[5]
Mark Juergensmeyer, Terorisme Para
Pembela Agama, (Yogyakarta: Tarawang Press, 2003), hal 6.
[6]
www.log.gov/rr/fdr.Sociology-psychology2002Terrorism.htm:
25, diakses oleh Shandy Yoan Barus pada tanggal
15 Februari 2010, pukul 14.50 WIB.
[7]
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1994).
[8]
Khamami Zada, Islam Radikal, (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), hal. 12.
"Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?" (QS Al Baqarah [2]: 28)
BalasHapusAl Baqarah 28 ini merujuk tentang keesaan Allah, keesaan Tuhan. Tidak ada hubungannya dengan aksi terorisme
Jihad dalam islam bukan melalui aksi terorisme,
Jihad dapat berarti:
1. berperang untuk menegakkan Islam dan melindungi orang-orang Islam;
2. memerangi hawa nafsu;
3. mendermakan harta benda untuk kebaikan Islam dan umat Islam;
4. Memberantas yang batil dan menegakkan yang hak.
Bahkan rasul pun mengharamkan bau surga bagi mereka kaum muslimin yang menyakiti kaum lain. Mereka, para terorisme itu bukan orang islam.
"Barangsiapa membunuh seorang kafir ahdi, maka dia tidak akan mencium bau sorga, sedang bau sorga itu tercium sejauh perjalanan 40 tahun." (Riwayat Bukhari dan lain-lain)
Yang dimaksud kafir 'ahdi atau kafir dzimmi (kafir yang berada di bawah naungan pemerintah Islam), darahnya tetap dilindungi, tidak seorang muslim pun diperkenankan memusuhinya.
Semoga menambah sedikit gambaran :)