Shintoisme
Pendahuluan
Siapa yang tidak kenal dengan Negara Jepang? Jepang,
seperti yang kita tahu adalah Negara yang cukup modern dan sangat berkembang,
baik dalam hal teknologi, industri dan lain-lain. Selain itu Jepang juga kaya
akan tradisi keagamaan dan kebudayaan yang beraneka ragam, contohnya di antara
lain adalah Shintoisme, Taoisme, Buddhisme, Kristen dan lain-lain. Tradisi
keagamaan dan kebudayaan tersebut tentu juga mempengaruhi suatu paham dan
ajaran tertentu.
Demikian pula halnya
dengan Shintoisme. Shintoisme merupakan suatu paham keagamaan yang dianut oleh
masyarakat Jepang sampai pada saat ini. Dapat dikatakan juga bahwa Shintoisme
merupakan tradisi keagamaan yang paling kuno dari semua tradisi keagamaan di
Jepang lainnya yang bertumbuh dari sejarah kepercayaan Jepang.[1]
Kemudian yang menjadi pertanyaannya
sekarang adalah sebenarnya apa pengertian dari Shintoisme? Bagaimana latar
belakang sejarah terbentuknya Shintoisme? Apa saja ajaran Shintoisme? Bagaimana
dengan konsep dewa dewi yang diajarkan dalam Shintoisme? Melalui paper ini,
kelompok akan mencoba untuk membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
1. Pengertian
Shinto
Kata Shinto berasal
dari dua suku kata, yaitu “shin” dan “to.” Kata “shin” mempunyai arti roh
sedangkan “to” mempunyai arti jalan. Kata “to” juga identik dengan kata “tao”
pada Taoisme yang mempunyai arti jalan dewa. Tidak itu saja, kata shin juga
mempunyai keidentikan dengan kata “yin” yang mempunyai arti gelap atau negatif.
Melihat keidentikan ini kemungkinan Shintoisme dipengaruhi paham agama dari
Tiongkok Maka, Shinto didefinisikan
sebagai jalannya roh.[2]
Shintoisme sendiri
merupakan paham yang dianut oleh masyarakat Jepang, meskipun di samping itu ada
masyarakat Jepang yang menganut agama lain. Akan tetapi, masyarakat Jepang yang
menganut agama di luar Shintoisme hanya sebagai minoritas saja, sedangkan
Shinto yang paling mendominasi masyarakat Jepang. Paham yang mendominasi
masyarakat Jepang ini sama seperti filsafat religi. Filsafat religi ini
mempunyai sifat national Jepang yang diwariskan nenek moyang mereka dan warisan
tersebut dijadikan pedoman hidup mereka. Singkat kata, Shintoisme harus ditaati
oleh masyarakat Jepang.
Selain itu, Shintoisme
tidak harus ditaati oleh masyarakat Jepang saja. Pemerintah pun diwajibkan
untuk mentaati Shintoisme. Sama halnya dengan masyarakat Jepang yang mewarisi paham/ajaran
ini, pemerintah pun juga mendapatkan posisi yang sama. Bahkan, tugas pemerintah
Jepang lebih besar tanggung jawabnya di bandingkan masyarakat Jepang.
Pemerintah Jepang harus menjadi pelaksana utama dalam Shintoisme.
Tidak seperti negara-negara
lainnya yang dikepalai oleh seorang presiden, pemerintahan Jepang dikepalai
oleh seorang Kaisar. Kaisar inilah yang menjadi badan resmi bagi Shintoisme.
Badan resmi yang mempunyai kewajiban untuk menyampaikan dan menjelaskan
kehendak dewa-dewi kepada masyarakat Jepang. Dari hal ini terlihat bahwa Kaisar
mempunyai peran yang sangat penting, karena Kaisar adalah utusan para dewa.
Melalui keadaan ini, dapat dilihat Jepang merupakan pemerintah yang bersifat
Theokratis dan Shintoisme mempunyai otoritas yang tinggi dalam Negara matahari
ini.[3]
2. Sejarah
Shinto
Shinto tidak sama
seperti agama Buddha dan Kristen yang mempunyai pelopor atau penemunya.[4]
Shinto lahir seiring dengan adanya mitos-mitos yang berhubungan dengan
terjadinya Negara Jepang. Dengan kata lain, Shinto merupakan paham keagamaan
asli yang berasal dari Jepang. Pada awalnya Shinto merupakan perpaduan antara
paham animisme dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Nama Shinto
sendiri itu muncul karena adanya keinginan untuk menyebut kepercayaan asli
Jepang setelah agama Buddha masuk ke Jepang pada abad keenam masehi. Sangat
disayangkan karena pada perkembangannya, Shintoisme telah banyak mengalami
percampuran dengan agama Buddha sehingga hampir kehilangan sifat aslinya.
Banyak aspek-aspek
agama Buddha yang turut mempengaruhi
Shintoisme. Hal itu tercermin dari tata cara upacara agama bahkan bentuk
bangunan tempat suci agama Shinto yang banyak dipengaruhi oleh agama Buddha.
Selain itu patung-patung dewa yang semula tidak ada dalam agama Shinto mulai
diadakan. Kemudian ada anggapan juga bahwa dewa-dewi dalam Shintoisme merupakan
perwujudan dari dewa-dewi agama Buddha. Akan tetapi, untunglah hal itu tidak
berlangsung terus-menerus karena setelah abad ke-17 masehi, beberapa tokoh
seperti Kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain mulai melopori gerakan
untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni dengan tujuan bangsa Jepang
ingin membedakan “Badsudo” (jalannya Buddha) dengan “Kami” (roh-roh yang
dianggap dewa oleh bangsa Jepang) untuk mempertahankan kepercayaannya. Kemudian
pada tahun 1868 Shinto dijadikan sebagai agama negara yang saat itu Shinto
mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya.[5]
3. Peribadatan
Shintoisme
Dalam peribadatan shintoisme diawali dan diakhiri dengan upacara
penyucian. Dalam ajaran agama Shinto, pada dasarnya manusia
adalah baik dan suci. Jika ada hal buruk seperti perilaku negatif dan kejahatan
yang muncul, maka hal itu harus dihilangkan melalui upacara penyucian. Upacara
penyucian tersebut biasa dikenal dengan Harae. Upacara penyucian (Harae)
pada umumnya dilakukan lebih dulu dari pada pelaksanaan upacara-upacara yang
lain dalam Shintoisme. Sementara itu, orang-orang yang akan mengikuti upacara
biasanya terlebih dahulu membersihkan diri sebelum menghadap dewa.[6]
Ritus-ritus yang dilakukan dalam Shintoisme dimaksudkan untuk memuja
dewi matahari(Ameterasu Omikami). Hal itu dilakukan karena masyarakat Jepang
menganggap Ameterasu Omikami sebagai sumber kemakmuran dan kesejahteraan dalam
bidang pertanian. Mereka biasa melakukan ritual-ritual tersebut di atas gunung
Fujiyama pada bulan Juni dan Agustus.[7]
4. Konsep
Dewa-Dewi dalam Paham/Ajaran Shintoisme
Kekuatan yang lebih tinggi dari manusia bukan saja diyakini berada pada
sosok makhluk, tetapi juga pada benda-benda serta fenomena alam yang terjadi
seperti badai, gempa bumi, dll. Itulah yang diyakini oleh Shintoisme pada
awalnya, selain keyakinan akan pengaruh kekuatan arwah para leluhur mereka.
Setelah masuknya Buddhisme, sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap
pemahaman Shinto akan kekuatan kepada yang lebih tinggi, melalui konsep-konsep
kedewaan mereka.
Shintoisme meyakini adanya mitos tentang para dewa yang mereka agungkan.
Amaterasu Omigami yang dikenal sebagai dewa Matahari dipercaya sebagai dewa
tertinggi di dalam Shinto. Amaterasu Omigami merupakan anak dari Izanagi (dewa
langit-laki-laki) dan Izanami (dewi bumi-perempuan). Izanagi dan Izanami yang
juga adalah pencipta kepulauan Jepang. Selain dewa Matahari yang kemudian hadir
juga dewa Angin disebut dewa Susanoo, serta
dewa bulan yang dikenal sebagai dewa Tsukiyomi. Amaterasu Omigami
menjadi penguasa surga, Susanoo menguasai lautan dan Tsukiyomi menguasai malam.[8]
Selain dewa-dewa yang tersebut di atas, terdapat pula dewa-dewa lain
seperti : dewa perang yang diyakini bukan saja oleh Shintoisme tapi juga
Buddhisme. Dewa perang ini disebut Hachiman. Dewa lain yang juga diyakini
keberadaannya adalah Doso-jin, roh yang melayang bebas ; Ryu-jin, dewa yang
mengendalikan hujan dan angin, serta Daikokuten, dewa keberuntungan.[9]
Shintoisme juga memiliki kepercayaan adanya roh jahat yang mengganggu hidup
manusia di bumi. Roh-roh jahat itu disebut aragami. Jadi selain memiliki keyakinan
akan adanya dewa-dewi yang memberikan kebaikan, kesejahteraan dan
keberuntungan, terdapat pula keyakinan yang berlawanan atau dualisme. [10]
Dari kutipan-kutipan di atas terlihat cara Shintoisme memahami adanya
kekuatan yang lebih besar dari diri manusia. Dewa-dewi yang digambarkan secara
personifikasi menunjukkan kayakinan terhadap kekuatan yang hidup-yang lebih
besar. Hal ini merupakan konsepsi ketuhanan Shintoisme. Dengan kata lain,
konsep dewa menurut paham/ajaran Shintoisme adalah:[11]
ü Dewa-dewi tersebut dianggap dapat melihat, mendengar
dan lain-lain, sehingga harus dipuja secara langsung.
ü Dewa-dewi tersebut dianggap sebagai perwujudan dari
arwah orang yang sudah meninggal.
ü Dewa-dewi tersebut dianggap berdiam di bumi dan
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia.
5. Ajaran
Shintoisme
Dalam
ajaran Shintoisme, manusia diibaratkan seperti nenek
moyang, kakek, ayah, dan anak. Dapat
dikatakan ajaran Shinto tidak mempunyai perbedaan dengan kehidupan seperti
manusia yang mempunyai keluarga atau garis keturunan. Shintoisme mengajarkan
bahwa hubungan “Kami” dengan manusia menunjukkan hubungan yang saling terikat.
Seperti ayah yang mencintai anaknya, begitu juga Kami (dewa) yang mencintai
manusia. Keadaan yang demikian disebutkan dalam istilah “oyako.”
Shintoisme
memandang manusia sebagai makhluk yang sudah mempunyai takdirnya sendiri.
Takdir yang dimaksud adalah jalan hidup manusia yang sudah seharusnya bahagia.
Selain kebahagian, manusia juga ditakdirkan agar tidak lepas dari perlindungan
para dewa. Dengan demikian, manusia akan merasa sukacita karena mempunyai nenek
moyang dewa yang baik. Nenek moyang yang memberikan jasmani dan rohani yang
suci. Jadi, dengan hubungan yang seperti ini, manusia diharuskan menjaga relasi
dengan dewa dan membangun kedewataan yang baik.[12]
Jadi dapat dikatakan,
pokok-pokok ajaran Shintoisme yang penting adalah:[13]
- Keberanian à
Sikap berani dianggap sikap yang paling utama dalam ajaran Shintoisme.
Orang-orang yang mempunyai sikap penakut akan dipandang sebagai orang yang
berdosa.
- Loyalitas à
Loyalitas yang dimaksudkan di sini adalah sikap setia terhadap Kaisar dan
masyarakat.
- Kesucian
dan Kebersihan à
Orang-orang harus mempunyai sifat yang suci dan bersih, karena hal ini
merupakan hal yang sangat penting, khususnya dalam mengikuti
upacara-upacara penyucian.
Kesimpulan
Seperti yang telah kita ketahui
sebelumnya bahwa pada dasarnya suatu paham keagamaan mempunyai dasar ajaran
yang baik. Demikian pula halnya dengan ajaran Shintoisme. Ajaran Shintoisme
berusaha mendidik penganutnya agar dapat bersikap disiplin dan setia terhadap
agama, negara, tradisi dan Kaisar. Selain itu, salah satu kode etik yang
penting dari kepercayaan Jepang adalah lebih mementingkan kepentingan kelompok
masyarakat dibandingkan dengan individu.[14]
Tidak hanya itu, konsep
dewa-dewi Shintoisme juga identik dengan konsep dewa-dewi dalam ajaran Hindu.
Hal itu terlihat dari dewa-dewi yang berjumlah banyak dalam ajaran Shintoisme.
Meskipun demikian, pada awalnya Shinto juga terkait dengan ajaran Taoisme dan
Buddhisme. Singkat kata, Shintoisme dapat dikatakan terbentuk dari unsur-unsur
agama yang lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Arifin,
HM Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta, PT. Golden Terayon
Press, 1986
Earhart,
H. Byron, Religions of Japan, New York: HarperCollins Publishers, 1984
Littleton, C. Scott, Understanding
Shinto, London: Duncan Baird Publishers, 2002.
Morgan, Diane. The Best Guide to Eastern Philosophy.
USA: Renaissance Media, Inc, 2001
Yusa,
Michiko. Japanese Religions. London: Laurence King Publishing LTD,2002.
Website:
http:/fansob.blogspot.com/2009/04/sekilas-pandang-agama-shinto.html
[1] H. Byron Earhart, Religions of Japan (New York: Harper Collins Publishers, 1984), 16.
[2] Diakses oleh
kelompok dari http://bukucatatan-part1.blogspot.com/2009/01/agama-shinto-ajaran-dan-sejarahnya-di.html
pada hari Jumat, 16 April 2010 pukul 14.00WIB.
[3] HM. Arifin, Menguak Misteri
Ajaran Agama-Agama Besar (Jakarta: Golden Terayon Press, 1986), 47.
[4] C.Scott Littleton, Understanding
Shinto (London: Duncan Baird Publishers, 2002), 6.
[5] Diakses oleh
kelompok dari http:/fansob.blogspot.com/2009/04/sekilas-pandang-agama-shinto.html
pada hari Jumat, 16 April 2010 pukul 14.00 WIB.
[6]
HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar (Jakarta, PT.
Golden Terayon Press, 1986), 51.
[7]
Diakses oleh kelompok dari http:/fansob.blogspot.com/2009/04/sekilas-pandang-agama-shinto.html
pada hari Jumat, 16 April 2010 pukul 14.00 WIB.
[8] Michiko Yusa. Japanese
Religions. (London : Laurence King Publishing LTD, 2002), 22-23.
[10] Diakses oleh
kelompok dari http://bukucatatan-part1.blogspot.com/2009/01/agama-shinto-ajaran-dan-sejarahnya-di.html
pada hari Jumat, 16 April 2010, pukul 14.15 WIB.
[11] ibid.,
[12] Diakses oleh kelompok dari http://rimadian88.multiply.com/journal
pada hari Sabtu, 17 April 2010 pukul 15.05 WIB.
[13] HM. Arifin, Menguak Misteri
Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta, PT. Golden Terayon Press, 1986), 54.
[14] HM. Arifin, Menguak Misteri
Ajaran Agama-Agama Besar (Jakarta, PT. Golden Terayon Press, 1986), 53-54.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar