Selasa, 01 Mei 2012

Shintoisme


Shintoisme
Pendahuluan
            Siapa yang tidak kenal dengan Negara Jepang? Jepang, seperti yang kita tahu adalah Negara yang cukup modern dan sangat berkembang, baik dalam hal teknologi, industri dan lain-lain. Selain itu Jepang juga kaya akan tradisi keagamaan dan kebudayaan yang beraneka ragam, contohnya di antara lain adalah Shintoisme, Taoisme, Buddhisme, Kristen dan lain-lain. Tradisi keagamaan dan kebudayaan tersebut tentu juga mempengaruhi suatu paham dan ajaran tertentu.
Demikian pula halnya dengan Shintoisme. Shintoisme merupakan suatu paham keagamaan yang dianut oleh masyarakat Jepang sampai pada saat ini. Dapat dikatakan juga bahwa Shintoisme merupakan tradisi keagamaan yang paling kuno dari semua tradisi keagamaan di Jepang lainnya yang bertumbuh dari sejarah kepercayaan Jepang.[1]  Kemudian yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah sebenarnya apa pengertian dari Shintoisme? Bagaimana latar belakang sejarah terbentuknya Shintoisme? Apa saja ajaran Shintoisme? Bagaimana dengan konsep dewa dewi yang diajarkan dalam Shintoisme? Melalui paper ini, kelompok akan mencoba untuk membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut.

1.   Pengertian Shinto
Kata Shinto berasal dari dua suku kata, yaitu “shin” dan “to.” Kata “shin” mempunyai arti roh sedangkan “to” mempunyai arti jalan. Kata “to” juga identik dengan kata “tao” pada Taoisme yang mempunyai arti jalan dewa. Tidak itu saja, kata shin juga mempunyai keidentikan dengan kata “yin” yang mempunyai arti gelap atau negatif. Melihat keidentikan ini kemungkinan Shintoisme dipengaruhi paham agama dari Tiongkok  Maka, Shinto didefinisikan sebagai jalannya roh.[2]
Shintoisme sendiri merupakan paham yang dianut oleh masyarakat Jepang, meskipun di samping itu ada masyarakat Jepang yang menganut agama lain. Akan tetapi, masyarakat Jepang yang menganut agama di luar Shintoisme hanya sebagai minoritas saja, sedangkan Shinto yang paling mendominasi masyarakat Jepang. Paham yang mendominasi masyarakat Jepang ini sama seperti filsafat religi. Filsafat religi ini mempunyai sifat national Jepang yang diwariskan nenek moyang mereka dan warisan tersebut dijadikan pedoman hidup mereka. Singkat kata, Shintoisme harus ditaati oleh masyarakat Jepang.
Selain itu, Shintoisme tidak harus ditaati oleh masyarakat Jepang saja. Pemerintah pun diwajibkan untuk mentaati Shintoisme. Sama halnya dengan masyarakat Jepang yang mewarisi paham/ajaran ini, pemerintah pun juga mendapatkan posisi yang sama. Bahkan, tugas pemerintah Jepang lebih besar tanggung jawabnya di bandingkan masyarakat Jepang. Pemerintah Jepang harus menjadi pelaksana utama dalam Shintoisme.
Tidak seperti negara-negara lainnya yang dikepalai oleh seorang presiden, pemerintahan Jepang dikepalai oleh seorang Kaisar. Kaisar inilah yang menjadi badan resmi bagi Shintoisme. Badan resmi yang mempunyai kewajiban untuk menyampaikan dan menjelaskan kehendak dewa-dewi kepada masyarakat Jepang. Dari hal ini terlihat bahwa Kaisar mempunyai peran yang sangat penting, karena Kaisar adalah utusan para dewa. Melalui keadaan ini, dapat dilihat Jepang merupakan pemerintah yang bersifat Theokratis dan Shintoisme mempunyai otoritas yang tinggi dalam Negara matahari ini.[3]


2.   Sejarah Shinto
Shinto tidak sama seperti agama Buddha dan Kristen yang mempunyai pelopor atau penemunya.[4] Shinto lahir seiring dengan adanya mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya Negara Jepang. Dengan kata lain, Shinto merupakan paham keagamaan asli yang berasal dari Jepang. Pada awalnya Shinto merupakan perpaduan antara paham animisme dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Nama Shinto sendiri itu muncul karena adanya keinginan untuk menyebut kepercayaan asli Jepang setelah agama Buddha masuk ke Jepang pada abad keenam masehi. Sangat disayangkan karena pada perkembangannya, Shintoisme telah banyak mengalami percampuran dengan agama Buddha sehingga hampir kehilangan sifat aslinya.
Banyak aspek-aspek agama Buddha yang turut mempengaruhi  Shintoisme. Hal itu tercermin dari tata cara upacara agama bahkan bentuk bangunan tempat suci agama Shinto yang banyak dipengaruhi oleh agama Buddha. Selain itu patung-patung dewa yang semula tidak ada dalam agama Shinto mulai diadakan. Kemudian ada anggapan juga bahwa dewa-dewi dalam Shintoisme merupakan perwujudan dari dewa-dewi agama Buddha. Akan tetapi, untunglah hal itu tidak berlangsung terus-menerus karena setelah abad ke-17 masehi, beberapa tokoh seperti Kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain mulai melopori gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan “Badsudo” (jalannya Buddha) dengan “Kami” (roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa Jepang) untuk mempertahankan kepercayaannya. Kemudian pada tahun 1868 Shinto dijadikan sebagai agama negara yang saat itu Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya.[5]

3.   Peribadatan Shintoisme
Dalam peribadatan shintoisme diawali dan diakhiri dengan upacara penyucian. Dalam ajaran agama Shinto, pada dasarnya manusia adalah baik dan suci. Jika ada hal buruk seperti perilaku negatif dan kejahatan yang muncul, maka hal itu harus dihilangkan melalui upacara penyucian. Upacara penyucian tersebut biasa dikenal dengan Harae. Upacara penyucian (Harae) pada umumnya dilakukan lebih dulu dari pada pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam Shintoisme. Sementara itu, orang-orang yang akan mengikuti upacara biasanya terlebih dahulu membersihkan diri sebelum menghadap dewa.[6]
Ritus-ritus yang dilakukan dalam Shintoisme dimaksudkan untuk memuja dewi matahari(Ameterasu Omikami). Hal itu dilakukan karena masyarakat Jepang menganggap Ameterasu Omikami sebagai sumber kemakmuran dan kesejahteraan dalam bidang pertanian. Mereka biasa melakukan ritual-ritual tersebut di atas gunung Fujiyama pada bulan Juni dan Agustus.[7]

4.   Konsep Dewa-Dewi dalam Paham/Ajaran Shintoisme
Kekuatan yang lebih tinggi dari manusia bukan saja diyakini berada pada sosok makhluk, tetapi juga pada benda-benda serta fenomena alam yang terjadi seperti badai, gempa bumi, dll. Itulah yang diyakini oleh Shintoisme pada awalnya, selain keyakinan akan pengaruh kekuatan arwah para leluhur mereka. Setelah masuknya Buddhisme, sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap pemahaman Shinto akan kekuatan kepada yang lebih tinggi, melalui konsep-konsep kedewaan mereka.
Shintoisme meyakini adanya mitos tentang para dewa yang mereka agungkan. Amaterasu Omigami yang dikenal sebagai dewa Matahari dipercaya sebagai dewa tertinggi di dalam Shinto. Amaterasu Omigami merupakan anak dari Izanagi (dewa langit-laki-laki) dan Izanami (dewi bumi-perempuan). Izanagi dan Izanami yang juga adalah pencipta kepulauan Jepang. Selain dewa Matahari yang kemudian hadir juga dewa Angin disebut dewa Susanoo, serta  dewa bulan yang dikenal sebagai dewa Tsukiyomi. Amaterasu Omigami menjadi penguasa surga, Susanoo menguasai lautan dan Tsukiyomi menguasai malam.[8]
Selain dewa-dewa yang tersebut di atas, terdapat pula dewa-dewa lain seperti : dewa perang yang diyakini bukan saja oleh Shintoisme tapi juga Buddhisme. Dewa perang ini disebut Hachiman. Dewa lain yang juga diyakini keberadaannya adalah Doso-jin, roh yang melayang bebas ; Ryu-jin, dewa yang mengendalikan hujan dan angin, serta Daikokuten, dewa keberuntungan.[9]
Shintoisme juga memiliki kepercayaan adanya roh jahat yang mengganggu hidup manusia di bumi. Roh-roh jahat itu disebut aragami. Jadi selain memiliki keyakinan akan adanya dewa-dewi yang memberikan kebaikan, kesejahteraan dan keberuntungan, terdapat pula keyakinan yang berlawanan atau dualisme. [10]
Dari kutipan-kutipan di atas terlihat cara Shintoisme memahami adanya kekuatan yang lebih besar dari diri manusia. Dewa-dewi yang digambarkan secara personifikasi menunjukkan kayakinan terhadap kekuatan yang hidup-yang lebih besar. Hal ini merupakan konsepsi ketuhanan Shintoisme. Dengan kata lain, konsep dewa menurut paham/ajaran Shintoisme adalah:[11]
ü  Dewa-dewi tersebut dianggap dapat melihat, mendengar dan lain-lain, sehingga harus dipuja secara langsung.
ü  Dewa-dewi tersebut dianggap sebagai perwujudan dari arwah orang yang sudah meninggal.
ü  Dewa-dewi tersebut dianggap berdiam di bumi dan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia.

5.   Ajaran Shintoisme
Dalam ajaran Shintoisme, manusia diibaratkan seperti nenek moyang, kakek, ayah, dan anak.  Dapat dikatakan ajaran Shinto tidak mempunyai perbedaan dengan kehidupan seperti manusia yang mempunyai keluarga atau garis keturunan. Shintoisme mengajarkan bahwa hubungan “Kami” dengan manusia menunjukkan hubungan yang saling terikat. Seperti ayah yang mencintai anaknya, begitu juga Kami (dewa) yang mencintai manusia. Keadaan yang demikian disebutkan dalam istilah “oyako.”
Shintoisme memandang manusia sebagai makhluk yang sudah mempunyai takdirnya sendiri. Takdir yang dimaksud adalah jalan hidup manusia yang sudah seharusnya bahagia. Selain kebahagian, manusia juga ditakdirkan agar tidak lepas dari perlindungan para dewa. Dengan demikian, manusia akan merasa sukacita karena mempunyai nenek moyang dewa yang baik. Nenek moyang yang memberikan jasmani dan rohani yang suci. Jadi, dengan hubungan yang seperti ini, manusia diharuskan menjaga relasi dengan dewa dan membangun kedewataan yang baik.[12]
Jadi dapat dikatakan, pokok-pokok ajaran Shintoisme yang penting adalah:[13]
  • Keberanian à Sikap berani dianggap sikap yang paling utama dalam ajaran Shintoisme. Orang-orang yang mempunyai sikap penakut akan dipandang sebagai orang yang berdosa.
  • Loyalitas à Loyalitas yang dimaksudkan di sini adalah sikap setia terhadap Kaisar dan masyarakat.
  • Kesucian dan Kebersihan à Orang-orang harus mempunyai sifat yang suci dan bersih, karena hal ini merupakan hal yang sangat penting, khususnya dalam mengikuti upacara-upacara penyucian.








           



Kesimpulan
Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa pada dasarnya suatu paham keagamaan mempunyai dasar ajaran yang baik. Demikian pula halnya dengan ajaran Shintoisme. Ajaran Shintoisme berusaha mendidik penganutnya agar dapat bersikap disiplin dan setia terhadap agama, negara, tradisi dan Kaisar. Selain itu, salah satu kode etik yang penting dari kepercayaan Jepang adalah lebih mementingkan kepentingan kelompok masyarakat dibandingkan dengan individu.[14]
Tidak hanya itu, konsep dewa-dewi Shintoisme juga identik dengan konsep dewa-dewi dalam ajaran Hindu. Hal itu terlihat dari dewa-dewi yang berjumlah banyak dalam ajaran Shintoisme. Meskipun demikian, pada awalnya Shinto juga terkait dengan ajaran Taoisme dan Buddhisme. Singkat kata, Shintoisme dapat dikatakan terbentuk dari unsur-unsur agama yang lain.


















DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Arifin, HM Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta, PT. Golden Terayon Press, 1986
Earhart, H. Byron, Religions of Japan, New York: HarperCollins Publishers, 1984
Littleton, C. Scott, Understanding Shinto, London: Duncan Baird Publishers, 2002.
Morgan, Diane. The Best Guide to Eastern Philosophy. USA: Renaissance Media, Inc, 2001
Yusa, Michiko. Japanese Religions. London: Laurence King Publishing LTD,2002.

Website:
http:/fansob.blogspot.com/2009/04/sekilas-pandang-agama-shinto.html



[1] H. Byron Earhart,  Religions of Japan  (New York: Harper Collins Publishers, 1984), 16.
[2] Diakses oleh kelompok dari http://bukucatatan-part1.blogspot.com/2009/01/agama-shinto-ajaran-dan-sejarahnya-di.html pada hari Jumat, 16 April 2010 pukul 14.00WIB.
[3] HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar (Jakarta: Golden Terayon Press, 1986), 47.
[4] C.Scott Littleton, Understanding Shinto (London: Duncan Baird Publishers, 2002), 6.
[5] Diakses oleh kelompok dari http:/fansob.blogspot.com/2009/04/sekilas-pandang-agama-shinto.html pada hari Jumat, 16 April 2010 pukul 14.00 WIB.

[6] HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar (Jakarta, PT. Golden Terayon Press, 1986), 51.
[7] Diakses oleh kelompok dari http:/fansob.blogspot.com/2009/04/sekilas-pandang-agama-shinto.html pada hari Jumat, 16 April 2010 pukul 14.00 WIB.
[8] Michiko Yusa. Japanese Religions. (London : Laurence King Publishing LTD, 2002), 22-23.
[9] Diane Morgan. The Best Guide to Eastern Philosophy. (USA : Renaissance Media, Inc, 2001), 321.
[10] Diakses oleh kelompok dari http://bukucatatan-part1.blogspot.com/2009/01/agama-shinto-ajaran-dan-sejarahnya-di.html pada hari Jumat, 16 April 2010, pukul 14.15 WIB.
[11] ibid.,

[12] Diakses oleh kelompok dari http://rimadian88.multiply.com/journal pada hari Sabtu, 17 April 2010 pukul 15.05 WIB.
[13] HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta, PT. Golden Terayon Press, 1986), 54.
[14] HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar (Jakarta, PT. Golden Terayon Press, 1986), 53-54.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar