Perumpamaan Tentang Anak yang Hilang
Lukas
15: 11- 32
Perumpamaan ialah susunan
kata-kata yang indah, ringkas, dan mempunyai maksud yang tersirat. Perumpamaan
merupakan suatu teknik unggul yang digunakan oleh seseorang untuk menjelaskan konsep-konsep yang tersirat[1]. Mengumpamakan artinya adalah
mengekspresikan kejadian tertentu atau objek dengan menggambarkan kejadian yang
serupa dan objek dalam teknik retoris. Sebuah perumpamaan digunakan untuk
membuat arti yang jelas dengan membandingkan dan membedakan hal-hal yang
serupa. Perumpamaan dimulai dengan kata bagai, ibarat, laksana, seperti, dan
umpama.
Perumpamaan adalah salah satu
cara yang dipakai oleh Yesus untuk menyebar Injil keselamatan. Yesus
menggunakan banyak perumpamaan ketika Ia sedang mengajar orang. Perumpamaan
Yesus merupakan perumpamaan yang berupa analogi yang diajarkan oleh Yesus
kepada murid-muridnya. Kisah-kisah perumpamaan ini terdapat dalam semua kitab
Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Perumpamaan-perumpamaan Yesus ini
cukup sederhana dan cukup mudah untuk diingat. Salah satu sifat perumpamaan
adalah penggambaran secara sepintas sebuah cerita yang sederhana dan lugas,
namun memiliki makna yang jauh lebih dalam jika direnungkan lebih jauh. Oleh
karena itu, perumpamaan tersebut masih dapat diceritakan dari mulut ke mulut.
Salah satu perumpamaan yang dikatakan oleh Yesus adalah perumpamaan tentang
anak yang hilang.
Perumpamaan
tentang anak yang hilang adalah sebuah perumpamaan yang diajarkan oleh Yesus
kepada murid-muridnya. Kisah ini tercantum di dalam Lukas 15:11-32. Perumpamaan ini menceritakan tentang kasih
seorang ayah kepada anaknya. Di dalam cerita ini, sekalipun titik beratnya
adalah tentang si anak bungsu, namun sebenarnya si anak sulung juga memiliki
peran di dalam cerita ini. Perumpamaaan ini mengisahkan tentang seorang lelaki
tua kaya yang memiliki dua orang anak laki-laki yang sudah dewasa[2].
Anak sulungnya yang berusia kira-kira dua puluh lima tahunan adalah anak yang setia. Ia
menaruh minat dan perhatian pada bidang pertanian, sedangkan anak bungsunya
yang berusia sekitar dua puluh tahunan adalah seorang anak yang suka
berpetualang dan memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap banyak hal. Kedua
anak itu membantu ayahnya bekerja dipertanian keluarga mereka yang sangat luas.
Keluarga mereka terkenal sangat kaya dinegerinya itu. Mereka memiliki banyak
sekali lahan pertanian, ternak, dan pekerja upahan.
Pada
suatu hari, anaknya yang bungsu ingin pergi ke negeri lain dan hidup bebas
seperti yang diinginkannya. Oleh karena itu, ia mendekati dan membujuk ayahnya
agar memberikan harta warisan yang menjadi bagian miliknya, walaupun seharusnya
harta tersebut dibagikan ketika bapanya sudah meninggal. Dia mendapat dua per
sembilan dari seluruh jumlah warisan miliknya karena ayahnya masih hidup,
sedangkan sepertiga sisanya akan diterimanya pada waktu kematian ayahnya (
Ulangan 21: 17 ). Tetapi dengan menerima bagian lebih dulu, berarti dia telah
menghilangkan kesempatannya untuk mewarisi tanah mereka di negeri itu karena
dengan demikian secara otomatis tanah warisan miliknya akan menjadi milik
saudara sulungnya.
Anak
bungsu yang telah memiliki harta warisan tersebut menjual harta miliknya dan
kemudian pergi ke negeri yang jauh meninggalkan ayahnya yang sudah tua. Dia
pergi ke Babilonia sebelah timur, Asia Kecil sebelah utara, kemudian ke Yunani,
Italia bagian barat, Mesir dan Afrika Selatan[3].
Di Babilonia, dia hidup berfoya-foya dengan memboroskan harta kekayaan ayahnya
bersama pelacur- pelacur di tempat perjudian di kota itu. Namun pada suatu hari, di negeri tempat
dia berdiam itu timbul bahaya kelaparan dan dia pun ikut mengalami kelaparan
karena uangnya sudah habis. Kabar tentang anak bungsu yang telah menghabiskan
waktu dan hartanya di tempat tidak bermoral itu terdengar juga oleh ayahnya.
Namun ayahnya hanya bisa menunggu anak bungsunya kembali tanpa dapat
menemukannya karena anak bungsunya itu hidup berpindah-pindah tempat tinggal
untuk dapat bertahan hidup.
Anak
bungsu tersebut hidup terlantar dan kelaparan karena sudah kehabisan uang. Ia
berusaha bertahan hidup dengan bekerja sebagai penjaga ternak babi pada seorang
majikannya yang bukan orang Yahudi seperti dirinya, sehingga ia juga tidak
beribadah lagi karena ia harus tetap bekerja pada hari Sabat. Majikannya
menilai dirinya lebih rendah daripada babi. Majikannya lebih menyayangi babinya
yang kotor itu daripada dirinya. Oleh karena itu, ia sering tidak diberi makan
oleh majikannya tersebut. Keadaan dan situasi yang demikian membuat dia harus
mencuri dan memakan ampas, yaitu kelopak dari pohon belalang yang merupakan
makanan ternak[4].
Keadaan
dirinya yang sulit tersebut mengingatkan dia kepada ayahnya yang kaya. Dia
membandingkan dirinya dengan pekerja upahan yang ada dipertanian ayahnya. Di
negeri orang ia harus jadi pekerja upahan orang yang tidak diberi makan padahal
seharusnya dia dapat menikmati kekayaan ayahnya tanpa harus bekerja jika dia
tidak meninggalkan ayahnya. Ketika ia menyadari keadaanya, diapun akhirnya
memutuskan untuk pulang, dengan berencana akan menjadi pekerja upahan ayahnya.
Dia berpikir bahwa ayahnya pasti tidak akan mau menerimanya lagi sebagai anak
apalagi setelah perlakukannya terhadap ayahnya. Namun ternyata ayahnya bukan
saja buru-buru berlari menerimanya dengan gembira namun segera memanggil
pelayan-pelayannya untuk mengganti pakaian anaknya itu dengan pakaian yang
indah dan memakaikannya juga perhiasan-perhiasan yang mahal. Bahkan karena terburu-buru dan senangnya ayahnya salah memakai
sepatu, dia memakai sepatu yang berbeda antara yang kanan dan yang kiri dan
warna kasutnya juga berbeda. Akhirnya anak bungsupun merasa malu dan merasa
tidak layak untuk mendapatkan pengampunan. Ayahnya yang sudah lama tidak
bertemu dengannya itu pun terus memelukinya, bahkan ayahnya juga mengadakan
suatu pesta yang besar atas kembalinya dia ke rumah ayahnya di negerinya itu.
Namun, kakak sulungnya yang baru pulang dari ladang mereka ternyata tidak
terima jika ayahnya memperlakukan anak bungsu sebaik itu. Ia merasa iri karena
meskipun telah sekian lama ia bekerja membantu ayahnya, ia tidak pernah diperlakukan
ayahnya sebaik itu. Ia marah dan tidak mau mengikuti pesta itu. Namun ayahnya
kemudian datang padanya dan menjelaskan bahwa ayahnya itu tidak pernah menutup
mata terhadap hal-hal yang anak sulungnya pernah lakukan untuk dirinya, ayahnya
juga menyadarkannya bahwa sudah sepatutnya anak sulung tersebut juga ikut bergembira, karena yang pulang ini adalah
adiknya sendiri.
Anak sulung menjadi seperti itu karena adanya faktor
kecemburuan yang memicu. Dia merasa tidak dihargai. Dia sudah bekerja di ladang
untuk membantu ayahnya tapi ayahnya tidak pernah membuatkan sebuah pesta mewah
baginya. Sejenak dia lupa bahwa seharusnya dia tidak perlu mengetahui dan
mengalami kepedihan ataupun kesedihan, ketakutan atau keengganan diri. Dia lupa
bahwa setiap ternak di peternakan telah menjadi miliknya dan demikian pula
semua jubah di dalam lemari serta setiap cincin di dalam laci[5].
Dia lupa bahwa kesetiaannya telah dan akan senantiasa mendatangkan pahala dan
diingat serta diperhitungkan ayahnya. Jadi tidak seharusnya dia cemburu seperti
itu kepada saudara bungsunya yang baru pulang dari negeri jauh dan berkumpul
lagi bersamanya dan juga Ayahnya.
Perumpamaan
tentang anak yang hilang ini adalah suatu perumpamaan yang sering dipakai untuk
menggambarkan kesetiaan Allah (yang sering digambarkan sebagai ayah) yang memiliki
kasih dan perhatian yang tulus tanpa batas dan tidak pernah berubah, sekalipun
umat-Nya (yang digambarkan sebagai anak) sering menyakiti hati-Nya dan
meninggalkan-Nya untuk pergi menikmati kesenangan duniawi (yang digambarkan
sebagai negeri yang jauh). Tuhan menyatakan bahwa umat-umat-Nya memang memiliki
status dan kuasa yang sama sebagai anak-anakNya secara nyata, bukan hanya
melalui perumpamaan saja. Tuhan Yesus hendak menekankan bahwa kenikmatan
duniawi yang dapat dipandang mata memang indah, namun suatu saat itu akan
berbalik menjadi jerat yang akan membuat seseorang meninggalkan Tuhan, apabila
kenikmatan itu dikejar melebihi apapun.
Melalui perumpamaan tentang anak
yang hilang ini, Yesus berbicara tentang kasih Allah yang membuka jalan ke
rumah Allah dan mengundang orang-orang yang berdosa untuk datang dan tinggal
bersama-Nya di rumah-Nya. Semua orang berdosa yang menyimpang dan menjauh dari
Allah akan kembali dan menemukan Bapa Surgawi yang penuh kasih masih tetap
menunggu pertobatan mereka, karena Allah adalah tempat untuk pulang bagi
mereka. Tuhan hendak menyediakan suatu kesenangan yang sejati yang berlimpah.
Sebaliknya, kita anak-anaknya selalu memendam keinginan untuk diperlakukan
secara khusus oleh Allah dan mencari kenikmatan duniawi, sama seperti anak
sulung dan bungsu. Padahal seluruh milik ayahnya itu adalah miliknya juga. Bila
ia ingin mengadakan pesta atau apapun yang ia suka, tentu ayahnya tidak akan
melarang. Namun dengan itu, dapat diketahui bahwa anak yang sulung ini pun
tidak memiliki kasih, selalu menuntut penghargaan demi penghargaan dari
ayahnya. Ia bekerja hanya untuk dirinya sendiri. Melalui gambaran anak sulung
tersebut, Yesus menekankan bahwa Ia tidak ingin umat-umat-Nya menjadi sama
seperti anak sulung yang hanya memikirkan diri sendiri, tidak memiliki kasih
terhadap adiknya yang bungsu, namun Ia ingin agar umat-umat-Nya peduli terhadap
orang-orang yang belum mengenal Yesus. Ia juga mengajar kita untuk dapat
menerima orang lain yang terbuang secara moral dan sosial dengan sukacita di
dalam kasih persaudaraan dan turut memperbaharui mereka di dalam komunitas
agama. Perumpamaan tentang anak yang hilang juga berisi pesan bahwa Allah mengajar kita agar
tetap hidup baik dan benar sebab hanya dengan demikianlah kita bahagia dan
sentosa, Allah mengajar kita mengenali dosa, kelemahan, kekurangan dan
kesalahan kita lantas segera keluar dari sana, dan Allah juga mengajar kita agar menghargai anugerahNya.
DAFTAR PUSTAKA
Halim, Makmur. Model-Model Penginjilan
Yesus, Malang :
Gandum Mas, 1999.
Kistemaker, Simon. Perumpamaan-perumpamaan Yesus, Malang : Departemen
Literatur Saat, 2001.
Santoso, Benny. Anak yang Hilang,
Yogyakarta : Andi Offset, 1987.
Stein, Robert H. An Introduction to
The Parables of Jesus, Philadelphia : The Westminster Press, 1935.
[1] Simon Kistemaker. Perumpamaan-perumpamaan Yesus. (Malang : Departemen Literatur Saat), hal. 235.
[2] Ibid. hal.
236.
[3]
Anand Krishna. Telaga Pencerahan di
Tengah Gurun Kehidupan, (Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama), hal. 67.
[4] Makmur
Halim. Model-model Penginjilan Yesus,
(Malang : Gandum
Mas), hal. 103.
SAYA ORANG KRISTEN PEMBENCI KATHOLIK
BalasHapusSAYA SETUJU KATOLIK MEMUJA PATUNG BUNDA MARIKENTUT
Hapus