Selasa, 01 Mei 2012

Perumpamaan Tentang Anak yang Hilang


Perumpamaan Tentang Anak yang Hilang
Lukas 15: 11- 32
Perumpamaan ialah susunan kata-kata yang indah, ringkas, dan mempunyai maksud yang tersirat. Perumpamaan merupakan suatu teknik unggul yang digunakan oleh seseorang  untuk menjelaskan konsep-konsep yang tersirat[1]. Mengumpamakan artinya adalah mengekspresikan kejadian tertentu atau objek dengan menggambarkan kejadian yang serupa dan objek dalam teknik retoris. Sebuah perumpamaan digunakan untuk membuat arti yang jelas dengan membandingkan dan membedakan hal-hal yang serupa. Perumpamaan dimulai dengan kata bagai, ibarat, laksana, seperti, dan umpama.
Perumpamaan adalah salah satu cara yang dipakai oleh Yesus untuk menyebar Injil keselamatan. Yesus menggunakan banyak perumpamaan ketika Ia sedang mengajar orang. Perumpamaan Yesus merupakan perumpamaan yang berupa analogi yang diajarkan oleh Yesus kepada murid-muridnya. Kisah-kisah perumpamaan ini terdapat dalam semua kitab Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Perumpamaan-perumpamaan Yesus ini cukup sederhana dan cukup mudah untuk diingat. Salah satu sifat perumpamaan adalah penggambaran secara sepintas sebuah cerita yang sederhana dan lugas, namun memiliki makna yang jauh lebih dalam jika direnungkan lebih jauh. Oleh karena itu, perumpamaan tersebut masih dapat diceritakan dari mulut ke mulut. Salah satu perumpamaan yang dikatakan oleh Yesus adalah perumpamaan tentang anak yang hilang.
            Perumpamaan tentang anak yang hilang adalah sebuah perumpamaan yang diajarkan oleh Yesus kepada murid-muridnya. Kisah ini tercantum di dalam Lukas 15:11-32. Perumpamaan ini menceritakan tentang kasih seorang ayah kepada anaknya. Di dalam cerita ini, sekalipun titik beratnya adalah tentang si anak bungsu, namun sebenarnya si anak sulung juga memiliki peran di dalam cerita ini. Perumpamaaan ini mengisahkan tentang seorang lelaki tua kaya yang memiliki dua orang anak laki-laki yang sudah dewasa[2]. Anak sulungnya yang berusia kira-kira dua puluh lima tahunan adalah anak yang setia. Ia menaruh minat dan perhatian pada bidang pertanian, sedangkan anak bungsunya yang berusia sekitar dua puluh tahunan adalah seorang anak yang suka berpetualang dan memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap banyak hal. Kedua anak itu membantu ayahnya bekerja dipertanian keluarga mereka yang sangat luas. Keluarga mereka terkenal sangat kaya dinegerinya itu. Mereka memiliki banyak sekali lahan pertanian, ternak, dan pekerja upahan.
            Pada suatu hari, anaknya yang bungsu ingin pergi ke negeri lain dan hidup bebas seperti yang diinginkannya. Oleh karena itu, ia mendekati dan membujuk ayahnya agar memberikan harta warisan yang menjadi bagian miliknya, walaupun seharusnya harta tersebut dibagikan ketika bapanya sudah meninggal. Dia mendapat dua per sembilan dari seluruh jumlah warisan miliknya karena ayahnya masih hidup, sedangkan sepertiga sisanya akan diterimanya pada waktu kematian ayahnya ( Ulangan 21: 17 ). Tetapi dengan menerima bagian lebih dulu, berarti dia telah menghilangkan kesempatannya untuk mewarisi tanah mereka di negeri itu karena dengan demikian secara otomatis tanah warisan miliknya akan menjadi milik saudara sulungnya.
            Anak bungsu yang telah memiliki harta warisan tersebut menjual harta miliknya dan kemudian pergi ke negeri yang jauh meninggalkan ayahnya yang sudah tua. Dia pergi ke Babilonia sebelah timur, Asia Kecil sebelah utara, kemudian ke Yunani, Italia bagian barat, Mesir dan Afrika Selatan[3]. Di Babilonia, dia hidup berfoya-foya dengan memboroskan harta kekayaan ayahnya bersama pelacur- pelacur di tempat perjudian di kota itu. Namun pada suatu hari, di negeri tempat dia berdiam itu timbul bahaya kelaparan dan dia pun ikut mengalami kelaparan karena uangnya sudah habis. Kabar tentang anak bungsu yang telah menghabiskan waktu dan hartanya di tempat tidak bermoral itu terdengar juga oleh ayahnya. Namun ayahnya hanya bisa menunggu anak bungsunya kembali tanpa dapat menemukannya karena anak bungsunya itu hidup berpindah-pindah tempat tinggal untuk dapat bertahan hidup.
            Anak bungsu tersebut hidup terlantar dan kelaparan karena sudah kehabisan uang. Ia berusaha bertahan hidup dengan bekerja sebagai penjaga ternak babi pada seorang majikannya yang bukan orang Yahudi seperti dirinya, sehingga ia juga tidak beribadah lagi karena ia harus tetap bekerja pada hari Sabat. Majikannya menilai dirinya lebih rendah daripada babi. Majikannya lebih menyayangi babinya yang kotor itu daripada dirinya. Oleh karena itu, ia sering tidak diberi makan oleh majikannya tersebut. Keadaan dan situasi yang demikian membuat dia harus mencuri dan memakan ampas, yaitu kelopak dari pohon belalang yang merupakan makanan ternak[4].
            Keadaan dirinya yang sulit tersebut mengingatkan dia kepada ayahnya yang kaya. Dia membandingkan dirinya dengan pekerja upahan yang ada dipertanian ayahnya. Di negeri orang ia harus jadi pekerja upahan orang yang tidak diberi makan padahal seharusnya dia dapat menikmati kekayaan ayahnya tanpa harus bekerja jika dia tidak meninggalkan ayahnya. Ketika ia menyadari keadaanya, diapun akhirnya memutuskan untuk pulang, dengan berencana akan menjadi pekerja upahan ayahnya. Dia berpikir bahwa ayahnya pasti tidak akan mau menerimanya lagi sebagai anak apalagi setelah perlakukannya terhadap ayahnya. Namun ternyata ayahnya bukan saja buru-buru berlari menerimanya dengan gembira namun segera memanggil pelayan-pelayannya untuk mengganti pakaian anaknya itu dengan pakaian yang indah dan memakaikannya juga perhiasan-perhiasan yang mahal. Bahkan karena terburu-buru dan senangnya ayahnya salah memakai sepatu, dia memakai sepatu yang berbeda antara yang kanan dan yang kiri dan warna kasutnya juga berbeda. Akhirnya anak bungsupun merasa malu dan merasa tidak layak untuk mendapatkan pengampunan. Ayahnya yang sudah lama tidak bertemu dengannya itu pun terus memelukinya, bahkan ayahnya juga mengadakan suatu pesta yang besar atas kembalinya dia ke rumah ayahnya di negerinya itu. Namun, kakak sulungnya yang baru pulang dari ladang mereka ternyata tidak terima jika ayahnya memperlakukan anak bungsu sebaik itu. Ia merasa iri karena meskipun telah sekian lama ia bekerja membantu ayahnya, ia tidak pernah diperlakukan ayahnya sebaik itu. Ia marah dan tidak mau mengikuti pesta itu. Namun ayahnya kemudian datang padanya dan menjelaskan bahwa ayahnya itu tidak pernah menutup mata terhadap hal-hal yang anak sulungnya pernah lakukan untuk dirinya, ayahnya juga menyadarkannya bahwa sudah sepatutnya anak sulung tersebut juga ikut  bergembira, karena yang pulang ini adalah adiknya sendiri.
Anak sulung menjadi seperti itu karena adanya faktor kecemburuan yang memicu. Dia merasa tidak dihargai. Dia sudah bekerja di ladang untuk membantu ayahnya tapi ayahnya tidak pernah membuatkan sebuah pesta mewah baginya. Sejenak dia lupa bahwa seharusnya dia tidak perlu mengetahui dan mengalami kepedihan ataupun kesedihan, ketakutan atau keengganan diri. Dia lupa bahwa setiap ternak di peternakan telah menjadi miliknya dan demikian pula semua jubah di dalam lemari serta setiap cincin di dalam laci[5]. Dia lupa bahwa kesetiaannya telah dan akan senantiasa mendatangkan pahala dan diingat serta diperhitungkan ayahnya. Jadi tidak seharusnya dia cemburu seperti itu kepada saudara bungsunya yang baru pulang dari negeri jauh dan berkumpul lagi bersamanya dan juga Ayahnya.
            Perumpamaan tentang anak yang hilang ini adalah suatu perumpamaan yang sering dipakai untuk menggambarkan kesetiaan Allah (yang sering digambarkan sebagai ayah) yang memiliki kasih dan perhatian yang tulus tanpa batas dan tidak pernah berubah, sekalipun umat-Nya (yang digambarkan sebagai anak) sering menyakiti hati-Nya dan meninggalkan-Nya untuk pergi menikmati kesenangan duniawi (yang digambarkan sebagai negeri yang jauh). Tuhan menyatakan bahwa umat-umat-Nya memang memiliki status dan kuasa yang sama sebagai anak-anakNya secara nyata, bukan hanya melalui perumpamaan saja. Tuhan Yesus hendak menekankan bahwa kenikmatan duniawi yang dapat dipandang mata memang indah, namun suatu saat itu akan berbalik menjadi jerat yang akan membuat seseorang meninggalkan Tuhan, apabila kenikmatan itu dikejar melebihi apapun.
Melalui perumpamaan tentang anak yang hilang ini, Yesus berbicara tentang kasih Allah yang membuka jalan ke rumah Allah dan mengundang orang-orang yang berdosa untuk datang dan tinggal bersama-Nya di rumah-Nya. Semua orang berdosa yang menyimpang dan menjauh dari Allah akan kembali dan menemukan Bapa Surgawi yang penuh kasih masih tetap menunggu pertobatan mereka, karena Allah adalah tempat untuk pulang bagi mereka. Tuhan hendak menyediakan suatu kesenangan yang sejati yang berlimpah. Sebaliknya, kita anak-anaknya selalu memendam keinginan untuk diperlakukan secara khusus oleh Allah dan mencari kenikmatan duniawi, sama seperti anak sulung dan bungsu. Padahal seluruh milik ayahnya itu adalah miliknya juga. Bila ia ingin mengadakan pesta atau apapun yang ia suka, tentu ayahnya tidak akan melarang. Namun dengan itu, dapat diketahui bahwa anak yang sulung ini pun tidak memiliki kasih, selalu menuntut penghargaan demi penghargaan dari ayahnya. Ia bekerja hanya untuk dirinya sendiri. Melalui gambaran anak sulung tersebut, Yesus menekankan bahwa Ia tidak ingin umat-umat-Nya menjadi sama seperti anak sulung yang hanya memikirkan diri sendiri, tidak memiliki kasih terhadap adiknya yang bungsu, namun Ia ingin agar umat-umat-Nya peduli terhadap orang-orang yang belum mengenal Yesus. Ia juga mengajar kita untuk dapat menerima orang lain yang terbuang secara moral dan sosial dengan sukacita di dalam kasih persaudaraan dan turut memperbaharui mereka di dalam komunitas agama. Perumpamaan tentang anak yang hilang juga berisi pesan bahwa Allah mengajar kita agar tetap hidup baik dan benar sebab hanya dengan demikianlah kita bahagia dan sentosa, Allah mengajar kita mengenali dosa, kelemahan, kekurangan dan kesalahan kita lantas segera keluar dari sana, dan Allah  juga mengajar kita agar menghargai anugerahNya.


DAFTAR PUSTAKA

Halim, Makmur. Model-Model Penginjilan Yesus, Malang: Gandum Mas, 1999.
Kistemaker, Simon. Perumpamaan-perumpamaan Yesus, Malang: Departemen Literatur Saat, 2001.
Krishna, Anand. Telaga Pencerahan di Tengah Gurun Kehidupan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Santoso, Benny. Anak yang Hilang, Yogyakarta: Andi Offset, 1987.
Stein, Robert H. An Introduction to The Parables of Jesus, Philadelphia: The Westminster Press, 1935.


[1]  Simon Kistemaker. Perumpamaan-perumpamaan Yesus. (Malang: Departemen Literatur Saat), hal. 235.
[2]  Ibid. hal. 236.
[3] Anand Krishna. Telaga Pencerahan di Tengah Gurun Kehidupan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal. 67.
[4] Makmur Halim. Model-model Penginjilan Yesus, (Malang: Gandum Mas), hal. 103.
[5] Benny Santoso. Anak yang Hilang, (Yogyakarta: Andi Offset), hal. 27.

2 komentar: