Kekerasan
Seksual pada Anak Indonesia, salah satu
Tindakan yang tidak Menjunjung Tinggi Nilai Kemanusiaan
1.
Pendahuluan
Anak adalah
setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun.[1]
Sebagai seorang manusia, tentunya sang anak memiliki hak yang setara dengan
manusia yang lain. Namun demikian, dalam kenyataannya ada begitu banyak hak anak
yang dirampas oleh pihak-pihak tertentu, dengan
berbagai macam cara yang mereka lakukan hanya untuk kepentingan pribadi
atau kelompok. Mereka kurang menyadari bahwa anak merupakan ciptaan Tuhan Yang
Maha Kuasa, yang harus dipelihara, dijaga dan ditumbuh kembangkan agar memberi
buah yang berguna bagi hidup orang banyak. Salah satu cara yang mereka lakukan
yaitu tindakan kekerasan seksual.
Kata
‘kekerasan’ dalam Kamus bahasa Indonesia edisi kedua, diartikan sebagai perihal yang bersifat/berciri keras;
perbuatan seseorang/kelompok yang menyebabkan kerusakan fisik/barang orang
lain; paksaan.[2]
Jadi, kekerasan seksual merupakan tindakan yang memaksa seseorang untuk
melakukan hubungan seksual, yang dapat menyebabkan kerusakan fisik pada orang tersebaut. Kekerasan seksual merupakan
kekerasan yang paling mengerikan karena bentuk kekerasan ini biasanya diiringi
oleh beberapa bentuk dan jenis kekerasan
yang lain, seperti: kekerasan fisik, sosiologis, maupun psikologis.
Lalu
Bagaimana kekerasan seksual pada anak Indonesia ? Apa yang menyebabkan
terjadinya kekerasan seksual pada anak ? Siapa-siapa saja yang menjadi pelaku
tindakan kekerasan seksual pada anak? Tindakan apa yang diberikan Negara Indonesia
menangani kasus ini? Itulah pertanyaan yang akan dibahas penulis dalam paper
kecil ini.
2.
Kekerasan
seksual yang dialami anak Indonesia
Tak dapat
dipungkiri bahwa kekerasan seksual yang dialami anak Indonesia bukan hanya terjadi saat
ini saja, namun juga disaat yang telah silam. Penulis memperoleh beberapa
banyak bukti mengenai hal ini. Salah satunya, kasus yang terjadi pada tahun
1996, di Bekasi.[3]
Dalam kasus ini, diceritakan bahwa Meti seorang anak berusia 12 tahun pisah
dari ibu kandungnya (Lilis) dan tinggal bersama ayah (Zam), ibu tiri (Ririn),
dan satu adik perempuannya (Zuriah). Setelah pisah dari ibu kandungnya, sekolah
Meti tidak karuan lagi, sehingga seringkali dia tinggal di rumah bersama
ayahnya. Ketika ibi tiri dan adiknya
pergi, dia dipaksa melakukan hubungan seksual oleh ayahnya sendiri. Ayah Meti
sangat melarang Meti, agar tidak melaporkan kejadian itu pada siapapun juga,
termasuk ibu tiri dan adiknya.
Yang
paling mengerikan, sang ayah bukan hanya melakukan kekerasan seksual pada Meti
secara lansung, namun juga tegah menjual Meti menjadi pelacur di salah satu tempat
pelacuran yang ada di Jakarta .
Alasan sang ayah menjual Meti adalah karena ia memerlukan uang untuk membangun
rumahnya. Selain itu juga, sebelum
melakukan kekerasan seksual pada Meti, sang ayah telah lebih dahulu
melakukannya pada Zuriah, adik Meti. Singkat cerita, pada akhirnya sang ayah di
penjara selama 12 tahun.
Kekerasan
seksual merupakan kekerasan yang menonjol terjadi pada anak-anak, dan mengalami peningkatan
signifikan belakangan ini. Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia
(YKAI) pada tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus (65,8%) dari 3.969 kasus
kekerasan seksual dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun. Selain itu, pada tahun 2005 diperkirakan 17 hingga 25 % anak perempuan pernah
mengalami kekerasan seksual. [4]
Dampak kekerasan seksual tidak hanya
menimbulkan kesakitan pada anak secara psikis atau fisik, tetapi juga
menimbulkan gangguan kesehatan refroduksi anak atau remaja, seperti penyakit
menular seksual, kehamilan, tak dikehendaki dan masalah kesehatan lainnya.
Kekerasan seksual menimbulkan konsekuensi psikologis jangka panjang yang
mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain, yaitu
dengan hilangnya rasa percaya terhadap orang lain, diri sendiri, serta rusaknya
self esteem anak.
3.
Pelaku
dan Penyebab kekerasan seksual pada anak
Kekerasan seksual pada anak menunjuk pada tindakan pemaksaan
seksual pada seorang anak oleh orang dewasa yang memiliki kekuatan,
pengetahuan, dan akal yang lebih besar.[5]
Para pelaku kekerasan seksual terhadap anak seringkali adalah orang-orang
yang telah dikenal baik oleh korban, seperti
tetangga, kakek, sepupu, paman, guru, bahkan orang tua kandung sendiri,
ayah angkat, seperti yang terjadi pada kasus yang dialami Meti pada ceritera di
atas. Informasi dari Komnas Perlindungan Anak Indonesia sejak tahun 2006-kini
(2009) menunjukan bahwa 1dari 6 kasus perkosaan adalah kasus incest, yaitu kekerasan yang dilakukan
oleh keluarga sedarah ataupun orang yang tinggal dalam satu rumah (ayah
kandung, saudara kandung, paman, kakek, ayah tiri, dan keponakan).[6]
Hal ini juga didukung oleh pendapat dari
Liz hall dan Siobhan Lioyd yang mengatakan “Kekerasan
seksual pada anak banyak dilakukan oleh
ayah atau seseorang yang memiliki figur seorang ayah.”[7]
Penyebab adanya
kasus-kasus kekerasan pada anak khususnya yang terjadi dalam keluarga, adalah
karena ketidakharmonisan antara suami-istri yang seringkali menjadi pendorong
yang kuat bagi sang suami melakukan tindakan kekerasan seksual pada anak
perempuannya. Keadaan seperti akan semakin mudah dilakukan oleh sang ayah,
karena selama ini ayah dianggap sebagai orang yang paling berkuasa dalam rumah
tangga, sehingga anak tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan perlawanan, dan
jika ada perlawanan, ujung-ujungnya anak juga yang mengalami kesakitan.
4.
Tindakan
Negara mengenai kekerasan seksual pada
anak
Sungguh tragis jika kita perhatikan situasi anak yang ada
di Indonesia
saat ini. Begitu banyak hak mereka yang tidak mereka dapatkan
hanya karena kebiadaban orang-orang yang ada didekatnya. Padahal anak
merupakan harapan tunas bangsa yang sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat
Indonesia
dimasa mendatang. Posisi anak dalam pengambilan keputusan dan langkah-langkah
pembangunan nasional harus menjadi pertimbangan utama.
Negara telah berusaha melakukan tindakan untuk mencegah
terjadinya kekerasan pada anak. Banyak hukum yang dikeluarkan Negara demi
terciptanya kesejahteraan anak. Upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan anak, telah diamanatkan dalam Undang-undang
Dasar 1945, Undang-undang No. 4 tahun
1979 tentang Kesejahteraan anak, Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1998
tentang Usaha Kesejahteraan Sosial bagi anak yang mempunyai masalah, Ratifikasi
Konvensi PBB tentang Hak-hak anak
Namun entah mengapa kekerasan tetap saja meraja lelah
dalam bangsa ini. Di dalam Pancasila sila kedua (Kemanusiaan yang adil dan
beradab) tercantum nilai untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
termasuk nilai kemanusiaan pada seorang anak. Seringkali anak dipandang sebagai
manusia yang tidak tahu apa-apa, yang belum mampu melakukan banyak hal. Mereka
di klaim sebagai manusia yang tidak berguna.
[1] Candra Gautama, Convensi Hak Anak, (Jakarta : Lembaga Studi Pers &
Pembangunan, 2000), hlm. 21.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia
edisi kedua, (Jakarta: Balai Pustaka,1999),hlm. 484.
[3] Mif. Baihaqi, Anak Indonesia Teraniaya, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1998), hlm. 10-17.
[4] Diakses dari http:// kekerasan pada anak , oleh
Surianti Tundu pada tanggal 8 Desember 2009 pukul 13.47 WIB.
[5] Cynthia Crosson
Tower , Child Abuse and Neglect, (Washington,
D,C : National Education Association), hlm. 26.
[6] Artikel, Warta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), HLM. 18.
[7] Liz Hall & Siobhan Lioyd, Surviving Child Sexual Abuse, (New York , Philadelphia , London : The Falmers
Press), hlm. 3.
[8] Ibid., hlm. 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar