Selasa, 01 Mei 2012

Teologi Pembebasan di Amerika Latin




Teologi Pembebasan di Amerika Latin

1 Yohanes 3:18

Anak-anakku! Janganlah kita mengasihi hanya di mulut atau hanya dengan perkataan saja. Hendaklah kita mengasihi dengan kasih yang sejati, yang dibuktikan dengan perbuatan kita.



Teologi pembebasan
Teologi pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama dalam ruang lingkup lingkungan sosial. (Teologi Pembebasan adalah sebuah paham baru tentang peranan gereja dalam lingkungan sosial). Dengan kata lain teologi ini adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Paham ini hampir terdapat pada semua agama di dunia. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan. Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural.
Permulaan teologi pembebasan ditetapkan Erique Dussel pada tahun 1564 ketika Bartolome de Las Casas, sebagai cikal bakal teologi pembebasan, mengatakan bahwa dia merasa dipilih Tuhan menjadi pelayan untuk mengangkat martabat orang-orang Indian yang telah dirampas kebebasannya dengan tidak adil.


Amerika Latin
Sejak Colombus menemukan beberapa pulau di Karibia, Kolumbia, pada abad ke- 15, sejarah kolonialisme mulai terpahat di benua Amerika Latin[1]. Negara-negara Eropa, terutama Spanyol berdatangan ke benua ini dan menjajah rakyat Amerika Latin. Mereka menguasai daerah yang membentang dari Meksiko di utara sampai Argentina di selatan, dari Brasilia di timur sampai Meksiko di barat. Kekayaan alam yang terdapat di wilayah ini, terutama emas, dieksploitasi dan dijarah oleh Spanyol. Orang-orang Amerindian (penduduk asli (Indian) Amerika Latin) tidak hanya kehilangan tanah dan kekayaan alam tapi juga juga martabat pribadi sebagai manusia yang bebas. Mereka dijadikan tenaga kerja paksa dan murah, diperlakukan sebagi budak dan dibunuh secara kejam kalau melakukan perlawanan. Maka realitas kemiskinan Amerika Latin dewasa ini tidak muncul dengan tiba-tiba tetapi sesungguhnya mempunyai asal usul historis berabad-abad lampau dengan dimulainya penjajahan oleh Spanyol.
            Pada abad ke-19, banyak wilayah di Amerika Latin berhasil memperoleh kemerdekaan mereka dari kolonialisme politik dan berdiri menjadi negara-negara baru, tetapi muncul kolonialisme ekonomi Barat berupa kapitalisme yang melanjutkan eksploitasi di Amerika Latin. Namun ternyata sistem kapitalisme ini tidak membawa kemakmuran bagi rakyat seperti yang telah dijanjikan, tetapi sebaliknya mengakibatkan kemiskinan. Wajah kemiskinan yang tragis tersebut tampak secara konkret dalam diri orang-orang miskin, yakni manusia-manusia yang hidup tanpa kelayakan manusiawi baik dalam aspek fisik seperti lapar, sakit, tidak memiliki tempat tinggal maupun dalam aspek psikis seperti hilangnya kebebasan pribadi untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan. Oleh karena itu menurut Gutierrez, realitas kemiskinan di Amerika Latin identik dengan kematian[2]. Dengan demikian, realitas yang terjadi bukan hanya sekedar menyangkut masalah sosial tetapi juga masalah iman, yakni situasi yang bertentangan dengan nilai-nilai fundamental injili: kasih, keadilan, kebenaran, kedamaian. Hal yang terjadi di Amerika Latin adalah situasi yang bertentangan dengan kerajaan kehidupan (Kerajaan Allah) yang diproklamasikan Tuhan[3].
            Diperhadapkan pada realitas yang demikian, Gereja Amerika Latin tidak banyak melakukan hal-hal yang sangat berarti, kecuali kegiatan sosial kariatif seperti mandirikan dan mengelola rumah sakit, panti asuhan, dan lembaga pendidikan. Gereja Amerika Latin hanya menangani hal-hal religious, sedangkan urusan kemasyarakatan seperti kemiskinan adalah masalah Negara. Gereja terlibat dalam kegiatan sosial kariatif tersebut karena Gereja mau menyumbang demi kemajuan manusia  yang sekaligus anggota masyarakat secular dan anggota Gereja. Jadi, mereka memindai, gereja mengurus hal-hal yang sacral dan Negara mengatur hal-hal yang profan karena menurut Gereja, dengan demikian mereka akan bersikap netral. Padahal sesungguhnya Gereja secara tidak langsung telah mendukung kemiskinan. Netral  berarti diam dan pasif terhadap kenyataan yang ada. Artinya, Gereja turut melanggengkan kemiskinan meskipun realitas tersebut merupakan ketidakadilan sosial dan bertentangan dengan nilai-nilai Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus dan Gereja.
Selain itu, pada umumnya Gereja Latin juga menjalin hubungan yang erat dengan elit kaya dan berkuasa serta mengambil jarak terhadap kelompok besar umat yang miskin. Sementara kelompok elit tersebut menggunakan gereja untuk menjaga dan membela kepentingan mereka. Oleh karena itu Gereja Aerika Latin menjadi gereja “kaum kaya” yang mempertahankan kemapanan.

Gustavo Gutierrez
Gustavo Gutierrez Merino adalah salah satu tokoh yang berkembang dalam arus praksis perjuangan pelbagai kelompok untuk mewujudkan kehadiran gerejani baru yang cocok dengan warta Alkitabiah sekaligus kontekstual dalam kenyataan konkret Amerika Latin. Ia lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, Ibu kota Peru. Ia menghabiskan sebagian besar masa hidupnya dengan hidup dan bekerja di antara orang-orang miskin di Lima. Gustavo Gutierrez terkenal sebagai teolog pembebasan. Pengalaman tinggal bersama orang-orang kecil yang tertindas mendorongnya untuk melakukan kontekstualisasi dalam berteologi. Menurut Gutierrez pendekatan teologi Barat yang dia pelajari tidak dapat diaplikasikan dalam situasi masyarakat di Amerika Latin. Menurutnya, butuh pendekatan khas untuk berteologi dalam situasi yang sangat memprihatinkan di Amerika Latin waktu itu. Namun, teologi pembebasan tidak selalu mendapat dukungan dari pihak Gereja sendiri.
Karya terobosan Gutierrez, A Theology of Liberation: History, Politics, Salvation (1971) (“Suatu Teologi Pembebasan: Sejarah, Politik, Keselamatan”), menjelaskan pemahamannya tentang kemiskinan Kristen sebagai suatu tindakan solidaritas penuh cinta kasih dengan kaum miskin maupun sebagai protes pembebasan melawan kemiskinan. Menurut GutiĆ©rrez, “pembebasan” sejati mempunyai tiga dimensi utama: pertama, ia mencakup pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan. Kedua, pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marjinal, mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari “segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat”. Ketiga, teologi pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan dengan orang-orang lain. Kedosaan manusia menurut Gutierrez adalah suatu situasi kedosaan manusia yang tidak hanya berakar dalam hati manusia sebagai pribadi, tapi terlebih pada zaman ini berakar pada struktur sosial, ekonomi, politik, budaya dan keagamaan yang memeras dan menindas banyak orang miskin demi keuntungan sekelompok kecil masyarakat[4].
            Salah satu tokoh yang berpengaruh besar terhadap Gutierrez adalah Bartolome de las Casas (1484-1566), seorang imam Dominikan yang menjadi pembela orang-orang Indian Amerika terhadap penjajahan Spanyol. Gutierrez melihat kesamaan besar antara apa yang ditemukan oleh de las Casas pada abad ke-16 dan kenyataan Amerika Latin pada abad ke-20 ini, yakni kenyataanya adalah banyak orang-orang mati sebelum waktunya.

Mengenai metode, praksis, jelasin diagram, dengan melihat kej sjrh pristiwa kmudian d refleksi, beda praksis dan teol bab I, baca pendahuluan dan bab I.



Teologi Pembebasan Gutierrez
Dalam analisis Gutierrez terhadap realitas kemiskinan Amerika Latin, ia emmperlihatkan bahwa persoalan itu bukan hanya menyangkut masalah sosial melainkan juga masalah teologis. Kemiskinan Amerika Latin adalah kenyataan ketidakadilan social dalam masyarakat yang sekaligus bertentangan dengan kehendak Allah yang menghendaki keadilan bagi semua orang. Bagi Gutierrez ada tiga cara berteologi. Pertama, teologi sebagai sumber hidup rohani. Kedua, teologi sebagai pengetahuan rasional. Ketiga, teologi sebagai refleksi kritis dalam terang Sabda Allah atas praksis hidup orang Kristen. Gutierrez menekankan fungsi yang ketiga, meskipun fungsi ini tidak dapat dipisahkan dari kedua fungsi lainnya. Maka, teologi pembebasan Gutierrez adalah refleksi kritis dalam terang Sabda Allah atas praktis hidup orang Kristen, yang ikut melibatkan diri dalam usaha pembebasan[5].  Motivasi dasarnya adalah keyakinan bahwa masyarakat yang tidak adil sama sekali tidak sesuai dengan tuntutan injil. Mereka merasa tidak pantas disebut orang Kristen jika tidak ikut berjuang melakukan pembebasan, meskipun kesadaran ini masih dalam taraf intuisi serta meraba-raba. Tugas teologi adalah menunjukkan dengan jelas hubungan antara iman dan perjuangan pembebasan. Namun, bukan berarti bahwa refleksi teologi dimaksudkan sebagai iustifikasi praksis yang sudah ada. Sebaliknya, refleksi teologi, menurut Gutierrez, harus menunjukkan nilai positif dan nilai negatif yang ada dalam praksis pembebasan. Bahkan, dari refleksi teologi diharapkan ada koreksi-koreksi atas kesalahan-kesalahan yang mungkin ada, misalnya ada aspek hidup Kristen yang dilupakan karena orang terlalu tergesa-gesa mengambil tindakan politik. Inilah yang dimaksud dengan teologi sebagai refleksi kritis.
Teologi pembebasan Gutierrez dapat dikatakan bukan hanya bersifat orthodoxy (memantapkan ajaran) dan bukan pula hanya orthopraxis (menuntut dijalankan dalam tindakan mendunia dan menuju Allah), tetapi bersifat heteropraxis yakni orthodoxy sejauh bersumber pada orthopraxis (rumusan ajaran sejauh berpangkal dari pengalaman konkret dan kembali secara baru kepada tindakan yang dituntut oleh rumusan ajaran tersebut)[6]. Jadi, dapat dikatakan bahwa konteks teologi Gustavo Gutierrez adalah keterlibatan konkret mewujudkan kehadiran Gereja dalam terang Injil dan yang berakar secara konkret dalam realitas kemiskinan Amerika Latin.
Gutierrez melihat bahwa orang Kristen yang ikut melibatkan diri dalam usaha pembebasan telah yakin, meski secara samar-samar dan intuitif, keterlibatannya merupakan tuntutan iman. Itu berarti bahwa refleksi teologi atas praksis pembebasan diharapkan memperjelas hubungan antara iman dan praksis pembebasan. Refleksi teologi diharapkan menjawab soal hubungan antara iman dan eksistensi manusia, soal-soal sosial, aksi politik atau hubungan antara Kerajaan Allah dan bangunan dunia. Ringkasnya, bagaimana hubungan antara iman dan penciptaan manusia baru yang merupakan tujuan perjuangan pembebasan. Usaha pembebasan itu menurut Gutierrez harus dilakukan oleh rakyat yang tertindas sendiri agar usaha pembebasan itu otentik dan konkret.
Praksis teologi pembebasan adalah praksis untuk pembebasan manusia. Bukan saja pembebasan dari kendala sosial, ekonomi, dan politik di dunia, melainkan pembebasan yang utuh dan menyeluruh sebagaimana manusia dicintai Tuhan Allah untuk berpartisipasi dalam citra-Nya. Bagi Gutierrez, “pembebasan”  bukan saja sebuah proses, melainkan juga sebuah kerangka berbagai tataran arti yang saling bertautan. Pembebasan berkaitan erat dengan penyelamatan. Pembebasan berarti tindakan penyelamatan Allah yang terwujud dalam sejarah manusia. Oleh karena itu, menurut Gutierrez, pembebasan Kristiani mencakup tiga level berbeda yang tidak dapat dipisahkan, yakni[7]:
1.      Pembebasan ekonomi, sosial, dan politik yakni pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik atau kemiskinan dan ketidakadilan
2.      Pembebasan manusiawi, yang menciptakan manusia baru dalam masyarakat solidritas yang baru yakni pembebasan dari kekerasan yg melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru dan digairahkannya solidaritas antar manusia atau lingkaran setan kekerasan yang menantang orang untuk berperan serta dalam kematian Kristus atau praktik-praktik yang menentang usaha pemanusiaan manusia sebagai tindakan pembebasan Tuhan.
3.      Pembebasan dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan Allah dan semua manusia yakni pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan Tuhan dan semua manusia atau pembebasan spiritual menuju pemenuhan Kerajaan Allah atau pembebasan mental, yakni penerjemah dan penginkarnasian iman dan cinta dalam sejarah yang konkret yang ditandai oleh salib cinta yang mengalahkan kuasa dosa yang terjelma dalam situasi kekerasan.

Dari refleksi kritis Gutierrez, jelas bahwa yang diperjuangkan oleh para teolog pembebasan Amerika Latin bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa. Gutierrez membicarakan kemiskinan dalam dua level, yakni level sosiologis (kemiskinan adalah ketidakadilan struktural) dan level teologis (kemiskinan merupakan situasi penuh dosa atau dosa struktural).  Keterlibatannya dalam dunia kaum miskin ini membentuk perspektif-perspektif baru dalam pemikiran Gutierrez, yakni: (1) kemiskinan itu destruktif; (2) struktural (tidak aksidental); (3) kaum miskin adalah suatu kelas sosial[8]. Namun konsekuensinya adalah pemihakan kepada kaum miskin berarti konfrontasi dengan golongan penindas. Hal ini merupakan suatu tindakan politik, yakni perjuangan menegakkan keadilan melalui perlawanan terhadap struktur penindasan. Keterlibatan itu juga menuntut pembacaan kembali terhadap Kitab Suci. Pembacaan kembali Kitab Suci berarti penemuan kembali pesan dasar Kitab Suci bahwa kebenaran adalah sesuatu yang harus dilakukan. Iman, percaya kepada kebenaran tidak sekedar mengakui bahwa Tuhan itu ada, tetapi berarti pula melibatkan seluruh kehidupan bagi Tuhan dan semua orang. Dalam konteks Amerika Latin, iman berarti sebuah praksis yang membebaskan (liberating praxis), yakni perjuangan melawan dosa yang nyata dalam struktur-struktur social yang menindas. Dengan demikian, pembebasan Kristiani yang mencakup pula pembebasan politis.



Metode Teologi Pembebasan
Teologi pembebasan adalah sebuah gebrakan baru dalam teologi. Gebrakan itu pertama-tama bukan terletak pada obyek kajian dan isi melainkan pada metodologinya, pada cara berteologi. Cara berteologinya adalah transformatif, bertolak dari praksis atau iman yang dialami dalam sejarah tertentu (berpraksis dan berteologi). Cara demikian berbeda dengan metode berteologi di Barat (Eropa dan Amerika Utara). Metode teologi barat, atau teologi tradisional, atau teologi dominan, bertolak dari teori, dari iman yang diajarkan dan dipikirkan. Oleh karena itu, seringkali kritik atas teologi pembebasan datang dari tradisi teologi barat.
Metodologi teologi pembebasan betolak dari reaksi terhadap sistem masyarakat yang tidak adil. Teologi pembebasan menangani orang yang dianggap bukan orang lagi (non person). Gutierrez berhasil membangun sebuah metode baru, yakni berteologi dari praksis kaum miskin dan mengembangkan sebuah bahasa teologi dalam konteks Amerika Latin. Praksis adalah aksi sekaligus kontemplasi yang disebut dengan ‘saat diam di hadapan Allah’ dan teologi adalah refleksi kritis yang disebut ‘saat bicara tentang Allah’. Teologi merupakan kegiatan kedua yang mengikuti kegiatan pertama, yakni kontemplasi dan aksi dalam kehidupan.
Kegiatan pertama adalah praksis (diam di hadapan Allah). Dalam fase diam di hadapan Allah, ada dua segi yang terkait. Pertama, diam dalam kontempolasi (saat doa/ibadat) artinya manusia diresapi oleh rahmat Allah, oleh karya penyelamatan, dan pembebasan Allah yang merupakan saat khusus dalam kehidupan yang membiarkan diri diresapi seutuhnya oleh rahmat Allah sehingga manusia memperoleh kekuatan untuk melakukan perjuangan konkret. Kedua, diam dalam aksi artinyaketerlibatan diri dalam kehidupan bersama orang lain sesuai dengan kehendak Allah. Dalam konteks Amerika Latin, keterlibatan itu adalah suatu bentuk solidaritas bersama kaum miskin dan tertindas dalam memperjuangkan pembebasan. [Dengan kata lain, dalam kontempolasi (doa), manusia bertemu dengan Allah dalam ketenangan. Dalam aksi, manusia bertemu dengan Allah dalam keterlibatannya melaksanakan kehendak Allah dalam hidup].
Kegiatan kedua adalah berteologi (bicara tentang Allah). Berteologi di Amerika Latin berarti merefleksikan iman dalam penderitaan kaum miskin dan tertindas dengan bertitik tolak dari harapan dan perjuangan pembebasan mereka. Teologi Amerika Latin adalah teologi dari perpektif orang miskin, yakni mereka yang selama ini tereksploitasi secara ekonomis, tertindas secara politis, termarjinalkan secara sosial maupun terlecehkan secara kultural.
Metode teologi Gutierrez dapat digambarkan sebagai berikut: (1)Praksis, yaitu menghayati kehidupan sebagai orang beriman dalam aksi dan kontemplasi; (2) Analisis sosial dalam rangka memahami realitas secara tepat; (3) Refleksi teologis (pembacaan injil), yakni menafsir Kitab Suci dan tradisi dengan memperhitungkan praksis dan analisi sosial; (4) Praksis baru dalam usaha mewujudkan Gereja kaum miskin.




[1] E. Dussel, A History of the Church in Latin America, (Grandrapids, Michigan: Eerdmans, 1981) hal. 26-31.
[2] Gustavo Gutierrez, We Drink from our own Wells, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1984) hal. 9.
[3] Ibid., hal. 10.
[4] Fr. Wahono Nitiprawiro, Teologi pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 84.

[5]
[6] Ibid., hal.
[7] Ibid,. hal. 16-17
[8] Martin Chen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar