Teologi
Pembebasan di Amerika Latin
1 Yohanes
3:18
Anak-anakku!
Janganlah kita mengasihi hanya di mulut atau hanya dengan perkataan saja.
Hendaklah kita mengasihi dengan kasih yang sejati, yang dibuktikan dengan
perbuatan kita.
Teologi
pembebasan
Teologi
pembebasan adalah
sebuah paham tentang peranan agama dalam ruang lingkup lingkungan sosial. (Teologi Pembebasan adalah sebuah
paham baru tentang peranan gereja dalam lingkungan sosial). Dengan kata lain
teologi ini adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai
keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Dalam kasus kelahiran Teologi
Pembebasan, masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Paham ini hampir
terdapat pada semua agama di dunia. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu
komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam
perenungan-perenungan keagamaan. Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung
jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan
struktural.
Permulaan teologi pembebasan
ditetapkan Erique Dussel pada tahun 1564 ketika Bartolome de Las Casas, sebagai
cikal bakal teologi pembebasan, mengatakan bahwa dia merasa dipilih Tuhan
menjadi pelayan untuk mengangkat martabat orang-orang Indian yang telah
dirampas kebebasannya dengan tidak adil.
Amerika
Latin
Sejak
Colombus menemukan beberapa pulau di Karibia, Kolumbia, pada abad ke- 15,
sejarah kolonialisme mulai terpahat di benua Amerika Latin[1].
Negara-negara Eropa, terutama Spanyol berdatangan ke benua ini dan menjajah
rakyat Amerika Latin. Mereka menguasai daerah yang membentang dari Meksiko di
utara sampai Argentina di selatan, dari Brasilia di timur sampai Meksiko di
barat. Kekayaan alam yang terdapat di wilayah ini, terutama emas, dieksploitasi
dan dijarah oleh Spanyol. Orang-orang Amerindian (penduduk asli (Indian)
Amerika Latin) tidak hanya kehilangan tanah dan kekayaan alam tapi juga juga
martabat pribadi sebagai manusia yang bebas. Mereka dijadikan tenaga kerja
paksa dan murah, diperlakukan sebagi budak dan dibunuh secara kejam kalau
melakukan perlawanan. Maka realitas kemiskinan Amerika Latin dewasa ini tidak
muncul dengan tiba-tiba tetapi sesungguhnya mempunyai asal usul historis
berabad-abad lampau dengan dimulainya penjajahan oleh Spanyol.
Pada abad ke-19, banyak wilayah di
Amerika Latin berhasil memperoleh kemerdekaan mereka dari kolonialisme politik
dan berdiri menjadi negara-negara baru, tetapi muncul kolonialisme ekonomi
Barat berupa kapitalisme yang melanjutkan eksploitasi di Amerika Latin. Namun
ternyata sistem kapitalisme ini tidak membawa kemakmuran bagi rakyat seperti
yang telah dijanjikan, tetapi sebaliknya mengakibatkan kemiskinan. Wajah
kemiskinan yang tragis tersebut tampak secara konkret dalam diri orang-orang
miskin, yakni manusia-manusia yang hidup tanpa kelayakan manusiawi baik dalam
aspek fisik seperti lapar, sakit, tidak memiliki tempat tinggal maupun dalam
aspek psikis seperti hilangnya kebebasan pribadi untuk menyampaikan aspirasi
dan tuntutan. Oleh karena itu menurut Gutierrez, realitas kemiskinan di Amerika
Latin identik dengan kematian[2].
Dengan demikian, realitas yang terjadi bukan hanya sekedar menyangkut masalah
sosial tetapi juga masalah iman, yakni situasi yang bertentangan dengan
nilai-nilai fundamental injili: kasih, keadilan, kebenaran, kedamaian. Hal yang
terjadi di Amerika Latin adalah situasi yang bertentangan dengan kerajaan
kehidupan (Kerajaan Allah) yang diproklamasikan Tuhan[3].
Diperhadapkan pada realitas yang
demikian, Gereja Amerika Latin tidak banyak melakukan hal-hal yang sangat
berarti, kecuali kegiatan sosial kariatif seperti mandirikan dan mengelola
rumah sakit, panti asuhan, dan lembaga pendidikan. Gereja Amerika Latin hanya
menangani hal-hal religious, sedangkan urusan kemasyarakatan seperti kemiskinan
adalah masalah Negara. Gereja terlibat dalam kegiatan sosial kariatif tersebut
karena Gereja mau menyumbang demi kemajuan manusia yang sekaligus anggota masyarakat secular dan
anggota Gereja. Jadi, mereka memindai, gereja mengurus hal-hal yang sacral dan
Negara mengatur hal-hal yang profan karena menurut Gereja, dengan demikian
mereka akan bersikap netral. Padahal sesungguhnya Gereja secara tidak langsung
telah mendukung kemiskinan. Netral
berarti diam dan pasif terhadap kenyataan yang ada. Artinya, Gereja
turut melanggengkan kemiskinan meskipun realitas tersebut merupakan
ketidakadilan sosial dan bertentangan dengan nilai-nilai Kerajaan Allah yang
diwartakan Yesus dan Gereja.
Selain
itu, pada umumnya Gereja Latin juga menjalin hubungan yang erat dengan elit
kaya dan berkuasa serta mengambil jarak terhadap kelompok besar umat yang
miskin. Sementara kelompok elit tersebut menggunakan gereja untuk menjaga dan membela
kepentingan mereka. Oleh karena itu Gereja Aerika Latin menjadi gereja “kaum
kaya” yang mempertahankan kemapanan.
Gustavo
Gutierrez
Gustavo Gutierrez Merino adalah
salah satu tokoh yang berkembang dalam arus praksis perjuangan pelbagai
kelompok untuk mewujudkan kehadiran gerejani baru yang cocok dengan warta
Alkitabiah sekaligus kontekstual dalam kenyataan konkret Amerika Latin. Ia
lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, Ibu
kota Peru. Ia menghabiskan sebagian besar masa hidupnya dengan hidup dan
bekerja di antara orang-orang miskin di Lima. Gustavo Gutierrez terkenal
sebagai teolog pembebasan. Pengalaman tinggal bersama orang-orang kecil yang
tertindas mendorongnya untuk melakukan kontekstualisasi dalam berteologi.
Menurut Gutierrez pendekatan teologi Barat yang dia pelajari tidak dapat
diaplikasikan dalam situasi masyarakat di Amerika Latin. Menurutnya, butuh
pendekatan khas untuk berteologi dalam situasi yang sangat memprihatinkan di
Amerika Latin waktu itu. Namun, teologi pembebasan tidak selalu mendapat
dukungan dari pihak Gereja sendiri.
Karya terobosan Gutierrez, A
Theology of Liberation: History, Politics, Salvation (1971) (“Suatu
Teologi Pembebasan: Sejarah, Politik, Keselamatan”), menjelaskan pemahamannya
tentang kemiskinan Kristen sebagai suatu tindakan solidaritas penuh cinta kasih
dengan kaum miskin maupun sebagai protes pembebasan melawan kemiskinan. Menurut
GutiĆ©rrez, “pembebasan” sejati mempunyai tiga dimensi utama: pertama, ia
mencakup pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung
menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan. Kedua, pembebasan mencakup emansipasi
kaum miskin, kaum marjinal, mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari
“segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan
bebas dan dengan bermartabat”. Ketiga, teologi pembebasan mencakup pembebasan
dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan dengan
orang-orang lain. Kedosaan manusia menurut Gutierrez adalah suatu situasi kedosaan
manusia yang tidak hanya berakar dalam hati manusia sebagai pribadi, tapi
terlebih pada zaman ini berakar pada struktur sosial, ekonomi, politik, budaya
dan keagamaan yang memeras dan menindas banyak orang miskin demi keuntungan
sekelompok kecil masyarakat[4].
Salah satu tokoh yang berpengaruh
besar terhadap Gutierrez adalah Bartolome de las Casas (1484-1566), seorang
imam Dominikan yang menjadi pembela orang-orang Indian Amerika terhadap
penjajahan Spanyol. Gutierrez melihat kesamaan besar antara apa yang ditemukan
oleh de las Casas pada abad ke-16 dan kenyataan Amerika Latin pada abad ke-20
ini, yakni kenyataanya adalah banyak orang-orang mati sebelum waktunya.
Mengenai
metode, praksis, jelasin diagram, dengan melihat kej sjrh pristiwa kmudian d
refleksi, beda praksis dan teol bab I, baca pendahuluan dan bab I.
Teologi Pembebasan Gutierrez
Dalam analisis Gutierrez terhadap
realitas kemiskinan Amerika Latin, ia emmperlihatkan bahwa persoalan itu bukan
hanya menyangkut masalah sosial melainkan juga masalah teologis. Kemiskinan
Amerika Latin adalah kenyataan ketidakadilan social dalam masyarakat yang
sekaligus bertentangan dengan kehendak Allah yang menghendaki keadilan bagi
semua orang. Bagi Gutierrez ada tiga cara berteologi. Pertama, teologi sebagai
sumber hidup rohani. Kedua, teologi sebagai pengetahuan rasional. Ketiga,
teologi sebagai refleksi kritis dalam terang Sabda Allah atas praksis hidup
orang Kristen. Gutierrez menekankan fungsi yang ketiga, meskipun fungsi ini
tidak dapat dipisahkan dari kedua fungsi lainnya. Maka, teologi pembebasan
Gutierrez adalah refleksi kritis dalam terang Sabda Allah atas praktis hidup
orang Kristen, yang ikut melibatkan diri dalam usaha pembebasan[5].
Motivasi dasarnya adalah keyakinan bahwa masyarakat yang tidak adil sama sekali
tidak sesuai dengan tuntutan injil. Mereka merasa tidak pantas disebut orang
Kristen jika tidak ikut berjuang melakukan pembebasan, meskipun kesadaran ini
masih dalam taraf intuisi serta meraba-raba. Tugas teologi adalah menunjukkan dengan
jelas hubungan antara iman dan perjuangan pembebasan. Namun, bukan berarti
bahwa refleksi teologi dimaksudkan sebagai iustifikasi praksis yang sudah ada.
Sebaliknya, refleksi teologi, menurut Gutierrez, harus menunjukkan nilai
positif dan nilai negatif yang ada dalam praksis pembebasan. Bahkan, dari
refleksi teologi diharapkan ada koreksi-koreksi atas kesalahan-kesalahan yang
mungkin ada, misalnya ada aspek hidup Kristen yang dilupakan karena orang
terlalu tergesa-gesa mengambil tindakan politik. Inilah yang dimaksud dengan
teologi sebagai refleksi kritis.
Teologi pembebasan Gutierrez dapat
dikatakan bukan hanya bersifat orthodoxy (memantapkan ajaran) dan bukan
pula hanya orthopraxis (menuntut dijalankan dalam tindakan mendunia dan
menuju Allah), tetapi bersifat heteropraxis yakni orthodoxy
sejauh bersumber pada orthopraxis (rumusan ajaran sejauh berpangkal dari
pengalaman konkret dan kembali secara baru kepada tindakan yang dituntut oleh
rumusan ajaran tersebut)[6].
Jadi, dapat dikatakan bahwa konteks teologi Gustavo Gutierrez adalah
keterlibatan konkret mewujudkan kehadiran Gereja dalam terang Injil dan yang
berakar secara konkret dalam realitas kemiskinan Amerika Latin.
Gutierrez melihat bahwa orang
Kristen yang ikut melibatkan diri dalam usaha pembebasan telah yakin, meski
secara samar-samar dan intuitif, keterlibatannya merupakan tuntutan iman. Itu
berarti bahwa refleksi teologi atas praksis pembebasan diharapkan memperjelas
hubungan antara iman dan praksis pembebasan. Refleksi teologi diharapkan menjawab
soal hubungan antara iman dan eksistensi manusia, soal-soal sosial, aksi
politik atau hubungan antara Kerajaan Allah dan bangunan dunia. Ringkasnya,
bagaimana hubungan antara iman dan penciptaan manusia baru yang merupakan
tujuan perjuangan pembebasan. Usaha pembebasan itu menurut Gutierrez harus
dilakukan oleh rakyat yang tertindas sendiri agar usaha pembebasan itu otentik
dan konkret.
Praksis teologi pembebasan adalah
praksis untuk pembebasan manusia. Bukan saja pembebasan dari kendala sosial,
ekonomi, dan politik di dunia, melainkan pembebasan yang utuh dan menyeluruh
sebagaimana manusia dicintai Tuhan Allah untuk berpartisipasi dalam citra-Nya.
Bagi Gutierrez, “pembebasan” bukan saja
sebuah proses, melainkan juga sebuah kerangka berbagai tataran arti yang saling
bertautan. Pembebasan berkaitan erat dengan penyelamatan. Pembebasan berarti
tindakan penyelamatan Allah yang terwujud dalam sejarah manusia. Oleh
karena itu, menurut Gutierrez, pembebasan Kristiani mencakup tiga level berbeda
yang tidak dapat dipisahkan, yakni[7]:
1. Pembebasan
ekonomi, sosial, dan politik yakni pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi,
sosial, dan politik atau kemiskinan dan ketidakadilan
2. Pembebasan
manusiawi, yang menciptakan manusia baru dalam masyarakat solidritas yang baru
yakni pembebasan dari kekerasan yg melembaga yang menghalangi terciptanya
manusia baru dan digairahkannya solidaritas antar manusia atau lingkaran setan
kekerasan yang menantang orang untuk berperan serta dalam kematian Kristus atau
praktik-praktik yang menentang usaha pemanusiaan manusia sebagai tindakan
pembebasan Tuhan.
3. Pembebasan
dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan Allah dan semua manusia
yakni pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan
dengan Tuhan dan semua manusia atau pembebasan spiritual menuju pemenuhan
Kerajaan Allah atau pembebasan mental, yakni penerjemah dan penginkarnasian
iman dan cinta dalam sejarah yang konkret yang ditandai oleh salib cinta yang
mengalahkan kuasa dosa yang terjelma dalam situasi kekerasan.
Dari refleksi kritis Gutierrez,
jelas bahwa yang diperjuangkan oleh para teolog pembebasan Amerika Latin bukan
saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai
peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta
sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa. Gutierrez
membicarakan kemiskinan dalam dua level, yakni level sosiologis (kemiskinan
adalah ketidakadilan struktural) dan level teologis (kemiskinan merupakan
situasi penuh dosa atau dosa struktural). Keterlibatannya
dalam dunia kaum miskin ini membentuk perspektif-perspektif baru dalam
pemikiran Gutierrez, yakni: (1) kemiskinan itu destruktif; (2) struktural
(tidak aksidental); (3) kaum miskin adalah suatu kelas sosial[8].
Namun konsekuensinya adalah pemihakan kepada kaum miskin berarti konfrontasi
dengan golongan penindas. Hal ini merupakan suatu tindakan politik, yakni
perjuangan menegakkan keadilan melalui perlawanan terhadap struktur penindasan.
Keterlibatan itu juga menuntut pembacaan kembali terhadap Kitab Suci. Pembacaan
kembali Kitab Suci berarti penemuan kembali pesan dasar Kitab Suci bahwa
kebenaran adalah sesuatu yang harus dilakukan. Iman, percaya kepada kebenaran
tidak sekedar mengakui bahwa Tuhan itu ada, tetapi berarti pula melibatkan
seluruh kehidupan bagi Tuhan dan semua orang. Dalam konteks Amerika Latin, iman
berarti sebuah praksis yang membebaskan (liberating
praxis), yakni perjuangan melawan dosa yang nyata dalam struktur-struktur
social yang menindas. Dengan demikian, pembebasan Kristiani yang mencakup pula
pembebasan politis.
Metode Teologi Pembebasan
Teologi pembebasan adalah sebuah gebrakan baru dalam
teologi. Gebrakan itu pertama-tama bukan terletak pada obyek kajian dan isi
melainkan pada metodologinya, pada cara berteologi. Cara berteologinya adalah
transformatif, bertolak dari praksis atau iman yang dialami dalam sejarah
tertentu (berpraksis dan berteologi). Cara demikian berbeda dengan metode
berteologi di Barat (Eropa dan Amerika Utara). Metode teologi barat, atau
teologi tradisional, atau teologi dominan, bertolak dari teori, dari iman yang
diajarkan dan dipikirkan. Oleh karena itu, seringkali kritik atas teologi
pembebasan datang dari tradisi teologi barat.
Metodologi teologi pembebasan betolak dari reaksi terhadap
sistem masyarakat yang tidak adil. Teologi pembebasan menangani orang yang
dianggap bukan orang lagi (non person). Gutierrez berhasil membangun
sebuah metode baru, yakni berteologi dari praksis kaum miskin dan mengembangkan
sebuah bahasa teologi dalam konteks Amerika Latin. Praksis adalah aksi
sekaligus kontemplasi yang disebut dengan ‘saat diam di hadapan Allah’ dan
teologi adalah refleksi kritis yang disebut ‘saat bicara tentang Allah’. Teologi
merupakan kegiatan kedua yang mengikuti kegiatan pertama, yakni kontemplasi dan
aksi dalam kehidupan.
Kegiatan pertama adalah praksis (diam di hadapan Allah). Dalam
fase diam di hadapan Allah, ada dua segi yang terkait. Pertama, diam dalam
kontempolasi (saat doa/ibadat) artinya manusia diresapi oleh rahmat Allah, oleh
karya penyelamatan, dan pembebasan Allah yang merupakan saat khusus dalam
kehidupan yang membiarkan diri diresapi seutuhnya oleh rahmat Allah sehingga
manusia memperoleh kekuatan untuk melakukan perjuangan konkret. Kedua, diam dalam
aksi artinyaketerlibatan diri dalam kehidupan bersama orang lain sesuai dengan
kehendak Allah. Dalam konteks Amerika Latin, keterlibatan itu adalah suatu
bentuk solidaritas bersama kaum miskin dan tertindas dalam memperjuangkan
pembebasan. [Dengan kata lain, dalam
kontempolasi (doa), manusia bertemu dengan Allah dalam ketenangan. Dalam aksi,
manusia bertemu dengan Allah dalam keterlibatannya melaksanakan kehendak Allah
dalam hidup].
Kegiatan kedua adalah berteologi (bicara tentang Allah).
Berteologi di Amerika Latin berarti merefleksikan iman dalam penderitaan kaum
miskin dan tertindas dengan bertitik tolak dari harapan dan perjuangan
pembebasan mereka. Teologi Amerika Latin adalah teologi dari perpektif orang
miskin, yakni mereka yang selama ini tereksploitasi secara ekonomis, tertindas
secara politis, termarjinalkan secara sosial maupun terlecehkan secara kultural.
Metode teologi Gutierrez
dapat digambarkan sebagai berikut: (1)Praksis, yaitu menghayati kehidupan
sebagai orang beriman dalam aksi dan kontemplasi; (2) Analisis sosial dalam
rangka memahami realitas secara tepat; (3) Refleksi teologis (pembacaan injil),
yakni menafsir Kitab Suci dan tradisi dengan memperhitungkan praksis dan
analisi sosial; (4) Praksis baru dalam usaha mewujudkan Gereja kaum miskin.
[1]
E. Dussel, A History of the Church in Latin America, (Grandrapids,
Michigan: Eerdmans, 1981) hal. 26-31.
[2]
Gustavo Gutierrez, We Drink from our own Wells, (Maryknoll,
New York: Orbis Books, 1984) hal. 9.
[4]
Fr.
Wahono Nitiprawiro, Teologi pembebasan,
Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987),
hal. 84.
[6]
Ibid., hal.
[7]
Ibid,. hal. 16-17
[8]
Martin Chen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar