Selasa, 01 Mei 2012

Pendidikan Agama Kristen Pra-Reformasi


Pendidikan Agama Kristen Pra-Reformasi
Dalam perkembangan sejarah Eropa dan dunia, pada abad 16 adalah hal yang sangat penting. Reformasi gereja oleh kaum reformis menimbulkan banyak gejolak yang terjadi di masyrakat. Pada saat itu, pendidikan di sekolah dan universitas sedang berkembang pesat. Dengan begitu, banyak perubahan yang terjadi diantaranya adalah timbulnya rasa nasionalisme di Spanyol, Portugal, Belanda, dan Inggris. Penemuan mutakhir pada zaman itu pun bermunculan, salah satunya adalah mesin cetak oleh Yohanes Gutenberg pada 1438 dan juga teori heliosentris oleh Kopernikus.
Pergerakan kaum humanis dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan mereka terhadap gereja. Awalnya ada pembaruan di ordo biarawan dan biarawati. Lalu ada Wycliffe di Inggris, Hus di Ceko, dan Groote di Belanda. Mereka bertiga mengatakan kekuasaan paus adalah sumber penyakit yang ada dalam gereja. Namun hanya Groote yang menunjukkan rasa tidak puasnya dengan jalan lain. Dia mendirikan rumah persaudaraan atau Brethren of the Common Life). Dalam lembaga ini, polanya mirip dengan biara hanya saja ini terbuka bagi siapa saja. Pembelajaran yang diperoleh bukan saja tentang kehidupan spiritual mereka dengan Sang Pencipta tapi juga nilai-nilai moral dan ilmu pengetahuan. Para pendidik dalam lembaga ini mengajar dengan memahami setiap anak didik dan tidak ada kekerasan dalam mencapai kedisiplinan. Anak didik dihormati sebagai pribadi yang utuh. Tamatan lembaga ini tercatat sebagai tokoh-tokoh penting pada zamannya. Salah satunya adalah Erasmus.
Erasmus rajin menuntut ilmu untuk mencapai cita-citanya meraih gelar Doktor Teologi. Karya pentingnya adalah naskah Perjanjian Baru yang paling asli yang ia cari lalu ia terjemahkan ke dalam bahasa Latin. Dalam hidupnya, Erasmus tidak ingin ada pembatasan kemerdekaan pribadi atas dirinya dan orang lain.
Erasmus, dalam buku Boehlke, disebut-sebut memiliki dua peran dalam pendidikan agama Kristen. Yang pertama adalah sebagai pendidik yang oikumenis. Apa yang dia pikirkan adalah setiap warga Kristen harus mengamalkan kelakuan Yesus, terutama dalam hal rendah hati, lemah lembut, murah hati, kasih, damai, dan kerelaan mengampuni serta berkorban demi sesama. Dia juga mengajarkan bahwa upacara gerejawi bukanlah suatu hal yang mutlak. Ia juga menantang masyarakat dan gereja atas pandangan pernikahan, hak memperoleh pendidikan, perceraian, dan hidup selibat.
Menurutnya, pernikahan harus dibangun atas dasar persetujuan calon mempelai, walaupun orangtua menolak hal tersebut. Mengenai perempuan yang pada saat itu tidak berhak menerima pendidikan, Erasmus mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan harusnya memperoleh hak yang sama dalam menerima pendidikan. Tentang perceraian, Erasmus memungkinkan hal itu jika hubungan suami-istri itu tidak dapat terselamatkan lagi karena kehilangan dasarnya, yaitu cinta kasih. Mengenai kehidupan selibat, Erasmus berdasar pada Kej. 2:23-24 di mana Allah memerintahkan manusia untuk menikah sehingga manusia tidak boleh melarang apa yang sudah Allah rencanakan sejak awal untuk kebahagiaan orang lain.
Peran Erasmus yang kedua ialah sebagai pendidik khusus. Menurutnya, pendidikan di mana pun harus mengembangkan karunia pelajar dalam suasana yang memberikan kebebasan berpikir dan mendorong lahirnya inovasi baru dalam terang Injil. Melalui pendidikan, Erasmus berharap dapat menghasilkan orang-orang Kristen yang beradab. Erasmus tidak menggunakan istilah kurikulum, dia memakai buku sumber untuk merumuskan pembelajaran yang akan diajarkan. Dasar pembelajarannya adalah Alkitab, khususnya Injil. Tidak ada metodologi khusus yang digunakannya. Dia hanya mengemas pengajarannya dalam bentuk yang menarik untuk mengajar. Ia mengembangkan suasana kelas yang melancarkan pengalaman belajar dan tidak ada kekerasan dalam kelas. Baginya, kekerasan itu adalah tanda bahwa pendidik itu tidak mempersiapkan diri untuk mengajar.


Masuk Zaman Reformasi
1.    Martin Luther
Ø Dasar Teologisnya bagi Pendidikan Agama Kristen
Dalam hal ini, Boehlke mengambil empat dasar teologis yang terdapat di dalam tulisan Luther yang menjadi landasan bagi teori dan praktek pendidikan agama Kristen: (a) Keadaan berdosa setiap warga: banyak teolog lain yang juga mengakui dosa asal, tetapi pengakuan itu cenderung tetaplah sebuah ajaran kering saja. Namun berbeda halnya dengan Luther yang melalui pengalamannya[1] mendorong dia untuk mencari jalan keluar yang mengenyangkan kelaparan jiwa, yang menurutnya tidak bisa diatasi melalui seluk-beluk sistem sakramental yang merupakan soko-guru gereja zamannya. Karena itu baginya usaha menyelamatkan jiwa menjadi pendorong utama menuju jalan memperbarui gereja dan bukan pertengkarannya dengan lembaga Kepausan;
(b) Pembenaran oleh iman: melalui penderitaan jiwanya, Luther diyakinkan tentang kebenaran dosa sebagai faktor dalam diri seiap orang. Dosa itu meresap ke dalam semua kebajikan insane di samping tindakannya yang buruk. Jadi, dampaknya mengendalikan segala kegiatan yang diprakarsai manusia termasuk pendidikan agama Kristen. Oleh karena itu ia mutlak diperhatikan oleh para pendidik di kalangan jemaat/ gereja; (c) Imamat semua orang percaya: menurut Luther, di dalam pengalaman pembenaran karena iman tersebut tersirat pula persamaan hak setiap orang di hadapan Allah. Tidak ada satu golongan tertentu yang menjadi penyalur anugerah Tuhan sehingga kemudian disampaikan kepada orang yang lebih rendah martabatnya. Sebenarnya semua oleh iman telah dijadikan makhluk baru dalam Yesus Kristus. Dengan kata lain, setiap warga adalah imam bagi warga seimannya; (d) Firman Allah: dasar teologi ini sudah tersirat dalam ketiga dasar lainnya, karena semuanya berakar dalam Alkitab[2], yaitu: Yesus secara pribadi dan ajaran-Nya aalah Firman Allah, Alkitab sebagai Firman dan Firman sebagai Amanat Allah yang Diberitakan kepada Para Warga kristen.

Ø  Dasar “sosiologi” untuk Pendidikan Agama Kristen
Dasar sosiologi yang dimaksudkan di sini tentang bagaimana dinamika dan unsur sosial turut memperlancar pelaksanaan pembaruan gereja dan masyarakat atau sebaiknya menghambatnya. Dalam arti inilah akan dibahas tentang padangan Luther terhadap dua bagian pokok dalam masyarakat, yaitu: Orangtua dan Penguasa sipil. Hal tersebut dilakukan karena kemerosotan mutu pendidikan yang terjadi di sekolah-sekolah dan universitas-universitas merupakan salah satu dampak sampingan dari pembaruan gereja di Jerman.
Luther mengakui peranan pokok yang diperankan oleh para orangtua dalam mendidik anak mereka. Namun bagi Luther justru tugas inilah yang dilalaikan, karena pertimbangan ekonomi. Untuk memperkuat argumentasinya tentang kewajiban yang harus dilakukan oleh orangtua, Luther memberikan tiga hal pokok, yaitu contoh dari alam: dengan memberikan gambaran bagaimana binatang-binatang yang tidak berakal selalu memelihara serta melatih anak-anak mereka dan jika dibandingkan dengan para orangtua, maka para orangtua tentu akan jauh memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka; kebutuhan masyarakat: Luther juga sangat prihatin kepada orangtua yang merasa puas apabila putranya hanya menerima pendidikan paling dasariah saja, yang dipandang cukup untuk tugasnya (misalnya menjadi seorang pedagang). Pandangan tersebut menurut Luther tidaklah bertanggung jawab, karena masyarakat menyeluruh termasuk kaum pedagang memerlukan pemuda yang diajar sedalam-dalamnya demi keamanan dan kesejahteraan umum; dan yang terakhir kehendak Allah: berdasarkan kehendak Tuhan, yang ditarik Luther dalam Mazmur 78:5[3], di mana para orangtualah yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak mereka. Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa seluruh tugas dibebankan kepada orangtua saja. Semua penguasa sipil, khususnya mereka yang bekerja di dalam pemerintahan wajib menyediakan dana dan sarana demi kepentingan pendidikan bagi kaum muda.
Luther memberikan beberapa alasan mengapa para pemimpin pemerintahan wajib menyediakan kesempatan belajar bagi kaum muda, antara lain: kalau orangtua tidak mau mendidik anak-anak, atau tidak mampu, atau mampu tetapi mempunyai waktu atau uang cukup untuk pendidikan, maka terdapat satu lembaga yang mempunyai keuangan yang dapat dipergunakan untuk kesejahteraan umum. Walaupun dana yang dikeluarkan tidak sedikit jumlahnya, namun Luther telah memikirkannya yaitu melalui kas gereja, para dermawan, dan kas Negara.

Ø  Asas-asas Pelayanan Pendidikan Agama Kristen di Jemaat
(1)   Tujuan Pendidikan Agama Kristen
Di dalam tulisan-tulisannya, Luther memberikan beberapa pokok pendidikan yang semuanya itu berakar paling tidak dalam dasar teologi dan sosiologi yang dibahas di atas. Pertama, dengan pendidikan Kristen[4] Luther ingin menyadarkan anak didik dan orang dewasa tentang keberdosaan mereka dan untuk menjelaskannya Luther membahas arti Dasa Titah dalam Ketekismusnya. Dengan harapan mereka mengetahui hukum yang menyatakan tuntunan Allah terhadap para warga jemaat entah muda atau lebih dewasa, agar mereka mengerti betapa lebarnya jurang yang memisahkan manusia dari Allah dan mengantar mereka kepada kesadaran akan dosa mereka pribadi. Kedua, para warga hendaknya mendengar isi Kabar Baik dalam Yesus Kristus serta mengamalkannya. Ketiga, para pelajar diharapkkan memahami doa, serta melaksanakan kehidupan doa. Itulah sebabnya mengapa Doa Bapa Kami merupakan doa teladan bagi kaum tua dan muda.

(2)   Pengajar dalam Pelayanan Pendidikan Agama Kristen
Luther mengakui bahwa Allah sendiri merupakan pengajar pokok dalam pendidikan agama Kristen dan bukan manusia. Bagi Luther, gaya mengajar yang diberikan oleh Allah sebaiknya menjadi contoh bagi semua perkara pedagogis. Dalam hal ini, Luther menjelaskan bahwa peran orangtua, terutama ayah dan guru sangat menentukan dalam memberikan pengajaran kepada anak.

(3)   Pelajar
Dalam penjelasan sebelumnya, Luther secara tersirat telah menyebutkan beberapa jenis pelajar. Luther berpandangan bahwa yang menyandang status pelajar bukan hanya anak-anak/ nara didik saja, akan tetapi orangtua dan guru pun wajib menyandangnya. Menurut Luther, orangtua dan guru haruslah terlebih dahulu diberikan pengajaran, sebelum mereka mulai mengajar. Hal ini dilakukan agar para orangtua dan guru memiliki dasar yang kuat dalam mengajar anak-anak/ nara didik. Para pelajar kedua adalah para anak-anak/ nara didik, baik itu laki-laki maupun perempuan. Menurut pandangan umum pada saat itu, pendidikan untuk anak perempuan sangat disepelekan. Masyarakat menganggap bahwa hanya anak laki-laki saja yang dapat menerima pendidikan, bukan perempuan. Namun pandangan ini ditolak oleh Luther. Menurut Luther, tingakatan pendidikan yang diterima anak perempuan haruslah sama dengan anak laki-laki.
Para pelajar lainnya yang menerima perhatian Luther adalah para orang dewasa. Luther berpandangan bahwa orang dewasa pun perlu diperlengkapi dengan pengetahuan dan pengertian tentang iman Kristen. Serta untuk mereka yang melek huruf, Luther telah menyusun Katekismus Besar, sebuah sumber tercetak yang menolong orang dewasa memperoleh pengetahuan minimal tentang iman Kristen. Tetapi kalau tidak dibuat demikian, maka secara praktis terdapat wadah lain lagi yang tersedia, yaitu kebaktian pagi pada umumnya, dan khotbah pada khususnya.
Golongan pelajar yang terakhir adalah para imam, biarawan dan awam yang ingin dipersiapkan untuk dapat berkhotbah. Untuk para pelayan ini, Luther menyusun khotbah khusus yang dapat dibaca pada jam kebaktian di jemaat lainnya. Sebagiannya dimanfaatkan pula sebagai contoh atau pedoman bagi orang yang sedang dipersiapkan untuk memberitakan injil. Khotbah-khotbah yang disalin itu kemudian dicetak dan disebar-luaskan ke mana-mana.

(4)   Kurikulumnya
Pandangan Luther tentang kurikulum tidaklah sama dengan pandangan pada umumnya. Pandangan tersebut coba digolongkan oleh Boehlke ke dalam tiga hal. Pertama, membahas tentang ruang lingkup kurikulum Luther. Kedua, isi Katekismus merupakan kurikulumnya yang paling lengkap dan teratur. Ketiga, pandangannya tentang isi kurikulum di sekolah-sekolah[5]. Penjelasan mengenai ketiga akan dijelaskan di bawah ini.
(a)   Ruang lingkup Kurikulum yang Luther sebutkan sepintas lalu dalam karyanya
Di dalam ruang lingkup kurikulumnya, Luther memasukkan unsur musik sebagai sarana belajar bagi semua pelajar. Menurutnya, musik merupakan salah satu karunia Tuhan yang paling indah. Tetapi Luther tidak hanya memasukkan vak musik ke dalam kurikulumnya. Dia sendiri telah menggugah paling tidak sepuluh buah nyanyian rohani, yang di antaranya termasuk nyanyian Reformasi yang terkenal, yaitu “Allahku benteng yang Teguh” (“Ein Feste Burg Ist Unser Gott”).[6]
Selain vak musik, Luther juga menerapkan vak sejarah ke dalam keurikulumnya. Luther berpandangan bahwa sejarah tidak lain daipada kisah yang bersaksi atas pemeliharaan Allah sepanjang abad terhadap manusia. Dengan mengetahui serta memahami arti baik buruknya sejumlah peristiwa yang terjadi pada masa lampau, maka warga diperkaya dalam keperluan mengambil keputusan bermakna pada zaman sekarang ini. Selain itu, vak ilmu hitung dan olahraga yang menurut Luther juga perlu ada dalam sekolah-sekolah, di samping semua vak khusus yang berkaitan dengan bahasa Latin. Walaupun semua vak-vak di atas adalah vak-vak pelengkap yang penting, namun bagi Luther tidak ada pokok pelajaran yang lebih penting daripada Alkitab. Pembelajaran tentang Alkitab dipermudah dengan adanya terjemahan Kitab Suci dalam bahasa Jerman.

(b)   Isi Katekismus
Pada tahun 1529, Luther menghasilkan dua buku katekismus, yaitu yang Kecil untuk anak-anak dan Besar untuk kaum dewasa. Kedua-duanya berporos pada lima tema, yaitu Dasa Titah, Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami, Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus, serta Jabatan Kunci. Luther berusaha menjelaskan arti setiap tema dengan menyusun suatu seri pertanyaan yang diajukan kepada anak didik oleh guru/ pendeta, dan jawaban yang hendaknya diungkapkan oleh setiap pelajar. Sebagai contoh kita dapat melihat beberapa pokok pertanyaan yang termuat dalam Katekismus Kecil[7], antara lain tentang: (i) Pengakuan Iman Rasuli: “Aku percaya kepada Allah Bapa yang Mahakuasa, yang menciptakan bumi dan semesta langit”; (ii) Doa Bapa Kami: “Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”; dan (iii) Sakramen Perjamuan Kudus.
Luther berpandangan bahwa katekismus itu hendaknya dipakai oleh pendeta sebagai dasar khotbahnya, tetapi pada pokoknya ia merupakan sumber pendidikan agama Kristen di rumah tangga. Dengan buku katekismus dalam tangannya, seorang ayah mampu mendidik anak-anaknya dalam pokok-pokok iman Kristen, walaupun pendidikannya terbatas.
(c)    Isi Kurikulum di Sekolah-sekolah
Selain menentukan pokok kurikulumnya, Luhter juga telah menentukan isi dari kurikulumnya, antara lain: (i) Anak-anak yang duduk di sekolah pada tahap pemula akan diajarkan membaca. Buku pertamanya memuat alphabet (abjad), Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli di samping doa-doa. Selain itu, anak-anak tidak belajar membaca dan menulis bahasa Jerman, melainkan bahasa Latin. Oleh sebab itu, setiap anak diwajibkan menghafalkan beberapa kata setiap hari dan kemudian mengucapkannya kembali secara tertulis dan lisan; (ii) Bagian Kedua: Di dalam tahap ini adalah anak-anak yang sudah mampu membaca dan menulis, mata pelajarannya mencakup tiga vak pokok, yaitu: tata bahasa Latin, Dongeng-dongeng Aesop dan pendidikan agama Kristen; (iii) Bagian Ketiga: Hanyalah anak-anak yang paling mampu dalam tata bahasa Latin boleh naik tingkat bagian ketiga ini. Sepanjang pagi waktunya dimanfaatkan membaca karangan klasik dalam bahasa Latin di samping mengupas berbagai pokok tata bahasa yang ada di dalamnya. Dalam seminggu anak-anak diwajibkan menyusun sebuah syair dalam bahasa Latin. Selain itu, pembicaraan dalam semua mata pelajaran hendaknya berlangsung dalam bahasa Latin juga. Vak yang lebih ringan seperti musik dipelajari sesudah makan siang. Anehnya, vak pendidikan agama Kristen hanya dipelajari secara tidak langsung melalui kebaktian saja.
Sesungguhnya gaya mengajar yang disarankan Luther lebih maju ketimbang pendekatan yang lazim dikenal di sekolah-sekolah sezamannya, namun dengan semua tekanan atas menaati pola tetap, kekhawatiran terhadap ucapan pribadi, khususnya dalam penelaahan katekismus, dan latihan terus-menerus menyatakan metode-metode mengajar yang dinamakan pembiasaan (Conditioning)[8].

Setelah melihat penjelasan tentang pemikiran yang Luther berikan untuk pendidikan agama Kristen, paling tidak kita mendapatkan beberapa pokok yang bermakna terhadap perkembangan pendidikan agama kristen, antara lain: (a) Luther mengaitkan teologi sebagai dasar pendidikannya, serta (b) berpandangan bahwa semua orang berhak belajar membaca dan menulis sebagai dasar pendidikan bagi anak laki-laki dan perempuan. (c) Luther juga menyusun bahan pendidikan khusus untuk anak didik, yaitu Katekismus kecil. (6) Dia sangat prihatin pada perbedaan sifat setiap anak, sebagai suatu fakta yang perlu diperhatikan sebagai dasar mengembangkan tugas-tugas belajar yang sesuai dan penggunaan kurikulum yang digunakan.
(7) Walaupun gaya mengajarnya tidak sempurna, namun ia cenderung lebih maju ketimbang pendekatan yang dominan di antara kebanyakan pendidik sezamannya. Hal itu terlihat dalam pada saat (8) Dia menitik-beratkan peranan musik dalam proses mendidik orang-orang di samping menjadi unsur liturgi. (9) Dia juga amat sadar akan kemungkinan-kemungkinan yang tersirat dalam pengalaman pendidikan, dengan berakibat kepada warga Kristen yang berhak bertumbuh dalam iman Kristen sehingga dihayatinya dalam kehidupan sehari-hari.
 

2.  Calvin
Pemikiran Calvin tentang pendidikan, jarang sekali ia bahas, karena ia mentitik-beratkan dogmatika bukan pendidikan maupun pembinaan, tetapidengan mutu karyanya yang begitu tinggi, dia berhak di gelari “Pengajar gereja”[9]. Calvin ditinggal ibu kangdungnya sejak ia berumur tiga tahun, dan tak lama kemudian setelah ibunya meninggal, ayahnya menikah lagi dan akhirnya calvin tinggal bersama ibu tirinya dan ayah kandungnya. Semasa itu Calvin hidup dengan kepribadian yang disiplin dan serius karena ia dididik oleh ayahnya. Ia mendapatkan gelar doctor hukum di universitas Orléans. Pada 1536 ia menetap di Jenewa, ketika ia dihentikan dalam perjalannya ke Basel, oleh bujukan pribadi dari William Farel, seorang reformator. Ia menjadi pendeta di Strasbourg dari 1538-1541, lalu kembali ke Jenewa. Ia tinggal di sana hingga kematiannya pada 1564. Yohanes Calvin berniat menikah untuk menunjukkan sikap positifnya terhadap pernikahan daripada kehidupan selibat. Pada 1539 ia menikah dengan Idelette de Bure, janda seseorang yang dulunya anggota Anabaptis di Strasbourg. Idelette mempunyai seorang anak laki-laki dan perempuan dari almarhum suaminya. Namun hanya anak perempuannya yang pindah bersamanya ke Jenewa. Pada 1542, suami-istri Calvin mendapatkan seorang anak laki-laki yang dua minggu kemudian meninggal dunia. Idelette Calvin meninggal pada 1549.
Calvin memiliki dasar teologi tentang pendidikan agama Kristen, yaitu kedaulatan Allah, Alkitab sebagai firman Allah, ajaran tentang manusia, ajaran gereja, dan ajaran tentang hubungan gereja dengan Negara[10].
Ø Apa itu pendidikan agama Kristen[11]
Calvin menjelaskan tentang pendidikan Kristen yang yang mendasarkan bahwa orang Kriten pada mulanya sudah dipilih oleh Allah sehingga sering timbul pertanyaan bahwa mengapa perlu mendidik jika Allah sudah memilih orang orang tertentu(Kristen)?[12]. Hal ini Calvin menjelaskan bahwa setiap manusia yang di pilih oleh Allah harus memiliki tanggung jawab terhadap hidupnya. Boehlke menjelaskan melalui perumpamaan bayi yang lahir tanpa apa-apa, dengan dorongan alamiah hingga bertumbuh. Dalam pertumbuhan manusia yang semakin dewasa harus diberi pendidikan untuk lebih mengenal Allah, seperti yang diajarakan Yesus yaitu kasih. Menurut Boehlke calvin memandang pendidikan agama Krsiten adalah pemupukan akal orang-orang percaya dan anak-anak mereka dengan Firman Allah dibawah bimbingan Roh Kudus melalui sejumlah pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja, sehingga pertumbuhan rohani akan dihasilkan oleh mereka yang semakin dalam, pertumbuhan ini menjadikan tindakan-tindakan kasih terhadap sesamanya.[13]

Ø Tujuan Pendidikan Kristen[14]
Pandangan calvin terhadap tujuan pendidikan dipandang melalui hidup Yesus yang sebagai seorang yang rajin berdoa dan beribadah. Calvin melihat diri Yesus yang hidup tanpa menginginkan seturut dengan kemauan-Nya melainkan demi keprihatinan Allah terhadap manusia. Yesus yang menjalankan tugasnya yang begitu berat tetapi Ia bertanggung jawab untuk melaksanakan tugasnya. Sehingga tujuan Calvin adalah setiap warga yang mawas diri terhadap kepentingan dirinya sehingga ia melupakan bahwa dirinya bukan kepunyaannya sendiri melainkan kepunyaan Allah. Pendidikan agama Kristen mempunyai tujuan untuk mendidik para putra putri melalui ibu (gereja), dan dilibatkan dalam penelaahan Alkitab sebagaimana menurut roh kudus, dan mengambil bagian dalam kebaktian, dan dapat mejalankan tugas panggilan sehari-hari.[15]

Ø Para pelajar[16]
Calvin menggunakan contoh gereja purba, yaitu keperluan untuk mendidik anak-anak(laki-laki dan perempuan) dalam ajaran iman. Jemaat kedua adalah anak muda, mereka harus wajib menghadiri kebaktian minggu maupun hari-hari lainnya yang sudah terlebih dahulu di beritahukan. Jika terlambat maupun tidak hadir  tanpa izin maka akan di berikan denda, kebaktian sangatlah penting bagi pendidikan Kristen menurut Luther dan Calvin, karena mereka berdua memandang khotbah sebagai wadah yang disediakan Tuhan untuk mendidik  orang dewasa. Golongan ketiga adalah golongan pelajar maupun pendeta. Calvin ingin pemimpin gereja dipimpin oleh orang-orang yang terpelajar, mereka-merekalah yang mengerti akan Alkitab.

Ø Siapakah pendidik Kristen?[17]
Pengjaran berawal dari firman Allah yang tertulis dalam Alkitab, karena dalam kehidupan di Alkitab terdapat pengalaman mengajar dan belajar. Allah mengajar melalui orang-orang yang menaklukan dirinya kepada Firman Allah. Menurut Calvin  pengajar di bagi menjadi dua yaitu Pendeta dan guru. Di jenewa Calvin menggabungkan jabatan tersebut, yaitu pendeta yang sebagai gembala Jemaat dan ia juga mengajar sebagai guru dan melayani jemaat sebagai guru juga. Selain Allah dan pendeta sebagai pengajar, perlu juga orang lain di ajar untuk dapat menjadi pengajar, sehingga didirikannya Akademi di Jenewa.[18] Sehingga keteratuaran yang terjadi dalam pengajaran di gereja akan semakin kuat karena adanya dukungan satu sama lain.

Ø Kurikulum[19]
Menurut Calvin katekimus sangat penting, katekimus hampir sama dengan ilmu pendidikan. Terdapat empat tinjauan umum sebelum terbentuknya isinya yaitu, pertama tugas menyusun katekimus(disusun oleh orang-orang yang terpercaya), kedua bahan studi bagi anak yang disesuaikan menurut dengan kemampuan anak didik, ketiga pengalaman pengajaran katekimus menentukan pembentukan kurikulum, keempat buku kategkismus hendak memupuk hubungan di antara gereja-gereja yang terpisah. Kurikulum ini mencakup pada empat tema pokok yaitu  hukum, iman, doa dan sakramen-sakramen.
Ø  Tanggapan
            Peranan Calvin dalam rangka Pendidikan agama Kristen begitu terlihat, terbukti perananya dalam pembentukan kurikulum. peranan Tanggung Jawab bagi Calvin hal yang penting, yanitu tanggung jawab sebagai orang Kristen, maksudnya warga Kristen yang tidak semena-mena dengan Kekristenannya, tanggung jawab terhadap Tuhan dengan cara menyangkal dirinya untuk kehidupan dalam rangka melayani, bukan mementingkan dirinya sendiri. Gereja sebagai sumber dari pengajaran, bagi Calvin harus memiliki tanggung jawab dalam pelayanannya salah satunya ialah mendidik. Calvin pun menginginkan pengajar-pengajar yang berada di gereja memiliki sebuah kecerdasan didalam bidang Pendidikan Kristen sehingga tahapan yang seharusnnya diberikan oleh pelajar tepat. sehingga  tujuan dari pendidikan Kristen dapat terwujud dalam kehidupan.

3.    Ignatius Loyola
Tokoh ini adalah salah satu pendiri ordo Yesuit pada masa reformasi. Beliau adalah pensiunan tentara. Ia mengalami cedera akibat perang di Pamplona, Spanyol Utara. Dalam keadaan cedera, Ignatius memikirkan sesuatu seperti yang dilakukan Santo Dominikus atau Santo Fransiskus. Akhirnya, dengan izin Paus, Ignatius mendirikan Ordo Yesuit sebagai tanda dari kontra-reformasi. Dengan begitu dia pensiun sebagai ksatria duniawi dan menjadi bagian dari ksatria rohani.
Sebagai veteran, Ignatius menganggap pentingnya komando dari atasan kepada bawahan. Komando utama ada di tangan Yesus, dan sebagai bawahannya kita semua harus menaati perintah demi kemuliaan Kristus di manapun juga. Selain dasar militer, Ignatius juga menekankan dasar kebatinan atau kehidupan rohani. Kehidupan rohani, ia tekankan, agar kita aktif. Tidak seperti Doa Bapa Kami yang mengatakan “..datanglah kerajaanMu”. Dia menegaskan bahwa kita harus rajin mengetuk pintu Sorga hingga pintu itu terbuka. Artinya, kita harus mencari kehendak Allah, bukan menanti apa yang Allah perintahkan. Selain itu, sebagai seorang Katolik yang saleh, Ignatius melatih rohani para pengikutnya dalam Ordo Yesuit untuk melayani gereja Katolik pada akhirnya.
Ignatius mendaftar beberapa hal yang menjadi petunjuk betapa pentingnya kehidupan gerejawi.1)Mengesampingkan urusan pribadi untuk kepentingan gereja, mempelai perempuan Kristus, dan ibu dari semua orang percaya. 2)Mengaku dosa dan mengikuti ekaristi sesering mungkin (sekali seminggu). 3)Menjunjung tinggi keikutsertaan dalam segala upacara gerejawi dan peraturannya. 4)Menghargai jabatan gerejawi, keperawanan, pertarakan, dan pernikahan. 5)Memuji ketaatan, kemiskinan, dan kesucian. Ini adalah tiga landasan penting alam Ordo Yesuit yang dipimpinnya. 6)Memuji barang keramat kaum suci serta berdoa atau berziarah. 7)Menghormati peraturan gerejawi. 8)Harus mengatakan atau menyampaikan hal-hal yang positif tentang para pejabat gerejawi di depan umum. 9)menekankan perbuatan baik sebagai bentuk kesetiaan kita kepada Tuhan selain percaya dan beriman padaNya.
Asas-asas pendidikan Kristen menurut Ignatius pokoknya adalah bagaimana menaklukan kehendak manusia menjadi kehendak Allah yang dirumuskan oleh Paus dan gereja. Maka dari itulah ia menekankan pelatihan rohani bagi para muridnya. Wadah pendidikan Kristen sendiri adalah sekolah Yesuit yang ia dirikan pada saat itu. Dalam sekolah itu, Ignatius menyusun sebelas asas umum. Dalam asas-asas itu, secara keseluruhan, menekankan adanya keseimbangan atas nilai spiritual dan juga moral. Kegiatan di luar kegiatan rohani pun menjadi pilihan, selama hal itu dapat mendukung iman dan tujuan akhir mereka yaitu memperoleh keselamatan dan mengerti serta memahami maksud Allah.
Sekolah ordo Yesuit dibiayai oleh donatur, baik yang diminta maupun sukarela. Namun lebih dari itu, Ignatius memilih seorang kepala atau rektor untuk mengelola dana-dana yang masuk untuk kepentingan lembaganya. Pada saat itu, biaya sekolah para anak didik ditanggung juga oleh donatur. Maka dari itu pendidikan ini sampai pada tombol “off”. Tidak hanya sekolah, Ordo ini juga memiliki universitas. Pengajarannya hampir sama dengan unversitas lain pada abad pertengahan. Hanya saja pengajaran ilmiah diramu dengan pengajaran spiritual. Hasilnya, banyak tamatan universitas ini yang memegang teguh iman Katolik Roma.
Sebagai seorang Kristen yang baik, Ignatius menjadikan Yesus sebagai pengajar utamanya. Sebagaimana dilihatnya cara Yesus mengajar, maka menurutnya guru pun harus bisa seperti Yesus dalam hal mengajar. Guru-guru pada sekolah yang berada di bawah naungan Ordo ini harus taat pada disiplin yang telah ditetapkan oleh ordo tersebut. Pelajarnya adalah anak laki-laki berusia 14-23 tahun. Para pelajar ini terdiri dari dua, yaitu yang benar-benar (ingin menjadi bagian dari Serikat Yesuit (skolastik) dan yang hanya ingin belajar lebih lanjut (ekstern). Kebanyakan mereka, setelah lulus, menjadi pemimpin gereja yang berpengaruh dalam penanggulangan reformasi di Eropa.
Susunan pembelajaran di sekolah adalah pemakaian bahasa Latin untuk menyampaikan gagasan dalam tulisan maupun lisan. Ada juga pembelajaran tentang isi iman kristen atau katekismus. Para pelajar diajar untuk bertindak moral sehingga menjadi suatu kebiasaan dalam diri mereka.
Metodenya ada tiga yaitu di kelas, latihan rohani, dan latihan ketaatan. Berikut akan dijelaskan satu persatu, antara lain:
Ø Di kelas
Jumlah anak didik dalam satu kelas bisa mencapai 200 orang. Maka guru bertindak aktif, menjelaskan pelajaran kepada setiap murid. Dalam murid sendiri dibagi kelompok-kelompok belajar untuk memeprmudah tugas guru. Agar tidak bosan, guru melibatkan siswa dalam kegiatan semacam perlombaan. Perlombaan ini bisa perorang atau perkelompok.
Ø Latihan rohani
Latihan ini dilakukan dengan menghadirkan sosok Kristus dalam pikiran hingga sosok itu benar-benar meresap ke dalam pribadi setiap pelajar. Latihan ini meliputi pengakuan dosa, kehidupan Yesus, penderitaan Yesus, dan kebangkitan serta kenaikanNya ke surga.
Ø Latihan ketaatan
Sebagaimana sistem militer yang mengutamakan ketaatan setiap orang kepada perintah, demikian halnya dalam pendidikan Kristen ini. Ignatius memahami bahwa kesetiaan adalah yang terpenting dari pada korban sembelihan, seperti yang dipahami oleh Gregorius. Ketaatan terdiri dari tiga tingkatan. Yang pertama adalah ketaatan akan perintah atasan. Yang kedua kemauan atasan menjadi kemauan bawahan. Yang ketiga adalah pemahaman bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang diingini atasannya.
Ø  Tanggapan
Ignatius memiliki latar belakang militer yang kuat. Dengan sistem pendidikan seperti itu, akan ada senioritas dan kecemburuan sosial sehingga tidak mendidik anak didik untuk mengembangkan bakatnya. Mereka harus taat pada yang lebih tua dan melakukan apa yang baik di mata mereka, mau tak mau. Hal ini akan sangat sulit jika diterapkan pada remaja saat ini, di mana kebabasan adalah hal utama. Lagi pula sudah diatur oleh undang-undang bahwa setiap anak memiliki hak dan kewajiban tersendiri. Untuk taat kepada Tuhan, tentu saja itu baik. Jadi, ketaatan di sini seharusnya lebih merujuk ketaatan pada Tuhan, dan orangtua juga tapi harus juga memperhatikan kebutuhan dan aspirasi anak itu sendiri. Di gereja juga masih beranggapan bahwa yang muda masih belum tahu apa-apa sehingga yang lebih tua merasa lebih benar dan lebih tahu. Hal ini yang perlu diperbaiki dari paradigma masyarakat dan gereja. Sudah saatnya masyarakat dan gereja belajar menerima inovasi yang baru untuk sesuatu yang baik.

4.    Kesimpulan dan Tanggapan Kelompok
Kelompok dengan segala keterbatasannya memohon maaf jika laporan presentasi kami terdapat kekurangan maupun kesalahan. Namun ini merupakan usaha kami untuk bisa menyajikan materi kepada rekan-rekan sekalian. Untuk menutup presentasi ini, kami menyimpulkan bahwa ada kesamaan antara tiga tokoh yang kami soroti kali ini yaitu Luther, Calvin, dan Ignatius. Mereka bertiga memfokuskan pandangan pendidikan mereka kepada anak-anak usia remaja (kira-kira SMP dan SMA). Selain pada objek pendidikan, pedoman pendidikan mereka pun sama-sama didasarkan pada Alkitab. Mereka juga menempatkan Yesus sebagai pengajar yang baik dan teladan bagi para pengajar. Perbedaan pun juga terdapat dan terungkap dengan sangat jelas. Pemahaman mereka mengenai cara mendidik dipengaruhi dengan latar belakang mereka pribadi. Contohnya Ignatius, dengan latar belakang militer ia memilih latihan ketaatan sebagai salah satu pembelajaran. Menurut Calvin, seorang reformis, pendidikan pada dasarnya adalah pendidikan Kristen sehingga tidak perlu lagi pendidikan Kristen.
Menurut kelompok, pemikiran ketiga tokoh itu sangat berguna bagi pendidikan sekarang ini. Walaupun muncul beberapa abad yang lalu, tapi konstribusi mereka sangat penting. Mereka mulai merumuskan bagaimana pendidikan yang baik dengan kurikulum serta tenaga pengajar yang memadai untuk mengembangkan pendidikan, khususnya pendidikan Kristen. Mereka sudah meletakkan dasar yang baik, yaitu Alkitab dan Yesus. Walaupun memberikan sumbangan yang berbeda tapi mereka sudah sangat memahami kebutuhan anak didik mengenai pendidikan yang dapat membuat mereka lebih cerdas, baik intelektual maupun spiritual dan moral.




[1] Pengalaman yang terjadi pada saat perjalanan ke Erfurt, membuat kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat dari masa depannya yang sudah jelas pada saat itu. (Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran Dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, hlm. 309)
[2] Ibid., hlm. 328-334
[3] Mazmur 78:5 – “Telah ditetapkanNya peringatan di Yakub dan hukum Taurat diberiNya di Israel; nenek moyang kita diperintahkanNya untuk memperkenalkannya kepada anak-anak mereka..” (Ibid., hlm. 337) bnd dengan kalimat yang terdapat di dalam Alkitab BIS
[4] Bagi Luther, pendidikan agama Kristen dan pendidikan umum sama artinya, kecuali taraf yang pendidikan lebih tinggi (Ibid., hlm 340)
[5] Pandangannya dapat kita lihat dalam buku yang berjudul “ Instructions for the Visitors of Parish Pastors in Electoral Saxony”, dalam Bergendorff, Luther’s Works, vol. 40 (Ibid., hlm. 349)
[6] Tiga ratus tahun kemudian, penggugah ternama Felix Mendelsohn menggugah “Simfoni Reformsi” dalam rangka HUT ke-300 pengakuan Augsburg pada tahun 1830.
[7] Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat melalui penjelasan Boehlke dalam buku yang berjudul “Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen”, hlm. 352-353
[8] Berdasarkan penilaian Strauss (Ibid., hlm. 358)
[9] Ibid. hlm 384.
[10] Ibid. hlm 385.
[11] Ibid. hlm 411.
[12] Ibid.
[13] Ibid. hlm 413
[14] Ibid.
[15] Ibid. hlm 413-415
[16] Ibid. hlm 415
[17] Ibid. hlm 417.
[18] Ibid. hlm  418
[19] Ibid. hlm.  419.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar