Dasar-dasar
Kurikulum dalam Pengajaran Kristen
I.
Pendahuluan
Setelah
pembahasan dasar-dasar Alkitab, teologis, dan filosofis sebagai dasar utama
pada pengajaran, kita juga telah diperlengkapi dengan dasar historis dan
sosiologis sebagai faktor penuntun implementasi secara kontekstual yang sama
pentingnya dengan dasar utama. Kita juga telah membahas dasar psikologis yang
menuntun kita mengetahui bagaimana cara orang membangun/berkembang, belajar,
dan berinteraksi dengan sesamanya. Kini, kita akan membahas dasar kurikulum
yang merupakan isi materi pembelajaran yang akan menuntun pengajar, naradidik
maupun lembaga pengajaran dalam
mengimplementasikan ajaran.
Sebagaimana telah disinggung di atas, ada banyak
faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu kurikulum, baik kurikulum secara umum
maupun kurikulum secara khusus (kurikulum Kristiani). Kali ini kelompok akan
mencoba membahas faktor-faktor tersebut. Adapun materi yang disampaikan
kelompok hanya berdasarkan satu sumber pustaka saja karya Robert R. Pazmino yaitu Foundational
Issues in Christian Education-An Introduction in Evangelical Perspective, bab
7.
II.
Definisi
kurikulum menurut beberapa tokoh
Buku
yang dikarang Pazmino menyediakan definisi dari beberapa tokoh :
-
Kurikulum
sebagai isi yang tersedia (content made
available) untuk para siswa.
à Dwayne F. Huebner
-
Kurikulum
sebagai perencanaan dan pengalaman belajar yang terarah dari para naradidik. àJohn Dewey
-
Kurikulum
sebagai pengalaman aktual dari para naradidik atau partisipan.
à Alice Miel
-
Secara
umum, kurikulum termasuk material dan pengalaman dalam belajar. Secara
spesifik, kurikulum adalah rangkaian pelajaran yang tertulis untuk belajar yang
digunakan oleh edukasi Kristen.
à Lois E. LeBar
-
Kurikulum
sebagai organisasi dari kegiatan belajar yang diarahkan oleh guru dan bertujuan
akan adanya perubahan perilaku.
à Lois E. LeBar
-
Kurikulum
sebagai isi yang tersedia (content made
available) untuk para naradidik dan pengalaman belajar aktual mereka yang
dibimbing oleh guru.
à Robert W. Pazmino
Tantangan
dalam membuat kurikulum adalah untuk menyatukan baik isi dan pengalaman
Kristiani sehingga pikiran dan kehidupan naradidik dipengaruhi dan diubah oleh
kebenaran Tuhan. Lois E. LeBar
berpendapat bahwa isi kekristenan tanpa pengalaman adalah hampa dan pengalaman
tanpa isi adalah kebutaan. Isi yang esensial dari pengajaran Kristiani adalah
kebenaran – kebenaran sebagaimana diungkapkan / diwahyukan oleh Kristus dan
dalam Alkitab melalui bimbingan roh kudus.
Agar
dapat menggabungkan baik isi maupun pengalaman yang dialami, pengajar Kristen
dituntut untuk memperhatikan baik kebenaran dan kasih dalam pengajaran mereka
serta pengalaman yang dialami oleh murid-muridnya. Pengajar dituntut untuk
memperhatikan setiap muridnya yang berasal dari berbagai latar belakang yang
berbeda, memperhatikan hal-hal yang mereka bagikan kepada muridnya dan
mengungkapkan potensi transformatif dalam kehidupan muridnya, dan memperhatikan
konteks di mana murid tersebut hidup, termasuk komunitas mereka dan dunia yang
merefleksikan kasih Allah pada seluruh ciptaan-Nya.
III.
Pertanyaan-Pertanyaan
Mendasar
Ada
pertanyaan-pertanyaan mendasar yang perlu dipikirkan dalam membuat sebuah
kurikulum :
-
Apakah
yang akan diajarkan secara spesifik ?
-
Mengapa
hal-hal ini yang akan diajarkan ?
-
Di
manakah pengajaran akan dilakukan ?
-
Bagaimana
pengajaran dilakukan ?
-
Kapan
hal-hal baru diajarkan ?
-
Siapakah
yang mengajar, dan siapakah yang diajar ?
-
Apa
yang menyatukan prinsip-prinsip yang telah ada?
Melengkapi pertanyaan-pertanyaan
di atas, Cam Waykoff mengajukan satu
pertanyaan lagi, yaitu: dalam bidang apa pengajaran Kristen sebaiknya
dijalankan ? Hal ini menyangkut
etos (sifat, karakter, atau mutu) kehidupan yang dikembangkan dalam ajaran.
Pertanyaan-pertanyaan
dan jawaban yang dijelaskan di atas memungkinkan pendidikan Kristen membuat
suatu bentuk kurikulum yang sesuai dengan kebutuhannya. Pertanyaan-pertanyaan
dan jawaban di atas itu juga dapat membantu kita untuk menganalisa kurikulum
yang sudah ada. Namun, sebaiknya kurikulum yang akan digunakan adalah kurikulum
yang diciptakan sendiri karena akan lebih sesuai dengan konteks yang dimiliki.
Jika
kita berniat untuk mengadopsi dan menggunakan kurikulum yang sudah ada, ada
tujuh pedoman yang harus diperhatikan, yaitu:
- Apakah teologi penerbit dan penulis kurikulum
cocok dengan teologi gereja yang akan mengadopsinya ? Apakah konsep-konsep
teologi yang diberikan tepat untuk berbagai tingkatan usia ?
- Apakah kurikulum menegaskan bahwa Alkitab
memiliki otoritas, dalam arti dipegang oleh Gereja atau berguna bagi
masyarakat ? Apakah nasihat Kitab Suci yang diamanatkan dalam susunan
kurikulum tersebut tepat pada kelompok usia tersebut ? Disamping Kitab
Suci, adakah sumber lain yang dapat berfungsi dalam penyusunan kurikulum?
- Apakah aktivitas-aktivitas yang diberikan
kepada para pelajar berhubungan sekaligus mengubah situasi kehidupan
mereka? Apakah para pelajar secara aktif terlibat dalam pembelajaran dan
ditantang untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang cocok dengan kelompok
mereka mengenai iman Kristen?
- Apakah rencana pembelajaran memungkinkan materi
yang akan diajarkan beradaptasi dengan batas waktu, sumber-sumber yang tersedia, ukuran
kelas, dan perbedaan kemampuan pelajar ?
- Apakah bahan-bahan yang diberikan sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan, minat, dan perhatian para pelajar? Apakah para
pelajar diperlengkapi dengan cara yang tepat untuk dapat mempergunakan
iman Kristen dan didorong untuk menanggapi panggilan Kristus dalam segala
bidang kehidupan?
- Apakah materi yang akan diajarkan menarik
perhatian pelajar ? Dapatkah
kurikulum tersebut digunakan lebih dari sekali?
Mereka
yang mengevaluasi harus menyadari kekuatan dan kelemahan materi yang ada dan
kebutuhan-kebutuhan yang khusus dari tata cara pengajaran mereka. Para pengajar
harus memperlengkapi diri untuk dapat menggunakan dan menyesuaikan diri dengan kurikulum
yang telah diputuskan dengan para naradidik mereka dalam kelas-kelas.
Jika
ingin mengembangkan suatu kurikulum, para pengajar Kristen harus mempertimbangkan keberlanjutan, rangkaian, dan integrasi dari
kurikulum tersebut. Keberlanjutan menilai sejauh mana tema-tema Alkitab,
teologi, atau tema-tema yang berhubungan dengan kehidupan diajarkan secara
terus-menerus bagi kelompok usia tertentu melalui rangkaian pelajaran yang
diberikan. Rangkaian ialah ukuran bagimana arus pembelajaran dan pengetahuan
dibangun dengan melihat pengetahuan yang sudah ada sebelumnya demi pembelajaran
yang akan datang. Integrasi menilai sejauh mana usaha-usaha dalam suatu aspek
program pengajaran, seperti pengajaran yang diajarkan dalam gereja, berhubungan
dengan aspek-aspek yang lain, seperti Sekolah Minggu dan kegiatan pemuda.
Hal-hal ini seringkali dituliskan oleh para penerbit dalam perencanaan mereka tetapi pada akhirnya
diabaikan.
Para
pengajar merupakan kunci dalam pengajaran. Pengajar harus bersandar pada tuntunan
Roh Kudus dan menunjukkan kasih yang sungguh-sungguh kepada para pelajar yang
mereka didik. Kurikulum Allah melebihi bahan-bahan yang dapat ditulis oleh
manusia, dan para pengajar harus fleksibel dalam menggunakan suatu kurikulum.
IV. Metafora-metafora bagi Kurikulum
Ada
tiga metafora kurikulum yang diajukan oleh Herbert
M. Kliebard, yaitu: metafora produksi, metafora pertumbuhan dan metafora perjalanan.
Semua metafora ini memiliki pengaruh dalam pemikiran dan praktek bidang
kurikulum, baik dalam pengajaran secara umum maupun dalam pengajaran Kristen.
- Metafora
produksi
Dalam
metafora ini, para pelajar dipandang sebagai bahan mentah yang akan
ditransformasikan kedalam hasil akhir yang berguna melalui proses yang
diberikan para guru. Para pengajar dipandang sebagai pemahat atau insinyur
sosial yang secara aktif membentuk para pelajar. Pengajaran dilihat sebagai ilmu
pengetahuan yang memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan dari para
pelajar.
Pendukung
terkuat dari konsep pengajaran ini ialah B.
F. Skinner, yang menekankan pembentukan perilaku manusia melalui ketelitian
dan kondisi yang sistematis, atau perubahan perilaku. Dalam bidang pembentukan
kurikulum, Ralph Tyler mengembangkan
dasar pemikiran yang berpengaruh dalam perencanaan dan penulisan kurikulum.
Empat langkah-langkah dasar dari pemikiran ini memperkenalkan tujuan-tujuan pengajaran,
memilih pengalaman-pengalaman pembelajaran yang tepat, mengatur pengalaman-pengalaman
pembelajaran, dan mengevaluasi pembelajaran.
Kekuatan-kekuatan
dari pemikiran Tyler, yaitu:
- Kerangka ini secara umum telah berhasil dan
terkenal luas.
- Kerangka Tyler tidak menekankan rincian hal-hal
yang kecil dalam penulisan tujuan.
- Kerangka Tyler merupakan contoh yang kuat untuk
bidang-bidang teknis kurikulum. Aspek-aspek tersebut dapat diukur dan
dievaluasi.
- Tyler menekankan kenetralan atau kebebasan dalam
menghadapi perbedaan dalam tujuan.
- Menurut Tyler pengajaran merupakan proses perubahan
pola-pola perilaku manusia. Perilaku menurut pemahamannya memiliki arti
yang luas yang mencakup pemikiran, perasaan dan tindakan.
- Tyler memandang pelajar sebagai orang yang
aktif dalam arti memberikan respon terhadap apa yang mereka telah terima.
Pengalaman-pengalaman pembelajaran akan menyeimbangkan kedisiplinan dan
kebebasan .
- Pemikiran Tyler berfokus pada perencanaan yang
khusus untuk mencoba dan menempatkan tujuan program pengajaran.
Adapun
kelemahan dari metafora produksi, yaitu:
- Philip Jackson menyatakan bahwa pemahaman Tyler
terlalu menyederhanakan relasi yang terjadi dalam kelas-kelas pengajaran.
Pengajaran dari guru memang penting, tetapi kita juga tidak boleh
melupakan pentingnya interaksi dalam kelas. Pengajaran dan perencanaan kurikulum harus mempertimbangkan
kesempatan pelajar untuk saling berinteraksi.
- Perencanaan dan penerapan kurikulum lebih
menyerupai suatu seni atau hasil karya daripada sekedar ilmu pengetahuan.
- Pemikiran Tyler dapat meniadakan
pertimbangan-pertimbangan yang lain, seperti gaya yang berbeda dalam
pembelajaran. Hal ini dapat membatasi keefektifan tujuan-tujuan yang ingin
dicapai suatu kelompok. Seorang
pengajar harus menyadari respon,
keseragaman, dan fleksibilitas dalam pengajaran.
- Pernyataan atau perumusan tujuan menjadi
langkah yang penting dalam pemikiran Tyler, tetapi tidak cukup mendorong
pertimbangan-pertimbangan suatu nilai atau filsafat seseorang.
- Patut dipertanyakan apakah tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan, pada saat menunjukkan tujuan-tujuan eksternal yang
menurut orang dicapai melalui pengalaman-pengalaman pembelajaran yang
dimanipulasi, merupakan cara yang bermanfaat untuk menyusun perencanaan
kurikulum .
- Konsep Tyler tentang pengalaman belajar
interaksi antara pelajar dan kondisi-kondisi di lingkungan luar gagal
untuk berbicara mengenai hubungan antarpribadi yang sebenarnya mendasar
dalam kegiatan belajar mengajar.
- Evaluasi dapat mengabaikan hasil-hasil laten
karena berkonsentrasi pada hal-hal yang diantipasi saja. Hasil-hasil laten
tersebut dapat saja bermanfaat bagi tujuan yang sebenarnya ingin
diraih.
- Metafora
Pertumbuhan
Kiasan
ini mengumpamakan kurikulum sebagai suatu program perawatan dan pemeliharaan
bagi tumbuhan yang beraneka ragam dalam suatu wadah yang disebut greenhouse. Naradidik yang diumpamakan
sebagai tumbuhan yang beraneka ragam dirawat secara khusus sesuai dengan
kebutuhan masing-masing jenis oleh pengajar yang diumpamakan sebagai tukang
kebun.
Perumpamaan
ini berkonsentrasi pada kepribadian dari setiap naradidik dan kebutuhan akan
motivasi untuk belajar. Kelemahan dari pendekatan perumpamaan ini adalah cenderung berasumsi bahwa naradidik sudah pasti memiliki kecakapan
dalam menyelesaikan tugas secara mandiri yang berdasarkan peningkatan motivasi.
Selain itu karena cenderung memperhatikan kebutuhan personal/individu jadi
mengabaikan pentingnya kebutuhan komunitas.
- Metafora Perjalanan
Pada
jenis metafora ini, naradidik diumpamakan sebagai seorang wisatawan yang
hendak mengadakan perjalanan. Pengajar
diumpamakan sebagai pemandu wisata yang membagikan pengalamannya kepada
naradidik. Pengajar juga berperan sebagai rekanan/teman seperjalanan naradidik
yang memberikan perhatian dan motivasi selama perjalanan itu berlangsung.
Sedangkan proses mengajar adalah pandangan seperti sebuah upaya bekerjasama.
V. Tempat dari Nilai-Nilai dalam Kurikulum yang Eksplisit
Suatu
kurikulum tentunya mengandung nilai-nilai ajaran yang berkaitan dengan minat,
sikap, keterampilan, dan perilaku yang dapat mempengaruhi naradidik. Demikian
juga bagi kurikulum bagi pengajaran Kristen, harus mengandung nilai-nilai
kristiani yang sesuai dengan pandangan kekristenan. Ada empat hal yang membantu
kita memahami bagaimana menempatkannya.
1.
Umat
Kristen harus memiliki dan menjalankan
nilai-nilai yang dimilikinya.
2.
Umat
Kristen harus menuangkan nilai-nilai itu ke dalam tujuan dari kurikulum.
3.
Kebutuhan
untuk mengejar nilai-nilai institusi yang kita temui sehari-hari. Aturan
institusi ini mencakup rumah, gereja, sekolah, komunitas, masyarakat umum, dan
kelompok lainnya. Hidup tidak terpisahkan dari komunitas sosial dan organisasi.
4.
Evaluasi
nilai-nilai menurut perkembangan kebutuhan secara berkesinambungan.
VI.
Hidden Curriculum
(Kurikulum yang Tersembunyi)
Merujuk
pada pandangan Vallance, kurikulum
tersembunyi dikenal sebagai efek samping yang bersifat nonakademik dan
sistematis dari pengajaran yang digunakan, tapi
tidak dirasa cukup dibukukan bagi oleh referensi ke kurikulum yang jelas.
Kurikulum yang eksplisit itu sendiri adalah pernyataan atau tujuan umum dan
khusus dari sebuah program pengajaran. Vallance
menyajikan 3 dimensi Hidden Curriculum:
1.
Kurikulum
tersembunyi dapat mengacu pada suatu konteks dari pengajaran, termasuk
interaksi naradidik-pengajar, susunan kelas, atau seluruh aturan organisasi
dari pendirian pengajaran sebagai dunia kecil dari sistim nilai sosial.
2.
Kurikulum
tersembunyi dapat menunjang pada jumlah dari proses operasional dalam atau
melalui sekolah, gereja, atau rumah, mencakup nilai-nilai perolehan,
sosialisasi, dan pemeliharaan dari struktur sosial.
3.
Kurikulum
tersembunyi dapat mencakup pembedaan tingkatan dari maksud dan kedalaman yang
“tersembunyi” berkisar dari hal yang kurang penting dan tidak diharapkan dari
produk dari komposisi kurikular untuk hasil yang melekat lebih dalam dalam
fungsi secara historis dari pengajaran dalam komunitas yang berbeda.
Ada
sebuah contoh kurikulum tersembunyi dari sebuah universitas evangelis :
1.
Setiap
orang dalam komunitas harus memiliki pengalaman pribadi dengan Yesus sebagai
Tuhan dan Penyelamat.
2.
Ilmu
pengetahuan, pelayanan, disiplin, atau ketaatan adalah nilai tertinggi dalam
sekolah Kristen.
3.
Kebebasan
dipandang sebagai musuh dari iman evangelis.
4.
Lulusan
dari sekolah evangelis atau institusi sangat disanjung.
5.
Orang-orang
evangelis adalah anggota dari partai republik; atau pemikir evangelis adalah
anggota dari partai demokrat.
6.
Evangelis
bukanlah komunis, aktivis sosial, atau pengusaha sukses. Evangelis adalah orang
yang dicurigai jika mereka mengupayakan hal politik atau ekonomi.
7.
Evangelis
adalah tulang punggung dari komunitas sosial kelas menengah di US.
8.
Komunitas evangelis adalah orang-orang perwujudan dari
sejarah kekuasaan kekristenan pada jaman modern.
9.
Jika
Yesus hidup sekarang, Ia akan menjadi seorang evangelis.
VII.
The Null Curriculum (Kurikulum yang tidak ada)
Elliot Eisner
mendefinisikan the null curriculum
sebagai sesuatu yang tidak diajarkan dengan sengaja. Menurutnya, apa yang tidak
diajarkan mungkin sama pentingnya dengan apa yang diajarkan karena
ketidaktahuan mempengaruhi salah satu pilihan yang dapat dipertimbangkan. Identifikasi
dari null curriculum memungkinkan pengajar
untuk mengenali keterbatasan dan penerimaan/ anggapan/ asumsi mereka terhadap
usaha mereka.
Pengajar Kristen harus
mempertimbangkan null curriculum
dalam rencana kurikulum, implementasi, dan evaluasi. Kurikulum yang eksplisit
berhubungan dengan apa yang diajarkan, sedangkan null curriculum berhubungan dengan apa yang tidak diajarkan. Pada
sisi lain, hidden curriculum lebih
menekankan kepada apa yang diterima oleh seseorang, bukannya apa yang diajarkan
oleh pengajar.
Maria
Harris mengatakan bahwa the null curriculum adalah sesuatu yang bersifat
paradoks. Kurikulum ini ada karena kurikulum ini tidak ada. Null curriculum membantu kita untuk
melihat pilihan-pilihan yang dapat kita pertimbangkan di luar apa yang telah
kita pilih untuk ajarkan. Null curriculum menjadikan sebuah dasar
bagi kritik terhadap kurikulum yang telah ada.
A Larger Vision
Sebuah
penelitian terhadap kurikulum menyatakan bahwa mayoritas orang menetapkan apa
yang perlu seorang pelajar ketahui, rasakan, atau lakukan sebagai sebuah hasil
dari sebuah kelas tertentu. Kejelasan dan ketetapan dalam suatu hubungan adalah
untuk sebuah tujuan, maksud, dan sebagai objek untuk memperkokoh dan
menguatkan, tetapi visi yang luas disini maksudnya adalah mengritik sesuatu
dengan menggunakan Injil sebagai sumbernya.
Salah satu tokoh Alkitab yang
dapat kita jadikan sebagai contoh untuk menjawab semua pertanyaan yang
berhubungan dengan kurikulum ini adalah Titus. Titus aktif dalam pelayanan
gereja, mengajar dalam berbagai macam kelompok, baik kelompok orang tua hingga
yang muda sekalipun. Dalam pengajarannya, Titus mendorong setiap orang untuk
dapat menjadi sesuatu ataupun sesuatu yang lain. Baginya, tidak hanya
pengetahuan, perasaan dan kelakuan yang nampak sebagai panggilan, tapi
bertanggung jawab untuk tujuan dan pandangan ke depan yang lebih besar.
Titus
mengajarkan kita untuk dapat mengajarkan yang benar dan apa yang sesuai dengan
akal sehat. Kita dapat melihat contoh pengajaran Titus yang mengajarkan pria
dan wanita dalam kelompok usia yang berbeda. Laki-laki dan perempuan dalam
kelompok usia lebih tua memiliki cobaan yang berbeda, peluang dan kegagalan
yang berbeda dari kelompok usia yang lebih muda. Titus mendesak mereka untuk menunjukkan karakter yang
sesuai dengan status mereka yang lebih tua dari pada laki-laki muda. Mereka
diharapkan mampu menjadi contoh bagi laki-laki muda dan menuntun laki-laki muda
yang cenderung lebih labil dan belum mampu mengontrol diri. Laki-laki yang lebih tua hendaknya dapat hidup
sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam
ketekunan.
Titus
juga mengajarkan perempuan-perempuan yang lebih tua untuk dapat hidup sebagai
orang-orang yang taat beribadah, tidak bersaksi dusta, tidak menjadi peminum,
dan cakap dalam mengajarkan hal-hal yang baik. Perempuan-perempuan muda juga
diajarkan oleh perempuan-perempuan yang lebih tua untuk mengasihi suami dan
anak-anak mereka, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya,
baik hati dan taat kepada suaminya.
Titus, sebagai orang muda,
menjadikan dirinya sendiri sebagai pedoman dan contoh yang nyata dengan
melakukan hal-hal yang baik dan memperlihatkan integritas, keseriusan,
kebijaksaanannya dan kecakapannya.
Berdasarkan
hal diatas dapat dikatakan bahwa Titus mengajarkan orang lain dengan
mengandalkan kasih Allah, dengan menjadikan dirinya sebagai contoh dan dengan
mengajarkan kebenaran dan dalam kasih.
1.
Mengandalkan
kasih Allah
Kasih
Allah tidak hanya menyelamatkan seseorang tetapi juga mengajar dan melatih
seseorang itu untuk hidup sederhana, bijaksana dan saleh. Hubungan yang baik
dengan Allah melalui doa dan tuntunan dari Roh Kudus juga menjadi elemen yang
penting dalam proses belajar mengajar.
2.
Menjadikan
diri sebagai pedoman dan contoh bagi orang lain
Pengajar
harus menyadari bahwa mereka adalah contoh dan model yang akan ditiru oleh naradidiknya.
Sama halnya dengan Titus yang selalu menjadikan dirinya sebagai contoh bagi
para nara didiknya untuk dicontoh, hendaknya pengajar juga demikian. Titus
menjadikan dirinya sendiri sebagai pedoman dan contoh yang nyata dengan
melakukan hal-hal yang baik dan memperlihatkan integritas, keseriusan,
kebijaksaanannya dan kecakapannya.
3.
Mengajarkan
kebenaran dan kasih
Titus
mengajarkan hal yang benar dan tidak menyesatkan orang lain. Titus mengajar
dengan wewenang yang ia miliki namun secara bijaksana.
Kesimpulan
Kurikulum
merupakan salah satu pendukung bagi pengajaran Kristen untuk mewujudkan pengajaran
yang maksimal kepada para naradidik. Oleh karena itu, ada tiga hal yang harus kita perhatikan yaitu: pembuatan,
pengimplementasian, dan pengevaluasian kurikulum. Kurikulum harus disesuaikan
dengan konteks yang ada dalam komunitas belajar-mengajar. Kita dapat saja
mengikuti kurikulum dari pihak lain, namun ada baiknya juga bila kita menyusun
kurikulum untuk komunitas kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar