Amanat untuk Berdiakonia dari Fridolin Ukur
Abstrak
Berdiakonia merupakan suatu hal yang mulia karena kita dapat memberikan
bantuan kepada orang lain yang sedang membutuhkannya. Namun demikian, banyak
orang yang menganggap bahwa diakonia hanya dilakukan oleh orang-orang kaya
saja. Sehingga banyak juga orang yang menjadi enggan untuk berdiakonia karena
menganggap dirinya bukanlah orang kaya. Selain itu, ada juga sebagian orang
yang tidak tahu harus berdiakonia kepada siapa. Fridolin Ukur menghimbau kita untuk
berdiakonia melalui puisinya agar kita dapat saling berbagi kasih dan berkat
kepada saudara kita lainnya. Pesan dari puisinya dapat membuka hati kita untuk
dapat berdiakonia kepada sesama dan orang lain tanpa pandang bulu ataupun
memandang perbedaan yang ada.
Kata kunci: diakonia, kasih, etika,
kariatif, reformatif dan transformatif.
Pendahuluan
Diakonia adalah salah satu misi gereja yang biasa di
kenal melalui Tri Tugas Gereja, yakni koinonia (persekutuan), marturia
(kesaksian) dan diakonia (melayani). Kata diakonia berasal dari bahasa Yunani, yaitu
diakoniem[1].
Kata ini muncul sebanyak
36 kali dalam Perjanjian Baru, yakni 21 kali dalam Injil Sinoptik, 3 kali dalam
Yohanes, 8 kali dalam tulisan Paulus, 1 kali dalam Ibrani, dan 3 kali dalam 1
Petrus.
Pada masa
sekarang ini, banyak sekali orang yang lupa ataupun sengaja lupa untuk
berdiakonia. Manusia zaman sekarang ini
terkadang hanya mementingkan diri mereka saja. Manusia terlalu egois sehingga
mereka tidak peduli akan kebutuhan sesamanya. Mereka tidak mau membantu
sesamanya meskipun dia memiliki apa yang dibutuhkan oleh sesamanya itu. Namun
tidak sedikit juga orang yang beranggapan bahwa diakonia akan menciptakan suatu
konflik kepentingan di antara orang yang memiliki kekuatan, kekuasaan, dan
kekayaan dengan mereka yang tidak berdaya apabila mereka melakukan diakonia.
Hal ini mengakibatkan orang berpikir dua kali sebelum berdiakonia karena takut dianggap
sombong ataupun terkesan seperti hanya sekedar cari perhatian dengan
berdiakonia.
Fridolin
Ukur, dalam karyanya yang berjudul Baktimu
bagi-Ku, Akupun Termangu, Pengertian,
dan Persahabatan mengamanatkan
kepada setiap pembacanya untuk dapat ikut ambil bagian dalam melayani. Melalui
puisi-puisinya tersebut ia ingin mengetuk hati para pembaca agar dapat saling
membantu dan menguatkan sesamanya yang lemah. Amanat berdiakonia yang terdapat
dalam puisinya seolah mengajak kita untuk berdiakonia. Menurut penulis, topik
ini menarik untuk dikemukakan. Oleh karena itu dalam paper ini akan dibahas Apa
yang dimaksud dengan diakonia? Mengapa kita harus berdiakonia? Siapa yang harus
dilayani? dan Bagaimana bentuk pelaksanaannya pada masa sekarang ini?
Analisis dan pembahasan
Fridolin Ukur adalah seorang pendeta
yang juga aktif menulis puisi. Kebanyakan dari karyanya adalah puisi yang
memiliki konsep ketuhanan. Pada puisinya yang berjudul Baktimu bagi-Ku, Akupun Termangu, Pengertian, dan Persahabatan
ia berusaha menghimbau setiap orang yang membaca puisinya tersebut untuk dapat
berdiakonia. Ia menyampaikan amanat untuk berdiakonia itu melalui puisi.
Kata diakonia umumnya diartikan sebagai pelayanan meja makan. Diakonia
digunakan untuk menunjukan hidup dan pekerjaan Yesus dan jemaatNya[2]. Pada
Markus 10:45, diakonia disebutkan sebagai Pelayanan Kristus atau Pelayanan
Jemaat yang dilakukan oleh Yesus Kristus bagi umatNya dengan memberikan
nyawaNya. Sikap orang Kristen yang mau melayani sesamanya menarik perhatian
orang lain yang bukan Kristen untuk menjadi pengikut Kristus (Kisah Para Rasul
6:1-7). Diakonia bukan sekedar persoalan memberi uang, tetapi diakonia
merupakan panggilan untuk berbagi solidaritas dengan sesama kita yang lemah.
Fridolin ukur mengungkapkan pesan untuk berdiakonia melalui untaian kata dalam
salah satu puisinya yang berjudul Baktimu
Bagi-Ku. Pada puisi ini ia seolah-olah melihat mata Yesus seperti mata
anak-anak yatim piatu yang membutuhkan uluran tangan yang penuh kasih. “Kulihat
mata-Mu berbinar sendu pada mata bocah tak beribu di wajah si butet kehilangan
ayah”. Anak-anak yatim yang tidak memiliki orang tua yang membutuhkan biaya
untuk bersekolah dan untuk kehidupan sehari-hari dan kita yang mampu diharapkan
untuk dapat berdiakonia kepada anak-anak yatim itu.
Sebagai orang Kristen yang sudah
mengenal kasih melalui pengorbanan Yesus Kristus, tentu kita juga dapat
mengasihi sesama kita lainnya yang membutuhkan bantuan kita. Fridolin ukur juga
mengajak kita untuk melayani orang-orang yang lemah, sakit, miskin dan juga
orang yang terasingkan di dalam penjara, orang-orang yang sering tidak dianggap,
teraniaya atau bahkan orang-orang yang dianggap rendah dan diremehkan oleh
lingkungan sekitarnya. “Kulihat tangan-Mu terkulai gemetar di sudut penjara,
ketika tahanan diinterogasi dalam caci, ancaman dan siksa kudengar rintihan-Mu
begitu ngilu di antara kapar tubuh para pasien rindu pulih, rindu utuh, rindu
sembuh; kulihat badan-Mu penuh daki keringat mengucuri tubuh telanjang pada
diri petani tua, membajak sawah bukan miliknya; kudengar pekik-Mu parau dalam
keluh panjang insan jelata terkapar dalam kemelaratan sarat muatan nestapa!”. Fridolin
mengungkapkan bahwa ia melihat Yesus melalui orang-orang lemah yang membutuhkan
pelayanan dan perhatian dari kita sebagai sesamanya.
Diakonia bukanlah sekedar aktivitas
pemberian bantuan material semata pada orang miskin atau orang-orang yang
kurang beruntung, melainkan wujud kasih nyata seperti kasih Yesus kepada kita yang
harus juga kita sebarkan kepada sesama kita. Orang yang dapat mengasihi dan
berdiakonia kepada orang lain adalah orang yang sudah terlebih dahulu
dikasihani dan dilayani. Sehingga ia dapat mengasihi dan melayani orang lain
sama seperti dia yang telah dikasihi sebelumnya. Oleh karena itu, kita sebagai
orang yang telah menerima kasih Yesus harus memberikan pelayanan dan mengasihi
sesama kita agar sesama kita itu juga dapat membagikannya lagi kepada sesama
kita yang lainnya. Sehingga kasih itu tersebar semakin menyeluruh melalui
diakonia kita.
Diakonia erat hubungannya dengan kasih. Kita diajari
oleh Yesus Kristus untuk melayani sesama kita dengan kasih. Ia sudah terlebih
dahulu memberikan contoh melayani kepada kita melalui pengorbananNya (Mat. 20:28).
Yesus menyimpulkan bahwa hukum kasih ialah kasih terhadap Tuhan dan sesama (Mat. 22:37-40). Diakonia yang
berlandaskan pada kasih tidak tergantung pada jasa, kelas sosial, sikap dan
pekerjaan seseorang ataupun faktor lahiriah, karena itu kita tidak boleh pilih
bulu dan pandang muka dalam berdiakonia.
Kasih
bukan hanya sikap batin tetapi perlu dinampakkan dalam perbuatan konkrit. Pada
satu sisi, kasih tidak sama dengan perbuatan baik (amal), karena kasih harus
lahir dari kesadaran yang dalam. Akan tetapi pada sisi lain, kasih yang hanya
sebatas menaruh belas kasihan kepada orang lain, bukan kasih sejati (Luk.
6:27). Kasih berarti keinginan menolong dan berdiakonia dengan perbuatan nyata
(Luk. 10:25-37; 1 Yoh. 3:17-18). Oleh karena itu kita juga diharapkan
dapat saling melayani satu sama lain di dalam kasih.
Pada zaman sekarang ini, berdiakonia tidak hanya terbatas pada bantuan materi kepada mereka
yang berkekurangan saja, melainkan lebih kompleks. Misalnya, pengobatan, panti
asuhan, pendidikan, pendampingan pada saat susah ataupun yang mengalami masalah
sosial, penyediaan lapangan pekerjaan, dan lain-lain. Diakonia harus membawa
perubahan pada seseorang maupun masyarakat. Bukan sekedar menjadikan seseorang
tersebut tidak terlantar lagi dan tercukupi kebutuhan dasarnya, melainkan dapat
terangkat secara sosial;
misalnya, melalui pendidikan yang baik, seseorang dapat memperbaiki kualitas
hidup dan kehidupannya.
Puisi karya
Fridolin Ukur yang berjudul Aku pun
Termangu tidak hanya sekedar
menyentuh hati kita karena pemilihan katanya yang tepat, tapi juga melalui
penceritaannya tentang penderitaan dan ketidakadilan yang dialami oleh orang
miskin yang tidak memiliki tempat tinggal. “Aku tak berhak bicara
tentang harapan, semangat dan masa depan mereka yang terlunta dan tersiksa,
ketika tidurku hangat di musim hujan terlindung aman di rumah bebas banjir, ketika
bangun, kopi panas sudah menanti dan istri yang setia melayani!”. Setiap orang
mungkin saja mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh Fridolin Ukur,
yakni kenikmatan hidup yang diperolehnya. Namun oleh karena kenikmatan yang
kita miliki itulah maka kita dituntut untuk dapat berdiakonia terhadap orang lain
yang tidak seberuntung kita agar melalui kita, orang lain juga dapat merasakan
berkat dan kasih Allah.
Fridolin Ukur juga seolah
menyinggung kita melalui kata-katanya yang terdapat dalam puisi tersebut,
seperti “Kini waktunya
bertanya: aku bisa berbuat apa bagi kebahagian sesama!”. Fridolin
mempertanyakan apa yang telah kita lakukan untuk membantu sesama kita lewat
puisinya. Jika kita memiliki sesuatu hendaklah kita membagikannya kepada mereka
yang berkekurangan. Karena meskipun kita membagikan milik kita tersebut, kita
tidak akan mengalami kekurangan sebab Allah mencukupkan segala keperluan orang
yang mau membantu sesamanya (Amsal 11: 24-25).
Pada puisi Fridolin Ukur yang berjudul Pengertian dan Persahabatan, ia
mengedepankan etika dalam berdiakonia. Etika ini menyerukan umat manusia untuk
saling melihat satu sama lain dan peka terhadap kebutuhan orang lain. Setiap
orang bertanggung jawab terhadap kondisi orang lain sebagai temannya, seperti
dalam puisinya yang berjudul Persahabatan
”kau adalah sahabat, ketika kau
menjadi manusia bagi sesamamu manusia; mereka bukan sekedar angka, tapi
manusia!”. Perhatian yang diberikan bukan hanya sekedar pemanis bibir,
tetapi rasa simpati yang sesungguhnya dan tindakan nyata yang menerangi
penderitaan dan duka cita sesama, sama seperti yang terlihat dalam kutipan
puisi Pengertian, “adalah kerelaan
dan kesediaan untuk berbagi dan mengerti”.
Pada umumnya cara berdiakonia dapat dibagi tiga, yaitu diakonia kariatif,
diakonia reformatif, dan diakonia transformatif [3].
1.
Diakonia Kariatif
Diakonia kariatif merupakan bentuk
diakonia tertua yang dipraktekkan oleh gereja dan pekerja sosial. Diakonia
kariatif sering diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan, pakaian untuk orang
miskin, janda dan yatim piatu, memberikan bantuan kepada korban bencana alam, dan
menghibur orang sakit. Cara berdiakonia seperti ini sangat diminati oleh kaum
bangsawan dan orang-orang kaya. Struktur masyarakat yang terdiri atas orang
kaya yang hakekatnya selalu memberi dan orang miskin yang menerima pemberian
dari si kaya yang dermawan cukup membantu yang miskin sehingga mereka dapat
terlihat lebih baik dan mengurangi penderitaan mereka. Menurut Woodward
(Romanyshin 1971:6), diakonia kariatif cenderung mempertahankan status quo,
ideologi, dan teologinya, karena:
a.
kemiskinan tidak dapat dihindarkan, karena situasi dan
ketidakmampuan yang bersangkutan
b.
menganggap bahwa harta yang mereka miliki adalah berkat
dari Tuhan yang harus dibagikan kepada sesama
c.
adanya tanggung jawab moral dari yang kaya untuk
melakukan amal demi mengurangi kemiskinan dan penderitaan sesamanya.
Namun diakonia seperti ini akan
mengakibatkan timbulnya sikap ketergantungan dan tidak mandiri pada si miskin
dan bila dilakukan terus menerus akan memerlukan dana yang besar pada si kaya
yang memberi bantuan. Puisi Fridolin Ukur yang berjudul Baktimu Bagi-Ku dapat digolongkan sebagai ajakan untuk berdiakonia
kariatif. Bentuk diakonia kariatif yang terdapat pada puisi tersebut adalah melakukan
perkunjungan terhadap orang yang ada di penjara dengan membawakan makanan dan
memimpin renungan, menyediakan beras untuk membantu keluarga miskin, memberikan
santunan kepada anak-anak yatim piatu dan mendirikan poliklinik yang murah
untuk orang miskin agar kehidupannya dan kesehatannya dapat terjamin.
2.
Diakonia Reformatif
Diakonia
reformatif lebih dikenal sebagai diakonia pembangunan. Kurangnya pembangunan
dan pendayagunaan potensi sumber daya manusia dan alam akan mengakibatkan
kemiskinan karena minimnya pengetahuan, pendidikan dan penguasaan teknologi. Oleh sebab itu, pengembangan
dan pendayagunaan potensi manusia dan alam dalam rangka penghapusan kemiskinan,
dapat diupayakan melalui peningkatan pendidikan dan penguasaan teknologi dengan
membangun sekolah-sekolah dan menyelenggarakan pengembangan SDM, membangun
rumah sakit dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan, menyiapkan dan
menyalurkan bantuan teknologi melalui penyuluhan dan pembinaan keterampilan, kelompok
usaha
bersama dengan kelompok
simpan pinjam, pemberian beasiswa untuk pendidikan, serta mengusahakan dan menyediakan modal kerja bagi para tani dan
buruh agar dapat meningkatkan produksitivitasnya. Model
diakonia seperti ini lebih menekankan aspek pembangunan, daripada sekadar
tindakan amal yang hanya memberi santunan
tanpa menimbulkan suatu perubahan yang membangun masyarakat miskin tersebut.
3. Diakonia Transformatif
Diakonia transformatif adalah
suatu diakonia yang membawa perubahan total dalam fungsi dan penampilan dalam
kehidupan bermasyarakat, suatu perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Diakonia transformatif bertujuan untuk membebaskan rakyat kecil dari belenggu struktural
yang tidak adil dan juga pengorganisasian rakyat untuk menentukan nasib mereka.
Diakonia ini dilakukan bukan karena didorong oleh belas kasihan, tetapi
keadilan bagi mereka yang mengalami ketidakadilan dan penindasan (Gal. 3:28).
Bentuk diakonia transformatif tidak hanya sekedar mengunjungi tahanan dalam
penjara dengan membawakannya makanan seperti diakonia kariatif, melainkan mulai
membuat analisa masalah mengapa mereka dapat di tahan di penjara dan juga
memberikan mereka bantuan hukum. Perubahan nilai dan paradigma bermasyarakat
yang lebih adil menjadi tujuan dari diakonia transformatif. Diakonia
Transformatif berusaha memapukan manusia untuk dapat menentukan hidupnya
sendiri lepas dari kekangan orang lain.
Kesimpulan
Yesus
mengatakan bahwa kunci untuk masuk ke dalam kerajaan Allah ialah
kepedulian
manusia terhadap sesamanya, terutama kepada orang yang lapar dan atau haus,
orang asing, orang yang telanjang, orang yang sakit, dan orang yang ada dalam
penjara (Mat. 25:21-46). Kepedulian ini adalah kepedulian murni, tulus dan
tidak dibatasi oleh tembok-tembok budaya, ras, golongan, agama, politik dan
berbagai perbedaan lainnya. Diakonia adalah suatu bentuk kepedulian
berlandaskan kasih yang dapat menjangkau semua orang yang terluka, miskin,
membutuhkan bantuan dan kasih, orang yang teraniaya dan mengalami ketidakadilan,
serta yatim piatu yang harus diayomi. Oleh karena itu, melalui puisinya,
Fridolin Ukur mengajak setiap pembaca untuk dapat berdiakonia kepada setiap
orang yang membutuhkannya tanpa memandang perbedaan yang ada.
Daftar Pustaka
Lembaga Alkitab Indonesia .
Alkitab. Jakarta , 2000.
Pusat Bahasa dan
Budaya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Konflik
Komunal di Indonesia pada saat ini.
Jakarta , 2003.
Rohmanyshin John
M, Social Welfare Charity to Justice, New York Random House.
1971.
Ukur, Fridolin. Wajah Cinta. Jakarta :
BPK Gunung Mulia, 2003.
Lampiran
Baktimu Bagi-Ku
Ketika mati, sepi dan
duka
seperti akan menang dalam
lomba;
Ketika maut, khianat dan
dosa
seakan meraih mahkota
juara,
Kaupun bangkit
menggenggam kehidupan
menyelesaikan pertarungan
hidup mati
untuk mengawali pawai
kemenangan
Tapi arak-arakan kami di bumi
dihadang
hari-hari
ditantang
malam-malam lengang menikam
dan
iblis seperti selalu menyindir
dengan
tipu yang terlalu mahir
lalu
kulihat
mata-Mu berbinar sendu
pada
mata bocah tak beribu
di
wajah si butet kehilangan ayah;
kulihat
tangan-Mu terkulai gemetar
di
sudut penjara, ketika tahanan diinterogasi
dalam
caci, ancaman dan siksa
kudengar
rintihan-Mu begitu ngilu
di
antara kapar tubuh para pasien
rindu
pulih, rindu utuh, rindu sembuh;
kulihat
badan-Mu penuh daki
keringat
mengucuri tubuh telanjang
pada
diri petani tua, membajak
sawah
bukan miliknya;
kudengar
pekik-Mu parau
dalam
keluh panjang insan jelata
terkapar
dalam kemelaratan
sarat
muatan nestapa!
Ketika
itu,
sebuah
bisik halus
Kau
pesankan di pagi paskah:
yang
kau lakukan bagi mereka,
itulah
baktimu bagi-Ku!
Aku pun Termangu
Menyimak ingatan
hari-hari berlalu
adalah kesyahduan lembut
ramah
menghembuskan bebauan
dupa wangi
dari yang abadi yang
masih bersemi
aku pun termangu
karena tahu:
aku tak berhak bicara
tentang harapan, semangat dan masa depan
mereka yang terlunta dan tersiksa,
ketika tidurku hangat di musim hujan
terlindung aman di rumah bebas banjir,
ketika bangun, kopi panas sudah menanti
dan istri yang setia melayani!
Haruskah aku menderita
untuk bisa bicara untuk
yang tertindas?
Haruskah aku berduka
untuk menghibur yang
terluka?
Haruskah aku terpukul
retak
untuk bisa memulihkan
hidup terpatah?
Sebuah pemberian telah
diberikan kepadaku:
kecil, tapi paripurna
sederhana, tapi sempurna
cinta yang dibasuh dengan
darah;
karena cinta, aku boleh
bicara,
karena cinta, aku berhak
bicara,
karena cinta, aku harus
bicara!
Karena penyerahan pada
cinta
Membuat darah ini masih
menderu
Kini, dengan ragu yang bertambah renta
kurangkai
cinta dalam puuisi yang tak pernah sempurna
dengan
jejari yang mulai gemetar di makan usia
Kini
waktunya bertanya:
aku
bisa berbuat apa bagi kebahagian sesama!
Pengertian
Seperti
aku,
kau
juga pernah berkata
kita
harus berikan tempat
bagi
angkatan yang lebih muda
begitu banyak tenaga
begitu sedikit tempat
kita harus berikan tempat
untuk mereka
Adalah kerelaan dan kesediaan
untuk
berbagi dan mengerti
kehangatan
cinta dan kesetiaan
kasih
yang mengalir abadi
dalam
hati
di
urat nadi
percayalah
padaku,
semangat
dan harapan
-biarpun
kadang berupa mimpi
karena
mimpi pun memerlukan sejenis landasan-
selalu
meremajakan,
biarpun
usia terus bergulir
dari
fajar menjelang senja
Bukan
mustahil!
satu
ketika Tuhan akan berkata kepada
bumi,
dunia,
alam
semesta: Berhenti!
Lalu
mentari tak menyala lagi
Bulan
pun dingin membeku;
semuanya
menjadi sunyi
kita
pun boleh tersenyum
dan
berkata:
Telah
kupersembahkan hidupku!
Persahabatan
Puisi ini
adalah serangkai ucap
dari seorang sahabat,
mengatakan apa yang harus
dikatakan
karena dari kalbu yang
terhimpit mimpi
mengalir untaian kata
begitu dekat dengan hati
Kau adalah sahabat
Ketika
kau menjadi manusia
bagi
sesamamu manusia;
mereka
bukan sekedar angka,
tapi
manusia!
Kau
adalah manusia
-sama
seperti aku-
karena
itu kita juga serapuh debu
jangan
sesali dirimu
jangan
tolak dirimu
terimalah
dirimu!
Sahabatmu
adalah
sahabatmu,
tidak
lebih!
Persahabatan
tidak dibuat
ia
bertumbuh;
persahabatan
tidak direkayasa
ia
lahir sangat alami:
itulah
persahabatan
tanpa
ritus
tanpa
kultus
[1] www.gkps.or.id/component/content/article/14-dasar-pemahaman-kristen/141-diakonia
diakses oleh Shandy Yoan Barus pada tanggal 5 Mei 2010,pukul 14.00 WIB.
[2] Abineno.
J. L. Ch., Diaken, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), hal. 3.
[3] www.gkps.or.id/component/content/article/14-dasar-pemahaman-kristen/141-diakonia
diakses oleh Shandy Yoan Barus pada tanggal 5 Mei 2010,pukul 14.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar