Selasa, 01 Mei 2012

Amanat untuk Berdiakonia dari Fridolin Ukur


Amanat untuk Berdiakonia dari Fridolin Ukur

Abstrak
            Berdiakonia merupakan suatu hal yang mulia karena kita dapat memberikan bantuan kepada orang lain yang sedang membutuhkannya. Namun demikian, banyak orang yang menganggap bahwa diakonia hanya dilakukan oleh orang-orang kaya saja. Sehingga banyak juga orang yang menjadi enggan untuk berdiakonia karena menganggap dirinya bukanlah orang kaya. Selain itu, ada juga sebagian orang yang tidak tahu harus berdiakonia kepada siapa.  Fridolin Ukur menghimbau kita untuk berdiakonia melalui puisinya agar kita dapat saling berbagi kasih dan berkat kepada saudara kita lainnya. Pesan dari puisinya dapat membuka hati kita untuk dapat berdiakonia kepada sesama dan orang lain tanpa pandang bulu ataupun memandang perbedaan yang ada.
Kata kunci: diakonia, kasih, etika, kariatif, reformatif dan transformatif.

Pendahuluan
            Diakonia adalah salah satu misi gereja yang biasa di kenal melalui Tri Tugas Gereja, yakni koinonia (persekutuan), marturia (kesaksian) dan diakonia (melayani). Kata diakonia berasal dari bahasa Yunani, yaitu diakoniem[1]. Kata ini muncul sebanyak 36 kali dalam Perjanjian Baru, yakni 21 kali dalam Injil Sinoptik, 3 kali dalam Yohanes, 8 kali dalam tulisan Paulus, 1 kali dalam Ibrani, dan 3 kali dalam 1 Petrus.
            Pada masa sekarang ini, banyak sekali orang yang lupa ataupun sengaja lupa untuk berdiakonia. Manusia  zaman sekarang ini terkadang hanya mementingkan diri mereka saja. Manusia terlalu egois sehingga mereka tidak peduli akan kebutuhan sesamanya. Mereka tidak mau membantu sesamanya meskipun dia memiliki apa yang dibutuhkan oleh sesamanya itu. Namun tidak sedikit juga orang yang beranggapan bahwa diakonia akan menciptakan suatu konflik kepentingan di antara orang yang memiliki kekuatan, kekuasaan, dan kekayaan dengan mereka yang tidak berdaya apabila mereka melakukan diakonia. Hal ini mengakibatkan orang berpikir dua kali sebelum berdiakonia karena takut dianggap sombong ataupun terkesan seperti hanya sekedar cari perhatian dengan berdiakonia.
Fridolin Ukur, dalam karyanya yang berjudul Baktimu bagi-Ku, Akupun Termangu, Pengertian, dan Persahabatan mengamanatkan kepada setiap pembacanya untuk dapat ikut ambil bagian dalam melayani. Melalui puisi-puisinya tersebut ia ingin mengetuk hati para pembaca agar dapat saling membantu dan menguatkan sesamanya yang lemah. Amanat berdiakonia yang terdapat dalam puisinya seolah mengajak kita untuk berdiakonia. Menurut penulis, topik ini menarik untuk dikemukakan. Oleh karena itu dalam paper ini akan dibahas Apa yang dimaksud dengan diakonia? Mengapa kita harus berdiakonia? Siapa yang harus dilayani? dan Bagaimana bentuk pelaksanaannya pada masa sekarang ini?
Analisis dan pembahasan
            Fridolin Ukur adalah seorang pendeta yang juga aktif menulis puisi. Kebanyakan dari karyanya adalah puisi yang memiliki konsep ketuhanan. Pada puisinya yang berjudul Baktimu bagi-Ku, Akupun Termangu, Pengertian, dan Persahabatan ia berusaha menghimbau setiap orang yang membaca puisinya tersebut untuk dapat berdiakonia. Ia menyampaikan amanat untuk berdiakonia itu melalui puisi.
Kata diakonia umumnya diartikan sebagai pelayanan meja makan. Diakonia digunakan untuk menunjukan hidup dan pekerjaan Yesus dan jemaatNya[2]. Pada Markus 10:45, diakonia disebutkan sebagai Pelayanan Kristus atau Pelayanan Jemaat yang dilakukan oleh Yesus Kristus bagi umatNya dengan memberikan nyawaNya. Sikap orang Kristen yang mau melayani sesamanya menarik perhatian orang lain yang bukan Kristen untuk menjadi pengikut Kristus (Kisah Para Rasul 6:1-7). Diakonia bukan sekedar persoalan memberi uang, tetapi diakonia merupakan panggilan untuk berbagi solidaritas dengan sesama kita yang lemah.
Fridolin ukur mengungkapkan pesan untuk berdiakonia melalui untaian kata dalam salah satu puisinya yang berjudul Baktimu Bagi-Ku. Pada puisi ini ia seolah-olah melihat mata Yesus seperti mata anak-anak yatim piatu yang membutuhkan uluran tangan yang penuh kasih. “Kulihat mata-Mu berbinar sendu pada mata bocah tak beribu di wajah si butet kehilangan ayah”. Anak-anak yatim yang tidak memiliki orang tua yang membutuhkan biaya untuk bersekolah dan untuk kehidupan sehari-hari dan kita yang mampu diharapkan untuk dapat berdiakonia kepada anak-anak yatim itu.
            Sebagai orang Kristen yang sudah mengenal kasih melalui pengorbanan Yesus Kristus, tentu kita juga dapat mengasihi sesama kita lainnya yang membutuhkan bantuan kita. Fridolin ukur juga mengajak kita untuk melayani orang-orang yang lemah, sakit, miskin dan juga orang yang terasingkan di dalam penjara, orang-orang yang sering tidak dianggap, teraniaya atau bahkan orang-orang yang dianggap rendah dan diremehkan oleh lingkungan sekitarnya. “Kulihat tangan-Mu terkulai gemetar di sudut penjara, ketika tahanan diinterogasi dalam caci, ancaman dan siksa kudengar rintihan-Mu begitu ngilu di antara kapar tubuh para pasien rindu pulih, rindu utuh, rindu sembuh; kulihat badan-Mu penuh daki keringat mengucuri tubuh telanjang pada diri petani tua, membajak sawah bukan miliknya; kudengar pekik-Mu parau dalam keluh panjang insan jelata terkapar dalam kemelaratan sarat muatan nestapa!”. Fridolin mengungkapkan bahwa ia melihat Yesus melalui orang-orang lemah yang membutuhkan pelayanan dan perhatian dari kita sebagai sesamanya.
            Diakonia bukanlah sekedar aktivitas pemberian bantuan material semata pada orang miskin atau orang-orang yang kurang beruntung, melainkan wujud kasih nyata seperti kasih Yesus kepada kita yang harus juga kita sebarkan kepada sesama kita. Orang yang dapat mengasihi dan berdiakonia kepada orang lain adalah orang yang sudah terlebih dahulu dikasihani dan dilayani. Sehingga ia dapat mengasihi dan melayani orang lain sama seperti dia yang telah dikasihi sebelumnya. Oleh karena itu, kita sebagai orang yang telah menerima kasih Yesus harus memberikan pelayanan dan mengasihi sesama kita agar sesama kita itu juga dapat membagikannya lagi kepada sesama kita yang lainnya. Sehingga kasih itu tersebar semakin menyeluruh melalui diakonia kita.
Diakonia erat hubungannya dengan kasih. Kita diajari oleh Yesus Kristus untuk melayani sesama kita dengan kasih. Ia sudah terlebih dahulu memberikan contoh melayani kepada kita melalui pengorbananNya (Mat. 20:28). Yesus menyimpulkan bahwa hukum kasih ialah kasih terhadap Tuhan dan sesama (Mat. 22:37-40). Diakonia yang berlandaskan pada kasih tidak tergantung pada jasa, kelas sosial, sikap dan pekerjaan seseorang ataupun faktor lahiriah, karena itu kita tidak boleh pilih bulu dan pandang muka dalam berdiakonia.
Kasih bukan hanya sikap batin tetapi perlu dinampakkan dalam perbuatan konkrit. Pada satu sisi, kasih tidak sama dengan perbuatan baik (amal), karena kasih harus lahir dari kesadaran yang dalam. Akan tetapi pada sisi lain, kasih yang hanya sebatas menaruh belas kasihan kepada orang lain, bukan kasih sejati (Luk. 6:27). Kasih berarti keinginan menolong dan berdiakonia dengan perbuatan nyata (Luk. 10:25-37; 1 Yoh. 3:17-18). Oleh karena itu kita juga diharapkan dapat saling melayani satu sama lain di dalam kasih.   
Pada zaman sekarang ini, berdiakonia tidak hanya terbatas pada bantuan materi kepada mereka yang berkekurangan saja, melainkan lebih kompleks. Misalnya, pengobatan, panti asuhan, pendidikan, pendampingan pada saat susah ataupun yang mengalami masalah sosial, penyediaan lapangan pekerjaan, dan lain-lain. Diakonia harus membawa perubahan pada seseorang maupun masyarakat. Bukan sekedar menjadikan seseorang tersebut tidak terlantar lagi dan tercukupi kebutuhan dasarnya, melainkan dapat terangkat secara sosial; misalnya, melalui pendidikan yang baik, seseorang dapat memperbaiki kualitas hidup dan kehidupannya.
Puisi karya Fridolin Ukur yang berjudul Aku pun Termangu  tidak hanya sekedar menyentuh hati kita karena pemilihan katanya yang tepat, tapi juga melalui penceritaannya tentang penderitaan dan ketidakadilan yang dialami oleh orang miskin yang tidak memiliki tempat tinggal. “Aku tak berhak bicara tentang harapan, semangat dan masa depan mereka yang terlunta dan tersiksa, ketika tidurku hangat di musim hujan terlindung aman di rumah bebas banjir, ketika bangun, kopi panas sudah menanti dan istri yang setia melayani!”. Setiap orang mungkin saja mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh Fridolin Ukur, yakni kenikmatan hidup yang diperolehnya. Namun oleh karena kenikmatan yang kita miliki itulah maka kita dituntut untuk dapat berdiakonia terhadap orang lain yang tidak seberuntung kita agar melalui kita, orang lain juga dapat merasakan berkat dan kasih Allah.
 Fridolin Ukur juga seolah menyinggung kita melalui kata-katanya yang terdapat dalam puisi tersebut, seperti “Kini waktunya bertanya: aku bisa berbuat apa bagi kebahagian sesama!”. Fridolin mempertanyakan apa yang telah kita lakukan untuk membantu sesama kita lewat puisinya. Jika kita memiliki sesuatu hendaklah kita membagikannya kepada mereka yang berkekurangan. Karena meskipun kita membagikan milik kita tersebut, kita tidak akan mengalami kekurangan sebab Allah mencukupkan segala keperluan orang yang mau membantu sesamanya (Amsal 11: 24-25).
Pada puisi Fridolin Ukur yang berjudul Pengertian dan Persahabatan, ia mengedepankan etika dalam berdiakonia. Etika ini menyerukan umat manusia untuk saling melihat satu sama lain dan peka terhadap kebutuhan orang lain. Setiap orang bertanggung jawab terhadap kondisi orang lain sebagai temannya, seperti dalam puisinya yang berjudul Persahabatankau adalah sahabat, ketika kau menjadi manusia bagi sesamamu manusia; mereka bukan sekedar angka, tapi manusia!”. Perhatian yang diberikan bukan hanya sekedar pemanis bibir, tetapi rasa simpati yang sesungguhnya dan tindakan nyata yang menerangi penderitaan dan duka cita sesama, sama seperti yang terlihat dalam kutipan puisi Pengertian, “adalah kerelaan dan kesediaan untuk berbagi dan mengerti”.
Pada umumnya cara berdiakonia dapat dibagi tiga, yaitu diakonia kariatif, diakonia reformatif, dan diakonia transformatif [3].
1.      Diakonia Kariatif
Diakonia kariatif merupakan bentuk diakonia tertua yang dipraktekkan oleh gereja dan pekerja sosial. Diakonia kariatif sering diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan, pakaian untuk orang miskin, janda dan yatim piatu, memberikan bantuan kepada korban bencana alam, dan menghibur orang sakit. Cara berdiakonia seperti ini sangat diminati oleh kaum bangsawan dan orang-orang kaya. Struktur masyarakat yang terdiri atas orang kaya yang hakekatnya selalu memberi dan orang miskin yang menerima pemberian dari si kaya yang dermawan cukup membantu yang miskin sehingga mereka dapat terlihat lebih baik dan mengurangi penderitaan mereka. Menurut Woodward (Romanyshin 1971:6), diakonia kariatif cenderung mempertahankan status quo, ideologi, dan teologinya, karena:
a.       kemiskinan tidak dapat dihindarkan, karena situasi dan ketidakmampuan yang bersangkutan
b.      menganggap bahwa harta yang mereka miliki adalah berkat dari Tuhan yang harus dibagikan kepada sesama
c.       adanya tanggung jawab moral dari yang kaya untuk melakukan amal demi mengurangi kemiskinan dan penderitaan sesamanya.
Namun diakonia seperti ini akan mengakibatkan timbulnya sikap ketergantungan dan tidak mandiri pada si miskin dan bila dilakukan terus menerus akan memerlukan dana yang besar pada si kaya yang memberi bantuan. Puisi Fridolin Ukur yang berjudul Baktimu Bagi-Ku dapat digolongkan sebagai ajakan untuk berdiakonia kariatif. Bentuk diakonia kariatif yang terdapat pada puisi tersebut adalah melakukan perkunjungan terhadap orang yang ada di penjara dengan membawakan makanan dan memimpin renungan, menyediakan beras untuk membantu keluarga miskin, memberikan santunan kepada anak-anak yatim piatu dan mendirikan poliklinik yang murah untuk orang miskin agar kehidupannya dan kesehatannya dapat terjamin.
2.      Diakonia Reformatif
Diakonia reformatif lebih dikenal sebagai diakonia pembangunan. Kurangnya pembangunan dan pendayagunaan potensi sumber daya manusia dan alam akan mengakibatkan kemiskinan karena minimnya pengetahuan, pendidikan dan penguasaan teknologi. Oleh sebab itu, pengembangan dan pendayagunaan potensi manusia dan alam dalam rangka penghapusan kemiskinan, dapat diupayakan melalui peningkatan pendidikan dan penguasaan teknologi dengan membangun sekolah-sekolah dan menyelenggarakan pengembangan SDM, membangun rumah sakit dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan, menyiapkan dan menyalurkan bantuan teknologi melalui penyuluhan dan pembinaan keterampilan, kelompok usaha
bersama dengan kelompok simpan pinjam, pemberian beasiswa untuk pendidikan, serta mengusahakan dan  menyediakan modal kerja bagi para tani dan buruh agar dapat meningkatkan produksitivitasnya. Model diakonia seperti ini lebih menekankan aspek pembangunan, daripada sekadar tindakan amal yang  hanya memberi santunan tanpa menimbulkan suatu perubahan yang membangun masyarakat miskin tersebut.
3.      Diakonia Transformatif
Diakonia transformatif adalah suatu diakonia yang membawa perubahan total dalam fungsi dan penampilan dalam kehidupan bermasyarakat, suatu perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Diakonia transformatif bertujuan untuk membebaskan rakyat kecil dari belenggu struktural yang tidak adil dan juga pengorganisasian rakyat untuk menentukan nasib mereka. Diakonia ini dilakukan bukan karena didorong oleh belas kasihan, tetapi keadilan bagi mereka yang mengalami ketidakadilan dan penindasan (Gal. 3:28). Bentuk diakonia transformatif tidak hanya sekedar mengunjungi tahanan dalam penjara dengan membawakannya makanan seperti diakonia kariatif, melainkan mulai membuat analisa masalah mengapa mereka dapat di tahan di penjara dan juga memberikan mereka bantuan hukum. Perubahan nilai dan paradigma bermasyarakat yang lebih adil menjadi tujuan dari diakonia transformatif. Diakonia Transformatif berusaha memapukan manusia untuk dapat menentukan hidupnya sendiri lepas dari kekangan orang lain.


Kesimpulan
Yesus mengatakan bahwa kunci untuk masuk ke dalam kerajaan Allah ialah
kepedulian manusia terhadap sesamanya, terutama kepada orang yang lapar dan atau haus, orang asing, orang yang telanjang, orang yang sakit, dan orang yang ada dalam penjara (Mat. 25:21-46). Kepedulian ini adalah kepedulian murni, tulus dan tidak dibatasi oleh tembok-tembok budaya, ras, golongan, agama, politik dan berbagai perbedaan lainnya. Diakonia adalah suatu bentuk kepedulian berlandaskan kasih yang dapat menjangkau semua orang yang terluka, miskin, membutuhkan bantuan dan kasih, orang yang teraniaya dan mengalami ketidakadilan, serta yatim piatu yang harus diayomi. Oleh karena itu, melalui puisinya, Fridolin Ukur mengajak setiap pembaca untuk dapat berdiakonia kepada setiap orang yang membutuhkannya tanpa memandang perbedaan yang ada.

Daftar Pustaka

Ch., Abineno J. L. Diaken. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab. Jakarta, 2000.
Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Konflik
Komunal di Indonesia pada saat ini. Jakarta, 2003.
Rohmanyshin John M, Social Welfare Charity to Justice, New York Random House.
1971.
 Ukur, Fridolin. Wajah Cinta. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.


Lampiran

Baktimu Bagi-Ku

Ketika mati, sepi dan duka
seperti akan menang dalam lomba;
Ketika maut, khianat dan dosa
seakan meraih mahkota juara,
Kaupun bangkit menggenggam kehidupan
menyelesaikan pertarungan hidup mati
untuk mengawali pawai kemenangan
            Tapi arak-arakan kami di bumi
dihadang hari-hari
ditantang malam-malam lengang menikam
dan iblis seperti selalu menyindir
dengan tipu yang terlalu mahir
                                    lalu
                                    kulihat mata-Mu berbinar sendu
pada mata bocah tak beribu
                                    di wajah si butet kehilangan ayah;
            kulihat tangan-Mu terkulai gemetar
            di sudut penjara, ketika tahanan diinterogasi
            dalam caci, ancaman dan siksa
                        kudengar rintihan-Mu begitu ngilu
                        di antara kapar tubuh para pasien
rindu pulih, rindu utuh, rindu sembuh;
                                    kulihat badan-Mu penuh daki
keringat mengucuri tubuh telanjang
                                    pada diri petani tua, membajak
                                    sawah bukan miliknya;
            kudengar pekik-Mu parau
            dalam keluh panjang insan jelata
            terkapar dalam kemelaratan
            sarat muatan nestapa!
                        Ketika itu,
                        sebuah bisik halus
Kau pesankan di pagi paskah:
yang kau lakukan bagi mereka,
itulah baktimu bagi-Ku!



Aku pun Termangu

Menyimak ingatan hari-hari berlalu
adalah kesyahduan lembut ramah
menghembuskan bebauan dupa wangi
dari yang abadi yang masih bersemi
            aku pun termangu
            karena tahu:
            aku tak berhak bicara
            tentang harapan, semangat dan masa depan
            mereka yang terlunta dan tersiksa,
            ketika tidurku hangat di musim hujan
            terlindung aman di rumah bebas banjir,
            ketika bangun, kopi panas sudah menanti
            dan istri yang setia melayani!
Haruskah aku menderita
untuk bisa bicara untuk yang tertindas?

Haruskah aku berduka
untuk menghibur yang terluka?

Haruskah aku terpukul retak
untuk bisa memulihkan hidup terpatah?

Sebuah pemberian telah diberikan kepadaku:
kecil, tapi paripurna
sederhana, tapi sempurna
cinta yang dibasuh dengan darah;
karena cinta, aku boleh bicara,
karena cinta, aku berhak bicara,
karena cinta, aku harus bicara!
Karena penyerahan pada cinta
Membuat darah ini masih menderu
            Kini, dengan ragu yang bertambah renta
kurangkai cinta dalam puuisi yang tak pernah sempurna
dengan jejari yang mulai gemetar di makan usia
            Kini waktunya bertanya:
            aku bisa berbuat apa bagi kebahagian sesama!






Pengertian

Seperti aku,
kau juga pernah berkata
kita harus berikan tempat
bagi angkatan yang lebih muda
begitu banyak tenaga
begitu sedikit tempat
kita harus berikan tempat
untuk mereka
            Adalah kerelaan dan kesediaan
untuk berbagi dan mengerti
kehangatan cinta dan kesetiaan
kasih yang mengalir abadi
dalam hati
di urat nadi
            percayalah padaku,
            semangat dan harapan
            -biarpun kadang berupa mimpi
            karena mimpi pun memerlukan sejenis landasan-
            selalu meremajakan,
            biarpun usia terus bergulir
            dari fajar menjelang senja
                        Bukan mustahil!
                        satu ketika Tuhan akan berkata kepada
bumi,
dunia,
alam semesta: Berhenti!
            Lalu mentari tak menyala lagi
            Bulan pun dingin membeku;
            semuanya menjadi sunyi
                        kita pun boleh tersenyum
dan berkata:
                        Telah kupersembahkan hidupku!






Persahabatan

Puisi ini
adalah serangkai ucap
dari seorang sahabat,
mengatakan apa yang harus dikatakan
karena dari kalbu yang terhimpit mimpi
mengalir untaian kata
begitu dekat dengan hati
            Kau adalah sahabat
Ketika kau menjadi manusia
bagi sesamamu manusia;
mereka bukan sekedar angka,
tapi manusia!
            Kau adalah manusia
            -sama seperti aku-
            karena itu kita juga serapuh debu
                        jangan sesali dirimu
                        jangan tolak dirimu
                        terimalah dirimu!
            Sahabatmu
            adalah sahabatmu,
            tidak lebih!
                        Persahabatan tidak dibuat
                        ia bertumbuh;
                        persahabatan tidak direkayasa
                        ia lahir sangat alami:
            itulah persahabatan
            tanpa ritus
            tanpa kultus



[1]  www.gkps.or.id/component/content/article/14-dasar-pemahaman-kristen/141-diakonia diakses oleh Shandy Yoan Barus pada tanggal 5 Mei 2010,pukul 14.00 WIB.


[2] Abineno. J. L. Ch., Diaken, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hal. 3.

[3] www.gkps.or.id/component/content/article/14-dasar-pemahaman-kristen/141-diakonia diakses oleh Shandy Yoan Barus pada tanggal 5 Mei 2010,pukul 14.00 WIB.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar