TRAFIKING PEREMPUAN
Kekerasan adalah tindak keras atau
pemaksaan oleh seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau kerugian
bahkan kematian bagi yang mengalaminya[1]. Konferensi
perempuan sedunia keempat si tahun 1996 mendefinisikan kekerasan perempuan
adalah segala sesuatu yang dianggap perempuan sebagai kekerasan[2].
Kekerasan selalu menyakiti siapa saja yang mengalaminya. Cepat atau
lambat, si korban akan mengalami penderitaan fisik, mental, bahkan trauma yang
dalam dan berkepanjangan.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang faktor-faktor pendukung kekerasan
terhadap perempuan, yakni: Mengapa trafiking perempuan dapat terjadi? Siapa
saja pelaku kekerasan perempuan? Bagaimana penyelesaiannya?
Dalam kasus kekerasan perempuan, kekerasan berbasis jender[3]
merupakan faktor utamanya karena pria sebagai pemegang kuasa berpeluang untuk
melakukan kekerasan terhadap perempuan yang selalu dianggap lemah. Kekerasan
terhadap perempuan tidak hanya sebatas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh
suami, tetapi juga terjadi terhadap remaja dan anak-anak perempuan. Bentuk dari
kekerasan tersebut dapat berupa trafiking perempuan.
Trafiking perempuan merupakan bukti kekerasan perempuan yang merupakan
kejahatan di zaman ini yang mengakibatkan kesengsaraan bagi si korban, karena
perempuan yang diperdagangkan tidak diperlakukan sebagai sumber daya manusia
yang mempunyai potensi dan hak-hak pribadi melainkan sebagai barang dagangan
yang dapat diperjualbelikan. Korban direkrut, dijual, dipindahkan, serta dijual
kembali dengan disertai berbagai kejahatan seperti penipuan, kekerasan dan
eksploitasi seks.
Trafiking perempuan adalah segala tindak perekrutan, pengangkutan antar
daerah dan negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan, dan
penampungan sementara. Dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik,
penculikan, penipuan, dan jebakan yang digunakan untuk tujuan pelacuran dan
eksploitasi seksual, anak adopsi, penganten pesanan, pembantu rumah tangga,
pengemis, penjualan organ tubuh, pengedar obat terlarang, industri pornografi,
dan bentuk esploitasi lainnya[4].
Situasi ekonomi yang sulit sering menjadi faktor utama penyebab trafiking
perempuan. Orang tua menjual anak gadisnya untuk menjadi pekerja seks. Ada juga yang berawal dari
sekedar ingin mencari kerja namun terjatuh ke dalam tangan mucikari.
Pekerja seks komersial (PSK) adalah orang-orang yang bekerja didunia seksualitas
tanpa melakukan hubungan seks yang intim, misalnya penari striptis, pramugari
bar atau pub, dan model industri pornografi. Sedangkan pelacur adalah orang
yang menjual dirinya dengan melakukan hubungan seksual secara intim. PSK dan
pelacur merupakan kegiatan pelecehan seksual, sama halnya seperti lesbian.
Namun perilaku lesbian cenderung terjadi akibat adanya kekerasan dari seorang
pria terhadap korban sebelumnya sehingga mengakibatkan trauma terhadap pria.
Misalnya seorang perempuan pernah mengalami tindak pemerkosaan atau sodomi oleh
teman prianya sebelumnya.
Trafiking perempuan tidak hanya sebatas PSK dan pelacuran yang illegal
saja, tetapi juga mencakup pelacuran legal seperti kawin kontrak, nikah siri,
dan poligami yang merugikan kaum perempuan. Kerugian tersebut dapat saja berupa
tekanan emosional ataupun luka fisik. Namun demikian, kegiatan pelacuran legal
tersebut tetap saja dilakukan dan atas kesadaran serta kemauan sendiri.
Walaupun dengan konsekuensi kerugian yang tidak setimpal.
Kawin kontrak merupakan hubungan perkawinan yang memiliki kurun maktu
tertentu melelui persetujuan bersama antara korban dan pelaku. Kawin kontrak
hanyalah sebuah perkawinan yang terjadi begitu saja melalui sebuah pernyataan
pada selembar kertas yang ditandatangani dan disertai sejumlah uang sebagai
tanda kesepakatan antara kedua belah pihak. Dengan demikian kawin kontrak yang
merupakan pemerkosaan berulang tersebut dinyatakan sah dan tidak bisa diputus
oleh pihak perempuan.
Nikah siri mungkin sedikit berbeda dari kawin kontrak karena diakui
secara agama tapi tidak secara negara. Sedangkan poligami adalah seseorang yang
memiliki istri lebih dari satu.
Trafiking perempuan menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan bagi
korbannya akibat kekerasan. Disadari atau tidak, kekerasan tersebut dapat
berakibat fatal dan non-fatal.
Kekerasan yang fatal dapat berupa:
- Bunuh
diri karena mengalami tekanan yang berkepanjangan
- Infeksi HIV/AIDS akibat seks bebas.
Sedangkan
kekerasan yang non-fatal dapat berupa:
- Kekerasan fisik yang berupa luka, kecacatan, dan obesitas lanjut.
-
Kekerasan mental yang berupa stress pasca trauma,
depresi, kecemasan, phobia, disfungsi seksual, rendah diri, dan gangguan prilaku
seperti kecanduan rokok dan alcohol,obat terlarang, dan seks bebas.
-
Kekerasan reproduksi yang berupa IMS/HIV[5]
kehamilan y ang tidak diinginkan, gangguan genekologi, aborsi yang tidak aman,
komplikasi kehamilan, dan keguguran.
Trafiking perempuan bisa terjadi
kapan saja, dimana saja dan terhadap siapa saja. Banyak hal yang bisa melatar
belakangi terjadinya trafiking perempuan, seperti[6]:
1. Kemiskinan
Sulitnya lapangan kerja akibat krisis ekonomi yang
berkepanjangan menimbulkan banyak orang berusaha mengambil jalan pintas.
2. Kebodohan dan
putus sekolah
Pendidikan sangat dibutuhkan bagi para pemuda dan
remaja guna menghadapi tantangan ke depan yang semakin kompentatif dan
kompleks. Sebab bila kita berada dalam kebodohan, maka kita akan menjadi mangsa
pembodohan dan penipuan.
3. Perceraian atau keluarga
berantakan
Keluarga adalah awal dari segala sesuatu, gagasan, sikap, keyakinan, dan
perasaan. Apa yang terjadi di dalam keluarga akan menentukan juga apa yang
terjadi di dalam masyarakat beserta masalah-masalah yang ada di tengah
masyarakat tersebut, seperti kehidupan
kumpul kebo, seks bebas, atau perceraian yang menjadi mode paling bergengsi di
tengah masyarakat saat ini. Akibat perceraian banyak anak yang hidupnya tidak
terkontrol karena marah, benci, dendam, labil, sehingga mereka mudah terseret
dan jatuh ke dalam kesesatan.
4. Bencana alam
Dampak dari bencana alam yang menyebabkan masyarakat
harus mengungsi ke tempat lain adalah perasaan takut dan putus asa yang dapat
memotivasi dan mengubah mental spiritual seseorang. Sehingga mengakibatkan
seseorang dapat terperangkap dalam jerat dunia kegelapan.
Trafiking
perempuan dapat berjalan lancar didukung oleh beberapa faktor, antara lain
seperti:
- Faktor geografis
- Kurang perlindungan
Banyak perempuan
yang menjadi korban kekuasaan. Mereka ditangkap dan dijadikan seperti barang
jarahan.
- Moral yang rusak
Semakin banyak
manusia yang tidak memiliki pandangan etika moral.
Fakta sejarah
menunjukan bahwa di Indonesia
juga terdapat Trafiking perempuan. Namun masih dilindungi oleh hukum trafiking
perempuan. Klasaifikasi pelanggaran HAM yang dialami oleh perempuan dapat di
lihat dari :
1.
Dalam bidang Hukum Pidana
-
penipuan/pemberian informasi tidak benar (KUHP Pasal 378-389);
- pemalsuan surat , KTP dan identitas
(KUHP Pasal 263-276);
- perdagangan perempuan dan laki-laki yang belum dewasa (KUHP Pasal 297);
- kematian;
- vonis hukuman
mati;
-
hukuman cambuk;
-
pelecehan dan kekerasan seksual;
- perkosaan;
-
penganiayaan/penyiksaan;
- penyekapan;
- penelantaran;
- pungutan
liar/pemerasan;
- pembatasan
kebebasan bergerak;
- prostitusi;
-
ditangkap/ditahan;
- deportasi;
- konflik;
- melarikan diri
dengan segala akibat;
- dipenjara.
2. Dalam bidang
Hukum Perdata
- kontrak dengan anak yang belum dewasa
(KUUP Pasal1320);
- penjeratan
utang (KUUP Pasal 1338 dan 1339);
- perbuatan
melanggar hukum (KUUP Pasal 1365)
yaitu melanggar
undang-undang, hak, serta kepatutan yang harus diindahkan dalam masyarakat;
- penjeratan utang kepada majikan di luar negeri yang mencapai Rp. 350
juta dengan pemberian kontrak kerja yang
disodorkan dengan desakan untuk
ditandatangani (KUUP Pasal 1338 dan 1339);
- hambatan
beribadah;
- gaji
tidak/belum di bayar;
- PHK.
3. Dalam Deklarasi Universal HAM (UDHR/DUHAM)
- pengakuan atas hak hidup, kebebasan, dan keamanan bagi setiap orang
(UDHR Pasal 3);
- setiap orang memiliki hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau
penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi (UDHR Pasal 5).
4. Dalam bidang Hukum Administrasi Negara[7]
- terdapat paspor palsu yang dikeluarkan
imigrasi;
- tidak memiliki dokumen.
5. Lain-lain
- hilang kontak;
- mengalami
stres/depresi/gangguan jiwa;
- sakit/cacat
akibat penganiayaan atau kecelakaan.
Sebenarnya kasus trafiking perempuan dapat saja tidak terjadi bila ada
dukungan dari orang-orang terdekat korban yang dapat menjadi tempat sandarannya.
Terutama kaum perempuan yang berperan besar dalam kasus trafiking perempuan.
Solusi pendekatan itu dapat ditinjau dari berbagai aspek:
1.
Kultur
-
memberikan pembinaan kepada orang tua anak muda dan
masyarakat oleh gereja dan pemerintah;
-
sosialisasi bahaya trafiking;
-
pelatihan untuk anak putus sekolah;
-
peningkatan pendidikan formal dan non-formal dalam
keluarga;
-
gereja menganjurkan bahwa jangan berhutang kepada orang
yang tidak dikenal.
2.
Sosial
-
waspada terhadap orang yang tidak dikenal;
-
segera laporkan kejadian kekerasan kepada pihak penegak
hukum;
-
sediakan lapangan pekerjaan;
-
melakukan pendekatan kepada korban dengan kasih;
-
lacak lokasi yang dicurigai;
-
penggembalaan pelaku dan pendampingan korban.
Namun gereja sebagai lembaga persekutuan
seharusnya juga dapat memperlihatkan solidaritas mereka secara lebih intim
dengan:
- Memberi bimbingan/ pembinaan kepada pemuda dan
remaja, tentang tanggung jawab dalam menjalani kehidupan [ Pengkhotbah 12:13-14
].
-
Menginsyafkan pemuda dan remaja, bahwa setiap orang berdosa [ Roma 3:23 ] namun
Allah sangat mengasihi mereka, sebab itu jauhilah hawa nafsu [ 2 Timotius 2:22
].
-
Menyelamatkan pemuda dan remaja dari hukum dan murka Allah dengan cara hidup
berdamai dengan Allah [ Yohanes 3:16 ].
-
Mendidik anak sedini mungkin untuk “Takut akan Tuhan”
dan dilakukan terus-menerus [ Amsal 1:7 ].
-
Meningkatkan kualitas persekutuan pemuda dan remaja,
supaya mereka memiliki solidaritas, iman percaya yang kokoh dan doa yang
berkemenangan [ Kisah para rasul 2:42-46 ].
-
Mengajarkan peranan kuasa Alkitab dalam menjalani
kehidupan, sebagai makanan rohani [ Efesus 4:13].
-
Menyediakan sarana konseling, karena pemuda dan remaja
pada masa transisi, mental mereka menjadi labil, sehingga terjadi kekelutan,
kebinggungan dan kegoncangan batin. Oleh karena itu mereka membutuhkan tempat
untuk berbagi dan mencurahkan isi hati mereka.
Trafiking
perempuan adalah perbuatan melanggar hak asasi manusia karena perempuan
dijadikan objek perdagangan dan eksploitasi. Trafiking perempuan merupakan
suatu pengingkaran terhadap kedudukan hakiki manusia sebagai subjek hukum,
telah menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan sekaligus merendahkan martabat
manusia.
Kejahatan trafiking perempuan dilakukan dalam
segala bentuk penipuan, pemerasan, eksploitasi, dan kekerasan. Untuk
menanggulangi segala akibat perbuatan tersebut, pemerintah dan masyarakat
terutama tokoh agama dan semua lembaga yang ada dalam komunitas masyarakat
tersebut harus mengambil langkah-langkah nyata untuk pencegahan, pemberantasan
dan pemulihan terhadap korban trafiking. Kejahatan ini merupakan suatu fenomena
yang sukar dideteksi, karena memerlukan keterampilan dan pengalaman untuk sampai pada pengungkapan kasus yang
sebenarnya. Dengan melihat trafiking perempuan sebagai bencana kehidupan moral
melalui sudut pandang Alkitab, maka sudah waktunya gereja-gereja berperan aktif
memerangi kejahatan dunia kegelapan ini dengan lebih serius dan bertanggung
jawab.
Kerja
sama masyarakat terutama lembaga gereja dan tokoh agama serta penegak hukum
sangat diperlukan dalam pemberantasan kasus trafiking perempuan ini. Sebab,
karena itulah gereja ada di bumi ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Habsari, Ririn dan Harimat Hendrawan. 2007. Menguak Misteri di Balik Kesakitan Perempuan. Jakarta : Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan.
Lapian, L. M. Gandhi dan Hetty A. Geru. 2006. Trafiking Perempuan dan Anak. Jakarta :
Penerbit Yayasan Obor Indonesia .
Laporan pelapor khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan. 2000. Perdagangan Perempuan, Migrasi Perempuan,
Kekerasan Terhadap Perempuan: Penyebab dan Akibatnya. Jakarta : Publikasi KOMNAS Perempuan, Seri
Dokumentasi.
Laporan pelapor khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan. 2000. Kekerasan Terhadap Perempuan yang Dilakukan
dan/atau Dibiarkan oleh Negara Selama Berlangsungnya Konflik Bersenjata. Jakarta : Publikasi KOMNAS
Perempuan, Seri Dokumemtasi.
Suchalla, Anna. 2004. Study of
Cultur. Jakarta :
Penerbit United Evanglical Mission (UEM).
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta : Balai Pustaka.
[1] Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta ,
1994.
[2] Anna
Suchalla, Study of Culture, United
Evanglical Mission, hal . 56.
[3] Laporan
Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan: Kekerasan Terhadap Perempuan yang Dilakukan dan/atau Dibiarkan Negara
Selama Berlangsungnya Konflik Bersenjata, KOMNAS Perempuan, Seri
Dokumentasi Kunci, 2000, hal. 15
[4] L. M.
Gandhi Lapian dan Hetty A. Geru, Trafiking
Perempuan dan Anak: Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Sulawesi Utara, Yayasan
Obor Indonesia , Jakarta , 2006, hal. 153.
[5] Ririn
Habsari dan Harimat Hendrawan, Menguak
Misteri di Balik Kesakitan Perempuan, KOMNAS Perempuan, Jakarta , 2007, hal. 29.
[6] L. M. Gandhi Lapian dan Hetty A. Geru, Op.Cit. hal. 86.
[7]Laporan
Pelapor Khusus PBB tentang Kekuasaan terhadap Perempuan: Perdagangan Perempuan, Migrasi Perempuan dan Kekerasan terhadap
Perempuan: Pwnyebab dan Akibatnya, KOMNAS Perempuan, Seri Dokumentasi
Kunci, 2000, hal. 80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar