KEMAMPUAN MENTAL & PENGUKURANNYA
|
I.
Pendahuluan
Seorang manusia yang utuh mempunyai
anggota tubuh yang lengkap. Anggota tubuh tersebut biasa disebut fisik. Sudah
pasti untuk mengerjakan suatu aktifitas, manusia menggunakan fisik. Akan tetapi,
seorang manusia normal memiliki dua unsur dalam dirinya. Selain fisik manusia
juga mempunyai mental. Mental ini yang mempengaruhi pikiran manusia untuk
melakukan sesuatu.
Kita sering mendengar istilah “Mental Tempe .” Istilah tersebut mempunyai arti
bahwa kita tidak mempunyai keberanian atau nyali. Namun demikian, mental
seseorang dapat berubah ketika mendapatkan suatu dukungan dari orang lain,
tetapi pada intinya perubahan tersebut tergantung pada orang yang bersangkutan.
Permasalahn ini yang melatarbelakangi paper kelompok.
Jadi, apa sebenarnya mental itu? Apa
kegunaan dari mental? Bagaimana mental dapat diukur? Melalui paper ini,
kelompok akan menguraikan pertanyaan-pertanyaan tersebut.
II. Isi
II.1. Pengertian Mental
Kamus Besar Bahasa Indonesia
mendefinisikan mental sebagai sesuatu yang bersangkutan dengan batin dan watak
manusia. Bukan bersifat badan atau tenaga.[1]
Jadi bukan hanya pembangunan fisik yang diperhatikan, tetapi pembangunan mental
juga diperhatikan. Dapat dikatakan bahwa mental dan fisik tidak mempunyai
hubungan yang mendalam.
II.2. Kesehatan
Mental
Seseorang yang mempunyai mental sehat
ditandai dengan sifat-sifat khas, antara lain:
ü Mempunyai kemampuan-kemampuan untuk
bertindak secara efesien;
ü Mempunyai tujuan hidup yang jelas;
ü Mempunyai konsep diri yang sehat;
ü Mempunyai koordinasi antara segenap
potensi dengan usaha-usahanya;
ü Mempunyai regulasi diri dan integrasi
kepribadian;
ü Mempunyai batin yang tenang.[2]
Kesehatan mental tidak hanya memanifestasikan diri
dalam penampakkan tanda -tanda tanpa ada gangguan batin saja. Akan tetapi
posisi pribadinya juga harmonis dan baik, selaras dengan dunia luar dan di
dalam dirinya sendiri, begitu juga harmonis dengan lingkungannya. Maka dengan
demikian, orang yang sehat mentalnya itu secara mudah dapat melakukan:
ü Adaptasi;
ü Selalu aktif berpartisipasi;
ü Dapat
menerapkan diri dengan lancar pada setiap perubahan sosial;
ü Selalu sibuk melaksanakan realisasi
diri;
ü Senantiasa dapat menikmati kepuasan
dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya.[3]
II.3. Prinsip-Prinsip Pokok
Mendapatkan Kesehatan Mental
Tiga prinsip pokok untuk mendapatkan
kesehatan mental:
ü Pemenuhan Kebutuhan Pokok
Seseorang pasti mempunyai
kebutuhan-kebutuhan pokok dan dorongan-dorongan yang bersifat organis dan
bersifat sosial. Kebutuhan dan dorongan inilah yang menuntut kepuasan. Maka,
dari kedua hal tersebut dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam usaha
pencapaiannya. Ketegangan cenderung menurun jika kebutuhan-kebutuhan terpenuhi.
Sebaliknya, ketegangan akan makin naik atau banyak, jika mengalami frustasi
atau hambatan-hambatan.
ü Kepuasan
Setiap orang menginginkan kepuasan,
baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat psikis. Pendek kata, seseorang
ingin puas di segala bidang, dalam arti seseorang ingin merasa kenyang, aman
terlindung, ingin puas dalam hubungan seksnya, ingin mendapat simpati dan
diakui harkatnya. Maka dari situ timbullah kesadaran nilai dirinya dan kesadaran
penguasaan yang memberi rasa senang dan bahagia.[4]
ü Posisi dan Status Sosial
Setiap individu selalu berusaha
mencari posisi sosial dan status sosial dalam linkungannya, begitu juga dengan
cinta dan simpati. Mengapa demikian? Sebab cinta dan kasih menumbuhkan rasa
diri aman, keberanian dan harapan-harapan di masa mendatang. Oleh karena
hal-hal demikian seseorang dapat menjadi optimis dan bergairah.
Individu-individu yang mengalami gangguan mental biasanya merasa dirinya tidak
aman, merasa dikejar-kejar dan selalu dalam kondisi ketakutan. Individu
tersebut tidak mempunyai kepercayaan pada diri sendiri dan masa depan. Jiwanya
selalu bimbang dan tidak seimbang.[5]
II.4. Disorder Mental dan Gejala
Psikopat
Disorder mental adalah
bentuk penyakit, gangguan dan kekacauan fungsi mental atau kesehatan mental
yang disebabkan oleh kegagalan
mereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan/mental
terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan; sehingga muncul gangguan
fungsional atau gangguan struktural dari satu bagian, satu orang atau sistem
kejiwaan mental. Disorder ini disebakan tiga faktor, yaitu:
ü Predisposisi
Struktur biologis/jasmani yang lemah,
mental/kepribadian yang lemah atau kombinasi dari keduanya dapat menimbulkan
gangguan mental. Jadi, ada kondisi pembawaan yang lemah, lalu ditambah dengan
jasmani yang lemah, karena orang yang bersangkutan banyak mengalami shock
emosional. Shock emosional ini mengakibatkan terjadinya gangguan pada
integrasi, pribadi, dan muncul dissosiasi dengan lingkungan. Maka, pada saatnya
akan meledak menjadi macam-macam gangguan mental.
ü Pemasakan
Batin yang keliru dari pengalaman
atau pencernaan pengalaman dalam diri dengan cara yang salah. Dengan kata lain,
tempat dari gangguan jiwa itu ada di dalam kepribadian sendiri, dalam bentuk
kesalahan karakter yang cukup serius. Biasanya berbentuk konflik-konflik batin
yang tajam dan sangat mendalam dan ini tidak bisa diselesaikan dengan cara yang
wajar.[6]
ü Faktor Sosio-Kultural atau Faktor Eksternal
Jika suatu ambisi tidak tercapai,
lalu seseorang merasa malu, takut, cemas, bingung, rendah diri dan mengalami
frustasi. Ini dapat mengakibatkan kontak sosial atau lembaga keluarga terpecah,
penuh unsur ketegangan, stress, tidak mempunyai kaitan batin dan merasa tidak
aman. Maka, ketakutan, kecemasan dan kebingungan itu menjadi target yang empuk
bagi timbulnya kekalutan mental.[7]
Psikopat adalah bentuk
kekalutan mental ditandai dengan tidak adanya pengorganisasian dan
pengintegrasian pribadi. Maksudnya, seseorang tidak dapat betanggung jawab
secara moral, beradaptasi sosial yang tidak normal dan selalu berkonflik dengan
norma-norma sosial dan hukum. Mengapa demikian? Karena sepanjang hayatnya ia
hidup dalam lingkungan sosial yang abnormal dan immoral yang diciptakan oleh
angan-angan sendiri.
Orang-orang psikopat
biasanya tidak mendapatkan kasih sayang pada saat muda, khususnya dari
lingkungan. Selama lima
tahun pertama dia tidak mendapatkan kasih sayang, sehingga untuk selama-lamanya
individu yang bersangkutan kehilangan atau tidak sanggup mengembangkan
kemampuan, menerima dan memberikan cinta kasih maupun simpati. Maka sepanjang
hidup sampai usia dewasa dan tua, dia kehilangan perasaan sosial dan rasa
kemanusiannya. Dia tidak dapat menjalin relasi dengan siapapun. Perasaanya
selalu tidak senang dan tidak puas.
Jiwanya senantiasa
diliputi rasa benci, iri, dendam, curiga, penolakan, rasa dikejar-kejar dan
dituduh. Sehingga jiwanya menjadi gelisah, tegang, penuh ketakutan; lalu
menjadi kacau balau, serta diliputi bayangan pikiran dan perasaan
kegila-gilaan. Maka terjadilah kemudian desintegrasi dan disorganisasi
kepribadian, tanpa memiliki rasa sosial dan rasa kemanusiaan yang wajar.[8]
II.5. Inteligensi
Seorang yang bernama
David Wechsler mendefinisikan bahwa inteligensi adalah kemampuan individu untuk
berpikir dan bertindak secara terarah, serta mengolah dan menguasai lingkungan
secara efektif. Kemampuan yang telah dipaparkan David Wechsler , maksudnya
adalah kemampuan untuk mengolah lebih jauh lagi hal-hal yang kita amati. Kemampuan
tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu:
ü Kemampuan Khusus
Kemampuan dalam bidang-bidang
tertentu, misalnya dalam bidang perdagangan, bidang ilmu pasti dan juga
kemampuan-kemapuan tertentu seperti kemampuan analisa, kemampuan mensintesakan
atau mengorganisasikan fakta, daya ingatan, inisiatif dan kreatifitas.
ü Kemampuan Umum
Kemampuan ini mendasari kemampuan
khusus, tetapi ia bukan merupakan kumpulan, gabungan atau penjumlahan
kemampuan-kemapuan khusus belaka, melainkan kualitas tersendiri[9]
Pengukuran inteligensi
dilakukan dengan alat-alat psikodiagnostik tertentu, yang biasa disebut
psikotes. Hasil pengukuran inteligensi dinyatakan dalam satu ukuran tertentu
yang dapat menyatakan tinggi rendahnya inteligensi yang diukur, yaitu
Intelligence Quotient yang biasa disingkat IQ yang artinya hasil bagi taraf
kecerdasan. David Wechsler dan Bellevue
menyatakan bahwa kalau semua orang di dunia diukur intelegensinya, maka akan
terdapat orang-orang yang sangat pandai dan sama banyaknya orang-orang yang
sangat bodoh. Orang-orang yang pandai tetapi tidak sepandai golongan pertama,
sama banyaknya pula dengan orang-orang yang tidak sebodoh golongan terbodoh di
atas.[10]
Demikanlah seterusnya sehingga yang terbanyak adalah yang bertaraf intelegensi
normal. Pendapat tersebut dapat dilihat dalam table berikut:
IQ
|
Klasifikasi
|
Berapa %
banyaknya
di antara
penduduk
dunia
|
Kalau
dihubungkan
dengan
tingkat
sekolah
|
s/d 67
|
Terbelakang
|
2,2
|
Tidak dapat mengikuti
sekolah biasa
|
68-79
|
Perbatasan
|
6,7
|
Dapat mempelajari sesuatu tapi
terlambat
|
80-90
|
Kurang dari rata-rata
|
16,1
|
Dapat menyelesaikan SD
|
91-110
|
Rata-rata
|
50,0
|
Dapat menyelesaikan
sekolah lanjutan
|
111-119
|
Di atas rata-rata
|
16,1
|
Dapat melanjutkan sekolah
di atas sekolah lanjutan tanpa banyak kesulitan
|
120-127
|
6,7
|
Dapat menyelesaikan
tingkat universitas tanpa banyak kesulitan
|
|
128 ke atas
|
Sangat superior
|
2,2
|
Orang-orang yang sangat
pandai, seperti sarjana terkemuka, pemimpin dunia dan para jenius
|
II.6. Keterbelakangan Mental
Keterbelakangan mental
atau yang biasa disebut terbelakang adalah orang-orang yang tingkat inteligensi
rendah sekali. Sebagian (2,2%) orang di dunia ini mengalami ketebelakangan.
Lalu apa tanda-tanda dari keterbelakangan:
ü Kecerdasannya sangat terbatas;
ü Ketidakmampuan sosial, maksudnya tidak
mampu mengurus diri sendiri, sehingga selalu memerlukan bantuan orang lain;
ü Arah minat sangat terbatas pada
hal-hal tertentu yang sederhana saja;
ü Perhatiannya labil, mudah
berpindah-pindah;
ü Daya ingatnya lemah;
ü Emosi sangat miskin dan terbatas,
misalnya hanya ada perasaan senang, takut, marah, benci dan terkejut;
ü Apatis, acuh tak acuh terhadap
sekitarnya;
ü Kelainan-kelainan badaniah seperti
badan terlalu kecil, kepala terlalu besar, mulut melongo, mata sipit (khususnya
pada jenis mongoloid), badan bungkuk dan tampak tidak sehat.[11]
Berdasarkan taraf inteligensinya, orang-orang
terbelakang dapat digolongkan
dalam tiga jenis, yaitu:
ü Idiot à yang
paling rendah taraf inteligensinya (IQ di bawah 20);
ü Imbesil à yang
mempunyai IQ 20-50;
Menurut kesepakatan terakhir dari American Association
Of Mental Retardation, tingkat-tingkat keterbelakangan mental tersebut[13]
adalah sebagai berikut:
No.
|
Tingkat Keterbelakangan
|
IQ
|
1
|
Sangat berat (profound)
|
0-19
|
2
|
Berat (sephere)
|
20-35
|
3
|
Sedang (moderate)
|
36-54
|
4
|
Ringan (mild)
|
55-69
|
5
|
Perbatasan (borderline)
|
70-85
|
6
|
Lambat belajar (slow learner)
|
85-90
|
II.7. Kemampuan Mental dan
Pengukurannya
Setiap individu mempunyai
karakteristik kemampuan mental yang berbeda
dan bervariasi. Kemampuan mental ini juga dapat dites dan diukur. Tes kemampuan
mental pertama kali dikembangkan sekitar peralihan abad ini. Tes tersebut
diterima sebagai metode yang objektif dan netral untuk mengidentifikasi bakat
dan memastikan kesempatan seseorang.
Tes seperti ini sangat
digemari di Amerika untuk menyeleksi pegawai atau mengklsifiskasikan siswa.
Contohnya, Civil Service Examination yang setiap tahun diikuti oleh ribuan
orang yang melamar berbagai jabatan. Jika kita melihat contoh ini, masih banyak
orang memandang tes kemampuan sebagai saran yang paling baik. Namun demikian,
di lain pihak menyatakan bahwa tes semacam itu bersifat terbatas dan sempit.
Tes tersebut tidak mengukur karakteristi yang paling penting dalam usaha
menetapkan tingkat keberhasilan yang dicapai di pekerjaan atau sekolah.[14]
ü Jenis Tes Kemapuan
Tes pada dasarnya merupakan sampel
perilaku yang diambil pada suatu saat tertentu. Seringkali dibedakan antara tes
prestasi (Achievment Test – yang dirancang untuk mengukur ketrampilan yang
telah dicapai dan menunjukkan apa yang dapat dilakukan seseorang pada saat ini)
dan tes bakat (Aptitude Tes – yang dirancang untuk memprediksi apa yang dapat
dilakukan seseorang bila dilatih). Akan tetapi, perbedaan kedua jenis tes itu tidak
terlalu jelas. Semua tes menilai keadaan individu saat ini, apakah tujuan tes
itu mengukur apa yang telah dipelajari atau memprediksi penampilan di masa
mendatang. Kedua jenis tes itu sering mencakup tipe pertanyaan yang sama dan
menunjukkan hasil yang berkorelasi tinggi. Dari pada menganggap tes prestasi
dan tes bakat sebgai dua kategori tes yang berbeda, lebih baik memandangnya
sebagai bagian dari suatu kesatuan.[15]
Bakat Lawan Prestasi
Tes-tes yang berada di ujung
rangkaian kesatuan bakat – prestasi bebeda satu sama lain terutama dari segi
tujuan. Tes dengan pertanyaan yang sama bisa dimasukkan dalam rangkaian tes
yang disusun untuk menyeleksi para pelamar pelatih pilot, karena pengetahuan
tentang prinsip mekanik diakui sebagai prediktor keberhasilan penerbangan yang
baik. Tes yang terakhir ini dianggap sebagai ukuran bakat karena hasil-hasilnya
digunakan untuk memprediksi penampilan sebagai kader pilot. Tes-tes yang berada
di ujung rangkaian kesatuan bakat – prestasi juga dapat dibedakan dari segi kekhususan
pengalaman terdahulu yang relevan.[16]
Keumuman Lawan Kekhususan
Tes kemampuan juga dapat dibedakan
berdasarkan rangkaian kesatuan umum – khusus ; yaitu, tes semacam itu berbeda
dalam hal keluasan isinya. Musical Aptitude Profile berada diujung khusus
rangkaian itu, seperti juga tes mengetik, ujian mengemudi, tes kemampuan
matematis atau tes pemahaman bacaan. Tes-tes ini mengukur kemampuan yang cukup
spesifik. Pada ujung umum rangkaian itu terdapat ujian kecakapan SMA dan tes
bakat skolastik – yang mencoba mengukur perkembangan pendidikan di sejumlah
bidang – sebagaimana kebanyakan tes dalam serangkaian kemampuan. Tes semacam
ini biasanya tidak terdiri dari soal-soal yang dapat dijawab dengan ingatan
sederhana atau dengan penerapan ketrampilan praktis, tetapi mengutamakan
soal-soal yang membutuhkan gabungan kemampuan menganalisis, memahami konsep
abstrak dan menarapkan pengetahuan sebelumnya untuk memecahkan masalah baru.[17]
ü Syarat-Syarat Tes Yang Baik
Tes memainkan peranan yang begitu
penting dalam kehidupan kita, tes itu harus mengukur apa yang hendak diukur dan
skornya harus mencerminkan pengetahuan dan ketrampilan peserta tes secara
tepat. Sebuah tes dikatakan bermanfaat bila skornya sahih (valid) dan andal
(reliable).
Keterandalan (reliabilitas)
Skor tes dikatakan andal bila skor
itu dapat dihasilkan lagi dan konsisten. Tes bisa menjadi titik andal karena
beberapa alasan. Butir soal tes yang membingungkan atau bermakna ganda bisa
menimbulkan arti yang berbeda bagi peserta tes pada saat yang berbeda. Jika
setiap individu yang dites mencapai skor yang kurang lebih sama pada kedua
pengukuran itu, berarti tes tersebut andal. Beberapa perbedaan bisa muncul di
antara kedua skor itu karena adanya perbedaan peluang dan kesalahan pengukuran.
Oleh sebab itu, dibutuhkan pengukuran
statistik mengenai tingkat hubungan antara seperangkat pasangan skor.[18]
Kesahihan (validitas)
Tes dikatakan sahih bila tes itu
megukur apa yang hendak diukur. Mengukur sebuah kesahihan, kita harus
mendapatkan dua skor dari setiap orang: skor tes dan ukuran lain dari kemampuan
yang dibahas. Ukuran ini disebut kriteria. Dengan demikian, dapat diperoleh
koefisien korelasi anatara skor tes awal dan skor pada kriteria. Koefisien
korelasi ini, yang dikenal sebagai koefisien kesahihan, menggambarkan bobot
suatu tes yang disusun untuk tujuan tertentu. Semakin tinggi kesahihan
koefisien, semakin baik prediksi yang dapat dibuat dari hasil tes tersebut.[19]
III. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat kami dapat
kemampuan mental dan pengukurannya ialah setiap orang itu mempunyai kemampuan
mental dan pengukuran yang berbeda. Kemampuan mental dan pengukuran seseorang
itu dapat di sebabkan oleh faktor lingkungan dan ginetik dari orangtuanya. Pada
dasarnya satiap orang mempunyai kemampuan yang sangat baik dan bagus, tetapi
akibat faktor lingkungan dan genetik dapat mempengarihi pertumbuhan maupun
mental seseoramg. Jadi kita harus dapat menjaga baik kondisi tubuh kita baik
jasmani dan rohani.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R. L; Atkinson, R. C, & Hilgard E. R. Pengantar Psikologi. Edisi Kedelapan, Jakarta : Erlangga, 1983.
Kartono, Kartini; Andari, Jenny. Hygiene
Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam, Bandung : Mandar Maju, 1989.
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan. Kamus Besar Bahasa Indonesia ,
Jakarta : Balai
Pustaka, 1994.
Sarwono, Sarlito W. Pengantar
Umum Psikologi, Jakarta :
Bulan Bintang,
2003.
[1] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hal. 646.
[2] Kartini Kartono, Jenny
Andari. Hygiene Mental dan Kesehatan
Mental Dalam Islam (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal. 5.
[3] Ibid., hal. 6.
[4] Ibid., hal. 29.
[5] Ibid., hal. 30.
[6] Ibid., hal. 83.
[7] Ibid., hal. 85.
[8] Ibid., hal, 91-92.
[9] Sarlito W. Sarwono. Pengantar Umum Psikologi (Jakarta : Bulan Bintang,
2003), hal. 76-77.
[10] Ibid., hal. 78.
[11] Ibid., hal. 80.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hal. 81.
[14] Ibid., hal. 99-100
[15] Ibid., hal. 100.
[16] Ibid.
[17] Ibid., hal. 103.
[18] Ibid., hal. 105-106.
[19] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar