Tafsir Narasi Banjir Besar Menurut Walter Lempp,
Kejadian 5:1-12:3
Siapa
yang tidak tahu kisah Nuh dan bahteranya yang ia penuhi dengan binatang-binatang
yang telah ia ambil sepasang dari tiap jenis binatang yang ada di bumi sebelum
air bah datang. Kisah air bah merupakan narasi yang kerap kita dengar sejak
kecil di sekolah minggu, namun itu hanya sepintas dengan tafsiran bebas kita. Walter
Lempp memaknai cerita tentang banjir besar tersebut dengan membandingkan cerita
yang bersumber dari sumber Y dan sumber P. Ia mengibaratkan kedua sumber itu seperti
benang merah dan biru yang saling berkaitan dan memiliki ikatan sehingga
jalinannya menjadikan sesuatu yang indah. Sumber Y dan P memang berbeda dalam
perbendaharaan katanya dalam melukiskan serba-serbi peristiwa air bah, namun perbedaan
itu menyebabkan keduanya dapat saling bergantian mengisi kisah yang terdapat
dalam Perjanjian Lama. Ia memaparkan narasi tersebut dengan meneliti kedua
sumber secara terpisah. Dengan demikian ia mampu menafsirkan narasi itu.
Lempp
berusaha menengahkan tentang dosa manusia sebagai sumber banjir besar itu.
Dalam sumber Y dikatakan bahwa hal ini adalah sebuah bencana semesta alam yang
merupakan hukuman dari Allah yang adil dan benar sebagai pembalasan akan
pemberontakan manusia. Sedangkan sumber P yang berusaha menggiring pembaca
untuk memusatkan perhatian pada keputusan dan perintah Allah dan hanya
mengutarakan fakta-fakta dosa manusia dan tindakan-tindakan Allah menentang
dosa itu, membawa kita melihat pertimbangan dan sikap Allah terhadap dosa.
Dalam hal ini, hukuman yang diberikan Allah bukanlah tindakan sewenang-wenang
dan sembarangan yang muncul begitu saja hanya karena panas hati Allah melihat
tingkah laku manusia, melainkan hukuman yang Ia berikan ialah berdasarkan
pengamatan yang telah terlebih dahulu Ia lakukan terhadap manusia tersebut.
Allah berusaha menghentikan dosa beserta orang yang melakukannya dengan
perantaraan hukumanNya yang hebat agar dapat menjadikan suatu dunia baru dan
kehidupan baru yang penuh penghiburan. Hal ini memperlihatkan betapa
berdaulatnya Allah, bahwa Allah tidak bergantung pada ciptaan-Nya, serta tidak
membiarkan dosa berkelanjutan. Allah memberikan hukuman kepada manusia yang
memberontak, namun ia tetap menyisakan beberapa orang, yaitu orang yang bergaul
akrab dengan-Nya serta yang mematuhi perintah-perintah-Nya. Oleh karena itu, Allah
memilih Nuh yang setia dan menurut kepada Allah yang telah Ia anggap sebagai
teman sekerjaNya yang benar dan tidak bercela untuk membuat bahtera dan menyelamatkan
keluarganya dan beberapa binatang yang telah dipilih untuk keberlangsungan
kehidupan dunia setelah bencana banjir besar itu selesai.
Lempp
juga menafsirkan adanya sebuah ungkapan penyesalan dari Allah karena telah
menjadikan manusia di bumi dan hal itu memilukan hatiNya. Namun di dalam
Alkitab sendiri terdapat pertentangan akan hal ini. Beberapa ayat seperti 1 Sam
15:11; Kej 6:6; Kel 32:14 menyatakan bahwa Allah menyesal akan
tindakan-tindakan atau firman-firmanNya, namun di pihak lain terdapat pula beberapa
ayat seperti 1 Sam 15:29;Bil 23: 19; Yer 4:28
yang menyatakan bahwa Allah tidak dapat menyesal. Kedua pernyataan
tersebut memang terlihat seolah bertentangan, namun keduanya adalah satu dan
bersesuaian. Allah sekali-kali tidak menyesal, yakni tidak mengubah rencanaNya
dan perjanjianNya karena Allah bukan pembohong seperti manusia. Namun Allah
mengubah tindakan kebijaksanaan itu dengan maksud mencapai tujuan yang tetap
sama yakni keselamatan bagi manusia. Allah
yang dapat merasakan penyesalan dan kesedihan menunjukkan bahwa Allah berada
dalam hubungan yang pribadi dan intim dengan ciptaan-Nya. Dia memiliki kasih
yang mendalam bagi umat manusia dan perhatian ilahi terhadap persoalan mereka. Allah menyesal
atas hukuman yang diancamkan dan yang dilakukanNya, karena Ia melihat bahwa
hati manusia berubah. Hukuman yang Ia berikan itu hanya merupakan satu segi
dari segi kasih sayangNya. Oleh
karena itu, setelah air bah surut, Allah menciptakan dunia dan kehidupan baru
serta memberikan peraturan baru untuk kehidupan manusia di bumi.
Pesan
teologis yang diutarakan Lempp adalah tentang bagaimana manusia seharusnya bertingkah
laku, yakni berlaku seturut dengan kehendak Allah sang pencipta seperti Nuh
yang benar dan tak bercela memiliki kesabaran dan berpengharapan hanya kepada
Allah dan tentang bagaimana besarnya kasih Allah terhadap manusia sehingga Ia
berkuasa untuk menegakkan keadilan terhadap manusia dan ciptaannya di bumi ini
yang dianggapNya telah rusak karena dosa. Namun karena pada kenyataanya manusia
yang tercipta di bumi adalah manusia pemberontak yang harus dimusnahkan agar
dunia baru dapat diciptakan dan diisi dengan manusia yang lebih baik yang berakhlak
mulia, maka air bah adalah satu-satunya cara yang tepat untuk menghukum manusia
pada saat itu.
Saya
setuju dengan pesan teologis teks menurut Lempp, karena menurut saya ia
berusaha mengedepankan tentang masalah krisis moral yang terjadi pada manusia
yang pasti akan berdampak lebih buruk bagi kehidupan manusia jika tidak
dihentikan oleh Allah. Sehingga pantas saja jika Allah memberi hukuman terhadap
manusia. Ia juga menekankan bahwa kejadian, peristiwa, riwayat hidup dan
sejarah termasuk keselamatan adalah akibat dari kemauan dan perintah Allah
(kuasa Allah). Allah menegakkan keadilan dengan kuasaNya terhadap ciptaanNya.
Keadilan adalah tujuan dan maksud pemakaian kuasa, sedangkan kuasa hanyalah
suatu alat dan perkakas yang digunkan untuk mencapai keadilan tersebut, seperti
yang dilakukan oleh Allah.
Saya tidak memiliki tafsiran lain terhadap narasi banjir besar ini,
namun ketika membaca tafsiran dari Walter Lempp tentang banjir besar ini, ada suatu
pertanyaan yang muncul dibenak saya. Lempp menafsirkan bahwa Allah berkuasa
untuk mendatangkan banjir besar untuk menghukum manusia yang penuh dengan dosa,
namun mengapa Allah tidak mau menggunakan kekuasaanNya itu untuk mengubah hati
dan pikiran manusia untuk tidak berbuat dosa lagi, sehingga bencana banjir
besar tersebut seharusnya dapat dicegah bahkan tidak terjadi. Saya rasa Allah
bukan tidak mampu akan hal itu karena Ia berkuasa atas segalanya, namun
pertanyaan saya mengapa Allah tidak mau? Jika saja Allah mengubah hati dan
pikiran manusia (mengontrol manusia), tentu saja manusia akan jauh dari dosa
sehingga tidak perlu ada hukuman seperti air bah yang melanda manusia dan Allah
juga tidak perlu menyesal sehingga mencipta dunia baru. Seorang manusia saja
dapat menghipnotis dan mengkomandoi sesamanya hingga menjadi seorang penurut
seperti zombie sesuai dengan
keinginannya, mengapa Allah tidak melakukan demikian agar kehidupan di dunia
ini dapat sesuai dengan kehendaknya? Namun demikian, saya tetap setuju dengan
apa yang telah diutarakan oleh Lempp dalam bukunya yang berjudul Kejadian 5:1-12:3, karena ia menunjukan
betapa berdaulatnya Allah yang penuh kasih itu, demi menegakkan keadilan dan karena
kasih Allah terhadap manusia ciptaanNya maka ia melakukan hal (hukuman) seperti
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar