Selasa, 01 Mei 2012

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI JAKARTA AKIBAT PENDIDIKAN YANG RENDAH



KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI JAKARTA AKIBAT PENDIDIKAN YANG RENDAH





images





    Disusun oleh :

Shandy Joan Barus













Lembar Pengesahan dan Persetujuan


Penanggulangan Kekerasan Terhadap Perempuan di Jakarta Akibat Pendidikan yang Rendah Melalui Jalur Hukum




Yang disiapkan, diserahkan, dan dipertahankan
oleh:

Shandy Joan Barus








Untuk pengesahan tugas karya ilmiah mata kuliah
Bimbingan Studi Ilmiah







Dr. Raja Oloan Tumanggor

















Daftar Isi


Lembar Pengesahan dan Persetujuan                                                                           i
Daftar Isi                                                                                                                      ii
BAB I Pendahuluan
            I.1 Latar Belakang Masalah                                                                             1
            I.2 Tujuan Penelitian                                                                                       2
            I.3 Pentingnya Penelitian                                                                                3
            I.4 Hipotesis Permasalahan                                                                             3
            I.5 Rumusan Masalah                                                                                     3
BAB II            Kajian Teori dan Analisis Masalah
            II.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga                                                            4
            II.2 Korban dan Pelaku                                                                                  5
            II.3 Dampak Kekerasan Pada Korban                                                                        7
            II.4 Sebab-sebab Kekerasan dalam Rumah Tangga                                       8
            II.5 Kekerasan dalam Rumah Tangga di Jakarta                                            9
            II.6 Upaya menghadapi kekerasan                                                                 11
            II.7 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
       tahun 2004                                                                                               11
BAB III Uraian Metode dan Prosedur Penelitian
            III.1 Instrumen Penelitian                                                                               12
            III.2 Pengumpulan Data dan Analisis Data                                                    12
BAB IV Hasil Penelitian                                                                                            13
BAB V Kesimpulan dan Saran                                                                                   14
Gambar-gambar Perempuan yang Buta Huruf                                                           15
Daftar Pustaka                                                                                                                        17
Lampiran Kasus-kasus Kekerasan dalam rumah Tangga                                            18












         BAB I
PENDAHULUAN

I.1     Latar Belakang Masalah

Selain aspek kesehatan dan ekonomi, aspek penting dari upaya pemberdayaan perempuan di Indonesia adalah aspek pendidikan. Pendidikan menjadi pintu gerbang utama bagi perempuan untuk meningkatkan kapasitasnya. Melalui pendidikan, perempuan dapat mengakses segala macam informasi atau pengetahuan yang membuat posisi perempuan sejajar dengan laki-laki. Pentingnya pendidikan bagi perempuan nampaknya tidak sejalan dengan realitas ditengah masyarakat. Perempuan dalam kenyataannya tidak dapat mengikuti program-program pendidikan. Selain masalah akses yang kurang, secara kultur budaya masyarakat yang masih mengedepankan laki-laki membuat perempuan lebih tidak memprioritaskan masalah pendidikan. Apalagi dalam keluarga miskin, pendidikan adalah sesuatu yang mahal dan tidak terjangkau, sehingga jika diminta memilih antara sekolah dan bekerja, pasti pilihan bekerja akan menjadi prioritas, meskipun tidak layak secara upah dan sebagainya. Akibat dari semua itu, banyak perempuan akhirnya tidak bisa melanjutkan pendidikan. Perempuanpun tidak bisa menempati sektor-sektor formal, karena tidak mempunyai basis pendidikan formal yang selalu disyaratkan. Perempuan akhirnya harus bekerja di sektor informal dengan upah yang rendah dan rentan kekerasan karena  jauh dari perlindungan.
Pendidikan merupakan hak dasar setiap manusia, dan pemenuhan atas hak ini menjadi kewajiban negara. Tidak terpenuhinya hak dasar ini menurut konsep SNPK (Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan) disebut kemiskinan. Hasil penelitian tentang layanan dasar pendidikan bagi warga miskin di kota metro menunjukkan bahwa masih ada kelemahan dalam hal ketersediaan layanan pendidikan bagi warga miskin, layanan diskriminatif, dan aksesibilitas warga miskin terhadap layanan pendidikan juga rendah. Penyebabnya, rendahnya komitmen pemerintah terhadap pendidikan warga miskin yang berwujud pada kecilnya anggaran untuk pemenuhan hak dasar pendidikan bagi warga miskin.
Secara umum pada rakyat miskin rendahnya tingkat pendidikan perempuan dan tingginya angka buta huruf disebabkan pendidikan lebih diutamakan bagi laki-laki yang diharapkan menjadi kepala keluarga. Padahal dalam masyarakat miskin peran perempuan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga sangat signifikan. Mereka mampu berkontribusi secara ekonomi baik bagi keluarga maupun masyarakat sehingga penghasilannya merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas kehidupan dan berdampak langsung pada kesejahteraan keluarga.
Seringnya kekerasan terhadap perempuan di Jakarta akibat rendahnya pendidikan menjadi kasus yang serius dan harus ditangani secara profesional. Hal ini dapat membantu mengurangi tindak kekerasan terhadap perempuan yang kurang berpendidikan di Indonesia terutama di Jakarta. Negara sendiri telah membentuk lembaga independen yang khusus menangani kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, yaitu Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan). Ini merupakan suatu wujud kepedulian pemerintah kepada nasib perempuan Indonesia. Tapi apakah dengan adanya komisi ini mampu meminimalisir angka kekerasan terhadap perempuan yang berpendidikan rendah? Mengapa begitu banyak kekerasan yang terjadi terhadap perempuan yang berpendidikan rendah? Siapakah pelaku kekerasan ini? Dan apa yang dilakukan pemerintah dalam hal ini? Dalam tulisan ini akan dibahas tentang penanggulangan kekerasan terhadap perempuan di Jakarta akibat pendidikan yang rendah melalui jakur hukum.
I.2     Tujuan Penelitian          
            Penelitian ini bertujuan untuk :
A. Memperoleh gambaran yang lengkap dan menyeluruh tentang tingkat  kekerasan dan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Jakarta khususnya akibat pendidikan rendah.
B. Mempelajari hal-hal yang ikut mendorong munculnya perilaku kekerasan terhadap perempuan akibat pendidikan yang rendah.
C. Mengetahui reaksi korban terhadap kekerasan yang dialami baik fisik maupun psikis.
D. Mengetahui Undang-Undang mengenai kekerasan terhadap perempuan.

I.3     Pentingnya Penelitian
            Setiap penelitian tentu mempunyai arti, makna dan manfaat baik. Adapun penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana dan memberi informasi pada masyarakat tentang kekerasan trhadap perempuan akibat pendidikan yang rendah yang terjadi di masyarakat Jakarta. Selain itu melalui penelitian ini juga diharapkan pemahaman akan peranan tingkat pendidikan formal perempuan di Jakarta demi peningkatan kesejahteraan keluarga. Hasil studi diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana hubungan yang terjadi, faktor-faktor apa yang melatarbelakangi keterlibatan perempuan berpendidikan formal dalam pekerjaan serta faktor-faktor apa yang mempengaruhi kontribusi perempuan pekerja berpendidikan formal terhadap kebutuhan keluarga. Hal tersebut dalam rangka meningkatkan kualitas SDM perempuan sehingga mampu mengentaskan kemiskinan di Jakarta pada masa mendatang dan juga dapat memberi informasi tentang dampak fisik maupun psikis tindak kekerasan yang dialami perempuan yang berpendidikan rendah dan diharapkan mampu mendukung perempuan dalam mempertahankan hak perempuan untuk melindungi dirinya meski dengan kemampuan yang terbatas.

I.4     Hipotesis Penelitian
Saya berpendapat bahwa kekerasan yang terjadi terhadap perempuan yang berpendidikan rendah sebagian besar dialami oleh masyarakat dari kalangan menengah ke bawah yang mengakibatkan trauma atau gangguan psikologis terhadap perempuan yang menjadi korban.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan semakin meningkatnya kekerasan terhadap perempuan di Jakarta akibat pendidikan yang rendah, antara lain adalah anggapan bahwa perempuan yang tidak bersekolah adalah perempuan bodoh yang mudah diperalat, perempuan yang lemah dan bodoh tidak akan berani melawan segala bentuk kekerasan yang diberlakukan terhadapnya, serta adanya paradigma kuno yang beranggapan bahwa laki-laki lebih pantas untuk mendapat pendidikan dari pada perempuan.

I.5     Rumusan Masalah
Berdasarkan hal diatas ada beberapa pertanyaan pokok yang ingin dijawab dalam penelitian ini diantaranya :
A.     Apa itu pendidikan?
B.     Pendidikan yang seperti apa yang seharusnya diterima oleh perempuan?
C.     Mengapa pendidikan yang rendah memicu kekerasan terhadap perempuan?
D.     Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan yang timbul terhadap perempuan akibat pendidikan yang rendah?
E. Faktor apa saja yang mendorong terjadinya kekerasan tersebut?
F. Bagaimana reaksi korban terhadap kekerasan yang dialaminya?








          BAB  II
Kajian Teori dan Analisis Masalah

     II. 1 Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan dapat ditempuh melalui jalur pendidikan yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Pendidikan formal
Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.
Pendidikan nonformal
Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar, dan pendidikan lanjutan. Pendidikan dasar mencakup pendidikan keaksaraan dasar, keaksaraan fungsional, dan keaksaraan lanjutan paling banyak ditemukan dalam pendidikan usia dini (PAUD), Taman Pendidikan Al Quran (TPA), maupun Pendidikan Lanjut Usia. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) serta program paket A (setara SD), paket B (setara B) adalah merupakan pendidikan dasar. Pendidikan lanjutan meliputi program paket C(setara SLA), kursus, pendidikan vokasi, latihan keterampilan lain baik dilaksanakan secara terogranisasi maupun tidak terorganisasi. Pendidikan Non Formal mengenal pula Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai pangkalan program yang dapat berada di dalam satu kawasan setingkat atau lebih kecil dari kelurahan/desa. PKBM dalam istilah yang berlaku umum merupakan padanan dari Community Learning Center (CLC)yang menjadi bagian komponen dari Community Center.
Pendidikan informal
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri yang dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab.

II. 2 Jenis pendidikan

        Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan. Beberapa jenis pendidikan adalah:

Pendidikan umum
Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bentuknya: Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
            - Pendidikan dasar: Pendidikan dasar  merupakan jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
- Pendidikan menengah: Pendidikan menengah merupakan jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar. yang harus dilaksanakan minimal 9 tahun
- Pendidikan tinggi: Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Mata pelajaran pada perguruan tinggi merupakan penjurusan dari SMA, akan tetapi semestinya tidak boleh terlepas dari pelajaran SMA.
Pendidikan kejuruan
Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Bentuk satuan pendidikannya adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).jenis ini termasuk ke dalam pendidikan formal.
Pendidikan akademik
Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.
Pendidikan profesi
Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memasuki suatu profesi atau menjadi seorang profesional.
Pendidikan vokasi
Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal dalam jenjang diploma 4 setara dengan program sarjana (strata 1).
Pendidikan keagamaan
Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan dan pengalaman terhadap ajaran agama dan /atau menjadi ahli ilmu agama.
Pendidikan khusus
Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif (bergabung dengan sekolah biasa) atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah (dalam bentuk Sekolah Luar Biasa/SLB).

































Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Pendidikan anak usia dini

Mengacu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 1 Butir 14 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan dasar

Pendidikan dasar  merupakan jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

Pendidikan menengah

Pendidikan menengah merupakan jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar. yang harus dilaksanakan minimal 9 tahun

Pendidikan tinggi

Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Mata pelajaran pada perguruan tinggi merupakan penjurusan dari SMA, akan tetapi semestinya tidak boleh terlepas dari pelajaran SMA.

Materi pendidikan

Materi Pendidikan harus disajikan memenuhi nilai-nilai hidup. nilai hidup meliputi nilai hidup baik dan nilai hidup jahat. penyajiannya tidak boleh pendidikan sifatnya memaksa terhadap anak didik, tetapi berikan kedua nilai hidup ini secara objektif ilmiah. dalam pendidikan yang ada di Indonesia seharusnya berjalan diatas sistem tersebut agar Indonesia menjadi lebih baik.

Tunjangan Guru

Tunjangan ialah upah atau gaji yang diberikan kepada pegawai atau karyawan diluar gaji pokok. Guru adalah seorang pendidik atau pengajar Jadi tunjangan guru adalah upah atau gaji yang diberikan kepada seorang pendidik diluar gaji pokok. Tunjangan guru terpencil merupakan tunjangan yang diberikan kepada seorang pendidik yang berada di daerah terpencil.

Jalur pendidikan

Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Pendidikan formal

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.

Pendidikan nonformal

Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar, dan pendidikan lanjutan.
Pendidikan dasar mencakup pendidikan keaksaraan dasar, keaksaraan fungsional, dan keaksaraan lanjutan paling banyak ditemukan dalam pendidikan usia dini (PAUD), Taman Pendidikan Al Quran (TPA), maupun Pendidikan Lanjut Usia. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) serta program paket A (setara SD), paket B (setara B) adalah merupakan pendidikan dasar.
Pendidikan lanjutan meliputi program paket C(setara SLA), kursus, pendidikan vokasi, latihan keterampilan lain baik dilaksanakan secara terogranisasi maupun tidak terorganisasi.
Pendidikan Non Formal mengenal pula Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai pangkalan program yang dapat berada di dalam satu kawasan setingkat atau lebih kecil dari kelurahan/desa. PKBM dalam istilah yang berlaku umum merupakan padanan dari Community Learning Center (CLC)yang menjadi bagian komponen dari Community Center.

Pendidikan informal

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri yang dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab.

Jenis pendidikan

Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

Pendidikan umum

Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bentuknya: Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Pendidikan kejuruan

Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Bentuk satuan pendidikannya adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).jenis ini termasuk ke dalam pendidikan formal.

Pendidikan akademik

Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.

Pendidikan profesi

Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memasuki suatu profesi atau menjadi seorang profesional.
Salah satu yang dikembangkan dalam pendidikan tinggi dalam keprofesian adalah yang disebut program diploma, mulai dari D1 sampai dengan D4 dengan berbagai konsentrasi bidang ilmu keahlian. Konsentrasi pendidikan profesi dimana para mahasiswa lebih diarahkan kepada minat menguasai keahlian tertentu. Dalam bidang keahlian dan keprofesian khususnya Desain Komunikasi Visual terdapat jurusan seperti Desain Grafis untuk D4 dan Desain Multimedia untuk D3 dan Desain Periklanan (D3). Dalam proses belajar mengajar dalam pendidikan keprofesian akan berbeda dengan jalur kesarjanaan (S1) pada setiap bidang studi tersebut.

Pendidikan vokasi

Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal dalam jenjang diploma 4 setara dengan program sarjana (strata 1).

Pendidikan keagamaan

Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan dan pengalaman terhadap ajaran agama dan /atau menjadi ahli ilmu agama.

Pendidikan khusus

Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif (bergabung dengan sekolah biasa) atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah (dalam bentuk Sekolah Luar Biasa/SLB).

 

Filosofi pendidikan

Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran.
Banyak orang yang lain, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya."
Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam -- sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka -- walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.

Kualitas pendidikan

Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia, yaitu:
  • Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan. Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
  • Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya yang merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.

Tingkat Pendidikan

Kelas
Usia
Kelompok Bermain
4
Kelompok A
5
Kelompok B
6
Kelas 1
7
Kelas 2
8
Kelas 3
9
Kelas 4
10
Kelas 5
11
Kelas 6
12
Kelas 7
13
Kelas 8
14
Kelas 9
15
Kelas 10
16
Kelas 11
17
Kelas 12
18
4 tahun(Sarjana)
berbagai usia
2 tahun(Magister)
berbagai usia
3 tahun(Doktor)
berbagai usia





A.    PENGERTIAN PENDIDIKAN
1.     Batasan tentang Pendidikan
Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam, dan kandungannya berbeda yang satu dari yang lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya.
a.     Pendidikan sebagai Proses transformasi Budaya
Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain.
b.     Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi
Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagi suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui 2 sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri.
c.     Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Warganegara
Pendidikan sebagai penyiapan warganegara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik.
d.     Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja
Pendidikan sebagai penyimpana tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar utuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia.
e.     Definisi Pendidikan Menurut GBHN
GBHN 1988(BP 7 pusat, 1990: 105) memberikan batasan tentang pendidikan nasional sebagai berikut: pendidikan nasiaonal yang berakar pada kebudayaan bangsa indonesia dan berdasarkan pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk memingkatkan kecerdasan serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
2.     Tujuan dan proses Pendidikan
a.     Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dazn merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.
bProses pendidikan
Proses pendidikan merupakan kegiatan mobilitas segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan, Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi, yaitu kualitas komponen dan kualitas pengelolaannya , pengelolaan proses pendidikan meliputi ruang lingkup makro, meso, mikro. Adapun tujuan utama pemgelolaan proses pendidikan yaitu terjadinya proses belajar dan pengalaman belajar yang optimal.


3.     Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat (PSH)
PSH bertumpu pada keyakinan bahwa pendidikan itu tidak identik dengan persekolahan, PSH merupakan sesuatu proses berkesinambungan yang berlangsung sepanjang hidup. Ide tentang PSH yang hampir tenggelam, yang dicetuskan 14 abad yang lalu, kemudian dibangkitkan kembali oleh comenius 3 abad yang lalu (di abad 16). Selanjutnya PSH didefenisikan sebagai tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman pendidikan. Pengorganisasian dan penstruktursn ini diperluas mengikuti seluruh rentangan usia, dari usia yang paling muda sampai paling tua.(Cropley:67)
                   Berikut ini merupakan alasan-alasan mengapa PSH diperlukan:
a.     Rasional
b.     Alasan keadilan
c.     Alasan ekonomi
d.     Alasan faktor sosial yang berhubungan dengan perubahan peranan keluarga, remaja, dan emansipasi wanita dalam kaitannya dengan perkembangan iptek
e.     Alasan perkembangan iptek
f.      Alasan sifat pekerjaan
4.     Kemandirian dalam belajar
a.     Arti dan perinsip yang melandasi
Kemandirian dalam belajar diartikan sebagai aktivitas belajar yang berlangsungnya lebih didorong oleh kamauan sendiri, pilihan sendiri, dan tanggung jawab sendiri dari pembelajaran. Konsep kemandirian dalam belajar bertumpu pada perinsip bahwa individu yang belajar akan sampai kepada perolehan hasil belajar.
b.     ­Alasan yang menopang
Conny Semiawan, dan kawan-kawan (Conny S. 1988; 14-16) mengemukakan alasan sebagai berikut:
Ø      Perkembangan iptek berlangsung semakin pesat sehingga tidak mungkin lagi para pendidik(khususnya guru) mengajarkan semua konsep dan fakta kepada peserta didik.
Ø      Penemuan iptek tidak mutlak benar 100%, sifatnya relatif.
Ø      Para ahli psikologi umumnya sependapat, bahwa peserta didik mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkret dan wajar sesuai dengan situasi dan kondidi yang dihadapi dengan mengalami atau mempraktekannya sendiri.
Ø      Dalam proses pendidikan dan pembelajaran pengembangan konsep seyogyanya tidak dilepaskan dari pengembangan sikap dan penanaman nilai-nilai ke dalam diri peserta didik.
B.    UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN
Proses pendidikan melibatkan banyak hal yaitu:
1.     Subjek yang dibimbing (peserta didik).
2.     Orang yang membimbing (pendidik)
3.     Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif)
4.     Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan)
5.     Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan)
6.     Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode)
7.     Tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan)
Penjelasan:
1.     Peserta Didik
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebutkan demikian oleh karena peserta didik adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:
a.     Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik.
b.     Individu yang sedang berkembang.
c.     Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
d.     Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.  
2.     Orang yang membimbing (pendidik)
Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkunga yaitu lingkungankeluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, latihan, dan masyarakat.
3.     Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif)
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode, serta alat-alat pendidikan.
4.     Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan)
a.     Alat dan Metode
Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Secara khusus alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektifitasnya. Alat pendidikan dibedakan atas alat yang preventif dan yang kuratif.
b.     Tempat Peristiwa Bimbingan Berlangsung (lingkungan pendidikan)
Lingkungan pendidikan biasanya disebut tri pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
C.    PENDIDIKAN SEBAGAI SISTEM
1.     Pengertian Sistem
Beberapa definisi sitem menurut para ahli:
a.     Sistem adalah suatu kebulatan keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau utuh. (Tatang M. Amirin, 1992:10)
b.     Sistem meruapakan himpunan komponen yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan. (Tatang Amirin, 1992:10)
c.     Sistem  merupakan sehimpunan komponen atau subsistem yang terorganisasikan dan berkaitan sesuai rencana untuk mencapai suatu tujuan tertentu. (Tatang Amirin, 1992:11)

2.     Komponen dan Saling Hubungan antara Komponen dalam Sistem Pendidikan.
Pendidikan sebagai sebuah sistem terdiri dari sejumlah komponen. Komponen tersebut antara lain: raw input (sistem baru), output(tamatan), instrumentalinput(guru, kurikulum), environmental input(budaya, kependudukan, politik dan keamanan).

3.     Hubungan Sistem Pendidikan dengan Sitem Lain dan Perubahan Kedudukan dari Sistem
Sistem pendidikan dapat dilihat dalam ruang lingkup makro. Sebagai subsistem, bidang ekonomi, pendidikan,dan politik masing-masing-masing sebagai sistem. Pendidikan formal, nonformal, dan informal merupakan subsistem dari  bidang pendidikan sebagai sistem dan seterusnya.

4.     Pemecahan masalah pendidikan secara sistematik.
a.     Cara memandang sistem
Perubahan cara memandang suatu status dari komponen menjadi sitem ataupunsebaliknya suatu sitem menjadi komponen dari sitem yang lebih besar, tidak lain daripada perubahan cara memandang ruang lingkup suatu sitem atau dengan kata lain ruang lingkup suatu permasalahan.
b.     Masalah berjenjang
Semua masalah tersebut satu sama lain saling berkaitan dalam hubungan sebab akibat, alternatif maslah, dan latar belakang masalah.
c.     Analisis sitem pendidikan
Penggunaan analisis sistem dalam pendidikan dimaksudkan untuk memaksimalkan pencapaian tujuan pendidikan dengan cara yang efesien dan efektif. Prinsip utama dari penggunaan analisis sistem ialah: bahwa kita dipersyaratkan untuk berpikir secra sistmatik, artinya harus memperhitungkan segenap komponen yang terlibat dalam maslah pendidikan yang akan dipecahkan.
d.     Saling  hubungan antarkomponen
Komponen-komponen yang baik menunjang terbentuknya suatu sistem yang baik. Tetapi komponen yang baik saja belum menjamin tercapainya tujuan sistem secara optimal, manakala komponen tersebut tidak berhibungan secra fungsional dengan komponen lain.
e.     ­Hubungan sitem dengan suprasistem
Dalam ruang lingkup besar terlihat pula sistem yang satu saling berhubungan dengan sistem yang lain. Hal ini wajar, oleh karena pada dasarnya setiap sistem itu hanya merupakan satu aspek dari kehidupan. Sdangkan segenap segi kehidupan itu kita butuhkan, sehingga semuanya memerlukan pembinaandan pengembangan.


5.     Keterkaitan antara pengajaran dan pendidikan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari persoalan pengajaran dan pendidikan adalah:
a.     pengajaran dan pendidikan dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Masing-masing saling mengisis.
b.     Pembedaan dilakukan hanya untuk kepentingan analisis agar masing-masing dapat dipahami lebih baik.
c.     Pendidikan modern lebih cenderung mengutamakan pendidikan, sebab pendidikan membentuk wadah, sedangkan pengajaran mengusahakan isinya. Wadah harus menetap meskipun isi bervariasi dan berubah.

6.     Pendidikan prajabatan (preservice education) dan pendidikan dalam jabatan (inservice education) sebagai sebuah sistem.
Pendidikan prajabatan berfungsi memberikan bekal secara formal kepada calon pekerja dalam bidang tertentu dalam periode waktu tertentu. Sedangkan pendidikan dalam jabatan bermaksud memberikan bekal tambahan kepada oramg-orang yang telah bekerja berupa penataran, kursus-kursus, dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan prajabatan hanya memberikan bekal dasar, sedangkan bekal praktis yang siap pakai diberikan oleh pendidikan dalam jabatan.

7.     Pendidikan formal, non-formal, dan informal sebagai sebuah sistem.
Pendidikan formal yang sering disebut pendidikan persekolahan, berupa rangkaian jenjang pedidikan yang telah baku, misalnya SD,SMP,SMA, dan PT. Pendidikan nonformal lebih difokuskan pada pemberian keahlian atau skill guna terjun ke masyarakat. Pendidikan informal adalah suatu fase pendidikan yang berada di samping pendidikan formal dan nonformal.
­Dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal, nonformal, dan informal ketiganya hanya dapat dibedakan tetapi sulit dipisah-pisahkan karena keberhasilan pendidikan dalam arti terwujudnya keluaran pendidikan yang berupa sumberdaya manusia sangat bergantung kepada sejauh mana ketiga sub-sistem tersebut berperanan.

Sumber Bacaan: Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Download Versi Microsoft OfficeWord:hartoto-bab-ii-pengertian-dan-unsur-unsur-pendidikan1



Masalah Pendidikan di Indonesia

Peran Pendidikan dalam Pembangunan

            Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.

Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan


Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”


01-artikel_03



Tuesday, 20 December 2005
Pendidikan

Mencari Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan


Jurnalis : Eko Bambang S.
Jurnalperempuan.com-Jakarta. Selain aspek kesehatan dan ekonomi, aspek penting dari upaya pemberdayaan perempuan di Indonesia adalah aspek pendidikan. Pendidikan menjadi pintu gerbang utama bagi perempuan untuk meningkatkan kapasitasnya. Melalui pendidikan, perempuan dapat mengakses segala macam informasi atau pengetahuan yang membuat posisi perempuan sejajar dengan laki-laki.
Pentingnya pendidikan bagi anak perempuan ini nampaknya tidak sejalan dengan realitas ditengah masyarakat. Perempuan dalam kenyataannya tidak dapat mengikuti program-program pendidikan. Selain masalah akses yang kurang, secara kultur budaya masyarakat yang masih mengedepankan laki-laki membuat perempuan lebih tidak memprioritaskan masalah pendidikan. Apalagi dalam keluarga miskin, pendidikan adalah sesuatu yang mahal dan tidak terjangkau, sehingga jika diminta memilih antara sekolah dan bekerja, pasti pilihan bekerja akan menjadi prioritas, meskipun tidak layak secara upah dan sebagainya.
Akibat dari semua itu, banyak perempuan akhirnya tidak bisa melanjutkan pendidikan. Perempuanpun tidak bisa menempati sektor-sektor formal, karena tidak mempunyai basis pendidikan formal yang selalu disyaratkan. Perempuan akhirnya harus terus bekerja di sektor informal, upah rendah dan rentan kekerasan dan jauh dari perlindungan. Disinilah awal mula dan rantai pemiskinan perempuan terjadi.
Atas dasar, mencari model pendidikan alternatif bagi perempuan nampaknya perlu dilakukan sebagai agenda penting pemberdayaan perempuan, terutama perempuan miskin yang tidak mampu melanjutkan pendidikan atau mengakses pendidikan. Atas dasar itu pula, Yayasan Jurnal Perempuan atas dukungan Exxon Mobil akan menyelenggarakan diskusi publik dan peluncuran Jurnal Perempuan edisi 44 “Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan” yang akan diselenggarakan pada hari Rabu, 21 Desember 2005 di Ballroom Hotel Hilton Jakarta.


pendidikan merupakan hak dasar setiap manusia, dan pemenuhan atas hak ini menjadi
kewajiban negara. tidak terpenuhinya hak dasar ini menurut konsep snpk(strategi nasional
penanggulangan kemiskinan) disebut kemiskinan. hasil penelitian tentang layanan dasar
pendidikan bagi warga miskin di kota metro menunjukkan bahwa masih ada kelemahan dalam hal
ketersediaan layanan pendidikan bagi warga miskin, layanan diskriminatif, dan aksesibilitas
warga miskin terhadap layanan pendidikan juga rendah. penyebabnya, rendahnya komitmen
pemerintah terhadap pendidikan warga miskin yang berwujud pada kecilnya anggaran untuk
pemenuhan hak dasar pendidikan bagi warga miskin.

Keyword : pendidikan formal, perempuan, kesejahteraan keluarga, kemiskinan wilayah, formal education, women, family welfare, poverty region
Secara umum pada rakyat miskin rendahnya tingkat pendidikan perempuan dan tingginya angka buta huruf disebabkan pendidikan lebih diutamakan bagi laki-laki yang diharapkan menjadi kepala keluarga. Padahal dalam masyarakat miskin peran perempuan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga sangat signifikan. Mereka mampu berkontribusi secara ekonomi baik bagi keluarga maupun masyarakat sehingga penghasilannya merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas kehidupan dan berdampak langsung pada kesejahteraan keluarga.
Pendidikan sebagai investasi menganggap manusia sebagai suatu bentuk modal yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya di masa yang akan datang. Oleh karena itu seharusnya seiring dengan tingginya tingkat pendidikan formal perempuan maka kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya pun diharapkan meningkat sehingga investasi yang telah dikeluarkan pemerintah untuk penyediaan infrastruktur pendidikan pun menjadi bermanfaat.
Studi ini bertujuan memahami peranan tingkat pendidikan formal perempuan di Desa Cililin terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga. Hasil studi diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana hubungan yang terjadi, faktor-faktor apa yang melatarbelakangi keterlibatan perempuan berpendidikan formal dalam pekerjaan serta faktor-faktor apa yang mempengaruhi kontribusi perempuan pekerja berpendidikan formal terhadap kebutuhan keluarga. Hal tersebut dalam rangka meningkatkan kualitas SDM perempuan sehingga mampu mengentaskan kemiskinan wilayah di Desa Cililin pada masa mendatang.
Untuk dapat memahami hubungan tingkat pendidikan formal perempuan dengan peningkatan kesejahteraan keluarga, maka dilakukan analisis deskriptif secara kualitatif. Tahap pertama adalah mengidentifikasi hubungan yang terjadi antara tingkat pendidikan formal dengan indikator kesejahteraan yang digunakan yaitu besar penghasilan, pembiayaan pada kebutuhan dasar (biaya sekolah anak, belanja konsumsi harian dan perbaikan kondisi fasilitas rumah) serta pembelian aset keluarga. Selanjutnya hubungan tersebut dianalisis ada tidaknya dengan membandingkan kesejahteraan keluarga pada perempuan berpendidikan dasar, menengah dan tinggi. Tahap berikutnya adalah mencari faktor-faktor yang menghambat dan mendorong perempuan berpendidikan formal bekerja serta faktor-faktor yang menyebabkan adanya perbedaan pada besaran kontribusi yang dapat diberikan perempuan untuk keluarganya.
Temuan studi ini menunjukkan bahwa pendidikan formal dapat bermanfaat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarganya pada saat perempuan tersebut mampu menempuh pendidikan tinggi. Secara umum pendidikan menengah ke bawah tidak memberikan keahlian dan kemampuan yang dapat digunakan sebagai bekal untuk bekerja sendiri di rumah. Secara umum pula, penyebab perempuan berpendidikan formal tidak bekerja dan bekerja yaitu karena kondisi internal, kondisi keluarga dan kondisi eksternal. Selain itu pada penyebab keragaman kontribusi perempuan pekerja berpendidikan formal terhadap kebutuhan keluarga terdapat keterkaitan antara tingkat pendidikan formal, besar penghasilan, kontribusi pembiayaan kebutuhan dasar keluarga dan kontribusi terhadap pembelian aset keluarga.
Masukan bagi pemerintah dalam mengentaskan masalah kemiskinan wilayah melalui peningkatan kesejahteraan keluarga yang dihubungkan dengan peningkatan kualitas perempuan kawasan perdesaan dilakukan melalui perbaikan terhadap penyelenggaraan pendidikan formal di perdesaan serta adanya pelatihan berkelanjutan bagi perempuan berpendidikan formal yang ditunjang mekanisme permodalan dan pemasaran yang baik.
Saat ini, jumlah pria dan wanita yang mengenyam pendidikan tinggi hampir sama. Sehubungan dengan program pendidikan, kebanyakan masih mengikuti pilihan tradisional. Wanita cenderung memilih pendidikan dalam bidang keguruan dan layanan, sementara pria memilih ilmu pengetahuan dan teknologi. Tiga dari lima pelajar universitas dan akademi adalah wanita.
Sebanyak 43 persen wanita usia 16-74 tahun bekerja paruh waktu, dibandingkan dengan persentase pria yang hanya 13 persen. Rata-rata jam kerja per minggu adalah 30,6 jam untuk wanita dan 37,2 jam untuk pria (2004). Di Norway, perbedaan gaji karena jender adalah 15 persen. Namun hal ini dapat dijelaskan dengan fakta bahwa wanita dan pria bekerja dalam sektor yang berbeda, dan bahwa wanita cenderung bekerja paruh waktu.
Persentase wanita yang bekerja di sektor umum mencapai 68 persen. Kebanyakan berasal dari sektor municipial, dimana 78 persen pekerjanya adalah wanita. Sementara persentase yang bekerja di sektor pemerintah mencapai 57 persen. Di sektor swasta, pria menduduki persentase tertinggi (2004).
Wanita mendominasi pekerjaan guru TK, perawat serta penyedia jasa kebersihan, menduduki sekitar 90 persen tenaga kerja di sektor tersebut. Sementara keahlian teknik tetap menjadi favorit kaum pria, saat ini sebanyak 34 persen wanita berprofesi sebagai dokter dan 26 persen sebagai pengacara.
Pada tahun 2003, Norway menjadi negara pertama di dunia yang memperkenalkan peraturan yang mengatur keseimbangan perwakilan jender dalam jajaran direksi perusahaan. Peraturan ini berlaku untuk perusahaan negara, yang diberlakukan sejak 1 Januari 2004, serta perseroan terbatas di sektor swasta, yang diberlakukan sejak 1 Januari 2006. Jumlah perwakilan wanita di jajaran direksi perusahaan negara telah melampaui 40 persen dalam beberapa tahun terakhir, namun 18 persen lebih rendah dibandingkan perseroan terbatas (2006). Untuk informasi lebih lanjut tentang keseimbangan perwakilan jender dalam direksi perusahaan, kunjungi situs Departemen Anak dan Kesetaraan.
Minimnya jumlah wanita yang menduduki posisi senior di sektor swasta, pemerintah dan municipal tetap menjadi permasalahan nasional. Pada tahun 2005, persentasenya adalah 22, 23 dan 23 persen. Hanya 27 persen wanita yang menduduki posisi manajer senior di perusahaan swasta (2005), sementara angka persentase di sektor umum tidak tersedia.
Dari hasil penelitian Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Cirebon pada tahun 2005/2006,
diketahui bahwa kondisi perempuan Kota Cirebon masih memprihatinkan. Terutama
diantaranya karena pendidikan rata-rata mereka adalah SLTA ke bawah. Meski lingkup
penelitian ini hanya wilayah Kota Cirebon, tetapi ini menjadi cermin buruk bagi kondisi
pendidikan perempuan di Kab. Cirebon juga. Karena selama ini diketahui bahwa Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Kota Cirebon lebih baik bila dibanding dengan kab.Cirebon,
maka pendidikan rata-rata perempuan Kab. Cirebon tentu lebih rendah lagi.
Sejalan dengan itu, data Kab. Kuningan pada tahun 2007 yang lalu menunjukkan bahwa
bahwa dalam bidang pendidikan, laki-laki memiliki angka partisipasi lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Perbedaan tertinggi, terutama ditunjukkan pendidikan tingkat Menengah Atas.
Dimana angka apartisipasi perempuan hanya mencapai 8,81 %, sedangkan partisipasi laki-laki
mencapai 13,01 %. Pada tingkat Pendidikan Tinggi partisipasi perempuan juga lebih rendah
lagi, hanya mencapai 2,46 %. Sedangkan laki-laki lebih tinggi prosentasenya, meskipun tidak
berbeda jauh yang hanya sebesar 2,99 %.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa pendidikan perempuan masih tertinggal. Memang
banyak perempuan sekarang yang sudah memegang peranan penting, tetapi itu hanya
representasi kecil saja Dari yang kecil itu pun tidak seluruhnya memiliki kesadaran kesetaraan
relasi laki-laki dan perempuan.
Rendahnya Pendidikan, Picu Trafiking
Rendahnya pendidikan ini adalah salah satu sebab mengapa perempuan rentan menjadi
korban perdagangan (trafficking). Dari penelitian yang dilakukan Fahmina pada tahun 2005,
diketahui bahwa di Desa Serang Wetan terdapat 3 TKI/W korban tarfficking yang tidak bisa
baca tulis. Di Kec. Gempol ada 8 mantan TKI/W korban trafficking yang hanya lulus SD, 2
orang lulus SMP dan 1 orang lulus SMA. Di desa Kalisapu terdapat 10 korban trafficking, 8
diantaranya hanya tamat SD, sedang 2 orang lagi lulus SMP.
Rendahnya pendidikan dan ketrampilan ini menyulitkan perempuan untuk mendapatkan
pekerjaan dengan gaji layak. Kebanyakan pekerjaan yang membutuhkan sedikit saja keahlian,
seperti Pekerja Rumah Tangga (PRT) menuntut migrasi ke besar bahkan ke luar negeri.
Minimnya ketrampilan menyebabkan kebanyakan perempuan hanya berpeluang bekerja di
sektor informal, yang sampai hari ini tidak dilengkapi dengan jaminan pelindungan melalui
kebijakan pemerintah (Misra-Resenerg, 2003: 142). Padahal sektor ini sarat dengan berbagai
eksploitasi dan kekerasan.
Rendahnya pendidikan juga menyulitkan perempuan untuk mencari pertolongan ketika
mengalami kesulitan. Mereka juga tidak memiliki kepercayaan diri untuk membela diri ketika
1 / 3
Rendahnya Pendidikan Perempuan Salah Satu Penyebab Trafiking
Ditulis oleh Ali Mursyid
Sabtu, 07 Juni 2008 21:46
hak-haknya dirampas. Untuk itu mari perbaiki pendidikan perempuan. Negara berkewajiban
untuk memberikan pendidikan kepada setiap warga negaranya sebagaimana diamanatkan
UUD 45, UU No. 20/2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Islam Tidak Menghambat Pendidikan Perempuan
Tertinggalnya pendidikan perempuan ini, terutama karena masih kentalnya budaya patriarkhi
(menomorsatukan laki-laki) di masyarakat kita. Di mana perempuan diasumsikan sebagai
konco wingking bagi laki-laki. Yaitu mengekor pada langkah dan gerak laki-laki. Dalam istilah
masyarakat Cirebon dikatakan bahwa, sikap perempuan kepada sauaminya adalah, swarga
nurut, neraka katut (ke mana saja ikut). Dalam hal ini, perempuan hanya dianggap layak
berkiprah di wilayah rumah tangga, septuar dapur, sumur, kasur dan pupur (berhias). Anehnya
nilai budaya yang menghambat seperti ini dalam beberapa kesempatan diasumsikan sebagai
ajaran agama (Islam). Bahkan kadang, wilayah rumah tangga ini, kemudian disebut sebagai
takdir bagi perempuan. Benarkah demikian?
Kitab-kitab Tafsir al-Quran, tidak membuat ruang pemisah antara laki-laki dan perempuan.
Bahkan, salah satu kitab tafsir yang ditulis di mana budaya patriarkhi masih dominan, yaitu Ibn
Katsir (lihat Ibnu Katsir; volume 4:562) tidak menyebutkan perbedaan mendasar antara laki-laki
dan perempuan dalam pendidikan.
Di dalam ayat-ayat al-Quran jelas sekali tidak ada diskriminasi terhadap pendidikan
perempuan. Adapun ayat yang berbunyi: ". dan tetap tinggallah kamu dirumah"
(QS.33;33) itu sebenarnya tidak berarti bahwa perempuan harus tinggal di rumah saja, sebab
ayat ini sebenarnya adalah ditunjukkan secara khusus kepada istri Nabi, bukan kepada seluruh
kaum muslimat. Ini sejalan dengan ayat berikutnya "....apabila kamu meminta sesuatu
(keperluan) kepada istri-istri Nabi, maka mintalah dari belakang tabir, sebab yang demikian itu
lebih suci bagi hatimu dan hati mereka..." (QS.33;53). Ayat ini merupakan perintah
adanya hijab bagi mereka diantara laki-laki (para sahabat Nabi) yang memasuki rumah Nabi
dan kewajiban istri-istri Nabi untuk menutup wajah mereka kalau keluar rumah, ini sejalan
dengan ayat (QS. 33; 59) (Abu Syuqqah: volume 4-6: 287 dan volume 1-3; 18).
Al-Quran menyebutkan bahwa, umat yang bergelut pada keimanan dan keilmuan adalah umat
yang akan memperoleh posisi tinggi di sisi Allah Swt. Dan Umat tentu saja terdiri dari laki-laki
dan perempuan. Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang
yang berilmu di antara kalian (QS. Al-Mujadalah: 11). Secara khusus Aisya ra, istri tercinta
Nabi Muhammad Saw, pernah memberikan apresiasi bagi para perempuan Anshar yang
memiliki minat tinggi untuk belajar. Nabi berkata: Perempuan terbaik adalah mereka yang dari
Anshar, mereka tidak pernah malu untuk selalu belajar agama (Riwayat Bukhari, Muslim, Abu
Dawud dan an-Nasâ'i, lihat: Ibn al-Atsîr, juz VIII, hal. 196, nomor hadis: 5352).
Pemihakan terhadap pendidikan perempuan juga dilakukan Nabi Muhammad SAW. Abi Sa'îd
al-Khudriy ra berkata: bahwa suatu saat ada seorang perempuan yang datang menuntut
kepada Nabi SAW, ia berkata: Wahai Rasul, para laki-laki telah jauh menguasai pelajaran
darimu, bisakah kamu peruntukkan waktu khusus untuk kami perempuan, untuk mengajarkan
apa yang kamu terima dari Allah? Nabi merespon: Ya, berkumpullah pada hari ini dan di
tempat ini. Kemudian para perempuan berkumpul di tempat yang telah ditentukan dan belajar
dari Rasulullah tentang apa yang diterima dari Allah SWT. (Riwayat Bukhari dan Muslim, lihat:
Ibn al-Atsîr, juz X, hal. 359, nomor hadis: 7340). Ini adalah bentuk pemihakan yang nyata
terhadap perlunya peningkatan pendidikan perempuan. Wallahu alam bi al-shawab
2 / 3
Rendahnya Pendidikan Perempuan Salah Satu Penyebab Trafiking
Ditulis oleh Ali Mursyid
Sabtu, 07 Juni 2008 21:46
Penulis adalah alumnus pesantren Assalafie Babakan Ciwaringin yang sekarang berhidmah di
Lakpesdam NU Cirebon dan melakukan kerja-kerja sosial di Fahmina Institute



Kaum fundies adalah kaum pembenci perempuan , mereka menganggap perempuan
adalah sumber kejahatan dan kemaksiatan.Makanya dalam wacana-wacana mereka
mereka sangat membenci ide mengenai perempuan jadi pemimpin atau orang yang
memiliki kekuasaan seperti hakim , menganggap perempuan yang menolak dimadu
sebagai penentang Allah , menganggap perempuan yang berkarier di luar rumah
sebagai perempuan cabul , menganggap perempuan yang tidak berjilbab atau
berjilbab tapi bukan jilbab gondrong ala mereka sebagai pelacur dll.
 
Itulah sebabnya ketika kaum fundies berkuasa di suatu negara maka perempuan
lah yang akan menjadi korban pertama mereka.Apa yang pertama kali dilakukan
taleban ketika berkuasa di Afghanistan , mereka mengeluarkan perempuan dari
sekolah bahkan panti asuhan , melarang mereka bekerja dan menetapkan dress
code yang ketat.
 
Diskriminasi dalam hukum pun diterapkan , bila perempuan melakukan
pelanggaran hukum syari'ah versi mereka maka hukuman berat pun dijalankan
tapi sebaliknya bila laki-laki melakukan pelanggaran yang sama atau
melakukan aksi kekerasan terhadap perempuan termasuk aksi perkosaan maka dia
akan cenderung dimaafkan karena tidak ada empat saksi laki-laki.
 
Pernikahan di bawah umur dilegalkan, diberlakukannya segregasi sosial
berdasarkan jender dalam masyarakat sehingga
perempuan tidak mendapat akses atau dikebelakangkan dalam pelayanan publik
seperti pendidikan dan kesehatan , pelarangan perempuan bekerja , dress code
yang ketat yang termasuk model dan warna tertentu , liberalisasi poligami ,
pelarangan perempuan menempuh pendidikan tinggi atau minimal dibatasi sampai
batas minimal dengan pemberlakuan kuota , pelarangan perempuan menduduki
jabatan-jabatan publik , pelarangan perempuan memiliki identitas pribadi
(KTP) , larangan menyetir kendaraan sendiri , pelegalan honor killing atau
menjatuhkan hukuman mati pada perempuan yang menolak dijodohkan dengan calon
pilihan ayahnya dengan alasan kehormatan keluarga , dilegalkannya sistim
harem atau memelihara budak seks , dicabutnya perlindungan hukum bagi
perempuan dari aksi-aksi kekerasan , ditolaknya perempuan menjadi saksi
dalam perkara kriminal termasuk yang menimpa dirinya sendiri ,
dipersulitnya pembuktian kasus-kasus perkosaan sehingga cenderung
membebaskan nyaris semua pemerkosa , dilegalkannya aksi-aksi kekerasan dalam
rumah tangga dll.Ini adalah sebagian kebijakan-kebijakan yang diberlakukan
oleh sejumlah negara yang dipimpin orang fundies dan menerapkan syari'at
islam ala fundies.
Tingkat Pendidikan Kaum Perempuan Tergolong Rendah
Pontianak,-  Tingkat pendidikan kaum perempuan di Kalimantan Barat masih tergolong rendah. Statistik kepemilikan ijazah tertinggi dan angka buta huruf yang relatif masih belum dominan dibandingkan kaum laki-laki.

Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat mencatat hingga tahun 2006, persentase penduduk perempuan yang tidak mempunyai ijazah masih rendah dibandingkan penduduk laki-laki. “Persentase kaum perempuan mencapai 43,28 persen. Sementara laki-laki hanya 35,27 persen,” kata Kepala BPS Kalbar, Nyoto Widodo di Pontianak, Senin (4/6).

Selama tahun 2005-2006, penduduk berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan (ijazah tertinggi yang dimiliki) menunjukkan gambaran semakin berkurangnya persentase penduduk yang berpendidikan rendah terutama yang tidak punya ijazah (tidak/belum tamat SD), diiringi dengan semakin meningkatnya

persentase penduduk yang tamat SLTP ke atas.

Tercatat pada tahun 2005 yang tidak punya ijazah sebesar 40,87 persen menjadi 39,22 persen pada tahun 2006 atau mengalami penurunan sebesar 1,75 poin. “Apabila diperhatikan menurut aspek gender, tampaknya pendidikan pada perempuan masih lebih rendah dibanding pada laki-laki,” kata Nyoto.

Menurut dia, penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak mempunyai ijazah mencapai 39,22 persen, kemudian ijazah tertinggi SD sederajat sebanyak 28,41 persen, SLTP sederajat sebesar 16,10 persen, SLT sederajat sebsear 13,42 persen, dan perguruan tinggi hanya 2,87 persen. “Data ini bisa mencerminkan tingkat kualitas sumber daya manusia di daerah ini,” ungkapnya.

Tahun 2006, kata Nyoto, persentase penduduk perempuan yang tidak memiliki ijazah jauh lebih besar dibandingkan penduduk laki-laki. Sedangkan untuk yang mempunyai ijazah SD atau lebih untuk penduduk laki-laki besar dibandingkan pada perempuan. “Ini menunjukkan masih adanya ketimpangan gender dalam hal pendidikan yang ditamatkan,” katanya.

Hal lain yang disampaikan Nyoto adalah tingkat angka buta huruf penduduk usia 10 tahun ke atas. Selama tahun 2005-2006 telah menurun sebesar 1,2 poin, yaitu: dari 10,89 persen menjadi 9,69 persen. “Angka ini sedikit berbeda dengan Diknas, karena kita mengukur penduduk yang telah berusia 10 tahun ke atas,” ujarnya.

Pada tahun 2005 tercatat jumlah penduduk 10 tahun ke atas yang buta huruf sekitar 349 ribu orang, selanjutnya berkurang menjadi sekitar 320 ribu orang pada tahun 2006 atau mengalami pengurangan sekitar 28 ribu orang. Dilihat menurut aspek gender, ABH perempuan masih lebih tinggi dibanding ABH laki-laki, namun selama tahun 2005-2006 perbedaannya sudah semakin menurun.

BPS juga mengungkapkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pada tahun 2006. Angka Partisipasi Sekolah (APS) menunjukkan gambaran sebagai berikut: APS usia SD (7-12 tahun) sebesar 96,53 persen, usia SLIP (13-15 tahun) sebesar 83,46 persen, usia SLTA (16-18 tahun) sebesar 48,55 dan usia perguruan tinggi sebesar 9,30 persen. Usia SD mempunyai tingkat APS yang tertinggi, selanjutnya disusul APS usia SLIP, SLTA dan perguruan tinggi.

Dibandingkan dengan keadaan tahun 2005, APS tahun 2006 mengalami peningkatan di semua usia sekolah. Peningkatan APS yang tertinggi adalah untuk usia SLIP yaitu meningkat sebesar 3,04 poin dari 80,42 persen pada tahun 2005 menjadi 83,46 persen pada tahun 2006.

Urutan selanjutnya adalah APS usia SLTA yaitu mengalami peningkatan sebesar 1,00 poin, dari 47,55 persen menjadi 48,55 pesen. APS usia SD meningkat sebesar 0,98 poin dari 95,55 persen menjadi 96,53 persen, dan urutan terakhir adalah APS usia Perguruan Tinggi meningkat sebesar 0,62 poin dari 8,68 persen menjadi 9,30 persen. (mnk)< Tingkat pendidikan kaum perempuan di Kalimantan Barat masih tergolong rendah. Statistik kepemilikan ijazah tertinggi dan angka buta huruf yang relatif masih belum dominan dibandingkan kaum laki-laki.

Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat mencatat hingga tahun 2006, persentase penduduk perempuan yang tidak mempunyai ijazah masih rendah dibandingkan penduduk laki-laki. “Persentase kaum perempuan mencapai 43,28 persen. Sementara laki-laki hanya 35,27 persen,” kata Kepala BPS Kalbar, Nyoto Widodo di Pontianak, Senin (4/6).

Selama tahun 2005-2006, penduduk berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan (ijazah tertinggi yang dimiliki) menunjukkan gambaran semakin berkurangnya persentase penduduk yang berpendidikan rendah terutama yang tidak punya ijazah (tidak/belum tamat SD), diiringi dengan semakin meningkatnya

persentase penduduk yang tamat SLTP ke atas.

Tercatat pada tahun 2005 yang tidak punya ijazah sebesar 40,87 persen menjadi 39,22 persen pada tahun 2006 atau mengalami penurunan sebesar 1,75 poin. “Apabila diperhatikan menurut aspek gender, tampaknya pendidikan pada perempuan masih lebih rendah dibanding pada laki-laki,” kata Nyoto.

Menurut dia, penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak mempunyai ijazah mencapai 39,22 persen, kemudian ijazah tertinggi SD sederajat sebanyak 28,41 persen, SLTP sederajat sebesar 16,10 persen, SLT sederajat sebsear 13,42 persen, dan perguruan tinggi hanya 2,87 persen. “Data ini bisa mencerminkan tingkat kualitas sumber daya manusia di daerah ini,” ungkapnya.

Tahun 2006, kata Nyoto, persentase penduduk perempuan yang tidak memiliki ijazah jauh lebih besar dibandingkan penduduk laki-laki. Sedangkan untuk yang mempunyai ijazah SD atau lebih untuk penduduk laki-laki besar dibandingkan pada perempuan. “Ini menunjukkan masih adanya ketimpangan gender dalam hal pendidikan yang ditamatkan,” katanya.

Hal lain yang disampaikan Nyoto adalah tingkat angka buta huruf penduduk usia 10 tahun ke atas. Selama tahun 2005-2006 telah menurun sebesar 1,2 poin, yaitu: dari 10,89 persen menjadi 9,69 persen. “Angka ini sedikit berbeda dengan Diknas, karena kita mengukur penduduk yang telah berusia 10 tahun ke atas,” ujarnya.

Pada tahun 2005 tercatat jumlah penduduk 10 tahun ke atas yang buta huruf sekitar 349 ribu orang, selanjutnya berkurang menjadi sekitar 320 ribu orang pada tahun 2006 atau mengalami pengurangan sekitar 28 ribu orang. Dilihat menurut aspek gender, ABH perempuan masih lebih tinggi dibanding ABH laki-laki, namun selama tahun 2005-2006 perbedaannya sudah semakin menurun.

BPS juga mengungkapkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pada tahun 2006. Angka Partisipasi Sekolah (APS) menunjukkan gambaran sebagai berikut: APS usia SD (7-12 tahun) sebesar 96,53 persen, usia SLIP (13-15 tahun) sebesar 83,46 persen, usia SLTA (16-18 tahun) sebesar 48,55 dan usia perguruan tinggi sebesar 9,30 persen. Usia SD mempunyai tingkat APS yang tertinggi, selanjutnya disusul APS usia SLIP, SLTA dan perguruan tinggi.

Dibandingkan dengan keadaan tahun 2005, APS tahun 2006 mengalami peningkatan di semua usia sekolah. Peningkatan APS yang tertinggi adalah untuk usia SLIP yaitu meningkat sebesar 3,04 poin dari 80,42 persen pada tahun 2005 menjadi 83,46 persen pada tahun 2006.

Urutan selanjutnya adalah APS usia SLTA yaitu mengalami peningkatan sebesar 1,00 poin, dari 47,55 persen menjadi 48,55 pesen. APS usia SD meningkat sebesar 0,98 poin dari 95,55 persen menjadi 96,53 persen, dan urutan terakhir adalah APS usia Perguruan Tinggi meningkat sebesar 0,62 poin dari 8,68 persen menjadi 9,30 persen. (mnk)



Kemajuan pendidikan bagi perempuan akan memberdayakan perempuan tersebut untuk berpartisipasi dan berkontribusi secara lebih luas terhadap ekonomi dan masyarakat. Lebih penting lagi, pendidikan berkualitas akan membantu mengubah kehidupan anak laki-laki dan perempuan ke arah yang lebih baik. Anak perempuan yang berasal dari kelompok yang kurang beruntung, misalnya dari kasta yang rendah atau memiliki kecacatan, menghadapi ketidakberuntungan ganda. Dengan demikian, perbaikan pendidikan bagi mereka juga akan memutus lingkaran diskriminasi yang lebih luas.



Meskipun perbudakan telah dinyatakan melanggar hukum di seluruh dunia, namun banyak keadaan yang membuat kehidupan dan kerja anak-anak dapat disebut sebagai mendekati perbudakan. (Peter Davies) Masalah pekerja anak atau buruh anak (child labour) bukan hanya masalah sosial di Indonesia, namun telah menjadi isu dan agenda global bangsa-bangsa di dunia.

Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), jumlah pekerja anak di dunia berkisar antara 100-200 juta jiwa. Tujuh persen dari jumlah tersebut tinggal di Amerika Latin, 18 persen di Asia dan 75 persen di Afrika.

Di Indonesia, terdapat sekitar 2,5 juta anak bekerja. Hanya perlu dicatat, kategori pekerja anak yang dipakai BPS adalah mereka yang berumur 10-14 tahun yang aktif melakukan aktivitas secara ekonomi. Sudah pasti jumlah pekerja anak akan lebih besar jika kategorisasi yang dipergunakan lebih luas, yaitu anak-anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk keperluan mencari upah. Menurut Irwanto, peneliti dari UNIKA Atmajaya Jakarta, jika kategorisasi terakhir ini digunakan, jumlah pekerja anak di tanah air kira-kira akan mencapai 8 juta anak.

Bahkan Thijs, peneliti sosial ekonomi memperkirakan lebih besar lagi yaitu 10 juta orang. Angka yang berbeda mengenai jumlah pekerja anak itu karena pertimbangan atas batasan dan konsep pekerja anak. Yang pasti pekerja anak merupakan fenomena gunung es yang kondisi sesungguhnya tidak cukup tergambarkan oleh informasi, data maupun temuan yang ada pada level permukaan.

Anak-anak yang masuk ke pasar kerja menjadi pekerja anak merupakan rasionalisasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang dilanda kemiskinan. Konstalasi ini menjadi legitimasi mempekerjakan anak-anak, bahkan dengan pekerjaan yang eksploitatif, upah murah, dan pekerjaan yang berbahaya (Joni, 1997). Keberadaan pekerja anak ini dilematis. Di satu sisi anak-anak bekerja untuk memberikan konstribusi pendapatan keluarga, namun mereka rentan dengan eksploitasi dan perlakuan salah. Pada kenyataannya, sulit untuk memisahkan antara partisipasi anak dengan eksploitasi anak (Irwanto, 1995).

Menurut karakteristik pekerjaan yang dilakukannya, pekerja anak adalah anak-anak yang bekerja kurang lebih seperti pekerja pada umumnya yang bertujuan membiayai diri dan keluarganya (Huriuci, 1996). Tjandraningsih (1995), White dan Tjandraningsih (1998) memberikan definisi pekerja anak tanpa menyebut batasan usia, tetapi ada aktivitas ekonomi yang dilakukan anak-anak dengan mencurahkan waktu yang banyak dan mendapatkan upah.
Namun yang pasti, pemerintah Indonesia merujuk kepada Usia Minimum diperbolehkan bekerja dalam UU Nomor 20 Tahun 1999 sebagai Ratifikasi Konvensi ILO 138, yakni 15 tahun untuk jenis pekerjaan ringan dan 18 tahun untuk jenis pekerjaan berbahaya.

Diperkirakan pekerja anak rata-rata memberi sumbangan 20-25 persen bagi ekonomi keluarga. Dengan jumlah sebesar itu wajar jika banyak orangtua dengan ekonomi pas-pasan merelakan anaknya mencari tambahan penghasilan. Kenyataan ini menyebabkan anak-anak tersebut semakin terkungkung dalam dunia kerja yang penuh dengan ketidakpastian. Efek lebih lanjut adalah ketidaksiapan anak dalam menghadapi masa depan. Pendidikan yang rendah dan kepribadian yang belum matang akan membuat mereka tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam dunia kerja atau lingkungan sosial. Mereka akhirnya berfungsi sebagai pelestari siklus kemiskinan keluarganya. Dengan kata lain, tidak ada mobilitas vertikal yang dialami sang anak dalam perjalanan hidupnya.

Selain kerugian yang bersifat jangka panjang, pekerja anak juga sangat rawan terhadap tindak kekerasan, eksploitasi tenaga dan bahkan stres. Pekerja anak rawan mengalami tindakan-tindakan tersebut, sebab umumnya pekerjaan yang mereka geluti tidak mempunyai segmentasi pekerjaan atas dasar usia. Mereka bekerja di bidang pekerjaan yang layaknya dilakukan pekerja dewasa. Ini memaksa mereka matang sebelum waktunya, baik secara fisik maupun psikis.
Walaupun ada alasan bahwa keterlibatan anak dalam dunia kerja karena alasan tradisi atau proses mewariskan keahlian oleh orangtua, namun kenyataannya, ketika ditelusuri lebih lanjut masalah anak-anak yang bekerja erat kaitannya dengan masalah ekonomi.

Ekonomi pembangunan kapitalis ketika memasuki wilayah-wilayah sumberdaya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, akan melihat sumberdaya tersebut sebagai potensi ekonomi yang harus dioptimalkan pemanfataannya secara ekonomi. Karena itu, pemanfaatan tenaga anak sebagai sumberdaya adalah pilihan ekonomis (murah). Pekerja anak mudah direkrut dan tidak sulit dipecat karena sifat bergantung dan tidak berdaya mereka. Selain itu, maraknya pekerja anak pada sektor informal yang sering luput dari pengawasan pemerintah, menyebabkan banyak temuan tentang upah yang sangat minim, jam kerja yang panjang dan melelahkan, serta tanpa mekanisme perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja (K3).

Penyebab lain yang justru lebih berbahaya adalah kemiskinan pola pikir. Lingkungan permisif, sikap apatis terhadap nilai-nilai pendidikan sebagai investasi ke masa depan, dan rendahnya kesadaran tentang Hak Anak semakin memperbesar angka pekerja anak. Angka putus sekolah yang "disumbangkan" oleh pekerja anak relatif tinggi karena sebagai anak berkebutuhan khusus, pekerja anak masih terpinggirkan dalam proses pembelajaran. Belum ada mekanisme tindakan affirmatif (diskriminasi positif) di sekolah terhadap pekerja anak.

Dalam perspektif sosio-psikologis, lingkungan pekerjaan tempat anak-anak dipekerjakan dihipotesiskan sebagai bukan lingkungan pendidikan atau media pembelajaran yang layak bagi mereka. Lingkungan pekerjaan anak menjadi lingkungan yang tidak representatif untuk menyokong proses pematangan intelektual anak. Lingkungan ini memandekkan proses pendewasaan diri anak dan membuat tersumbatnya ruang-ruang positif bagi pengaktualisasian diri anak dan bagi perkembangan jiwanya (Ikhsan, 1998).

Karakteristik lainnya ialah lingkungan pekerjaan anak juga membangun hubungan antara anak-anak dan para pekerja dewasa. Mereka berada dalam poros komunikasi yang timpang. Dari pihak orang dewasa, pekerja anak dipandang oleh mereka sebagai pihak yang inferior (lemah, mudah diatur, senantiasa patuh dan lain sebagainya). Dalam kacamata psikologi anak, orang dewasa dipandang mereka sebagai pihak yang sebaliknya. Orang dewasa diletakkan dalam posisi yang superior (kuat, suka memerintah, wajib dihormati, dapat dijadikan tempat mengadu, dan lain sebagainya).

Pekerja anak di manapun berada acapkali mendapat perlakuan yang tidak wajar. Perlakuan tidak wajar tersebut pada umumnya diberikan oleh orang dewasa. Hal ini akibat lemahnya posisi anak yang sering dianggap sebagai objek.Dari sekian jenis pekerjaan yang digeluti oleh pekerja anak di wilayah Sulawesi Selatan, ada beberapa di antaranya termasuk dalam Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (BPTA) yang dilarang sesuai UU Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Selain kehilangan kesempatan meraih pendidikan yang setinggi-tingginya untuk masa depan, tanpa disadari banyak risiko dan bahaya lain yang dihadapi, seperti:
  Gangguan fisik (kelelahan dan dehidrasi, luka, cacat fisik, penyakit akibat terpapar zat kimia berbahaya, pertumbuhan lambat akibat terbiasa dengan beban berat, gangguan pada penglihatan, dan pendengaran).

  Gangguan psikis (trauma panjang karena indikasi perundungan seksual orang dewasa, gaya hidup konsumtif, anti sosial dan kurang kepercayaan diri)
Beberapa jenis pekerjaan yang berpotensi tergolong BPTA adalah: produksi dan peredaran obat terlarang, anak korban perdagangan manusia, kuli pelabuhan, kuli bangunan, pekerja rumah tangga, anak di pembuangan akhir sampah, pekerja di perkebunan/pertanian dan perikanan.

Pekerja Anak Perempuan

Berbeda dengan anak laki-laki, anak perempuan yang menjadi pekerja anak menghadapi situasi yang lebih kompleks dan lebih buruk. Selain menghadapi lingkungan kerja orang dewasa, yang memungkinkan dieksploitasi sebagaimana pekerja anak laki-laki, pekerja anak perempuan juga menghadapi berbagai bentuk eksploitasi dan pelecehan seksual dalam bentuk verbal, psikis maupun fisik.

Pekerja anak perempuan juga menghadapi persoalan terkait dengan kesehatan reproduksi dan keharusan memikul beban kerja ganda (double burden), karena anak-anak ini masih mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga membantu ibunya atau melakukannya sendiri. Dengan demikian, kondisi pekerja anak perempuan lebih kompleks dan berat, diperparah dengan ketimpangan jender khususnya dalam pendidikan. Sayangnya seringkali perhatian terhadap pekerja anak masih secara umum dan mengabaikan karakteristik khususnya pekerja anak perempuan.

Karena itu, "Berikan Kesempatan kepada Anak Perempuan" yang merupakan tema Peringatan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak tahun ini, yang dicanangkan oleh ILO dan dilaksanakan berbagai negara di dunia, tidak hanya sekadar pilihan untuk suatu acara seremonial, tetapi lebih dari itu adalah untuk menggugah kesadaran pemerintah dan publik untuk peduli terhadap anak perempuan yang bekerja. Dalam jangka panjang, gangguan fisik dan psikis akan sangat berdampak pada kualitas hidup pekerja anak yang umumnya juga mengalami keterbatasan keterampilan dan pendidikan. Mereka adalah masa depan yang saat ini tidak beruntung, baik karena kehilangan hak-haknya maupun karena eksploitasi. Dibutuhkan upaya-upaya serius, konkret dan menyentuh akar masalah dalam memperkecil ketertinggalan pekerja anak perempuan khususnya di bidang pendidikan.

Sejatinya, salahsatu cara paling efektif menekan jumlah pekerja anak adalah mempertahankan mereka selama mungkin pada bangku pendidikan formal atau peluang pendidikan non formal yang mengarah pada pendidikan kecakapan hidup. Tanpa komitmen memprioritaskan pekerja anak, tujuan prakarsa Pendidikan untuk Semua tidak akan tercapai dengan maksimal. Pelan tetapi pasti, dalam beberapa tahun lagi, pekerja anak di hari ini akan menjadi kelompok orang muda yang tidak mampu bersaing memasuki dunia kerja yang layak. Selamat Hari Dunia Menentang Pekerja Anak













Daftar Isi


Lembar Pengesahan dan Persetujuan                                                                           i
Daftar Isi                                                                                                                      ii
BAB I Pendahuluan
            I.1 Latar Belakang Masalah                                                                             1
            I.2 Tujuan Penelitian                                                                                       2
            I.3 Pentingnya Penelitian                                                                                3
            I.4 Hipotesis Permasalahan                                                                             3
            I.5 Rumusan Masalah                                                                                     3
BAB II            Kajian Teori dan Analisis Masalah
            II.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga                                                            4
            II.2 Korban dan Pelaku                                                                                  5
            II.3 Dampak Kekerasan Pada Korban                                                                        7
            II.4 Sebab-sebab Kekerasan dalam Rumah Tangga                                       8
            II.5 Kekerasan dalam Rumah Tangga di Jakarta                                            9
            II.6 Upaya menghadapi kekerasan                                                                 11
            II.7 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
       tahun 2004                                                                                               11
BAB III Uraian Metode dan Prosedur Penelitian
            III.1 Instrumen Penelitian                                                                               12
            III.2 Pengumpulan Data dan Analisis Data                                                    12
BAB IV Hasil Penelitian                                                                                            13
BAB V Kesimpulan dan Saran                                                                                   14
Gambar-gambar Kekerasan Dalam Rumah Tangga                                                    15
Daftar Pustaka                                                                                                                        17
Lampiran Kasus-kasus Kekerasan dalam rumah Tangga                                            18
















         BAB I
PENDAHULUAN

I.1     Latar Belakang Masalah

Masalah kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan dalam rumah tangga masih merupakan masalah yang tersembunyi dan belum tersentuh oleh perhatian masyarakat. Telah banyak perempuan yang jadi korban dari kekerasan dan pelecehan dalam rumah tangga, bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Masalah ini telah menjadi isu global dan terjadi di semua negara dari berbagai belahan dunia.
Perilaku pelecehan dari laki-laki terhadap perempuan merupakan produk dari sistem sosial yang selama ini dianut. Selama ini budaya menempatkan laki-laki dalam posisi yang lebih tinggi daripada perempuan sehingga mereka terkondisi mempunyai perasaan superioritas dalam berbagai situasi[1]. Laki-laki mempunyai kekuasaan yang lebih besar dibandingkan perempuan. Laki-laki bisa melakukan apa saja terhadap perempuan dan perempuan tidak boleh melawan.
Perempuan mempunyai hak yang sama untuk bebas dan menentukan keinginannya dalam kehidupan yang sesuai dengan norma. Namun, kebanyakan perempuan, khususnya perempuan Indonesia, tidak pernah menyadari bahwa mereka juga berhak mendapatkan perlakuan yang layak dari siapapun termasuk pasangannya. Hal ini menyulitkan perempuan sendiri untuk terhindar dari perlakuan kekerasan dalam kehidupan rumah tangga. Mereka menganggap bahwa perlakuan suami terhadap istri adalah hal yang wajar dan merupakan suatu konsekuensi yang harus ditanggung oleh perempuan.
Kasus seperti ini semakin marak terjadi di Indonesia, khususnya di Jakarta. Dalam suatu promosi pemerintah daerah tentang Jakarta, dikatakan bahwa “semuanya ada di Jakarta”. Benar, semuanya ada di Jakarta. Pusat belanja, gedung-gedung pusat pemerintahan, taman hiburan, dan restoran. Semuanya bisa kita peroleh di Jakarta. Tidak terkecuali segala bentuk tindak kejahatan dan kekerasan, terutama terhadap perempuan, semuanya ada di Jakarta.
Seringnya terjadi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga di Jakarta menjadi kasus yang serius dan harus ditangani secara profesional. Hal ini dapat membantu mengurangi tindak kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terutama di Jakarta. Negara sendiri telah membentuk lembaga independen yang khusus menangani kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, yaitu Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan). Ini merupakan suatu wujud kepedulian pemerintah kepada nasib perempuan Indonesia. Tapi apakah dengan adanya komisi ini mampu meminimalisir angka kekerasan terhadap perempuan? Mengapa begitu banyak kekerasan terjadi? Siapakah pelaku kekerasan ini? Dan apa yang dilakukan pemerintah dalam hal ini? Hal ini akan dibahas dalam tulisan ini.

I.2     Tujuan Penelitian
                       
            Penelitian ini bertujuan untuk :
A. Memperoleh gambaran yang lengkap dan menyeluruh tentang tingkat     kekerasan dan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam rumah tangga yang terjadi di Jakarta.
B. Mempelajari hal-hal yang ikut mendorong munculnya perilaku terhadap perempuan dalam rumah tangga.
C. Mengetahui reaksi korban terhadap kekerasan yang dialami dan dampak akibat KDRT naik fisik mupun psikis.
D. Mengetahui Undang-Undang mengenai kekerasan terhadap perempuan.


I.3     Pentingnya Penelitian
           
            Setiap penelitian tentu memepunyai arti, makna dan manfaat baik. Adapun penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana dan memberi informasi pada masyarakat tentang KDRT yang terjadi di masyarakat. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberi informasi tentang dampak fisik maupun psikis KDRT yang dialami perempuan korban kekerasan.dan diharapkan mampu mendukung perempuan dalam mempertahankan hak perempuan untuk melindungi dirinya.

I.4     Hipotesis Penelitian

Kami berpendapat bahwa kekerasan yang terjadi terhadap perempuan sebagian besar terjadi di kalangan rakyat menengah, dilakukan oleh laki-laki (pasangan atau suami), dan mengakibatkan trauma atau gangguan psikologis terhadap perempuan yang menjadi korban.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan semakin meningkatnya kekerasan terhadap perempuan di Jakarta. Antara lain paradigma kuno yang beranggapan bahwa laki-laki patut untuk memegang kendali atas istri, dan juga rasa malu jika mengungkapkan permasalahan rumah tangga kepada orang lain.

I.5        Rumusan Masalah
Berdasarkan hal diatas ada beberapa pertanyaan pokok yang ingin dijawab dalam penelitian ini diantaranya :
A. Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan yang timbul terhadap perempuan dalam rumah tangga di Jakarta?
B. Faktor apa saja yang mendorong terjadinya kekerasan tersebut?
C. Bagaimana reaksi korban terhadap kekerasan yang dialaminya?

BAB II
Kajian Teori dan Analisis Masalah

     II. 1 Kekerasan dalam Rumah Tangga.
                   Pengertian Kekerasan Rumah Tangga menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang yang berakibat atau yang mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan psikoligis, termasuk ancaman perbuata tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. [2]
                   Beberapa jenis tindak kekerasan dalam rumah tangga, antara lain:
            a. Kekerasan Fisik
            Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabakan asa sakit, cedera, luka, atau cacat pada tubuh seseorang dan atau menyebabkan kematian.

b. Kekerasan Psikologis.
            Kekerasan Psikologi adalah setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya.

            c. Kekerasan Seksual
            Kekerasan seksual adalah tiap-tipa perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki; dan atau melakukan melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban; dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya.

d. Kekerasan Ekonomi
            Kekerasan ekonomi adalah tiap-tiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk bekerja di dalam dan diluar rumah yang menghasilkan uang atau barang,dan membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi.

            e. Perampasan Kemerdekaan
            Perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang adalah semua perbuatan yang menyebabkan terisolirnya seseorang dari lingkungan sosialnya. 

II.2 Korban dan Pelaku    
            Korban
Kekerasan menimbulkan rasa malu dan sering sekali mengintimidasi perempuan, hal ini menyebabkan ketakutan bagi perempuan yang menjadi korban sehingga menghalangi perempuan untuk mengambil inisiatif dan mengatur hidup yang akan dipilihnya. Perempuan sering menganggap bahwa ia tidak memiliki kekuatan dan hak untuk melawan tindak kekerasan yang terjadi.

Sebenarnya kekerasan rumah tangga ini berawal dari adanya budaya patriarkhi.Secara harfiah, patriarkhi berarti sistem yang menempatkan ayah sebagai penguasa keluarga. Istilah ini kemudian digunakan untuk menjelaskan suatu masyarakat, tempat kaum laki-laki berkuasa atas perempuan dan anak-anak. Sistem ini bekerja atas dasar pandang laki-laki. [3]

            Korban kekerasan dalam rumah tangga ada dimana-mana. Perempuan dari semua kelompok sosial bisa menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan dari semua golongan suku/agama, tua atau miskin, bisa mengalami perlakuan kejam. Banyak pernyataan yang megklaim bahwa perempuan itu bertahan dalam menghadapi tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.
            Ada sejumlah faktor yang membuat perempuan terjebak dalam situasi dimana ia harus mengalah antara lain:

 - Takut pembalasan, banyak perempuan diancam dengan kekerasan yang lebih kejam kalau mereka pergi meninggalkan suami/pasangannya. Ketakutan mereka realistis karena banyak hal nyata yang terjadi di Indonesia, termasuk kasus pembunuhan istri oleh seorang suami.
           
-    Tidak ada tempat lain, banyak perempuan tergantung dalam hal keuangan pada suami. Kalaupun mereka bisa mendapat tempat tinggal lain, pergi meninggalkan suami bisa berarti timbulnya kesulitan hidup bagi diri sendiri perempuan dan anak-anaknya.

- Stigma sosial, banyak perempuan takut mendapat stigma atau cap jelek karena diketahui sebagai istri yang dipukuli suami dan juga banyak yang takut dicap sebagai janda.

- Isolasi sosial, banyak perempuan yang tidak menyadari bahwa mereka dapat mendapatkan perlindungan dan bantuan sosial dari pihak penegak hukum sehingga tidak ada yang mau menolong.

- Rasa percaya diri rendah akibat pemukulan dan penganiayaan yang dialami. Ada rasa bersalah dan malu jika menunjukkan wajah mereka di muka umum.

- Demi kepentingan anak, hal ini juga membuat perempuan yang menjadi   korban mau bertahan mengalami penderitaan.

-          Demi cinta, cinta juga menjadi alasan utama para perempuan untuk tidak meninggalkan suami mereka. Mereka masih ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya tanpa ada kekerasan.

Pelaku
 Pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga biasanya adalah laki-laki.Lelaki yang sering tampil sebagai orang yang baik hati diluar rumah, namun dapat berubah sikap atau akan menjadi kasar dan melakukan tindakan-tindakan kejam didalam rumah.
   Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang lelaki ,melakukan tindak kekerasan yaitu, kepercayaan dirinya rendah, kemampuan berkomunikasinya rendah, emosinya tidak memadai dan tidak mau memahami emosi, sulit mempercayai orang lain, sangat cemburu kepada pasangan hidupnya.
    Pelaku hampir selalu menolak tanggung jawab atas perbuatannya.  Mereka biasanya menyangkal telah melakukan hal yang kejam. Biasanya mereka menyebutnya hanya sebagai pertengkaran biasa saja. Selain itu biasanya mereka akan membenarkan tindakan mereka dan malah lebih menyalahkan perempuan menjadi penyebab terjadinya pertengkaran yang berakhir pada kekerasan rumah tangga.

II.3 Dampak kekerasan pada korban
Kekerasan adalah hal yang kejam, semua mengetahui hal tersebut. Dampak dari kekerasan biasanya adalah luka fisik dan luka batin. Luka fisik bisa saja dipulihkan dengan pengobatan medis, tetapi luka batin sulit untuk dipulihkan. Luka batin dapat berupa trauma, rasa takut berkepanjangan, stres, dan gangguan jiwa. Kebanyakan perempuan korban KDRT mengalami hal-hal di atas walaupun dalam stadium ringan. Namun, korban KDRT juga adalah anak-anak. Anak-anak mendapat efek yang lebih besar dari kekerasan yang dilihatnya. Anak-anak akan melampiaskan kekerasan yang dilihatnya kepada teman-teman. Terutama anak laki-laki, kecenderungan mereka menyiksa perempuan akan lebih besar. Sedangkan bagi anak perempuan, mereka akan takut untuk menjalin hubungan dengan laki-laki. Dalam benak anak-anak tertanam bahwa kekerasan adalah hal yang luar biasa. Luka batin juga didapat dari lingkungan sosial, dikucilkan dan diolok-olok.

  II.4 Sebab-sebab kekerasan dalam rumah tangga
            Rumah tangga terbentuk dari pernikahan laki-laki dan perempuan yang didasarkan oleh cinta dan kasih. Tapi saat ada permasalahan, pernikahan itu diuji. Apakah pasangan ini dapat bertahan dan mampu mengatasi permasalahan itu? Cara penyelesaian permasalahan bermacam-macam. Ada yang berbicara dari hati ke hati untuk mencari jalan keluarnya, ada juga yang diam sampai keadaan mereda dengan sendirinya, dan ada juga yang menyelesaikannya dengan pertengkaran. Cara yang terakhir inilah yang memicu pemukulan, penganiayaan dan penyiksaan. Ini adalah cara penyelesaian yang tidak baik. Lebih baik dibicarakan dengan tenang, tanpa emosi, dan tanpa argumen yang menjatuhkan lawan.
            Penyebab kekerasan dalam rumah tangga bisa dipicu oleh beberapa faktor antara lain:
§  Individu
Biasanya dipengaruhi karena sifat individu yang melekat pada laki-laki. Laki-laki merasa memiliki istrinya sepenuhnya sehingga memiliki rasa cemburu dan kecenderungan untuk mengendalikan istri. Laki-laki juga merasa berkuasa karena dialah yang menafkahi keluarga dan perempuan tidak punya kekuatan ekonomi untuk melawan dan terpaksa menerima perlakuan apapun dari suaminya. Faktor lain adalah karena orang yang melakukan penyiksaan itu mengidap penyakit psikis dan memiliki kebiasaan untuk menyiksa atau memukul adalah hal biasa. Alkohol dan stres juga menjadi pemicu kekerasan.
§  Masyarakat dan Kebudayaan
Kebiasaan membiarkan masalah rumah tangga dan tidak melakukan apa-apa untuk mencegahnya menjadi salah satu penyebab KDRT terus terjadi di mana-mana. Masyarakat merasa bahwa masalah keluarga adalah masalah pribadi dan tidak perlu ada campur tangan masyarakat. Selain itu budaya kita masih berkeyakinan bahwa perempuan adalah milik laki-laki, dan laki-laki berhak memperlakukan perempuan sesuai kehendak hatinya. Yang lebih parah lagi hukum di negara ini tidak cukup untuk melindungi perempuan. Memang ada hukum perlindungan perempuan tapi pelaksanaannya masih belum bisa melindungi perempuan secara total.[4]

II.5 Kekerasan dalam rumah tangga di Jakarta
JAKARTA dinobatkan sebagai salah satu kota dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tertinggi dibanding dengan tindak kekerasan di daerah lain. Kekerasan fisik yang dialami ibu rumah tangga di DKI Jakarta masih mendapat porsi paling tinggi. Berdasarkan data  terakhir yang dikeluarkan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta, selama 2009 ini dari pelanggaran Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi, terdapat 59% angka kekerasan fisik.Berikutnya diikuti dengan kekerasan psikis (29%), kekerasan seksual (11%) dan penelantaran rumah tangga (1%). Angka ini merupakan presentase dari 466 orang yang tercatat menjadi korban KDRT P2TP2A.
           Menurut Wakil Ketua II P2TP2A, Margaretha Hanita, faktor penyebab tindak kekerasan fisik tersebut adalah budaya patriarki yang masih kuat pada masyarakat. Menurutnya, korban KDRT berusia rata-rata 23 tahun, istri yang tidak bekerja atau tidak menghasilkan uang. Margaretha menambahkan 56% dari korban kekerasan merupakan korban yang dalam masa perkawinan 1-10 tahun. Ia pun mengatakan para korban biasanya takut lapor kepada institusi yang berwenang.
           Sementara itu, Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metrojaya, Komisaris Polisi Murnila, melihat tingginya tingkat kekerasan ini sebagai peningkatan kesadaran warga masyarakat terhadap KDRT yang terjadi. Akan tetapi, menurut Murnila kekerasan fisik yang terjadi dalam rumah tangga tersebut masih dalam kategori ringan. Sehingga, penyelesaian kasus KDRT yang umumnya melalui delik aduan tersebut dapat diselesaikan dengan jalan damai. (www.republika.co.id, “Kekerasan Fisik KDRT di DKI jakarta Tertinggi”, diakses oleh Dina Elisye pada Sabtu, 7 November 2009 pukul 11.35 WIB)

             Kasus kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) di Jakarta seolah tak ada habisnya. Setelah kasus Manohara Pinot dan Cici Paramida, KRDT juga menimpa keluarga jaksa. Pelakunya diduga jaksa senior di lingkungan Kejagung.
Jaksa senior itu, berinisial PR, dituding telah menganiaya anak dan istrinya yang juga seorang jaksa pada tanggal 22 November 2008. Anak istri jaksa PR pun mengadu ke LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, pada tanggal 18 Juni 2009.
images[13](Manohara dan Cici Piramida yang mengalami KDRT)
Hal diatas merupakan 1 dari sekian banyak kasus tindak kekerasan yang terjadi di Jakarta. Maraknya kasus kekerasan di Jakarta menyita banyak perhatian publik. Ini membuktikan bahwa KDRT di Jakarta masih memprihatinkan. Banyaknya kasus KDRT di Jakarta menjadi pekerjaan yang berat bagi pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab untuk melindungi perempuan dari kekerasan.  

II.6  Upaya Menghadapi Kekerasan (Cara Penanggulangannya)
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menghindar dari tindakan kekerasan. Sebagai contoh kita dapat memulai dengan cara mengenali dan menghilangkan faktor pemicunya. Hal ini dapat membantu korban untuk terhindar dari tindak kekerasan. Selain itu, korban hendaknya melibatkan pihak luar dalam artian tidak menutup-nutupi jika terjadi tindak kekersan. Semakin banyak pihak yang tahu akan semakin baik, karena korban akan menerima bantuan yang dibutuhkan. Keterlibatan pihak luar secara tidak langsung akan memaksa pelaku kekerasan untuk tidak berbuat seenaknya.
Upaya lain yang bisa mencegah kekerasan adalah kita harus mengenali terlebih dahulu diri sendiri dan pasangan kita. Hal ini sedikit banyak membantu kita untuk tahu kapan kita harus berhenti berkata-kata atau berhenti mengeluarkan hal-hal yang menimbulkan kemarahan. Menyelesaikan masalah yang menjadi akar ketidak harmonisan meskipun akar masalah kerab kali sukar diselesaikan dan memakan waktu yang lebih panjang untuk disembuhkan, namun inilah yang perlu dilakukan. Tanpa penyelesaian yang menyeluruh kekerasan akan cenderung berulang.
Hal yang terpenting korban harus meminta bantuan kepada pihak yang berwajib atau lembaga perempuan lainnya apabila akar permasalahanpun tidak dapat terselesaikan. Lembaga perempuan biasanya berusaha akan mendamaikan masing-masing pihak yang memiliki masalah dengan cara kekeluargaan, sedangkan pihak berwajib akan membantu menyelesaikan masalah kekerasan dengan jalur hukum.
Mengadakan penyuluhan-penyuluhan mengenai tindak kekerasan kepada masyarakat juga sangat membantu bangsa dalam mencegah terjadinya lagi tindak kekerasan dalm rumah tangga. Biasanya yang mengadakan penyuluhan mengenai KDRT dilaksanakan oleh LSM yang berkecimpung di bidang kekerasan, dan pemerintah sendiri. Penyuluhan mengenai KDRT biasanya bertujuan untuk membantu dan menyadarkan masyarakat untuk bersama-sama menekan angka KDRT yang terjadi di Indonesia terutama Jakarta.

II.7 Undang-Undang Penghapusan KDRT Tahun 2004
Indonesia menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Penetapan undang-undang ini diharapkan mampu memberikan perlindungan hukum bagi perempuan yang biasanya sering menjadi korban tindak kekerasan dalam rumah tangga. Penetapan undang-undang ini membantu negara Indonesia untuk mengurangi kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Indonesia terutama di Jakarta.




BAB III
   Uraian Metode dan Prosedur Penelitian

III.1  Instrumen Penelitian
      Dalam tulisan ini, kelompok mencantumkan data dan informasi mengenai kasus KDRT di Indonesia terutama Jakarta. Kelompok mengumpulkan data-data tersebut dari internet. Selain itu, metode penelitian yang dipakai oleh kelompok adalah studi kasus-kasus KDRT yang telah dihimpun oleh kelompok.


III.2 Pengumpulan Data
            Pengumpulan data ini dilakukan dengan jalan mengadakan pencatatan dan mengambil dokumen-dokumen atau gambar-gambar dari artikel dan internet yang ada hubungannya dengan masalah penelitian. Kelompok mempelajari kasus KDRT yang sedang marak di Jakarta dengan beberapa sumber atau refensi buku yang membahas mengenai KDRT. Hal ini membantu kelompok untuk menyimpulkan data-data kasus KDRT.

III.3 Analisis Data
      Dalam analisis ini kelompok mengambil data mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang dapat diakses dari internet. Hal ini dikarenakan internet lebih cepat memperbaharui data yang ada, sehingga kami bisa memperoleh data-data tentang kekerasan dalam rumah tangga yang terbaru dan memang menjadi sorotan publik, terutama di Jakarta.
            Kelompok melihat kesamaan perilaku pelaku kekerasan dalam rumah tangga dengan apa yang tertulis dalam kajian teori (BAB II). Hal ini disebabkan karena kajian teori yang dibuat oleh kelompok adalah berdasar dari referensi hasil pengamatan tentang kekerasan dalam rumah tangga. Begitu juga dengan bentuk-bentuk penganiayaan yang diterima korban, dampaknya terhadap anak-anak, faktor-faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga, sama dengan teori dalam BAB II. Bukti-bukti dari data dapat dilihat dari kata-kata yang tercetak tebal dalam beberapa kasus yang diurai dalam bab sebelumnya.

BAB IV
Hasil Penelitian
         
Dari hasil penelitian kelompok melalui studi kasus, kami melihat bahwa kekerasan yang terjadi terhadap perempuan sebagian besar terjadi di kalangan masyarakat yang dilakukan oleh laki-laki (pasangan atau suami), dan mengakibatkan trauma atau gangguan psikologis terhadap perempuan yang menjadi korbannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan semakin meningkatnya kekerasan terhadap perempuan di Jakarta tersebut pun menjadi pendukung terjadinya kekerasan. Faktor tersebut antara lain adalah paradigma kuno yang beranggapan bahwa laki-laki patut untuk memegang kendali atas istri, sementara istri hanya boleh menurut kepada suami dan tunduk terhadap segala perintah suaminya. Beberapa lainnya adalah faktor adanya perasaan malu jika mengungkapkan permasalahan rumah tangga kepada orang lain.



                                               





BAB V
Kesimpulan dan Saran

KDRT merupakan masalah serius kita semua, karena telah melanggar hak asasi manusia termasuk hak asasi perempuan. Sebagian orang berpikir bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan setiap perasalahan dalam rumah tangga. Padahal perilaku ini sungguh tidak berperikemanusiaan. KDRT itu dapat berupa bentakan, pukulan, dan tamparan. KDRT adalah perbuatan fisik dan kata-kata yang terjadi di tempat dimana seseorang merasa aman, yaitu di rumah. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan UU yang mengatur KDRT, agar dapat mengurangi angka kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dan dapat melindungi korban-korbannya.
Kekerasan dalam rumah tangga akan menghancurkan jiwa dan raga serta merubak keluarga. Untuk itu,marilah kita bersama-sama menghentikan lingkaran kekerasan agar keluarga kita dapat menjadi tempat didikan yang baik.














Gambar tindak kekerasan dalam rumah tangga

1.images[62]                                                     2. images[4]          
Seorang Pembantu Rumah Tangga
yang mengalami tindak kekerasan oleh majikannya

3.images[13]                                                  4. images[74]      


5 images[37]                                          6  images[36]

Keterangan      : 1. Seorang Pembantu Rumah Tangga yang mengalami tindak kekerasan oleh majikannya
                                  2. Cici Piramida yang menjadi korban KDRT
                                  3. Manohara dan Cici Piramida yang menjadi korban KDRT
                          4. Salah satu kekerasan fisik yang terjadi akibat KDRT
                          5. Seorang istri yang memperlihatkan memar di tangannya akibat KDRT
                          6.

            
                                                     













Daftar Pustaka

Bidang Pendampingan Perepuan Korban Kekerasan & Bidang Penerbitan Kalyanamitra. Menghadapi Kekerasan Dalam Rumahtangga, Jakarta: Kalyanamitra & Pusat
Komunikasi dan Informasi Perempuan, 1999.

Gunadi, Paul. How To Enjoy Your Marriage, Yogyakarta: Yayasan Eunike, 2007

Luhulima, Sudiarti Achie. Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta: Penerbit PT Alumni, 2000.

Meiyenti, Sri. Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga, Yogyakarta: Pusat Penelitian kependudukan Unifersitas Gajah Mada, 1999.
















Lampiran Kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kasus 1
          Kasus kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) seolah tak ada habisnya. Setelah kasus Manohara Pinot dan Cici Paramida, KRDT juga menimpa keluarga jaksa. Pelakunya diduga jaksa senior di lingkungan Kejagung.
Jaksa senior itu, berinisial PR, dituding telah menganiaya anak dan istrinya yang juga seorang jaksa. Anak istri jaksa PR pun mengadu ke LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Kamis (18/6).
“Benar telah terjadi tindak kekerasan terhadap saya dan ibu saya pada tanggal 22 November 2008 lalu. Saat itu, saya hendak melerai ayah yang sedang mencekik ibu saya. Otomatis saat itu saya harus membela ibu, lalu saat itu saya dipukul dan dibanting ke lantai,” ungkap Dimas Agung Baharsyah (16) saat mendampingi Nazwita Indra, ibunya.
Dimas mengutarakan, akibat penyiksaan yang dilakukan ayahnya, dia mengalami luka-luka serius di bagian mulut dan bagian kepala memar akibat dibanting ke lantai.
Saya juga dilempar alat olahraga sehingga mengalami luka-luka. Ibu tetap dikejar ayah untuk dicekik, saya bangkit dan tetap bela ibu. Ayah saat itu melarang kita ke rumah sakit,” jelas Dimas yang saat ini masih duduk di bangku kelas I SMU ini.
Menurut Dimas, sebenarnya kasus ini sudah ditangani Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hanya saja, proses hukum yang berjalan dianggap tidak berpihak kepada korban.
“Kenyataannya, kami mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari para pejabat yang menangani ini. Kami dianggap bukan siapa-siapa, apalagi bapak saya itu mantan pejabat di Kejati Gorontalo,” sesalnya.

Jaksa Senior Ancam Habisi Istrinya Bila Ungkap KDRT
Kekerasan yang dialami Nazwita Indra, jaksa di bagian Pembinaan Kejagung, oleh suaminya yang merupakan jaksa senior di Kejagung, kerap berulang. Saat Nazwita memperkarakan ke pengadilan, bogem mentah masih kerap dilayangkan oleh PR, suaminya. Hal ini diceritakan oleh anak Nazwita, Dimas Agung Baharsyah (16).
Dimas menceritakan, ibunya sempat disekap di kamar dengan diputus aliran listriknya, dipukul dan dipaksa untuk tidak memperkarakan kasus ini ke pengadilan.
“Kami dipaksa menandatangani perdamaian. Ibu sering mengalami kekerasan berulang, bahkan bapak saya ingin mengeluarkan saya dari sekolah dengan menuding saya sebagai anak yang bermasalah. Bapak selalu memutarbalikkan fakta supaya tidak diperkarakan,” ujar Dimas.
Terkait perlakuan kasar suaminya, Nazwita mengatakan, dirinya sering kali dituding tidur bersama dengan pejabat kejaksaan bahkan diancam untuk dihabisi bila ngotot mengungkap kasus ini.
“Suami saya mengancam akan melakukan cara apa pun untuk menghabisi kami berdua, menyuruh orang untuk membuntuti kami, di mana letaknya hukum ini?” gugatnya.
Nazwita juga menyayangkan sikap Polres Jakarta Selatan yang tidak mau menahan suaminya yang sering mengacungkan senjata api saat mengancam.
Menurutnya, Kejagung juga yang seolah menutup mata. Bahkan dia terancam akan dibebastugaskan dari Kejagung.
Jaksa Nazwita dan Sri Diduga Sama-Sama Diperistri Jaksa Senior
Jaksa Nazwita Indra dan Sri Sulistiawati sama-sama menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Keduanya diduga menjadi istri jaksa senior di Kejagung, PR.
“Oh itu kasusnya PR,” kata sumber di Kejagung saat ditanya seputar kasus KDRT yang menimpa Sri di Kejagung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Kamis (18/6).
Ketika ditanya kasus yang menimpa Jaksa Nazwa, sumber itu mengatakan. “Oh ya sudah, sama berarti (satu suami),” ujar sumber itu.
Kapuspenkum Kejagung Jasman Panjaitan membenarkan Nazwa maupun Sri bekerja di Kejagung.
“Nazwita, jaksa di Jaksa Agung Muda Pembinaan. Sementara Sri, pegawai di Kejagung. Menurut pengakuan Sri, kata Jasman, PR juga pernah menikah ketika menjadi Kejari Gorontalo. “Kalau tidak salah sekarang di Pusdiklat,” ujarnya.
Dikatakan dia, kasusnya sudah disidangkan di PN Jakarta Selatan. “Tetapi kalau tidak salah itu kekerasan terhadap anaknya. Kejadiannya dilaporkan ke polisi tanggal 2 Desember 2008. Waktu rapat kerja Kejaksaan, saya ditelepon oleh Penyidik Polres Jakarta Selatan,” kata Jasman.
Korban KDRT, Istri Jaksa Dilarang Kerja Sampai Dilarang Hamil
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menimpa semua lapisan golongan. Tidak hanya menimpa artis atau selebritis saja seperti yang akhir-akhir ini mencuat. KDRT juga menimpa istri seorang penegak hukum. Istri seorang jaksa yang bertugas di Kejagung, Sri Sulistiawati, misalnya juga mengalaminya.
Perempuan berusia 50 tahun ini telah menikah dengan seorang jaksa selama 14 tahun. Selama itu, Sri mengaku mendapat perlakuan yang tidak adil dari suaminya yang kini menjabat salah satu Kasubdit di Kejagung itu.
“Yang saya tahu, dia berbuat baik di luar sana. Tetapi saya tidak diijinkan bekerja, bertemu dan bersosialisasi keluarga dibatasi,” kata Sri dalam jumpa pers di LBH Apik, Matraman, Jakarta Pusat, Kamis (18/6).
Selain itu, Sri juga dilarang hamil oleh suaminya. Kalau Sri sampai telat datang bulan, suaminya langsung buru-buru mengecek.
“Saya nurut saja, kalau saya nggak boleh hamil,” katanya.
Sri juga mengaku kerap dibohongi oleh suaminya tersebut. “Dia bilang akan Umroh bersama Muspida pada 2008, tapi ternyata dia menikah di sana tanpa sepengetahuan dan izin saya. Dan hanya bilang, ‘maaf saya khilaf’,” cerita Sri.
Kekecewaan Sri tidak berhenti sampai di situ. Setelah peristiwa itu, Sri mendapat informasi bahwa suaminya telah menikah lagi dengan seorang temannya di Kejaksaan.
“Katanya 2 orang yang satu dinikahi siri yang satu dinikahi resmi,” kata Sri.
Karena tidak tahan, Sri pun melaporkan ke Kejaksaan dan ke Polda Metro Jaya. “Sekarang sudah sampai pengadilan dan baru satu kali sidang,” ujar Sri.
Suami Kawin Lagi, Sri Laporkan PR ke Pengawasan Kejagung
Dugaan Sri Sulistiawati (50) dan Nazwita Indra, mempunyai suami yang sama, jaksa senior di Kejagung berinisial PR, makin kuat. Sri pernah melapor ke Jamwas Kejagung bahwa suaminya menikah lagi ketika menjabat sebagai Kejari Gorontalo.
“Ibu Sri mengatakan kalau suaminya kawin lagi saat menjabat Kajari Gorontalo,” kata Kapuspenkum Kejagung, Jasman Pandjaitan.
Namun, Jasman mengaku belum tahu apakah perempuan yang dinikahi PR tersebut adalah Naswita Indra. Sumber di Kejagung mengatakan Nazwita, jaksa di bagian Pembinaan (Jambin), itu, juga diperistri oleh PR.
Menurut Jasman, pihaknya juga belum mengetahui apakah Sri, pegawai TU di Kejagung, adalah istri pertama PR atau bukan. PR adalah pejabat eselon III yang kini berdinas di Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Kejagung.
Sri dan Naswita mengungkapkan adanya kekerasan yang dilakukan oleh sang suami. Kasus KDRT yang dialami oleh Nazwita kini telah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kemarin keduanya sama-sama mengadukan kasus KDRT terebut ke Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sri melapor ke LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), sedangkan Nazwita mengadu bersama anaknya ke LBH Jakarta.
LBH Sayangkan Jaksa Senior Terdakwa KDRT Tak Ditahan
Nazwita Indra dan anaknya, Dimas Agung Baharsyah, menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan PR, jaksa senior di Kejagung.
Kasus ini telah masuk sidang di PN Jakarta Selatan dengan status PR sebagai terdakwa. Namun hingga kini PR tak juga ditahan, sehingga masih bisa mengintimidasi.
“Kami mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum, sekaligus menegaskan bahwa seluruh aparat penegak hukum wajib menjalankan tugasnya secarta profesional demi keadilan,” kata Ketua Divisi Advokasi LBH Jakarta Hermawanto saat mendampingi korban di kantornya.
Hermawanto menjelaskan, pihaknya dan korban menginginkan proses hukum yang saat ini berjalan ditegakkan dengan benar. “Sebagai seorang pelaku KDRT, PR sebenarnya memenuhi syarat untuk dilakukan penahanan, tapi sayangnya ini juga tidak dilakukan oleh pihak pengadilan dan polisi, padahal di dalam persidangan pun sudah diadukan,” jelasnya.
Diakui Hermawanto, ada perbedaan perlakuan terhadap pelaku dalam kasus serupa dengan kasus yang melibatkan jaksa senior itu. “Ini ada berbedaan perlakuan. Ada keistimewaan perlakuan terhadap jaksa senior dan kebal hukum,” sesalnya. (detikcom/y)
(diakses dari: http://hariansib.com oleh Kelompok pada Sabtu, 7 November 2009 pukul 11.45 WIB)





Kasus 2
Kondisi sosial-ekonomi yang dihadapi setiap keluarga ternyata masih mendominasi faktor penyebab tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di DKI Jakarta. Berdasarkan data pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A) DKI Jakarta, KDRT di DKI Jakarta hingga November 2008 mencapai 1.115 kasus, dengan perbandingan 85 persen terhadap perempuan dan 15 persen terhadap anak. Sedangkan pada tahun 2007, KDRT di DKI Jakarta tercatat 1.579 kasus, dengan perbandingan 80 persen terhadap perempuan dan 20 persen terhadap anak.

Kendati demikian, P2TP2A DKI Jakarta tidak bisa memastikan angka KDRT di DKI Jakarta hingga akhir Desember 2008 mendatang bakal bertambah. Sebab, angka kasus KDRT ini biasanya fluktuatif. Salah satu contohnya, pada tahun 2006 lalu, KDRT di DKI Jakarta relatif kecil yaitu 1.015 kasus dengan perbandingan 80 persen terhadap perempuan dan 20 persen terhadap anak. Tapi, tak diguga angka kasus KDRT pada tahun 2007 justru melonjak.

Ketua P2TP2A DKI Jakarta, Wien Ritola, mengatakan, pada umumnya KDRT muncul pada keluarga yang tengah dililit permasalahan sosial-ekonomi yang cukup pelik. Akibatnya, kaum perempuan atau anak kerap menjadi sasaran kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki. Bahkan, istri mantan Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta itu meyakini jumlah kasus KDRT di DKI Jakarta jauh lebih banyak daripada yang tercatat oleh P2TP2A DKI Jakarta. Sebab, pada umumnya korban KDRT tidak mau melapor kepada polisi atau pihak lain. Hal-hal yang melatarbelakanginya antara lain, KDRT masih dianggap masalah pribadi, malu lantaran aib keluarga bakal terbongkar, atau diancam oleh pelaku.

Untuk menekan masalah ini, P2TP2A DKI Jakarta akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait KDRT. Dan diharapkan masyarakat meninggalkan budaya lama, sehingga mau melaporkan kepada polisi atau pihak lain apabila menjadi korban KDRT. “Untuk agar angka KDRT tahun ini tidak meningkat, P2TP2A telah melakukan berbagai upaya. Misalnya melakukan sosialisasi dan pendekatan preventif terhadap masyarakat,” ujar Wien Ritola kepada beritajakarta.com, di sela-sela Lokakarya Pengembangan Pelayanan Terpadu Terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di Provinsi DKI Jakarta, di Balaikota, Rabu (10/12).

Karena itu, ia mengimbau kepada masyarakat agar segera melaporkan kepada polisi atau pihak terkait seperti P2TP2A DKI Jakarta apabila menjadi korban KDRT. Sehingga, kasus tersebut bisa segera ditangani. Jika kesadaran masyarakat terhadap KDRT tersebut sudah tumbuh dengan baik, maka kasus KDRT akan turun. "Jika kasus KDRT tidak diungkap, maka angkanya akan meningkat terus. Hendaknya, setiap ada kejadian segera laporkan sehingga pelakunya diproses secara hukum. Sehingga dapat memberikan efek jera pada pelaku dan orang lain yang akan melakukan aksi KDRT," ungkapnya.

Sejauh ini ia melihat KDRT telah menjadi perhatian berbagai pihak, karena melibatkan jumlah korban yang banyak. Biasanya korban KDRT akan mengelami penderitaan berganda seperti sakit secara fisik dan juga mengalami gangguan psikis atau trauma.

Selama ini keberadaan P2TP2A DKI Jakarta cukup efektif. Sebab, P2TP2A DKI Jakarta menyediakan pelayanan bagi korban KDRT. Layanan tersebut meliputi pelayanan informasi, konsultasi psikologis dan hukum, pendampingan dan advokasi, pelayanan medis dan rumah aman (shelter) melalui rujukan secara gratis. Selain itu, P2TP2A DKI Jakarta juga melakukan kerja sama dengan beberapa instansi. Diantaranya, dengan Dinas Kesehatan DKI, Polda Metro Jaya, dan dengan sejumlah psikolog. Sekadar diketahui, P2TP2A DKI Jakarta didirikan berdasarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta Nomor 64 Tahun 2004 jo SKGub Nomor 55 Tahun 2005 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi DKI Jakarta.
Sumber: nurito



[1] Sri Meyenti,  Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga. (Yogyakarta, 1999), hal. 544.
[2] Achid Sudiarti,  Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan  Alternatif Pemecahannya (Jakarta, 2000),  hal. 108.
[3] Sri Meyenti, Op. Cit. hal. 7.
                                                                                                                                                                            
[4] Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Jakarta, 2009), hal. 30-35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar