Kebatinan
Pendahuluan
Kebatinan adalah sesuatu yang
menyangkut rasa, perasaan,emosi,roh, jiwa. Dengan demikian jika seseorang
berbicara mengenai kebatinan, ia sedang berbicara tentang apa yang dirasakannya
menjadi sesuatu yang dialami secara rohani, emosional dan kejiwaan. Aliran
kebatinan muncul di kalangan masyarakat Jawa pada era perjuangan kebangkitan
nasional (awal abad 20), khususnya
setelah Indonesia merdeka. Pada masa tersebut muncul paguyuban-paguyuban yang
mulai mengajarkan kebatinan.
Aliran-aliran kebatinan di Indonesia berjumlah banyak sekali. Pada tahun
70-an terdapat 150 aliran kebatinan, tahun 80-an hingga 90-an terdapat 250
aliran kebatinan, dan memasuki tahun yang berikutnya sampai sekarang, jumlah
aliran kebatinan di Indonesia telah mencapai 400-500. Kita dapat melihat bahwa
aliran kebatinan dari tahun ke tahun mengalami perkembangan, dengan jumlah
aliran kebatinan yang semakin meningkat. Walaupun demikian, di tengah-tengah
perkembangannya, aliran kebatinan tidak lepas dari tantangan dan hambatan,
khususnya pada tahun 70-an hingga 80-an.
Sekarang
ini banyak dari Warga Negara Indonesia yang memegang ajaran-ajaran dari aliran
kebatinan. Sebagai contoh, salah satu
aliran kebatinan terbesar di Indonesia yaitu Paguyuban Sumarah, saat ini
anggotanya telah mencapai 115.000 orang, anggotanya sendiri berasal dari
masyarakat priyayi dan juga dari masyarakat kelas lainnya.[1]
Pertanyaan yang mungkin terbesit di pikiran kita ialah mengapa banyak sekali
dari masyarakat Indonesia yang memegang
ajaran aliran kebatinan? Apa yang membuat mereka begitu tertarik untuk menganut
aliran kebatinan? Pertanyaan-pertanyaan ini secara tidak langsung dapat
terjawab melalui ciri-ciri aliran kebatinan sendiri. Kita dapat mengetahui, apa
yang sebenarnya, yang terdapat di aliran
kebatinan, meskipun kita tidak membahas doktrin/ ajaran dari aliran-aliran
kebatinan tersebut secara terperinci. Melalui ciri-ciri aliran kebatinan yang
akan dibahas oleh kelompok, semoga dapat menjawab pertanyaan yang telah
ditawarkan di atas. Kelompok berharap dari pembahasan ini, kita dapat
mengetahui keistemewaan dari aliran kebatinan.
Ciri-ciri
Aliran Kebatinan
1.
Bersifat Batin
Kata
batin sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu ‘bathin’, yang artinya jiwa,
rohani, asasi, perasaan, bagian dalam dan emosi. Dengan demikian, batin
berhubungan dengan kejiwaan dan
menyangkut tentang rasa atau apa yang dirasa. Penganut aliran kebatinan
seringkali tidak mementingkam kedudukan, menurut mereka hal tersebut tidak
berarti. Penilaian duniawi seringkali mementingkan kedudukan dan peranan
manusia yang sebenarnya tidak berarti
seperti : gelar, pangkat, harta benda, kekuasaan. Semua nilai itu diremehkan
oleh penganut aliran kebatinan. Mereka
fokus kepada keadaan yang “di dalam”
daripada keadaan yang di luar, yang tidak mendukung tujuan mereka untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Oleh karena sifat batin itu, manusia merasa lepas dari segala yang
semu. Dengan demikian, aliran kebatinan berupaya untuk
menunjukkan segala usaha dan gerakan demi merealisasikan daya batin
manusia.[2]
2.
Bersifat rasa
Fungsi
rasa dalam kebatinan ialah untuk melatih dan menyiapkan manusia untuk
menerima wahyu sendiri, mendengar suara di dalam hati, melukiskan rasa yang
membuat rasa tentram dan puas. Hidup tanpa emosi /rasa/ perasaan dianggap
kosong, menjemukan, sia-sia, tidak member dukungan untuk mengatasi kesulitan
sehari-hari. Maka aliran kebatinan menjajikan gaya hidup baru, peningkatan
pengontrolan diri dan penghiburan dalam kesepian. [3]
2. Bersifat spiritual
Penganut
aliran kebatinan merasa perlu untuk menonjolkan spiritualitas. Unsur
spiritualitas ini diterapkan melalui praktek-praktek yang melibatkan pengolahan
batin seperti puasa, semedi dan bertapa.
3. Kepercayaan kepada metafisika
Menurut
kepercayaan metafisika atau kepercayaan
kepada alam gaib, manusia itu terdiri dari dua badan, yaitu badan jasmani yang
tampak dan nyata lahir di muka kita, sedang badan yang lain disebut badan
rohani (nyawa) yang tidak tampak dilihat oleh mata kita, ada di balik yang
lahir itu, adalah yang batin atau yang gaib, adanya di alam gaib dan dapat
dirasakan dengan rasa hati sanubari bahwa roh atau nyawa itu ada.[4]
4. Kepercayaan animisme
Percaya
bahwa yang mempunyai roh tidak hanya manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan
melainkan batu pun ada rohnya.[5]
5. Menjaga sifat asli/keaslian
Menjaga
sifat asli kesopanan timur merupakan ciri khas dari aliran kebatinan untuk
melawan adanya pembaharuan-pembaharuan yang terjadi di dunia modern. Penganut kebatinan mengutamakan gaya hidup
dan kesopanan timur (etika, sopan-santun
yang terdapat di budaya Timur). Aliran kebatinan mengutamakan ungkapan dan gaya
asli seperti di dalam peribadatan mereka menggunakan bahasa daerah dan tradisi
suku serta symbol-simbol yang digunakan.[6]
Keaslian ditonjolkan setinggi-tingginya oleh Sumantri Mertodipuro dalam kata-kata
berikut:
“Kebatinan adalah cara ala
Indonesia mendapatkan kebahagiaan. Di Indonesia, kebatinan, apapun namanya :
tasawwuf, ilmu kesempurnaan, theosofi dan mistik adalah gejala umum. Kebatinan
memperkembangkan inner reality, kenyataan rohani. Maka itulah selama bangsa
Indonesia tetap berwujud Indonesia, beridentitas asli, maka kebatinan akan
tetap di Indonesia baik di dalam agama atau di luarnya.”[7]
6. Bersifat subjektif, personal atau
pribadi
Aliran
kebatinan bersifat subjektif, individual bahkan sangat personal, maksudnya
ialah hanya orang yang bersangkutan sajalah yang dapat mengalami dan merasakan
pengalaman-pengalaman rohani yang dilakukan olehnya.
7. Mementingkan ibadah
Para
penganut aliran kebatinan menganggap bahwa ibadah bersifat sakral. Mereka
menjalankan ibadah dengan kushyuk.
8. Hubungan yang erat di antara sesama
penganutnya
Di
antara sesama penganut aliran kebatinan memiliki hubungan yang erat. Mereka sering mengadakan pertemuan-pertemuan
secara berkala. Misalnya pada tanggal 19 dan 20 Agustus 1955 di Semarang,
diadakan kongres dari berpuluh-puluh aliran kebatinan di Indonesia, yang berada
di berbagai daerah di Jawa dengan tujuan untuk mempersatukan semua aliran
kebatinan yang ada pada waktu itu.[8]
Hasrat akan persatuan menggejala dalam aliran kebatinan. Ada kebutuhan manusia
untuk bersatu sama lain (need of belonging).[9]
Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa aliran kebatinan menekankan keharmonisan di antara sesama penganutnya.
9. Di bawah bimbingan guru atau pembimbing rohani
Guru
(pembimbing rohani) dianggap menguasai ilmu yang kemudian diajarkan kepada para
penganut aliran kebatinan. Para guru ini biasanya mengajarkan ajarannya berawal
dari pengalaman rohaninya sendiri.
Misalnya pada ajaran Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal), ajaran Serat Sasangka Jati diwahyukan kepada R.
Soenarto Mertowerdojo di rumahnya pada tanggal 14 Februari 1932. Dikatakan
bahwa ketika itu beliau mendengar suara di dalam hatinya : “Ketahuilah olehmu,
yang dinamakan Ilmu Sejati ialah Petunjuk yang Nyata, yaitu Petunjuk yang
menunjukkan Jalan Benar, Jalan yang sampai pada Asal-Mula-Hidup.” Wahyu yang
diterimanya ini kemudian dicatat oleh beliau dan dihimpunnya hingga menjadi Serat Sasangka Jati.[10]
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pendiri aliran kebatinan dipercaya
(dan memercayai dirinya sendiri) mendapat ilham (wahyu) dan kekuatan dari Allah
atau sumber illah lainnya.
10. Mementingkan akhlak dan budi luhur
Penganut
aliran kebatinan berusaha untuk menyempurnakan hati hingga bersih demi
menciptakan masyarakat yang saling menghargai dan mencintai dengan mengindahkan
perintah Tuhan. Akhlak dan budi luhur selalu berkaitan dengan kemerosotan
moralitas seseorang karena kebatinan erat hubungannya dengan keteguhan moral
dan keseimbangan jiwa. Contoh kemerosotan moral/akhlak dan budi luhur adalah
korupsi yang merajalela, kesusilan, dan egoisme[11].
11. Panteistis
Penganut
aliran kebatinan memegang ajaran panteistis. Panteistis ialah bersatunya Tuhan
dengan alam atau makhluk yang di dalam bahasa Jawa disebut: Jumbuhing Kawula Gusti.[12] Menurut
aliran kebatinan, sesudah Tuhan menciptakan manusia dan alam, tidak ada lagi
kegiatan atau perbuatan Tuhan terhadap manusia dan alam. Jadi kegiatan manusia
dan alam itu atas kesadaran sendiri, dengan tujuan agar manusia dapat kembali
dan bersatu dengan Tuhan.[13]
12. Ajaran/ dogmanya dibuat dalam suatu kitab/buku
Sumber
ajaran aliran kebatinan menggunakan kitab/buku, walaupun sebenarnya mereka
tidak menganggapnya sebagai kitab suci. Misalnya dalam aliran kebatinan Hardapusara, ajaran-ajarannya termaktub dalam
dua buah buku yang oleh para pengikutnya sudah hampir dianggap keramat, yaitu
Buku Kawula Gusti dan Wigati.[14]
13. Bersifat
mistis
Kata
mystic di dalam bahasa Inggris berari
tersembunyi atau yang gaib. Di dalam bahasa Belanda, mistik mempunyai arti
jalan menuju Tuhan.[15]
Ajaran aliran kebatinan selalu membicarakan yang ada sangkut pautnya dengan
batin atau hal-hal yang gaib. Sifat gaib itu adalah daya penarik bagi
kebanyakan penganu aliran-aliran. Penganut aliran kebatinan memiliki kesadaran
akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan. Kesadaran
berada dekat dengan Tuhan merupakan cara untuk bersatu dengan Tuhan. Dengan
demikian dengan adanya paham tersebut, dapat dinyatakan dengan tegas bahwa
aliran kebatinan dapat digolongkan ke dalam mistisisme (ilmu atau pengetahuan
yang mengajarkan mistik).[16] Penganut aliran kebatinan memakai dan
mengakui kegunaan dari : aji, jimat, rajah, tenung, peruntungan rahasia, meruat
dan melukat.[17]
14. Teologinya dipengaruhi oleh
kepercayaan-kepercayaan lain
Konsepsi
Ketuhanan Aliran Kebatinan merupakan sinkretisme dari ajaran-ajaran lainnya,
seperti Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Misalnya menurut ajaran Ngelmu Sejati Cirebon, Tuhan itu aktif menciptakan manusia dan alam,
konsepsinya ini menyerupai ajaran agama Islam dan Kristen, dan kemudian
dikuatkan dengan persaksian syahadat menurut ajaran Islam tetapi kelanjutannya
menjadi ajaran wihdatul-wujud seperti
aliran sufi dan selanjutnya dalam ajaran yang terakhir sama dengan ajaran Hindu
dan Budha yaitu kembali ke asal Brahman
di dalam agama Hindu, dan nirwana di dalam agama Budha, yaitu tempat yang
sangat nikmat dan tidak ada bandingannya, jika tidak dapat mencapai tujuan
terakhir manusia akan terjerumus lahir kembali menjadi binatang dan sebagainya.
Dengan demikian jelas dan tegas bahwa hubungan konsepsi Tuhan dengan manusia
dan alam dalam ajaran Ngelmu Sejati Cirebon merupakan
sinkretisasi antara ajaran Islam, Kristen, Hindu dan Budha.[18]
Jadi dapat dikatakan bahwa teologi aliran kebatinan dipengaruhi oleh ajaran
agama-agama yang lainnya.
Kesimpulan
Aliran
kebatinan di negara Indonesia tidak termasuk ke dalam salah satu agama rakyat
Indonesia. Namun demikian, banyak masyarakat Indonesia yang menjadi penganut
aliran kebatinan. Hal ini karena,
agama tidak mampu menjawab kebutuhan
masyarakat yang menginginkan ketenangan dan keselarasan dengan semua mahluk
ciptaan. Dalam aliran kebatinan mereka mendapatkan itu semua lewat semedi,
puasa, dan penguasaan diri.
DAFTAR
PUSTAKA
Hadiwijono,
H. Kebatinan dan Injil. Jakarta: BPK
Gunung Mulia. 1982.
Illyas,
Abd. Mutholib & Imam, Abd. Ghofur. Aliran
Kepercayaan & Kebatinan di Indonesia.
Surabaya:
CV. Amin Surabaya. 1988.
Kartapradja,
Kamil. Aliran Kebatinan dan Kepercayaan
di Indonesia. Jakarta: PT Karya
Unipress.
1985.
Sopater,
Sularso. Mengenal Pokok-Pokok Ajaran
Pangestu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
1987.
Subagya,
Rahmat. Kepercayaan Kebatinan Kerohanian
Kejiwaan dan Agama. Yogyakarta:
Kanisius.
1976.
Zoetmulder,
P.J. Manunggaling Kawula Gusti:
Phanteisme dan Monoisme dalam Sastra Suluk
Jawa.
Jakarta: PT Gramedia. 1990.
[1] Diakses oleh kelompok dari tanah-jawi.blogspot.com
pada hari Senin, 25 Oktober 2010, pukul 15.00 WIB.
[2]
Rahmat Subagya, Kepercayaan (Kebatinan,
Krohanian,Kejiwaan) dan Agama, (Yogyakarta:Kanisius), 14-15.
[3] Ibid., 19.
[4] Prof. Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di
Indonesia, (Jakarta: CV Haji Masagung), 71.
[6]
Rahmat Subagya, op.cit., 20.
[7]
S.Mertodipuro, Aliran Kebatinan di
Indonesia, (Mayapada), 13.
[8] Diakses oleh kelompok dari tanah-jawi.blogspot.com
pada hari Senin, 25 Oktober 2010, pukul 15.00 WIB.
[9] Rahmat
Subagya, op.cit., 24-25.
[10] Dr. H. Hadiwijno, Kebatinan dan Injil, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia), 63-64.
[11] Rahmat
Subagya, op.cit., 26.
[12] Prof. Kamil Kartapradja, op.cit., 182-183.
[14] Diakses oleh kelompok dari tanah-jawi.blogspot.com
pada hari Senin, 25 Oktober 2010, pukul 15.00 WIB.
[15] Prof. Kamil Kartapradja, op.cit., 214.
[17]
Rahmat Subagya, op.cit., 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar