KEADILAN BAGI
PEREMPUAN YANG MENGALAMI PERKOSAAN
(
BERLANDASKAN SILA KEDUA )
Pendahuluan
Nilai-nilai Pancasila telah
diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia sebagai pedoman hidup. Oleh karena itu ,
mengamalkan Pancasila merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia. Namun kadang beberapa orang masih menganggap sila dalam pancasila tersebut hanyalah sebagai
pajangan tanpa perlu dipraktekkan di dalam kehidupan. Dari kedua sila yang ada
di dalam Pancasila, sila kedua yang berisi tentang kemanusian yang adil dan
beradab, sering diabaikan. Sebagian orang menganggap bahwa yang namanya keadilan itu adalah kesamaan. Semua dibagi sama rata. Tapi pada kenyataanya penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari tidaklah demikian. Keadilan berasal dari kata dasar “adil” yang diambil
dari bahasa Arab “adl” yang artinya adalah “sama”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata“adil” diartikan: (1) tidak
berat sebelah/tidak memihak, (2) berpihak kepada kebenaran, dan (3)
sepatutnya/tidak sewenang-wenang.“Persamaan” yang merupakan makna asal kata
“adil” itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak”, dan pada dasarnya
pula seorang yang adil “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar
maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia
melakukan sesuatu “yang patut” dan “tidak sewenang-wenang”.
Kemanusiaan yang adil dan
beradab adalah kesadaran perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi
berpikir, karsa dan cipta dalam hubungan dengan sikap dan perbuatan manusia
serta kebudayaan pada umumnya. Didalam sila kedua keadilan yang adil dan
beradab telah tersimpul cara-cara kemanusian yang lengkap, yang memenuhi
seluruh hakikat manusia Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah suatu rumusan
sifat keluhuran budi manusia[1]. Keadilan yang berlandaskan dalam sila kedua
pancasila tersebut juga berhak diterima oleh perempuan yang sering mengalami
tindak kekerasan dan pemerkosaan. Ketidakadilan yang diterima oleh perempuan
tersebut sering kali terjadi karena adanya ansumsi bahwa perempuan itu adalah
makhluk yang lemah dan tidak berdaya sehingga dapat diperlakukan dengan sesuka
hati. Kasus seperti ini banyak terjadi pada masa Orde Baru terhadap perempuan dari
etnis Tionghoa. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa ketika menerima perlakuan
ketidakadilan tersebut yang menuntut mereka untuk diam dan menurut atas setiap
perlakuan yang diberikan kepada mereka termasuk pemerkosaan massal yang terjadi
pada Mei 1998.
Kekerasan
terhadap perempuan merupakan suatu contoh
ketidakadilan yang terjadi. Masalah kekerasan pada perempuan di Indonesia
begitu meluas dan kompleks, mulai dari penelantaran terhadap perempuan miskin, tidak adanya pendidikan dan pekerjaan yang
pantas bagi perempuan miskin, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
kekerasan seksual terhadap pekerja
perempuan,diskriminasi perempuan berdasarkan ras, perempuan yang putus sekolah,
sampai masalah pemerkosaan perempuan yang mengakibatkan perempuan tersebut bunuh diri karena mengalami malu dan trauma atas kekerasan
yang diterimanya. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang keadilan
bagi perempuan yang mengalami tindak pemerkosaan. Apa yang
menyebabkan terjadinya pemerkosaan
pada perempuan? Siapa saja yang menjadi pelaku tindak pemerkosan
tersebut? Keadilan apa yang diperoleh oleh perempuan
yang mengalami tindak pemerkosaan? Tindakan apa yang
diberikan Negara Indonesia menangani kasus ini?
Pemerkosaan Sebagai Wujud Kekerasan Terhadap
Perempuan
Kekerasan
adalah tindak keras atau pemaksaan oleh seseorang atau kelompok yang
menyebabkan cedera atau kerugian bahkan kematian bagi yang mengalaminya[2]. Konferensi
perempuan sedunia keempat pada tahun 1996 mendefinisikan kekerasan perempuan adalah segala sesuatu
yang dianggap perempuan sebagai kekerasan[3].
Kekerasan
selalu menyakiti siapa saja yang mengalaminya. Cepat atau lambat, si korban
akan mengalami penderitaan fisik, mental, bahkan trauma yang dalam dan
berkepanjangan. Kekerasan terhadap
perempuan dapat berupa pemerkosaan. Perkosaan adalah bentuk kekerasan primitif tidak
beradab yang terdapat pada setiap lapisan masyarakat. Perkosaan bukan hanya
kekerasan seks semata, tetapi juga merupakan suatu bentuk prilaku yang
dipengaruhi oleh sistem kekuasaan tertentu. Pandangan masyarakat mengenai
perkosaan merupakan cerminan nilai-nilai masyarakat, adat, agama bahkan
lembaga-lembaga besar seperti negara. Kasus perkosaan tidak lebih istimewa dari
kasus-kasus kekerasan lainnya, atau kalaupun jadi istimewa, biasanya disebabkan
oleh pemerkosaan yang diikuti dengan pembunuhan. Hal ini mungkin menyangkut
cara pandang orang tentang perkosaan (Eko Prasetiyo dan Suparman Marzuki, 1997:
ix).
Kekerasan
seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa
seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat
korban tidak menghendaki; dan atau melakukan melakukan hubungan seksual dengan
cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban; dan atau menjauhkannya
(mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya. Kekerasan
seksual merupakan tindakan yang memaksa seseorang untuk melakukan hubungan
seksual, yang dapat menyebabkan kerusakan fisik pada orang tersebut. Kekerasan seksual
merupakan kekerasan yang paling mengerikan karena bentuk kekerasan ini biasanya
diiringi oleh beberapa bentuk dan jenis kekerasan yang lain, seperti: kekerasan fisik,
sosiologis, maupun psikologis. Perkosaan
merupakan tindak kekerasan seksual yang terjadi akibat adanya pandangan bahwa
perempuan tidak hanya sebagai objek pemuas seks kaum laki-laki yang selalu
akrab dengan beragam kekerasan, namun juga sebagai kaum yang dipandang lemah,
yang harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak oleh laki-laki.
1. Kekerasan
Seksual/ Pemerkosaan Dalam Rumah Tangga
Pengertian
Kekerasan Rumah Tangga menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang
yang berakibat atau yang mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, dan psikoligis, termasuk ancaman perbuata tertentu, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara
ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga[4]. Perkosaan dalam rumah tangga merupakan suatu
bentuk kekerasan seksual yang tidak adil bagi perempuan. Hubungan seksual suami
istri yang dipaksakan merupakan bentuk kekerasan yang mengakibatkan kerugian
bagi istri. Kekerasan seperti ini terjadi akibat kekuatan suami yang lebih
unggul secara fisik dibandingkan dengan istri yang sering disalahgunakan untuk
melecehkan, menindas, dan menodai hak-hak perempuan. Kondisi seperti ini
menempatkan posisi perempuan sebagai subordinasi kebutuhan seksual laki-laki.
2. Kekerasan
Seksual/ Pemerkosaan RAS
Perkosaan massal terhadap etnis Tionghoa yang
terjadi di Indonesia
pada Mei 1998. Kerusuhan yang terjadi pada tanggal 14-15 Mei 1998 disebabkan
oleh rasionalisasi ekonomi dari minoritas etnis Tionghoa yang menguasai
sebagian besar persentase ekonomi nasional. Mereka dibenci oleh pihak mayoritas
yang lebih miskin. Dominasi ekonomi kelompok etnik Tionghoa dalam tata ekonomi
Orde Baru saat itu memang bermasalah, sehingga mengakibatkan timbulnya
kerusuhan yang menyudutkan etnis Tionghoa. “Tragedi Mei” tersebut tidak hanya
sekedar keributan yang terjadi dijalanan, tetapi juga menimbulkan kekerasan
terhadap perempuan dari etnis Tionghoa. Perempuan bukanlah kaum yang paling
berkuasa di bidang ekonomi, politik, dan budaya, namun mereka diserang karena
dianggap paling rendah dan tidak dapat melawan. Kaum pribumi melakukan tindak
perkosa dan juga penculikan terhadap perempuan dari etnis Tionghoa sebagai
wujud kebencian, kekerasan, penyerbuan dan teror terhadap etnis Tionghoa. Tim
pencari fakta yang terdiri dari anggota DPR, LSM, dan KOMNAS HAM
mendokumentasikan sebanyak 781 orang korban pembunuhan, 163 orang hilang, 368
orang korban penyiksaan dan 102 orang korban pemerkosaan yang terjadi selama
tahun 1989-1998[5].
Penyiksaan dengan metode kekerasan seksual
Perkosaan terhadap
perempuan menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan bagi perempuan tersebut akibat
kekerasan yang terjadi selama
perkosaan. Disadari atau tidak, kekerasan tersebut dapat
berakibat fatal dan non-fatal.
Kekerasan yang fatal
dapat berupa:
-
Bunuh diri karena mengalami tekanan yang berkepanjangan
-
Infeksi HIV/AIDS akibat seks bebas/ pelecehan seksual/ perkosaan.
Sedangkan kekerasan
yang non-fatal dapat berupa:
- Kekerasan fisik
yang berupa luka, kecacatan, dan obesitas lanjut.
-Kekerasan mental yang berupa stress pasca trauma,
depresi, kecemasan, phobia, disfungsi seksual, rendah diri, dan gangguan
prilaku seperti kecanduan rokok dan alcohol,obat terlarang, dan seks bebas.
-Kekerasan reproduksi yang berupa IMS/HIV[6]
kehamilan yang tidak diinginkan, gangguan genekologi, aborsi yang tidak aman,
komplikasi kehamilan, dan keguguran.
Modus
operandi perkosaan adalah dengan diancam atau dipaksa, dirayu, dibunuh, diberi
obat bius, diberi obat perangsang, dibohongi ataupun diperdaya. Berikut adalah karakteristik
umum tindak pidana perkosaan:
·
Agresitifitas,
merupakan sifat yang melekat pada setiap tindak pidana perkosaan
·
Motivasi
kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi seksual semata-mata
·
Secara
psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung masalah kontrol dan
kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu
·
Ciri
pelaku perkosaan: mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengalaman buruk
khususnya dalam hubungan personal (cinta), terasing dalam pergaulan sosial, rendah
diri, ada ketidakseimbangan emosional
·
Korban
perkosaan adalah 19% partisipatif yang
lalai sehingga memicu perkosaan
·
Tindak
perkosaan secara yuridis sulit dibuktikan.
Kasus
perkosaan dapat terjadi karena didukung juga oleh beberapa faktor, seperti:
-
Pengaruh
perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika
berpakaian yang menutup aurat, yang dapat
merangsang pihak lain untuk
dapat berbuat tidak senonoh
-
Gaya hidup atau mode pergaulan diantara laki-laki
dan perempuan yang
semakin bebas
- Rendahnya pengamalan dan penghayatan
terhadap nilai dan norma agama
yang terjadi di tengah lingkungan
masyarakat
- Tingkat kontrol masyarakat yang rendah sehingga
berprilaku menyimpang
- Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan
emosi dan hawa nafsu
seksualnya
-
Keinginan
pelaku untuk melakukan/melampiaskan balas dendam terhadap
sikap, ucapan, keputusan dan perilaku
korban yang dianggap menyakiti
dan merugikannya.
Perkosaan
yang tidak sesuai dengan pengamalan sila kedua tersebut memiliki beberapa macam
jenis perkosaan yang digolongkan sebagai berikut:
1. Sadistic Rape
Perkosaan
sadistic, artinya, pada tipe in seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk
yang merusak. Pelaku perkosaan telah Nampak menikmati kesenangan erotic
bukan bukan melalui hubungan seksnya
melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
2. Angea Rape
Penganiayaan
seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan
melampiaskan perasan geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban dijadikan
objek oleh pelaku sebagai pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan,
kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
3. Domino Rape
Suatu
perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan
superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah untuk menaklukan seksual, pelaku
menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan untuk berhubungan seksual.
4. Seduktive Rape
Perkosaan
yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang yang tercipta oleh kedua
belah pihak.
5. Victim Precipitatied Rape
Perkosaan
yang terjadi dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya
6. Exploitation Rape
Perkosaan
yang menunjukan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang
diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan
posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya,
majikan yang memperkosa pembantu tetapi pembantunya tidak mengadukannya karena
takut dipecat atau karena mendapat ancaman dari majikannya[7].
Tindakan Negara Mengenai Pemerkosaan Terhadap Perempuan
Faktor budaya yang masih bersifat feodalistik masih melatarbelakangi
pemerataan keadilan, sehingga kekeliruan akan pengertian tentang keadilan dan pelayanan
sosial yang beradab di dalam sebagaian besar masyarakat dan pemerintah
masih sering terjadi. Namun
negara tetap memberi perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban
kekerasan tersebut melalui undang-undang yang diperuntuk bagi perempuan agar
perempuan terlindungi dan memperoleh keadilan secara hukum sebagai wujud
keberadaban sebuah negara terhadap perempuan.
Perkosaan tidak lagi dilihat secara
persoalan moral semata, tetapi juga mencakup masalah anger and violence yang dianggap sebagai pelanggaran dan
pengingkaran terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak perempuan. Tindak
pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan menjadi dua, yaitu; tindak pidana
perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, “ Barang siapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan
dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun”, dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul
yang diatur dalam Pasal 289 KUHP. Hokum lain yang member perlindungan terhadap
perempuan adalah:
-
DEVAW ( Decelaration on the Elemination of
Violence Against Women) Pasal 4d
“ Negara harus
menghukum mereka yang membawa perempuan kepada kekerasan”
-
CAT (Convention Against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) Pasal 1
“ penyiksaan
adalah tindakan yang disengaja dan membuat orang lain menderita baik fisik
maupun mental oleh siapa saja yang memiliki otoritas resmi dengan tujuan
mendapatkan informasi, memaksakan pengakuan, penghukuman, intimidasi, tekanan
dan diskriminasi jenis apapun”.
-
PFA (UN Fourth World
Conference on Women Platform for Action) Pasal144b
“Perempuan dan
anak-anak memiliki hak atas perlindungan dalam situasi konflik bersenjata dari
perkosaan, pelacuran paksa, penyiksaan, penghukuman, perlakuan yang merendahkan,
kekerasan dan segala bentuk kekerasan dan perbudakan seksual”.
-
UDHR ( Universal Decelaration of Human Rights)
Pasal 2, ICCPR (International Convenant on Civil and Political Rights) Pasal 2:1,
ICESCR (International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights) Pasal
2:2
“ Perempuan tidak
boleh diperlakukan secara berbeda-beda atau diabaikan hak-haknya karena ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, sikap politis atau pandangan
lainnya, asal usul nasional dan sosialnya, kekayaan, kelahiran, atau status
lainnya”.
-
DEVAW (
Decelaration on the Elemination of Violence Against Women) Pasal 3a,c
“ Setiap orang
berhak atas hidup, bebas, dan rasa aman”.
-
ICCPR (International Convenant on Civil and
Political Rights) Pasal 20
“ Propoganda perang
adalah melawan hukum. Setiap advokasi atas kebencian nasional atau agama yang
meningkatkan diskriminasi, kejahatan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum”.
Konferensi Internasional tentang Populasi dan
Pembangunan ( ICPD) PBB pada tahun ke empat tentang Perempuan (FWCW) PBB pada
tahun 1995 yang diadakan di Beijing
menyatakan beberapa hak perempuan yang menjamin kesejahteraan hidup perempuan
sebagai wujud keadilan dan keberadaban. Hak-hak tersebut antara lain adalah:
-
Hak untuk
hidup, bebas dan rasa aman
-
Hak untuk bebas
dari diskriminasi berdasarkan gender
-
Hak atas
kesehatan, kesehatan reproduksi, dan KB
-
Hak atas
privasi
-
Hak untuk
tidak menjadi korban penyiksaan atau perlakuan lainnya yang kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan
-
Hak untuk
bebas dari kekerasan dan eksploitasi seksual.
Setiap
orang berhak memperoleh keadilan. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak
dan kedudukan yang sama atas keadilan. Sila kedua yang berisi tentang
kemanusiaan yang adil dan beradab berisi tentang pengakuan
terhadap adanya martabat manusia
dan perlakuan yang adil terhadap manusia. Kasus perkosaan yang marak terjadi adalah
salah satu contoh bentuk ketidakadilan dan ketidakberadaban manusia terhadap
sesamanya. Pancasila sebagai dasar negara seharusnya dapat dijadikan sebagai
pedoman hidup, namun sering kali sila dalam pancasila tersebut diabaikan oleh
masyarakat. Ketidakpedulian masyarakat atas sila yang terdapat pada pancasila
tersebut berdampak timbulnya kejahatan yang berupa ketidakadilan bagi
korbannya. Perkosaan yang terjadi merupakan bentuk kekerasan seksual yang
tidakadil. Sila kedua Pancasila memiliki arti dan makna yang menolak perkosaan
yang dianggap sebagai perbuatan tidak beradab yang menyimpangan. Arti dan makna
dari sila kedua Pancasila tersebut adalah mengakui persamaan derajat, persamaan
hak, dan persamaan kewajiban antara sesame manusia, dengan:
-
Saling
mencintai sesama manusia
-
Mengembangkan
sikap tenggang rasa
-
Tidak
semena-mena terhadap orang lain
-
Menjungjung
tinggi nilai kemanusiaan
-
Gemar
melakukan kegiatan kemanusiaan
-
Berani
membela kebenaran dan keadilan
-
Mengembangkan
sikap saling menghormati dan bekerja sama antara
bangsa lain
-
Menghargai
perbedaan suku, ras, dan agama
Sehinnga tidak terjadi perpecahan diantara
manusia yang memicu kerusuhan bahkan kasus perkosaan seperti yang terjadi pada
Mei 1998 lalu. Sebagai manusia yang hidup di negara yang adil, hendaklah kita
juga hidup beradab dengan penuh keadilan terhadap orang lain, yakni dengan menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan, mewujudkan keadilan dan
peradaban yang tidak lemah, dan menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa serta
ras dan etnik yang berbeda dengan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji. 1991. Santiaji Pancasila.Surabaya:
Usaha Nasional.
Friedrich Eberth
Stiftung. 2004. Southeast Asian Women in
Politics and Decision- Making, Ten Years After Beijing Gaining Ground?. Philippine:
Metro Manila .
Habsari, Ririn dan Harimat
Hendrawan. 2007. Menguak Misteri di Balik
Kesakitan Perempuan. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan.
Kusuma, Mulyana W., 1988. Kejahatan dan Penyimpangan, Suatu Perspektif Kriminologi. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Piyasilo, Damansara Buddhist
Vihara. 1981. The One Way - A Comparative Study of Mahayana
and Theravada. Singapore: Dharma Interaction.
Suchalla, Anna. 2004. Study of Cultur. Jakarta: Penerbit
United Evanglical Mission (UEM).
Sudiarti, Achid. 2000. Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak
Kekerasan Terhadap Perempuan dan
Alternatif Pemecahannya. Jakarta.
Sugandi,
R., 1980. Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dengan Penjelasannya. Surabaya :
Usaha Nasional.
Syahrir, Kartini. 2000. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan.
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1994. Kamus
Besar Bahasa Indonesia .
Jakarta: Balai Pustaka.
Wahid,
Abdul. 2001. Perlindungan Terhadap Korban
Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan). Bandung : Refika Aditama.
[1]
Darmodiharjo, Darji. Santiaji Pancasila.
(Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hal.40.
[2]
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi
kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994).
[3]
Anna Suchalla, Study of Culture, United
Evanglical Mission, hal . 56.
[4]
Achid Sudiarti, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan
Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya
(Jakarta ,
2000), hal. 108.
[5] Kartini Syahrir, Negara dan Kekerasan
Terhadap Perempuan, (Jakarta :
Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), hal. 121.
[6]
Ririn Habsari dan Harimat Hendrawan, Menguak
Misteri di Balik Kesakitan Perempuan, KOMNAS
Perempuan, (Jakarta ,
2007), hal. 29.
[7] Mulyana W. Kusuma, Kejahatan dan
Penyimpangan, Suatu Perspektif Kriminologi, (Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia, 1988), hal. 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar