Rabu, 23 Januari 2013

KEADILAN BAGI PEREMPUAN YANG MENGALAMI PERKOSAAN ( BERLANDASKAN SILA KEDUA )


KEADILAN BAGI PEREMPUAN YANG MENGALAMI PERKOSAAN
( BERLANDASKAN SILA KEDUA )


Pendahuluan
Nilai-nilai Pancasila telah diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia sebagai pedoman hidup. Oleh karena itu , mengamalkan Pancasila merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia. Namun kadang beberapa orang masih menganggap sila dalam pancasila tersebut hanyalah sebagai pajangan tanpa perlu dipraktekkan di dalam kehidupan. Dari kedua sila yang ada di dalam Pancasila, sila kedua yang berisi tentang kemanusian yang adil dan beradab, sering diabaikan. Sebagian orang menganggap bahwa yang namanya keadilan itu adalah kesamaan. Semua dibagi sama rata. Tapi pada kenyataanya penerapannya dalam kehidupan sehari-hari tidaklah demikian. Keadilan berasal dari kata dasar “adil” yang diambil dari bahasa Arab adl yang artinya adalah “sama”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata“adil” diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2) berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang.“Persamaan” yang merupakan makna asal kata “adil” itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak”, dan pada dasarnya pula seorang yang adil “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu “yang patut” dan “tidak sewenang-wenang”.
Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kesadaran perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi berpikir, karsa dan cipta dalam hubungan dengan sikap dan perbuatan manusia serta kebudayaan pada umumnya. Didalam sila kedua keadilan yang adil dan beradab telah tersimpul cara-cara kemanusian yang lengkap, yang memenuhi seluruh hakikat manusia Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah suatu rumusan sifat keluhuran budi manusia[1]. Keadilan yang berlandaskan dalam sila kedua pancasila tersebut juga berhak diterima oleh perempuan yang sering mengalami tindak kekerasan dan pemerkosaan. Ketidakadilan yang diterima oleh perempuan tersebut sering kali terjadi karena adanya ansumsi bahwa perempuan itu adalah makhluk yang lemah dan tidak berdaya sehingga dapat diperlakukan dengan sesuka hati. Kasus seperti ini banyak terjadi pada masa Orde Baru terhadap perempuan dari etnis Tionghoa. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa ketika menerima perlakuan ketidakadilan tersebut yang menuntut mereka untuk diam dan menurut atas setiap perlakuan yang diberikan kepada mereka termasuk pemerkosaan massal yang terjadi pada Mei 1998.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu contoh  ketidakadilan yang terjadi. Masalah kekerasan pada perempuan di Indonesia begitu meluas dan kompleks, mulai dari penelantaran terhadap perempuan miskin, tidak adanya pendidikan dan pekerjaan yang pantas bagi perempuan miskin, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual terhadap pekerja perempuan,diskriminasi perempuan berdasarkan ras, perempuan yang putus sekolah, sampai masalah pemerkosaan perempuan yang mengakibatkan perempuan tersebut bunuh diri karena mengalami malu dan trauma atas kekerasan yang diterimanya. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang keadilan bagi perempuan yang mengalami tindak pemerkosaan. Apa yang menyebabkan terjadinya pemerkosaan pada perempuan? Siapa saja yang menjadi pelaku tindak pemerkosan tersebut? Keadilan apa yang diperoleh oleh perempuan yang mengalami tindak pemerkosaan? Tindakan apa yang diberikan Negara Indonesia menangani kasus ini?
Pemerkosaan Sebagai Wujud Kekerasan Terhadap Perempuan           
Kekerasan adalah tindak keras atau pemaksaan oleh seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau kerugian bahkan kematian bagi yang mengalaminya[2]. Konferensi perempuan sedunia keempat pada tahun 1996 mendefinisikan kekerasan perempuan adalah segala sesuatu yang dianggap perempuan sebagai kekerasan[3].
Kekerasan selalu menyakiti siapa saja yang mengalaminya. Cepat atau lambat, si korban akan mengalami penderitaan fisik, mental, bahkan trauma yang dalam dan berkepanjangan. Kekerasan terhadap perempuan dapat berupa pemerkosaan. Perkosaan adalah bentuk kekerasan primitif tidak beradab yang terdapat pada setiap lapisan masyarakat. Perkosaan bukan hanya kekerasan seks semata, tetapi juga merupakan suatu bentuk prilaku yang dipengaruhi oleh sistem kekuasaan tertentu. Pandangan masyarakat mengenai perkosaan merupakan cerminan nilai-nilai masyarakat, adat, agama bahkan lembaga-lembaga besar seperti negara. Kasus perkosaan tidak lebih istimewa dari kasus-kasus kekerasan lainnya, atau kalaupun jadi istimewa, biasanya disebabkan oleh pemerkosaan yang diikuti dengan pembunuhan. Hal ini mungkin menyangkut cara pandang orang tentang perkosaan (Eko Prasetiyo dan Suparman Marzuki, 1997: ix).
Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki; dan atau melakukan melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban; dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya. Kekerasan seksual merupakan tindakan yang memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual, yang dapat menyebabkan kerusakan fisik  pada orang tersebut. Kekerasan seksual merupakan kekerasan yang paling mengerikan karena bentuk kekerasan ini biasanya diiringi oleh beberapa bentuk dan jenis kekerasan  yang lain, seperti: kekerasan fisik, sosiologis, maupun psikologis. Perkosaan merupakan tindak kekerasan seksual yang terjadi akibat adanya pandangan bahwa perempuan tidak hanya sebagai objek pemuas seks kaum laki-laki yang selalu akrab dengan beragam kekerasan, namun juga sebagai kaum yang dipandang lemah, yang harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak oleh laki-laki.


1.      Kekerasan Seksual/ Pemerkosaan Dalam Rumah Tangga

Pengertian Kekerasan Rumah Tangga menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang yang berakibat atau yang mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan psikoligis, termasuk ancaman perbuata tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga[4]. Perkosaan dalam rumah tangga merupakan suatu bentuk kekerasan seksual yang tidak adil bagi perempuan. Hubungan seksual suami istri yang dipaksakan merupakan bentuk kekerasan yang mengakibatkan kerugian bagi istri. Kekerasan seperti ini terjadi akibat kekuatan suami yang lebih unggul secara fisik dibandingkan dengan istri yang sering disalahgunakan untuk melecehkan, menindas, dan menodai hak-hak perempuan. Kondisi seperti ini menempatkan posisi perempuan sebagai subordinasi kebutuhan seksual laki-laki.

2.      Kekerasan Seksual/ Pemerkosaan RAS

Perkosaan massal terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia pada Mei 1998. Kerusuhan yang terjadi pada tanggal 14-15 Mei 1998 disebabkan oleh rasionalisasi ekonomi dari minoritas etnis Tionghoa yang menguasai sebagian besar persentase ekonomi nasional. Mereka dibenci oleh pihak mayoritas yang lebih miskin. Dominasi ekonomi kelompok etnik Tionghoa dalam tata ekonomi Orde Baru saat itu memang bermasalah, sehingga mengakibatkan timbulnya kerusuhan yang menyudutkan etnis Tionghoa. “Tragedi Mei” tersebut tidak hanya sekedar keributan yang terjadi dijalanan, tetapi juga menimbulkan kekerasan terhadap perempuan dari etnis Tionghoa. Perempuan bukanlah kaum yang paling berkuasa di bidang ekonomi, politik, dan budaya, namun mereka diserang karena dianggap paling rendah dan tidak dapat melawan. Kaum pribumi melakukan tindak perkosa dan juga penculikan terhadap perempuan dari etnis Tionghoa sebagai wujud kebencian, kekerasan, penyerbuan dan teror terhadap etnis Tionghoa. Tim pencari fakta yang terdiri dari anggota DPR, LSM, dan KOMNAS HAM mendokumentasikan sebanyak 781 orang korban pembunuhan, 163 orang hilang, 368 orang korban penyiksaan dan 102 orang korban pemerkosaan yang terjadi selama tahun 1989-1998[5]. Penyiksaan dengan metode kekerasan seksual
Perkosaan terhadap perempuan menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan bagi perempuan tersebut akibat kekerasan yang terjadi selama perkosaan. Disadari atau tidak, kekerasan tersebut dapat berakibat fatal dan non-fatal.
Kekerasan yang fatal dapat berupa:
     -  Bunuh diri karena mengalami tekanan yang berkepanjangan
     -  Infeksi HIV/AIDS akibat seks bebas/ pelecehan seksual/ perkosaan.
Sedangkan kekerasan yang non-fatal dapat berupa:
- Kekerasan fisik yang berupa luka, kecacatan, dan obesitas lanjut.
-Kekerasan mental yang berupa stress pasca trauma, depresi, kecemasan, phobia, disfungsi seksual, rendah diri, dan gangguan prilaku seperti kecanduan rokok dan alcohol,obat terlarang, dan seks bebas.
-Kekerasan reproduksi yang berupa IMS/HIV[6] kehamilan yang tidak diinginkan, gangguan genekologi, aborsi yang tidak aman, komplikasi kehamilan, dan keguguran.
         Modus operandi perkosaan adalah dengan diancam atau dipaksa, dirayu, dibunuh, diberi obat bius, diberi obat perangsang, dibohongi ataupun diperdaya. Berikut adalah karakteristik umum tindak pidana perkosaan:
·         Agresitifitas, merupakan sifat yang melekat pada setiap tindak pidana perkosaan
·         Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi seksual semata-mata
·         Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung masalah kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu
·         Ciri pelaku perkosaan: mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengalaman buruk khususnya dalam hubungan personal (cinta), terasing dalam pergaulan sosial, rendah diri,  ada ketidakseimbangan emosional
·         Korban perkosaan adalah 19% partisipatif  yang lalai sehingga memicu perkosaan
·         Tindak perkosaan secara yuridis sulit dibuktikan.
         Kasus perkosaan dapat terjadi karena didukung juga oleh beberapa faktor, seperti:
-          Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika
      berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk
      dapat berbuat tidak senonoh
-          Gaya hidup atau mode pergaulan diantara laki-laki dan perempuan yang
       semakin bebas
-    Rendahnya pengamalan dan penghayatan terhadap nilai dan norma agama
      yang terjadi di tengah lingkungan masyarakat
-    Tingkat kontrol masyarakat yang rendah sehingga berprilaku menyimpang
-    Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan hawa nafsu
      seksualnya
-          Keinginan pelaku untuk melakukan/melampiaskan balas dendam terhadap
      sikap, ucapan, keputusan dan perilaku korban yang dianggap menyakiti
      dan merugikannya.
         Perkosaan yang tidak sesuai dengan pengamalan sila kedua tersebut memiliki beberapa macam jenis perkosaan yang digolongkan sebagai berikut:
1. Sadistic Rape
Perkosaan sadistic, artinya, pada tipe in seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah Nampak menikmati kesenangan erotic bukan  bukan melalui hubungan seksnya melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
2. Angea Rape
Penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasan geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban dijadikan objek oleh pelaku sebagai pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
3. Domino Rape
Suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah untuk menaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan untuk berhubungan seksual.
4. Seduktive Rape
Perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak.
5. Victim Precipitatied Rape
Perkosaan yang terjadi dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya
6. Exploitation Rape
Perkosaan yang menunjukan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya, majikan yang memperkosa pembantu tetapi pembantunya tidak mengadukannya karena takut dipecat atau karena mendapat ancaman dari majikannya[7].

Tindakan Negara Mengenai  Pemerkosaan Terhadap Perempuan
Faktor budaya yang masih bersifat feodalistik masih melatarbelakangi pemerataan keadilan, sehingga kekeliruan akan pengertian tentang keadilan dan pelayanan sosial yang beradab di dalam sebagaian besar masyarakat dan pemerintah masih sering terjadi. Namun negara tetap memberi perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan tersebut melalui undang-undang yang diperuntuk bagi perempuan agar perempuan terlindungi dan memperoleh keadilan secara hukum sebagai wujud keberadaban sebuah negara terhadap perempuan.
Perkosaan tidak lagi dilihat secara persoalan moral semata, tetapi juga mencakup masalah anger and violence yang dianggap sebagai pelanggaran dan pengingkaran terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak perempuan. Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan menjadi dua, yaitu; tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, “ Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”, dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam Pasal 289 KUHP. Hokum lain yang member perlindungan terhadap perempuan adalah:
-          DEVAW ( Decelaration on the Elemination of Violence Against Women) Pasal 4d
“ Negara harus menghukum mereka yang membawa perempuan kepada kekerasan”
-          CAT (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) Pasal 1
“ penyiksaan adalah tindakan yang disengaja dan membuat orang lain menderita baik fisik maupun mental oleh siapa saja yang memiliki otoritas resmi dengan tujuan mendapatkan informasi, memaksakan pengakuan, penghukuman, intimidasi, tekanan dan diskriminasi jenis apapun”.
-          PFA (UN Fourth World Conference on Women Platform for Action) Pasal144b
“Perempuan dan anak-anak memiliki hak atas perlindungan dalam situasi konflik bersenjata dari perkosaan, pelacuran paksa, penyiksaan, penghukuman, perlakuan yang merendahkan, kekerasan dan segala bentuk kekerasan dan perbudakan seksual”.
-          UDHR ( Universal Decelaration of Human Rights) Pasal 2, ICCPR (International Convenant on Civil and Political Rights) Pasal 2:1, ICESCR (International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights) Pasal 2:2
“ Perempuan tidak boleh diperlakukan secara berbeda-beda atau diabaikan hak-haknya karena ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, sikap politis atau pandangan lainnya, asal usul nasional dan sosialnya, kekayaan, kelahiran, atau status lainnya”.
-           DEVAW ( Decelaration on the Elemination of Violence Against Women) Pasal 3a,c
“ Setiap orang berhak atas hidup, bebas, dan rasa aman”.
-          ICCPR (International Convenant on Civil and Political Rights) Pasal 20
“ Propoganda perang adalah melawan hukum. Setiap advokasi atas kebencian nasional atau agama yang meningkatkan diskriminasi, kejahatan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum”.
Konferensi Internasional tentang Populasi dan Pembangunan ( ICPD) PBB pada tahun ke empat tentang Perempuan (FWCW) PBB pada tahun 1995 yang diadakan di Beijing menyatakan beberapa hak perempuan yang menjamin kesejahteraan hidup perempuan sebagai wujud keadilan dan keberadaban. Hak-hak tersebut antara lain adalah:
-          Hak untuk hidup, bebas dan rasa aman
-          Hak untuk bebas dari diskriminasi berdasarkan gender
-          Hak atas kesehatan, kesehatan reproduksi, dan KB
-          Hak atas privasi
-          Hak untuk tidak menjadi korban penyiksaan atau perlakuan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
-          Hak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi seksual.

         Setiap orang berhak memperoleh keadilan. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kedudukan yang sama atas keadilan. Sila kedua yang berisi tentang kemanusiaan yang adil dan beradab berisi tentang pengakuan terhadap adanya martabat manusia dan perlakuan yang adil terhadap manusia. Kasus perkosaan yang marak terjadi adalah salah satu contoh bentuk ketidakadilan dan ketidakberadaban manusia terhadap sesamanya. Pancasila sebagai dasar negara seharusnya dapat dijadikan sebagai pedoman hidup, namun sering kali sila dalam pancasila tersebut diabaikan oleh masyarakat. Ketidakpedulian masyarakat atas sila yang terdapat pada pancasila tersebut berdampak timbulnya kejahatan yang berupa ketidakadilan bagi korbannya. Perkosaan yang terjadi merupakan bentuk kekerasan seksual yang tidakadil. Sila kedua Pancasila memiliki arti dan makna yang menolak perkosaan yang dianggap sebagai perbuatan tidak beradab yang menyimpangan. Arti dan makna dari sila kedua Pancasila tersebut adalah mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesame manusia, dengan:
-          Saling mencintai sesama manusia
-          Mengembangkan sikap tenggang rasa
-          Tidak semena-mena terhadap orang lain
-          Menjungjung tinggi nilai kemanusiaan
-          Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan
-          Berani membela kebenaran dan keadilan
-          Mengembangkan sikap saling menghormati dan bekerja sama antara
            bangsa lain
-          Menghargai perbedaan suku, ras, dan agama
Sehinnga tidak terjadi perpecahan diantara manusia yang memicu kerusuhan bahkan kasus perkosaan seperti yang terjadi pada Mei 1998 lalu. Sebagai manusia yang hidup di negara yang adil, hendaklah kita juga hidup beradab dengan penuh keadilan terhadap orang lain, yakni dengan menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan, mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah, dan menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa serta  ras dan etnik yang berbeda dengan kita.











DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji. 1991. Santiaji Pancasila.Surabaya: Usaha Nasional.
Friedrich Eberth Stiftung. 2004. Southeast Asian Women in Politics and Decision- Making, Ten Years After Beijing Gaining Ground?. Philippine: Metro Manila.
Habsari, Ririn dan Harimat Hendrawan. 2007. Menguak Misteri di Balik Kesakitan Perempuan. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Kusuma, Mulyana W., 1988. Kejahatan dan Penyimpangan, Suatu Perspektif Kriminologi. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Piyasilo, Damansara Buddhist Vihara. 1981. The One Way - A Comparative Study of Mahayana and Theravada. Singapore: Dharma Interaction.
Suchalla, Anna. 2004. Study of Cultur. Jakarta: Penerbit United Evanglical Mission (UEM).
Sudiarti,  Achid. 2000.  Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan  Alternatif Pemecahannya. Jakarta.
Sugandi, R., 1980. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional.
Syahrir, Kartini. 2000. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wahid, Abdul. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan). Bandung: Refika Aditama.



[1] Darmodiharjo, Darji. Santiaji Pancasila. (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hal.40.

[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994).
[3] Anna Suchalla, Study of Culture, United Evanglical Mission, hal . 56.
[4] Achid Sudiarti,  Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan  Alternatif Pemecahannya (Jakarta, 2000),  hal. 108.
[5]  Kartini Syahrir, Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), hal. 121.
[6] Ririn Habsari dan Harimat Hendrawan, Menguak Misteri di Balik Kesakitan Perempuan, KOMNAS Perempuan, (Jakarta, 2007), hal. 29.
[7]  Mulyana W. Kusuma, Kejahatan dan Penyimpangan, Suatu Perspektif Kriminologi, (Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988), hal. 47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar