Antara Hati Nurani dan Peraturan: Etika Teleologi VS
Etika Deontologi
(dalam Kaitannya dengan Hukum Kasih dan Hukum Taurat)
Pendahuluan
Hal yang paling sulit untuk dilakukan adalah ketika
kita harus bertindak dan melakukan suatu putusan etis di tengah dilema. Tentu
akan sulit untuk mendapat putusan yang tepat jika kita masih berada dalam suatu
dilema yang menimbulkan kebingan antara masalah yang “benar dan salah” atau
“baik dan jahat”. Sebab dalam mengambil keputusan, kedua hal ini patut dipertimbangkan.
Apakah kita harus tetap “jujur meski menyakitkan” atau “berbohong demi
kebaikan”? Oleh karena itu, di dalam paper ini akan dibahas mengenai penilaian
akan suatu tindakan yang “benar atau salah” (Etika Deontologi) yang merujuk
pada peraturan yang berlaku dan perihal “baik atau jahat” (Etika Teleologi)
yang merujuk pada hati nurani seseorang ketika mengambil suatu putusan etis.
Penulis juga mengaitkannya dengan Hukum Taurat dan Hukum Kasih yang erat
hubungannya dengan tindakan seseorang Kristen dalam pengambilan putusan di
dalam kehidupannya sehari-hari. Semoga paper sederhana ini dapat menjadi
secercah cahaya yang menerangi cakrawala nalar kita yang tak terbatas ini dan
mampu membantu kita memahami perihal etika deontologi dan teologi, pengambilan
putusan etis yang dipengaruhi oleh hati nurani dan peraturan yang berlaku,
sehingga lubang ketidaktahuan kita tentang kedua prinsip etika ini mampu kita
hindari bahkan kita tutup bersama.
Etika Teleologi dan Hukum Kasih
Teori
teleologi berasal dari
kata Yunani telos artinya tujuan atau akibat. Secara sederhana teleologi
juga dapat disebut dengan “etika akibat”. Teleologi adalah ajaran yang
menjelaskan segala sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan
tertentu. ( Soedarmo 2010, 93) Istilah teleologi ini dikemukakan
oleh Christian Wolff,
seorang filsuf Jerman abad ke-18. Teleologi merupakan
sebuah studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan keteraturan, rencana,
tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal- hal ini
dicapai dalam suatu proses perkembangan. (Bagus 2000, 1085) Cara berpikir
teleologis ini bukan mengacuhkan hukum. Ia tahu betul apa yang benar dan apa
yang salah. Tetapi itu bukanlah ukuran terakhir, melainkan tujuan dan akibatnya.
Dalam teori ini, Eka Darmaputera mengatakan bahwa ketika seseorang melakukan
tindakan yang salah, namun tujuan dan akibatnya baik, maka orang tersebut
adalah baik. Sedangkan seseorang yang melakukan tindakan yang benar, namun
tujuannya jahat, maka orang tersebut adalah jahat. Atas dasar ini etika
teleologi dapat dikatakan lebih situasional karena tujuan dan akibat suatu
tindakan sangat bergantung pada situasi khusus tertentu.
Salah
satu contohnya adalah mengenai tindakan seorang anak yang mencuri demi membayar
pengobatan ibunya yang sakit parah akan dinilai sebagai tindakan yang baik
(terlepas dari kenyataan bahwa secara legal ia dapat dihukum). Contoh lain
adalah mengenai tindakan seorang polisi yang menembak mati seorang perampok.
Terlihat bahwa polisi itu melakukan tindakan yang salah karena telah
menghilangkan nyawa seseorang. Namun demikian tindakan yang dilakukan polisi
itu adalah untuk memerangi kejahatan. Maka dengan demikian polisi tersebut
dapat dikatakan telah berbuat baik. Atau contoh yang paling berlawanan dengan
etika deontologi adalah mengenai tindakan seorang tuan rumah yang berbohong
demi menyelamatkan seseorang yang sedang bersembunyi di rumahnya. Jika ia mengatakan
bahwa seseorang itu memang ada di dalam rumahnya, maka orang itu akan ditangkap
oleh perampok yang mengejarnya. Tetapi demi alasan keselamatan, maka ia
berbohong demi keselamatan orang itu.
Berbicara
mengenai perasaan dan hati nurani, ada baiknya bila kita juga menyinggung
pandangan David Hume seorang filsuf empirisme yang ajarannya tentang etika
berawal dari fakta-fakta dan pengamatan empiris. Menurut Hume, ketika berbicara
soal etika dan putusan etis, maka yang paling penting ialah perasaan moral (moral sentiment). Baginya, baik-buruk
tidak dianggap objektif atau terlepas dari sikap kita, melainkan merupakan
bagian dari perasan subjektif kita. (Harrison 1976, 47) Oleh karena itu, ia
menolak etika normatif yang menunjukkan kepada kita perbuatan apa yang wajib
atau boleh kita lakukan dan mana yang tidak. (Baillie 2000, 16) Hume berprinsip
bahwa tindakan yang dinilai baik adalah tindakan yang menyenangkan dan berguna
bagi kita atau bagi banyak orang. Oleh karena itu, Hume merumuskan 4 sikap
positif dalam etika, yakni: (1) sikap yang menyenangkan kita sendiri; (2) sikap
yang menyenangkan orang lain; (3) sikap yang berguna bagi diri kita sendiri;
(4) sikap yang berguna bagi masyarakat. (Tjahjadi 2004, 253) Manusia didorong
untuk melaksanakan keempat sikap positif ini bukan oleh rasio, melainkan oleh
perasaan moral. Kita memang dapat mengetahui apa yang dapat kita lakukan untuk
memperoleh kesenangan dengan rasio. Namun dengan adanya moral, kita dapat
mengendalikan tindakan kita ke arah kesenangan itu. Sehingga tindakan yang
menyenangkan bagi diri kita sendiri juga dapat menyenangkan orang lain.
Melihat
beberapa contoh tersebut, maka etika teleologi yang menekankan tujuan baik
mungkin erat hubungannya dengan perihal mengasihi sesama yang terdapat di dalam
Hukum Kasih. Hukum Kasih atau inti yang terutama dari ajaran Yesus
Kristus yang terdapat pada ketiga Injil
Sinoptik, yakni Matius 22:37-40,Markus 12:28-34,
dan Lukas 10:25-28.
"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu
dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.
Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat
dan kitab para nabi. " Hukum Kasih ini yang kemudian menjadi landasan dan
penuntun setiap manusia dalam bertindak dan berlaku baik, adil dan mengasihi
sesamanya di dalam kehidupannya sehari-hari. (Sosipater 2010, 314-315) Untuk
mempertajamnya lagi, Yesus juga menyatakan, “Kasihilah musuhmu…agar kamu
menjadi anak-anak Bapamu di sorga” (Mat. 5: 43:44)
Etika Deontologi dan Hukum Taurat
Etika deontologi
merupakan etika yang menitikberatkan pada cara yang akan ditempuh untuk
mencapai tujuan. Menurut etika ini, yang
terpenting adalah “Apa tuntutan yang harus kita taati?”, bukan “Apa tujuan yang
hendak kita capai?” (Brownlee 1982, 53) Kata deontologi berasal dari bahasa
Yunani, yakni deon yang berarti “apa
yang harus dilakukan”. Dengan demikian, deontologi merupakan suatu cara
berpikir etis yang mendasarkan diri kepada prinsip, hukum, norma objektif yang
dianggap harus berlaku mutlak dalam situasi dan kondisi apapun. Oleh karena
itu, deontologi ini hanya memperdulikan wajib atau tidaknya suatu perbuatan
atau keputusan manusia. (Bartens 1997, 254) Etika yang deontologis
berbicara tentang apa yang benar dan apa yang salah. Cara berpkiri deontologis
adalah cara melakukan penilaian etis yangmeletakan hukum Allah sebagai satu
satunya norma yang tidak dapat ditawar – tawar. (Darmaputera 1993, 2)
Salah seorang pemikir deontologi
adalah Imannuel Kant. Kant adalah seorang filsuf empiris yang mengedapankan
etika kewajiban yang erat hubungannya dengan sistem etika deontologi ini. Kant
menyatakan bahwa yang baik hanyalah kehendak baik (Good Will). Sedangkan hal-hal selain kehendak baik dianggapnya
sebagai sesuatu yang tidak baik pada dirinya sendiri. ((Pojman 2004, 163) Penyebabnya
adalah hal-hal tersebut bergantung pada cara atau motif seseorang dalam
melakukannya. Wujud dari kehendak baik yang dimiliki seseorang adalah bahwa ia
mau menjalankan kewajiban.
Menurut
Kant, kewajiban adalah suatu peraturan dan peraturan adalah suatu kewajiban.
Pandangan ini berbeda dengan pandangan Hume. Sebab etika Kant adalah etika yang
murni “apriori” yakni moral yang tidak berdasarkan pengalaman empiris (baginya
tidak ada perasaan enak-tidak enak, untung-rugi, cocok-tidak cocok). Menurut
Kant, seharusnya kita melakukan kewajiban bukan hanya karena kewajiban tersebut
memiliki nilai dan menguntungkan bagi kita. Seperti nilai biologis (enak-tidak
enak) misalnya makanan; nilai vital, misalnya kesehatan; nilai etis (solidaritas),
misalnya kemerdekaan; nilai ketuhanan (ajaran agama). Sebab bukan tujuan (apa
yang mendekatkan kita kepada kebahagiaan) yang menentukan kualitas moral kita,
melainkan kesadaran kita akan hukum moral tersebut (apakah kita mau taat pada
hukum moral atau tidak). Artinya, moralitas akan tercapai apabila kita menaati
hukum bukan karena hal itu menguntungkan bagi kita atau karena kita takut
dihukum. Tetapi seharusnya kita sendiri menyadari bahwa hal itu merupakan
kewajiban kita. Sebab kewajiban adalah dasar dari tindakan moral. Kesungguhan
sikap moral kita baru akan tampak jika kita bertindak demi kewajiban, terlepas
dari perasaan suka atau tidak suka; menguntungkan atau tidak bagi kita. Dengan
kata lain, sesorang harus melakukan sesuatu karena kewajiban. Menurut Kant, yang bisa
disebut baik dalam arti yang sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Hal-hal
yang lain seperti kekayaan, intelegensia, kesehatan, kekuasaan dan sebagainya
disebut sebagai kebaikan yang terbatas, yang baru memiliki arti manakala ia
digunakan oleh kehendak baik manusia. (Bertens 1997, 254) Kant menolak
pandangan moral kaum utilitarianisme yang mengedapankan tujuan yang ingin
dicapai sebagai landasan moral dari suatu perbuatan. Bagi Kant, suatu perbuatan
dinilai baik manakala dilakukan atas dasar kewajiban, yang disebutnya sebagai
perbuatan berdasarkan legalitas, tidak penting untuk tujuan apa perbuatan itu
dilakukan. Ajaran ini menekankan bahwa seharusnya kita melakukan “kewajiban”
karena itu merupakan “kewajiban” kita, dan untuk itu alasan tidak diperlukan
sehingga perbuatan itu dilakukan. Sistem etika Kant ini
mengharuskan setiap manusia untuk bertindak sesuai dengan kewajiban. Misalnya,
seseorang wajib berkata jujur meskipun kejujuran tersebut akan membinasakan
sesama manusia. Seseorang wajib bertindak jujur meski harus menerima akibatnya
(akibat bagi dirinya sendiri dan orang lain).
Berdasarkan pemaparan tersebut,
pemahaman moral menurut Kant dan Hume dapat dibedakan sebagai berikut:
-
Menurut Kant, pemahaman moral tidak
mungkin diperoleh dari pengalaman empiris-indrawi. Sebab paham-paham moral itu
bersifat apriori dan berdasarkan akal budi praktis, yaitu berdasarkan
pengertian mengenai baik dan buruk yang mendahului segala pengalaman. Oleh
karena itu, menurut Kant, moralitas disebut sebagai suatu tindakan yang
memiliki nilai moral apabila tindakan tersebut dilakukan semata-mata karena
kewajiban.
-
Menurut Hume, akal budi tidak mempunyai
kekuatan untuk menentukan tindakan. Tindakan kita semata-mata ditentukan oleh
emosi dan dorongan, bukan rasional lain. Oleh karena itu, pandangan moral tidak
mungkin berdasarkan akal budi, bahkan tidak ada hubungannya dengan akal budi,
melainkan mencerminkan reaksi emosional kita sendiri (hati nurani dan perasaan)
terhadap realitas. (Magnis 1997, 141)
Berbicara
mengenai etika deontologi yang menekankan kewajiban ini erat hubungannya dengan
Hukum Taurat yang menjadi landasan dan penuntun setiap umat Kristen dalam
bertindak di dalam kehidupannya sehari-hari. Istilah Taurat berasal
dari bahasa Ibrani yaitu torah yang
artinya ajaran. (Sosipater
2010, 53) Asal kata torah ada hubungannya dengan kata kerja hora yang
memiliki arti memimpin, mengajar, mendidik, dan juga sering diterjemahkan
dengan istilah pengajaran. Istilah torah diartikan pengajaran tetapi juga dapat
diartikan sebagai hukum,
yang berasal dari kata yarah yang
artinya mengarahkan atau mengajar. Kata torah kemudian juga dipakai untuk
menyebutkan Pentateuch (yakni
kelima kitab pertama yang ada dalam Alkitab).
Hukum
Taurat sering kali hanya dilihat dari fungsi menuntut, menuduh dan menghukum.
Sehingga seolah-olah ingin mengatakan bahwa Hukum Taurat diperlukan karena
adanya dosa. Padahal Hukum Taurat merupakan suatu tuntunan hidup yang diberikan
oleh Tuhan Allah kepada bangsa Israel yang dipahatkan dalam dua loh batu dan
diterima oleh Musa (Ul. 5:22). Hukum Taurat Musa yang tertulis
dalam kelima kitabnya, dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: (Sosipater
2010, 55-61)
1. Hukum Moral yang membicarakan
peraturan-peraturan Allah bagi umat Israel untuk hidup kudus, mengasihi Allah dan mengasihi
sesama yang prinsip dasarnya tertulis dalam sepuluh perintah
Tuhan (Kel
20:1-17).
2. Hukum Perdata atau Hukum Sosial yang
membicarakan serta membahas kehidupan hukum dan sosial kemasyarakatan bangsa
Israel (Kel 21:1-23:33).
3. Hukum Peribadatan yang membicarakan
bentuk dan upacara penyembahan umat Israel kepada Tuhan, juga mengenai sistem
pesembahan korban dan kehidupan keagamaan (Kel 24:12-31:18).
Hukum Taurat ini merupakan ringkasan yang sederhana tetapi
menyeluruh tentang ketentuan-ketentuan hakiki hubungan perjanjian dan membatasi
tingkah laku yang sesuai dengan keanggotaan umat Allah. Dengan kata lain, Hukum
Taurat adalah kebijaksanaan yang menentukan etos dan arah dari semua
undang-undang terinci lainnya. (Sosipater 2010, 56) Sebab manusia mengenal
kehendak Tuhan melalui hukum-Nya, perintah-Nya dan kaidah-Nya. Oleh karena itu
kita digambarkan sebagai warga yang harus patuh kepada perintah dan hukum
Allah. Itulah kewajiban kita yang dituntut melalui etika deontologi ini.
Analisis: Etika Deontologi VS Etika
Teleologi dalam Kaitannya dengan Hukum Taurat dan Hukum Kasih
Secara sederhana,
kita dapat melihat perbedaan dari kedua prinsip ini. Dalam deontologi, kita akan melihat sebuah prinsip benar dan salah. Namun, berbeda
dengan etika deontologi, etika teleologi justru mengukur baik buruknya suatu
tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu, atau
berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Dalam teleologi, bukan
“benar dan salah” itu yang menjadi dasar, melainkan “baik dan jahat”. Ketika hukum memegang
peranan penting dalam deontologi, bukan berarti teleologi mengacuhkannya. Betapapun salahnya sebuah
tindakan menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka
tindakan itu dinilai baik. Ajaran teleologis dapat menimbulkan bahaya
menghalalkan segala cara. Dengan demikian tujuan yang baik harus diikuti dengan
tindakan yang benar menurut hukum. Hal ini membuktikan cara pandang teleologis
tidak selamanya terpisah dari deontologis. Perbincangan
"baik" dan "jahat" harus diimbangi dengan "benar"
dan "salah". Lebih mendalam lagi, ajaran teleologi ini dapat
menciptakan hedonisme, ketika "yang baik" itu dipersempit menjadi
"yang baik bagi saya". Dengan demikian, etika
teleologi dapat dikatakan lebih situasional karena tujuan dan akibat suatu tindakan
sangat bergantung pada situasi khusus tertentu. Oleh karena itu, setiap norma
dan kewajiban moral tidak dapat berlaku begitu saja dalam setiap situasi
sebagaimana yang dimaksudkan oleh Kant.
Jika
kita memandang Hukum Taurat dan Hukum Kasih melalui kedua prinsip etika ini,
maka kita akan memandang Hukum Taurat dari sudut pandang Etika Deontologi dan
Hukum Kasih dari sudut pandang Etika Teleologi. Di dalam etika Kristen, cara
berpikir deontologi adalah cara melakukan penilaian etis yang meletakkan Hukum
Allah tersebut sebagai satu-satunya norma yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Suatu tindakan adalah benar, apabila sesuai dengan Hukum Allah itu. Sebaliknya,
suatu tindakan adalah salah, apabila bertentangan dengan Hukum Allah.
Aturan-aturan ini mutlak sehingga tidak boleh dilanggar dalam keadaan apapun;
jangan berdusta, jangan memberi suap, jangan membunuh, berilah pipimu yang
sebelah lagi, dst. Nilai dari pendekatan ini jelas, tidak berkompromi dan
objektif. Oleh karena
itu, etika deontologi merupakan cara yang tepat untuk pemenuhan kewajiban kita
terhadap Hukum Taurat tersebut. Namun dengan adanya etika deontologi ini, maka
Hukum Taurat ialah hukum yang wajib dituruti kendati bertentangan dengan
perasaan kita.
Etika
deontologi ini bertentangan dengan etika telologis. Pandangan ini kemudian
dapat kita bandingkan dengan cara berpikir teleologis adalah dengan melakukan
penilaian etis yang meletakkan Hukum Kasih yang cenderung lebih situasional.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa etika Kristen pada hakikatnya adalah etika
deontologi (yang menekankan kewajiban akan Hukum Taurat), namun di dalam
prakteknya lebih kepada etika teleologis yang bersifat utilitarianisme bukan
egoisme (yang lebih menililik setiap kondisi dari segi Hukum Kasih).
Jika
mengingat kembali bahwa dasar Etika Kristen adalah mengasihi Allah dan sesama
yang terdapat di dalam Hukum Taurat dan Hukum Kasih, maka terkait dengan hal
ini, tampaknya di satu sisi etika deontologi ini agak bertentangan dengan dasar
etika Kristen itu. Mengapa? Sebab ketika kita lebih mengedepankan etika
deontologi yang lebih mengedepankan kewajiban diatas segalanya, maka ada
kemungkinan bahwa kewajiban mengesampingkan rasa mengasihi sesama. Kewajiban
kemudian akan lebih terfokus kepada mengasihi Allah dengan melakukan semua apa
yang ia kehendaki sebagai suatu kewajiban mutlak sesuai peraturan (melakukan
Hukum Taurat). Sementara di satu sisi, kita menyampingkan perasaan mengasihi
kita kepada sesama (Hukum Kasih terhadap sesama). Maka dari contoh kasus yang
telah dikemukakan sebelumnya, kita akan lebih memihak perampok yang ditembak
mati oleh polisi karena di dalam Hukum Taurat terdapat larangan untuk tidak
membunuh. Kita akan cenderung menjebloskan anak yang mencuri demi pengobatan
ibunya karena sudah menjadi kewajiban bahwa kita tidak boleh mencuri. Bahkan
kita juga akan rela membahayakan nyawa seseorang yang tengah di kejar oleh
perampok demi alasan kejujuran yang harus menjadi kewajiban kita, sesuai dengan
etika deontologi tersebut.
Namun di satu sisi, etika teleologis
juga tidak begitu mampu menjangkau keseluruhan hukum ini. Sebab teleologi juga
memiliki sisi negatif. Sisi negatif dari teleologis ini adalah etika ini akan
mampu menarik seseorang ke dalam tindakan yang dapat menghalalkan segala cara
demi tujuan. Alangkah baiknya jika tujuan itu memang untuk suatu kebaikan.
Tetapi alangkah buruknya jika seseorang menghalalkan tujuan itu demi sesuatu
yang buruk. Selain itu, jika yang “baik” (untuk saya) dimaknai secara sempit,
misalnya yang baik adalah yang nikmat, mudah dan menguntungkan, maka seseorang
akan terjebak dalam hedonisme dan egoismenya. Padahal yang baik untuk diri
sendiri belum tentu baik untuk orang lain.
Penutup
Antara
hati nurani dan peraturan adalah dua hal yang selalu dapat menceburkan kita
pada kegalauan yang mendalam. Kendati demikian, kedua pandangan dari Hume dan
Kant mengenai etika teleologi dan etika deontologi ini tampaknya cukup sangat
membantu kita dalam memahami moral dari dua sudut pandang yang berbeda tersebut
(antara hati nurani dan peraturan). Kendati tampaknya kedua pemikiran tersebut
saling berlawanan satu sama lain, namun demikian kedua pandangan yang berbeda
ini tetap mampu menolong manusia untuk
memahami bagaimana seharusnya mereka bersikap di dalam kehidupan sehari-hari
terkait dengan memilih antara melakukan suatu tindakan yang sesuai dengan hati
nurani kita atau harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Misalnya, apakah
mereka harus melakukan suatu tindakan moral berdasarkan perasaan seperti yang
diungkapkan Hume dalam pandangannya mengenai moral dan juga berdasarkan etika
teleologi atau mengesampingkan perasaan tersebut dan mengacu kepada suatu
kewajiban yang merupakan suatu dasar moral seperti yang diungkapkan oleh Kant
dan juga etika deontologi?
Kedua
etika yang telah dibahas tersebut memang bukanlah etika yang mutlak paling baik
untuk dilakukan. Sebab keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing
yang mampu membantu kita dalam mengambil suatu putusan etis. Etika yang baik
adalah etika yang mampu melihat dan menilai suatu masalah bukan hanya dari
salah satu sudut pandang etika saja. Akan lebih baik jika kita dapat menilai suatu tindakan
melalui sudut pandang etika deontologi dan etika teleologi yang melibatkan cara
dan tujuan yang baik (bukan hanya salah satunya saja).
Daftar
Pustaka
Bagus, Lorens. Kamus
Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2000.
Baillie,
James. Hume on Morality. USA:
Routledge. 2000.
Bertens,
K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. 1997.
Brownlee,
Malcom. Pengambilan Keputusan Etis dan
Faktor-faktor di dalamnya.
Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1982.
Darmaputera,
Eka. Etika Sederhana untuk Semua. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1993.
Harrison,
Jonathan. Hume’s Moral Epistemology &
Hume’s Theory of Justice. London: Oxford
University
Press. 1976.
Magnis-Suseno,
Franz. 13 Model Pendekatan Etika. Yogyakarta:
Kanisius. 1997.
Petrus
L. Tjahjadi, Simon. Petualangan
Intelektual. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
Pojman,
Louise P. The Moral Life: An Introductory
Reader In Ethichs And Literature. New
York:
Oxford University Press, 2004.
Soedarmo, R. Kamus
Istilah Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Sosipater, Karel. Etika Perjanjian Baru. Jakarta: Suara
Harapan Bangsa. 2010.
Sosipater, Karel. Etika Perjanjian Lama. Jakarta: Suara
Harapan Bangsa. 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar