Rabu, 23 Januari 2013

Antara Hati Nurani dan Peraturan: Etika Teleologi VS Etika Deontologi (dalam Kaitannya dengan Hukum Kasih dan Hukum Taurat)



Antara Hati Nurani dan Peraturan: Etika Teleologi VS Etika Deontologi
(dalam Kaitannya dengan Hukum Kasih dan Hukum Taurat)
Pendahuluan
            Hal yang paling sulit untuk dilakukan adalah ketika kita harus bertindak dan melakukan suatu putusan etis di tengah dilema. Tentu akan sulit untuk mendapat putusan yang tepat jika kita masih berada dalam suatu dilema yang menimbulkan kebingan antara masalah yang “benar dan salah” atau “baik dan jahat”. Sebab dalam mengambil keputusan, kedua hal ini patut dipertimbangkan. Apakah kita harus tetap “jujur meski menyakitkan” atau “berbohong demi kebaikan”? Oleh karena itu, di dalam paper ini akan dibahas mengenai penilaian akan suatu tindakan yang “benar atau salah” (Etika Deontologi) yang merujuk pada peraturan yang berlaku dan perihal “baik atau jahat” (Etika Teleologi) yang merujuk pada hati nurani seseorang ketika mengambil suatu putusan etis. Penulis juga mengaitkannya dengan Hukum Taurat dan Hukum Kasih yang erat hubungannya dengan tindakan seseorang Kristen dalam pengambilan putusan di dalam kehidupannya sehari-hari. Semoga paper sederhana ini dapat menjadi secercah cahaya yang menerangi cakrawala nalar kita yang tak terbatas ini dan mampu membantu kita memahami perihal etika deontologi dan teologi, pengambilan putusan etis yang dipengaruhi oleh hati nurani dan peraturan yang berlaku, sehingga lubang ketidaktahuan kita tentang kedua prinsip etika ini mampu kita hindari bahkan kita tutup bersama.

Etika Teleologi dan Hukum Kasih
Teori teleologi berasal dari kata Yunani telos artinya tujuan atau akibat. Secara sederhana teleologi juga dapat disebut dengan “etika akibat”. Teleologi adalah ajaran yang menjelaskan segala sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. ( Soedarmo 2010, 93) Istilah teleologi ini dikemukakan oleh Christian Wolff, seorang filsuf Jerman abad ke-18. Teleologi merupakan sebuah studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan keteraturan, rencana, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal- hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan. (Bagus 2000, 1085) Cara berpikir teleologis ini bukan mengacuhkan hukum. Ia tahu betul apa yang benar dan apa yang salah. Tetapi itu bukanlah ukuran terakhir, melainkan tujuan dan akibatnya. Dalam teori ini, Eka Darmaputera mengatakan bahwa ketika seseorang melakukan tindakan yang salah, namun tujuan dan akibatnya baik, maka orang tersebut adalah baik. Sedangkan seseorang yang melakukan tindakan yang benar, namun tujuannya jahat, maka orang tersebut adalah jahat. Atas dasar ini etika teleologi dapat dikatakan lebih situasional karena tujuan dan akibat suatu tindakan sangat bergantung pada situasi khusus tertentu.
Salah satu contohnya adalah mengenai tindakan seorang anak yang mencuri demi membayar pengobatan ibunya yang sakit parah akan dinilai sebagai tindakan yang baik (terlepas dari kenyataan bahwa secara legal ia dapat dihukum). Contoh lain adalah mengenai tindakan seorang polisi yang menembak mati seorang perampok. Terlihat bahwa polisi itu melakukan tindakan yang salah karena telah menghilangkan nyawa seseorang. Namun demikian tindakan yang dilakukan polisi itu adalah untuk memerangi kejahatan. Maka dengan demikian polisi tersebut dapat dikatakan telah berbuat baik. Atau contoh yang paling berlawanan dengan etika deontologi adalah mengenai tindakan seorang tuan rumah yang berbohong demi menyelamatkan seseorang yang sedang bersembunyi di rumahnya. Jika ia mengatakan bahwa seseorang itu memang ada di dalam rumahnya, maka orang itu akan ditangkap oleh perampok yang mengejarnya. Tetapi demi alasan keselamatan, maka ia berbohong demi keselamatan orang itu.
Berbicara mengenai perasaan dan hati nurani, ada baiknya bila kita juga menyinggung pandangan David Hume seorang filsuf empirisme yang ajarannya tentang etika berawal dari fakta-fakta dan pengamatan empiris. Menurut Hume, ketika berbicara soal etika dan putusan etis, maka yang paling penting ialah perasaan moral (moral sentiment). Baginya, baik-buruk tidak dianggap objektif atau terlepas dari sikap kita, melainkan merupakan bagian dari perasan subjektif kita. (Harrison 1976, 47) Oleh karena itu, ia menolak etika normatif yang menunjukkan kepada kita perbuatan apa yang wajib atau boleh kita lakukan dan mana yang tidak. (Baillie 2000, 16) Hume berprinsip bahwa tindakan yang dinilai baik adalah tindakan yang menyenangkan dan berguna bagi kita atau bagi banyak orang. Oleh karena itu, Hume merumuskan 4 sikap positif dalam etika, yakni: (1) sikap yang menyenangkan kita sendiri; (2) sikap yang menyenangkan orang lain; (3) sikap yang berguna bagi diri kita sendiri; (4) sikap yang berguna bagi masyarakat. (Tjahjadi 2004, 253) Manusia didorong untuk melaksanakan keempat sikap positif ini bukan oleh rasio, melainkan oleh perasaan moral. Kita memang dapat mengetahui apa yang dapat kita lakukan untuk memperoleh kesenangan dengan rasio. Namun dengan adanya moral, kita dapat mengendalikan tindakan kita ke arah kesenangan itu. Sehingga tindakan yang menyenangkan bagi diri kita sendiri juga dapat menyenangkan orang lain.
Melihat beberapa contoh tersebut, maka etika teleologi yang menekankan tujuan baik mungkin erat hubungannya dengan perihal mengasihi sesama yang terdapat di dalam Hukum Kasih. Hukum Kasih atau inti yang terutama dari ajaran Yesus Kristus yang terdapat pada ketiga Injil Sinoptik, yakni Matius 22:37-40,Markus 12:28-34, dan Lukas 10:25-28. "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. " Hukum Kasih ini yang kemudian menjadi landasan dan penuntun setiap manusia dalam bertindak dan berlaku baik, adil dan mengasihi sesamanya di dalam kehidupannya sehari-hari. (Sosipater 2010, 314-315) Untuk mempertajamnya lagi, Yesus juga menyatakan, “Kasihilah musuhmu…agar kamu menjadi anak-anak Bapamu di sorga” (Mat. 5: 43:44)

Etika Deontologi dan Hukum Taurat
             Etika deontologi merupakan etika yang menitikberatkan pada cara yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan. Menurut  etika ini, yang terpenting adalah “Apa tuntutan yang harus kita taati?”, bukan “Apa tujuan yang hendak kita capai?” (Brownlee 1982, 53) Kata deontologi berasal dari bahasa Yunani, yakni deon yang berarti “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian, deontologi merupakan suatu cara berpikir etis yang mendasarkan diri kepada prinsip, hukum, norma objektif yang dianggap harus berlaku mutlak dalam situasi dan kondisi apapun. Oleh karena itu, deontologi ini hanya memperdulikan wajib atau tidaknya suatu perbuatan atau keputusan manusia. (Bartens 1997, 254) Etika yang deontologis berbicara tentang apa yang benar dan apa yang salah. Cara berpkiri deontologis adalah cara melakukan penilaian etis yangmeletakan hukum Allah sebagai satu satunya norma yang tidak dapat ditawar – tawar. (Darmaputera 1993, 2)
            Salah seorang pemikir deontologi adalah Imannuel Kant. Kant adalah seorang filsuf empiris yang mengedapankan etika kewajiban yang erat hubungannya dengan sistem etika deontologi ini. Kant menyatakan bahwa yang baik hanyalah kehendak baik (Good Will). Sedangkan hal-hal selain kehendak baik dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak baik pada dirinya sendiri. ((Pojman 2004, 163) Penyebabnya adalah hal-hal tersebut bergantung pada cara atau motif seseorang dalam melakukannya. Wujud dari kehendak baik yang dimiliki seseorang adalah bahwa ia mau menjalankan kewajiban.
Menurut Kant, kewajiban adalah suatu peraturan dan peraturan adalah suatu kewajiban. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Hume. Sebab etika Kant adalah etika yang murni “apriori” yakni moral yang tidak berdasarkan pengalaman empiris (baginya tidak ada perasaan enak-tidak enak, untung-rugi, cocok-tidak cocok). Menurut Kant, seharusnya kita melakukan kewajiban bukan hanya karena kewajiban tersebut memiliki nilai dan menguntungkan bagi kita. Seperti nilai biologis (enak-tidak enak) misalnya makanan; nilai vital, misalnya kesehatan; nilai etis (solidaritas), misalnya kemerdekaan; nilai ketuhanan (ajaran agama). Sebab bukan tujuan (apa yang mendekatkan kita kepada kebahagiaan) yang menentukan kualitas moral kita, melainkan kesadaran kita akan hukum moral tersebut (apakah kita mau taat pada hukum moral atau tidak). Artinya, moralitas akan tercapai apabila kita menaati hukum bukan karena hal itu menguntungkan bagi kita atau karena kita takut dihukum. Tetapi seharusnya kita sendiri menyadari bahwa hal itu merupakan kewajiban kita. Sebab kewajiban adalah dasar dari tindakan moral. Kesungguhan sikap moral kita baru akan tampak jika kita bertindak demi kewajiban, terlepas dari perasaan suka atau tidak suka; menguntungkan atau tidak bagi kita. Dengan kata lain, sesorang harus melakukan sesuatu karena kewajiban. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti yang sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Hal-hal yang lain seperti kekayaan, intelegensia, kesehatan, kekuasaan dan sebagainya disebut sebagai kebaikan yang terbatas, yang baru memiliki arti manakala ia digunakan oleh kehendak baik manusia. (Bertens 1997, 254) Kant menolak pandangan moral kaum utilitarianisme yang mengedapankan tujuan yang ingin dicapai sebagai landasan moral dari suatu perbuatan. Bagi Kant, suatu perbuatan dinilai baik manakala dilakukan atas dasar kewajiban, yang disebutnya sebagai perbuatan berdasarkan legalitas, tidak penting untuk tujuan apa perbuatan itu dilakukan. Ajaran ini menekankan bahwa seharusnya kita melakukan “kewajiban” karena itu merupakan “kewajiban” kita, dan untuk itu alasan tidak diperlukan sehingga perbuatan itu dilakukan. Sistem etika Kant ini mengharuskan setiap manusia untuk bertindak sesuai dengan kewajiban. Misalnya, seseorang wajib berkata jujur meskipun kejujuran tersebut akan membinasakan sesama manusia. Seseorang wajib bertindak jujur meski harus menerima akibatnya (akibat bagi dirinya sendiri dan orang lain).
            Berdasarkan pemaparan tersebut, pemahaman moral menurut Kant dan Hume dapat dibedakan sebagai berikut:
-          Menurut Kant, pemahaman moral tidak mungkin diperoleh dari pengalaman empiris-indrawi. Sebab paham-paham moral itu bersifat apriori dan berdasarkan akal budi praktis, yaitu berdasarkan pengertian mengenai baik dan buruk yang mendahului segala pengalaman. Oleh karena itu, menurut Kant, moralitas disebut sebagai suatu tindakan yang memiliki nilai moral apabila tindakan tersebut dilakukan semata-mata karena kewajiban.
-          Menurut Hume, akal budi tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan tindakan. Tindakan kita semata-mata ditentukan oleh emosi dan dorongan, bukan rasional lain. Oleh karena itu, pandangan moral tidak mungkin berdasarkan akal budi, bahkan tidak ada hubungannya dengan akal budi, melainkan mencerminkan reaksi emosional kita sendiri (hati nurani dan perasaan) terhadap realitas. (Magnis 1997, 141)

Berbicara mengenai etika deontologi yang menekankan kewajiban ini erat hubungannya dengan Hukum Taurat yang menjadi landasan dan penuntun setiap umat Kristen dalam bertindak di dalam kehidupannya sehari-hari. Istilah Taurat berasal dari bahasa Ibrani yaitu torah yang artinya ajaran. (Sosipater 2010, 53) Asal kata torah ada hubungannya dengan kata kerja hora yang memiliki arti memimpin, mengajar, mendidik, dan juga sering diterjemahkan dengan istilah pengajaran. Istilah torah diartikan pengajaran tetapi juga dapat diartikan sebagai  hukum, yang berasal dari kata yarah yang artinya mengarahkan atau mengajar. Kata torah kemudian juga dipakai untuk menyebutkan Pentateuch (yakni kelima kitab pertama yang ada dalam Alkitab).
            Hukum Taurat sering kali hanya dilihat dari fungsi menuntut, menuduh dan menghukum. Sehingga seolah-olah ingin mengatakan bahwa Hukum Taurat diperlukan karena adanya dosa. Padahal Hukum Taurat merupakan suatu tuntunan hidup yang diberikan oleh Tuhan Allah kepada bangsa Israel yang dipahatkan dalam dua loh batu dan diterima oleh Musa (Ul. 5:22). Hukum Taurat Musa yang tertulis dalam kelima kitabnya, dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: (Sosipater 2010, 55-61)
1.     Hukum Moral yang membicarakan peraturan-peraturan Allah bagi umat Israel untuk hidup kudus, mengasihi Allah dan mengasihi sesama yang prinsip dasarnya tertulis dalam sepuluh perintah Tuhan (Kel 20:1-17).
2.     Hukum Perdata atau Hukum Sosial yang membicarakan serta membahas kehidupan hukum dan sosial kemasyarakatan bangsa Israel (Kel 21:1-23:33).
3.     Hukum Peribadatan yang membicarakan bentuk dan upacara penyembahan umat Israel kepada Tuhan, juga mengenai sistem pesembahan korban dan kehidupan keagamaan (Kel 24:12-31:18).
Hukum Taurat ini merupakan ringkasan yang sederhana tetapi menyeluruh tentang ketentuan-ketentuan hakiki hubungan perjanjian dan membatasi tingkah laku yang sesuai dengan keanggotaan umat Allah. Dengan kata lain, Hukum Taurat adalah kebijaksanaan yang menentukan etos dan arah dari semua undang-undang terinci lainnya. (Sosipater 2010, 56) Sebab manusia mengenal kehendak Tuhan melalui hukum-Nya, perintah-Nya dan kaidah-Nya. Oleh karena itu kita digambarkan sebagai warga yang harus patuh kepada perintah dan hukum Allah. Itulah kewajiban kita yang dituntut melalui etika deontologi ini.

Analisis: Etika Deontologi VS Etika Teleologi dalam Kaitannya dengan Hukum Taurat dan Hukum Kasih
Secara sederhana, kita dapat melihat perbedaan dari kedua prinsip ini. Dalam deontologi, kita akan melihat sebuah prinsip benar dan salah. Namun, berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Dalam teleologi, bukan “benar dan salah” itu yang menjadi dasar, melainkan “baik dan jahat”. Ketika hukum memegang peranan penting dalam deontologi, bukan berarti teleologi mengacuhkannya. Betapapun salahnya sebuah tindakan menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu dinilai baik. Ajaran teleologis dapat menimbulkan bahaya menghalalkan segala cara. Dengan demikian tujuan yang baik harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut hukum. Hal ini membuktikan cara pandang teleologis tidak selamanya terpisah dari deontologis. Perbincangan "baik" dan "jahat" harus diimbangi dengan "benar" dan "salah". Lebih mendalam lagi, ajaran teleologi ini dapat menciptakan hedonisme, ketika "yang baik" itu dipersempit menjadi "yang baik bagi saya". Dengan demikian, etika teleologi dapat dikatakan lebih situasional karena tujuan dan akibat suatu tindakan sangat bergantung pada situasi khusus tertentu. Oleh karena itu, setiap norma dan kewajiban moral tidak dapat berlaku begitu saja dalam setiap situasi sebagaimana yang dimaksudkan oleh Kant.
Jika kita memandang Hukum Taurat dan Hukum Kasih melalui kedua prinsip etika ini, maka kita akan memandang Hukum Taurat dari sudut pandang Etika Deontologi dan Hukum Kasih dari sudut pandang Etika Teleologi. Di dalam etika Kristen, cara berpikir deontologi adalah cara melakukan penilaian etis yang meletakkan Hukum Allah tersebut sebagai satu-satunya norma yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Suatu tindakan adalah benar, apabila sesuai dengan Hukum Allah itu. Sebaliknya, suatu tindakan adalah salah, apabila bertentangan dengan Hukum Allah. Aturan-aturan ini mutlak sehingga tidak boleh dilanggar dalam keadaan apapun; jangan berdusta, jangan memberi suap, jangan membunuh, berilah pipimu yang sebelah lagi, dst. Nilai dari pendekatan ini jelas, tidak berkompromi dan objektif. Oleh karena itu, etika deontologi merupakan cara yang tepat untuk pemenuhan kewajiban kita terhadap Hukum Taurat tersebut. Namun dengan adanya etika deontologi ini, maka Hukum Taurat ialah hukum yang wajib dituruti kendati bertentangan dengan perasaan kita.
Etika deontologi ini bertentangan dengan etika telologis. Pandangan ini kemudian dapat kita bandingkan dengan cara berpikir teleologis adalah dengan melakukan penilaian etis yang meletakkan Hukum Kasih yang cenderung lebih situasional. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa etika Kristen pada hakikatnya adalah etika deontologi (yang menekankan kewajiban akan Hukum Taurat), namun di dalam prakteknya lebih kepada etika teleologis yang bersifat utilitarianisme bukan egoisme (yang lebih menililik setiap kondisi dari segi Hukum Kasih).
Jika mengingat kembali bahwa dasar Etika Kristen adalah mengasihi Allah dan sesama yang terdapat di dalam Hukum Taurat dan Hukum Kasih, maka terkait dengan hal ini, tampaknya di satu sisi etika deontologi ini agak bertentangan dengan dasar etika Kristen itu. Mengapa? Sebab ketika kita lebih mengedepankan etika deontologi yang lebih mengedepankan kewajiban diatas segalanya, maka ada kemungkinan bahwa kewajiban mengesampingkan rasa mengasihi sesama. Kewajiban kemudian akan lebih terfokus kepada mengasihi Allah dengan melakukan semua apa yang ia kehendaki sebagai suatu kewajiban mutlak sesuai peraturan (melakukan Hukum Taurat). Sementara di satu sisi, kita menyampingkan perasaan mengasihi kita kepada sesama (Hukum Kasih terhadap sesama). Maka dari contoh kasus yang telah dikemukakan sebelumnya, kita akan lebih memihak perampok yang ditembak mati oleh polisi karena di dalam Hukum Taurat terdapat larangan untuk tidak membunuh. Kita akan cenderung menjebloskan anak yang mencuri demi pengobatan ibunya karena sudah menjadi kewajiban bahwa kita tidak boleh mencuri. Bahkan kita juga akan rela membahayakan nyawa seseorang yang tengah di kejar oleh perampok demi alasan kejujuran yang harus menjadi kewajiban kita, sesuai dengan etika deontologi tersebut.
            Namun di satu sisi, etika teleologis juga tidak begitu mampu menjangkau keseluruhan hukum ini. Sebab teleologi juga memiliki sisi negatif. Sisi negatif dari teleologis ini adalah etika ini akan mampu menarik seseorang ke dalam tindakan yang dapat menghalalkan segala cara demi tujuan. Alangkah baiknya jika tujuan itu memang untuk suatu kebaikan. Tetapi alangkah buruknya jika seseorang menghalalkan tujuan itu demi sesuatu yang buruk. Selain itu, jika yang “baik” (untuk saya) dimaknai secara sempit, misalnya yang baik adalah yang nikmat, mudah dan menguntungkan, maka seseorang akan terjebak dalam hedonisme dan egoismenya. Padahal yang baik untuk diri sendiri belum tentu baik untuk orang lain.

Penutup
Antara hati nurani dan peraturan adalah dua hal yang selalu dapat menceburkan kita pada kegalauan yang mendalam. Kendati demikian, kedua pandangan dari Hume dan Kant mengenai etika teleologi dan etika deontologi ini tampaknya cukup sangat membantu kita dalam memahami moral dari dua sudut pandang yang berbeda tersebut (antara hati nurani dan peraturan). Kendati tampaknya kedua pemikiran tersebut saling berlawanan satu sama lain, namun demikian kedua pandangan yang berbeda ini tetap mampu menolong  manusia untuk memahami bagaimana seharusnya mereka bersikap di dalam kehidupan sehari-hari terkait dengan memilih antara melakukan suatu tindakan yang sesuai dengan hati nurani kita atau harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Misalnya, apakah mereka harus melakukan suatu tindakan moral berdasarkan perasaan seperti yang diungkapkan Hume dalam pandangannya mengenai moral dan juga berdasarkan etika teleologi atau mengesampingkan perasaan tersebut dan mengacu kepada suatu kewajiban yang merupakan suatu dasar moral seperti yang diungkapkan oleh Kant dan juga etika deontologi?
Kedua etika yang telah dibahas tersebut memang bukanlah etika yang mutlak paling baik untuk dilakukan. Sebab keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang mampu membantu kita dalam mengambil suatu putusan etis. Etika yang baik adalah etika yang mampu melihat dan menilai suatu masalah bukan hanya dari salah satu sudut pandang etika saja. Akan lebih baik jika kita dapat menilai suatu tindakan melalui sudut pandang etika deontologi dan etika teleologi yang melibatkan cara dan tujuan yang baik (bukan hanya salah satunya saja).













Daftar Pustaka

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2000.
Baillie, James. Hume on Morality. USA: Routledge. 2000.
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1997.
Brownlee, Malcom. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di dalamnya.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.
Darmaputera, Eka. Etika Sederhana untuk Semua. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Harrison, Jonathan. Hume’s Moral Epistemology & Hume’s Theory of Justice. London: Oxford
University Press. 1976.
Magnis-Suseno, Franz. 13 Model Pendekatan Etika. Yogyakarta: Kanisius. 1997.
Petrus L. Tjahjadi, Simon. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
Pojman, Louise P. The Moral Life: An Introductory Reader In Ethichs And Literature. New
York: Oxford University Press, 2004.
Soedarmo, R. Kamus Istilah Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Sosipater, Karel. Etika Perjanjian Baru. Jakarta: Suara Harapan Bangsa. 2010. 
Sosipater, Karel. Etika Perjanjian Lama. Jakarta: Suara Harapan Bangsa. 2010. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar