Kebebasan Beragama yang
di(ter)kekang di Indonesia
Pendahuluan
Isu tentang pelanggaran atas kebebasan
beragama dan berkeyakinan sepertinya belum juga tertuntaskan hingga kini.
Banyak fakta yang menunjukkan bahwa kebebasan beragama menghadapi tantangan
yang serius. Peristiwa demi peristiwa yang mendiskreditkan suatu komunitas
agama minoritas tampak menjadi sebuah hiasan berita yang bebas untuk di
konsumsi oleh masyarakat. Berbicara mengenai agama memang bagaikan berbicara
tentang sebuah koin yang memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, agama
dipahami sebagai sebuah jalan dan penjamin keselamatan, cinta, dan perdamaian.
Namun di sisi lain, sejarah membuktikan bahwa agama justru dapat menjadi
sumber, penyebab, dan alasan bagi kehancuran serta kemalangan, bahkan dapat
menjadi bencana bagi umat manusia. Karena agama, orang dapat saling mencintai
satu sama lain, dan atas nama agama pula, orang dapat saling membunuh dan
menghancurkan. Sekarang ini, sebagian orang semakin pesimis dalam menanggapi
agama, sehingga kemudian menumbuhsuburkan pemikiran mereka bahwa keberadaan
agama hanya mempersulit keadaan kita di dunia ini. Tetapi coba bayangkan apa
jadinya kita bila di dunia ini tidak ada yang namanya agama? Kira-kira apa yang
akan terjadi dengan kita? Bagaimana pula jadinya jika agama digantikan
posisinya dengan konsep pemikiran-pemikiran yang cemerlang atau dengan mesin-mesin
canggih? Atau dengan kata lain rasionalisme menggantikan agama melalui
sekularisasi?
Persoalan
agama dan ruang publik memang layak untuk dibicarakan kembali sekarang ini.
Pasalnya, sekarang ini agama sudah go public. Artinya, agama sudah memasuki ruang publik dan meraih
publisitas. Hal ini
terlihat dari serangkaian peristiwa yang terjadi di ruang publik belakangan ini
semakin meresahkan, seperti bangkitnya simbolisasi agama, maraknya peraturan
daerah (perda-perda) syariat, serangkaian aksi kekerasan serta terorisme atas
nama agama, penutupan rumah ibadah, dan beberapa tindakan-tindakan lainnya yang
terlahir sebagai wujud penolakan atas kebebasan beragama di Indonesia. Jika
selama ini kekerasan yang mengatasnamakan agama hanya dipahami lewat
radikalisme para teroris yang rela mengorbankan dirinya lewat bom bunuh diri
demi agamanya, maka disisi lain ada pula kekerasan terhadap para pemeluk dan
kelompok-kelompok agama berupa tekanan dan ketidakbebasan menganut serta menjalankan
agama dan keyakinannya.
Kondisi ter(di)kekangnya kebebasan
beragama mencerminkan betapa rumitnya hubungan antar negara dan agama di
Indonesia. Negara sebagai otoritas politik tertinggi yang semestinya menjadi
pengayom bagi semua warga negara terbukti telah melakukan semacam diskriminasi
terhadap penganut ajaran agama yang bersumber dari kearifan lokal. Negara yang seharusnya berada di atas
semua golongan, kelompok, dan agama sering (cenderung)
berperilaku memihak dan digunakan sebagai alat pemukul. Negara yang seharusnya
memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengelola keragaman dan perbedaan malah
membuat berbagai hukum dan kebijakan yang tidak bisa mengakomodir dan
menghargai keragaman tersebut[1].
Selain itu minimnya pemahaman yang pluralis di masyarakat
juga semakin mempersempit wilayah kebebasan beragama di Indonesia. Tidak
sedikit dari masyarakat yang belum memahami perihal kebebasan beragama dan UU
yang mengatur kebebasan tersebut. Oleh karena itu, acap kali sebagian
masyarakat malah menghakimi sesamanya sendiri dengan berbagai tindakan
kekerasan yang mengatasnamakan agama tanpa mengerti UU-nya. Sebagai contoh
adalah tuduhan sesat yang dilemparkan kepada kepada Jemaat Ahmadiyah dan
penutupan tempat ibadahnya beberapa waktu yang lalu.
Berangkat dari
isu yang sepertinya semakin hari semakin sulit untuk diselesaikan tersebut,
maka melalui paper ini penulis berusaha mengedepankan beberapa masalah
kebebasan beragama di Indonesia. Masalah ini terkait dengan bagaimana
masyarakat yang belum sadar pluralisme dapat membangun pemahaman yang pluralis.
Selain itu juga berkaitan erat dengan konstitusi yang ada di tengah
keterancaman pluralisme saat ini. Penulis hendak menjelaskan tentang agama dan
kekerasan khususnya perihal kekerasan terhadap kelompok-kelompok atau penganut
agama dan keyakinan yang tidak mendapat kebebasannya, serta keterkaitannya
dengan hak asasi manusia (HAM) dan undang-undang (UU) yang berlaku di negara
Indonesia. Di dalam paper ini penulis juga menyinggung perihal bagaimana seharusnya membangun harmoni di
tengah keragaman yang ada, khususnya terkait dengan masalah kebebasan sebagai
tanggapan atas persoalan keterkekangan sebagian kelompok agama dan keyakinan di
Indonesia dalam menjalankan peribadahannya. Penulis menyadari bahwa isu
tersebut memang masih sulit untuk diselesaikan, tetapi bukan tidak mungkin
suatu saat nanti isu tersebut akan dapat juga terselesaikan. Penulis sadar
bahwa banyak keterbatasan dalam memaparkannya persoalan secara mendalam. Namun
penulis juga berharap agar paper sederhana ini dapat menjadi secercah cahaya
yang menerangi cakrawala nalar kita yang tak terbatas ini agar mampu memahami
perihal kekerasan terhadap kelompok-kelompok agama dan keyakinan minoritas,
sehingga lubang kekerasan yang mengatasnamakan agama yang menganga lebar
tersebut mampu kita hindari bahkan kita tutup bersama.
Keberagaman Agama dan Keyakinan
Sekarang ini, keberagaman bukanlah
sesuatu yang tabu lagi. Keberagaman kini menjadi salah satu isu yang menarik
untuk diperdebatkan karena tidak semua orang dapat menerimanya dengan baik.
Ada sebagian orang yang memang menolak
keberagaman. Namun tidak sedikit pula orang yang malah menerima keberagamannya
dengan terbuka.
Berbicara soal keberagaman, tentu kita
akan menyinggung soal perbedaan dan kesamaan. Salah satunya adalah agama. Agama
adalah suatu ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dengan manusia serta manusia dengan lingkungannya. [2]
Agama yang “diakui” di Indonesia hanyalah “agama-agama impor pilihan” seperti
Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghuchu. Sedangkan kepercayaan
lokal seperti Sunda Wiwitan, Penghayat Kepercayaan, Parmalim atau “agama impor
yang tidak diakui” seperti agama Baha’i
sekalipun hanya dianggap sebagai aliran sempalan. [3] Bahkan
adapula agama atau kepercayaan lain yang tidak dianggap sama sekali. Mungkin
dikarenakan jumlah penganutnya yang minoritas, maka eksistensi agama-agama
pribumi ini tertimbun oleh popularitas “agama-agama impor” yang dianut oleh
banyak masyarakat Indonesia sekarang ini. Bahkan secara kasat mata, negara
sering kali mengabaikan pemenuhan kewajibannya terhadap para penganut
“agama-agama lokal”.
Disadari
atau tidak, ketika agama masuk ke ranah publik, ia cenderung digunakan sebagian
kalangan untuk memukul rata kepentingan dan kebutuhan masyarakat tanpa melihat
konteks ruang dan waktunya. [4]
Namun di sisi lain, ketika agama diposisikan hanya pada ruang privat, ia tidak
lebih dari sekadar menjadi sistem keyakinan personal yang tidak ada sangkut
pautnya dengan kehidupan sosial dan modernisasi yang semakin cepat (dalam hal
ini negara). Dalam konteks ini, peran agama seolah termarginalkan dari segala
sesuatu yang berkaitan dengan modernitas dan hanya berisi ritus-ritus suci
keagamaan saja.
Pada dasarnya,
keberagaman atau pluralisme bukan hanya baru terjadi beberapa abad yang lalu.
Keberagaman bahkan sudah ada sejak awal penciptaan alam ini. Tuhan sendiri
menciptakan banyak keberagaman di dunia ini. Bahkan akan menjadi aneh rasanya
jika tidak ada keberagaman di dunia ini. Namun sayangnya, kekerasan yang banyak
terjadi di tengah masyarakat memperlihatkan bahwa masyarakat belum mampu
menerima keberagaman yang ada secara tepat. Penolakan atas kebebasan beragama
dan berkeyakinan di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa ada sebagian dari
masyarakat Indonesia yang belum mampu
menerima keberagaman/pluralitas tersebut. Menurut Kuschel, kekerasaan
yang muncul setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, ada kesalahpahaman
tentang ajaran agama. Kedua, adanya perasaan terancam. [5]
Selain itu, cara pandang yang berbeda terhadap agama lain di luar agamanya juga
dapat menjadikan masyarakat terkondisikan untuk melakukan kekerasan
berlandaskan agama semakin membabi buta agama lain.
Bagi sebagian orang, pendidikan dan
aktivitas antariman, haruslah dipusatkan pada kekayaan iman masing-masing agar
mempunyai potensi yang mempersatukan. Namun sebagian lainnya melihat, bahwa
pentingnya memahami perbedaan-perbedaan, mempelajari berbagai keterampilan
untuk hidup bersama, meneliti, dan menghargai perbedaan-perbedaan adalah suatu
hal yang patut ditekankan. [6]
Harus diakui bahwa kekerasan agama tidak hanya terjadi kepada mereka yang
memiliki iman yang berbeda, namun juga kepada mereka yang memiliki perspektif
iman yang berbeda meskipun masih berada di dalam agama atau kepercayaan yang
sama. Selain itu, kekerasan pun acap kali terjadi terhadap ideologi yang
berbeda terutama kepada kelompok minoritas yang lain. Hal ini dapat terjadi
karena adanya benih kebencian yang terus dipupuk. Mungkin sebagian orang selalu
terbiasa untuk melihat segala sesuatu yang berbeda dengan dirinya dengan
pemaknaan sesat dan menyimpang. Oleh karena itu, setidaknya ada dua sikap atas
keberagaman yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.
Mencerminkan mentalitas agar semuanya
menjadi satu. Sikap ini menampakkan diri menerima keberagaman, namun sebenarnya
gelisah menghadapai keberagaman itu.
2.
Menerima keberagaman sebagai kenyataan
esensial dari kehidupan manusia dan masyarakat, lalu berusaha menemukan jalan
untuk memahami perannya yang dinamis dalam realitas yang majemuk. Penerimaan
keberagaman tidak dimaksudkan untuk mengorbankan pertimbangan-pertimbangan kritis.
Namun sering kali kita menyaksikan adanya kesalahpahaman, seolah-olah kita
harus menyampaikan pertimbangan-pertimbangan kritis agar dapat berperan
antarbudaya dan antariman.
Berbicara
mengenai sikap masyarakat terhadap keberagaman, banyak pendidik, sarjana, dan
bahkan teolog yang mengamati pendekatan-pendekatan umum terhadap keberagaman
tersebut dan bagaimana pendekatan-pendekatan ini berdampak terhadap praktek
pendidikan agama dan atau pendidikan Kristiani. John Hick, seorang filsuf
Inggris mencatat tiga pendekatan yang terangkum dalam artikelnya yang berjudul
“Religious Pluralisme” yaitu eksklusivisme,
inklusivisme, dan pluralisme.
Pendekatan-pendekatan ini merupakan respons terhadap keberagaman jenis apa pun,
tidak hanya keberagaman agama dan keyakinan. Respons-respons ini tidak hanya
bersifat tingkah laku (behavioral),
tetapi juga terkait dengan sikap (attitudinal).
[7]
Mengenai ekslusivisme, Hick mengatakan bahwa pendekatan ini adalah semacam
sikap arogansi agama ketika diperhadapkan dengan kepercayaan lain. Terlebih
lagi ketika suatu agama merasa pendiriannya ditantang oleh alternatif lain.
Mengenai inklusivisme, Hick
menjelaskan bahwa pendekatan ini sebenarnya terbuka dengan “yang lain”, namun
secara bersamaan juga tetap memegang teguh keyakinannya. Dengan kata lain, di
tengah keberagaman yang ada, golongan ini masih mempertahankan suatu keyakinan
tertentu yang dianggapnya sebagai kebenaran yang paling mutlak sedangkan yang
lain itu hanya mencerminkan beberapa aspek dari kebenaran tersebut. [8]
Selanjutnya pluralisme diartikan
sebagai pandangan yang mengadakan kesetaraan pada setiap agama. Pendekatan ini
memberi kesempatan untuk berdialog secara terbuka dengan yang berbeda agama.
Dialog ini memiliki komitmen untuk memberi dan menerima pemahaman dari agama
lain. Pendekatan golongan ini mengakui adanya keterbatasan pandangan-pandangan
mereka, dan terus berupaya mencari pemahaman tersebut dengan mempelajari
istilah-istilah atau nilai-nilai dari yang lain melalui dialog-dialog. Namun
sayangnya, ada sebagian pihak yang mengaku bersikap pluralisme tetapi sesungguhnya mereka telah bersikap inklusivisme. Atau malah ada yang
mengaku inklusif tetapi malah
memperlihatkan sikap pluralisme dalam
setiap tindakan mereka.
Tidak dapat dipungkiri,
penolakan terhadap keberagaman agama atau keyakinan tersebut jelas akan memicu
kekerasaan yang mengatasnamakan agama,sehingga menjadikan agama dan keyakinan
itu seolah menjadi ancaman tersendiri bagi pemeluknya. Kita sendiri terkadang
berpikir sempit mengenai keberagaman tersebut karena sejak kecil pun kita sudah
diajar dan dididik untuk tidak menerima keberagaman tersebut. Akan tetapi, akan
menjadi sangat disayangkan nantinya apabila agama terus menerus menjadi sebuah
ancaman dan bencana bagi pemeluknya. Sehingga dalam kadar tertentu, muncul keinginan
dari pemeluk agama atau keyakinan itu untuk lebih baik tidak beragama daripada
beragama namun penuh dengan tekanan dan rasa khawatir serta takut dengan
bayang-bayang kekerasan.
Kebebasan yang
Terkekang
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, bebas berarti lepas sama sekali (tidak terhalang,
terganggu) sehingga dapat bergerak, berbicara, dan berbuat. Sedangkan kebebasan
adalah suatu keadaan bebas. Oleh karena itu kebebasan beragama artinya bebas
memeluk salah satu dari keberagaman agama yang ada sebagai agama yang diyakini.
Kebebasan
beragama dihambat di banyak negara Islam, seperti di Saudi Arabia yang melarang
adanya praktik agama di depan umum selain agama Islam; di Iran, kaum Baha’i
tidak mempunyai hak-hak hukum dan ditindas; dan di Palestina orang-orang Arab
Kristen sering menjadi korban penindasan agama oleh orang-orang Muslim.
Sayangnya di Indonesia sendiri yang bukan merupakan negara Islam telah
melakukan hal yang sama kepada sebagian agama minoritas. [9]
Kenyataan yang cukup miris ketika keberagaman agama dan keyakinan yang kita
jumpai di Indonesia ternyata tidak dapat diterima begitu saja oleh sebagian
pihak. Masih ada saja pihak-pihak/kelompok agama mayoritas yang terus menekan
pihak-pihak/kelompok agama minoritas. Hal tersebut membuktikan bahwa di negara
yang sudah merdeka inipun kita masih belum merdeka. Kita belum dapat menikmati
kebebasan yang benar-benar terbebas dari keterkekangan. Akan miris mendengarnya
jika di negara yang sudah merdeka seperti Indonesia masih terdengar celetukan
pertanyaan “Sudahkah kita merdeka? Apakah kemerdekaan itu sudah benar-benar
kita raih?” Pertanyaan yang jujur seperti itu mengarah kepada setiap orang yang
ber-KTP Indonesia. Bagi warga negara Indonesia yang kebetulan masuk Ahmadiyah,
mungkin akan menjawab tidak. Kemerdekaan mereka telah direnggut oleh saudara
mereka sendiri. Beberapa penganut kepercayaan di berbagai daerah juga
barangkali akan menjawab tidak. Sebab kebebasan mereka memeluk kepercayaannya
tidak diberi hak hidup sebagaimana semestinya.
Kenyataannya,
kemerdekaan hanya dimiliki oleh sebagian warga negara saja. Sementara warga
negara lain ditindas dan dijajah haknya. Kata “merdeka” demikian kompleks,
masih menyisakan lorong-lorong berliku untuk meraihnya. Merdeka artinya
masing-masing orang harus mengerti dan menghargai bahwa setiap orang berhak
membuat pilihannya sendiri, baik dalam bentuk keyakinan, pendapat ataupun yang
lainnya. Merdeka artinya bebas dan tidak terkekang.
Tidak bebas dan terkekang adalah salah
satu bentuk kekerasan. Namun sekarang ini di Indonesia telah berkembang istilah
“Kebebasan yang Ter(di)kekang” yang membebaskan setiap warga negara memeluk
agama, namun mengekangnya dengan rantai enam agama. Artinya, semua warga negara
Indonesia berhak memeluk agama asalkan sesuai dengan keenam agama yang diakui
oleh negara. Tetapi agama-agama yang dianut diluar dari agama-agama itu akan
menimbulkan suatu permasalahan. Secara umum, pemerintah menghormati kebebasan
menjalankan ibadah enam agama yang resmi diakui. Namun demikian pembatasan dari
pemerintah yang terus berlangsung, khususnya agama yang tidak diakui dan sekte
agama yang dianggap menyimpang dari agama yang diakui merupakan pengecualian
dari pelaksanaan penghormatan kebebasan beragama tersebut.
Kebebasan untuk
beragama dan berkeyakinan di Indonesia ini memang masih terombang-ambing.
Beberapa kasus kekerasan terhadap pemeluk agama atau keyakinan kian menjadi
masalah yang semakin renyah untuk
diperbincangkan, tetapi (seolah) semakin basi untuk diselesaikan. Kekerasan
yang terjadi seolah tidak dapat dihentikan baik oleh pemerintah maupun oleh
komunitas agama itu sendiri. Padahal negara sendiri sudah memberi jaminan
perundang-undangan, antara lain sebagai berikut:
·
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 E ayat
(1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.” (2)
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.”
·
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 I ayat
(2) “Setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu”.
·
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 pasal
(2) jelas menegaskan masalah ini: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.”
·
Hal ini juga senafas dengan isi
Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM pasal 18, yakni : ”Setiap orang berhak
atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan
berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau
kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menaatinya,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun
sendiri.”
·
Dalam perkembangan berikutnya,
pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP
MPR tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai HAM yang
tertera pada pasal 13: “Setiap orang bebas memeluk agama masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
·
Isu
kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM), ditemukan juga dalam berbagai dokumen historis tentang HAM,
seperti dokumen International Bill of Rights (1966), Rights of Man
France (1789), dan Bill of Rights of USA (1791). Pasal 2 DUHAM
menyatakan: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian, seperti ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan
atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”
·
UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik pasal 18 ayat (1) “ Setiap
orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. “ Hak ini
mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan
atas pilihannya sendiri dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama
dengan orang lain dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama
dan kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. (2)
“Tidak seorangpun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut
atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.”
·
UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal
22 ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” (2) “Negara menjamin kemerdekaan
setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu.
·
UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 1
ayat (6) “Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang
sengaja melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM
seseorang atau kelompok yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
Merujuk pada undang-undang diatas,
seharusnya tidak ada lagi alasan bagi sebagian kelompok agama untuk berbuat
semena-mena terhadap kelompok agama lainnya. Namun pada kenyataannya jaminan
perundang-undangan ini tidak dihiraukan oleh sebagian pihak. Bahkan adapula
yang membuat perda-perda tersendiri seperti perda pelarangan adanya bangunan
gereja di daerah Tangerang. Sehingga kerap kali Komnas HAM sendiri masih
mendapatkan pengaduan dari kelompok masyarakat yang beragama tertentu, seperti
Islam (Jemaat Ahmadiyah di Indonesia) yang mengalami tindak kekerasan dari
sekelompok orang yang mengatasnamakan agama tertentu; Kristen-Katolik yang
terkait dengan penutupan tempat ibadah; Penghayat Kepercayaan yang terkait
dengan hak-hak sipilnya tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah dan masih
banyak lagi.
Jika kita teliti lebih jauh lagi maka
kita juga akan menemui bagaimana agama dalam konteks tertentu juga dapat
menjadi bumerang bagi pemeluknya sendiri. Bagaimana tidak, hampir di berbagai
daerah terjadi pelanggaran atau diskriminasi sosial berdasarkan afiliasi agama,
keyakinan, dan praktik keagamaan. Hal
tersebut dapat terlihat dari:
a. Pencantuman kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP)
Pencantuman
kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan sistem pendaftaran kependudukan
tersebut menimbulkan diskriminasi atas warga yang bukan anggota salah satu dari
keenam agama yang diakui. [10]
Para penganut animisme, Baha'i dan anggota dari kelompok-kelompok agama
minoritas seringkali mendapatkan kesulitan dalam membuat KTP karena adanya
kolom agama yang harus diisi, mendaftarkan akte kelahiran atau sertifikat
nikah. Ada juga beberapa pendaftar KTP tersebut merasa bahwa lebih mudah untuk
mengisi agama lain dalam formulir mereka sehingga mereka mendapatkan KTP yang
tidak menuliskan agama mereka yang sebenarnya. Misalnya, karena agama
Baha’i tidak dapat dicantumkan di kolom agama di KTP tersebut maka KTP yang mereka
miliki sekarang menyatakan bahwa
diri mereka beragama Islam padahal mereka meyakini kepercayaan agama Baha’i. Mereka
jelas mengalami kebebasan yang terkekang dalam hal pencantuman agama pada kolom
agama di KTP mereka.
b. Pernikahan
Beda Agama
Kasus diskriminasi
sosial berdasarkan afiliasi agama, keyakinan, dan praktik keagamaan lainnya adalah perihal pendaftaran akte kelahiran dan
sertifikat nikah. Meskipun peraturan tentang pernikahan dan adminstrasi catatan
sipil telah dikeluarkan pada bulan Juni 2007 yang menyatakan bahwa ,
pernikahan oleh anggota-anggota Aliran Kepercayaan diakui negara, namun
pasangan beda agama juga masih terus menghadapi berbagai kesulitan untuk
menikah serta mendaftarkannya secara resmi. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 2 ayat (1) ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Menurut penulis, setiap
orang dapat melangsungkan pernikahan yang sah kendati berbeda agama asalkan
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Namun sayangnya masih ada juga pasangan-pasangan tersebut
yang mendapatkan kesulitan dalam mencari pemuka agama yang dapat memimpin dan
merestui upacara pernikahan mereka, sesuai apa yang diwajibkan sebagai syarat
mendaftarkan sebuah pernikahan. Akibatnya, banyak pasangan yang harus menikah
di luar negeri atau mendaftarkan pernikahan mereka ke sebuah Kedutaan Besar.
Bahkan ada juga pasangan yang tidak dapat mendaftarkan pernikahan mereka atau
membuat akte kelahiran bagi anak mereka seringkali terpaksa harus mengubah
status agama mereka atau memalsukan identitas mereka sebagai salah satu anggota
dari keenam agama yang diakui. Pasangan-pasangan yang memutuskan untuk tidak
mendaftarkan pernikahan atau kelahiran anak mereka kemungkinan besar akan menghadapi
berbagai kesulitan di masa depan mereka, seperti tidak bisa mendapatkan akte
kelahiran bagi anak-anak mereka; sesuatu yang dibutuhkan untuk mendaftar
sekolah, beasiswa ataupun melamar perkerjaan sebagai pegawai negeri.
c.
Tuduhan
Sesat
Disisi lain, sekarang
ini kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama semakin menjadi “Superstar” di
berbagai “film-film” kerusuhan akibat kekerasan yang membawa label agama. Namun
seperti yang kita ketahui bersama, sering kali beberapa kasus kekerasan yang
mengatasnamakan agama tersebut dilakukan oleh kelompok garis keras, yakni
kelompok ekstrem yang dengan mengusai simbol agama berusaha menghalalkan
berbagai cara untuk mencapai sebuah perubahan yang mereka anggap baik dan
untuk kepentingan mereka.
Biasanya, kelompok seperti FPI digolongkan sebagai kelompok garis keras.[11]
Mereka melakukan tekanan, intimidasi, bahkan kekerasan terhadap mereka yang
menyebarkan pesan atau melakukan praktik yang dianggap melukai hati mereka. Terkadang
tuntutan-tuntutan politik beberapa kalangan Islam, seperti penegakan syariat
Islam dalam bentuk perda atau fatwa, tidak sensitif terhadap hak dan kebebasan
kaum minoritas, kalangan yang tidak diuntungkan secara ekonomi, sosial dan
politik seperti kaum perempuan, rakyat miskin dan kemudian paham-paham teologi
di luar mainstream seperti Ahmadiyah atau kaum non-Muslim.
Kontroversi
terhadap Ahmadiyah terus terjadi. Kelompok garis keras
kembali melakukan serangan dan menuntut pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Kelompok Ahmadiyah dikenai undang-undang penodaan agama
yang juga dikenakan pada kelompok-kelompok lain yang mengaku masih berhubungan
Islam namun dianggap “ajaran sesat” sesuai dengan Fatwa MUI
yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Jumadil Akhir
1426 H/28 Juli 2005 M tentang aliran Ahmadiyah:[12]
1. Menegaskan
kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa
Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah
murtad (keluar dari Islam).
2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti
Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan
dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang
penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta
menutup semua tempat kegiatannya. Demonstrasi terus
berlangsung di penjuru negeri baik yang mendukung maupun menentang pembubaran.
Para penggiat hak asasi manusia, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, dan para
tokoh dan pimpinan dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama terus menekankan bahwa
tindak pembubaran yang dimaksud adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan
ajaran Islam. Bahkan pemerintah
sendiri membiarkan diskriminasi dan pelecehan atas kelompok Ahmadiyah, dengan
tidak menentang atau menolak fatwa MUI tersebut. Peran
negara, baik eksekutif (Pemerintah Provinsi dan Kota), legislatif (DPRD
Provinsi dan Kota), dan aparat penegak hukum lebih bersikap pasif dan terkesan
membiarkan keluarnya fatwa MUI tersebut. Karena pemerintah dan aparatusnya
menganggap MUI-lah instansi yang mempunyai kapasitas untuk menyelesaikan
permasalahan ini. [13]
Hal tersebut terlihat dari pihak penegak hukum yang gagal menghentikan ataupun
menyelelidiki kasus-kasus pengerusakan berbagai fasilitas milik Ahmadiyah. Padahal
putusan fatwa secara hukum tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa, yang
harus ditaati oleh seluruh umat. Hal tersebut dikarenakan fatwa bukan merupakan
bagian dari hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku secara positif
untuk mengikat dan memaksa di negara ini.
Jika ditinjau ulang
dan melihat sejarahnya, ajaran Ahmadiyah telah masuk ke wilayah Indonesia sejak
tahun 1922. Organisasi Jemaat Ahmadiyah ini berdiri di Padang pada tahun 1929
kemudian pada tahun 1932 di Jakarta. Keberadaan Ahmadiyah ini juga telah diakui
sah secara hukum oleh pemerintah RI dan dianggap sebagai badan hukum
berdasarkan ketetapan Menteri Kehakiman RI dan juga terdaftar di Departemen
Agama pada tanggal 2 Maret 1970, serta Departemen Sosial pada tanggal 15 Mei
1970. Kendati demikian, mereka tetap saja masih mengalami kesulitan untuk
beribadah di Indonesia ini dengan badan hukum yang secara sah sudah mengakui
keberadaannya.
d. Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB) tempat ibadah
Selain Ahmadiyah juga ada kelompok minoritas
lainnya yang juga mengalami kesulitan dalam hal beribadah. Menurut Persekutuan
Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Wahid Institute, pejabat pemda dan
masyarakat lokal telah menutup secara paksa beberapa bangunan gereja yang
memiliki dan tidak memiliki izin.[14]
Sebagian besar gereja yang menjadi sasaran menjadikan rumah-rumah tinggal dan
toko-toko pinggir jalan tempat untuk melakukan kegiatan keagamaan. Sebagian
gereja memindahkan kegiatan ibadah mereka ke tempat-tempat yang disewakan
seperti di pusat-pusat perbelanjaan (mall/plaza) untuk mengurangi potensi
ancaman dari kelompok garis keras. Bahkan ada sebagian gereja-gereja kecil yang tidak mendapatkan perizinan
untuk membangun gerejanya. Padahal ijin mendirikan tempat ibadah sama ijinnya
dengan mendirikan bangunan lainnya yang disebut dengan IMB (Ijin Mendirikan
Bangunan). Memang ironis Indonesia ini, membangun tempat hiburan malam jauh
lebih mudah ketimbang membangun rumah ibadah.
Jika menyinggung masalah penutupan
tempat ibadah, maka salah satu kasus yang mungkin akan langsung muncul dibenak
kita adalah masalah GKI Taman Yasmin Bogor yang telah dinyatakan menang atas
tanah tempat ibadah mereka oleh Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi di
Indonesia. Namun masih tetap tidak dapat mendirikan rumah ibadah dan beribadah
di gedung gereja mereka. Maka tidak adil rasanya bila mereka masih belum
diijinkan untuk mendirikan gereja mereka. Selain itu, pemerintah daerah juga
tidak melakukan tindakan untuk menangani lebih lanjut kasus GKI Taman Yasmin
Bogor ini. Seharusnya pemerintah mampu tegas dalam bersikap. Terlepas dari
masalah menang atau kalahnya GKI Taman Yasmin Bogor atas kasus pembangunan
rumah ibadahnya, pemerintah seharusnya menyadari apa yang menjadi kewajiban
mereka dengan mengingat kembali Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 pasal (2) yang
dengan jelas menegaskan masalah ini: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.” Artinya, negara harus memberikan perlindungan terhadap setiap warga
negaranya untuk melaksanakan ibadah keagamaan/ kepercayaan. [15]
Sebab dari UU tersebut terpapar jelas bahwa negara berkewajiban melindungi dan
memenuhi hak atas kebebasan beragama dan kepercayaan.
Salah satu contohnya adalah perihal
bagaimana sikap dari Walikota Bogor atas pelarangan mendirikan rumah ibadah GKI
Taman Yasmin Bogor. Walikota tersebut tidak mengindahkan keputusan dari MA yang
telah menyatakan kemenangan atas kasus ini berpihak pada GKI Taman Yasmin Bogor
sehingga GKI Taman Yasmin Bogor masih belum dapat menggunakan gedung gereja
mereka. Padahal sebelumnya GKI Taman Yasmin Bogor telah mengantongi SK Walikota
Bogor tentang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Kasus GKI Taman Yasmin Bogor ini
merupakan bukti nyata dari terlanggarnya hak kebebasan beragama dan beribadah
serta menunjukkan lemahnya perlindungan dan jaminan negara terhadap golongan
minoritas.
Diakui
tapi tidak mendapat perlakuan yang sama (didiskriminasi) sama saja artinya
dengan mendapat kebebasan tetapi tetap terkekang (kebebasan yang ter(di)kekang).
Jika selama ini kita menganggap bahwa hanya agama-agama
yang diakui saja yang tidak mendapat perlakuan diskriminatif sedangkan agama
diluar agama-agama tersebut mengalami diskriminasi, maka kita berada dalam pemikiran
yang salah. Salah satu contoh agama yang diakui yang juga mengalami
diskriminasi adalah penganut agama Hindu. Walapun agama Hindu telah menjadi
salah satu dari agama-agama yang diakui pemerintah, umat Hindu seringkali harus
melakukan perjalanan jauh untuk mendaftarkan pernikahan mereka, karena di
daerah-daerah pedesaan para pemerintah setempatnya tidak dapat atau tidak mau
melakukan pendaftaran tersebut. Selain itu, disebagian sekolah-sekolah negeri
juga belum menyediakan kurikulum pelajaran agama Hindu. Oleh karena itu, kerap
kali masih ada juga anak-anak yang terpaksa tidak naik kelas karena tidak
mengikuti pelajaran agama dan ujiannya.Bahkan ada pula sebagian anak yang
terpaksa mengikuti kurikulum pelajaran dari agama lain.
Kesimpulan
Agama bertujuan, antara lain, untuk
kerukunan dan kedamaian hidup manusia. Negara pun ada untuk, antara lain, untuk
kehidupan yang rukun dan damai. Dari perspektif agama, negara adalah instrumen
yang dibuahkan dari peradaban umat beragama demi mengoptimalkan pencapaian
tujuan agama. Dengan demikian, seharusnya dengan agama dan negara maka
kerukunan dan kedamaian kian teraih. Namun ternyata realita menunjukkan
sebaliknya. Agama-agama yang sejatinya mempunyai visi kedamaian dan cinta kasih
antar sesama, kini hadir di tengah masyarakat sebagai pembawa perpecahan. Agama
menjadi alasan paling kuat bagi disintegrasi negara.
Bayangkan bagaimana damainya dunia ini
apabila semua agama-agama yang seluruhnya mengajarkan cinta kasih itu terjalin
dalam suatu rangkaian kehidupan yang harmonis. Namun sayangnya tidak demikian.
Itu hanya khayalan tingat tinggi. Harmoni yang menjadi impian banyak pihak ini
mulai menjauh dari kehidupan kita. Perbedaan yang dulu kita anggap sebagai
anugerah, kini malah menjadi biang gerah. Keragaman yang dulu menjadi
keindahan, kini malah memantik persoalan untuk dipertentangkan. Kita tidak
memiliki empati untuk menghormati, menghargai, apalagi mengapresiasikan
keragaman dan perbedaan yang ada di sekitar kita. Kita tidak lagi menjadikan
kemajemukan sebagai modal berharga untuk membangun kehidupan yang menjanjikan.
Kita tidak memelihara kata toleransi di dalam kamus pribadi kita. Hal semacam
inilah yang berimbas pada penderitaan banyak orang yang kebetulan minoritas di
tengah komunitas mayoritas.
Keberagaman ini sebenarnya dapat menjadi
berkah seadainya keanekaragaman itu dihargai dan menjadi modal untuk kemajuan
bangsa Indonesia. Tetapi dapat juga menjadi musibah jika kemajemukan itu
diabaikan dan dipaksakan menjadi tunggal. Hal yang kerap menjadi masalah kita
adalah kita menganggap bahwa dengan adanya agama lain diluar agama kita maka
akan melahirkan suatu kondisi buruk yang dapat menjadi sumber permasalah besar
yang nantinya akan mampu menikam kita hingga mati tak berdaya jika tidak segera
dibabat tuntas. Meski memang tidak dapat dipungkiri juga bahwa setiap agama
memiliki ajaran, sistem ritual atau normatif yang berbeda-beda, antara yang
satu dengan yang lainnya. Tetapi rasa kemanusiaan, keadilan, keprihatinan
terhadap lingkungan yang buruk, menolong orang-orang yang terpinggirkan,
seperti orang miskin, wanita, anak-anak dan orang tua, itu sama. Jadi menurut
penulis, itu bukan hal yang relatif, tetapi justru absolut. “Absolut” ide
dasarnya, tetapi “relatif” dalam pelaksanaan dan implementasinya. Jadi tidak
sepantasnya kita terus-menerus masih saling membeda-bedakan agama yang satu
dengan yang lain. Apalagi Tuhan sendiri juga tidak melakukan pembedaan atas
kita. Oleh karena itu sudah sepantasnya kita juga tidak membeda-bedakan sesama
kita apalagi sampai membenci dan
menyakiti mereka dengan menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama
hanya karena mereka berbeda dengan kita.
Sebenarnya
agama diharapkan dapat menjadi sumber kasih yang hakiki sebab agama mengajarkan
kasih yang kita peroleh dari Allah yang begitu mengasihi kita. Sayangnya kerap
kali agama ini disalahgunakan oleh sebagian pihak untuk menindas sesamanya yang
minoritas. Padahal dengan tindakan yang demikian, maka jelas terlihat bahwa
kita sama sekali belum mampu menangkap apa esensi dan fungsi dari agama yang
mengajarkan cinta kasih itu.
Masyarakat juga tidak seharusnya menjadi
masyarakat yang menutup diri dari keberagaman. Melainkan dapat menjadi
masyarakat yang sadar akan pluralisme dengan cara tidak berbuat semena-mena
terhadap kelompok minoritas. Sebagai warga negara Pancasila, masyarakat juga
sudah sepatutnya sadar hukum dan UU. Masyarakat tidak sepantasnya menyegani
fatwa-fatwa yang bertentangan dengan UU dan Konstitusi. Namun sayangnya sejauh
ini Konstitusi sendiri belum memainkan perannya dalam menjamin pluralisme di
Indonesia. Beberapa UU masih saja dilanggar oleh sebagian orang. Namun
fatwa-fatwa MUI dan perda-perda kadang terlihat lebih disegani daripada UU yang
telah ditetapkan negara. Untuk itu, Konstitusi yang berhubungan dengan
perundang-undangan tersebut perlu memainkan perannya. Selain itu, juga harus
mampu mengayomi kelompok minoritas dengan UU-nya tersebut.
Mengingat bahwa begitu majemuknya keyakinan dan agama
yang ada di Indonesia, maka sudah sepantasnya negara wajib menjamin pemenuhan,
perlindungan dan kemajuan atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai
bentuk perwujudan HAM yang mendasar, hak konstitusi, maupun hak sipil setiap
warga negara. Hal ini diharapkan dapat terjadi agar setiap orang berhak menjalankan
agamanya dan keyakinannya tanpa adanya tekanan, intimidasi dan diskriminasi
dengan penuh tanggung jawab, tetap memenuhi koridor hukum yang berlaku di
negara ini dan menghormati pemeluk agama lainnya. Demi terwujudnya kebebasan
HAM yang hakiki yang pada akhirnya akan dapat menjaga keseimbangan kehidupan
sosial di Indonesia.
Diharapkan juga, pemerintah mempunyai regulasi-regulasi
yang jelas, yang mengatur tata tertib kebebasan beragama ini secara lebih
tegas. Tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya dan kemanusiaan sesuai dengan
Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara. Sehingga kegamangan
pemerintah dalam menindak berbagai aliran dan ajaran yang dianggap sesat dan
dapat menyesatkan dapat diantisipasi secara dini dan meminimalisir konflik horizontal
di tingkat massa umat. Pemerintah juga semestinya memberikan pendidikan dan
pelatihan kepada aparatur negara untuk memahami berbagai masalah kebebasan
beragama yang akhir-akhir ini sudah menjadi isu nasional yang dapat merusak
tata kehidupan sosial di masyarakat. Selain itu, pemerintah dan gereja (agama
lain juga), juga harus memberikan pemahaman kepada rakyatnya tentang hak dan
kewajiban rakyat dalam memeluk agama dan keyakinannya secara bebas dan
bertanggungjawab.
Terkait dengan perundang-undangan, rasanya
keseluruhan peraturan dan undang-undang tersebut harus direvisi dengan mengacu
kepada substansi ajaran semu agama dan kepercayaan yang pasti selalu akomoditif
terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Selain itu juga harus mengacu
kepada hal kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam Pancasila, konstitusi
UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hanya dengan begitu masyarakat dan
pemerintah dapat bekerja sama membangun kehidupan beragama yang sejuk, damai
dan sejahtera yang di dalamnya terjamin kemerdekaan beragama bagi setiap
individu tanpa diskriminasi sedikit pun. Negara hendaknya tidak melibatkan diri
dalam perdebatan mengenai konsep “agama” dan “kepercayaan”. Sebab sikap yang
demikian akan sejalan dengan tidak dinyatakannya di dalam UUD 1945 salah salah
satu agama atau kepercayaan sebagai agama atau kepercayaan negara. Pemerintah
tidak perlu menetapkan mana jenis agama dan kepercayaan yang diperbolehkan
/diakui atau mana yang tidak diperbolehkan/ tidak diakui.
Sedangkan
untuk MUI sebagai lembaga agama yang dipercaya pemerintah dalam menangani
berbagai persoalan agama khususnya umat Islam jangan terlalu gegabah untuk
menerbitkan sebuah fatwa yang menyatakan sebuah keyakinan itu sesat dan dapat
menyesatkan sebelum dilakukan penelitian yang mendalam terhadap sebuah ajaran
itu. Sebab hal itu akan menjadi sesuatu yang buruk terkait dengan pelanggaran
HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Daftar Pustaka
Alamsyah M Dja’far, Ema Mukarramah
dan Febi Yonesta. Mengadili Keyakinan: Kajian
Putusan Mahkamah
Konstitusi Atas UU Pencegahan Penodaan Agama. Yogyakarta:
Naufan Pustaka dan ICRP (Indonesian
Conference on Religion and Peace), 2011.
Antone,
Hope S. Pendidikan Kristiani Kontekstual:
Pertimbangan Realitas Kemajemukan dalam
Pendidikan Agama.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Beuken,
Wim & Karl-Josef Kuschel. Agama
sebagai Sumber Kekerasan?. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1997.
Jurnal Harian Praktek Lapangan
Penulis.
Kafid, N. ToR Gus Dur
Memorial Lecture. Jakarta, 2011.
Kristianto, Agustinus
Edy. Refleksi Keberagaman Agama: Hukum
Sesat dan Menyesatkan
Hukum. Jakarta:
YLBHI, 2008.
Magnis-Suseno, Franz. Berebut Jiwa Bangsa: Dialog, Perdamaian, dan
Persaudaraan. Jakarta:
Kompas, 2006.
Thangaraj, M. Thomas. Relating to People of Other Religions: What
Every Christian Needs to
Know. Nasville:
Abingdon Press. 1997.
Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus
Besar Bahasa
Indonesia edisi ke- 4. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Sumber dari internet:
[2]
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia
edisi
keempat, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1994).
[3]
Agama Baha’i adalah
[4]
Agustinus Edy Kristianto, Refleksi
Keberagaman Agama: Hukum Sesat dan Menyesatkan Hukum, (Jakarta: YLBHI,
2008), 32.
[5]
Wim Beuken & Karl-Josef Kuschel, Agama sebagai Sumber Kekerasan?
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), 63-65.
[6]
M. Thomas Thangaraj, Relating to People
of Other Religions: What Every Christian Needs to Know, (Nasville: Abingdon
Press, 1997), 87.
[7]
Hope S. Antone, Pendidikan Kristiani Kontekstual: Pertimbangan Realitas Kemajemukan
dalam Pendidikan Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 41.
[8] ibid,
42.
[9]
www.docstoc.com/docs/27245660/2006-Ringkasan-Eksekutif
diakses
oleh Shandy Joan Barus pada hari Sabtu, 28 April 2012 pukul 14.00 WIB.
[10]
Alamsyah M Dja’far, Ema Mukarramah dan Febi Yonesta, Mengadili
Keyakinan: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Atas UU Pencegahan Penodaan
Agama, (Yogyakarta: Naufan Pustaka dan ICRP (Indonesian Conference on
Religion and Peace), 2011), 13.
[11]
www.kaskus.us/showthread.php?p=426039377#post426039377 diakses
oleh Shandy Joan Barus pada hari Sabtu, 28 April 2012 pukul 14.00 WIB.
[12]
http://moslemsunnah.wordpress.com/2009/06/12/fatwa-mui-tentang-kesesatan-ahmadiyah/ diakses oleh Shandy Joan Barus pada hari Sabtu, 28 April 2012 pukul
14.00 WIB.
[13]
ibid, 25.
[14]
http://www.wahidinstitute.org/Opini/Detail/?id=228/hl=id/Setop_Penutupan_Gereja
diakses
oleh Shandy Joan Barus pada hari Selasa, 28 Juli 2011 pukul 14.00 WIB.
[15]
Franz Magnis-Suseno, Berebut Jiwa Bangsa:
Dialog, Perdamaian, dan Persaudaraan, (Jakarta: Kompas, 2006), 368.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar