Rabu, 23 Januari 2013

Kebebasan Beragama yang di(ter)kekang di Indonesia



 
Kebebasan Beragama yang di(ter)kekang di Indonesia

Pendahuluan
Isu tentang pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sepertinya belum juga tertuntaskan hingga kini. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa kebebasan beragama menghadapi tantangan yang serius. Peristiwa demi peristiwa yang mendiskreditkan suatu komunitas agama minoritas tampak menjadi sebuah hiasan berita yang bebas untuk di konsumsi oleh masyarakat. Berbicara mengenai agama memang bagaikan berbicara tentang sebuah koin yang memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, agama dipahami sebagai sebuah jalan dan penjamin keselamatan, cinta, dan perdamaian. Namun di sisi lain, sejarah membuktikan bahwa agama justru dapat menjadi sumber, penyebab, dan alasan bagi kehancuran serta kemalangan, bahkan dapat menjadi bencana bagi umat manusia. Karena agama, orang dapat saling mencintai satu sama lain, dan atas nama agama pula, orang dapat saling membunuh dan menghancurkan. Sekarang ini, sebagian orang semakin pesimis dalam menanggapi agama, sehingga kemudian menumbuhsuburkan pemikiran mereka bahwa keberadaan agama hanya mempersulit keadaan kita di dunia ini. Tetapi coba bayangkan apa jadinya kita bila di dunia ini tidak ada yang namanya agama? Kira-kira apa yang akan terjadi dengan kita? Bagaimana pula jadinya jika agama digantikan posisinya dengan konsep pemikiran-pemikiran yang cemerlang atau dengan mesin-mesin canggih? Atau dengan kata lain rasionalisme menggantikan agama melalui sekularisasi?
Persoalan agama dan ruang publik memang layak untuk dibicarakan kembali sekarang ini. Pasalnya, sekarang ini agama sudah go public. Artinya, agama sudah memasuki ruang publik dan meraih publisitas. Hal ini terlihat dari serangkaian peristiwa yang terjadi di ruang publik belakangan ini semakin meresahkan, seperti bangkitnya simbolisasi agama, maraknya peraturan daerah (perda-perda) syariat, serangkaian aksi kekerasan serta terorisme atas nama agama, penutupan rumah ibadah, dan beberapa tindakan-tindakan lainnya yang terlahir sebagai wujud penolakan atas kebebasan beragama di Indonesia. Jika selama ini kekerasan yang mengatasnamakan agama hanya dipahami lewat radikalisme para teroris yang rela mengorbankan dirinya lewat bom bunuh diri demi agamanya, maka disisi lain ada pula kekerasan terhadap para pemeluk dan kelompok-kelompok agama berupa tekanan dan ketidakbebasan menganut serta menjalankan agama dan keyakinannya.
Kondisi ter(di)kekangnya kebebasan beragama mencerminkan betapa rumitnya hubungan antar negara dan agama di Indonesia. Negara sebagai otoritas politik tertinggi yang semestinya menjadi pengayom bagi semua warga negara terbukti telah melakukan semacam diskriminasi terhadap penganut ajaran agama yang bersumber dari kearifan lokal. Negara yang seharusnya berada di atas semua golongan, kelompok, dan agama sering (cenderung) berperilaku memihak dan digunakan sebagai alat pemukul. Negara yang seharusnya memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengelola keragaman dan perbedaan malah membuat berbagai hukum dan kebijakan yang tidak bisa mengakomodir dan menghargai keragaman tersebut[1]. Selain itu minimnya pemahaman yang pluralis di masyarakat juga semakin mempersempit wilayah kebebasan beragama di Indonesia. Tidak sedikit dari masyarakat yang belum memahami perihal kebebasan beragama dan UU yang mengatur kebebasan tersebut. Oleh karena itu, acap kali sebagian masyarakat malah menghakimi sesamanya sendiri dengan berbagai tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama tanpa mengerti UU-nya. Sebagai contoh adalah tuduhan sesat yang dilemparkan kepada kepada Jemaat Ahmadiyah dan penutupan tempat ibadahnya beberapa waktu yang lalu.
Berangkat dari isu yang sepertinya semakin hari semakin sulit untuk diselesaikan tersebut, maka melalui paper ini penulis berusaha mengedepankan beberapa masalah kebebasan beragama di Indonesia. Masalah ini terkait dengan bagaimana masyarakat yang belum sadar pluralisme dapat membangun pemahaman yang pluralis. Selain itu juga berkaitan erat dengan konstitusi yang ada di tengah keterancaman pluralisme saat ini. Penulis hendak menjelaskan tentang agama dan kekerasan khususnya perihal kekerasan terhadap kelompok-kelompok atau penganut agama dan keyakinan yang tidak mendapat kebebasannya, serta keterkaitannya dengan hak asasi manusia (HAM) dan undang-undang (UU) yang berlaku di negara Indonesia. Di dalam paper ini penulis juga menyinggung perihal  bagaimana seharusnya membangun harmoni di tengah keragaman yang ada, khususnya terkait dengan masalah kebebasan sebagai tanggapan atas persoalan keterkekangan sebagian kelompok agama dan keyakinan di Indonesia dalam menjalankan peribadahannya. Penulis menyadari bahwa isu tersebut memang masih sulit untuk diselesaikan, tetapi bukan tidak mungkin suatu saat nanti isu tersebut akan dapat juga terselesaikan. Penulis sadar bahwa banyak keterbatasan dalam memaparkannya persoalan secara mendalam. Namun penulis juga berharap agar paper sederhana ini dapat menjadi secercah cahaya yang menerangi cakrawala nalar kita yang tak terbatas ini agar mampu memahami perihal kekerasan terhadap kelompok-kelompok agama dan keyakinan minoritas, sehingga lubang kekerasan yang mengatasnamakan agama yang menganga lebar tersebut mampu kita hindari bahkan kita tutup bersama.

Keberagaman Agama dan Keyakinan
Sekarang ini, keberagaman bukanlah sesuatu yang tabu lagi. Keberagaman kini menjadi salah satu isu yang menarik untuk diperdebatkan karena tidak semua orang dapat menerimanya dengan baik. Ada  sebagian orang yang memang menolak keberagaman. Namun tidak sedikit pula orang yang malah menerima keberagamannya dengan terbuka.
Berbicara soal keberagaman, tentu kita akan menyinggung soal perbedaan dan kesamaan. Salah satunya adalah agama. Agama adalah suatu ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta manusia dengan lingkungannya. [2] Agama yang “diakui” di Indonesia hanyalah “agama-agama impor pilihan” seperti Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghuchu. Sedangkan kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan, Penghayat Kepercayaan, Parmalim atau “agama impor yang tidak diakui”  seperti agama Baha’i sekalipun hanya dianggap sebagai aliran sempalan. [3] Bahkan adapula agama atau kepercayaan lain yang tidak dianggap sama sekali. Mungkin dikarenakan jumlah penganutnya yang minoritas, maka eksistensi agama-agama pribumi ini tertimbun oleh popularitas “agama-agama impor” yang dianut oleh banyak masyarakat Indonesia sekarang ini. Bahkan secara kasat mata, negara sering kali mengabaikan pemenuhan kewajibannya terhadap para penganut “agama-agama lokal”.
Disadari atau tidak, ketika agama masuk ke ranah publik, ia cenderung digunakan sebagian kalangan untuk memukul rata kepentingan dan kebutuhan masyarakat tanpa melihat konteks ruang dan waktunya. [4] Namun di sisi lain, ketika agama diposisikan hanya pada ruang privat, ia tidak lebih dari sekadar menjadi sistem keyakinan personal yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan sosial dan modernisasi yang semakin cepat (dalam hal ini negara). Dalam konteks ini, peran agama seolah termarginalkan dari segala sesuatu yang berkaitan dengan modernitas dan hanya berisi ritus-ritus suci keagamaan saja.
 Pada dasarnya, keberagaman atau pluralisme bukan hanya baru terjadi beberapa abad yang lalu. Keberagaman bahkan sudah ada sejak awal penciptaan alam ini. Tuhan sendiri menciptakan banyak keberagaman di dunia ini. Bahkan akan menjadi aneh rasanya jika tidak ada keberagaman di dunia ini. Namun sayangnya, kekerasan yang banyak terjadi di tengah masyarakat memperlihatkan bahwa masyarakat belum mampu menerima keberagaman yang ada secara tepat. Penolakan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa ada sebagian dari masyarakat Indonesia yang belum mampu  menerima keberagaman/pluralitas tersebut. Menurut Kuschel, kekerasaan yang muncul setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, ada kesalahpahaman tentang ajaran agama. Kedua, adanya perasaan terancam. [5] Selain itu, cara pandang yang berbeda terhadap agama lain di luar agamanya juga dapat menjadikan masyarakat terkondisikan untuk melakukan kekerasan berlandaskan agama semakin membabi buta agama lain.
Bagi sebagian orang, pendidikan dan aktivitas antariman, haruslah dipusatkan pada kekayaan iman masing-masing agar mempunyai potensi yang mempersatukan. Namun sebagian lainnya melihat, bahwa pentingnya memahami perbedaan-perbedaan, mempelajari berbagai keterampilan untuk hidup bersama, meneliti, dan menghargai perbedaan-perbedaan adalah suatu hal yang patut ditekankan. [6] Harus diakui bahwa kekerasan agama tidak hanya terjadi kepada mereka yang memiliki iman yang berbeda, namun juga kepada mereka yang memiliki perspektif iman yang berbeda meskipun masih berada di dalam agama atau kepercayaan yang sama. Selain itu, kekerasan pun acap kali terjadi terhadap ideologi yang berbeda terutama kepada kelompok minoritas yang lain. Hal ini dapat terjadi karena adanya benih kebencian yang terus dipupuk. Mungkin sebagian orang selalu terbiasa untuk melihat segala sesuatu yang berbeda dengan dirinya dengan pemaknaan sesat dan menyimpang. Oleh karena itu, setidaknya ada dua sikap atas keberagaman yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.      Mencerminkan mentalitas agar semuanya menjadi satu. Sikap ini menampakkan diri menerima keberagaman, namun sebenarnya gelisah menghadapai keberagaman itu.
2.      Menerima keberagaman sebagai kenyataan esensial dari kehidupan manusia dan masyarakat, lalu berusaha menemukan jalan untuk memahami perannya yang dinamis dalam realitas yang majemuk. Penerimaan keberagaman tidak dimaksudkan untuk mengorbankan pertimbangan-pertimbangan kritis. Namun sering kali kita menyaksikan adanya kesalahpahaman, seolah-olah kita harus menyampaikan pertimbangan-pertimbangan kritis agar dapat berperan antarbudaya dan antariman.
            Berbicara mengenai sikap masyarakat terhadap keberagaman, banyak pendidik, sarjana, dan bahkan teolog yang mengamati pendekatan-pendekatan umum terhadap keberagaman tersebut dan bagaimana pendekatan-pendekatan ini berdampak terhadap praktek pendidikan agama dan atau pendidikan Kristiani. John Hick, seorang filsuf Inggris mencatat tiga pendekatan yang terangkum dalam artikelnya yang berjudul “Religious Pluralisme” yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Pendekatan-pendekatan ini merupakan respons terhadap keberagaman jenis apa pun, tidak hanya keberagaman agama dan keyakinan. Respons-respons ini tidak hanya bersifat tingkah laku (behavioral), tetapi juga terkait dengan sikap (attitudinal). [7]
Mengenai ekslusivisme, Hick mengatakan bahwa pendekatan ini adalah semacam sikap arogansi agama ketika diperhadapkan dengan kepercayaan lain. Terlebih lagi ketika suatu agama merasa pendiriannya ditantang oleh alternatif lain. Mengenai inklusivisme, Hick menjelaskan bahwa pendekatan ini sebenarnya terbuka dengan “yang lain”, namun secara bersamaan juga tetap memegang teguh keyakinannya. Dengan kata lain, di tengah keberagaman yang ada, golongan ini masih mempertahankan suatu keyakinan tertentu yang dianggapnya sebagai kebenaran yang paling mutlak sedangkan yang lain itu hanya mencerminkan beberapa aspek dari kebenaran tersebut. [8] Selanjutnya pluralisme diartikan sebagai pandangan yang mengadakan kesetaraan pada setiap agama. Pendekatan ini memberi kesempatan untuk berdialog secara terbuka dengan yang berbeda agama. Dialog ini memiliki komitmen untuk memberi dan menerima pemahaman dari agama lain. Pendekatan golongan ini mengakui adanya keterbatasan pandangan-pandangan mereka, dan terus berupaya mencari pemahaman tersebut dengan mempelajari istilah-istilah atau nilai-nilai dari yang lain melalui dialog-dialog. Namun sayangnya, ada sebagian pihak yang mengaku bersikap pluralisme tetapi sesungguhnya mereka telah bersikap inklusivisme. Atau malah ada yang mengaku inklusif tetapi malah memperlihatkan sikap pluralisme dalam setiap tindakan mereka.
Tidak dapat dipungkiri, penolakan terhadap keberagaman agama atau keyakinan tersebut jelas akan memicu kekerasaan yang mengatasnamakan agama,sehingga menjadikan agama dan keyakinan itu seolah menjadi ancaman tersendiri bagi pemeluknya. Kita sendiri terkadang berpikir sempit mengenai keberagaman tersebut karena sejak kecil pun kita sudah diajar dan dididik untuk tidak menerima keberagaman tersebut. Akan tetapi, akan menjadi sangat disayangkan nantinya apabila agama terus menerus menjadi sebuah ancaman dan bencana bagi pemeluknya. Sehingga dalam kadar tertentu, muncul keinginan dari pemeluk agama atau keyakinan itu untuk lebih baik tidak beragama daripada beragama namun penuh dengan tekanan dan rasa khawatir serta takut dengan bayang-bayang kekerasan.

Kebebasan yang Terkekang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bebas berarti lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu) sehingga dapat bergerak, berbicara, dan berbuat. Sedangkan kebebasan adalah suatu keadaan bebas. Oleh karena itu kebebasan beragama artinya bebas memeluk salah satu dari keberagaman agama yang ada sebagai agama yang diyakini.
Kebebasan beragama dihambat di banyak negara Islam, seperti di Saudi Arabia yang melarang adanya praktik agama di depan umum selain agama Islam; di Iran, kaum Baha’i tidak mempunyai hak-hak hukum dan ditindas; dan di Palestina orang-orang Arab Kristen sering menjadi korban penindasan agama oleh orang-orang Muslim. Sayangnya di Indonesia sendiri yang bukan merupakan negara Islam telah melakukan hal yang sama kepada sebagian agama minoritas. [9] Kenyataan yang cukup miris ketika keberagaman agama dan keyakinan yang kita jumpai di Indonesia ternyata tidak dapat diterima begitu saja oleh sebagian pihak. Masih ada saja pihak-pihak/kelompok agama mayoritas yang terus menekan pihak-pihak/kelompok agama minoritas. Hal tersebut membuktikan bahwa di negara yang sudah merdeka inipun kita masih belum merdeka. Kita belum dapat menikmati kebebasan yang benar-benar terbebas dari keterkekangan. Akan miris mendengarnya jika di negara yang sudah merdeka seperti Indonesia masih terdengar celetukan pertanyaan “Sudahkah kita merdeka? Apakah kemerdekaan itu sudah benar-benar kita raih?” Pertanyaan yang jujur seperti itu mengarah kepada setiap orang yang ber-KTP Indonesia. Bagi warga negara Indonesia yang kebetulan masuk Ahmadiyah, mungkin akan menjawab tidak. Kemerdekaan mereka telah direnggut oleh saudara mereka sendiri. Beberapa penganut kepercayaan di berbagai daerah juga barangkali akan menjawab tidak. Sebab kebebasan mereka memeluk kepercayaannya tidak diberi hak hidup sebagaimana semestinya.
Kenyataannya, kemerdekaan hanya dimiliki oleh sebagian warga negara saja. Sementara warga negara lain ditindas dan dijajah haknya. Kata “merdeka” demikian kompleks, masih menyisakan lorong-lorong berliku untuk meraihnya. Merdeka artinya masing-masing orang harus mengerti dan menghargai bahwa setiap orang berhak membuat pilihannya sendiri, baik dalam bentuk keyakinan, pendapat ataupun yang lainnya. Merdeka artinya bebas dan tidak terkekang.
Tidak bebas dan terkekang adalah salah satu bentuk kekerasan. Namun sekarang ini di Indonesia telah berkembang istilah “Kebebasan yang Ter(di)kekang” yang membebaskan setiap warga negara memeluk agama, namun mengekangnya dengan rantai enam agama. Artinya, semua warga negara Indonesia berhak memeluk agama asalkan sesuai dengan keenam agama yang diakui oleh negara. Tetapi agama-agama yang dianut diluar dari agama-agama itu akan menimbulkan suatu permasalahan. Secara umum, pemerintah menghormati kebebasan menjalankan ibadah enam agama yang resmi diakui. Namun demikian pembatasan dari pemerintah yang terus berlangsung, khususnya agama yang tidak diakui dan sekte agama yang dianggap menyimpang dari agama yang diakui merupakan pengecualian dari pelaksanaan penghormatan kebebasan beragama tersebut.
Kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan di Indonesia ini memang masih terombang-ambing. Beberapa kasus kekerasan terhadap pemeluk agama atau keyakinan kian menjadi masalah yang semakin renyah untuk diperbincangkan, tetapi (seolah) semakin basi untuk diselesaikan. Kekerasan yang terjadi seolah tidak dapat dihentikan baik oleh pemerintah maupun oleh komunitas agama itu sendiri. Padahal negara sendiri sudah memberi jaminan perundang-undangan, antara lain sebagai berikut:
·        Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 E ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.” (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.”
·        Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 I ayat (2) “Setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
·        Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 pasal (2) jelas menegaskan masalah ini: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
·        Hal ini juga senafas dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM pasal 18, yakni : ”Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”
·        Dalam perkembangan berikutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPR tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai HAM yang tertera pada pasal 13: “Setiap orang bebas memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
·        Isu kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), ditemukan juga dalam berbagai dokumen historis tentang HAM, seperti dokumen International Bill of Rights (1966), Rights of Man France (1789), dan Bill of Rights of USA (1791). Pasal 2 DUHAM menyatakan: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”
·        UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik pasal 18 ayat (1) “ Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. “ Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama dan kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. (2) “Tidak seorangpun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.”
·        UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 22 ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” (2) “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu.
·        UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 1 ayat (6) “Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang sengaja melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
Merujuk pada undang-undang diatas, seharusnya tidak ada lagi alasan bagi sebagian kelompok agama untuk berbuat semena-mena terhadap kelompok agama lainnya. Namun pada kenyataannya jaminan perundang-undangan ini tidak dihiraukan oleh sebagian pihak. Bahkan adapula yang membuat perda-perda tersendiri seperti perda pelarangan adanya bangunan gereja di daerah Tangerang. Sehingga kerap kali Komnas HAM sendiri masih mendapatkan pengaduan dari kelompok masyarakat yang beragama tertentu, seperti Islam (Jemaat Ahmadiyah di Indonesia) yang mengalami tindak kekerasan dari sekelompok orang yang mengatasnamakan agama tertentu; Kristen-Katolik yang terkait dengan penutupan tempat ibadah; Penghayat Kepercayaan yang terkait dengan hak-hak sipilnya tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah dan masih banyak lagi.
Jika kita teliti lebih jauh lagi maka kita juga akan menemui bagaimana agama dalam konteks tertentu juga dapat menjadi bumerang bagi pemeluknya sendiri. Bagaimana tidak, hampir di berbagai daerah terjadi pelanggaran atau diskriminasi sosial berdasarkan afiliasi agama, keyakinan, dan praktik keagamaan. Hal tersebut dapat terlihat dari:
a.    Pencantuman kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP)
Pencantuman kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan sistem pendaftaran kependudukan tersebut menimbulkan diskriminasi atas warga yang bukan anggota salah satu dari keenam agama yang diakui. [10] Para penganut animisme, Baha'i dan anggota dari kelompok-kelompok agama minoritas seringkali mendapatkan kesulitan dalam membuat KTP karena adanya kolom agama yang harus diisi, mendaftarkan akte kelahiran atau sertifikat nikah. Ada juga beberapa pendaftar KTP tersebut merasa bahwa lebih mudah untuk mengisi agama lain dalam formulir mereka sehingga mereka mendapatkan KTP yang tidak menuliskan agama mereka yang sebenarnya.  Misalnya, karena agama Baha’i tidak dapat dicantumkan di kolom agama di KTP tersebut maka KTP yang mereka miliki sekarang menyatakan bahwa diri mereka beragama Islam padahal mereka meyakini kepercayaan agama Baha’i. Mereka jelas mengalami kebebasan yang terkekang dalam hal pencantuman agama pada kolom agama di KTP mereka.
b.    Pernikahan Beda Agama
Kasus diskriminasi sosial berdasarkan afiliasi agama, keyakinan, dan praktik keagamaan lainnya adalah perihal pendaftaran akte kelahiran dan sertifikat nikah. Meskipun peraturan tentang pernikahan dan adminstrasi catatan sipil telah dikeluarkan pada bulan Juni 2007 yang menyatakan bahwa , pernikahan oleh anggota-anggota Aliran Kepercayaan diakui negara, namun pasangan beda agama juga masih terus menghadapi berbagai kesulitan untuk menikah serta mendaftarkannya secara resmi. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 2 ayat (1) ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Menurut penulis, setiap orang dapat melangsungkan pernikahan yang sah kendati berbeda agama asalkan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Namun sayangnya masih ada juga pasangan-pasangan tersebut yang mendapatkan kesulitan dalam mencari pemuka agama yang dapat memimpin dan merestui upacara pernikahan mereka, sesuai apa yang diwajibkan sebagai syarat mendaftarkan sebuah pernikahan. Akibatnya, banyak pasangan yang harus menikah di luar negeri atau mendaftarkan pernikahan mereka ke sebuah Kedutaan Besar. Bahkan ada juga pasangan yang tidak dapat mendaftarkan pernikahan mereka atau membuat akte kelahiran bagi anak mereka seringkali terpaksa harus mengubah status agama mereka atau memalsukan identitas mereka sebagai salah satu anggota dari keenam agama yang diakui. Pasangan-pasangan yang memutuskan untuk tidak mendaftarkan pernikahan atau kelahiran anak mereka kemungkinan besar akan menghadapi berbagai kesulitan di masa depan mereka, seperti tidak bisa mendapatkan akte kelahiran bagi anak-anak mereka; sesuatu yang dibutuhkan untuk mendaftar sekolah, beasiswa ataupun melamar perkerjaan sebagai pegawai negeri.
c.    Tuduhan Sesat
Disisi lain, sekarang ini kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama semakin menjadi “Superstar” di berbagai “film-film” kerusuhan akibat kekerasan yang membawa label agama. Namun seperti yang kita ketahui bersama, sering kali beberapa kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama tersebut dilakukan oleh kelompok garis keras, yakni kelompok ekstrem yang dengan mengusai simbol agama berusaha menghalalkan berbagai cara untuk mencapai sebuah perubahan yang mereka anggap baik dan untuk kepentingan mereka. Biasanya, kelompok seperti FPI digolongkan sebagai kelompok garis keras.[11] Mereka melakukan tekanan, intimidasi, bahkan kekerasan terhadap mereka yang menyebarkan pesan atau melakukan praktik yang dianggap melukai hati mereka. Terkadang tuntutan-tuntutan politik beberapa kalangan Islam, seperti penegakan syariat Islam dalam bentuk perda atau fatwa, tidak sensitif terhadap hak dan kebebasan kaum minoritas, kalangan yang tidak diuntungkan secara ekonomi, sosial dan politik seperti kaum perempuan, rakyat miskin dan kemudian paham-paham teologi di luar mainstream seperti Ahmadiyah atau kaum non-Muslim.
Kontroversi terhadap Ahmadiyah terus terjadi. Kelompok garis keras kembali melakukan serangan dan menuntut pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Kelompok Ahmadiyah dikenai undang-undang penodaan agama yang juga dikenakan pada kelompok-kelompok lain yang mengaku masih berhubungan Islam namun dianggap “ajaran sesat” sesuai dengan Fatwa MUI yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M tentang aliran Ahmadiyah:[12]
1. Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. Demonstrasi terus berlangsung di penjuru negeri baik yang mendukung maupun menentang pembubaran. Para penggiat hak asasi manusia, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, dan para tokoh dan pimpinan dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama terus menekankan bahwa tindak pembubaran yang dimaksud adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan pemerintah sendiri membiarkan diskriminasi dan pelecehan atas kelompok Ahmadiyah, dengan tidak menentang atau menolak fatwa MUI tersebut. Peran negara, baik eksekutif (Pemerintah Provinsi dan Kota), legislatif (DPRD Provinsi dan Kota), dan aparat penegak hukum lebih bersikap pasif dan terkesan membiarkan keluarnya fatwa MUI tersebut. Karena pemerintah dan aparatusnya menganggap MUI-lah instansi yang mempunyai kapasitas untuk menyelesaikan permasalahan ini. [13] Hal tersebut terlihat dari pihak penegak hukum yang gagal menghentikan ataupun menyelelidiki kasus-kasus pengerusakan berbagai fasilitas milik Ahmadiyah. Padahal putusan fatwa secara hukum tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa, yang harus ditaati oleh seluruh umat. Hal tersebut dikarenakan fatwa bukan merupakan bagian dari hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku secara positif untuk mengikat dan memaksa di negara ini.
Jika ditinjau ulang dan melihat sejarahnya, ajaran Ahmadiyah telah masuk ke wilayah Indonesia sejak tahun 1922. Organisasi Jemaat Ahmadiyah ini berdiri di Padang pada tahun 1929 kemudian pada tahun 1932 di Jakarta. Keberadaan Ahmadiyah ini juga telah diakui sah secara hukum oleh pemerintah RI dan dianggap sebagai badan hukum berdasarkan ketetapan Menteri Kehakiman RI dan juga terdaftar di Departemen Agama pada tanggal 2 Maret 1970, serta Departemen Sosial pada tanggal 15 Mei 1970. Kendati demikian, mereka tetap saja masih mengalami kesulitan untuk beribadah di Indonesia ini dengan badan hukum yang secara sah sudah mengakui keberadaannya.
d.    Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) tempat ibadah
 Selain Ahmadiyah juga ada kelompok minoritas lainnya yang juga mengalami kesulitan dalam hal beribadah. Menurut Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Wahid Institute, pejabat pemda dan masyarakat lokal telah menutup secara paksa beberapa bangunan gereja yang memiliki dan tidak memiliki izin.[14] Sebagian besar gereja yang menjadi sasaran menjadikan rumah-rumah tinggal dan toko-toko pinggir jalan tempat untuk melakukan kegiatan keagamaan. Sebagian gereja memindahkan kegiatan ibadah mereka ke tempat-tempat yang disewakan seperti di pusat-pusat perbelanjaan (mall/plaza) untuk mengurangi potensi ancaman dari kelompok garis keras. Bahkan ada sebagian gereja-gereja kecil yang tidak mendapatkan perizinan untuk membangun gerejanya. Padahal ijin mendirikan tempat ibadah sama ijinnya dengan mendirikan bangunan lainnya yang disebut dengan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan). Memang ironis Indonesia ini, membangun tempat hiburan malam jauh lebih mudah ketimbang membangun rumah ibadah.
Jika menyinggung masalah penutupan tempat ibadah, maka salah satu kasus yang mungkin akan langsung muncul dibenak kita adalah masalah GKI Taman Yasmin Bogor yang telah dinyatakan menang atas tanah tempat ibadah mereka oleh Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi di Indonesia. Namun masih tetap tidak dapat mendirikan rumah ibadah dan beribadah di gedung gereja mereka. Maka tidak adil rasanya bila mereka masih belum diijinkan untuk mendirikan gereja mereka. Selain itu, pemerintah daerah juga tidak melakukan tindakan untuk menangani lebih lanjut kasus GKI Taman Yasmin Bogor ini. Seharusnya pemerintah mampu tegas dalam bersikap. Terlepas dari masalah menang atau kalahnya GKI Taman Yasmin Bogor atas kasus pembangunan rumah ibadahnya, pemerintah seharusnya menyadari apa yang menjadi kewajiban mereka dengan mengingat kembali Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 pasal (2) yang dengan jelas menegaskan masalah ini: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Artinya, negara harus memberikan perlindungan terhadap setiap warga negaranya untuk melaksanakan ibadah keagamaan/ kepercayaan. [15] Sebab dari UU tersebut terpapar jelas bahwa negara berkewajiban melindungi dan memenuhi hak atas kebebasan beragama dan kepercayaan.
Salah satu contohnya adalah perihal bagaimana sikap dari Walikota Bogor atas pelarangan mendirikan rumah ibadah GKI Taman Yasmin Bogor. Walikota tersebut tidak mengindahkan keputusan dari MA yang telah menyatakan kemenangan atas kasus ini berpihak pada GKI Taman Yasmin Bogor sehingga GKI Taman Yasmin Bogor masih belum dapat menggunakan gedung gereja mereka. Padahal sebelumnya GKI Taman Yasmin Bogor telah mengantongi SK Walikota Bogor tentang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Kasus GKI Taman Yasmin Bogor ini merupakan bukti nyata dari terlanggarnya hak kebebasan beragama dan beribadah serta menunjukkan lemahnya perlindungan dan jaminan negara terhadap golongan minoritas.
Diakui tapi tidak mendapat perlakuan yang sama (didiskriminasi) sama saja artinya dengan mendapat kebebasan tetapi tetap terkekang (kebebasan yang ter(di)kekang). Jika selama ini kita menganggap bahwa hanya agama-agama yang diakui saja yang tidak mendapat perlakuan diskriminatif sedangkan agama diluar agama-agama tersebut mengalami diskriminasi, maka kita berada dalam pemikiran yang salah. Salah satu contoh agama yang diakui yang juga mengalami diskriminasi adalah penganut agama Hindu. Walapun agama Hindu telah menjadi salah satu dari agama-agama yang diakui pemerintah, umat Hindu seringkali harus melakukan perjalanan jauh untuk mendaftarkan pernikahan mereka, karena di daerah-daerah pedesaan para pemerintah setempatnya tidak dapat atau tidak mau melakukan pendaftaran tersebut. Selain itu, disebagian sekolah-sekolah negeri juga belum menyediakan kurikulum pelajaran agama Hindu. Oleh karena itu, kerap kali masih ada juga anak-anak yang terpaksa tidak naik kelas karena tidak mengikuti pelajaran agama dan ujiannya.Bahkan ada pula sebagian anak yang terpaksa mengikuti kurikulum pelajaran dari agama lain.




Kesimpulan
Agama bertujuan, antara lain, untuk kerukunan dan kedamaian hidup manusia. Negara pun ada untuk, antara lain, untuk kehidupan yang rukun dan damai. Dari perspektif agama, negara adalah instrumen yang dibuahkan dari peradaban umat beragama demi mengoptimalkan pencapaian tujuan agama. Dengan demikian, seharusnya dengan agama dan negara maka kerukunan dan kedamaian kian teraih. Namun ternyata realita menunjukkan sebaliknya. Agama-agama yang sejatinya mempunyai visi kedamaian dan cinta kasih antar sesama, kini hadir di tengah masyarakat sebagai pembawa perpecahan. Agama menjadi alasan paling kuat bagi disintegrasi negara.
Bayangkan bagaimana damainya dunia ini apabila semua agama-agama yang seluruhnya mengajarkan cinta kasih itu terjalin dalam suatu rangkaian kehidupan yang harmonis. Namun sayangnya tidak demikian. Itu hanya khayalan tingat tinggi. Harmoni yang menjadi impian banyak pihak ini mulai menjauh dari kehidupan kita. Perbedaan yang dulu kita anggap sebagai anugerah, kini malah menjadi biang gerah. Keragaman yang dulu menjadi keindahan, kini malah memantik persoalan untuk dipertentangkan. Kita tidak memiliki empati untuk menghormati, menghargai, apalagi mengapresiasikan keragaman dan perbedaan yang ada di sekitar kita. Kita tidak lagi menjadikan kemajemukan sebagai modal berharga untuk membangun kehidupan yang menjanjikan. Kita tidak memelihara kata toleransi di dalam kamus pribadi kita. Hal semacam inilah yang berimbas pada penderitaan banyak orang yang kebetulan minoritas di tengah komunitas mayoritas.        
Keberagaman ini sebenarnya dapat menjadi berkah seadainya keanekaragaman itu dihargai dan menjadi modal untuk kemajuan bangsa Indonesia. Tetapi dapat juga menjadi musibah jika kemajemukan itu diabaikan dan dipaksakan menjadi tunggal. Hal yang kerap menjadi masalah kita adalah kita menganggap bahwa dengan adanya agama lain diluar agama kita maka akan melahirkan suatu kondisi buruk yang dapat menjadi sumber permasalah besar yang nantinya akan mampu menikam kita hingga mati tak berdaya jika tidak segera dibabat tuntas. Meski memang tidak dapat dipungkiri juga bahwa setiap agama memiliki ajaran, sistem ritual atau normatif yang berbeda-beda, antara yang satu dengan yang lainnya. Tetapi rasa kemanusiaan, keadilan, keprihatinan terhadap lingkungan yang buruk, menolong orang-orang yang terpinggirkan, seperti orang miskin, wanita, anak-anak dan orang tua, itu sama. Jadi menurut penulis, itu bukan hal yang relatif, tetapi justru absolut. “Absolut” ide dasarnya, tetapi “relatif” dalam pelaksanaan dan implementasinya. Jadi tidak sepantasnya kita terus-menerus masih saling membeda-bedakan agama yang satu dengan yang lain. Apalagi Tuhan sendiri juga tidak melakukan pembedaan atas kita. Oleh karena itu sudah sepantasnya kita juga tidak membeda-bedakan sesama kita apalagi  sampai membenci dan menyakiti mereka dengan menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama hanya karena mereka berbeda dengan kita.
Sebenarnya agama diharapkan dapat menjadi sumber kasih yang hakiki sebab agama mengajarkan kasih yang kita peroleh dari Allah yang begitu mengasihi kita. Sayangnya kerap kali agama ini disalahgunakan oleh sebagian pihak untuk menindas sesamanya yang minoritas. Padahal dengan tindakan yang demikian, maka jelas terlihat bahwa kita sama sekali belum mampu menangkap apa esensi dan fungsi dari agama yang mengajarkan cinta kasih itu.
Masyarakat juga tidak seharusnya menjadi masyarakat yang menutup diri dari keberagaman. Melainkan dapat menjadi masyarakat yang sadar akan pluralisme dengan cara tidak berbuat semena-mena terhadap kelompok minoritas. Sebagai warga negara Pancasila, masyarakat juga sudah sepatutnya sadar hukum dan UU. Masyarakat tidak sepantasnya menyegani fatwa-fatwa yang bertentangan dengan UU dan Konstitusi. Namun sayangnya sejauh ini Konstitusi sendiri belum memainkan perannya dalam menjamin pluralisme di Indonesia. Beberapa UU masih saja dilanggar oleh sebagian orang. Namun fatwa-fatwa MUI dan perda-perda kadang terlihat lebih disegani daripada UU yang telah ditetapkan negara. Untuk itu, Konstitusi yang berhubungan dengan perundang-undangan tersebut perlu memainkan perannya. Selain itu, juga harus mampu mengayomi kelompok minoritas dengan UU-nya tersebut.
Mengingat bahwa begitu majemuknya keyakinan dan agama yang ada di Indonesia, maka sudah sepantasnya negara wajib menjamin pemenuhan, perlindungan dan kemajuan atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bentuk perwujudan HAM yang mendasar, hak konstitusi, maupun hak sipil setiap warga negara. Hal ini diharapkan dapat terjadi agar setiap orang berhak menjalankan agamanya dan keyakinannya tanpa adanya tekanan, intimidasi dan diskriminasi dengan penuh tanggung jawab, tetap memenuhi koridor hukum yang berlaku di negara ini dan menghormati pemeluk agama lainnya. Demi terwujudnya kebebasan HAM yang hakiki yang pada akhirnya akan dapat menjaga keseimbangan kehidupan sosial di Indonesia.
Diharapkan juga, pemerintah mempunyai regulasi-regulasi yang jelas, yang mengatur tata tertib kebebasan beragama ini secara lebih tegas. Tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya dan kemanusiaan sesuai dengan Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara. Sehingga kegamangan pemerintah dalam menindak berbagai aliran dan ajaran yang dianggap sesat dan dapat menyesatkan dapat diantisipasi secara dini dan meminimalisir konflik horizontal di tingkat massa umat. Pemerintah juga semestinya memberikan pendidikan dan pelatihan kepada aparatur negara untuk memahami berbagai masalah kebebasan beragama yang akhir-akhir ini sudah menjadi isu nasional yang dapat merusak tata kehidupan sosial di masyarakat. Selain itu, pemerintah dan gereja (agama lain juga), juga harus memberikan pemahaman kepada rakyatnya tentang hak dan kewajiban rakyat dalam memeluk agama dan keyakinannya secara bebas dan bertanggungjawab.
Terkait dengan perundang-undangan, rasanya keseluruhan peraturan dan undang-undang tersebut harus direvisi dengan mengacu kepada substansi ajaran semu agama dan kepercayaan yang pasti selalu akomoditif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Selain itu juga harus mengacu kepada hal kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam Pancasila, konstitusi UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hanya dengan begitu masyarakat dan pemerintah dapat bekerja sama membangun kehidupan beragama yang sejuk, damai dan sejahtera yang di dalamnya terjamin kemerdekaan beragama bagi setiap individu tanpa diskriminasi sedikit pun. Negara hendaknya tidak melibatkan diri dalam perdebatan mengenai konsep “agama” dan “kepercayaan”. Sebab sikap yang demikian akan sejalan dengan tidak dinyatakannya di dalam UUD 1945 salah salah satu agama atau kepercayaan sebagai agama atau kepercayaan negara. Pemerintah tidak perlu menetapkan mana jenis agama dan kepercayaan yang diperbolehkan /diakui atau mana yang tidak diperbolehkan/ tidak diakui.
Sedangkan untuk MUI sebagai lembaga agama yang dipercaya pemerintah dalam menangani berbagai persoalan agama khususnya umat Islam jangan terlalu gegabah untuk menerbitkan sebuah fatwa yang menyatakan sebuah keyakinan itu sesat dan dapat menyesatkan sebelum dilakukan penelitian yang mendalam terhadap sebuah ajaran itu. Sebab hal itu akan menjadi sesuatu yang buruk terkait dengan pelanggaran HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.     




Daftar Pustaka
Alamsyah M Dja’far, Ema Mukarramah dan Febi Yonesta. Mengadili Keyakinan: Kajian
Putusan Mahkamah Konstitusi Atas UU Pencegahan Penodaan Agama. Yogyakarta:
Naufan Pustaka dan ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), 2011.
Antone, Hope S. Pendidikan Kristiani Kontekstual: Pertimbangan Realitas Kemajemukan dalam
Pendidikan Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Beuken, Wim & Karl-Josef Kuschel. Agama sebagai Sumber Kekerasan?. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1997.
Jurnal Harian Praktek Lapangan Penulis.
Kafid, N. ToR Gus Dur Memorial Lecture. Jakarta, 2011.
Kristianto, Agustinus Edy. Refleksi Keberagaman Agama: Hukum Sesat dan Menyesatkan
Hukum. Jakarta: YLBHI, 2008.
Magnis-Suseno, Franz. Berebut Jiwa Bangsa: Dialog, Perdamaian, dan Persaudaraan. Jakarta:
Kompas, 2006.
Thangaraj, M. Thomas. Relating to People of Other Religions: What Every Christian Needs to
Know. Nasville: Abingdon Press. 1997.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa
Indonesia edisi ke- 4. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Sumber dari internet:


[1] Nur Kafid, ToR Gus Dur Memorial Lecture, Jakarta: 2011.

[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi
  keempat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994).
[3] Agama Baha’i adalah
[4] Agustinus Edy Kristianto, Refleksi Keberagaman Agama: Hukum Sesat dan Menyesatkan Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2008), 32.
[5] Wim Beuken & Karl-Josef Kuschel, Agama sebagai Sumber Kekerasan? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), 63-65.
[6] M. Thomas Thangaraj, Relating to People of Other Religions: What Every Christian Needs to Know, (Nasville: Abingdon Press, 1997), 87.
[7] Hope S. Antone, Pendidikan Kristiani Kontekstual: Pertimbangan Realitas Kemajemukan dalam Pendidikan Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 41.
[8] ibid, 42.
[9] www.docstoc.com/docs/27245660/2006-Ringkasan-Eksekutif diakses oleh Shandy Joan Barus pada hari Sabtu, 28 April 2012 pukul 14.00 WIB.
[10] Alamsyah M Dja’far, Ema Mukarramah dan Febi Yonesta, Mengadili Keyakinan: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Atas UU Pencegahan Penodaan Agama, (Yogyakarta: Naufan Pustaka dan ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), 2011), 13.

[11] www.kaskus.us/showthread.php?p=426039377#post426039377 diakses oleh Shandy Joan Barus pada hari Sabtu, 28 April 2012 pukul 14.00 WIB.
[12] http://moslemsunnah.wordpress.com/2009/06/12/fatwa-mui-tentang-kesesatan-ahmadiyah/ diakses oleh Shandy Joan Barus pada hari Sabtu, 28 April 2012 pukul 14.00 WIB.
[13] ibid, 25.
[14] http://www.wahidinstitute.org/Opini/Detail/?id=228/hl=id/Setop_Penutupan_Gereja diakses oleh Shandy Joan Barus pada hari Selasa, 28 Juli 2011 pukul 14.00 WIB.
[15] Franz Magnis-Suseno, Berebut Jiwa Bangsa: Dialog, Perdamaian, dan Persaudaraan, (Jakarta: Kompas, 2006), 368.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar