Rabu, 23 Januari 2013

Etika Ekonomi Yohanes Calvin


SEKOLAH TINGGI TEOLOGI JAKARTA

Etika Ekonomi Yohanes Calvin
Pendahuluan
Pekerjaan yang baik tidak menjadikan seseorang menjadi baik, tetapi orang yang baik pastilah melakukan pekerjaan yang baik. Pekerjaan yang buruk tidak secara langsung menjadikan seseorang menjadi buruk, tetapi orang yang buruk akan melakukan pekerjaan buruk.[1]

Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin. Pada saat itu muncul ajaran yang menyatakan bahwa seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka (predestinasi=suatu ketetapan illahi. Allah menetapkan siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang akan mengalami kebinasaan).[2] Salah satu cara untuk mengetahui apakah ia akan masuk surga atau neraka adalah dengan mengukur keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga. Namun sebaliknya, jika di dunia ini ia selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka. Hal tersebut membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan. Etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup di dunia akan membawa seseorang tersebut pada masa depan yang baik di akhirat nantinya dengan “jaminan” masuk surga. Sebaliknya, kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka. Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan.
Bila Calvin hidup di zaman sekarang, ia akan melihat kondisi semacam itu sebagai malapetaka. Sebab ketika uang menjadi segala-galanya, maka kita jatuh pada pola hidup yang “tidak berbudi”. Uang hanyalah alat tukar-menukar di dalam sistem ekonomi. Ada banyak aspek kehidupan lainnya yang jauh lebih penting, seperti kualitas moral, yang harus kita kejar dan kita tempatkan di atas harta benda. Oleh karena itu, dalam paper ini, penulis akan membahas tentang Etika Ekonomi menurut pandangan Yohanes Calvin. Mengingat bahwa Calvin adalah seorang yang sangat menerapkan “kebenaran Allah” dalam setiap aspek dan konteks kehidupan, maka etika ekonomi yang diutarakan Calvin juga berdasarkan “kebenaran Allah”. Ia percaya bahwa institusi atau sistem perekonomian merupakan wujud lain dari pemeliharaan Tuhan dalam kehidupan umat manusia. Kita dicipta, diantaranya, sebagai makhluk ekonomi dengan kapasitas untuk bekerja dan tahu bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, serta mencari kesejahteraan hidup. Tetapi sebagai manusia yang sudah berdosa, kita dapat dengan mudah jatuh ke dalam berbagai penyalahgunaan kapasitas kerja yang Tuhan sudah berikan, pada waktu “hati” atau “mata rohani” kita tidak kita serahkan sepenuhnya kepada Tuhan.  Menurut Calvin, uang memiliki kapasitas untuk memberikan hal-hal yang mirip dengan janji-janji yang kita peroleh dari iman kita kepada Tuhan, antara lain: kebahagiaan dan keamanan. Kita jatuh dalam dosa pada waktu kita merasa puas dan lupa bahwa jenis kebahagiaan dan keamanan yang datangnya dari uang, dibandingkan dengan kebahagiaan dan keamanan yang Tuhan janjikan, sifatnya hanya sementara saja di bumi ini.

Etika Ekonomi Calvin
Calvin percaya bahwa manusia dicipta untuk bekerja. Bahkan sebelum manusia jatuh dalam dosa, Tuhan menempatkan Adam dan Hawa di Taman Eden dengan maksud agar mereka bekerja. Setelah manusia jatuh dalam dosa, manusia harus bekerja lebih keras karena tanah di mana mereka bekerja sudah “terkutuk.” Dengan demikian bekerja adalah panggilan yang harus kita penuhi. Namum, ia tidak pernah mendorong orang untuk bekerja secara berlebihan. 
Calvin hidup dan bekerja di Geneva, yang merupakan salah satu pusat perniagaan Eropa pada zamannya. Sebagai seorang tokoh yang mengerti hukum dan teologi, ia harus berhadapan dengan masalah-masalah moral ekonomi sehari-hari. [3] Konsep dan latar belakangnya yang seperti ini membuatnya berbeda dengan Luther yang terkesan kurang memahami situasi dan kondisi yang riil pada dunia perdagangan. Calvin lebih bersikap positif dalam hal profit dan aspek-aspek perdagangan yang lain, termasuk:
1.      Pemungutan bunga atas pinjaman modal (Riba)
Calvin mengungkapkan pikirannya tentang riba dalam sebuah suratnya kepada seorang teman, Oecolampadius[4] Dalam surat ini, ia mengecam penggunaan ayat-ayat Alkitab tertentu oleh orang-orang yang menentang pemberlakuan bunga uang. Ia melakukan reinterpretasi terhadap hukum anti riba dalam Kitab Ulangan dan mengatakan hal tersebut sudah tidak relevan lagi mengingat kondisi-kondisi yang telah berubah. Oleh karena itu, ia mengijinkan pemungutan bunga sepanjang ditetapkan pada tingkat yang wajar dan tidak menyakitkan. Ia melihat harta benda sebagai ujian bagi rasa kemanusiaan seseorang kepada sesamanya dan ujian bagi kerendahan hati seseorang. Karena itu, ia melarang mengenakan bunga kepada orang yang miskin. Calvin juga berkata bahwa uang harus dipinjamkan kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya, tanpa harus mengharapkan bunga. Pendirian Calvin dalam hal ini mencerminkan sikap yang lebih seimbang antara nasib orang miskin di satu pihak dan perputaran roda ekonomi di pihak lain. Ia menegaskan apa yang telah tertulis pada Luk. 6: 35, meminjamkan dengan tidak mengharapkan balasan.[5]

2.      Kejujuran dan keadilan
Calvin mengakui bahwa peredaran barang dan uang dalam masyarakat diperlukan demi kesejahteraan bersama. Menjalankan bisnis adalah bentuk partisipasi dalam kegiatan yang sangat manusiawi itu. Tetapi ia tidak sekadar memberi pembenaran dan kelegaan teologis terhadap pelaku-pelaku bisnis seperti pada ajaran teologi kemakmuran. Tidak semua praktik bisnis layak dihargai. Etika ekonomi Calvin menekankan kewajiban menerapkan kejujuran dan keadilan dalam kegiatan bisnis. Penipuan dan praktik-praktik pemalsuan dalam bisnis dikutuknya sebagai pelanggaran atas hukum “Jangan mencuri” atau “jangan mengucapkan saksi dusta”. Selain itu ia juga mengecam masalah eksploitasi kaum miskin oleh para pemilik modal, sehingga masyarakat yang miskin dan lemah tidak dikorbankan demi kepentingan mereka yang kuat.[6] Bisnis mendapat tempat yang wajar dalam etika Calvin, yakni sebagai bagian dari panggilan ilahi (sama seperti yang diutarakan oleh Luther), tetapi rawan pencemaran oleh dosa.

3.      Penetapan harga yang wajar
Menurut Calvin, pasar tidak selalu dapat menetapkan harga yang wajar. Ia mengkritik para pedagang yang menaikan harga karena alasan yang artifisial dan menyatakan bahwa praktik semacam ini telah membebani kaum miskin. Hal ini dapat merusak kesetaraan kekuatan ekonomi yang alamiah. Calvin beranggapan bahwa untuk mencapai ekonomi yang adil dan memulihkan solidaritas manusia, pasar jelas perlu diregulasi. Dalam hal ini, negara dan gereja memiliki tugas untuk memastikan pasar berjalan dengan baik bagi semua pihak. Sebab campurtangan negara merupakan unsur yang menentukan dalam menghasilkan pertumbuhan ekonomi.[7]


4.      Terjaminnya hubungan kerja yang adil dan manusiawi
Calvin mengakui bahwa panggilan Tuhan sehubungan dengan ekonomi bukan hanya terkait dengan pelaku bisnis, tetapi juga terkait dengan negara dan gereja. Pemerintah, misalnya, bertanggungjawab atas terjaminnya hubungan kerja yang adil dan manusiawi antara buruh dan pengusaha. Bentuk pasrtisipasi gereja dalam kehidupan ekonomi masyarakat mencakup pemberitaan mimbar, pengajaran, dan perundingan untuk mendesak badan-badan publik dalam memenuhi kepentingan masyarakat. Baik gereja maupun pemerintah merupakan perantara-perantara ataupun hamba-hamba Allah yang sama, bekerja untuk maksud dan tujuan yang sama, hanya berbeda dalam lingkungan dan cara bertindak. [8]

Penutup
Calvin memang tidak sepenuhnya menulis tentang sistem ekonomi, tetapi ia banyak berbicara tentang etika ekonomi. Pelajaran yang dapat diperoleh dari tulisannya adalah bahwa sistem ekonomi yang sehat membutuhkan pelaku-pelaku ekonomi yang sehat pula, yakni pelaku-pelaku ekonomi yang memahami aktivitas yang mereka lakukan sebagai tanggung jawab kepada Tuhan sendiri. Dari segi iman Kristen kita dapat berkata bahwa sebuah sistem ekonomi bukan sumber keadilan sosial. Kapitalisme atau sosialisme tidak dengan sendirinya menciptakan keadilan sosial.
Calvin memegang konsep kepemilikan secukupnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa misi Calvin bukan membuat yang miskin menjadi kaya, tetapi membangun masyarakat yang berkecukupan secara wajar dan solider satu dengan yang lain. Dengan kata lain “proporsi” dan “kesamarataan” adalah prinsip ekonomi yang sehat. Kelebihan yang Tuhan berikan merupakan kesempatan untuk kita berbuat baik kepada mereka yang berkekurangan. Bukan sebaliknya.

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES. 1979.
end, Yohanes Calvin - Terjemahan Th. van den. Institutio.  Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1980.
Haas, Guenther H. The Concept of Equity in Calvin’s Ethics. Canada: Canadian Corporation for Studies in Religion / Corporation Canadienne des Sciences Religieuses. 1997.
Houlden, J. L. Ethics and the New Testament. Edinburgh: T&T Clarck. 1992.
Mcgrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2006.
Meeter, H. Henry. The Basic Ideas of Calvinism: 6th Edition. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House. 1990.
Wogaman, J. Philip.  Christian Ethics: A Historical Introduction. Indiana: R. R. Donnelley & Sons Co. 1997.



[1] J. Philip Wogaman, Christian Ethics: A Historical Introduction, (Indiana: R. R. Donnelley & Sons Co., 1997), 110-115.
[2] Yohanes Calvin-terjemahan Th. Van den End, Institutio, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 157.
[3] Guenther H. Haas, The Concept of Equity in Calvin’s Ethics, (Canada: Canadian Corporation for Studies in Religion / Corporation Canadienne des Sciences Religieuses, 1997), 14.
[5] J. L. Houlden, Ethics and the New Testament, (Edinburgh: T&T Clarck, 1992), 90.
[6] Ibid, 108.
[7] Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1979), 101.
[8] Alister E. Mcgrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 282.SEKOLAH TINGGI TEOLOGI JAKARTA
Nama                        :    Shandy Joan Barus    
Mata Kuliah              :    Etika II
Dosen Pengampu       :    Pdt. Dr. Robert Borrong


Etika Ekonomi Yohanes Calvin
Pendahuluan
Pekerjaan yang baik tidak menjadikan seseorang menjadi baik, tetapi orang yang baik pastilah melakukan pekerjaan yang baik. Pekerjaan yang buruk tidak secara langsung menjadikan seseorang menjadi buruk, tetapi orang yang buruk akan melakukan pekerjaan buruk.[1]

Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin. Pada saat itu muncul ajaran yang menyatakan bahwa seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka (predestinasi=suatu ketetapan illahi. Allah menetapkan siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang akan mengalami kebinasaan).[2] Salah satu cara untuk mengetahui apakah ia akan masuk surga atau neraka adalah dengan mengukur keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga. Namun sebaliknya, jika di dunia ini ia selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka. Hal tersebut membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan. Etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup di dunia akan membawa seseorang tersebut pada masa depan yang baik di akhirat nantinya dengan “jaminan” masuk surga. Sebaliknya, kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka. Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan.
Bila Calvin hidup di zaman sekarang, ia akan melihat kondisi semacam itu sebagai malapetaka. Sebab ketika uang menjadi segala-galanya, maka kita jatuh pada pola hidup yang “tidak berbudi”. Uang hanyalah alat tukar-menukar di dalam sistem ekonomi. Ada banyak aspek kehidupan lainnya yang jauh lebih penting, seperti kualitas moral, yang harus kita kejar dan kita tempatkan di atas harta benda. Oleh karena itu, dalam paper ini, penulis akan membahas tentang Etika Ekonomi menurut pandangan Yohanes Calvin. Mengingat bahwa Calvin adalah seorang yang sangat menerapkan “kebenaran Allah” dalam setiap aspek dan konteks kehidupan, maka etika ekonomi yang diutarakan Calvin juga berdasarkan “kebenaran Allah”. Ia percaya bahwa institusi atau sistem perekonomian merupakan wujud lain dari pemeliharaan Tuhan dalam kehidupan umat manusia. Kita dicipta, diantaranya, sebagai makhluk ekonomi dengan kapasitas untuk bekerja dan tahu bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, serta mencari kesejahteraan hidup. Tetapi sebagai manusia yang sudah berdosa, kita dapat dengan mudah jatuh ke dalam berbagai penyalahgunaan kapasitas kerja yang Tuhan sudah berikan, pada waktu “hati” atau “mata rohani” kita tidak kita serahkan sepenuhnya kepada Tuhan.  Menurut Calvin, uang memiliki kapasitas untuk memberikan hal-hal yang mirip dengan janji-janji yang kita peroleh dari iman kita kepada Tuhan, antara lain: kebahagiaan dan keamanan. Kita jatuh dalam dosa pada waktu kita merasa puas dan lupa bahwa jenis kebahagiaan dan keamanan yang datangnya dari uang, dibandingkan dengan kebahagiaan dan keamanan yang Tuhan janjikan, sifatnya hanya sementara saja di bumi ini.

Etika Ekonomi Calvin
Calvin percaya bahwa manusia dicipta untuk bekerja. Bahkan sebelum manusia jatuh dalam dosa, Tuhan menempatkan Adam dan Hawa di Taman Eden dengan maksud agar mereka bekerja. Setelah manusia jatuh dalam dosa, manusia harus bekerja lebih keras karena tanah di mana mereka bekerja sudah “terkutuk.” Dengan demikian bekerja adalah panggilan yang harus kita penuhi. Namum, ia tidak pernah mendorong orang untuk bekerja secara berlebihan. 
Calvin hidup dan bekerja di Geneva, yang merupakan salah satu pusat perniagaan Eropa pada zamannya. Sebagai seorang tokoh yang mengerti hukum dan teologi, ia harus berhadapan dengan masalah-masalah moral ekonomi sehari-hari. [3] Konsep dan latar belakangnya yang seperti ini membuatnya berbeda dengan Luther yang terkesan kurang memahami situasi dan kondisi yang riil pada dunia perdagangan. Calvin lebih bersikap positif dalam hal profit dan aspek-aspek perdagangan yang lain, termasuk:
1.      Pemungutan bunga atas pinjaman modal (Riba)
Calvin mengungkapkan pikirannya tentang riba dalam sebuah suratnya kepada seorang teman, Oecolampadius[4] Dalam surat ini, ia mengecam penggunaan ayat-ayat Alkitab tertentu oleh orang-orang yang menentang pemberlakuan bunga uang. Ia melakukan reinterpretasi terhadap hukum anti riba dalam Kitab Ulangan dan mengatakan hal tersebut sudah tidak relevan lagi mengingat kondisi-kondisi yang telah berubah. Oleh karena itu, ia mengijinkan pemungutan bunga sepanjang ditetapkan pada tingkat yang wajar dan tidak menyakitkan. Ia melihat harta benda sebagai ujian bagi rasa kemanusiaan seseorang kepada sesamanya dan ujian bagi kerendahan hati seseorang. Karena itu, ia melarang mengenakan bunga kepada orang yang miskin. Calvin juga berkata bahwa uang harus dipinjamkan kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya, tanpa harus mengharapkan bunga. Pendirian Calvin dalam hal ini mencerminkan sikap yang lebih seimbang antara nasib orang miskin di satu pihak dan perputaran roda ekonomi di pihak lain. Ia menegaskan apa yang telah tertulis pada Luk. 6: 35, meminjamkan dengan tidak mengharapkan balasan.[5]

2.      Kejujuran dan keadilan
Calvin mengakui bahwa peredaran barang dan uang dalam masyarakat diperlukan demi kesejahteraan bersama. Menjalankan bisnis adalah bentuk partisipasi dalam kegiatan yang sangat manusiawi itu. Tetapi ia tidak sekadar memberi pembenaran dan kelegaan teologis terhadap pelaku-pelaku bisnis seperti pada ajaran teologi kemakmuran. Tidak semua praktik bisnis layak dihargai. Etika ekonomi Calvin menekankan kewajiban menerapkan kejujuran dan keadilan dalam kegiatan bisnis. Penipuan dan praktik-praktik pemalsuan dalam bisnis dikutuknya sebagai pelanggaran atas hukum “Jangan mencuri” atau “jangan mengucapkan saksi dusta”. Selain itu ia juga mengecam masalah eksploitasi kaum miskin oleh para pemilik modal, sehingga masyarakat yang miskin dan lemah tidak dikorbankan demi kepentingan mereka yang kuat.[6] Bisnis mendapat tempat yang wajar dalam etika Calvin, yakni sebagai bagian dari panggilan ilahi (sama seperti yang diutarakan oleh Luther), tetapi rawan pencemaran oleh dosa.

3.      Penetapan harga yang wajar
Menurut Calvin, pasar tidak selalu dapat menetapkan harga yang wajar. Ia mengkritik para pedagang yang menaikan harga karena alasan yang artifisial dan menyatakan bahwa praktik semacam ini telah membebani kaum miskin. Hal ini dapat merusak kesetaraan kekuatan ekonomi yang alamiah. Calvin beranggapan bahwa untuk mencapai ekonomi yang adil dan memulihkan solidaritas manusia, pasar jelas perlu diregulasi. Dalam hal ini, negara dan gereja memiliki tugas untuk memastikan pasar berjalan dengan baik bagi semua pihak. Sebab campurtangan negara merupakan unsur yang menentukan dalam menghasilkan pertumbuhan ekonomi.[7]


4.      Terjaminnya hubungan kerja yang adil dan manusiawi
Calvin mengakui bahwa panggilan Tuhan sehubungan dengan ekonomi bukan hanya terkait dengan pelaku bisnis, tetapi juga terkait dengan negara dan gereja. Pemerintah, misalnya, bertanggungjawab atas terjaminnya hubungan kerja yang adil dan manusiawi antara buruh dan pengusaha. Bentuk pasrtisipasi gereja dalam kehidupan ekonomi masyarakat mencakup pemberitaan mimbar, pengajaran, dan perundingan untuk mendesak badan-badan publik dalam memenuhi kepentingan masyarakat. Baik gereja maupun pemerintah merupakan perantara-perantara ataupun hamba-hamba Allah yang sama, bekerja untuk maksud dan tujuan yang sama, hanya berbeda dalam lingkungan dan cara bertindak. [8]

Penutup
Calvin memang tidak sepenuhnya menulis tentang sistem ekonomi, tetapi ia banyak berbicara tentang etika ekonomi. Pelajaran yang dapat diperoleh dari tulisannya adalah bahwa sistem ekonomi yang sehat membutuhkan pelaku-pelaku ekonomi yang sehat pula, yakni pelaku-pelaku ekonomi yang memahami aktivitas yang mereka lakukan sebagai tanggung jawab kepada Tuhan sendiri. Dari segi iman Kristen kita dapat berkata bahwa sebuah sistem ekonomi bukan sumber keadilan sosial. Kapitalisme atau sosialisme tidak dengan sendirinya menciptakan keadilan sosial.
Calvin memegang konsep kepemilikan secukupnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa misi Calvin bukan membuat yang miskin menjadi kaya, tetapi membangun masyarakat yang berkecukupan secara wajar dan solider satu dengan yang lain. Dengan kata lain “proporsi” dan “kesamarataan” adalah prinsip ekonomi yang sehat. Kelebihan yang Tuhan berikan merupakan kesempatan untuk kita berbuat baik kepada mereka yang berkekurangan. Bukan sebaliknya.

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES. 1979.
end, Yohanes Calvin - Terjemahan Th. van den. Institutio.  Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1980.
Haas, Guenther H. The Concept of Equity in Calvin’s Ethics. Canada: Canadian Corporation for Studies in Religion / Corporation Canadienne des Sciences Religieuses. 1997.
Houlden, J. L. Ethics and the New Testament. Edinburgh: T&T Clarck. 1992.
Mcgrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2006.
Meeter, H. Henry. The Basic Ideas of Calvinism: 6th Edition. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House. 1990.
Wogaman, J. Philip.  Christian Ethics: A Historical Introduction. Indiana: R. R. Donnelley & Sons Co. 1997.



[1] J. Philip Wogaman, Christian Ethics: A Historical Introduction, (Indiana: R. R. Donnelley & Sons Co., 1997), 110-115.
[2] Yohanes Calvin-terjemahan Th. Van den End, Institutio, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 157.
[3] Guenther H. Haas, The Concept of Equity in Calvin’s Ethics, (Canada: Canadian Corporation for Studies in Religion / Corporation Canadienne des Sciences Religieuses, 1997), 14.
[5] J. L. Houlden, Ethics and the New Testament, (Edinburgh: T&T Clarck, 1992), 90.
[6] Ibid, 108.
[7] Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1979), 101.
[8] Alister E. Mcgrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 282.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar