SEKOLAH
TINGGI TEOLOGI JAKARTA
Etika Ekonomi Yohanes
Calvin
Pendahuluan
Pekerjaan yang
baik tidak menjadikan seseorang menjadi baik, tetapi orang yang baik pastilah
melakukan pekerjaan yang baik. Pekerjaan yang
buruk tidak secara langsung menjadikan seseorang menjadi buruk, tetapi orang
yang buruk akan melakukan pekerjaan
buruk.[1]
Etika
protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin.
Pada saat itu muncul ajaran yang menyatakan bahwa seorang pada intinya sudah
ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka (predestinasi=suatu ketetapan illahi.
Allah menetapkan siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang akan mengalami
kebinasaan).[2]
Salah satu cara untuk mengetahui apakah ia akan masuk surga atau neraka adalah
dengan mengukur keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam
kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi
penghuni surga. Namun sebaliknya, jika di dunia ini ia selalu mengalami
kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka. Hal
tersebut membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam
komunitas Protestan. Etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja
keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia juga
merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu
semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan
ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam
aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia akan
menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup di dunia akan
membawa seseorang tersebut pada masa depan yang baik di akhirat nantinya dengan
“jaminan” masuk surga. Sebaliknya, kegagalan yang tentu berhimpitan dengan
kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu
masuk neraka. Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan
“mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya
menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi
kecemasan.
Bila
Calvin hidup di zaman sekarang, ia akan melihat kondisi semacam itu sebagai
malapetaka. Sebab ketika uang menjadi segala-galanya, maka kita jatuh pada pola
hidup yang “tidak berbudi”. Uang hanyalah alat tukar-menukar di dalam sistem
ekonomi. Ada banyak aspek kehidupan lainnya yang jauh lebih penting,
seperti kualitas moral, yang harus kita kejar dan kita tempatkan di atas harta
benda. Oleh karena itu, dalam paper ini, penulis akan membahas tentang Etika
Ekonomi menurut pandangan Yohanes Calvin. Mengingat bahwa Calvin adalah seorang
yang sangat menerapkan “kebenaran Allah” dalam setiap aspek dan konteks
kehidupan, maka etika ekonomi yang diutarakan Calvin juga berdasarkan
“kebenaran Allah”. Ia percaya bahwa institusi atau sistem
perekonomian merupakan wujud lain dari pemeliharaan Tuhan dalam kehidupan umat
manusia. Kita dicipta, diantaranya, sebagai makhluk ekonomi
dengan kapasitas untuk bekerja dan tahu bagaimana memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, serta mencari kesejahteraan hidup.
Tetapi sebagai manusia yang sudah berdosa, kita dapat
dengan mudah jatuh ke dalam berbagai penyalahgunaan kapasitas kerja yang Tuhan
sudah berikan, pada waktu “hati” atau “mata rohani” kita tidak kita serahkan
sepenuhnya kepada Tuhan. Menurut Calvin, uang memiliki kapasitas untuk
memberikan hal-hal yang mirip dengan janji-janji yang kita peroleh dari iman
kita kepada Tuhan, antara lain: kebahagiaan dan
keamanan. Kita jatuh dalam dosa pada waktu kita merasa puas dan lupa
bahwa jenis kebahagiaan dan keamanan yang datangnya dari uang, dibandingkan
dengan kebahagiaan dan keamanan yang Tuhan janjikan, sifatnya hanya sementara
saja di bumi ini.
Etika
Ekonomi Calvin
Calvin percaya bahwa manusia dicipta untuk bekerja. Bahkan
sebelum manusia jatuh dalam dosa, Tuhan menempatkan Adam dan Hawa di
Taman Eden dengan maksud agar mereka bekerja. Setelah manusia jatuh
dalam dosa, manusia harus bekerja lebih keras karena tanah di mana mereka
bekerja sudah “terkutuk.” Dengan demikian bekerja adalah panggilan yang harus
kita penuhi. Namum, ia tidak pernah mendorong orang untuk
bekerja secara berlebihan.
Calvin
hidup dan bekerja di Geneva, yang merupakan salah satu pusat perniagaan Eropa
pada zamannya. Sebagai seorang tokoh yang mengerti hukum dan teologi, ia harus
berhadapan dengan masalah-masalah moral ekonomi sehari-hari. [3]
Konsep dan latar belakangnya yang seperti ini membuatnya berbeda dengan Luther
yang terkesan kurang memahami situasi dan kondisi yang riil pada dunia
perdagangan. Calvin lebih bersikap positif dalam hal profit dan aspek-aspek
perdagangan yang lain, termasuk:
1.
Pemungutan bunga atas pinjaman modal
(Riba)
Calvin
mengungkapkan pikirannya tentang riba dalam sebuah suratnya kepada seorang
teman, Oecolampadius. [4] Dalam
surat ini, ia mengecam penggunaan ayat-ayat Alkitab tertentu oleh orang-orang
yang menentang pemberlakuan bunga uang. Ia melakukan reinterpretasi terhadap
hukum anti riba dalam Kitab Ulangan dan mengatakan hal tersebut sudah tidak
relevan lagi mengingat kondisi-kondisi yang telah berubah. Oleh karena itu, ia
mengijinkan pemungutan bunga sepanjang ditetapkan pada tingkat yang wajar dan
tidak menyakitkan. Ia melihat harta benda sebagai ujian bagi rasa kemanusiaan
seseorang kepada sesamanya dan ujian bagi kerendahan hati seseorang. Karena
itu, ia melarang mengenakan bunga kepada orang yang miskin. Calvin juga berkata
bahwa uang harus dipinjamkan kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya,
tanpa harus mengharapkan bunga. Pendirian Calvin dalam hal ini mencerminkan
sikap yang lebih seimbang antara nasib orang miskin di satu pihak dan perputaran
roda ekonomi di pihak lain. Ia menegaskan apa yang telah tertulis pada Luk. 6:
35, meminjamkan dengan tidak mengharapkan balasan.[5]
2.
Kejujuran dan keadilan
Calvin
mengakui bahwa peredaran barang dan uang dalam masyarakat diperlukan demi
kesejahteraan bersama. Menjalankan bisnis adalah bentuk partisipasi dalam
kegiatan yang sangat manusiawi itu. Tetapi ia tidak sekadar memberi pembenaran
dan kelegaan teologis terhadap pelaku-pelaku bisnis seperti pada ajaran teologi
kemakmuran. Tidak semua praktik bisnis layak dihargai. Etika ekonomi Calvin
menekankan kewajiban menerapkan kejujuran dan keadilan dalam kegiatan bisnis.
Penipuan dan praktik-praktik pemalsuan dalam bisnis dikutuknya sebagai
pelanggaran atas hukum “Jangan mencuri” atau “jangan mengucapkan saksi dusta”.
Selain itu ia juga mengecam masalah eksploitasi kaum miskin oleh para pemilik
modal, sehingga masyarakat yang miskin dan lemah tidak dikorbankan demi kepentingan
mereka yang kuat.[6]
Bisnis mendapat tempat yang wajar dalam etika Calvin, yakni sebagai bagian dari
panggilan ilahi (sama seperti yang diutarakan oleh Luther), tetapi rawan
pencemaran oleh dosa.
3.
Penetapan harga yang wajar
Menurut
Calvin, pasar tidak selalu dapat menetapkan harga yang wajar. Ia mengkritik
para pedagang yang menaikan harga karena alasan yang artifisial dan menyatakan
bahwa praktik semacam ini telah membebani kaum miskin. Hal ini dapat merusak
kesetaraan kekuatan ekonomi yang alamiah. Calvin beranggapan bahwa untuk
mencapai ekonomi yang adil dan memulihkan solidaritas manusia, pasar jelas
perlu diregulasi. Dalam hal ini, negara dan gereja memiliki tugas untuk
memastikan pasar berjalan dengan baik bagi semua pihak. Sebab campurtangan
negara merupakan unsur yang menentukan dalam menghasilkan pertumbuhan ekonomi.[7]
4.
Terjaminnya hubungan kerja yang adil dan
manusiawi
Calvin
mengakui bahwa panggilan Tuhan sehubungan dengan ekonomi bukan hanya terkait
dengan pelaku bisnis, tetapi juga terkait dengan negara dan gereja. Pemerintah,
misalnya, bertanggungjawab atas terjaminnya hubungan kerja yang adil dan
manusiawi antara buruh dan pengusaha. Bentuk pasrtisipasi gereja dalam
kehidupan ekonomi masyarakat mencakup pemberitaan mimbar, pengajaran, dan
perundingan untuk mendesak badan-badan publik dalam memenuhi kepentingan
masyarakat. Baik gereja maupun pemerintah merupakan perantara-perantara ataupun
hamba-hamba Allah yang sama, bekerja untuk maksud dan tujuan yang sama, hanya
berbeda dalam lingkungan dan cara bertindak. [8]
Penutup
Calvin
memang tidak sepenuhnya menulis tentang sistem ekonomi, tetapi ia banyak
berbicara tentang etika ekonomi. Pelajaran yang dapat
diperoleh dari tulisannya adalah bahwa sistem ekonomi yang sehat
membutuhkan pelaku-pelaku ekonomi yang sehat pula, yakni pelaku-pelaku ekonomi
yang memahami aktivitas yang mereka lakukan sebagai tanggung jawab kepada Tuhan
sendiri. Dari segi iman Kristen kita dapat berkata bahwa sebuah sistem ekonomi
bukan sumber keadilan sosial. Kapitalisme atau sosialisme tidak dengan sendirinya
menciptakan keadilan sosial.
Calvin
memegang konsep kepemilikan secukupnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa misi
Calvin bukan membuat yang miskin menjadi kaya, tetapi membangun masyarakat yang
berkecukupan secara wajar dan solider satu dengan yang lain. Dengan kata lain
“proporsi” dan “kesamarataan” adalah prinsip ekonomi yang sehat. Kelebihan yang
Tuhan berikan merupakan kesempatan untuk kita berbuat baik kepada mereka yang
berkekurangan. Bukan sebaliknya.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES. 1979.
end, Yohanes Calvin - Terjemahan Th. van den. Institutio. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1980.
Haas, Guenther H. The Concept of Equity in Calvin’s Ethics. Canada: Canadian
Corporation for Studies in Religion / Corporation Canadienne des Sciences
Religieuses. 1997.
Houlden, J. L. Ethics
and the New Testament. Edinburgh: T&T Clarck. 1992.
Mcgrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2006.
Meeter, H. Henry. The Basic Ideas of Calvinism: 6th Edition. Grand Rapids,
Michigan: Baker Book House. 1990.
Wogaman, J. Philip. Christian Ethics: A Historical
Introduction. Indiana: R. R.
Donnelley & Sons Co. 1997.
[1] J.
Philip Wogaman, Christian Ethics: A Historical
Introduction, (Indiana: R. R.
Donnelley & Sons Co., 1997), 110-115.
[2] Yohanes
Calvin-terjemahan Th. Van den End, Institutio,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 157.
[3]
Guenther H. Haas, The Concept of Equity
in Calvin’s Ethics, (Canada: Canadian Corporation for Studies in Religion /
Corporation Canadienne des Sciences Religieuses, 1997), 14.
[5] J.
L. Houlden, Ethics and the New Testament,
(Edinburgh: T&T Clarck, 1992), 90.
[6]
Ibid, 108.
[7]
Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja dan
Perkembangan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1979), 101.
[8]
Alister E. Mcgrath, Sejarah Pemikiran
Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 282.SEKOLAH
TINGGI TEOLOGI JAKARTA
Nama :
Shandy Joan Barus
Mata Kuliah : Etika II
Dosen Pengampu : Pdt. Dr. Robert
Borrong
Etika Ekonomi Yohanes
Calvin
Pendahuluan
Pekerjaan yang
baik tidak menjadikan seseorang menjadi baik, tetapi orang yang baik pastilah
melakukan pekerjaan yang baik. Pekerjaan yang
buruk tidak secara langsung menjadikan seseorang menjadi buruk, tetapi orang
yang buruk akan melakukan pekerjaan
buruk.[1]
Etika
protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin.
Pada saat itu muncul ajaran yang menyatakan bahwa seorang pada intinya sudah
ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka (predestinasi=suatu ketetapan illahi.
Allah menetapkan siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang akan mengalami
kebinasaan).[2]
Salah satu cara untuk mengetahui apakah ia akan masuk surga atau neraka adalah
dengan mengukur keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam
kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi
penghuni surga. Namun sebaliknya, jika di dunia ini ia selalu mengalami
kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka. Hal
tersebut membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam
komunitas Protestan. Etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja
keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia juga
merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu
semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan
ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam
aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia akan
menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup di dunia akan
membawa seseorang tersebut pada masa depan yang baik di akhirat nantinya dengan
“jaminan” masuk surga. Sebaliknya, kegagalan yang tentu berhimpitan dengan
kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu
masuk neraka. Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan
“mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya
menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi
kecemasan.
Bila
Calvin hidup di zaman sekarang, ia akan melihat kondisi semacam itu sebagai
malapetaka. Sebab ketika uang menjadi segala-galanya, maka kita jatuh pada pola
hidup yang “tidak berbudi”. Uang hanyalah alat tukar-menukar di dalam sistem
ekonomi. Ada banyak aspek kehidupan lainnya yang jauh lebih penting,
seperti kualitas moral, yang harus kita kejar dan kita tempatkan di atas harta
benda. Oleh karena itu, dalam paper ini, penulis akan membahas tentang Etika
Ekonomi menurut pandangan Yohanes Calvin. Mengingat bahwa Calvin adalah seorang
yang sangat menerapkan “kebenaran Allah” dalam setiap aspek dan konteks
kehidupan, maka etika ekonomi yang diutarakan Calvin juga berdasarkan
“kebenaran Allah”. Ia percaya bahwa institusi atau sistem
perekonomian merupakan wujud lain dari pemeliharaan Tuhan dalam kehidupan umat
manusia. Kita dicipta, diantaranya, sebagai makhluk ekonomi
dengan kapasitas untuk bekerja dan tahu bagaimana memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, serta mencari kesejahteraan hidup.
Tetapi sebagai manusia yang sudah berdosa, kita dapat
dengan mudah jatuh ke dalam berbagai penyalahgunaan kapasitas kerja yang Tuhan
sudah berikan, pada waktu “hati” atau “mata rohani” kita tidak kita serahkan
sepenuhnya kepada Tuhan. Menurut Calvin, uang memiliki kapasitas untuk
memberikan hal-hal yang mirip dengan janji-janji yang kita peroleh dari iman
kita kepada Tuhan, antara lain: kebahagiaan dan
keamanan. Kita jatuh dalam dosa pada waktu kita merasa puas dan lupa
bahwa jenis kebahagiaan dan keamanan yang datangnya dari uang, dibandingkan
dengan kebahagiaan dan keamanan yang Tuhan janjikan, sifatnya hanya sementara
saja di bumi ini.
Etika
Ekonomi Calvin
Calvin percaya bahwa manusia dicipta untuk bekerja. Bahkan
sebelum manusia jatuh dalam dosa, Tuhan menempatkan Adam dan Hawa di
Taman Eden dengan maksud agar mereka bekerja. Setelah manusia jatuh
dalam dosa, manusia harus bekerja lebih keras karena tanah di mana mereka
bekerja sudah “terkutuk.” Dengan demikian bekerja adalah panggilan yang harus
kita penuhi. Namum, ia tidak pernah mendorong orang untuk
bekerja secara berlebihan.
Calvin
hidup dan bekerja di Geneva, yang merupakan salah satu pusat perniagaan Eropa
pada zamannya. Sebagai seorang tokoh yang mengerti hukum dan teologi, ia harus
berhadapan dengan masalah-masalah moral ekonomi sehari-hari. [3]
Konsep dan latar belakangnya yang seperti ini membuatnya berbeda dengan Luther
yang terkesan kurang memahami situasi dan kondisi yang riil pada dunia
perdagangan. Calvin lebih bersikap positif dalam hal profit dan aspek-aspek
perdagangan yang lain, termasuk:
1.
Pemungutan bunga atas pinjaman modal
(Riba)
Calvin
mengungkapkan pikirannya tentang riba dalam sebuah suratnya kepada seorang
teman, Oecolampadius. [4] Dalam
surat ini, ia mengecam penggunaan ayat-ayat Alkitab tertentu oleh orang-orang
yang menentang pemberlakuan bunga uang. Ia melakukan reinterpretasi terhadap
hukum anti riba dalam Kitab Ulangan dan mengatakan hal tersebut sudah tidak
relevan lagi mengingat kondisi-kondisi yang telah berubah. Oleh karena itu, ia
mengijinkan pemungutan bunga sepanjang ditetapkan pada tingkat yang wajar dan
tidak menyakitkan. Ia melihat harta benda sebagai ujian bagi rasa kemanusiaan
seseorang kepada sesamanya dan ujian bagi kerendahan hati seseorang. Karena
itu, ia melarang mengenakan bunga kepada orang yang miskin. Calvin juga berkata
bahwa uang harus dipinjamkan kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya,
tanpa harus mengharapkan bunga. Pendirian Calvin dalam hal ini mencerminkan
sikap yang lebih seimbang antara nasib orang miskin di satu pihak dan perputaran
roda ekonomi di pihak lain. Ia menegaskan apa yang telah tertulis pada Luk. 6:
35, meminjamkan dengan tidak mengharapkan balasan.[5]
2.
Kejujuran dan keadilan
Calvin
mengakui bahwa peredaran barang dan uang dalam masyarakat diperlukan demi
kesejahteraan bersama. Menjalankan bisnis adalah bentuk partisipasi dalam
kegiatan yang sangat manusiawi itu. Tetapi ia tidak sekadar memberi pembenaran
dan kelegaan teologis terhadap pelaku-pelaku bisnis seperti pada ajaran teologi
kemakmuran. Tidak semua praktik bisnis layak dihargai. Etika ekonomi Calvin
menekankan kewajiban menerapkan kejujuran dan keadilan dalam kegiatan bisnis.
Penipuan dan praktik-praktik pemalsuan dalam bisnis dikutuknya sebagai
pelanggaran atas hukum “Jangan mencuri” atau “jangan mengucapkan saksi dusta”.
Selain itu ia juga mengecam masalah eksploitasi kaum miskin oleh para pemilik
modal, sehingga masyarakat yang miskin dan lemah tidak dikorbankan demi kepentingan
mereka yang kuat.[6]
Bisnis mendapat tempat yang wajar dalam etika Calvin, yakni sebagai bagian dari
panggilan ilahi (sama seperti yang diutarakan oleh Luther), tetapi rawan
pencemaran oleh dosa.
3.
Penetapan harga yang wajar
Menurut
Calvin, pasar tidak selalu dapat menetapkan harga yang wajar. Ia mengkritik
para pedagang yang menaikan harga karena alasan yang artifisial dan menyatakan
bahwa praktik semacam ini telah membebani kaum miskin. Hal ini dapat merusak
kesetaraan kekuatan ekonomi yang alamiah. Calvin beranggapan bahwa untuk
mencapai ekonomi yang adil dan memulihkan solidaritas manusia, pasar jelas
perlu diregulasi. Dalam hal ini, negara dan gereja memiliki tugas untuk
memastikan pasar berjalan dengan baik bagi semua pihak. Sebab campurtangan
negara merupakan unsur yang menentukan dalam menghasilkan pertumbuhan ekonomi.[7]
4.
Terjaminnya hubungan kerja yang adil dan
manusiawi
Calvin
mengakui bahwa panggilan Tuhan sehubungan dengan ekonomi bukan hanya terkait
dengan pelaku bisnis, tetapi juga terkait dengan negara dan gereja. Pemerintah,
misalnya, bertanggungjawab atas terjaminnya hubungan kerja yang adil dan
manusiawi antara buruh dan pengusaha. Bentuk pasrtisipasi gereja dalam
kehidupan ekonomi masyarakat mencakup pemberitaan mimbar, pengajaran, dan
perundingan untuk mendesak badan-badan publik dalam memenuhi kepentingan
masyarakat. Baik gereja maupun pemerintah merupakan perantara-perantara ataupun
hamba-hamba Allah yang sama, bekerja untuk maksud dan tujuan yang sama, hanya
berbeda dalam lingkungan dan cara bertindak. [8]
Penutup
Calvin
memang tidak sepenuhnya menulis tentang sistem ekonomi, tetapi ia banyak
berbicara tentang etika ekonomi. Pelajaran yang dapat
diperoleh dari tulisannya adalah bahwa sistem ekonomi yang sehat
membutuhkan pelaku-pelaku ekonomi yang sehat pula, yakni pelaku-pelaku ekonomi
yang memahami aktivitas yang mereka lakukan sebagai tanggung jawab kepada Tuhan
sendiri. Dari segi iman Kristen kita dapat berkata bahwa sebuah sistem ekonomi
bukan sumber keadilan sosial. Kapitalisme atau sosialisme tidak dengan sendirinya
menciptakan keadilan sosial.
Calvin
memegang konsep kepemilikan secukupnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa misi
Calvin bukan membuat yang miskin menjadi kaya, tetapi membangun masyarakat yang
berkecukupan secara wajar dan solider satu dengan yang lain. Dengan kata lain
“proporsi” dan “kesamarataan” adalah prinsip ekonomi yang sehat. Kelebihan yang
Tuhan berikan merupakan kesempatan untuk kita berbuat baik kepada mereka yang
berkekurangan. Bukan sebaliknya.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES. 1979.
end, Yohanes Calvin - Terjemahan Th. van den. Institutio. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1980.
Haas, Guenther H. The Concept of Equity in Calvin’s Ethics. Canada: Canadian
Corporation for Studies in Religion / Corporation Canadienne des Sciences
Religieuses. 1997.
Houlden, J. L. Ethics
and the New Testament. Edinburgh: T&T Clarck. 1992.
Mcgrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2006.
Meeter, H. Henry. The Basic Ideas of Calvinism: 6th Edition. Grand Rapids,
Michigan: Baker Book House. 1990.
Wogaman, J. Philip. Christian Ethics: A Historical
Introduction. Indiana: R. R.
Donnelley & Sons Co. 1997.
[1] J.
Philip Wogaman, Christian Ethics: A Historical
Introduction, (Indiana: R. R.
Donnelley & Sons Co., 1997), 110-115.
[2] Yohanes
Calvin-terjemahan Th. Van den End, Institutio,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 157.
[3]
Guenther H. Haas, The Concept of Equity
in Calvin’s Ethics, (Canada: Canadian Corporation for Studies in Religion /
Corporation Canadienne des Sciences Religieuses, 1997), 14.
[5] J.
L. Houlden, Ethics and the New Testament,
(Edinburgh: T&T Clarck, 1992), 90.
[6]
Ibid, 108.
[7]
Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja dan
Perkembangan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1979), 101.
[8]
Alister E. Mcgrath, Sejarah Pemikiran
Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 282.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar