Rabu, 23 Januari 2013

KRITIK TEKS dan KRITIK HISTORIS


KRITIK TEKS dan KRITIK HISTORIS
Pendahuluan
            Hermeneutika merupakan kata yang tidak asing bagi mahasiswa teologi, mengapa kata hermeneutika tidak asing bagi mahasiswa teologi? Karena hermeneutika merupakan salah satu cabang disiplin ilmu yaitu Biblika. Di dalam bidang biblika ini yang menjadi objek pekerjaan adalah Alkitab. Sebagai mahasiswa teologi, alkitab tidak hanya kita baca, tetapi juga kita tafsir atau hermeneutika.
            Hermeneutika tidak hanya satu jenis, tetapi ada berbagai macam jenis hermeneutika. Pada hari ini, kita akan membahas dua jenis hermeneutika, yakni kritik Teks dan kritik sejarah, Kritik teks lebih condong mengkritisi teks tersebut, seperti kosakata, gaya bahasa, dan konteks sastra pada masa itu. Sedangkan kritik sejarah lebih condong mengkritisi sejarah nya, seperti sejarah penulisannya atau seberapa tua kah umur teks tersesbut. Hal-hal ini nantinya akan di jabarkan oleh kelompok secara lebih mendalam dan tanjam.

Kritik Teks
Ketika mempelajari teks Alkitab, seringkali para penafsir menemukan adanya kata-kata yang berbeda dari berbagai terjemahan bacaan Alkitab yang bervarian, padahal sebenarnya untuk menjelaskan hal yang sama. Ini dapat diperhatikan ketika seseorang membaca bagian yang sama dalam terjemahan yang berbeda. Varian dari berbagai kata-kata itu dapat kita temukan dari berbagai macam bentuk terjemahan Alkitab, seperti RSV (Revisi dari Alkitab *American Standard Version berbahasa Inggris yang diterbitkan tahun 1952 di AS), NEB (terjemahan oleh ahli-ahli Inggris pada tahun 1970), JB (The Jerusalem Bible), NIV (The New International Version (NIV), dan NAB (The New American Bible). Misal salah satu penafsir menerjemahkan ke dalam satu bahasa, jika terdapat salah satu kata yang perlu mendapat keterangan lebih lanjut, biasanya si penafsir menambahkan  yang ditandai oleh catatan kaki. Catatan kaki ini menunjukkan bahwa bahan tambahan tersebut tidak muncul sebelumnya dalam bahasa yang diterjemahkan olehnya, tetapi telah ditambahkan oleh si penerjemah sendiri. Hal demikian mungkin dirasa sulit oleh penerjemah selanjutnya yang harus bertanya: kata apa yang merupakan tambahan dari teks ini? Mana yang merupakan bacaan yang asli? Oleh karena itu, mengetahui bagaimana bacaan aslinya sangat penting bagi si penafsir.
 Terdapat ribuan salinan dari tulisan-tulisan Alkitab. Tentunya tulisan ini telah diawetkan dari zaman kuno. Pada awal abad ketiga SM, Perjanjian Lama mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa lain, termasuk Syria dan Latin. Begitu juga dengan Perjanjian Baru, mulai diterjemahkan pertama ke Syria, kemudian ke dalam bahasa Latin. Seringkali naskah terjemahan ini berbeda secara signifikan dari satu sama lain. Maka dari itu, sekarang kita paham mengapa terdapat variasi kata-kata dalam berbagai terjemahan, dari suatu bagian Alkitab dapat terjadi. Bahwa tulisan-tulisan kuno tersebut mengalami penyalinan, pengawetan, penerjemahan dan adanya pengutipan. Perbedaan yang ada antara terjemahan awal dengan naskah aslinya , mungkin diakibatkan juga karena adanya tradisi-tradisi tekstual yang berbeda atau versi yang berbeda. Penyalin cenderung  menyelaraskan bacaan. Dan kritik tekstual  memperhitungkan hal-hal seperti gaya, kosakata, dan konteks sastra.
Dengan membiasakan diri dengan apa yang terjadi ketika teks-teks kuno yang disalin, dan disebar, kritikus tekstual sebenarnya berfungsi mendeteksi jenis-jenis perubahan yang terjadi. Mereka juga memberikan alasan mengapa perubahan tersebut terjadi. Salah satu alasan penyebab perubahan teks misalnya dikarenakan penyalin yang cenderung ekspansionis daripada reduksionis.
Variasi teks yang berbeda juga sangat mungkin terjadi oleh karena ketidaksengajaan, misalnya dalam proses penyalinan. Penyalin dapat saja salah mendengar atau salah membaca teks. Selalu ada kemungkinan kesalahan itu dapat terjadi. Perubahan dalam kalimat di teks Alkitab bisa juga terjadi karena unsur  kesengajaan. Sangat mungkin jika seorang penyalin merasa terdorong untuk memperbaiki ejaan atau tata bahasa dari naskah yang disalin, terlepas apakah koreksi itu memang benar atau salah. Ini mungkin dilakukan oleh si penyalin dengan maksud untuk hasil yang lebih koheren atau yang lebih logis. Ahli-ahli Taurat juga mengubah teks-teks secara disengaja untuk alasan teologis atau doctrinal. Jika teks yang disalin itu berisi pernyataan yang kurang disetujui oleh mereka, kadang-kadang diubah atau diperluas untuk dibawa ke posisi yang lebih ortodoks.  Setidaknya terdapat delapan belas kasus di mana mereka telah mengubah teks untuk alasan teologis. Kritikus sendiri menemukan bahwa Ahli-ahli Taurat lebih cenderung melakukan penambahan kata pada teks dibanding penghapusan.
Pertanyaan-pertanyaan yang dapat muncul ketika si penafsir mendapatkan bacaan yang bervarian adalah: (1) Bagaimana tradisi mempengaruhi teks tersebut, (2) Apakah tradisi itu nyata ataukah hanya merupakan pemaknaan. Pertanyaan tersebut dapat dilalui dengan cara melihat kronologi teks. Maka dari itu kritik teks menuntut wawasan yang kreatif dalam banyak hal. Secara ringkas kritik teks memiliki dua tujuan, yaitu: (a) untuk menentukan proses dimana teks telah mengalami perubahan dalam berbagai bentuk varian  (b) untuk menentukan bentuk terbaik dari kata-kata teks yang nantinya pembaca dapat lebih memahaminya.

Kritik Historis
            Kritik historis atau kritik sejarah dari sebuah dokumen didasarkan pada sebuah asumsi bahwa sebuah teks historis paling tidak memiliki dua alasan berhubungan dengan sejarah sebagaimana memiliki sejarahnya sendiri. Untuk alasan ini, kita dapat membedakan antara sejarah di dalam teks dan sejarah dari teks. Pernyataan pada zaman dahulu mengambil kepada teks narasi itu sendiri atau menceritakan kembali tentang sejarah, apakah orang, kejadian-kejadian, kondisi sosial, atau pemikiran utama di dalam cerita. Di dalam pemahaman ini, sebuah teks mungkin membantu sebagai sebuah jendela yang menembus, kita dapat mengintip ke dalam sebuah periode sejarah. Dari sebuah pembacaan kritik, apakah sebuah teks berkata kita dapat membuat konklusi tentang politik, sosial, atau kondisi agama pada periode itu.
            Pernyataan selanjutnya mengambil sesuatu yang berbeda, oleh karena itu pernyataan kedua ini tidak menekankan dengan apa yang teks itu sendiri katakan atau gambarkan-yang cerita itu katakan- tetapi dengan cerita teks atau seorang penulis menyebutnya dengan laju teks- sejarah milik teks itu sendiri: bagaimana, mengapa, kapan, dimana, dan di dalam keadaan seperti apa teks itu disusun; oleh siapa dan untuk siapa teks itu ditulis, disusun, diedit, diproduksi, dan dipelihara; mengapa mengapa teks itu diproduksi dan macam-macam pengaruh yang mempengaruhi keasliannya, pembentukan, perkembangan, pemeliharaan, dan pemindahan.
            Kritik historis kepada penulisan Alkitab berdasarkan asumsi yang serupa digunakan di dalam mengerjakan dengan teks kuno lainnya. Kritik alkitab ditekankan dengan kedua situasi yang menggambarkan di dalam teks dan situasi yang diberikan ke dalam teks. Pertama, dengan jelas dan lebih relevan ketika Alkitab ditekankan langsung dengan keadaan sejarah, seperti Kejadian, kemudian 2 Raja-Raja, 1 dan 2 Chronicles, Ezra, Nehemiah, Injil, dan Kisah Para Rasul. Kemudian kitab-kitab yang non-sejarah seperti, Amsal dan Mazmur, situasi kebudayaan dan kondisi digambarkan di dalam teks. Bagi semua materi Alkitab, sejarah dan kondisi kebudayaan merupakan sudut pandang yang menarik dan bertujuan membuat mengerti.
            Dua aspek dari kritik sejarah atau kritik historis digunakan di dalam gaya penulisan alkitab oleh Yahudi Kuno dan sudut pandang Kristiani. penafsir Yahudi mencoba menandai macam-macam fakta penulis kitab Perjanjian Lama dan mendebatkan isu seperti mencari tanggal kematian Musa di dalam kitab Ulangan 34. Penafsir Kristen, Julius Africanus, menghasilkan sebuah sejarah dunia dan ensiklopedia dan menganalisa beberapa teks Alkitab dengan hormat dan dapat dipercaya. Penafsir Pagan, Celsus (abad kedua A.D) dan Porphyry (303) menulis bebebrapa jilid yang mana mereka menunjukan kedua dimensi sejarah. Mereka tidak hanya meragukan apa yang telah dilaporkan di beberapa bukti-bukti teks tetapi juga meragukan apa yang diajarkan tentang beberapa teks.
            Sejak perkembangan kesadaran historis modern dan metode-metodenya, aspek-aspek historis dari materi-materi dalam Alkitab mendapat perhatian penting dalam penafsiran dan menjadi sesuatu yang tidak dapat diabaikan. Untuk itu, kita harus menjawab: bagaimana tafsiran menggunakan dan megambil keuntungan dari kritik-kritik historis? Apa saja peralatan yang digunakan untuk memfasilitasi usaha ini?
            Pertama-tama kita harus menyepakati mengenai sejarah dalam teks atau situasi yang digambarkan oleh teks. Akan tetapi, ada sumber lain yang seringkali dapat menghapus situasi yang tergambar di dalam teks itu sendiri ialah literatur perbandingan yang non-biblikal. Tulisan-tulisan zaman purbakala lainnya dapat merefleksikan pandangan yang sama, berasal dari kira-kira periode yang sama, mendiskusikan topik yang sama, atau menyajikan latar belakang informasi yang bernilai. Pentingnya referensi-referensi parallel ini telah diakui selama berabad-abad, tetapi mereka baru diterima sebagai sebuah keunggulan yang besar sejak awal abad ke-20, sering oleh ketetarikan para sarjana dalam mempelajari sejarah tradisi keagamaan kuno antara Yudaism dan Kekristenan awal. “Sejarah keagamaan” ini membongkar dan mengumpulkan berbagai materi dari dunia kuno yang telah membuka dan memberikan masukan yang baru pada penulisan Alkitab. Seperti contoh, dengan membaca Kisah Penciptaan dalam Kejadian 1-3, di samping Kisah Penciptaan lain dari dunia barat kuno, kita dapat mencatat persamaan sekaligus juga perbedaan dari keduanya, dan mengerti teks Alkitab dengan lebih baik. Penemuan arkeologis telah menggali ratusan surat dan dokumen-dokumen biasa dari kehidupan sehari-hari lainnya, khususnya dari periode Hellenis-Romawi. Perbandingan dari hal ini dengan kitab-kitab Perjanjian Baru telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pemahaman kitab mengenai bentuk dan isi kitab.
Pengetahuan historis dalam dua abad terkahir telah dengan sangat mempengaruhi setiap aspek dari pemahaman alkitabiah kita. Tidak hanya pemahaman kita tentang bagian khusus yang bertambah, tetapi juga pengetahuan kita mengenai sejarah dan bahasa dari teks alkitab itu sendiri. Hal ini menyadarkan kita bahwa penulisan Alkitab merefleksian situasi historis dari mana mereka muncul. Mengakui dimensi historis penulisan Alkitab ini berarti bahwa diakui sebagai ciri-ciri esensial dari bentuk penafsiran teks Alkitab. Untuk alasan ini, banyak komentar alkitabiah, khususnya yang diproduksi di abad-abad lalu, memberikan begitu banyak referensi untuk teks-teks parallel dan masukan-masukan untuk mempelajari dokumen-dokumen dalam menginterpretasikan teks itu sendiri.
            Dimensi historis kedua, tafsiran harus mengeksplorasikan sejarah “dari” teks, atau situasi di mana teks itu muncul-situasi dari penulis dan yang terlibat. Banyak diketahui sekarang bahwa kebanyakan buku-buku Alkitab tidak disebutkan pengarangnya (anonymous). Misalnya, tidak satu pun dari keempat Injil memuat referensi yang eksplisit tentang siapa yang penulisnya, meskipun pada abad kedua dan ketiga, mereka ditentukan sebagai Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Pada kenyataannya, banyak diakui sekarang bahwa penulisan Alkitab seringkali diedit dari pada ditulis oleh individu dan bahwa banyak orang dan kelompok berperan dalam proses pengeditan ini, yang sering di beberapa pihak, diperpanjang melampaui sebuah periode dekade atau bahkan hingga berabad-abad. Hal ini membutuhkan perubahan cara di mana penafsir mengerti hubungan antara penulisan Alkitab dan kemurnian pengirim dan penerima penulisan ini.
            Salah satu ilustrasi terbaik untuk hal ini dapat dilihat dalam Perjanjian Lama yaitu Kitab Daniel, di mana peristiwa yang tergambar dalam teks terjadi dari abad keenam sampai abad kedua s.M, namun buku itu dikarang pada pertengahan abad kedua s.M. Untuk itu, untuk mengerti bagian dari Kitab Daniel, penafsiran butuh menjadi familiar dengan keduanya, abad keenam, periode dimana peristiwa itu digambarkan, dan abad kedua, periode penahbisan kitab tersebut. Sama halnya juga dengan menafsirkan Injil. Sangat penting untuk mengetahui tentang perkembangan historis dalam keyahudian dan kekristenan dalam paruh akhir abad pertama masehi, waktu penulisan, dan seperti tiga puluh tahun pertama di abad pertama, waktu pelayanan Yesus. Ambil contoh, untuk mengerti pertentangan antara Yesus dan golongan Farisi dalam Matius 23, sama pentingnya untuk mengetahui sejarah hubungan Yahudi-Kristen setelah 70 tahun M,dan sejarah golongan Farisi dalam pelayanan Yesus.

Kesimpulan
            Kesimpulan yang kelompok tarik dari pembahasan kritik teks dan kritik sejarah adalah ketika dokter sedang melaksanakan operasi, sang dokter membutuhka sebuah pisau bedah agar operasi tersebut dapat berjalan.
            Hal itu sama dengan yang dilakukan dengan seorang penafsir. Secara tidak langsung sang penafsir adalah seorang dokter yang ahli bedah. Hermeneutika (kritik teks dan kritik sejarah) adalah pisau bedah. Jadi, sang penafsir adalah seorang ahli bedah yang menggunakan kritik teks dan kritik sejarah untuk membedah Alkitab secara tajam. Kritik teks dan kritik sejarah adalah alat paling utama untuk membedah Alkitab.

3 komentar:

  1. Bahasa yg mudah dipahami. God bless bro. Salam dari Papua @yaminusyikwa

    BalasHapus
  2. Dapat dimengerti dengan baik. Terima kasih God Bless😇

    BalasHapus