Rabu, 23 Januari 2013

Karena Bumi Milik Kita Bersama



Karena Bumi Milik Kita Bersama

Pendahuluan
Persoalan lingkungan hidup adalah persoalan global dan bersifat universal. Sebab berbicara tentang lingkungan hidup, berarti berbicara tentang persoalan yang dihadapi setiap orang, semua bangsa dan semua agama. Problem empiris yang terasa saat ini yaitu terjadinya penurunan cadangan air, pengerusakan hutan, kepunahan ribuan spesies setiap tahunnya serta berbagai pencemaran akibat limbah industri. Hal serupa juga terjadi pada pola konsumsi dan gaya hidup manusia yang mendorong munculnya teknologi yang tidak ramah lingkungan. Teknologi modern yang dikembangkan untuk mendukung produksi konsumsi yang berlebihan sehingga menghasilkan bahaya ekosistem yang sangat besar terhadap ozon dan iklim yang tidak menentu. Krisis besar yan g terjadi saat ini memerlukan energi besar pula untuk menghadapinya. Problem seperti krisis ekologi, gaya hidup dan konsumsi yang berlebihan serta melonjaknnya angka pertumbuhan penduduk yang tak terkendali adalah alasan mengapa setiap agama harus turut mengambil bagian dan harus bersatu untuk mengatasinya. Mengapa? Sebab persoalan ini sesungguhnya menghadapkan seluruh pemeluk agama pada masalah yang sama. Selain itu, agama-agama juga turut berperan dalam merumuskan pandangan-pandangan mengenai alam, kerusakan lingkungan dan mengenai peran manusia terhadap bumi ini. Oleh karena itu, agama juga diharapkan dapat menganalisis akar-akar krisis lingkungan maupun untuk mengusulkan pemecahannya.


Kisah Penciptaan Menurut Kristen dan Islam
            Kisah penciptaan dunia oleh Allah menurut agama Kristen tertulis di dalam Kitab Kejadian 1-2: 4a. Di dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah menciptakan alam semesta dengan begitu baik sejak hari pertama hingga hari keenam. Setelah itu, pada hari ketujuh, Ia pun beristirahat. Penjelasannya adalah sebagai berikut: (Blommendaal 2010, 26)
Hari 1: Penciptaan Terang
Hari 2: Penciptaan Cakrawala
Hari 3: Penciptaan daratan, lautan dan tumbuhan
Hari 4: Penciptaan matahari, bulan, bintang
Hari 5: Penciptaan hewan di udara dan lautan
Hari 6: Penciptaan binatang di darat dan manusia
Hari 7: Tuhan beristirahat.
            Kisah penciptaan dunia oleh Allah di dalam Al-Quran dengan jelas dihubungkan dengan kisah penciptaan dalam Alkitab, tetapi perbedaan mereka sangat menonjol. Al-Quran tidak memuat kisah penciptaan selengkap kisah-kisah dalam Kitab Kejadian. Kendati demikian, dari sejumlah ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan enam masa, Surat An-Nazi’at ayat 27-33 menjelaskan mengenai penciptaan alam semesta secara cukup jelas:
-          Masa I (ayat 27): penciptaan langit pertama kali
-          Masa II (ayat 28): pengembangan dan penyempurnaan
-          Masa III (ayat 29): pembentukan tata surya termasuk Bumi
-          Masa IV (ayat 30): awal mula daratan di Bumi
-          Masa V (ayat 31): pengiriman air ke Bumi melalui komet
-          Masa VI (ayat 32-33): proses geologis serta lahirnya hewan dan manusia.
Al-Quran menyatakan bahwa Allah menciptakan dunia dalam enam hari, tetapi pernyataan bahwa Allah beristirahat pada hari ketujuh ditolak secara eksplisit. Hal ini dikarenakan pernyataan yang demikian dianggap akan memberi kesan yang merendahkan kemuliaan  dan kekuasaan Allah. Sebab Allah membutuhkan istirahat setelah menciptakan dunia. (Tucker dan Grim 2003, 101)

Perintah “Jangan Merusak!” Menurut Pandangan Beberapa Agama
            Perintah untuk menjaga dan melestarikan bumi sebagai lingkungan hidup bukanlah wacana semata yang baru muncul belakangan ini. Namun perintah ini sudah ada sejak lama, sejak bumi tercipta. Berikut adalah beberapa pandangan agama mengenai perintah untuk tidak merusak bumi, melainkan kita dituntut untuk menjaga dan melestarikan bumi ini.
1.      Pandangan Kristen
Alkitab memperingatkan bahwa kerusakan alam selama ini adalah karena ulah dan kejahatan manusia. Mazmur (107:33-34), misalnya, menyatakan: Dibuat-Nya sungai-sungai menjadi padang gurun, dan pancaran-pancaran air menjadi tanah gersang, tanah yang subur menjadi padang asin, oleh sebab kejahatan orang-orang yang diam di dalamnya. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam Alkitab juga terdapat perintah Allah kepada manusia untuk menaklukkan bumi (Kej. 1:28). Namun perintah tersebut sering kali disalahartikan oleh sebagian manusia. Perintah tersebut memang mengharuskan manusia untuk berhubungan dengan lingkungan, namun tidak sepantasnya manusia dapat secara liar membabi buta seluruh kekayaan alam yang ada seperti yang terjadi sekarang ini. Sebab Alkitab sebenarnya tidak pernah menyatakan bahwa Allah memberikan hak kepada manusia untuk menguasai dan mengusahakan alam dan sumber dayanya secara eksploitatif dan seenaknya. Sebaliknya, manusia dituntut tanggung jawabnya untuk memelihara dan mengasihi segala ciptaan-Nya.
Alam digambarkan sebagai salah satu ruang lingkup di mana Allah secara personal bertemu dengan manusia dan manusia dipanggil untuk menjalankan tanggung jawabnya untuk menjaga dan melestarikan alam. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita tidak merusak alam ini. Penekanan mengenai larangan “jangan merusak!” juga terdapat dalam Ulangan 20: 19-20: “Apabila dalam memerangi suatu kota, engkau lama mengepungnya untuk direbut, maka tidak boleh engkau merusakkan pohon-pohon sekelilingnya dengan mengayunkan kapak kepadanya; buahnya boleh kaumakan, tetapi batangnya janganlah kautebang; sebab, pohon yang di padang itu bukan manusia, jadi tidak patut ikut kaukepung. Hanya pohon-pohon, yang engkau tahu tidak menghasilkan makanan, boleh kaurusakkan dan kautebang untuk mendirikan pagar pengepungan terhadap kota yang berperang melawan engkau, sampai kota itu jatuh”.
2. Pandangan Islam
Al-Quran juga menegaskan mengenai kerusakan alam. Seluruh alam ini diciptakan untuk diolah manusia guna diambil manfaatnya secara teratur, berpola, dan memungkinkan adanya hubungan yang baik antara manusia dan alam. Sebab alam merupakan persediaan kehidupan bagi manusia. Akan tetapi, agama Islam juga benar-benar mengecam pengolahan alam yang secara berlebihan (tidak teratur) sehingga mengakibatkan banyak kerusakan (bencana alam).
Di dalam Al-Quran dikatakan bahwa bumi di masa lampau tidak layak untuk kehidupan. Kemudian Allah memperbaiki dan memerintahkan kita untuk tidak melakukan kerusakan di dalamnya. Allah juga memerintahkan umatNya untuk berdoa agar dihindarkan dari keburukan dan bencana-bencana alam. (Thalbah 2012, 36) Allah SWT berfirman: “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepadaNya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik,” (QS Al-A’raf [7]: 56). Ayat diatas merangkum beberapa isyarat:
1.      Isyarat untuk tidak melakukan kerusakan di muka bumi dan mencemarinya. Hal ini tersirat dalam kalimat “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi”.
2.      Isyarat bahwa bumi pernah tercemari, lalu Allah memperbaikinya dan memerintahkan manusia untuk tidak merusaknya setelah diperbaiki. Hal ini tersirat dalam kalimat “setelah (Allah) memperbaikinya”.
3.      Isyarat akan pentingnya berdoa untuk lingkungan kita. Sebab kerusakan lingkungan yang terjadi dapat mengancam bumi dengan berbagai bencana alam seperti badai, tsunami, banjir bahkan kekeringan. Hal ini tersirat dalam kalimat “Berdoalah kepadaNya dengan rasa takut dan harapan”.
4.      Isyarat untuk tidak berputus asa dari kasih sayang Allah, dan agar kita memohon diberikannya kebaikan. Ayat ini juga mengandung isyarat bahwa Allah Mahakuasa memperbaiki kerusakan lingkungan ini. Hal ini tersirat dalam kalimat “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
3.      Pandangan Hindu
            Di dalam Mahabaratha terdapat keterangan bahwa alam adalah pernberi segala keinginan dan alam adalah sapi perah yang selalu mengeluarkan susu (kenikmatan) untuk yang menginginkannya.Ungkapan ini mengandung arti bahwa bumi atau alam yang diibaratkan sebagai sapi perah harus dipelihara dengan baik sehingga banyak mengeluarkan kebutuhan yang diperlukan oleh manusia. Kalau sapi perah itu tidak dipelihara, apalagi dibantai, niscaya ia tidak akan mengeluarkan susu lagi untuk kehidupan manusia. Dengan kata lain, alam ini ketika dieksploitasi akan membuat manusia sengsara.
4.      Pandangan Budha
Dalam Karaniyametta Sutta disebutkan, hendaklah ia berpikir semoga semua makhluk berbahagia. Makhluk hidup apapun juga, yang lemah dan yang kuat tanpa kecuali, yang panjang atau yang besar, yang sedang, pendek, kecil atau gemuk, yang tampak atau tak tampak, yang jauh maupun yang dekat, yang terlahir atau yang akan lahir, semoga semua makhluk berbahagia. Hal ini mengandung arti bahwa agama Budha menolak terjadinya pencemaran dan perusakan alam dan segenap potensinya.
Dengan demikian dapat kita lihat bahwa baik agama Islam, Kristen, Hindu maupun Buddha sama-sama mengajarkan kebaikan yang sama perihal menjaga bumi ciptaan Allah ini. Sehingga semua mahkluk yang ada di bumi dapat terselamatkan dari kerusakan lingkungan yang semakin menjadi-jadi ini.

Masalah Bersama Menuntut Tanggung Jawab Bersama
            Masalah kerusakan lingkungan merupakan suatu masalah bersama oleh setiap orang meski berbeda agama, suku, ras, dan lain sebagainya. Namun jika permasalahan ini dipandang sebagai esensi bersama atau pengalaman religius yang sama ataupun suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama, maka kita akan dengan mudah menemukan jalan keluar bersama untuk permasalahan ini. Oleh karena itu, permasalahan ini jelas membutuhkan suatu agenda bersama di mana semua agama dapat bersama-sama memahami dan memberi makna satu sama lain. Ketika umat beragama mengalami pergumulan bersama sebagai umat beragama, mereka akhirnya akan berbagi dan mencari jalan bersama untuk mengatasi permasalahan ini bersama.
Hans Kung yang berpendapat bahwa masalah-masalah yang mengancam manusia kini membutuhkan penanganan bersama dan terpadu. Namun hal itu tidak mungkin terjadi kecuali didasarkan pada dan diarahkan oleh satu persetujuan bersama tentang tujuan etis dan cara-cara etis yang dipakai untuk mencapai tujuan itu. (etika global)
Salah satu contoh adalah penyelenggaraan KTT Bumi pada bulan Juni 1992, di Rio Jeneiro, Brazilia, yang dihadiri oleh hampir seluruh Kepala Negara di dunia. KTT tersebut mencetuskan tekad untuk menyelamatkan bumi dari malapetaka yang datang oleh ulah manusia sendiri. Bersamaan dengan KTT tersebut, diselenggarakan pula pertemuan tokoh-tokoh agama yang terkenal di dunia: Katolik, Protestan, Islam, Buddha, dan Yahudi. Tokoh agama tersebut bersama-sama mengaku dosa mereka atas kealpaan mereka selama ini. Mereka mengaku bahwa selama ini mereka sibuk dengan pertentangan dan pertengkaran di antara mereka untuk memperebutkan anggota-anggota, sedangkan masalah bumi yang tercemar sangat diabaikan. Oleh karena itu, mereka bertekad untuk memperbarui komitmen. Mereka sepakat untuk bekerja sama seerat-eratnya untuk mencari jalan bagaimana caranya menyelamatkan “Ibu Bumi” yang setia mengayomi dan merangkul anak-anaknya, kendati anak-anaknya telah memperkosanya selama bertahun-tahun. (Yewangoe  2002, 98)
Permasalahan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat ulah manusia juga tidak terlepas dari pengaruh modernitas dan perkembangan teknologi. Modernitas dianggap telah menyumbangkan saham bagi lahirnya tragedi kemanusiaan yang menimpa umat manusia, seperti perang, konflik, kemiskinan, penindasan, pembunuhan, dan seterusnya. Modernitas memang diakui memunculkan optimisme kemajuan manusia melalui penemuan sains dan teknologi, tetapi pada sisi lain ia tidak mampu menjawab problem-problem besar yang dihasilkan dari dampak kemajuan tersebut. Banyaknya bencana kemanusiaan memperlihatkan bahwa modernitas gagal membuat dunia semakin damai, aman, dan sejahtera. Keyakinan akan rasionalitas manusia dan kepastian akan kemajuan ini pada momen berikutnya mengejawantah dalam aktifitas kreatif, penciptaan, dan inovasi sains dan teknologis. Dengan sains dan teknologi ini, umat manusia berusaha merealisasikan cita-citanya untuk menguasai alam, dan menghadirkannya untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. Namun demikian berbagai peristiwa faktual menunjukkan realitas yang lain. Sains dan teknologi telah membawa bencana yang mahadahsyat; dua perang dunia, konflik ideologi, kemiskinan dan kelaparan, serta krisis lingkungan yang justeru mewarnai optimisme modernitas ini. Dari sinilah lalu cita-cita modernitas dengan segala pranata intelektual dan sosialnya dipersoalkan. Rasio manusia yang diyakini akan membawa dunia ini menjadi lebih baik (better world) malah memupuskan harapan dan cita-citanya sendiri tentang kedamaian, kebahagiaan, dihormatinya martabat kemanusiaan.
Hans Kung, salah satu di antara sejumlah pemikir pengkritik modernitas, dengan lugas menegaskan bahwa kemajuan sains modern yang sepenuhnya bersandar pada rasio tidak seluruhnya membawa kemajuan umat manusia, begitu juga rasionalitas sains dan teknologi. Rasio pencerahan akhirnya jatuh pada irrasionalitas dan tenggelam dalam jurang kehancuran karena pemikiran saintifik dan teknologi tidak bisa memberikan dasar jawaban bagi problem-problem yang diakibatkannya. Tepatnya, pemikiran modern tidak mampu memberikan kerangka etika global untuk mengantisipasi dampak kemajuan dan perkembangan kehidupan modern sendiri yang semakin terdiferensiasi dan tersekularisasi. (Kung 1991, 20-21) Krisis modernitas yang membawa bencana kemanusiaan ini menarik keprihatinan Kung. Keprihatinan pertama terkait dengan tendensi modernitas yang mengandalkan rasio manusia yang tidak memberikan landasan etis yang memadai untuk tanggung jawab etika global. Kedua, terkait dengan budaya teknokratis yang mendominasi masyarakat modern telah mengabaikan aspek kemanusiaan dalam menggunakan teknologi. Akibatnya, bukan hanya melahirkan teknologi yang justru mengancam keadilan dan kebebasan manusia, tapi juga merusak lingkungan, bahkan ancaman terhadap eksistensi manusia itu sendiri. Bagi Kung, untuk menghindari bencana yang barangkali akan semakin membesar ini tidak bisa tidak harus ada suatu pergeseran nilai dalam paradigma kehidupan manusia. Pergerakan dari nilai-nilai modernitas ke “paska modernitas ini meliputi hal-hal berikut. Pertama, perubahan dari masyarakat yang bebas etik menuju masyarakat yang bertanggung jawab secara etis. Kedua, dari budaya teknokrasi yang mendominasi manusia menuju teknologi yang melayani manusia. Ketiga, dari industri yang merusak lingkungan menuju industri yang ramah lingkungan, dan keempat, dari demokrasi legal menuju demokrasi yang berkeadilan dan berkebebasan. (Kung 1991, 20-21) Namun demikian, realisasi pergeseran paradigma ini tentu saja membutuhkan konsensus bersama, suatu moralitas atau norma etik yang mengikat secara universal. Yakni, suatu norma dan nilai minimum yang bersifat transkultural dan transnasional yang bisa menjamin dan mengarahkan umat manusia menuju kehidupan masa depan yang harmonis, damai, taat hukum, dan tanpa kekerasan. Suatu norma yang dilandasi oleh tanggung jawab bersama terhadap kehidupan alam semesta (a planetary responsibility). Norma ini adalah etika publik-global yang bertanggung jawab terhadap orang lain, lingkungan dan masa depan dunia, serta menjadikan manusia sebagai kriteria dan tujuan (Kung, 28-35)
Hans Kung juga mengaskan bahwa kemajuan sains modern tidak seluruhnya membawa kemajuan umat manusia, begitu sains dan teknologi tidak seluruhnya rasional. Rasio pencerahan toh akhirnya jatuh pada irasionalitas dan tenggelam dalam jurang kehancuran. Karena persis pemikiran saintifik dan teknologis modern tidak bisa memberikan dasar bagi nilai-nilai universal, hak asasi manusia (HAM), dan kriteria etis yang memadai. Dengan bersikap pesimis terhadap peran rasio dan filsafat yang gagal menyediakan fondasi etis, Kung akhirnya melirik peluang agama yang secara potensial bisa menjadi dasar pijakan bagi moralitas universal semacam itu. Memang benar bahwa agama bisa berlaku otoritarian, menjadi tiran, menciptakan intoleransi, ketidakadilan, isolasi dan seterusnya hingga memusuhi sains, teknologi, industri, bahkan demokrasi dan HAM. Namun demikian, Kung menyanggah kalau agama dianggap tidak memiliki masa depan. Bagi Kung, agama adalah fenomena universal manusia. Ia adalah dimensi esensial hidup dan sejarah manusia yang tidak mungkin tergantikan oleh ideologi lain, apakah humanisme ateistik ala Feurbach, sosialisme ateistik ala Marx, sains ateistik ala Freud dan Russel, atau yang lain. Memang benar bahwa agama juga telah menyebabkan destruksi, tapi kenyataanya agama juga membawa pembebasan manusia, ikut menyumbangkan nilai-nilai keadilan, toleransi, solidaritas, demokrasi, HAM, perdamaian dunia, dan seterusnya, bahkan menjadi kekuatan etika nonkekerasan.(Kung , 46) Bagi Kung, dengan bukti-bukti bahwa agama bisa menjadi fondasi bagi identitas psikologis, kedewasaan manusia, kesadaran diri yang sehat serta kekuatan pendorong perubahan sosial, Kung menolak agama dipandang sebagai proyaksi atau sarana pelipur lara, apalagi ilusi kekanak-kanakan. Sebaliknya, agama memiliki harapan dan potensi besar untuk membangun kerangka etika universal, yang tidak mungkin lagi diharapkan dari rasio dan pemikiran saintifik dan teknologis. Mengapa? Pertama, setiap agama memiliki nilai-nilai humanum, dam justeru ia bisa dipertanggungjawabkan karena nilai nilai humanum ini. (Kung 1991, 51) Kedua, agama memberikan basis absolutisitas dan keharusan moral secara tanpa syarat, dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun. Ini berbeda dengan para penganut eteisme, mereka bisa saja melakukan tindakan bermoral secara otonom dan manusiawi tetapi mereka tidak bisa memberikan alasan mengapa ia menerima absolutisitas dan universalitas kewajiban moral. Kung menegaskan: “An inconditional claim, a ‘categorical’ ought, cannot be derived from the finite conditions of human existence, from human urgencies and needs. And even an independent abstract ‘human nature’ or idea of humanity’ (as a legitimating authority) can hardly put unconditional obligation on anyone for anything”.(Kung, 52) Sebaliknya, tuntutan etis dan keharusan tanpa syarat itu hanya bisa dan harus didasarkan pada sesuatu yang tak bersyarat dan yang Absolut. Dalam konteks ini, bagi Kung, agama-agama profetis seperti Judaisme, Kristiani dan Islam bisa memberikan basis tuntutan etis yang absolut dan universal. Keyakinan pada the Ultimate Reality atau Tuhan diyakini bisa memberikan motivasi moral dan tingkat paksaan (compulsion), dan menjadi modal dasar agama-agama dalam membangun etika bersama. Dan alasan ketiga, etika global yang bersifat universal berdasarkan nilai-nilai agama mungkin dicapai karena setiap manusia secara antropologis meyakini akan Yang Absolut.(Kung, 44-45) Namun demikian Kung memberikan sejumlah catatan bahwa agama-agama seharusnya juga bersikap rendah hati menerima perkembangan pemikiran baru karena ia sendiri tidak lepas dari problem di dalam dirinya. Singkatnya, agama tetap tidak bisa mengabaikan nilai-nilai pencerahan seperti humanisme, dan perkembangan sains dan teknologi. Pertama, karena nilai dan norma etis konkret itu juga hadir bersama dalam proses sejarah, maka dimungkinkan solusi dan norma etis itu berubah secara kontekstual. Kedua, agamawan juga harus menggunakan bantuan metode sains untuk memperoleh kepastian analisis secara prejudis terhadap persoalan-persoalan terkait sebelum mengambil keputusan. Ketiga, persoalan yang semakin kompleks menuntut adanya pertanggungjawaban etis berikut solusi konkrit menurut konteks setempat. Selain itu tindakan etis juga mesti dilakukan dengan pertimbangan prioritas dan kepastian, dan ini bisa dicapai dengan memanfaatkan metode analisis sains.
Dengan menjadikan agama-agama sebagai basis etika global ini, Kung benar-benar ingin mencari alternatif landasan bersama etika bersama yang mengikat. Bukan menggantungkan diri pada rasionalitas manusia, melainkan pada pertemuan nilai-nilai humanum dari agama-agama.

Penutup
Kita dan mereka (alam/bumi) adalah satu. Satu memberi dan satu menerima. Itulah jalinan kita dengan pohon, dengan hutan. Di kota ini, air, udara, dan teduh kita bergantung padanya (alam/bumi). Melindungi mereka (alam/bumi) berarti melindungi masa depan kita. Banyak pohon, banyak rejeki.”
Kalimat tersebut adalah kutipan dari sebuah iklan hasil kerja sama PT Bayan Resource (sebuah perusahaan pertambangan batubara) dan pemerintah yang mengajak kita untuk peduli lingkungan dengan tema “Banyak Bumi, banyak rejeki: suatu gerakan penanaman 1 milyar pohon”. Di dalam iklan yang berdurasi 29 detik ini kita diajak untuk berefleksi bahwa kita dan alam memiliki ikalatan yang begitu kuat sehingga kita tidak akan pernah dapat terlepaskan dari mereka (alam). Ajakan yang singkat dan sederhana ini tentu diperuntukkan bagi setiap orang yang menonton iklan tersebut. Dengan kata lain, iklan tersebut mengimbau setiap orang tanpa memandang agamanya, untuk ikut mengambil bagian dalam aksi penanaman pohon sebagai aksi menjaga bumi.
Bumi bukan milik agama Kristen, bukan milik agama Islam, Hindu, Budha atau agama tertentu lainnya. Bumi ini bukan milik siapa-siapa, melainkan milik kita bersama. Bahkan orang yang tidak beragama sekalipun hidup di bumi pertiwi ini. Kalau begitu, dapatkah penganut agama yang berbeda bekerja sama? Mengapa tidak? Bukankah kita semua adalah manusia yang mempunyai keprihatinan yang sama terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan? Kalau kita mempunyai kesadaran bersama untuk menggeluti masalah tersebut, maka tidak ada salahnya juga jika kita turut memberi aksi, bukan hanya reaksi sementara berupa opini perihal bumi ini. Artinya jika ada masalah yang menyingung persoalan bumi, maka akan menyinggung setiap orang dan semua agama juga. Karena itu, penyelesaiannya bukan hanya lewat dialog antaragama saja, tetapi juga dapat dengan aksi bersama. Misalnya seperti penanaman pohon bersama. Karena itu, problema persoalan lingkungan ini sebenarnya cukup jadi alasan bagi setiap pemeluk agama untuk berdialog dan membangun kerjasama mengatasi masalah bersama ini. Apalagi bumi dalam perspektif keagamaan adalah ciptaan Tuhan yang patut dijaga bersama kesucian dan kelestariannya. Kesulitan-kesulitan itu akan dapat diselesaikan apabila kita memperoleh pengertian bersama. Saling merasa berbagi dalam menghadapi meluasnya krisis lingkungan, adalah dasar dan momentum yang tepat untuk menghadirkan pemeluk agama secara bersama-sama memikirkan pemecahannya, demi masa depan kehidupan di planet bumi. Kerusakan lingkungan yang terjadi di planet bumi ini, seyogyanya dapat dimaknai sebagai suatu panggilan agar semua pemeluk agama-agama bangkit dan merentangkan kesadaran moral untuk melindungi kehidupan dan mencegah kepunahan akibat peran manusia mengelola bumi. Menurut saya, masalah kerusakan lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan bencana ini mungkin dapat dijadikan sebagai topik yang dapat kita perbincangkan bersama dalam rangka dialog antaragama (atau setidaknya sebagai jembatan yang menjembatani semua agama). Selain itu, ada beberapa hal yang juga dapat diajarkan oleh agama dan kita terapkan untuk menyelamatkan bumi adalah sebagai berikut:
1.      Mengajarkan kepada manusia terutama untuk berkaca melihat diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain atas kerusakan lingkungan yang tengah terjadi. Misalnya sebagai contoh, satu tindakan kecil—membuang sampah sembarangan—yang dilakukan oleh seorang individu bisa saja menyebabkan bencana besar bagi manusia lainnya.
2.      Perlu adanya kesadaran yang direalisasikan dengan aplikasi dan implementasi gerakan hijau. Gerakan hijau tidak serta merta hanya memelihara alam secara sepihak, tetapi pada dasarnya juga menjadi faktor penentu eksistensi umat manusia. Hal ini dapat menjadi aksi bersama oleh seluruh umat di dunia, bukan hanya pemuka- pemuka agama yang terlibat pembicaraan ini, namun seluruh manusia tanpa memandang perbedaan yang sama.
Daftar Pustaka
Blommendaal, J. Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Kung, Hans, Global Responsibility In Search of a New World Ethic, New York: Crossroad
Publishing Company, 1991.
Thalbah, Hisham. Ensiklopedia Mukjizat AlQuran dan Hadis jilid 8. Indonesia: Sapta Pesona,
2010.
Tucker, Mary Evelyn dan John A. Grim. Agama, Filsafat, & Lingkungan Hidup. Yogyakarta:
Kanisius, 2003.
Yewangoe, A. A. Iman. Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila. Jakarta: BPK Gunung
            Mulia, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar