Karena Bumi Milik Kita Bersama
Pendahuluan
Persoalan
lingkungan hidup adalah persoalan global dan bersifat universal. Sebab
berbicara tentang lingkungan hidup, berarti berbicara tentang persoalan yang
dihadapi setiap orang, semua bangsa dan semua agama. Problem empiris yang
terasa saat ini yaitu terjadinya penurunan cadangan air, pengerusakan hutan, kepunahan
ribuan spesies setiap tahunnya serta berbagai pencemaran akibat limbah
industri. Hal serupa juga terjadi pada pola konsumsi dan gaya hidup manusia
yang mendorong munculnya teknologi yang tidak ramah lingkungan. Teknologi
modern yang dikembangkan untuk mendukung produksi konsumsi yang berlebihan
sehingga menghasilkan bahaya ekosistem yang sangat besar terhadap ozon dan
iklim yang tidak menentu. Krisis besar yan g terjadi saat ini memerlukan energi
besar pula untuk menghadapinya. Problem seperti krisis ekologi, gaya hidup dan
konsumsi yang berlebihan serta melonjaknnya angka pertumbuhan penduduk yang tak
terkendali adalah alasan mengapa setiap agama harus turut mengambil bagian dan
harus bersatu untuk mengatasinya. Mengapa? Sebab persoalan ini sesungguhnya
menghadapkan seluruh pemeluk agama pada masalah yang sama. Selain itu,
agama-agama juga turut berperan dalam merumuskan pandangan-pandangan mengenai
alam, kerusakan lingkungan dan mengenai peran manusia terhadap bumi ini. Oleh
karena itu, agama juga diharapkan dapat menganalisis akar-akar krisis
lingkungan maupun untuk mengusulkan pemecahannya.
Kisah
Penciptaan Menurut Kristen dan Islam
Kisah penciptaan
dunia oleh Allah menurut agama Kristen tertulis di dalam Kitab Kejadian 1-2: 4a.
Di dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah menciptakan alam semesta dengan
begitu baik sejak hari pertama hingga hari keenam. Setelah itu, pada hari
ketujuh, Ia pun beristirahat. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
(Blommendaal 2010, 26)
Hari 1: Penciptaan
Terang
Hari 2: Penciptaan
Cakrawala
Hari 3: Penciptaan
daratan, lautan dan tumbuhan
Hari 4: Penciptaan
matahari, bulan, bintang
Hari 5: Penciptaan
hewan di udara dan lautan
Hari 6: Penciptaan
binatang di darat dan manusia
Hari 7: Tuhan
beristirahat.
Kisah penciptaan dunia oleh Allah di dalam Al-Quran
dengan jelas dihubungkan dengan kisah penciptaan dalam Alkitab, tetapi
perbedaan mereka sangat menonjol. Al-Quran tidak memuat kisah penciptaan
selengkap kisah-kisah dalam Kitab Kejadian. Kendati
demikian, dari sejumlah ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan enam masa, Surat
An-Nazi’at ayat 27-33 menjelaskan mengenai penciptaan alam semesta secara cukup
jelas:
-
Masa
I (ayat 27): penciptaan langit pertama kali
-
Masa
II (ayat 28): pengembangan dan penyempurnaan
-
Masa
III (ayat 29): pembentukan tata surya termasuk Bumi
-
Masa
IV (ayat 30): awal mula daratan di Bumi
-
Masa
V (ayat 31): pengiriman air ke Bumi melalui komet
-
Masa
VI (ayat 32-33): proses geologis serta lahirnya hewan dan manusia.
Al-Quran menyatakan
bahwa Allah menciptakan dunia dalam enam hari, tetapi pernyataan bahwa Allah
beristirahat pada hari ketujuh ditolak secara eksplisit. Hal ini dikarenakan
pernyataan yang demikian dianggap akan memberi kesan yang merendahkan kemuliaan
dan kekuasaan Allah. Sebab Allah membutuhkan
istirahat setelah menciptakan dunia. (Tucker dan Grim 2003, 101)
Perintah
“Jangan Merusak!” Menurut Pandangan Beberapa Agama
Perintah untuk menjaga dan melestarikan bumi sebagai
lingkungan hidup bukanlah wacana semata yang baru muncul belakangan ini. Namun
perintah ini sudah ada sejak lama, sejak bumi tercipta. Berikut adalah beberapa
pandangan agama mengenai perintah untuk tidak merusak bumi, melainkan kita
dituntut untuk menjaga dan melestarikan bumi ini.
1. Pandangan Kristen
Alkitab
memperingatkan bahwa kerusakan alam selama ini adalah karena ulah dan kejahatan
manusia. Mazmur (107:33-34), misalnya, menyatakan: Dibuat-Nya
sungai-sungai menjadi padang gurun, dan pancaran-pancaran air menjadi tanah
gersang, tanah yang subur menjadi padang asin, oleh sebab kejahatan orang-orang
yang diam di dalamnya. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam Alkitab juga
terdapat perintah Allah kepada manusia untuk menaklukkan bumi (Kej. 1:28). Namun
perintah tersebut sering kali disalahartikan oleh sebagian manusia. Perintah
tersebut memang mengharuskan manusia untuk berhubungan dengan lingkungan, namun
tidak sepantasnya manusia dapat secara liar membabi buta seluruh kekayaan alam
yang ada seperti yang terjadi sekarang ini. Sebab Alkitab sebenarnya tidak
pernah menyatakan bahwa Allah memberikan hak kepada manusia untuk menguasai dan
mengusahakan alam dan sumber dayanya secara eksploitatif dan
seenaknya. Sebaliknya, manusia dituntut tanggung jawabnya untuk memelihara
dan mengasihi segala ciptaan-Nya.
Alam
digambarkan sebagai salah satu ruang lingkup di mana Allah secara personal
bertemu dengan manusia dan manusia dipanggil untuk menjalankan tanggung
jawabnya untuk menjaga dan melestarikan alam. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya kita tidak merusak alam ini. Penekanan mengenai larangan “jangan
merusak!” juga terdapat dalam Ulangan 20: 19-20: “Apabila dalam memerangi suatu kota, engkau lama mengepungnya untuk
direbut, maka tidak boleh engkau merusakkan pohon-pohon sekelilingnya dengan
mengayunkan kapak kepadanya; buahnya boleh kaumakan, tetapi batangnya janganlah
kautebang; sebab, pohon yang di padang itu bukan manusia, jadi tidak patut ikut
kaukepung. Hanya pohon-pohon, yang engkau tahu tidak menghasilkan makanan,
boleh kaurusakkan dan kautebang untuk mendirikan pagar pengepungan terhadap
kota yang berperang melawan engkau, sampai kota itu jatuh”.
2. Pandangan Islam
Al-Quran
juga menegaskan mengenai kerusakan alam. Seluruh alam ini diciptakan untuk
diolah manusia guna diambil manfaatnya secara teratur, berpola, dan
memungkinkan adanya hubungan yang baik antara manusia dan alam. Sebab alam
merupakan persediaan kehidupan bagi manusia. Akan tetapi, agama Islam juga
benar-benar mengecam pengolahan alam yang secara berlebihan (tidak teratur)
sehingga mengakibatkan banyak kerusakan (bencana alam).
Di
dalam Al-Quran dikatakan bahwa bumi di masa lampau tidak layak untuk kehidupan.
Kemudian Allah memperbaiki dan memerintahkan kita untuk tidak melakukan
kerusakan di dalamnya. Allah juga memerintahkan umatNya untuk berdoa agar
dihindarkan dari keburukan dan bencana-bencana alam. (Thalbah 2012, 36) Allah
SWT berfirman: “Janganlah kalian membuat
kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepadaNya
dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik,” (QS Al-A’raf [7]: 56). Ayat diatas
merangkum beberapa isyarat:
1.
Isyarat untuk tidak melakukan kerusakan
di muka bumi dan mencemarinya. Hal ini tersirat dalam kalimat “Janganlah kalian
membuat kerusakan di muka bumi”.
2.
Isyarat bahwa bumi pernah tercemari,
lalu Allah memperbaikinya dan memerintahkan manusia untuk tidak merusaknya
setelah diperbaiki. Hal ini tersirat dalam kalimat “setelah (Allah)
memperbaikinya”.
3.
Isyarat akan pentingnya berdoa untuk
lingkungan kita. Sebab kerusakan lingkungan yang terjadi dapat mengancam bumi
dengan berbagai bencana alam seperti badai, tsunami, banjir bahkan kekeringan.
Hal ini tersirat dalam kalimat “Berdoalah kepadaNya dengan rasa takut dan
harapan”.
4.
Isyarat untuk tidak berputus asa dari
kasih sayang Allah, dan agar kita memohon diberikannya kebaikan. Ayat ini juga
mengandung isyarat bahwa Allah Mahakuasa memperbaiki kerusakan lingkungan ini.
Hal ini tersirat dalam kalimat “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang
yang berbuat baik”.
3. Pandangan Hindu
Di dalam Mahabaratha terdapat keterangan bahwa alam
adalah pernberi segala keinginan dan alam adalah sapi perah yang selalu
mengeluarkan susu (kenikmatan) untuk yang menginginkannya.Ungkapan ini
mengandung arti bahwa bumi atau alam yang diibaratkan sebagai sapi perah harus
dipelihara dengan baik sehingga banyak mengeluarkan kebutuhan yang diperlukan
oleh manusia. Kalau sapi perah itu tidak dipelihara, apalagi dibantai,
niscaya ia tidak akan mengeluarkan susu lagi untuk kehidupan
manusia. Dengan kata lain, alam ini ketika dieksploitasi akan membuat
manusia sengsara.
4. Pandangan Budha
Dalam
Karaniyametta Sutta disebutkan, hendaklah ia berpikir semoga semua makhluk
berbahagia. Makhluk hidup apapun juga, yang lemah dan yang kuat tanpa
kecuali, yang panjang atau yang besar, yang sedang, pendek, kecil atau gemuk,
yang tampak atau tak tampak, yang jauh maupun yang dekat, yang terlahir atau
yang akan lahir, semoga semua makhluk berbahagia. Hal ini mengandung arti
bahwa agama Budha menolak terjadinya pencemaran dan perusakan alam dan segenap
potensinya.
Dengan
demikian dapat kita lihat bahwa baik agama Islam, Kristen, Hindu maupun Buddha
sama-sama mengajarkan kebaikan yang sama perihal menjaga bumi ciptaan Allah
ini. Sehingga semua mahkluk yang ada di bumi dapat terselamatkan dari kerusakan
lingkungan yang semakin menjadi-jadi ini.
Masalah
Bersama Menuntut Tanggung Jawab Bersama
Masalah
kerusakan lingkungan merupakan suatu masalah bersama oleh setiap orang meski
berbeda agama, suku, ras, dan lain sebagainya. Namun jika permasalahan ini
dipandang sebagai esensi bersama atau pengalaman religius yang sama ataupun
suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama, maka kita akan dengan mudah
menemukan jalan keluar bersama untuk permasalahan ini. Oleh karena itu,
permasalahan ini jelas membutuhkan suatu agenda bersama di mana semua agama
dapat bersama-sama memahami dan memberi makna satu sama lain. Ketika umat
beragama mengalami pergumulan bersama sebagai umat beragama, mereka akhirnya
akan berbagi dan mencari jalan bersama untuk mengatasi permasalahan ini bersama.
Hans
Kung yang berpendapat bahwa masalah-masalah yang mengancam manusia kini
membutuhkan penanganan bersama dan terpadu. Namun hal itu tidak mungkin terjadi
kecuali didasarkan pada dan diarahkan oleh satu persetujuan bersama tentang
tujuan etis dan cara-cara etis yang dipakai untuk mencapai tujuan itu. (etika
global)
Salah
satu contoh adalah penyelenggaraan KTT Bumi pada bulan Juni 1992, di Rio
Jeneiro, Brazilia, yang dihadiri oleh hampir seluruh Kepala Negara di dunia.
KTT tersebut mencetuskan tekad untuk menyelamatkan bumi dari malapetaka yang
datang oleh ulah manusia sendiri. Bersamaan dengan KTT tersebut,
diselenggarakan pula pertemuan tokoh-tokoh agama yang terkenal di dunia:
Katolik, Protestan, Islam, Buddha, dan Yahudi. Tokoh agama tersebut
bersama-sama mengaku dosa mereka atas kealpaan mereka selama ini. Mereka
mengaku bahwa selama ini mereka sibuk dengan pertentangan dan pertengkaran di
antara mereka untuk memperebutkan anggota-anggota, sedangkan masalah bumi yang
tercemar sangat diabaikan. Oleh karena itu, mereka bertekad untuk memperbarui
komitmen. Mereka sepakat untuk bekerja sama seerat-eratnya untuk mencari jalan
bagaimana caranya menyelamatkan “Ibu Bumi” yang setia mengayomi dan merangkul
anak-anaknya, kendati anak-anaknya telah memperkosanya selama bertahun-tahun.
(Yewangoe 2002, 98)
Permasalahan
kerusakan lingkungan yang terjadi akibat ulah manusia juga tidak terlepas dari
pengaruh modernitas dan perkembangan teknologi. Modernitas dianggap telah
menyumbangkan saham bagi lahirnya tragedi kemanusiaan yang menimpa umat
manusia, seperti perang, konflik, kemiskinan, penindasan, pembunuhan, dan
seterusnya. Modernitas memang diakui memunculkan optimisme kemajuan manusia
melalui penemuan sains dan teknologi, tetapi pada sisi lain ia tidak mampu
menjawab problem-problem besar yang dihasilkan dari dampak kemajuan tersebut.
Banyaknya bencana kemanusiaan memperlihatkan bahwa modernitas gagal membuat
dunia semakin damai, aman, dan sejahtera. Keyakinan akan rasionalitas manusia
dan kepastian akan kemajuan ini pada momen berikutnya mengejawantah dalam
aktifitas kreatif, penciptaan, dan inovasi sains dan teknologis. Dengan sains
dan teknologi ini, umat manusia berusaha merealisasikan cita-citanya untuk
menguasai alam, dan menghadirkannya untuk kesejahteraan seluruh umat manusia.
Namun demikian berbagai peristiwa faktual menunjukkan realitas yang lain. Sains
dan teknologi telah membawa bencana yang mahadahsyat; dua perang dunia, konflik
ideologi, kemiskinan dan kelaparan, serta krisis lingkungan yang justeru
mewarnai optimisme modernitas ini. Dari sinilah lalu cita-cita modernitas
dengan segala pranata intelektual dan sosialnya dipersoalkan. Rasio manusia
yang diyakini akan membawa dunia ini menjadi lebih baik (better world) malah
memupuskan harapan dan cita-citanya sendiri tentang kedamaian, kebahagiaan,
dihormatinya martabat kemanusiaan.
Hans
Kung, salah satu di antara sejumlah pemikir pengkritik modernitas, dengan lugas
menegaskan bahwa kemajuan sains modern yang sepenuhnya bersandar pada rasio
tidak seluruhnya membawa kemajuan umat manusia, begitu juga rasionalitas sains
dan teknologi. Rasio pencerahan akhirnya jatuh pada irrasionalitas dan
tenggelam dalam jurang kehancuran karena pemikiran saintifik dan teknologi
tidak bisa memberikan dasar jawaban bagi problem-problem yang diakibatkannya.
Tepatnya, pemikiran modern tidak mampu memberikan kerangka etika global untuk
mengantisipasi dampak kemajuan dan perkembangan kehidupan modern sendiri yang
semakin terdiferensiasi dan tersekularisasi. (Kung
1991, 20-21) Krisis modernitas yang membawa bencana kemanusiaan ini menarik
keprihatinan Kung. Keprihatinan pertama terkait dengan tendensi modernitas yang
mengandalkan rasio manusia yang tidak memberikan landasan etis yang memadai
untuk tanggung jawab etika global. Kedua, terkait dengan budaya teknokratis
yang mendominasi masyarakat modern telah mengabaikan aspek kemanusiaan dalam
menggunakan teknologi. Akibatnya, bukan hanya melahirkan teknologi yang justru
mengancam keadilan dan kebebasan manusia, tapi juga merusak lingkungan, bahkan
ancaman terhadap eksistensi manusia itu sendiri. Bagi Kung, untuk menghindari
bencana yang barangkali akan semakin membesar ini tidak bisa tidak harus ada
suatu pergeseran nilai dalam paradigma kehidupan manusia. Pergerakan dari
nilai-nilai modernitas ke “paska modernitas” ini
meliputi hal-hal berikut. Pertama, perubahan dari masyarakat yang bebas etik
menuju masyarakat yang bertanggung jawab secara etis. Kedua, dari budaya
teknokrasi yang mendominasi manusia menuju teknologi yang melayani
manusia. Ketiga, dari industri yang merusak lingkungan menuju industri
yang ramah lingkungan, dan keempat, dari demokrasi legal menuju demokrasi
yang berkeadilan dan berkebebasan. (Kung 1991, 20-21) Namun demikian,
realisasi pergeseran paradigma ini tentu saja membutuhkan konsensus bersama,
suatu moralitas atau norma etik yang mengikat secara universal. Yakni, suatu
norma dan nilai minimum yang bersifat transkultural dan transnasional yang bisa
menjamin dan mengarahkan umat manusia menuju kehidupan masa depan yang
harmonis, damai, taat hukum, dan tanpa kekerasan. Suatu norma yang dilandasi
oleh tanggung jawab bersama terhadap kehidupan alam semesta (a planetary
responsibility). Norma ini adalah etika publik-global yang bertanggung
jawab terhadap orang lain, lingkungan dan masa depan dunia, serta menjadikan
manusia sebagai kriteria dan tujuan (Kung, 28-35)
Hans
Kung juga mengaskan bahwa kemajuan sains modern tidak seluruhnya membawa
kemajuan umat manusia, begitu sains dan teknologi tidak seluruhnya rasional.
Rasio pencerahan toh akhirnya jatuh pada irasionalitas dan tenggelam dalam
jurang kehancuran. Karena persis pemikiran saintifik dan teknologis modern
tidak bisa memberikan dasar bagi nilai-nilai universal, hak asasi manusia
(HAM), dan kriteria etis yang memadai. Dengan bersikap pesimis terhadap peran
rasio dan filsafat yang gagal menyediakan fondasi etis, Kung akhirnya melirik
peluang agama yang secara potensial bisa menjadi dasar pijakan bagi moralitas
universal semacam itu. Memang benar bahwa agama bisa berlaku otoritarian,
menjadi tiran, menciptakan intoleransi, ketidakadilan, isolasi dan seterusnya
hingga memusuhi sains, teknologi, industri, bahkan demokrasi dan HAM. Namun
demikian, Kung menyanggah kalau agama dianggap tidak memiliki masa depan. Bagi
Kung, agama adalah fenomena universal manusia. Ia adalah dimensi esensial hidup
dan sejarah manusia yang tidak mungkin tergantikan oleh ideologi lain, apakah
humanisme ateistik ala Feurbach, sosialisme ateistik ala Marx, sains ateistik
ala Freud dan Russel, atau yang lain. Memang benar bahwa agama juga telah
menyebabkan destruksi, tapi kenyataanya agama juga membawa pembebasan manusia,
ikut menyumbangkan nilai-nilai keadilan, toleransi, solidaritas, demokrasi,
HAM, perdamaian dunia, dan seterusnya, bahkan menjadi kekuatan etika
nonkekerasan.(Kung , 46) Bagi Kung, dengan bukti-bukti bahwa agama bisa menjadi
fondasi bagi identitas psikologis, kedewasaan manusia, kesadaran diri yang
sehat serta kekuatan pendorong perubahan sosial, Kung menolak agama dipandang
sebagai proyaksi atau sarana pelipur lara, apalagi ilusi kekanak-kanakan. Sebaliknya,
agama memiliki harapan dan potensi besar untuk membangun kerangka etika
universal, yang tidak mungkin lagi diharapkan dari rasio dan pemikiran
saintifik dan teknologis. Mengapa? Pertama, setiap agama memiliki
nilai-nilai humanum, dam justeru ia bisa dipertanggungjawabkan karena
nilai nilai humanum ini. (Kung 1991, 51)
Kedua, agama memberikan basis absolutisitas dan keharusan moral secara
tanpa syarat, dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun. Ini berbeda dengan
para penganut eteisme, mereka bisa saja melakukan tindakan bermoral secara
otonom dan manusiawi tetapi mereka tidak bisa memberikan alasan mengapa ia
menerima absolutisitas dan universalitas kewajiban moral. Kung
menegaskan: “An inconditional claim, a ‘categorical’ ought, cannot be
derived from the finite conditions of human existence, from human urgencies and
needs. And even an independent abstract ‘human nature’ or idea of humanity’ (as
a legitimating authority) can hardly put unconditional obligation on anyone for
anything”.(Kung, 52) Sebaliknya, tuntutan etis dan keharusan tanpa syarat itu
hanya bisa dan harus didasarkan pada sesuatu yang tak bersyarat dan yang
Absolut. Dalam konteks ini, bagi Kung, agama-agama profetis seperti Judaisme,
Kristiani dan Islam bisa memberikan basis tuntutan etis yang absolut dan
universal. Keyakinan pada the Ultimate Reality atau Tuhan diyakini
bisa memberikan motivasi moral dan tingkat paksaan (compulsion), dan
menjadi modal dasar agama-agama dalam membangun etika bersama. Dan
alasan ketiga, etika global yang bersifat universal berdasarkan
nilai-nilai agama mungkin dicapai karena setiap manusia secara antropologis
meyakini akan Yang Absolut.(Kung, 44-45) Namun demikian
Kung memberikan sejumlah catatan bahwa agama-agama seharusnya juga bersikap
rendah hati menerima perkembangan pemikiran baru karena ia sendiri tidak lepas
dari problem di dalam dirinya. Singkatnya, agama tetap tidak bisa mengabaikan
nilai-nilai pencerahan seperti humanisme, dan perkembangan sains dan
teknologi. Pertama, karena nilai dan norma etis konkret itu juga
hadir bersama dalam proses sejarah, maka dimungkinkan solusi dan norma etis itu
berubah secara kontekstual. Kedua, agamawan juga harus menggunakan bantuan
metode sains untuk memperoleh kepastian analisis secara prejudis terhadap
persoalan-persoalan terkait sebelum mengambil keputusan. Ketiga, persoalan
yang semakin kompleks menuntut adanya pertanggungjawaban etis berikut solusi
konkrit menurut konteks setempat. Selain itu tindakan etis juga mesti dilakukan
dengan pertimbangan prioritas dan kepastian, dan ini bisa dicapai dengan
memanfaatkan metode analisis sains.
Dengan
menjadikan agama-agama sebagai basis etika global ini, Kung benar-benar ingin
mencari alternatif landasan bersama etika bersama yang mengikat. Bukan
menggantungkan diri pada rasionalitas manusia, melainkan pada pertemuan
nilai-nilai humanum dari agama-agama.
Penutup
“Kita dan mereka (alam/bumi) adalah satu.
Satu memberi dan satu menerima. Itulah jalinan kita dengan pohon, dengan hutan.
Di kota ini, air, udara, dan teduh kita bergantung padanya (alam/bumi).
Melindungi mereka (alam/bumi) berarti melindungi masa depan kita. Banyak pohon,
banyak rejeki.”
Kalimat
tersebut adalah kutipan dari sebuah iklan hasil kerja sama PT Bayan Resource (sebuah
perusahaan pertambangan batubara) dan pemerintah yang mengajak kita untuk peduli
lingkungan dengan tema “Banyak Bumi, banyak rejeki: suatu gerakan penanaman 1
milyar pohon”. Di dalam iklan yang berdurasi 29 detik ini kita diajak untuk
berefleksi bahwa kita dan alam memiliki ikalatan yang begitu kuat sehingga kita
tidak akan pernah dapat terlepaskan dari mereka (alam). Ajakan yang singkat dan
sederhana ini tentu diperuntukkan bagi setiap orang yang menonton iklan
tersebut. Dengan kata lain, iklan tersebut mengimbau setiap orang tanpa
memandang agamanya, untuk ikut mengambil bagian dalam aksi penanaman pohon
sebagai aksi menjaga bumi.
Bumi
bukan milik agama Kristen, bukan milik agama Islam, Hindu, Budha atau agama
tertentu lainnya. Bumi ini bukan milik siapa-siapa, melainkan milik kita
bersama. Bahkan orang yang tidak beragama sekalipun hidup di bumi pertiwi ini. Kalau
begitu, dapatkah penganut agama yang berbeda bekerja sama? Mengapa tidak?
Bukankah kita semua adalah manusia yang mempunyai keprihatinan yang sama
terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan? Kalau kita mempunyai kesadaran
bersama untuk menggeluti masalah tersebut, maka tidak ada salahnya juga jika
kita turut memberi aksi, bukan hanya reaksi sementara berupa opini perihal bumi
ini. Artinya jika ada masalah yang menyingung persoalan bumi, maka akan
menyinggung setiap orang dan semua agama juga. Karena itu, penyelesaiannya
bukan hanya lewat dialog antaragama saja, tetapi juga dapat dengan aksi bersama.
Misalnya seperti penanaman pohon bersama. Karena itu, problema persoalan
lingkungan ini sebenarnya cukup jadi alasan bagi setiap pemeluk agama untuk
berdialog dan membangun kerjasama mengatasi masalah bersama ini. Apalagi bumi
dalam perspektif keagamaan adalah ciptaan Tuhan yang patut dijaga bersama
kesucian dan kelestariannya. Kesulitan-kesulitan itu akan dapat diselesaikan
apabila kita memperoleh pengertian bersama. Saling merasa berbagi dalam
menghadapi meluasnya krisis lingkungan, adalah dasar dan momentum yang
tepat untuk menghadirkan pemeluk agama secara bersama-sama memikirkan
pemecahannya, demi masa depan kehidupan di planet bumi. Kerusakan lingkungan
yang terjadi di planet bumi ini, seyogyanya dapat dimaknai sebagai
suatu panggilan agar semua pemeluk agama-agama bangkit dan
merentangkan kesadaran moral untuk melindungi kehidupan dan mencegah
kepunahan akibat peran manusia mengelola bumi. Menurut saya, masalah kerusakan
lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan bencana ini mungkin dapat dijadikan
sebagai topik yang dapat kita perbincangkan bersama dalam rangka dialog
antaragama (atau setidaknya sebagai jembatan yang menjembatani semua agama).
Selain itu, ada beberapa hal yang juga dapat diajarkan oleh agama dan kita
terapkan untuk menyelamatkan bumi adalah sebagai berikut:
1.
Mengajarkan kepada manusia terutama
untuk berkaca melihat diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain atas
kerusakan lingkungan yang tengah terjadi. Misalnya sebagai contoh, satu
tindakan kecil—membuang sampah sembarangan—yang dilakukan oleh seorang individu
bisa saja menyebabkan bencana besar bagi manusia lainnya.
2.
Perlu adanya kesadaran yang
direalisasikan dengan aplikasi dan implementasi gerakan hijau. Gerakan hijau
tidak serta merta hanya memelihara alam secara sepihak, tetapi pada dasarnya
juga menjadi faktor penentu eksistensi umat manusia. Hal ini dapat menjadi aksi
bersama oleh seluruh umat di dunia, bukan hanya pemuka- pemuka agama yang
terlibat pembicaraan ini, namun seluruh manusia tanpa memandang perbedaan yang
sama.
Daftar Pustaka
Blommendaal, J. Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2010.
Kung, Hans, Global
Responsibility In Search of a New World Ethic, New York: Crossroad
Publishing
Company, 1991.
Thalbah, Hisham. Ensiklopedia Mukjizat AlQuran dan Hadis
jilid 8. Indonesia: Sapta Pesona,
2010.
Tucker, Mary Evelyn dan
John A. Grim. Agama, Filsafat, &
Lingkungan Hidup. Yogyakarta:
Kanisius,
2003.
Yewangoe, A. A. Iman.
Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar