Mazmur
Pujian
Pendahuluan
Bayangkan
bagaimana sulitnya menjelaskan bahwa kicau burung di pagi hari itu sangat merdu
kepada seseorang yang belum pernah mendengar kicauan burung di pagi hari. Sama
halnya dengan Mazmur. Untuk sebagian orang, nyanyian Mazmur merupakan sesuatu
hal yang baru mereka dengar karena belum semua gereja-gereja menyanyikan
nyanyian Mazmur di dalam ibadah mereka. Bagaimana mungkin pula mereka memahami
makna nyanyian Mazmur tersebut jika mereka sama sekali belum pernah mereka menyanyikan
Mazmur sebelumnya.
Sesuatu
akan dapat menjadi lebih berarti ketika sesuatu itu memiliki makna. Namun
sering kali kita sulit memahami makna akan sesuatu itu, seperti Mazmur
misalnya. Mungkin kita dapat melihat kisah Thomas Alva Edison, seorang penemu
lampu pijar yang tidak dapat mendengar
karena telah tuli sejak usia 12 tahun. Namun ketika ia tetap memiliki semangat
untuk belajar meski telah dikeluarkan dari sekolah karena ketuliannya tersebut,
ia tetap dapat menjadi seseorang yang berhasil dan sekarang dikenal oleh banyak
orang. Ia mampu menunjukkan bahwa tidak ada yang sulit sejauh kita mau mencoba
untuk dapat melakukan sesuatu tersebut sehingga dapat menjadi sesuatu yang
lebih bermakna baik bagi kita maupun orang-orang yang ada di sekitar kita.
Seseorang yang tuli saja dapat berhasil belajar karena memiliki keinginan untuk
mempelajari sesuatu tersebut. Bagaimana dengan kita yang tidak tuli dan dapat
mempelajari Mazmur. Kendati Mazmur belum banyak kita pelajari atau belum
terlalu dikenal orang, namun jika dapat diajarkan dan ada banyak orang yang berkeinginan
untuk mempelajarinya tentu nyanyian Mazmur ini akan dapat lebih berkembang dan
dikenal oleh banyak orang. Mazmur tidak akan sulit sejauh kita mau
mempelajarinya. Melalui paper ini penulis akan
menjelaskan tentang Mazmur (khusunya Mazmur pujian) dan keterkaitannya dengan peribadatan
di gereja. Meskipun harus diakui bahwa penulis mengalami keterbatasan dalam
memaparkannya secara mendalam. Kendati demikian, penulis juga berharap agar
paper sederhana ini dapat menjadi secercah cahaya yang mampu menerangi
cakrawala nalar kita yang tak terbatas ini agar kita dapat menjadi semakin
mengerti perihal nyanyian Mazmur sehingga lubang ketidaktahuan yang menganga
lebar tersebut mampu kita tutupi bersama.
Sejarah
Nyanyian Mazmur
Kitab Mazmur adalah kitab yang paling puitis di antara semua
kitab-kitab tentang hikmat yang ada di dalam Alkitab. Kitab Mazmur memuat
berbagai gaya penulisan seperti perumpamaan, paralelisme, ritme internal dan
sebagainya yang dituliskan sebagai pujian untuk dinyanyikan atau didoakan. [1]
Memang pada mulanya sejumlah besar mazmur diyakini berupa doa-doa atau
puji-pujian pribadi, tetapi banyak yang kemudian ditulis untuk penyembahan
umum. Ada yang ditujukan untuk pemimpin biduan atau untuk para penyanyi Rumah
Tuhan seperti 'bani korah'. Mazmur-mazmur itu dipakai untuk upacara penyembahan
di Rumah Tuhan, terutama pada waktu diadakan upacara-upacara besar. Oleh karena
itu Mazmur menjadi nyanyian atau
syair puji-pujian yang biasa dilantunkan oleh para nabi yang dipakai dalam
ibadat di Bait Suci
di Yerusalem dan upacara kerajaan pada masa Israel Kuno. [2]
Pada abad ketiga, Tertulianus
menyatakan Mazmur sebagai bagian dari penyembahan umat Kristen. Pada sekitar
abad 14 - 15, dalam tradisi monastik Mazmur dinyanyikan
di sepanjang Minggu.[3]
Di abad ke 16 para reformator gereja juga memberi tempat istimewa kepada
nyanyian Mazmur. Luther dan Kalvin sangat
menghargai mazmur sebagai nyanyian jemaat. Luther sendiri memakai Mazmur dalam Bahasa Latin
sampai dia menerjemahkannya dalam bahasa Jerman agar
lebih bermanfaat bagi nyanyian jemaat lokal. Nyanyian Mazmur jaman reformasi
itu dinyanyikan dalam model gregorian.
Kemudian pada tahun 1939 Kalvin menyanyikan Mazmur di dalam gereja dalam
bahasa Perancis
dan juga Mazmur Jenewa pada tahun 1562.
Sama
halnya seperti buku nyanyian kita yang berisi beraneka macam pujian yang
ditulis oleh penggubah yang berbeda-beda, pada tempat dan situasi yang berbeda
pula, Mazmur berisi penyembahan bangsa Israel sepanjang zaman. Secara
tradisional, Mazmur dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yakni mazmur pujian
atau liturgis (mazmur-mazmur liturgis yang digunakan dalam bait suci untuk
ibadah penyembahan, pada hari-hari raya, atau untuk upacara kerajaan seperti
penobatan raja), mazmur ratapan (mazmur yang mengungkapkan kesedihan dan
penyesalan atas dosa atau permohonan agar dibebaskan dari penderitaan), mazmur
ucapan syukur (nyanyian-nyanyian yang mengungkapkan rasa syukur dan pengharapan
karena berkat-berkat Allah), dan mazmur kutukan (teriakan menuntut keadilan
namun bukan menuntut balas dendam atau membuat perhitungan). Banyak orang meyakini
bahwa Raja Daud menulis Mazmur serta menyanyikannya di depan Tabut Perjanjian. Hal
tersebut dikarenakan adanya gulungan-gulungan Mazmur dari Laut Mati (dari Gua V) memuat keterangan berikut: “Daud, anak Isai, bijaksana menulis 3600
mazmur; nyanyian-nyanyian untuk dinyanyikan di hadapan altar bagi kurban
bakaran setiap hari, selama 364 hari dalam setahun; 52 nyanyian untuk
persembahan-persembahan Sabat; 30 nyanyian untuk persembahan Bulan Baru,
Hari-hari Raya, Hari Pendamaian. Nyanyian yang digubahnya berjumlah 446; untuk
musik sebanyak 4. Jumlah seluruhnya 4050. Semua ini digubahnya melalui nubuat
yang disampaikan dari Yang Mahatinggi”.
Di dalam bahasa Ibrani, Mazmur disebut
sefer tehillim “buku pujian” (dari akar kata h-l-l “memuji”; bnd.
halleluyah). Isinya sangat beragam: pujian, permohonan, pengajaran,
meditasi, ungkapan keyakinan. Istilah “mazmur” diambil dari mizmor (57
kali): “nyanyian-nyanyian yang diiringi musik”, umumnya nyanyian rohani tetapi
juga untuk nyanyian “sekuler” (Yes 23.16). Di dalam Perjanjia Baru dengan
menggunakan bahasa Yunani (Septuaginta) disebut dengan psalmoi dari psallo
“memetik dengan jemari (dawai)”. Mazmur ini merupakan respons manusia
terhadap karya Allah dalam berbagai situasi, baik dalam situasi bencana,
musim panceklik, perang, kekalahan maupun
kelepasan dari bahaya, kelimpahan panen, kemenangan, kesembuhan, kesejahteraan.
Mazmur
Pujian di dalam Kehidupan Gereja
Sejak
zaman kuno, ibadat dan Mazmur pujian memiliki hubungan yang erat. Mazmur-mazmur
memegang peran cukup khas dalam liturgi Yahudi, terutama digunakan dalam ibadah
harian dan tidak disebutkan dalam akronim TeNaKh.[4] Mazmur
digunakan dalam ibadat karena mencerminkan realitas kehidupan
umat pada zamannya. Pendarasan Mazmur dilakukan dengan daftar berurutan,
sehingga semua bagian dalam Mazmur dilantunkan. Nyanyian Mazmur mengambil
bagian penting dalam kehidupan gereja karena Mazmur merupakan salah satu unsur
liturgi di dalam kehidupan gereja. Mazmur berperan sebagai pengantara kepada
kitab Taurat dan Kitab Para Nabi. Namun
sangat disayangkan karena di dalam praktiknya, masih sedikit gereja-gereja di
Indonesia yang memakai Nyanyian Mazmur sebagai nyanyian jemaat. Seorang tokoh
himnologi Inggris bernama Erik Routley
mengatakan bahwa tidak ada yang lebih merugikan ibadah
serta lebih menghilangkan kemanusiaan dari ibadah itu daripada mengabaikan
Mazmur itu sendiri.[5] Padahal
sejak masa pemerintahan Daud dan Salomo (abad ke- 10 Sebelum Masehi), saat
ibadat nasional masih berpusat di Yerusalem, muncul suatu liturgi yang semakin
teratur dan tetap dan ada tempat khusus bagi paduan suara dan pemain musik yang
menyanyikan lagu pujian. Hal ini dilakukan terurtama pada pesta-pesta besar
seperti Paska, Pondok Daun, dan Pentakosta. Seluruh umat dapat mengambil bagian
dalam kegembiraan rohani tersebut sambil menyanyikan Mazmur pujian atau
mengulangi refrein (Kel. 15:21; Maz. 136; 135:19-20).[6]
Mazmur pujian berisi puji-pujian
kepada Allah atas segala sifat dan perbuatanNya. Oleh karena itu Mazmur pujian
sangat jarang diakhiri dengan suat permohonan. Kalaupun ada permohonan, maka
permohonan itu akan berupa permohonan rohani, misalnya: “Kasih setiaMu, ya
Tuhan, kiranya menyertai kami, seperti kami berharap kepadaMu” (Maz. 33:22).
Ciri khas lain dari Mazmur pujian adalah antusiasme, kegembiraan dan semangat.
Dengan menyanyikan Mazmur pujian berarti kita menguatkan kesadaran diri kita
akan karya Allah.
Penutup
Daftar
Pustaka
Van
Der Weiden, Wim. Mazmur dalam Ibadat
Harian. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Van
Dop., H.A. Oikumene dalam Nyanyian Gereja dalam buku Struggling in Hope.
Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004.
Trigilio,
John & Kenneth Brighenti. The
Everything Bible Book
Westermeyer,
Paul. Te Deum - The Curch and Music. Menneapolis: Ausburg Fortress,
1998.
[1]
John Trigilio & Kenneth Brighenti, The
Everything Bible Book, 130-131.
[2]
Paul Westermeyer., Te Deum - The Curch and Music, (Menneapolis: Ausburg
Fortress, 1998)
[3]
Ibid, Te Deum
[4]
Rasid R
[5]
H.A. van Dop., Oikumene dalam Nyanyian Gereja dalam buku Struggling in Hope,(
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004),
[6]
Wim Van Der Weiden, Mazmur dalam Ibadat
Harian, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar