Rabu, 23 Januari 2013

Mazmur


Mazmur Pujian
Pendahuluan
Bayangkan bagaimana sulitnya menjelaskan bahwa kicau burung di pagi hari itu sangat merdu kepada seseorang yang belum pernah mendengar kicauan burung di pagi hari. Sama halnya dengan Mazmur. Untuk sebagian orang, nyanyian Mazmur merupakan sesuatu hal yang baru mereka dengar karena belum semua gereja-gereja menyanyikan nyanyian Mazmur di dalam ibadah mereka. Bagaimana mungkin pula mereka memahami makna nyanyian Mazmur tersebut jika mereka sama sekali belum pernah mereka menyanyikan Mazmur sebelumnya.
Sesuatu akan dapat menjadi lebih berarti ketika sesuatu itu memiliki makna. Namun sering kali kita sulit memahami makna akan sesuatu itu, seperti Mazmur misalnya. Mungkin kita dapat melihat kisah Thomas Alva Edison, seorang penemu lampu pijar  yang tidak dapat mendengar karena telah tuli sejak usia 12 tahun. Namun ketika ia tetap memiliki semangat untuk belajar meski telah dikeluarkan dari sekolah karena ketuliannya tersebut, ia tetap dapat menjadi seseorang yang berhasil dan sekarang dikenal oleh banyak orang. Ia mampu menunjukkan bahwa tidak ada yang sulit sejauh kita mau mencoba untuk dapat melakukan sesuatu tersebut sehingga dapat menjadi sesuatu yang lebih bermakna baik bagi kita maupun orang-orang yang ada di sekitar kita. Seseorang yang tuli saja dapat berhasil belajar karena memiliki keinginan untuk mempelajari sesuatu tersebut. Bagaimana dengan kita yang tidak tuli dan dapat mempelajari Mazmur. Kendati Mazmur belum banyak kita pelajari atau belum terlalu dikenal orang, namun jika dapat diajarkan dan ada banyak orang yang berkeinginan untuk mempelajarinya tentu nyanyian Mazmur ini akan dapat lebih berkembang dan dikenal oleh banyak orang. Mazmur tidak akan sulit sejauh kita mau mempelajarinya. Melalui paper ini penulis akan menjelaskan tentang Mazmur (khusunya Mazmur pujian) dan keterkaitannya dengan peribadatan di gereja. Meskipun harus diakui bahwa penulis mengalami keterbatasan dalam memaparkannya secara mendalam. Kendati demikian, penulis juga berharap agar paper sederhana ini dapat menjadi secercah cahaya yang mampu menerangi cakrawala nalar kita yang tak terbatas ini agar kita dapat menjadi semakin mengerti perihal nyanyian Mazmur sehingga lubang ketidaktahuan yang menganga lebar tersebut mampu kita tutupi bersama.
Sejarah Nyanyian Mazmur
Kitab Mazmur adalah kitab yang paling puitis di antara semua kitab-kitab tentang hikmat yang ada di dalam Alkitab. Kitab Mazmur memuat berbagai gaya penulisan seperti perumpamaan, paralelisme, ritme internal dan sebagainya yang dituliskan sebagai pujian untuk dinyanyikan atau didoakan. [1] Memang pada mulanya sejumlah besar mazmur diyakini berupa doa-doa atau puji-pujian pribadi, tetapi banyak yang kemudian ditulis untuk penyembahan umum. Ada yang ditujukan untuk pemimpin biduan atau untuk para penyanyi Rumah Tuhan seperti 'bani korah'. Mazmur-mazmur itu dipakai untuk upacara penyembahan di Rumah Tuhan, terutama pada waktu diadakan upacara-upacara besar. Oleh karena itu Mazmur menjadi nyanyian atau syair puji-pujian yang biasa dilantunkan oleh para nabi yang dipakai dalam ibadat di Bait Suci di Yerusalem dan upacara kerajaan pada masa Israel Kuno. [2]  Pada abad ketiga, Tertulianus menyatakan Mazmur sebagai bagian dari penyembahan umat Kristen. Pada sekitar abad 14 - 15, dalam tradisi monastik Mazmur dinyanyikan di sepanjang Minggu.[3] Di abad ke 16 para reformator gereja juga memberi tempat istimewa kepada nyanyian Mazmur. Luther dan Kalvin sangat menghargai mazmur sebagai nyanyian jemaat. Luther sendiri memakai Mazmur dalam Bahasa Latin sampai dia menerjemahkannya dalam bahasa Jerman agar lebih bermanfaat bagi nyanyian jemaat lokal. Nyanyian Mazmur jaman reformasi itu dinyanyikan dalam model gregorian. Kemudian pada tahun 1939 Kalvin menyanyikan Mazmur di dalam gereja dalam bahasa Perancis dan juga Mazmur Jenewa pada tahun 1562.
Sama halnya seperti buku nyanyian kita yang berisi beraneka macam pujian yang ditulis oleh penggubah yang berbeda-beda, pada tempat dan situasi yang berbeda pula, Mazmur berisi penyembahan bangsa Israel sepanjang zaman. Secara tradisional, Mazmur dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yakni mazmur pujian atau liturgis (mazmur-mazmur liturgis yang digunakan dalam bait suci untuk ibadah penyembahan, pada hari-hari raya, atau untuk upacara kerajaan seperti penobatan raja), mazmur ratapan (mazmur yang mengungkapkan kesedihan dan penyesalan atas dosa atau permohonan agar dibebaskan dari penderitaan), mazmur ucapan syukur (nyanyian-nyanyian yang mengungkapkan rasa syukur dan pengharapan karena berkat-berkat Allah), dan mazmur kutukan (teriakan menuntut keadilan namun bukan menuntut balas dendam atau membuat perhitungan). Banyak orang meyakini bahwa Raja Daud menulis Mazmur serta menyanyikannya di depan Tabut Perjanjian. Hal tersebut dikarenakan adanya gulungan-gulungan Mazmur dari Laut Mati  (dari Gua V) memuat keterangan berikut:  “Daud, anak Isai, bijaksana menulis 3600 mazmur; nyanyian-nyanyian untuk dinyanyikan di hadapan altar bagi kurban bakaran setiap hari, selama 364 hari dalam setahun; 52 nyanyian untuk persembahan-persembahan Sabat; 30 nyanyian untuk persembahan Bulan Baru, Hari-hari Raya, Hari Pendamaian. Nyanyian yang digubahnya berjumlah 446; untuk musik sebanyak 4. Jumlah seluruhnya 4050. Semua ini digubahnya melalui nubuat yang disampaikan dari Yang Mahatinggi”.
Di dalam bahasa Ibrani, Mazmur disebut sefer tehillim “buku pujian” (dari akar kata h-l-l “memuji”; bnd. halleluyah). Isinya sangat beragam: pujian, permohonan, pengajaran, meditasi, ungkapan keyakinan. Istilah “mazmur” diambil dari mizmor (57 kali): “nyanyian-nyanyian yang diiringi musik”, umumnya nyanyian rohani tetapi juga untuk nyanyian “sekuler” (Yes 23.16). Di dalam Perjanjia Baru dengan menggunakan bahasa Yunani (Septuaginta) disebut dengan psalmoi dari psallo “memetik dengan jemari (dawai)”. Mazmur ini merupakan respons manusia terhadap karya Allah dalam berbagai situasi, baik dalam situasi bencana, musim panceklik, perang, kekalahan maupun kelepasan dari bahaya, kelimpahan panen, kemenangan, kesembuhan, kesejahteraan.
Mazmur Pujian di dalam Kehidupan Gereja
Sejak zaman kuno, ibadat dan Mazmur pujian memiliki hubungan yang erat. Mazmur-mazmur memegang peran cukup khas dalam liturgi Yahudi, terutama digunakan dalam ibadah harian dan tidak disebutkan dalam akronim TeNaKh.[4] Mazmur digunakan dalam ibadat karena mencerminkan realitas kehidupan umat pada zamannya. Pendarasan Mazmur dilakukan dengan daftar berurutan, sehingga semua bagian dalam Mazmur dilantunkan. Nyanyian Mazmur mengambil bagian penting dalam kehidupan gereja karena Mazmur merupakan salah satu unsur liturgi di dalam kehidupan gereja. Mazmur berperan sebagai pengantara kepada kitab Taurat dan Kitab Para Nabi. Namun sangat disayangkan karena di dalam praktiknya, masih sedikit gereja-gereja di Indonesia yang memakai Nyanyian Mazmur sebagai nyanyian jemaat. Seorang tokoh himnologi Inggris bernama Erik Routley mengatakan bahwa tidak ada yang lebih merugikan ibadah serta lebih menghilangkan kemanusiaan dari ibadah itu daripada mengabaikan Mazmur itu sendiri.[5] Padahal sejak masa pemerintahan Daud dan Salomo (abad ke- 10 Sebelum Masehi), saat ibadat nasional masih berpusat di Yerusalem, muncul suatu liturgi yang semakin teratur dan tetap dan ada tempat khusus bagi paduan suara dan pemain musik yang menyanyikan lagu pujian. Hal ini dilakukan terurtama pada pesta-pesta besar seperti Paska, Pondok Daun, dan Pentakosta. Seluruh umat dapat mengambil bagian dalam kegembiraan rohani tersebut sambil menyanyikan Mazmur pujian atau mengulangi refrein (Kel. 15:21; Maz. 136; 135:19-20).[6]
Mazmur pujian berisi puji-pujian kepada Allah atas segala sifat dan perbuatanNya. Oleh karena itu Mazmur pujian sangat jarang diakhiri dengan suat permohonan. Kalaupun ada permohonan, maka permohonan itu akan berupa permohonan rohani, misalnya: “Kasih setiaMu, ya Tuhan, kiranya menyertai kami, seperti kami berharap kepadaMu” (Maz. 33:22). Ciri khas lain dari Mazmur pujian adalah antusiasme, kegembiraan dan semangat. Dengan menyanyikan Mazmur pujian berarti kita menguatkan kesadaran diri kita akan karya Allah.
Penutup

Daftar Pustaka

Van Der Weiden, Wim. Mazmur dalam Ibadat Harian. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Van Dop., H.A. Oikumene dalam Nyanyian Gereja dalam buku Struggling in Hope. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004.
Trigilio, John & Kenneth Brighenti. The Everything Bible Book
Westermeyer, Paul. Te Deum - The Curch and Music. Menneapolis: Ausburg Fortress, 1998.














[1] John Trigilio & Kenneth Brighenti, The Everything Bible Book, 130-131.
[2] Paul Westermeyer., Te Deum - The Curch and Music, (Menneapolis: Ausburg Fortress, 1998)
[3] Ibid, Te Deum
[4] Rasid R
[5] H.A. van Dop., Oikumene dalam Nyanyian Gereja dalam buku Struggling in Hope,( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004),
[6] Wim Van Der Weiden, Mazmur dalam Ibadat Harian, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar