Religi
Tokugawa
Saat mendengar kata Tokugawa, hal
pertama yang terlintas dipikiran saya adalah makanan Jepang. Awalnya, saya
mengira Tokugawa itu adalah sejenis makanan Jepang yang disajikan setengah
matang dengan sayuran mentah, tetapi ternyata tidak demikian. Religi Tokugawa
merupakan suatu religi yang berkembang pada masa Jepang modern. Pada masa ini Bushido sangatlah penting bagi
masyarakat karena dianggap sebagai upaya mempelajari nilai-nilai dan etika pada
masa itu. Hal ini disebabkan oleh karena seorang bushi atau seorang samurai
dianggap sebagai seseorang yang memiliki nilai-nilai dasar orang Jepang yang
menjadi landasan moral nasional masyarakat Jepang. Bahkan karena tumbuh kembang reiligi Tokugawa
ini dan juga seiring dengan perjalanan waktu, Jepang berhasil menjadi negara industri
modern. Ajaran-ajaran yang terkandung di dalam religi inilah yang menciptakan
manusia-manusia Jepang menjadi manusia-manusia yang berbudaya ulet, pekerja
keras, disiplin, ugahari dan jujur. Berbeda dengan Negara Indonesia yang
memiliki sikap sebaliknya. Oleh karena itu tidak heran mengapa Jepang dapat
lebih unggul disegala bidang daripada Indonesia.
Dulu, saat saya masih kecil saya sering
sekali menonton film animasi dari Jepang yang salah satunya adalah film tentang
samurai yang berjudul Samurai X dengan judul asli Rurouni Kenshin. Nama Samurai X ini diambil dari tanda
codet berbentuk X di wajah Kenshin Himura, seorang samurai Jepang yang sangat
disegani pada masa Revolusi Meji. Mengapa disegani? Tentu saja karena dia seorang samurai
dipandang sebagai perwujudan dan penjaga moralitas.
Seorang
samurai bertugas untuk menjaga dan mempertahankan kebenaran. Jika kebanyakan orang dari kelas lain berhadapan dengan hal-hal
nyata, maka berbeda dengan orang-orang dari kelas samurai yang berurusan dengan
hal-hal yang tidak terlihat dan tidak berwarna. Dengan kata lain, jika samurai
tidak ada, maka kebenaran akan musnah dari masyarakat manusia, rasa malu hilang
serta kesalahan dan ketidakadilan akan merajalela.
Tidak
semua orang dapat menjadi seorang samurai. Seorang samurai bukanlah seseorang
yang tidak terpelajar. Hampir semua samurai terpelajar dan pernah membaca buku
Klasik Konfusian dengan tujuan belajar adalah pengembangan diri dan mengawasi
orang lain. Karena bagi mereka belajar
bukanlah sekadar membaca buku untuk keperluan hiburan semata melainkan suatu
pedoman yang harus digunakan di dalam kehidupan sehari-hari untuk memimpin
tingkah laku keseharian.
Mereka
adalah seseorang yang sangat setia dan bertanggung jawab terhadap kewajibannya,
yakni menjaga dan kepentingan Pangeran. Untuk dapat memenuhi kewajiban mereka
itu, mereka telah terlebih dahulu dipersiapkan sejak kecil. Mereka mendapat
pendidikan mengenai kepatuhan kepada orang tua sejak kecil sehingga
terbawa-bawa hingga ketika mereka sudah dewasa mereka tetap setia. Kesetiaan
ini memampukan mereka untuk terus setia mengabdi kepada apa yang menjadi
tanggung jawab mereka dan siap menanggung resiko apapun tanpa ada keraguan atau
rasa takut sedikit pun. Demi kesetiaan, pengabdian dan kewajibannya itu (tujuan
mereka), mereka siap mati. Mereka telah dipersiapkan untuk mengatasi kehidupan
dan kematian melalui meditasi tentang kematian. Bagi mereka, dengan bertekad
mati, kematian tidak akan menyakiti mereka. Malah kematian ini bertujuan untuk
membersihkan diri dari nafsu dan ketamakan untuk menemukan diri yang sejati.
Dalam hal ini, saya mendapat sebuah landasan religius mengenai martir dari
samurai ini. Bagi mereka, mengalami kematian ketika sedang mengabdi kepada
pangeran malah dianggap sebagai akhir yang paling layak. Hal ini mungkin
dikarenakan adanya anggapan dari masyarakat Jepang bahwa pangeran adalah utusan
Dewa yang jika diperlakukan dengan baik sama saja artinya dengan memperlakukan
Dewa dengan baik pula. Oleh karena itu mereka tidak segan untuk mati martir
bagi pangeran karena mereka beranggapan bahwa mereka sudah mati demi Dewa.
Samurai
juga diharuskan untuk hidup secara sederhana, mampu menahan diri, ugahari (sikap
hemat adalah kewajiban untuk mengurangi konsumsi individual sampai seminim
mungkin dan sikap rajin adalah kewajiban untuk meningkatkan sumbangan seseorang
dalam pengabdiannya kepada pangeran secara maksimum). Singkatnya dapat
dikatakan bahwa samurai menekankan kesetiaan dan ketaatan kepada orang tua,
sikap patuh dan lurus, hemat dan rajin, sederahana, pengabdian tanpa pamrih
terhadap atasan, pembatasan konsumsi hingga garis minimal, dan pelaksanaan
tugas dan kewajibaan sehari-hari sebaik dan sesempurna mungkin dan tidak
dilalaikan. Nilai-nilai moral yang sangat unggul seperti ini dari para samurai
tersebut membuat mereka menjadi teladan dan panutan bagi orang Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar