Rabu, 23 Januari 2013

Religi Tokugawa


Religi Tokugawa

            Saat mendengar kata Tokugawa, hal pertama yang terlintas dipikiran saya adalah makanan Jepang. Awalnya, saya mengira Tokugawa itu adalah sejenis makanan Jepang yang disajikan setengah matang dengan sayuran mentah, tetapi ternyata tidak demikian. Religi Tokugawa merupakan suatu religi yang berkembang pada masa Jepang modern. Pada masa ini Bushido sangatlah penting bagi masyarakat karena dianggap sebagai upaya mempelajari nilai-nilai dan etika pada masa itu. Hal ini disebabkan oleh karena seorang bushi atau seorang samurai dianggap sebagai seseorang yang memiliki nilai-nilai dasar orang Jepang yang menjadi landasan moral nasional masyarakat Jepang.  Bahkan karena tumbuh kembang reiligi Tokugawa ini dan juga seiring dengan perjalanan waktu, Jepang berhasil menjadi negara industri modern. Ajaran-ajaran yang terkandung di dalam religi inilah yang menciptakan manusia-manusia Jepang menjadi manusia-manusia yang berbudaya ulet, pekerja keras, disiplin, ugahari dan jujur. Berbeda dengan Negara Indonesia yang memiliki sikap sebaliknya. Oleh karena itu tidak heran mengapa Jepang dapat lebih unggul disegala bidang daripada Indonesia.
Dulu, saat saya masih kecil saya sering sekali menonton film animasi dari Jepang yang salah satunya adalah film tentang samurai yang berjudul Samurai X dengan judul asli Rurouni Kenshin. Nama Samurai X ini diambil dari tanda codet berbentuk X di wajah Kenshin Himura, seorang samurai Jepang yang sangat disegani pada masa Revolusi Meji. Mengapa disegani? Tentu saja karena dia seorang samurai dipandang sebagai perwujudan dan penjaga moralitas. 
            Seorang samurai bertugas untuk menjaga dan mempertahankan kebenaran. Jika kebanyakan orang dari kelas lain berhadapan dengan hal-hal nyata, maka berbeda dengan orang-orang dari kelas samurai yang berurusan dengan hal-hal yang tidak terlihat dan tidak berwarna. Dengan kata lain, jika samurai tidak ada, maka kebenaran akan musnah dari masyarakat manusia, rasa malu hilang serta kesalahan dan ketidakadilan akan merajalela.
Tidak semua orang dapat menjadi seorang samurai. Seorang samurai bukanlah seseorang yang tidak terpelajar. Hampir semua samurai terpelajar dan pernah membaca buku Klasik Konfusian dengan tujuan belajar adalah pengembangan diri dan mengawasi orang lain. Karena  bagi mereka belajar bukanlah sekadar membaca buku untuk keperluan hiburan semata melainkan suatu pedoman yang harus digunakan di dalam kehidupan sehari-hari untuk memimpin tingkah laku keseharian.
Mereka adalah seseorang yang sangat setia dan bertanggung jawab terhadap kewajibannya, yakni menjaga dan kepentingan Pangeran. Untuk dapat memenuhi kewajiban mereka itu, mereka telah terlebih dahulu dipersiapkan sejak kecil. Mereka mendapat pendidikan mengenai kepatuhan kepada orang tua sejak kecil sehingga terbawa-bawa hingga ketika mereka sudah dewasa mereka tetap setia. Kesetiaan ini memampukan mereka untuk terus setia mengabdi kepada apa yang menjadi tanggung jawab mereka dan siap menanggung resiko apapun tanpa ada keraguan atau rasa takut sedikit pun. Demi kesetiaan, pengabdian dan kewajibannya itu (tujuan mereka), mereka siap mati. Mereka telah dipersiapkan untuk mengatasi kehidupan dan kematian melalui meditasi tentang kematian. Bagi mereka, dengan bertekad mati, kematian tidak akan menyakiti mereka. Malah kematian ini bertujuan untuk membersihkan diri dari nafsu dan ketamakan untuk menemukan diri yang sejati. Dalam hal ini, saya mendapat sebuah landasan religius mengenai martir dari samurai ini. Bagi mereka, mengalami kematian ketika sedang mengabdi kepada pangeran malah dianggap sebagai akhir yang paling layak. Hal ini mungkin dikarenakan adanya anggapan dari masyarakat Jepang bahwa pangeran adalah utusan Dewa yang jika diperlakukan dengan baik sama saja artinya dengan memperlakukan Dewa dengan baik pula. Oleh karena itu mereka tidak segan untuk mati martir bagi pangeran karena mereka beranggapan bahwa mereka sudah mati demi Dewa.
Samurai juga diharuskan untuk hidup secara sederhana, mampu menahan diri, ugahari (sikap hemat adalah kewajiban untuk mengurangi konsumsi individual sampai seminim mungkin dan sikap rajin adalah kewajiban untuk meningkatkan sumbangan seseorang dalam pengabdiannya kepada pangeran secara maksimum). Singkatnya dapat dikatakan bahwa samurai menekankan kesetiaan dan ketaatan kepada orang tua, sikap patuh dan lurus, hemat dan rajin, sederahana, pengabdian tanpa pamrih terhadap atasan, pembatasan konsumsi hingga garis minimal, dan pelaksanaan tugas dan kewajibaan sehari-hari sebaik dan sesempurna mungkin dan tidak dilalaikan. Nilai-nilai moral yang sangat unggul seperti ini dari para samurai tersebut membuat mereka menjadi teladan dan panutan bagi orang Jepang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar