Rabu, 23 Januari 2013

Televisi VS Pemahaman Teologi Gereja



Televisi VS Pemahaman Teologi Gereja

Pendahuluan

Salah satu media komunikasi yang paling memengaruhi perilaku dan pikiran manusia adalah televisi. Mengapa? Sebab jika televisi tidak berpengaruh terhadap peminatnya (pemirsa), mengapa televisi terus menerus menanyangkan iklan yang diproduksi dengan biaya ratusan juta rupiah? Tentu saja pengaruhnya sangat besar sehingga iklan terus diperbanyak, bukan? Selain itu, adanya siaran televisi yang mengandung slogan politik, SARA, kekerasan, film-film perang, bahkan konflik nyata sekalipun turut meramaikan siaran televisi. Sayangnya, banyak anak-anak bahkan orang dewasa sekalipun yang sulit mengontrol isi program-program “si kotak ajaib” tersebut. Hasilnya, mereka menerima tayangan televisi tersebut begitu saja tanpa banyak pertimbangan. Bahkan tidak sedikit pula dari masyarakat dan jemaat gereja yang menerima hal tersebut sebagai suatu tawaran dan nasihat yang sangat dianjurkan. Sehingga tidak jarang pula mereka akhirnya meniru begitu saja apa yang mereka lihat atau dengar. Oleh karena itu, siaran televisi harus mendapat perhatian lebih, baik dari masyarakat maupun gereja. Sebab apapun bentuk dan jenis siaran televisi tersebut, siaran tersebut memiliki sentuhan langsung terhadap pandangan teologis dan iman, pikiran, dan prilaku konsumennya.
Terkait dengan hal itu, di dalam paper ini akan dibahas mengenai bagaimana perkembangan media (khususnya media televisi) dapat turut memengaruhi pemahaman teologis gereja tentang dunia sekitarnya. Bahkan yang lebih membahayakan adalah bagaimana media televisi juga mampu mengubah gereja dan teologinya dalam memahami dunia dan tugasnya. Semoga paper sederhana ini dapat menjadi secercah cahaya yang menerangi cakrawala nalar kita yang tak terbatas ini dan mampu membantu kita memahami perihal teologi dan kaitannya dengan komunikasi media (khususnya televisi), sehingga lubang ketidaktahuan kita tentang kedua hal ini mampu kita hindari bahkan kita tutup bersama.

Televisi VS Pemahaman Teologi Gereja

Salah satu contoh siaran yang pada akhirnya turut memengaruhi pandangan teologis gereja tentang dunia sekitarnya adalah mengenai konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel. Konflik ini sudah berlangsung selama enam dasawarsa sejak para pegiat Zionis Yahudi memproklamasikan kemerdekaan Israel di tanah Palestina pada 14 Mei 1948 lalu. Namun media selalu menampikan hal semacam ini dalam kemasan baru sehingga tetap menarik bahkan semakin menarik untuk dinikmati kembali. Melalui media televisi, masyarakat gereja juga turut memperhatikan ketegangan apa yang tengah terjadi antara Palestina dan Israel tersebut. Sebagian televisi menyiarkan bahwa ketegangan yang terjadi antara Palestina dan Israel mengandung unsur agama. Sebagaian lainnya menyatakan bahwa konflik Palestina dan Israel yang terjadi sesungguhnya bukanlah konflik yang didasarkan atas agama, melainkan konflik politik, ekonomi, kemanusiaan, hukum, nasionalisme, dan keserakahan manusia. Lalu, yang manakah yang benar?
Pesan yang ambigu seperti ini terkadang memberi pengaruh yang negatif bagi penikmatnya. Bukan hanya memengaruhi pemahaman teologis gereja, tetapi juga turut memengaruhi pemahaman masyarakat seluruhnya. Hal ini disebabkan karena mereka salah dalam menangkap pesan yang disampaikan oleh televisi tersebut atau karena informasi tersebut memang ditelan begitu saja. Sehingga ada pula sebagian masyarakat yang melakukan aksi di jalanan sebagai bentuk respons dari pemberitaan media tersebut. Sebagai contoh adalah beberapa ormas Islam di Indonesia seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Umat Islam (FUI) yang melancarkan demonstrasi di beberapa kota besar di Indonesia. Salah satunya adalah aksi demonstrasi yang dilakukan di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta untuk menentang agresi militer Israel terhadap Gaza. Aksi ini bahkan dikerubungi ratusan massa FPI. Banyak dari demonstran pendemo Israel membawa spanduk, yang bertuliskan: "Kami siap menjemput Syahid di Gaza" atau "Yahudi Laknatullah". Bahkan, pernah diberitakan bahwa beberapa ormas Islam siap mengirimkan mujahidin ke Palestina, menyebut agama Kristen juga ikut mengambil bagian dalam konflik ini karena Kristen juga ada hubungannya dengan Yahudia, dan tuduhan-tuduhan lainnya.
            Melihat gencarnya demonstrasi yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam, sepintas memang konflik Palestina seakan-akan seperti konflik antar agama. Khususnya antara agama Islam, Yahudi dan Kristen. Apalagi wilayah konflik mencakup Yerusalem yang dianggap kota suci bagi ketiga agama tersebut. Namun sebenarnya ini bukanlah konflik yang didasarkan atas agama, melainkan konflik politik, ekonomi, kemanusiaan, hukum, nasionalisme, dan keserakahan manusia. (http://politikinternational.wordpress.com/2008/05/15/konflik-israel-dan-palestina-bukan-konflik-agama-tetapi-murni-masalah-politik/)
Selain itu, tayangan yang mengandung unsur SARA seperti yang terlontar dari ucapan Haji Rhoma Irama mengenai Ahok turut mengundang sakit hati bagi sebagian orang Kristen. Pasalnya, Rhoma Irama menyatakan bahwa Jakarta tidak pantas dipimpin oleh seorang Kafir. Bahkan siapa saja umat Islam yang memilih Ahok yang beragama Kristen Katolik tersebut, berarti telah ikut menceburkan dirinya sebagai bagian dari orang Kafir itu. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/06/m8c83l-bang-haji-umat-islam-dilarang-keras-pilih-pemimpin-kafir) Tontonan dan informasi yang seperti ini pada akhirnya bukan hanya melukai perasaan sebagian pihak yang terkait, tetapi juga akan turut mempengaruhi pemahaman teologis dan pandangan seseorang mengenai pihak lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan pula jika pada akhirnya kejadian dan pernyatan dari Rhoma Irama yang disiarkan lewat televisi tersebut malah merusak relasi yang terjalin antar umat Islam dan Kristen selama ini.
            Adanya kesalahpahaman seperti inilah yang ditakuti dapat terjadi dan dialami oleh penikmat televisi sebagai dampak dari program yang ditayangkan oleh televisi tersebut. Sehingga isu seperti konflik Palestina VS Israel yang dikabarkan ke masyarakat melalui siaran televisi juga turut memengaruhi pemahaman teologis gereja tentang dunia sekitarnya. Bagaimana tidak, sebab bentuk respons yang ditunjukkan oleh masyarakat (seperti ormas Islam) akibat siaran televisi tersebut malah akan memicu persoalan baru antara umat Islam dan Kristen di Indonesia. Sebab tidak menutup kemungkinan bahwa gereja secara tidak langsung juga akan menunjukkan responsnya, misalnya dengan memerangi umat Islam meski tidak seradikal umat Islam itu sendiri. Atau setidaknya umat Kristen akan memberi kesan atau label negatif terhadap agama Islam terkait dengan hal ini, meski sebenarnya tidak semua umat Islam sama seperti anggota ormas tersebut. Bahkan pemahaman teologis yang salah pada akhirnya juga akan turut memengaruhi misi gereja yang tidak lagi menjadi garam dan terang bagi dunia dalam menjalin relasi dengan dunia dan sekitarnya. Melainkan gereja pada akhrinya akan menjadi lebih terkesan eksklusif dan menutup diri dengan agama lain, khususnya agama Islam. Contoh konkretnya adalah jika selama ini ada sebagian gereja yang memiliki kebiasaan memberi bingkisan atau santunan kepada anak-anak yatim dan anak jalanan yang beragama Islam sebagai hadian natal, pada akhirnya menjadi ditiadakan oleh sebagian gereja akibat adanya konflik antara Islam dan Kristen yang terjadi di Indonesia sebagai imbas dari konflik Palestina dan Israel yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama tersebut. Hal ini pada akhirnya memperlihatkan bagaimana perkembangan media (khususnya media televisi) dapat turut memengaruhi pemahaman teologis gereja tentang dunia sekitarnya. Bahkan yang lebih membahayakan adalah bagaimana media televisi juga mampu mengubah gereja dan teologinya dalam memahami dunia dan tugasnya dan dalam menjaga relasi antarumat beragama di dunia.

Analisis

Sebetulnya sekarang televisi sudah menjadi agama masyarakat industri. Bagaimana tidak? Banyak orang bahkan gereja sudah belajar hidup dari televisi. Di Amerika, dulu televisi disebut sebagai the second god. (Mulyana dan Ibrahim 1997, 228) Anak-anak belajar tentang cara hidup, berpakaian dan berjalan lewat televisi. Namun sekarang, televisi mungkin sudah menjadi the first god bagi sebagian orang. Hal itu disebabkan karena adanya kemampuannya televisi untuk menyajikan realitas kedua. Lewat layar kecil yang berfungsi sebagai jendela dunia, para pemirsa diarahkan untuk mendefenisikan situasi sesuai dengan kehendak elit pengelola informasi. Bahkan hampir semua kegiatan kehidupan mereka dijadwalkan dan diatur oleh pesan-pesan televisi yang mengandung kebenarannya sendiri. Padahal seharusnya tidak boleh demikian. Ada sebuah pepatah Cina yang mengatakan “There is your truth, there is my truth, there is the truth”. Pepatah ini hendak mengatakan bahwa setiap orang atau golongan, dibatasi oleh prasangka, persepsi, dan kepentingannya masing-masing. (Yakoma PGI 1989, 29) Setiap kebenaran tidak dapat disamaratakan dengan kebenaran yang sudah dimiliki oleh orang lain. Berita di televisi juga demikian. Sering kali pemirsa memperoleh kesan bahwa berita di televisi adalah satu-satunya kebenaran yang dapat dipercaya. Padahal sebenarnya gambaran dunia dalam televisi adalah gambaran dunia yang sudah diolah.
Terkait dengan gambaran dunia dalam televisi tersebut, Jean Baudrillard menggunakan istilah simulasi, simulakra dan hyperreality. Simulasi merupakan sebuah tiruan dari sesuatu, objek/keadaan dimana masih mudah/bisa dibedakan atau ditemukan perbedaannya antara yang asli dan palsu/mana realitas sebenarnya dan mana realitas buatan. Ketika sebuah simulasi bercampur dengan kenyataan sebenarnya, direpresentasikan dan dibuat senyata mungkin serta melibatkan pengalaman/sisi emosi dari masyarakat maka akan membentuk sebuah simulakra. Simulakra merupakan “simulasi” yang lebih maju dan mencapai sebuah titik dimana sebuah realita menjadi sulit bahkan tidak bisa dibedakan lagi mana yang kenyataan sebenarnya dan mana kenyataan yang dikonstruksikan. Keadaan tersebut diistilahkan dengan hyperreal atau realitas yang berlebih. Simulakra membuat sesuatu menjadi lebih nyata dari yang nyata, itu adalah cara bagaimana sebuah kenyataan sebenarnya terhapus.  Simulacrum bisa juga dikatakan sebagai representasi, misalnya dilakukan oleh pencitraan.  Sebuah simbol dicitrakan sedemikian rupa menjadi seperti yang diinginkan, padahal sebenarnya tidak seperti itu. Tetapi karena terus menerus disuguhi dengan simbol (sign) yang dicitrakan dan memang dibentuk untuk menjadi sesuatu yang diinginkan,  maka akan sulit membedakan mana yang nyata mana yang bukan yang sekali lagi ditekankan bahwa keadaaan ini akan menggiring ke sebuah realitas berlebih. Hyperreality adalah sebuah gejala di mana banyak bertebaran realitas-realitas buatan yang bahkan tampak lebih real dibandingkan realitas sebenarnya. Atau dengan kata lain, simulasi itulah yang mencitrakan sebuah realitas yang pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Realitas yang “tidak sesungguhnya” tetapi dicitrakan sebagai realitas yang mendeterminasi kesadaran “kita” itulah yang disebut dengan realitas semu (hyper-reality) (Baudrillard 1995, 3-42). Realitas ini tampil melalui media-media yang menjadi “kiblat” utama masyarakat massa. Melalui media seperti televisi, realitas-realitas dikonstruksikan dan ditampilkan dengan simulators, dan pada gilirannya menggugus menjadi gugusan-gugusan imaji yang “menuntun” manusia modern pada kesadaran yang ditampilkan oleh simulator-simulator tersebut, inilah yang disebut gugusan simulakra. Simulator-simulator itu dapat saja muncul dalam bentuk iklan, film, cybernetics, kuis, sinetron dan lain-lain yang tampil dalam TV atau media lain yang mengobral kepuasan fashion, makanan dan funs. (Mulyana dan Ibrahim 1997, 269)
Televisi sudah mendramatisir situasi yang sebenarnya dan pada akhirnya memanipulasi persepsi pemirsa. Manipulasi adalah sebuah proses rekayasa dengan melakukan penambahan, pensembunyian, penghilangan atau pengkaburan terhadap bagian atau keseluruhan sebuah realitas, kenyataan, fakta-fakta ataupun sejarah yang dilakukan berdasarkan sistem perancangan sebuah tata sistem nilai, manipulasi adalah bagian penting dari tindakan penanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu. Karena itu, apa yang kita lihat dan kita serap dari program-program dan iklan-iklan di televisi dan informasi lainnya merupakan sebuah manipulasi dari realitas yang ada. (Baudrillard 1995, 13-58) Jika kita menelannya begitu saja, maka kita akan memiliki persepsi yang sesuai dengan manipulasi yang disajikan tersebut. Bahkan persepsi kita yang sudah ada sebelumnya juga akan tergantikan oleh pesan dari manipulasi tersebut. Hal tersebut merupakan ledakan makna di media: begitu banyak informasi yang ditawarkan, namun hanya sedikit yang benar-benar mendidik dan bersifat informatif yang sesungguhnya. (Baudrillard 1995, 58) Oleh karena itu, masyarakat dan gereja dituntut harus dapat lebih bijak dalam menikmati tayangan televisi. Sebab sekarang ini, dalam tayangan televisi terdapat banyak sekali menampilkan kekerasan yang membuat bulu kuduk merinding, misalnya seperti sadisme, kekerasan seksual, individualisme dan penyalahgunaan waktu, vulgaritas, kejahatan, kebencian, seks bebas, penipuan, tatanan rambut yang radikal, meningkatnya konsumerisme, dan lain-lain. 
Jean Baudrillard memberikan kontribusi berupa gagasannya tentang masyarakat konsumerisme. Menurutnya, masyarakat kontemporer saat ini dibentuk oleh kenyataan bahwa manusia jaman ini dikepung oleh faktor konsumsi yang begitu nampak dan konkret, yaitu dengan adanya multiplikasi objek, jasa, serta barang-barang material (Lynch 2005, 61).  Tampaknya memang benar demikian. Sebab orang yang semakin sering menonton tayangan-tayangan seperti itu (termasuk gereja) pada akhirnya akan menerima hal itu sebagai perbuatan yang normal. Bahkan tidak dapat dipungkiri juga bahwa akan ada tayangan-tayangan yang malah mengaburkan nilai-nilai agama dan sosial dalam hal respek, kesopanan dan susila. (Mulyana dan Ibrahim 1997, 207)




Peran Gereja

Televisi memiliki kemampuan serta pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap dan perilaku manusia. Televisi telah menjadi propaganda terpenting bagi setiap orang termasuk orang Kristen baik dewasa maupun anak-anak. Tidak bisa disangkal bahwa dewasa ini televisi adalah salah satu guru elektronik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Lalu, apa yang harus dilakukan gereja dan keluarga Kristen untuk mengatasi berbagai problema yang diakibatkan oleh tontonan televisi tersebut? Dalam hal ini gereja diimbau untuk: (YAKOMA PGI 1989, 15)
a.       Bertindak secara aktif  menginformasikan dampak sosial yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi komunikasi kepada jemaat, antara lain dalam acara retreat, pekan kelauarga, dan lain-lain.
b.      Secara khusus mengembalakan warganya.
c.       Memberikan dan mengembangkan berbagai bentuk media komunikasi sosial sebagai alternatif terhadap media massa yang ada dalam memenuhi kebutuhan warga jemaat dan khalayak akan informasi, pengetahuan dan hiburan.
d.      Mengembangkan sikap kritis teologis terhadap kuasa media. (Chandra 1996, 79)
Untuk mengatasi berbagai problema yang diakibatkan oleh tontonan televisi tersebut, sebagai keluarga Kristen, kita juga diimbau untuk: (Komkat KWI 1997, 38-39)
a.       Selektif Dalam Memilih Acara Yang Ditonton
Lebih baik menonton acara-acara yang berkualitas. Tidak semua tayangan di televisi itu buruk, ada juga beberapa acara yang baik untuk ditonton.  Sebagai keluarga Kristen kita harus bisa mengatasi bagaimana caranya agar penyakit ini jangan sampai menulari generasi gereja. Dalam hal ini kita harus bisa menjadi guru paling tidak untuk diri sendiri dan anggota keluarga dan jemaat. Misalnya, kita harus menentukan acara televisi yang akan ditonton oleh anak kita setiap minggunya.  Jangan biarkan televisi hidup hanya untuk melihat iklan atau untuk mendengar suaranya saja. 
b.      Pendampingan orang tua
Orang tua juga perlu, mendampingi anak-anak saat menonton sebuah tayangan dan memberi mereka informasi akan siaran yang ditonton. Kita perlu melihat bagaimana anak-anak menyikapi tontonan tersebut dan memberikan waktu untuk mendiskusikannya bersama. Orang tua juga perlu mengatur jam untuk menonton.
c.       Mengadakan Kebaktian Kelaurga
Salah satu isu yang paling sering menimbulkan konflik antara anak-anak dan orang tua adalah acara nonton televisi. Kapan, berapa sering, dan acara apa yang bisa dan tak bisa ditonton sering menjadi perdebatan yang panas untuk hubungan orang tua dan anak.  Menonton televisi bukanlah sesuatu yang terlarang atau dosa. Namun sebagai orang Kristen kita harus membuat prioritas dalam kegiatan keluarga kita. Kebaktian keluarga seharusnya menjadi pilihan utama. Tekankan masalah-masalah moral dan pengaruh televisi dalam kebaktian tersebut kepada semua anggota keluarga.Menonton televisi bukanlah prioritas. Kalangan anak-anak dan remaja adalah korban yang paling banyak dari pengaruh negatif televisi. 

Penutup

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa televisi hadir sebagai sarana untuk memperlancar hubungan dan komunikasi antar manusia. Banyak perubahan dan kemajuan yang terjadi pada masyarakat abad kedua puluh dengan datangnya media masa televisi.
Pada dasarnya televisi berfungsi untuk memberikan hiburan yang sehat serta pengetahuan kepada pemirsanya. Televisi juga dapat mengerutkan dunia dan melaksanakan penyebaran berita dan gagasan dengan lebih cepat. Dengan adanya media televisi dunia tampak semakin kecil dari sebelumnya. Kita bisa memperoleh kesempatan untuk memperoleh informasi yang lebih baik tentang apa yang terjadi di dunia. Berita-berita aktual bisa langsung disebarkan ke berbagai pelosok dunia secara langsung. Gempa bumi, penyakit menular, kriminalitas, peristiwa olah-raga terakhir yang terjadi di belahan bumi bisa disaksikan bersama-sama oleh jutaan orang. Media televisi telah bisa menyatukan hati semua orang melalui informasi yang diberikan. Dengan menonton tayangan televisi akan bisa menambah wawasan kita. 
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri juga bahwa pengaruh yang tercipta oleh media televisi juga dapat mempercepat kehancuran nilai-nilai agama dan moral tradisional dari pemirsanya, termasuk gereja dan teologinya yang juga turut memengaruhi pemahaman mereka akan tugas dan dunia sekitarnya. Komunikasi tanpa batas telah banyak mengakibatkan pergeseran moral. Banyak tayangan televisi saat ini yang sudah kehilangan fungsi. Yang seharusnya memberikan hiburan untuk membangun ahklak malah melukai pemirsa baik-anak-anak maupun dewasa. Televisi menjadi pusat komersial nomor satu. Acara-acara dikemas untuk bisa dijual ke publik. Televisi juga memanjakan pemirsasnya sehingga membuat orang lupa untuk beraktivitas, menghancurkan gairah kerja, dan lain-lain. Satu hal yang sangat menyedihkan bagi kalangan orang Kristen adalah adanya anggota jemaat yang lebih memilih menonton pertandingan siaran langsung tinju atau sepak bola pada hari Minggu siang dari pada mengikuti kebaktian di jemaat lokal. Namun yang lebih membahayakan lagi adalah dampak konsumsi sehari-hari dari tokoh idola dalam cerita dan acara yang hanya memperlihatkan sedikit perbedaan antara benar dan salah. Anak-anak sangat mudah terpengaruh dan mengadopsi kehidupan sang tokoh film dalam kehidupannya dan menginginkan diri seperti tokoh tersebut. Ada anak kecil yang membunuh adiknya. Setelah di lakukan investigasi, ditemukan bahwa penyebabnya adalah mereka bermain "supermen-supermenan" di kamar. Dia mengikat leher adiknya dengan kain sarung dan mendorongnya dari atas ranjang yang agak tinggi dengan keyakinan sang adik akan bisa melepaskan diri dari ikatan tersebut seperti yang dilakukan superman. Si adik tidak bisa dan akhirnya nyawanyapun melayang. Hal ini terjadi adalah karena pengaruh dari tontonan televisi. Lihatlah betapa dahsyat dan mengerikannya pengaruh tayangan sedemikian terhadap generasi-generasi penerus kita. 
Televisi juga banyak memengaruhi pemirsa secara psikologis. Banyak tayangan yang mengajak pemirsanya untuk hidup dalam dunia delusi atau alam khayalan. Menciptakan kecemburuan yang akhirnya memaksa diri untuk melakukan kejahatan demi memenuhi hasrat. Televisi mengajarkan kepuasan sesaat, seperti iklan yang digunakan untuk menarik anak-anak dan remaja dan menarik mereka membeli suatu produk yang menipu (inilah yang disebut manipulasi persepsi). Televisi mengajarkan bahwa kebahagiaan berarti memiliki segala sesuatu. Bahkan terkadang gereja juga beranggapan demikian. Sehingga Tuhan terkadang ditempatkan pada posisi kesekian setelah kebahagiaan dunia. Padahal seharusnya tidak demikian. Oleh karena itu, marilah kita bijak dalam menikmati si kotak ajaib yang dapat bermanfaat sekaligus memanfaatkan kita.



Daftar Pustaka


Baudrillard, Jean. Simulakra and Simulation. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1995.
Chandra, Robby I. Teologi dan Komunikasi. Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1996.
Komkat KWI. Peranan Media dalam Pendidikan Iman dan Upaya Pendidikan Kesadaran
Bermedia. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Lynch, Gordon. Understanding Theology and Popular Culture. Malden and Oxford: Blackwell Publishing, 2005.
Mulyana, Dedy dan Idi Subandy Ibrahim. Bercinta dengan Televisi: Ilusi, Impresi dan Imaji
sebuah Kotak Ajaib. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997.
Yayasan Komunikasi Masyarakat (YAKOMA) PGI. Komunikasi Perdamaian Keadilan. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1989.


Sumber dari Internet:

(diakses 4 Desember 2012)
(diakses 4 Desember 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar