Televisi VS Pemahaman Teologi Gereja
Pendahuluan
Salah satu media
komunikasi yang paling memengaruhi perilaku dan pikiran manusia adalah
televisi. Mengapa? Sebab jika televisi tidak berpengaruh terhadap peminatnya
(pemirsa), mengapa televisi terus menerus menanyangkan iklan yang diproduksi
dengan biaya ratusan juta rupiah? Tentu saja pengaruhnya sangat besar sehingga
iklan terus diperbanyak, bukan? Selain itu, adanya siaran televisi yang
mengandung slogan politik, SARA, kekerasan, film-film perang, bahkan konflik
nyata sekalipun turut meramaikan siaran televisi. Sayangnya, banyak anak-anak
bahkan orang dewasa sekalipun yang sulit mengontrol isi program-program “si kotak
ajaib” tersebut. Hasilnya, mereka menerima tayangan televisi tersebut begitu
saja tanpa banyak pertimbangan. Bahkan tidak sedikit pula dari masyarakat dan
jemaat gereja yang menerima hal tersebut sebagai suatu tawaran dan nasihat yang
sangat dianjurkan. Sehingga tidak jarang pula mereka akhirnya meniru begitu
saja apa yang mereka lihat atau dengar. Oleh karena itu, siaran televisi harus
mendapat perhatian lebih, baik dari masyarakat maupun gereja. Sebab apapun
bentuk dan jenis siaran televisi tersebut, siaran tersebut memiliki sentuhan
langsung terhadap pandangan teologis dan iman, pikiran, dan prilaku
konsumennya.
Terkait dengan hal itu, di dalam paper ini akan
dibahas mengenai bagaimana perkembangan media (khususnya media televisi)
dapat turut memengaruhi pemahaman teologis gereja tentang dunia sekitarnya. Bahkan yang lebih membahayakan
adalah bagaimana media televisi juga mampu mengubah gereja dan
teologinya dalam memahami dunia dan tugasnya. Semoga paper sederhana ini dapat menjadi secercah cahaya yang menerangi
cakrawala nalar kita yang tak terbatas ini dan mampu membantu kita memahami
perihal teologi dan kaitannya dengan komunikasi media (khususnya televisi),
sehingga lubang ketidaktahuan kita tentang kedua hal ini mampu kita hindari
bahkan kita tutup bersama.
Televisi VS Pemahaman Teologi Gereja
Salah satu contoh
siaran yang pada akhirnya turut memengaruhi pandangan teologis gereja tentang
dunia sekitarnya adalah mengenai konflik yang terjadi antara Palestina dan
Israel. Konflik ini sudah berlangsung selama enam dasawarsa sejak para pegiat
Zionis Yahudi memproklamasikan kemerdekaan Israel di tanah Palestina pada 14
Mei 1948 lalu. Namun media selalu menampikan hal semacam ini dalam kemasan baru
sehingga tetap menarik bahkan semakin menarik untuk dinikmati kembali. Melalui
media televisi, masyarakat gereja juga turut memperhatikan ketegangan apa yang
tengah terjadi antara Palestina dan Israel tersebut. Sebagian televisi
menyiarkan bahwa ketegangan yang terjadi antara Palestina dan Israel mengandung
unsur agama. Sebagaian lainnya menyatakan bahwa konflik Palestina dan Israel
yang terjadi sesungguhnya bukanlah konflik yang didasarkan atas agama,
melainkan konflik politik, ekonomi, kemanusiaan, hukum, nasionalisme, dan
keserakahan manusia. Lalu, yang manakah yang benar?
Pesan yang ambigu
seperti ini terkadang memberi pengaruh yang negatif bagi penikmatnya. Bukan
hanya memengaruhi pemahaman teologis gereja, tetapi juga turut memengaruhi
pemahaman masyarakat seluruhnya. Hal ini disebabkan karena mereka salah dalam
menangkap pesan yang disampaikan oleh televisi tersebut atau karena informasi
tersebut memang ditelan begitu saja. Sehingga ada pula sebagian masyarakat yang
melakukan aksi di jalanan sebagai bentuk respons dari pemberitaan media
tersebut. Sebagai contoh adalah beberapa ormas Islam di Indonesia seperti Front
Pembela Islam (FPI) dan Forum Umat Islam (FUI) yang melancarkan demonstrasi di
beberapa kota besar di Indonesia. Salah satunya adalah aksi demonstrasi yang
dilakukan di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta untuk menentang agresi
militer Israel terhadap Gaza. Aksi ini bahkan dikerubungi ratusan massa FPI.
Banyak dari demonstran pendemo Israel membawa spanduk, yang bertuliskan:
"Kami siap menjemput Syahid di Gaza" atau "Yahudi Laknatullah".
Bahkan, pernah diberitakan bahwa beberapa ormas Islam siap mengirimkan
mujahidin ke Palestina, menyebut agama Kristen juga ikut mengambil bagian dalam
konflik ini karena Kristen juga ada hubungannya dengan Yahudia, dan
tuduhan-tuduhan lainnya.
Melihat gencarnya demonstrasi yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam, sepintas memang konflik Palestina seakan-akan seperti konflik antar agama. Khususnya antara agama Islam, Yahudi dan Kristen. Apalagi wilayah konflik mencakup Yerusalem yang dianggap kota suci bagi ketiga agama tersebut. Namun sebenarnya ini bukanlah konflik yang didasarkan atas agama, melainkan konflik politik, ekonomi, kemanusiaan, hukum, nasionalisme, dan keserakahan manusia. (http://politikinternational.wordpress.com/2008/05/15/konflik-israel-dan-palestina-bukan-konflik-agama-tetapi-murni-masalah-politik/)
Melihat gencarnya demonstrasi yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam, sepintas memang konflik Palestina seakan-akan seperti konflik antar agama. Khususnya antara agama Islam, Yahudi dan Kristen. Apalagi wilayah konflik mencakup Yerusalem yang dianggap kota suci bagi ketiga agama tersebut. Namun sebenarnya ini bukanlah konflik yang didasarkan atas agama, melainkan konflik politik, ekonomi, kemanusiaan, hukum, nasionalisme, dan keserakahan manusia. (http://politikinternational.wordpress.com/2008/05/15/konflik-israel-dan-palestina-bukan-konflik-agama-tetapi-murni-masalah-politik/)
Selain itu,
tayangan yang mengandung unsur SARA seperti yang terlontar dari ucapan Haji
Rhoma Irama mengenai Ahok turut mengundang sakit hati bagi sebagian orang
Kristen. Pasalnya, Rhoma Irama menyatakan bahwa Jakarta tidak pantas dipimpin
oleh seorang Kafir. Bahkan siapa saja umat Islam yang memilih Ahok yang
beragama Kristen Katolik tersebut, berarti telah ikut menceburkan dirinya
sebagai bagian dari orang Kafir itu. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/06/m8c83l-bang-haji-umat-islam-dilarang-keras-pilih-pemimpin-kafir)
Tontonan dan informasi yang seperti ini pada akhirnya bukan hanya melukai
perasaan sebagian pihak yang terkait, tetapi juga akan turut mempengaruhi
pemahaman teologis dan pandangan seseorang mengenai pihak lain. Bahkan tidak
menutup kemungkinan pula jika pada akhirnya kejadian dan pernyatan dari Rhoma
Irama yang disiarkan lewat televisi tersebut malah merusak relasi yang terjalin
antar umat Islam dan Kristen selama ini.
Adanya
kesalahpahaman seperti inilah yang ditakuti dapat terjadi dan dialami oleh
penikmat televisi sebagai dampak dari program yang ditayangkan oleh televisi
tersebut. Sehingga isu seperti konflik Palestina VS Israel yang dikabarkan ke
masyarakat melalui siaran televisi juga turut memengaruhi pemahaman teologis
gereja tentang dunia sekitarnya. Bagaimana tidak, sebab bentuk respons yang
ditunjukkan oleh masyarakat (seperti ormas Islam) akibat siaran televisi
tersebut malah akan memicu persoalan baru antara umat Islam dan Kristen di
Indonesia. Sebab tidak menutup kemungkinan bahwa gereja secara tidak langsung
juga akan menunjukkan responsnya, misalnya dengan memerangi umat Islam meski
tidak seradikal umat Islam itu sendiri. Atau setidaknya umat Kristen akan
memberi kesan atau label negatif terhadap agama Islam terkait dengan hal ini,
meski sebenarnya tidak semua umat Islam sama seperti anggota ormas tersebut.
Bahkan pemahaman teologis yang salah pada akhirnya juga akan turut memengaruhi
misi gereja yang tidak lagi menjadi garam dan terang bagi dunia dalam menjalin
relasi dengan dunia dan sekitarnya. Melainkan gereja pada akhrinya akan menjadi
lebih terkesan eksklusif dan menutup diri dengan agama lain, khususnya agama
Islam. Contoh konkretnya adalah jika selama ini ada sebagian gereja yang
memiliki kebiasaan memberi bingkisan atau santunan kepada anak-anak yatim dan
anak jalanan yang beragama Islam sebagai hadian natal, pada akhirnya menjadi
ditiadakan oleh sebagian gereja akibat adanya konflik antara Islam dan Kristen
yang terjadi di Indonesia sebagai imbas dari konflik Palestina dan Israel yang
sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama tersebut. Hal ini
pada akhirnya memperlihatkan bagaimana perkembangan media (khususnya media
televisi) dapat turut memengaruhi pemahaman teologis gereja tentang dunia
sekitarnya. Bahkan yang lebih
membahayakan adalah bagaimana media televisi juga mampu mengubah gereja
dan teologinya dalam memahami dunia dan tugasnya dan dalam menjaga relasi
antarumat beragama di dunia.
Analisis
Sebetulnya
sekarang televisi sudah menjadi agama masyarakat industri. Bagaimana tidak?
Banyak orang bahkan gereja sudah belajar hidup dari televisi. Di Amerika, dulu
televisi disebut sebagai the second god.
(Mulyana dan Ibrahim 1997, 228) Anak-anak belajar tentang cara hidup,
berpakaian dan berjalan lewat televisi. Namun sekarang, televisi mungkin sudah
menjadi the first god bagi sebagian
orang. Hal itu disebabkan karena
adanya kemampuannya televisi untuk menyajikan realitas kedua. Lewat layar kecil
yang berfungsi sebagai jendela dunia, para pemirsa diarahkan untuk
mendefenisikan situasi sesuai dengan kehendak elit pengelola informasi. Bahkan
hampir semua kegiatan kehidupan mereka dijadwalkan dan diatur oleh pesan-pesan
televisi yang mengandung kebenarannya sendiri. Padahal seharusnya tidak boleh
demikian. Ada sebuah pepatah Cina yang mengatakan “There is your truth, there is my truth, there is the truth”.
Pepatah ini hendak mengatakan bahwa setiap orang atau golongan, dibatasi oleh
prasangka, persepsi, dan kepentingannya masing-masing. (Yakoma PGI 1989, 29) Setiap
kebenaran tidak dapat disamaratakan dengan kebenaran yang sudah dimiliki oleh
orang lain. Berita di televisi juga demikian. Sering kali pemirsa memperoleh
kesan bahwa berita di televisi adalah satu-satunya kebenaran yang dapat
dipercaya. Padahal sebenarnya gambaran dunia dalam televisi adalah gambaran
dunia yang sudah diolah.
Terkait dengan
gambaran dunia dalam televisi tersebut, Jean Baudrillard menggunakan istilah
simulasi, simulakra dan hyperreality.
Simulasi merupakan sebuah tiruan
dari sesuatu, objek/keadaan dimana masih mudah/bisa dibedakan atau ditemukan
perbedaannya antara yang asli dan palsu/mana realitas sebenarnya dan mana
realitas buatan. Ketika sebuah simulasi bercampur dengan kenyataan sebenarnya,
direpresentasikan dan dibuat senyata mungkin serta melibatkan pengalaman/sisi
emosi dari masyarakat maka akan membentuk sebuah simulakra. Simulakra merupakan “simulasi” yang lebih maju dan
mencapai sebuah titik dimana sebuah realita menjadi sulit bahkan tidak bisa
dibedakan lagi mana yang kenyataan sebenarnya dan mana kenyataan yang
dikonstruksikan. Keadaan tersebut diistilahkan dengan hyperreal atau realitas yang berlebih. Simulakra membuat sesuatu menjadi lebih nyata dari yang nyata, itu
adalah cara bagaimana sebuah kenyataan sebenarnya terhapus. Simulacrum bisa juga dikatakan sebagai
representasi, misalnya dilakukan oleh pencitraan. Sebuah simbol
dicitrakan sedemikian rupa menjadi seperti yang diinginkan, padahal sebenarnya
tidak seperti itu. Tetapi karena terus menerus disuguhi dengan simbol (sign)
yang dicitrakan dan memang dibentuk untuk menjadi sesuatu yang diinginkan, maka
akan sulit membedakan mana yang nyata mana yang bukan yang sekali lagi
ditekankan bahwa keadaaan ini akan menggiring ke sebuah realitas berlebih. Hyperreality adalah sebuah gejala di mana banyak bertebaran realitas-realitas
buatan yang bahkan tampak lebih real dibandingkan realitas sebenarnya. Atau
dengan kata lain, simulasi itulah yang mencitrakan sebuah realitas yang
pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Realitas yang “tidak
sesungguhnya” tetapi dicitrakan sebagai realitas yang mendeterminasi kesadaran
“kita” itulah yang disebut dengan realitas semu (hyper-reality) (Baudrillard
1995, 3-42). Realitas ini tampil melalui media-media yang menjadi
“kiblat” utama masyarakat massa. Melalui media seperti televisi,
realitas-realitas dikonstruksikan dan ditampilkan dengan simulators, dan pada
gilirannya menggugus menjadi gugusan-gugusan imaji yang “menuntun” manusia
modern pada kesadaran yang ditampilkan oleh simulator-simulator tersebut,
inilah yang disebut gugusan simulakra. Simulator-simulator itu dapat saja
muncul dalam bentuk iklan, film, cybernetics, kuis, sinetron dan lain-lain
yang tampil dalam TV atau media lain yang mengobral kepuasan fashion, makanan dan funs. (Mulyana dan Ibrahim 1997, 269)
Televisi sudah
mendramatisir situasi yang sebenarnya dan pada akhirnya memanipulasi persepsi
pemirsa. Manipulasi adalah sebuah proses rekayasa dengan melakukan
penambahan, pensembunyian, penghilangan atau pengkaburan terhadap bagian atau
keseluruhan sebuah realitas, kenyataan, fakta-fakta ataupun sejarah yang
dilakukan berdasarkan sistem perancangan sebuah tata sistem nilai, manipulasi
adalah bagian penting dari tindakan penanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir,
perilaku dan kepercayaan tertentu. Karena itu, apa yang kita lihat dan kita
serap dari program-program dan iklan-iklan di televisi dan informasi lainnya
merupakan sebuah manipulasi dari realitas yang ada. (Baudrillard 1995, 13-58)
Jika kita menelannya begitu saja, maka kita akan memiliki persepsi yang sesuai
dengan manipulasi yang disajikan tersebut. Bahkan persepsi kita yang sudah ada
sebelumnya juga akan tergantikan oleh pesan dari manipulasi tersebut. Hal
tersebut merupakan ledakan makna di media: begitu banyak informasi yang
ditawarkan, namun hanya sedikit yang benar-benar mendidik dan bersifat
informatif yang sesungguhnya. (Baudrillard 1995, 58) Oleh karena itu,
masyarakat dan gereja dituntut harus dapat lebih bijak dalam menikmati tayangan
televisi. Sebab sekarang ini, dalam tayangan televisi terdapat banyak sekali menampilkan
kekerasan yang membuat bulu kuduk merinding, misalnya seperti sadisme, kekerasan seksual,
individualisme dan penyalahgunaan waktu, vulgaritas, kejahatan, kebencian, seks bebas, penipuan, tatanan
rambut yang radikal, meningkatnya konsumerisme, dan lain-lain.
Jean Baudrillard
memberikan kontribusi berupa gagasannya tentang masyarakat konsumerisme.
Menurutnya, masyarakat kontemporer saat ini dibentuk oleh kenyataan bahwa
manusia jaman ini dikepung oleh faktor konsumsi yang begitu nampak dan konkret,
yaitu dengan adanya multiplikasi objek, jasa, serta barang-barang material
(Lynch 2005, 61). Tampaknya
memang benar demikian. Sebab orang yang semakin sering menonton
tayangan-tayangan seperti itu (termasuk gereja) pada akhirnya akan menerima hal
itu sebagai perbuatan yang normal. Bahkan tidak dapat dipungkiri juga bahwa
akan ada tayangan-tayangan yang malah mengaburkan nilai-nilai agama dan sosial
dalam hal respek, kesopanan dan susila. (Mulyana dan Ibrahim 1997, 207)
Peran Gereja
Televisi memiliki
kemampuan serta pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap dan
perilaku manusia. Televisi telah menjadi propaganda terpenting bagi setiap
orang termasuk orang Kristen baik dewasa maupun anak-anak. Tidak bisa disangkal
bahwa dewasa ini televisi adalah salah satu guru elektronik untuk anak-anak
maupun orang dewasa. Lalu, apa yang harus dilakukan gereja dan keluarga
Kristen untuk mengatasi berbagai problema yang diakibatkan oleh tontonan
televisi tersebut? Dalam hal ini gereja diimbau untuk: (YAKOMA PGI 1989, 15)
a. Bertindak
secara aktif menginformasikan dampak
sosial yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi komunikasi kepada jemaat,
antara lain dalam acara retreat, pekan
kelauarga, dan lain-lain.
b. Secara
khusus mengembalakan warganya.
c. Memberikan
dan mengembangkan berbagai bentuk media komunikasi sosial sebagai alternatif
terhadap media massa yang ada dalam memenuhi kebutuhan warga jemaat dan
khalayak akan informasi, pengetahuan dan hiburan.
d. Mengembangkan
sikap kritis teologis terhadap kuasa media. (Chandra 1996, 79)
Untuk mengatasi berbagai problema
yang diakibatkan oleh tontonan televisi tersebut, sebagai keluarga Kristen,
kita juga diimbau untuk: (Komkat KWI 1997, 38-39)
a. Selektif
Dalam Memilih Acara Yang Ditonton
Lebih baik
menonton acara-acara yang berkualitas. Tidak semua tayangan di televisi
itu buruk, ada juga beberapa acara yang baik untuk ditonton. Sebagai
keluarga Kristen kita harus bisa mengatasi bagaimana caranya agar penyakit ini
jangan sampai menulari generasi gereja. Dalam hal ini kita harus bisa
menjadi guru paling tidak untuk diri sendiri dan anggota keluarga dan jemaat.
Misalnya, kita harus menentukan acara televisi yang akan ditonton oleh anak
kita setiap minggunya. Jangan biarkan televisi hidup hanya untuk
melihat iklan atau untuk mendengar suaranya saja.
b. Pendampingan
orang tua
Orang tua juga
perlu, mendampingi anak-anak saat menonton sebuah tayangan dan memberi mereka
informasi akan siaran yang ditonton. Kita perlu melihat bagaimana
anak-anak menyikapi tontonan tersebut dan memberikan waktu untuk
mendiskusikannya bersama. Orang tua juga perlu mengatur jam untuk
menonton.
c. Mengadakan
Kebaktian Kelaurga
Salah satu isu yang
paling sering menimbulkan konflik antara anak-anak dan orang tua adalah acara
nonton televisi. Kapan, berapa sering, dan acara apa yang bisa dan tak
bisa ditonton sering menjadi perdebatan yang panas untuk hubungan orang tua dan
anak. Menonton televisi bukanlah sesuatu
yang terlarang atau dosa. Namun sebagai orang Kristen kita harus membuat
prioritas dalam kegiatan keluarga kita. Kebaktian keluarga seharusnya menjadi
pilihan utama. Tekankan masalah-masalah moral dan pengaruh televisi dalam
kebaktian tersebut kepada semua anggota keluarga.Menonton televisi bukanlah
prioritas. Kalangan anak-anak dan remaja adalah korban yang paling banyak
dari pengaruh negatif televisi.
Penutup
Memang tidak dapat
dipungkiri bahwa televisi hadir sebagai sarana untuk memperlancar hubungan dan
komunikasi antar manusia. Banyak perubahan dan kemajuan yang terjadi pada
masyarakat abad kedua puluh dengan datangnya media masa televisi.
Pada dasarnya
televisi berfungsi untuk memberikan hiburan yang sehat serta pengetahuan kepada
pemirsanya. Televisi juga dapat mengerutkan dunia dan melaksanakan
penyebaran berita dan gagasan dengan lebih cepat. Dengan adanya media
televisi dunia tampak semakin kecil dari sebelumnya. Kita bisa memperoleh
kesempatan untuk memperoleh informasi yang lebih baik tentang apa yang terjadi
di dunia. Berita-berita aktual bisa langsung disebarkan ke berbagai
pelosok dunia secara langsung. Gempa bumi, penyakit menular, kriminalitas,
peristiwa olah-raga terakhir yang terjadi di belahan bumi bisa disaksikan
bersama-sama oleh jutaan orang. Media televisi telah bisa menyatukan hati
semua orang melalui informasi yang diberikan. Dengan menonton tayangan
televisi akan bisa menambah wawasan kita.
Namun demikian, tidak
dapat dipungkiri juga bahwa pengaruh yang tercipta oleh media televisi juga
dapat mempercepat kehancuran nilai-nilai agama dan moral tradisional dari
pemirsanya, termasuk gereja dan teologinya yang juga turut memengaruhi pemahaman
mereka akan tugas dan dunia sekitarnya. Komunikasi tanpa batas telah banyak
mengakibatkan pergeseran moral. Banyak tayangan televisi saat ini yang
sudah kehilangan fungsi. Yang seharusnya memberikan hiburan untuk
membangun ahklak malah melukai pemirsa baik-anak-anak maupun
dewasa. Televisi menjadi pusat komersial nomor satu. Acara-acara
dikemas untuk bisa dijual ke publik. Televisi juga memanjakan pemirsasnya
sehingga membuat orang lupa untuk beraktivitas, menghancurkan gairah kerja, dan
lain-lain. Satu hal yang sangat menyedihkan bagi kalangan orang Kristen adalah
adanya anggota jemaat yang lebih memilih menonton pertandingan siaran langsung
tinju atau sepak bola pada hari Minggu siang dari pada mengikuti kebaktian di
jemaat lokal. Namun yang lebih membahayakan lagi adalah dampak konsumsi
sehari-hari dari tokoh idola dalam cerita dan acara yang hanya memperlihatkan
sedikit perbedaan antara benar dan salah. Anak-anak sangat mudah terpengaruh
dan mengadopsi kehidupan sang tokoh film dalam kehidupannya dan menginginkan
diri seperti tokoh tersebut. Ada anak kecil yang membunuh
adiknya. Setelah di lakukan investigasi, ditemukan bahwa penyebabnya
adalah mereka bermain "supermen-supermenan" di kamar. Dia
mengikat leher adiknya dengan kain sarung dan mendorongnya dari atas ranjang
yang agak tinggi dengan keyakinan sang adik akan bisa melepaskan diri dari
ikatan tersebut seperti yang dilakukan superman. Si adik tidak bisa dan
akhirnya nyawanyapun melayang. Hal ini terjadi adalah karena pengaruh dari
tontonan televisi. Lihatlah betapa dahsyat dan mengerikannya pengaruh
tayangan sedemikian terhadap generasi-generasi penerus kita.
Televisi juga banyak
memengaruhi pemirsa secara psikologis. Banyak tayangan yang mengajak pemirsanya
untuk hidup dalam dunia delusi atau alam khayalan. Menciptakan kecemburuan
yang akhirnya memaksa diri untuk melakukan kejahatan demi memenuhi
hasrat. Televisi mengajarkan kepuasan sesaat, seperti iklan yang digunakan
untuk menarik anak-anak dan remaja dan menarik mereka membeli suatu produk yang
menipu (inilah yang disebut manipulasi persepsi). Televisi mengajarkan
bahwa kebahagiaan berarti memiliki segala sesuatu. Bahkan terkadang gereja juga
beranggapan demikian. Sehingga Tuhan terkadang ditempatkan pada posisi kesekian
setelah kebahagiaan dunia. Padahal seharusnya tidak demikian. Oleh karena itu,
marilah kita bijak dalam menikmati si kotak ajaib yang dapat bermanfaat
sekaligus memanfaatkan kita.
Daftar Pustaka
Baudrillard, Jean. Simulakra and Simulation. Ann Arbor:
University of Michigan Press, 1995.
Chandra, Robby I. Teologi dan Komunikasi. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press, 1996.
Komkat KWI. Peranan Media dalam Pendidikan Iman dan Upaya Pendidikan Kesadaran
Bermedia. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Lynch, Gordon. Understanding Theology and Popular Culture.
Malden and Oxford: Blackwell Publishing, 2005.
Mulyana, Dedy dan Idi Subandy
Ibrahim. Bercinta dengan Televisi: Ilusi,
Impresi dan Imaji
sebuah Kotak Ajaib. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1997.
Yayasan Komunikasi Masyarakat
(YAKOMA) PGI. Komunikasi Perdamaian
Keadilan. Jakarta:
BPK Gunung Mulia,
1989.
Sumber dari Internet:
(diakses 4 Desember 2012)
(diakses 4 Desember 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar