Perang Lewat Televisi: Saatnya bijak menggunakan si Kotak Ajaib
Pendahuluan
Salah
satu media komunikasi yang paling memengaruhi perilaku dan pikiran manusia
adalah televisi. Mengapa? Sebab jika televisi tidak berpengaruh terhadap
peminatnya (pemirsa), mengapa televisi terus menerus menanyangkan iklan yang
diproduksi dengan biaya ratusan juta rupiah? Tentu saja pengaruhnya sangat
besar sehingga iklan terus diperbanyak, bukan? Selain itu, adanya siaran
televisi yang mengandung slogan politik, SARA, kekerasan, film-film perang,
bahkan konflik nyata sekalipun turut meramaikan siaran televisi. Sayangnya,
banyak anak-anak bahkan orang dewasa sekalipun yang sulit mengontrol isi
program-program “si kotak ajaib” tersebut. Hasilnya, mereka menerima tayangan
televisi tersebut begitu saja tanpa banyak pertimbangan. Bahkan tidak sedikit
pula dari masyarakat dan jemaat gereja yang menerima hal tersebut sebagai suatu
tawaran dan nasihat yang sangat dianjurkan. Sehingga tidak jarang pula mereka
akhirnya meniru begitu saja apa yang mereka lihat atau dengar. Oleh karena itu,
siaran televisi harus mendapat perhatian lebih, baik dari masyarakat maupun
gereja. Sebab apapun bentuk dan jenis siaran televisi tersebut, siaran tersebut
memiliki sentuhan langsung terhadap pandangan teologis dan iman, pikiran, dan
prilaku konsumennya.
Beberapa
contoh siaran yang menunjukkan adanya perjumpaan antara Kristen dan Islam (baik
dalam arti positif maupun negatif) melalui televisi pada zaman merdeka ini
adalah tayangan-tayangan yang mengandung kekerasan mengenai perang, baik perang
secara nyata seperti yang terjadi antara
Palestina dan Israel ataupun perang dalam arti khusus seperti yang dilontarkan
oleh Rhoma Irama mengenai umat Kristen yang ia anggap sebagai kaum Kafir dan
aksi demo yang dilakukan oleh FPI menentang film “?” (baca: Tanda Tanya) karya
Hanung Bramantyo karena mengandung unsur perjumpaan antara agama Islam dan
Kristen serta perjumpaan agama Islam dengan etnik Thionghoa.
Terkait dengan hal itu, di dalam paper ini akan
dibahas mengenai bagaimana perjumpaan Kristen dan Islam
(baik dalam arti positif maupun negatif) melalui media massa (media cetak:
surat kabar dan majalah, maupun media elektronik: radio, cassette, VCD/DVD,
internet dan TV) pada zaman merdeka. Berikut juga akan dikemukakan apa yang
dikatakan pihak yang satu tentang pihak yang lain, termasuk porsi yang
diberikan media massa pihak yang satu untuk memberitakan kegiatan pihak lain. Semoga paper sederhana ini dapat menjadi secercah
cahaya yang menerangi cakrawala nalar kita yang tak terbatas ini dan mampu
membantu kita memahami perihal perjumpaan Kristen dan Islam dan kaitannya
dengan komunikasi media (khususnya televisi), sehingga lubang ketidaktahuan
kita tentang kedua hal ini mampu kita hindari bahkan kita tutup bersama.
Perjumpaan
Kristen dan Islam melalui Televisi
Salah
satu contoh siaran yang pada akhirnya turut memengaruhi pandangan teologis
gereja tentang dunia sekitarnya adalah mengenai konflik yang terjadi antara
Palestina dan Israel. Konflik ini sudah berlangsung selama enam dasawarsa sejak
para pegiat Zionis Yahudi memproklamasikan kemerdekaan Israel di tanah
Palestina pada 14 Mei 1948 lalu. Namun media selalu menampikan hal semacam ini
dalam kemasan baru sehingga tetap menarik bahkan semakin menarik untuk
dinikmati kembali. Melalui media televisi, masyarakat gereja juga turut
memperhatikan ketegangan apa yang tengah terjadi antara Palestina dan Israel
tersebut. Sebagian televisi menyiarkan bahwa ketegangan yang terjadi antara
Palestina dan Israel mengandung unsur agama. Sebagaian lainnya menyatakan bahwa
konflik Palestina dan Israel yang terjadi sesungguhnya bukanlah konflik yang
didasarkan atas agama, melainkan konflik politik, ekonomi, kemanusiaan, hukum,
nasionalisme, dan keserakahan manusia. Lalu, yang manakah yang benar?
Pesan
yang ambigu seperti ini terkadang memberi pengaruh yang negatif bagi
penikmatnya. Bukan hanya memengaruhi pemahaman teologis, tetapi juga turut
memengaruhi pemahaman masyarakat seluruhnya terkait dengan perjumpaan antar
agama di Indonesia. Hal ini disebabkan karena mereka salah dalam menangkap
pesan yang disampaikan oleh televisi tersebut atau karena informasi tersebut
memang ditelan begitu saja. Sehingga ada pula sebagian masyarakat yang
melakukan aksi di jalanan sebagai bentuk respons dari pemberitaan media
tersebut. Sebagai contoh adalah beberapa ormas Islam di Indonesia seperti Front
Pembela Islam (FPI) dan Forum Umat Islam (FUI) yang melancarkan demonstrasi di
beberapa kota besar di Indonesia. Salah satunya adalah aksi demonstrasi yang
dilakukan di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta untuk menentang agresi
militer Israel terhadap Gaza. Aksi ini bahkan dikerubungi ratusan massa FPI.
Banyak dari demonstran pendemo Israel membawa spanduk, yang bertuliskan:
"Kami siap menjemput Syahid di Gaza" atau "Yahudi
Laknatullah". Bahkan, pernah diberitakan bahwa beberapa ormas Islam siap
mengirimkan mujahidin ke Palestina, menyebut agama Kristen juga ikut mengambil
bagian dalam konflik ini karena Kristen juga ada hubungannya dengan Yahudi, dan
tuduhan-tuduhan lainnya.
Melihat gencarnya demonstrasi yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam, sepintas memang konflik Palestina seakan-akan seperti konflik antar agama. Khususnya antara agama Islam, Yahudi dan Kristen. Apalagi wilayah konflik mencakup Yerusalem yang dianggap kota suci bagi ketiga agama tersebut. Namun sebenarnya ini bukanlah konflik yang didasarkan atas agama, melainkan konflik politik, ekonomi, kemanusiaan, hukum, nasionalisme, dan keserakahan manusia. (http://politikinternational.wordpress.com/2008/05/15/konflik-israel-dan-palestina-bukan-konflik-agama-tetapi-murni-masalah-politik/)
Melihat gencarnya demonstrasi yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam, sepintas memang konflik Palestina seakan-akan seperti konflik antar agama. Khususnya antara agama Islam, Yahudi dan Kristen. Apalagi wilayah konflik mencakup Yerusalem yang dianggap kota suci bagi ketiga agama tersebut. Namun sebenarnya ini bukanlah konflik yang didasarkan atas agama, melainkan konflik politik, ekonomi, kemanusiaan, hukum, nasionalisme, dan keserakahan manusia. (http://politikinternational.wordpress.com/2008/05/15/konflik-israel-dan-palestina-bukan-konflik-agama-tetapi-murni-masalah-politik/)
Selain
itu, tayangan yang mengandung unsur SARA seperti yang terlontar dari ucapan
Haji Rhoma Irama mengenai Ahok turut mengundang sakit hati bagi sebagian orang
Kristen dan etnis Thionghoa. Pasalnya, Rhoma Irama menyatakan bahwa Jakarta
tidak pantas dipimpin oleh seorang Kafir. Bahkan siapa saja umat Islam yang
memilih Ahok yang beragama Kristen Katolik tersebut, berarti telah ikut
menceburkan dirinya sebagai bagian dari orang Kafir itu. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/06/m8c83l-bang-haji-umat-islam-dilarang-keras-pilih-pemimpin-kafir)
Tontonan dan informasi yang seperti ini pada akhirnya bukan hanya melukai
perasaan sebagian pihak yang terkait, tetapi juga akan turut mempengaruhi
pemahaman teologis dan pandangan seseorang mengenai pihak lain. Bahkan tidak
menutup kemungkinan pula jika pada akhirnya kejadian dan pernyatan dari Rhoma
Irama yang disiarkan lewat televisi tersebut malah merusak relasi yang terjalin
antar umat Islam dan Kristen selama ini.
Adanya kesalahpahaman seperti inilah yang ditakuti dapat
terjadi dan dialami oleh penikmat televisi sebagai dampak dari program yang
ditayangkan oleh televisi tersebut. Sehingga isu seperti konflik Palestina VS
Israel yang dikabarkan ke masyarakat melalui siaran televisi juga turut
memengaruhi pemahaman teologis gereja tentang dunia sekitarnya. Bagaimana
tidak, sebab bentuk respons yang ditunjukkan oleh masyarakat (seperti ormas
Islam) akibat siaran televisi tersebut malah akan memicu persoalan baru di
dalam sejarah perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia. Sebab tidak menutup
kemungkinan bahwa umat Kristen secara tidak langsung juga akan menunjukkan
responsnya, misalnya dengan memerangi umat Islam meski tidak seradikal umat
Islam itu sendiri. Atau setidaknya umat Kristen akan memberi kesan atau label
negatif terhadap agama Islam terkait dengan hal ini, meski sebenarnya tidak
semua umat Islam sama seperti anggota ormas tersebut. Bahkan pemahaman teologis
yang salah pada akhirnya juga akan turut memengaruhi misi gereja yang tidak
lagi menjadi garam dan terang bagi dunia dalam menjalin relasi dengan dunia dan
sekitarnya. Melainkan gereja pada akhrinya akan menjadi lebih terkesan
eksklusif dan menutup diri dengan agama lain, khususnya agama Islam. Contoh
konkretnya adalah jika selama ini ada sebagian gereja yang memiliki kebiasaan
memberi bingkisan atau santunan kepada anak-anak yatim dan anak jalanan yang
beragama Islam sebagai hadian natal, pada akhirnya menjadi ditiadakan oleh
sebagian gereja akibat adanya konflik antara Islam dan Kristen yang terjadi di
Indonesia sebagai imbas dari konflik Palestina dan Israel yang sebenarnya tidak
ada hubungannya sama sekali dengan agama tersebut. Hal ini pada akhirnya
memperlihatkan bagaimana perkembangan media (khususnya media televisi) dapat
turut memengaruhi pemahaman teologis gereja tentang dunia sekitarnya. Bahkan yang lebih membahayakan adalah bagaimana
media televisi juga mampu mengubah gereja dan teologinya
dalam memahami dunia dan tugasnya dan dalam menjaga relasi antarumat beragama
di dunia.
Perjumpaan
Kristen dan Islam melalui Film Tanda Tanya
Dalam
dunia hiburan, apapun bakal disuguhkan, asal menarik perhatian orang untuk mau
menyimaknya. Keseksian tubuh, tayangan-tayangan dan lirik lagu yang berbau pornografi,
bahkan hal-hal yang menyangkat isu politik, ras, dan agama pun kerap menjadi
kontroversi. Salah satunya adalah film karya Hanung Bramantyo. Banyak orang
yang tertarik dengan film-film buatan Hanung. Begitu filmnya muncul di
layar lebar, mereka berbondong-bondong untuk menonton film tersebut. Tidak
mengherankan memang jika film-film tersebut mendapatkan perhatian dari
orang-orang. Sebab Hanung Bramantyo memang suka mengangkat cerita
berlatar belakang keagamaan dengan menggambarkan pesan ideal yang ada pada
ajaran agama. Film tersebut juga mengajak masyarakat agar dapat menjalankan
kehidupan sesuai dengan apa yang ditampilkan oleh film tersebut. Namun
sayangnya film “?” ini menuai berbagai reaksi yang timbul mulai dari kalangan
masyarakat biasa hingga tokoh pemuka agama.
Ternyata
tidak semua orang simpatik dengan film-film buatan Hanung. Ada beberapa
kalangan dari kelompok masyarakat dan individu yang apatis, menghujat, bahkan
ada beberapa yang memberi lebel kepada film buatan Hanung sebagai film yang
bernuansa kekafiran dan pemurtadan. Tokoh-tokoh dari MUI, Muhammadiyah,
NU, Sastrawan, dan Mahasiswa Islam memprotes peredaran film tersebut ke layar
kaca pemirsa dengan aksi demo menentang film yang berjudul “?” ini. Hanung
juga sempat beberapa kali mendapat teguran, cacian, dan makian dari masyarakat
tetapi ia tetap teguh pada pendiriannya membuat film tentang pluralisme ini.
Film
"?" Merupakan film yang peling kental dengan cacian dan makian dari
masyarakat. Film ini dibintangi oleh Reza Rahadian (Sholeh), Revalina. S
Temat (Menuk), Agus Kuncuro (Surya), Endita (Rika), Rio Dewantoro (Ping Hen),
David Khalik (Ustadz Wahyu), dan Hengky Sulaiman (Ayah dari Ping Hen). Film "?"
menceritakan tokoh Sholeh yang sangat sulit mencari pekerjaan di kota Semarang,
Menuk (istri Sholeh) yang merasa nyaman bekerja di restoran Cina yang menjual
beberapa makanan haram yang diharamkan oleh agama Islam, Surya yang bosan
bekerja sebagai pemeran pembantu di setiap film, Rika yang murtad dari ajaran
agama Islam, karena diceraikan oleh suaminya yang berpoligami, Ustadz Wahyu
sebagai seorang dai yang disegani dikampungnya, Ping Hen yang sakit hati dengan
Menuk karena ia lebih memilih menikah dengan Sholeh dari pada dengannya karena
berbeda agama, dan Tat Kat Sun adalah pemilik restoran China yang pada akhirnya
meninggal akibat pemukulan yang dilakukan oleh warga muslim pada saat hari raya
Idul Fitri.
Kontroversi
Adapun
bagian/ adegan film ini yang menjadi sasaran kritik yaitu:
1. Pada awal pembukaan film
ada adegan penusukkan terhadap seorang pendeta. Peristiwa tersebut seakan-akan
menggiring pemirsa seolah pemeluk agama tertentu yang melakukannya. Secara
tidak langsung, film tersebut menjelaskan bahwa pemeluk agama Islamlah yang
melakukan pembunuhan tersebut karena mengacu pada peristiwa di Ciketing Bekasi
pada tahun 2010, ketika seorang Pendeta HKBP ditusuk pemuda Islam setelah
sebelumnya mereka diprovokasi jemaat HKBP Ciketing.
2. Rika yang
murtad dari agama Islam ke agama Kristen karena berpikir melakukan suatu
pilihan hidup yang terbaik. Baginya meninggalkan agama bukan berarti
menghianati Tuhan. Pada awalnya, orang tua dan anak-anaknya keberatan
dengan murtadnya Rika, tetapi lama-kelamaan orang tua dan anaknya setuju dengan
hal itu. Namun di dalam ajaran agama Islam, masalah muslim, kafir, fasik, dan
murtad adalah persoalan yang penting dan terkait dengan surga dan
neraka. Maka, dalam mengajarkan hal ini tidak bisa
main-main. Seseorang yang murtad bukan permasalahan yang sepele, melainkan
sesuatu yang sangat serius karena berhubungan konsekuensi di dunia dan
akherat. Hukuman di dunia untuk orang yang murtad adalah dibunuh,
sedangkan hukumanya di akhirat adalah dimasukan ke dalam neraka.
3. Menuk, seorang
muslimah berjilbab yang merasa nyaman bekerja di restoran Cina milik Tat Kat
Sun meski restoran tersebut menyajikan makanan yang diharamkan oleh Islam
seperti daging babi. Adanya adegan ini, seolah makanan babi tidak menjadi
permasalahan penting, padahal dalam Al-Quran sudah dijelaskan bahwa babi itu
haram untuk dikonsumsi. Orang Islam yang tidak mengkonsumsi, namun membuat
dan menyajikan babi juga dilarang dalam ajaran agama Islam karena seolah
mendukung daging babi agar bisa dikonsumsi oleh orang lain.
4. Seorang tokoh
figuran yang beragama Islam dan kebetulan tinggal di masjid yang bernama Surya,
dibujuk oleh Rika yang murtad dari agama Islam agar bersedia berperan sebagai
Yesus di Gereja pada saat Paskah. Sebelum ia memerankan tokoh Yesus, ia
berkonsultasi dengan seorang ustadz yang bernama Wahyu, dan ustadz tersebut
mengatakan bahwa bisa menjalankan hal apa pun yang penting hati tetap beriman
kepada Allah SWT. Setelah memerankan Yesus pada saat Paskah, Surya masuk ke
masjid dan melalafalkan Surat Al-Ikhlas. Aksi Surya jelas tidak dibenarkan
oleh Islam. Ia dianggap tidak konsisten terhadap ajaran agama Islam, meskipun
itu hanya sebatas perayaan biasa. Namun itu merupakan suatu kebiasaan yang
menyangkut ritual keagamaan. Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa
yang meniru suatu kaum, maka ia termasuk di dalamnya". Maka
berdasarkan argumen dari hadist ini, seharusnya seorang muslim tidak diperbolehkan
mengikuti tradisi, atau kebudayaan orang-orang non muslim. Selain itu
pernyataan dari Ustadz Wahyu juga perlu dipertanyakan. Jika orang muslim
melakukan hal apapun, asalkan ia tetap beriman kepada Allah, maka hal tersebut
diperbolehkan dalam Islam. Harusnya apa yang tampak secara fisik itu
mencerminkan apa yang ada di dalam hati seseorang. Bila ada orang yang suka
pergi ke gereja, maka dapat dipastikan ia percaya terhadap ajaran agama
protestan atau katolik, begitu pula jika ada orang yang pergi ke masjid, maka
ia dianggap percaya dengan ajaran agama Islam. Pernyataan ini
dianggap sebagai pernyataan yang sesat. Pendapat ini adalah pendapat sekte
sesat Murjiah yang mana salah satu ajarannya adalah diperbolehkan berbuat apa
saja (termasuk kafir secara lisan), namun hatinya tetap beriman kepada
Allah. Seharusnya, antara iman dan amal itu saling terkait, tidak terpisah
sendiri-sendiri. Ketika seseorang mengaku beriman secara lisan kepada
Allah, maka ia harus melakukan syariat-syariat Islam, namun ketika ada yang
beriman kepada Allah, tapi tidak menjalankan syariat Islam, atau ia tidak
beriman tetapi ia menerapkan syariat Islam, ia tidak bisa disebut muslim karena
antara iman dan amal itu saling terkait. Aksi Surya membaca Surat Al-Ikhlas
untuk memantapkan hatinya dalam memeluka agama Islam setelah memerankan tokoh
Yesus pada Paskah, juga bukan suatu jaminan bahwa ia adalah orang yang teguh
dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Buktinya ia masuk ke gereja untuk
melakukan peran Yesus pada saat paskah yang justru mengusung paham trinitas,
padahal jelas dalam Surat Al-Ikhals yang dibaca Surya menyangkal konsep
Trinitas yang dijunjung pada saat Paskah. Bisa disimpulkan bahwa film ini
secara tidak langsung mendukung paham trinitas secara terangan-terangan.
5. Pada saat satu
setelah hari Raya Idul Fitri Sholeh dan teman-temannya menyerbu restoran Tat
Kat Sun karena tidak memberikan hari libur kepada para karyawannya. Seharusnya
di hari yang sangat mulia tersebut, sesama muslim akan saling bermaafan dan
bersilaturahmi. Namun dalam film tersebut malah umat Islam melakukan tindakan
anarkis yang pada akhirnya menyebabkan pemilik restoran tersebut meninggal.
6. Banser (Barisan
Ansor Serbaguna) NU pada film tersebut diidentikan dengan tempat penampungan
bagi orang-orang yang menganggur, dalam film tersebut juga diceritakan bahwa
Sholeh menggabungkan diri dengan Banser karena ingin mendapatkan
upah. Padahal Banser itu adalah persatuan pemuda yang berjuang demi
kepentingan agama, negara, dan masyarakat, sedangkan masalah ada atau tidaknya
upah itu urusan belakang.
7. Pada akhir
cerita, Sholeh melakukan tindakan bunuh diri karena ingin mendapatkan rasa
simpatik dari istrinya, yang mana sebelumnya ia bertengkar dengan istrinya
karena ia melakukan tindakan kekerasan kepada Tat Kat Sun. Sebelum Sholeh
bunuh diri ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini sangat
bertentangan dengan Islam karena Islam sangat mencela bunuh diri, siapa yang
melakukan bunuh diri maka ia akan dimasukan ke dalam neraka.
8. Film ini sarat
dengan nuansa pluralisme agama. Pada akhir film ada beberapa bait yang
menunjukkan bahwa semua agama itu pada intinya menuju pada satu Tuhan dan
semuanya menuju pada kebaikan. Bagi umat Islam, Islam adalah agama yang
diterima di sisi Allah. Tidak ada agama yang Haq selain Islam. Siapa
yang memilih agama maka ia dijamin masuk surga, siapa yang memilih kafir maka
baginya adalah neraka. Adapun bait yang dilontarkan adalah sebagai berikut:
"Manusia
tidak hidup sendirian di dunia ini.
Dia memilih jalan setapak masing-masing.
Semua jalan setapak itu berbeda-beda,
Namun menuju satu jalan yang sama
Dan satu tujuan yang sama yaitu Tuhan. "
9. Film ini di akhiri
dengan pertanyaan, “Apa itu Islam Pak Ustad? Sebuah tanda tanya yang membuat
semua orang yang melihat trailer ini mengeluarkan tanda tanya yang sangat
besar, seperti apa film ini nantinya. Dalam film itu pula menyisakan pertanyaan
besar, “Masih pentingkah kita berbeda?” hal inilah yang tidak dapat diterima
oleh kebanyakan orang yang menolak paham pluralisme. (http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/04/06/14019/menyoal-film-pluralisme-tanda-tanya-garapan-hanung/)
Adapun beberapa statment miring dari tokoh-tokoh Islam
diantaranya:
1. KH Kholil
Ridwan ketua MUI Pusat Bidang Budaya mengatakan bahwa Film “?” karya Hanung sebarkan
paham “Haram dan Sesat". KH Kholil juga berpendapat bahwa film ini jelas
menyebarkan paham pluralisme agama yang telah difatwakan sebagai paham yang
salah dan haram bagi umat Islam untuk memeluknya. Indakasi paham pluralisme
sangat tampak dalam narasi bagian awal,"Semua jalan setapak itu
berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama: mencari satu hal yang sama dengan
satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan." KH Kholil juga menambahkan bahwa
sudut pandang yang dipakai Hanung adalah sudut pandang orang yang netral akan
agama sehingga sangat jelas ia mendukung agama manapun asalkan tidak ada unsur kekerasan.
Menurutnya, cara pandang seperti ini menunjukkan bahwa pembuat film ini berdiri
pada perspektif bukan sebagai orang muslim, tetapi sebagai seorang yang netral
agama, yang memandang semua agama adalah menyembah Tuhan yang sama. Cara
pandang pembuat film ini juga bertentangan dengan cara pandang Nabi Muhammad
SAW, "Saat Rasulullah SAW diutus (menyampaikan wahyu) sudah ada
orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi, dan kaum Musyrik Arab. Tapi Nabi
menyerukan mereka semua agar kembali pada prinsip yang sama (Kalimatin Sawa),
yaitu prinsip Tauhid hanya menyembah Allah semata. " (Surat Ali
Imran: 64, Maryam: 88-91, Al-Maidah: 73, dan Al-Shaff: 6). KH Kholil juga
menyayangkan para pembuat film tanda tanya yang tidak mau menggunakan agama sebagai
pijakan dasar dalam pembuatan film, "Sangat aneh jika seseorang
mengaku beragama Islam, tetapi melihat agama-agama lain selain Islam bukan,
bukan dari kacamata Al-Quran, tetapi dari kacamata netral agama" kritiknya.
Selain itu, menurutnya film ini mencampuradukkan dan mengacaukan konsep
toleransi dan kerukunan dengan konsep 'Pluralisme' dalam hal teologis.
Toleransi tetap bisa terjalin tanpa harus mengorbankan keyakinan agama
masing-masing, karena kerukunan umat beragama dapat terwujud bila masing-masing
pemeluk agama tetap pada klaimnya masing-masing. Setelah mengamati dan
mengkritisi dengan cermat, KH Kholil menyarankan agar para pembuat film ini
belajar agama Islam dengan sungguh-sungguh, dengan belajar Islam secara
sungguh-sungguh maka akan tahu mana yang haq dan mana
yang bathil. "Saya menyarankan agar Saudara Hanung sebaiknya mengaji
yang baik, dan dengan sukarela menyatakan bahwa filmnya memeng keliru dan
menyesatkan. Lebih baik lagi, film ini ditarik dari peredaran" imbaunya.
2. DR
Adian Husaini: "Film Hanung Kampanye Pluralisme yang Vulgar"
Menurutnya, film ini
jelas-jelas sebuah kampanye pluralisme yang vulgar. Peneliti pemikiran Islam
ini menambahkan bahwa orang kafir dan murtad itu masalah serius dan tidak dapat
ditanggapi secara main-main, dan bukan permasalahan yang sepele. Menurutnya
film ini sangat merusak, berelebihan, dan melampaui batas. Film “?” awalnya
ingin menunjukkan toleransi agama yang ideal bagi masyarakat, tetapi pada
akhirnya malah memberi cap buruk pada agama Islam. Misalnya kasus
penusukkan pendeta, mengebom gereja, pengeroyokan restoran Cina. Semuanya
dijadikan sterotype untuk agama
Islam. Kasus pemurtadan ini dianggap sebagai hal yang lumrah, dan semua
agama dianggap sama-sama menuju pada Tuhan. Menurut Adian, semua yang
digambarkan Hanung dalam film tersebut jelas paham pluralisme yang sangat
ditentang dalam Islam. Sebab menurutnya kerukunan itu bisa diwujudkan
tanpa mengorbankan keyakinan masing-masing. Baginya film ini bukan
menumbuhkan kerukunan, malah merusak kerukunan itu sendiri. Atas nama
Pluralisme, semuanya dirusak dengan cara berlebiha
Menanggapi
hal tersebut, Hanung Bramantyo akhirnya angkat bicara dan mengatakan bahwa baginya film
“?” merupakan film idealis. "Ketika kita melakukan kritik sendiri
terhadap agama kita, malah dianggap kafir dan munafik, sehingga kata-kata
toleransi itu sendiri menjadi tidak sah. Kenapa ? Karena ketika saya bilang
orang Indonesia harus toleran, malah dianggap lucu. Kalau Islam agama yang
toleran, kenapa tiba-tiba ada penusukan pastur, ada sekelompok orang yang
melarang orang untuk pergi ke gereja oleh orang-orang yang mengaku dirinya
sebagai Ormas Islam," jelas Hanung. Hanung mengatakan bahwa sedari kecil
ia hidup di lingkungan yang bukan Islam. ”Kebetulan ibu saya Cina, saya juga
punya dua hari besar, Lebaran dan Natal. Itu menjadi kehidupan pribadi saya
yang sangat harmonis kala itu. Tapi, begitu masuk reformasi, yang terjadi
adalah orde yang sangat represif,”ungkapnya. Selain itu, ia juga menjelaskan
mengapa ia memilih kota Semarang sebagai lokasi pembuatan film kontroversial
ini dengan jelas: “Saya pilih tempat di Semarang karena di sana ada lima agama,
tapi tidak pernah terjadi penusukan terhadap orang-orang agama. Ini sebuah film
yang menceritakan kegelisahan saya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, Saya
pribadi dan teman-teman yang ada di sini ingin ber-statmen dalam bentuk film,” tukas Hanung. (http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/04/06/14019/menyoal-film-pluralisme-tanda-tanya-garapan-hanung/)
Analisis
Sebetulnya
sekarang televisi sudah menjadi agama masyarakat industri. Bagaimana tidak?
Banyak orang bahkan gereja sudah belajar hidup dari televisi. Di Amerika, dulu
televisi disebut sebagai the second god.
(Mulyana dan Ibrahim 1997, 228) Anak-anak belajar tentang cara hidup,
berpakaian dan berjalan lewat televisi. Namun sekarang, televisi mungkin sudah
menjadi the first god bagi sebagian
orang. Hal itu disebabkan karena
adanya kemampuannya televisi untuk menyajikan realitas kedua. Lewat layar kecil
yang berfungsi sebagai jendela dunia, para pemirsa diarahkan untuk
mendefenisikan situasi sesuai dengan kehendak elit pengelola informasi. Bahkan
hampir semua kegiatan kehidupan mereka dijadwalkan dan diatur oleh pesan-pesan
televisi yang mengandung kebenarannya sendiri. Padahal seharusnya tidak boleh
demikian. Ada sebuah pepatah Cina yang mengatakan “There is your truth, there is my truth, there is the truth”.
Pepatah ini hendak mengatakan bahwa setiap orang atau golongan, dibatasi oleh
prasangka, persepsi, dan kepentingannya masing-masing. (Yakoma PGI 1989, 29)
Setiap kebenaran tidak dapat disamaratakan dengan kebenaran yang sudah dimiliki
oleh orang lain. Berita di televisi juga demikian. Sering kali pemirsa
memperoleh kesan bahwa berita di televisi adalah satu-satunya kebenaran yang
dapat dipercaya. Padahal sebenarnya gambaran dunia dalam televisi adalah
gambaran dunia yang sudah diolah. Demikian juga halnya dengan agama khususnya
terkait dengan perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (baik dalam arti
positif maupun negatif) yang banyak kita temui dan saksikan melalui media massa
(media cetak: surat kabar dan majalah, maupun media elektronik: radio,
cassette, VCD/DVD, internet dan TV) pada zaman merdeka.
Berbicara
mengenai agama memang bagaikan berbicara tentang sebuah koin yang memiliki dua
sisi yang berbeda. Di satu sisi, agama dipahami sebagai sebuah jalan dan
penjaminan keselamatan, cinta, dan perdamaian. Namun di sisi lain, sejarah
membuktikan bahwa agama justru dapat menjadi sumber, penyebab, dan alasan bagi
kehancuran dan kemalangan, bahkan dapat menjadi bencana bagi umat manusia.
Karena agama, orang dapat saling mencintai satu sama lain, dan atas nama agama
pula, orang dapat saling membunuh dan menghancurkan. Bahkan kasus-kasus kekerasan yang
mengatasnamakan agama tertentu mungkin juga sudah tidak asing lagi terdengar di
telinga kita, atau mungkin saja beberapa diantara kita juga pernah mengalami
kekerasan tersebut. Namun sayangnya kekerasan yang terjadi tersebut sebagian
kecil dipengaruhi oleh kemajemukan agama-agama yang ada. Hal tersebut sangat
disesalkan dapat terjadi karena seharusnya agama dapat mencerminkan dan
mewujudkan perdamaian dalam kehidupan umat manusia.
Di
zaman kapitalis, agama adalah sistem nilai yang realisasinya sangat ditentukan
oleh dinamika masyarakat itu sendiri. (Kelompok Studi Proklamasi 1985, 43)
Sebab sebenarnya jika ditinjau lebih jauh lagi, agama hanya terjebak oleh
kekerasan yang tidak diciptakannya. (Beuken dan Kuschel 1997, 55) Agama akan
cenderung mengarah pada tindakan kekerasan ketika identitasnya terancam.
Maksudnya, problem tersebut bukan terletak pada agama itu sendiri melainkan
pada masyarakat yang terkondisikan untuk melakukan kekerasan. Sebagai contoh,
para penganut agama yang fanatik akan berusaha untuk mempertahankan identitas
agamanya dengan cara apapun, termasuk dengan cara menjelekkan agama lain
seperti yang dilakukan oleh Rhoma Irama, atau kekerasan lainnya. Kekerasaan
muncul ketika ada kesalahpahaman tentang ajaran dan juga dapat terjadi karena
adanya perasaan terancam. Selain itu, cara pandang yang berbeda terhadap
kemajemukan agama lain diluar agamanya juga memampukan masyarakat yang terkondisikan
untuk melakukan kekerasan berlandaskan agama tersebut semakin membabi buta
agama lain. Hal inilah yang terjadi sebagai bentuk kontroversi atas film “?”
tersebut. KH Kholil Ridwan juga seolah tidak dapat menerima kemajemukan agama
lain diluar agamanya dengan menyatakan bahwa pluralisme adalah haram. Bahkan
menganggap hal ini adalah bentuk penyebaran paham pluralisme agama yang telah
difatwakan sebagai paham yang salah dan menyesatkan.
Memang tidak dapat
dipungkiri bahwa bagi sebagian orang, pendidikan dan aktivitas antariman,
secara umum, haruslah berpusat pada kekayaan iman masing-masing yang mempunyai
potensi yang mempersatukan. Namun sebagian orang yang lain melihat pentingnya
memahami perbedaan-perbedaan, mempelajari berbagai keterampilan untuk hidup
bersama, meneliti dan menghargai perbedaan-perbedaan tersebut. Hal inilah yang
ingin dikedepankan oleh Hanung Bramantyo lewat film “?” tersebut. Ia ingin
mengatakan bahwa perlu adanya perjumpaan antara setiap agama untuk menghargai
setiap perbedaan yang tanpa menghilangkan identitas dan jati diri kita sendiri.
Namun sayangnya perspektifnya itu ditolak dengan keras. Memang tidak dapat
dipungkiri bahwa sebenarnya kekerasan agama tidak hanya terjadi kepada mereka
yang memiliki iman yang berbeda, namun juga kepada mereka yang memiliki
perspektif iman yang berbeda meskipun masih berada di dalam agama yang sama.
Selain itu, kekerasan juga acap kali terjadi terhadap ideologi yang berbeda
terutama kepada kelompok minoritas yang lain. Hal ini dapat terjadi karena
benih kebencian terus dipupuk. Mungkin sebagian orang selalu terbiasa untuk
melihat segala yang berbeda dengan dirinya dengan pemaknaan sesat dan
menyimpang. Oleh karena itu, dapat kita rumuskan dua sikap terhadap
kemajemukan:
1. Mencerminkan
mentalitas agar semuanya menjadi satu. Sikap ini menampakkan diri menerima
kemajemukan, namun sebenarnya gelisah menghadapai kemajemukan itu.
2. Menerima kemajemukan sebagai kenyataan
esensial dari kehidupan manusia dan masyarakat, lalu berusaha menemukan jalan
untuk memahami perannya yang dinamis dalam realitas yang majemuk. Penerimaan
kemajemukan tidak dimaksudkan untuk mengorbankan pertimbangan-pertimbangan
kritis. Namun sering kita menyaksikan kesalahpahaman, seolah-olah kita harus
menyampaikan pertimbangan-pertimbangan kritis agar dapat berperan antarbudaya
dan antariman.
Berbicara
mengenai sikap masyarakat terhadap kemajemukan, banyak pendidik, sarjana, dan
bahkan teolog yang mengamati pendekatan-pendekatan umum dari terhadap
keberagaman tersebut dan bagaimana pendekatan-pendekatan ini berdampak terhadap
praktek pendidikan agama dan atau pendidikan Kristiani. Dari pengamatan ini,
John Hick, seorang filsuf Inggris mencatat tiga pendekatan yang terangkum dalam
artikelnya yang berjudul “Religious Pluralisme” yaitu pendekatan eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Pendekatan-pendekatan ini
merupakan respon terhadap keberagaman jenis apa pun, tidak hanya kemajemukan
agama. Respon-respon ini tidak hanya bersifat tingkah laku (behavioral), tetapi juga terkait dengan
sikap (attitudinal). (Hope 2010, 41)
Mengenai
ekslusivisme, Hick mengatakan bahwa
pendekatan ini adalah semacam sikap arogansi agama ketika diperhadapkan dengan
kepercayaan lain. Lebih lagi ketika suatu agama merasa pendiriannya ditantang
oleh alternatif lain. Untuk inklusivisme,
Hick menjelaskan bahwa pendekatan ini sebenarnya terbuka dengan “yang lain”,
namun secara bersamaan juga tetap memegang teguh keyakinannya. Dengan kata
lain, di tengah keberagaman yang ada, golongan ini masih mempertahankan suatu
keyakinan tertentu yang dianggapnya sebagai kebenaran yang paling mutlak
sedangkan yang lain itu hanya mencerminkan beberapa aspek dari kebenaran
tersebut. (Hope 2010, 41) Selanjutnya pluralisme
diartikan sebagai pandangan yang mengadakan kesetaraan pada setiap agama.
Dengan demikian, pendekatan ini memberi kesempatan untuk berdialog secara
terbuka dengan yang berbeda agama. Dialog ini memiliki komitmen untuk memberi
dan menerima pemahaman dari agama lain. Pendekatan golongan ini mengakui adanya
keterbatasan pandangan-pandangan mereka, dan terus berupaya mencari pemahaman
tersebut dengan mempelajari istilah-istilah atau nilai-nilai dari yang lain
melalui dialog-dialog. Namun sayangnya, ada sebagian pihak yang mengaku
bersikap pluralisme padahal sesungguhnya
mereka telah bersikap inklusivisme
atau malah ada yang mengaku inklusivisme
tetapi malah memperlihatkan sikap pluralisme
dalam setiap tindakan mereka.
Penutup
Tidak
dapat dipungkiri jika televisi memang berperan banyak dalam hal memengaruhi pemirsa
secara psikologis. Banyak tayangan yang mengajak pemirsanya untuk hidup dalam
dunia delusi atau alam khayalan. Menciptakan kecemburuan yang akhirnya
memaksa diri untuk melakukan kejahatan demi memenuhi hasrat. Hal tersebut dapat
kita lihat dari contoh-contoh yang sudah disebutkan. Berdasarkan dari beberapa
contoh tersebut terlihat bahwa perjumpaan antara Kristen dan Islam masih
merupakan suatu fenomena yang sulit diterima di Indonesia. Fakta tersebut
semakin memperlihatkan dengan jelas bahwa sebenarnya perjumpaan Islam dan
Kristen di Indonesia masih belum dapat diterima dengan begitu baik oleh
sebagian pihak tertentu. Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia masih
dibayang-bayangi oleh kekerasaan, berbagai ketegangan dan kecurigaan yang
ditunjukkan antar agama yang satu dengan agama yang lain. Bahkan meski hanya
lewat sebuah film bertajuk agama, lewat sebuah pencalonan diri sebagai
pemimpin, dan lewat konflik luar negeri yang sama sekali tidak mengandung unsur
agama di televisi, namun fenomena perjumpaan Kristen dan Islam ini serta paham pluralisme
yang ada tampaknya memang masih sulit untuk diterima jika tidak adanya sikap
bijak dan sibarengi dengan sikap dan keinginan untuk mau menerima keberadaan
yang lain diantara kita.
Daftar Pustaka
Antone, Hope S. Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan Realitas Kemajemukan
dalam Pendidikan Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Beuken, Wim & Karl-Josef Kuschel. Agama sebagai Sumber Kekerasan?.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1997.
Kelompok Studi Proklamasi. Agama dan Kekerasan. Jakarta: Sensia,
1985.
Mulyana, Dedy dan Idi
Subandy Ibrahim. Bercinta dengan
Televisi: Ilusi, Impresi dan Imaji
sebuah Kotak Ajaib. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 1997.
Yayasan Komunikasi
Masyarakat (YAKOMA) PGI. Komunikasi
Perdamaian Keadilan. Jakarta:
BPK
Gunung Mulia, 1989.
Sumber dari Internet:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar