Rabu, 23 Januari 2013

Perang Lewat Televisi: Saatnya bijak menggunakan si Kotak Ajaib



Perang Lewat Televisi: Saatnya bijak menggunakan si Kotak Ajaib

Pendahuluan
Salah satu media komunikasi yang paling memengaruhi perilaku dan pikiran manusia adalah televisi. Mengapa? Sebab jika televisi tidak berpengaruh terhadap peminatnya (pemirsa), mengapa televisi terus menerus menanyangkan iklan yang diproduksi dengan biaya ratusan juta rupiah? Tentu saja pengaruhnya sangat besar sehingga iklan terus diperbanyak, bukan? Selain itu, adanya siaran televisi yang mengandung slogan politik, SARA, kekerasan, film-film perang, bahkan konflik nyata sekalipun turut meramaikan siaran televisi. Sayangnya, banyak anak-anak bahkan orang dewasa sekalipun yang sulit mengontrol isi program-program “si kotak ajaib” tersebut. Hasilnya, mereka menerima tayangan televisi tersebut begitu saja tanpa banyak pertimbangan. Bahkan tidak sedikit pula dari masyarakat dan jemaat gereja yang menerima hal tersebut sebagai suatu tawaran dan nasihat yang sangat dianjurkan. Sehingga tidak jarang pula mereka akhirnya meniru begitu saja apa yang mereka lihat atau dengar. Oleh karena itu, siaran televisi harus mendapat perhatian lebih, baik dari masyarakat maupun gereja. Sebab apapun bentuk dan jenis siaran televisi tersebut, siaran tersebut memiliki sentuhan langsung terhadap pandangan teologis dan iman, pikiran, dan prilaku konsumennya.
Beberapa contoh siaran yang menunjukkan adanya perjumpaan antara Kristen dan Islam (baik dalam arti positif maupun negatif) melalui televisi pada zaman merdeka ini adalah tayangan-tayangan yang mengandung kekerasan mengenai perang, baik perang secara nyata seperti  yang terjadi antara Palestina dan Israel ataupun perang dalam arti khusus seperti yang dilontarkan oleh Rhoma Irama mengenai umat Kristen yang ia anggap sebagai kaum Kafir dan aksi demo yang dilakukan oleh FPI menentang film “?” (baca: Tanda Tanya) karya Hanung Bramantyo karena mengandung unsur perjumpaan antara agama Islam dan Kristen serta perjumpaan agama Islam dengan etnik Thionghoa.
Terkait dengan hal itu, di dalam paper ini akan dibahas mengenai bagaimana perjumpaan Kristen dan Islam (baik dalam arti positif maupun negatif) melalui media massa (media cetak: surat kabar dan majalah, maupun media elektronik: radio, cassette, VCD/DVD, internet dan TV) pada zaman merdeka. Berikut juga akan dikemukakan apa yang dikatakan pihak yang satu tentang pihak yang lain, termasuk porsi yang diberikan media massa pihak yang satu untuk memberitakan kegiatan pihak lain. Semoga paper sederhana ini dapat menjadi secercah cahaya yang menerangi cakrawala nalar kita yang tak terbatas ini dan mampu membantu kita memahami perihal perjumpaan Kristen dan Islam dan kaitannya dengan komunikasi media (khususnya televisi), sehingga lubang ketidaktahuan kita tentang kedua hal ini mampu kita hindari bahkan kita tutup bersama.

Perjumpaan Kristen dan Islam melalui Televisi
Salah satu contoh siaran yang pada akhirnya turut memengaruhi pandangan teologis gereja tentang dunia sekitarnya adalah mengenai konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel. Konflik ini sudah berlangsung selama enam dasawarsa sejak para pegiat Zionis Yahudi memproklamasikan kemerdekaan Israel di tanah Palestina pada 14 Mei 1948 lalu. Namun media selalu menampikan hal semacam ini dalam kemasan baru sehingga tetap menarik bahkan semakin menarik untuk dinikmati kembali. Melalui media televisi, masyarakat gereja juga turut memperhatikan ketegangan apa yang tengah terjadi antara Palestina dan Israel tersebut. Sebagian televisi menyiarkan bahwa ketegangan yang terjadi antara Palestina dan Israel mengandung unsur agama. Sebagaian lainnya menyatakan bahwa konflik Palestina dan Israel yang terjadi sesungguhnya bukanlah konflik yang didasarkan atas agama, melainkan konflik politik, ekonomi, kemanusiaan, hukum, nasionalisme, dan keserakahan manusia. Lalu, yang manakah yang benar?
Pesan yang ambigu seperti ini terkadang memberi pengaruh yang negatif bagi penikmatnya. Bukan hanya memengaruhi pemahaman teologis, tetapi juga turut memengaruhi pemahaman masyarakat seluruhnya terkait dengan perjumpaan antar agama di Indonesia. Hal ini disebabkan karena mereka salah dalam menangkap pesan yang disampaikan oleh televisi tersebut atau karena informasi tersebut memang ditelan begitu saja. Sehingga ada pula sebagian masyarakat yang melakukan aksi di jalanan sebagai bentuk respons dari pemberitaan media tersebut. Sebagai contoh adalah beberapa ormas Islam di Indonesia seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Umat Islam (FUI) yang melancarkan demonstrasi di beberapa kota besar di Indonesia. Salah satunya adalah aksi demonstrasi yang dilakukan di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta untuk menentang agresi militer Israel terhadap Gaza. Aksi ini bahkan dikerubungi ratusan massa FPI. Banyak dari demonstran pendemo Israel membawa spanduk, yang bertuliskan: "Kami siap menjemput Syahid di Gaza" atau "Yahudi Laknatullah". Bahkan, pernah diberitakan bahwa beberapa ormas Islam siap mengirimkan mujahidin ke Palestina, menyebut agama Kristen juga ikut mengambil bagian dalam konflik ini karena Kristen juga ada hubungannya dengan Yahudi, dan tuduhan-tuduhan lainnya.
            Melihat gencarnya demonstrasi yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam, sepintas memang konflik Palestina seakan-akan seperti konflik antar agama. Khususnya antara agama Islam, Yahudi dan Kristen. Apalagi wilayah konflik mencakup Yerusalem yang dianggap kota suci bagi ketiga agama tersebut. Namun sebenarnya ini bukanlah konflik yang didasarkan atas agama, melainkan konflik politik, ekonomi, kemanusiaan, hukum, nasionalisme, dan keserakahan manusia. (
http://politikinternational.wordpress.com/2008/05/15/konflik-israel-dan-palestina-bukan-konflik-agama-tetapi-murni-masalah-politik/)
Selain itu, tayangan yang mengandung unsur SARA seperti yang terlontar dari ucapan Haji Rhoma Irama mengenai Ahok turut mengundang sakit hati bagi sebagian orang Kristen dan etnis Thionghoa. Pasalnya, Rhoma Irama menyatakan bahwa Jakarta tidak pantas dipimpin oleh seorang Kafir. Bahkan siapa saja umat Islam yang memilih Ahok yang beragama Kristen Katolik tersebut, berarti telah ikut menceburkan dirinya sebagai bagian dari orang Kafir itu. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/06/m8c83l-bang-haji-umat-islam-dilarang-keras-pilih-pemimpin-kafir) Tontonan dan informasi yang seperti ini pada akhirnya bukan hanya melukai perasaan sebagian pihak yang terkait, tetapi juga akan turut mempengaruhi pemahaman teologis dan pandangan seseorang mengenai pihak lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan pula jika pada akhirnya kejadian dan pernyatan dari Rhoma Irama yang disiarkan lewat televisi tersebut malah merusak relasi yang terjalin antar umat Islam dan Kristen selama ini.
            Adanya kesalahpahaman seperti inilah yang ditakuti dapat terjadi dan dialami oleh penikmat televisi sebagai dampak dari program yang ditayangkan oleh televisi tersebut. Sehingga isu seperti konflik Palestina VS Israel yang dikabarkan ke masyarakat melalui siaran televisi juga turut memengaruhi pemahaman teologis gereja tentang dunia sekitarnya. Bagaimana tidak, sebab bentuk respons yang ditunjukkan oleh masyarakat (seperti ormas Islam) akibat siaran televisi tersebut malah akan memicu persoalan baru di dalam sejarah perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia. Sebab tidak menutup kemungkinan bahwa umat Kristen secara tidak langsung juga akan menunjukkan responsnya, misalnya dengan memerangi umat Islam meski tidak seradikal umat Islam itu sendiri. Atau setidaknya umat Kristen akan memberi kesan atau label negatif terhadap agama Islam terkait dengan hal ini, meski sebenarnya tidak semua umat Islam sama seperti anggota ormas tersebut. Bahkan pemahaman teologis yang salah pada akhirnya juga akan turut memengaruhi misi gereja yang tidak lagi menjadi garam dan terang bagi dunia dalam menjalin relasi dengan dunia dan sekitarnya. Melainkan gereja pada akhrinya akan menjadi lebih terkesan eksklusif dan menutup diri dengan agama lain, khususnya agama Islam. Contoh konkretnya adalah jika selama ini ada sebagian gereja yang memiliki kebiasaan memberi bingkisan atau santunan kepada anak-anak yatim dan anak jalanan yang beragama Islam sebagai hadian natal, pada akhirnya menjadi ditiadakan oleh sebagian gereja akibat adanya konflik antara Islam dan Kristen yang terjadi di Indonesia sebagai imbas dari konflik Palestina dan Israel yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama tersebut. Hal ini pada akhirnya memperlihatkan bagaimana perkembangan media (khususnya media televisi) dapat turut memengaruhi pemahaman teologis gereja tentang dunia sekitarnya. Bahkan yang lebih membahayakan adalah bagaimana media televisi juga mampu mengubah gereja dan teologinya dalam memahami dunia dan tugasnya dan dalam menjaga relasi antarumat beragama di dunia.

Perjumpaan Kristen dan Islam melalui Film Tanda Tanya
Dalam dunia hiburan, apapun bakal disuguhkan, asal menarik perhatian orang untuk mau menyimaknya. Keseksian tubuh, tayangan-tayangan dan lirik lagu yang berbau pornografi, bahkan hal-hal yang menyangkat isu politik, ras, dan agama pun kerap menjadi kontroversi. Salah satunya adalah film karya Hanung Bramantyo. Banyak orang yang tertarik dengan film-film buatan Hanung. Begitu filmnya muncul di layar lebar, mereka berbondong-bondong untuk menonton film tersebut. Tidak mengherankan memang jika film-film tersebut mendapatkan perhatian dari orang-orang. Sebab Hanung Bramantyo  memang suka mengangkat cerita berlatar belakang keagamaan dengan menggambarkan pesan ideal yang ada pada ajaran agama. Film tersebut juga mengajak masyarakat agar dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan apa yang ditampilkan oleh film tersebut. Namun sayangnya film “?” ini menuai berbagai reaksi yang timbul mulai dari kalangan masyarakat biasa hingga tokoh pemuka agama.
Ternyata tidak semua orang simpatik dengan film-film buatan Hanung. Ada beberapa kalangan dari kelompok masyarakat dan individu yang apatis, menghujat, bahkan ada beberapa yang memberi lebel kepada film buatan Hanung sebagai film yang bernuansa kekafiran dan pemurtadan. Tokoh-tokoh dari MUI, Muhammadiyah, NU, Sastrawan, dan Mahasiswa Islam memprotes peredaran film tersebut ke layar kaca pemirsa dengan aksi demo menentang film yang berjudul “?” ini. Hanung juga sempat beberapa kali mendapat teguran, cacian, dan makian dari masyarakat tetapi ia tetap teguh pada pendiriannya membuat film tentang pluralisme ini.
Film "?" Merupakan film yang peling kental dengan cacian dan makian dari masyarakat. Film ini dibintangi oleh Reza Rahadian (Sholeh), Revalina. S Temat (Menuk), Agus Kuncuro (Surya), Endita (Rika), Rio Dewantoro (Ping Hen), David Khalik (Ustadz Wahyu), dan Hengky Sulaiman (Ayah dari Ping Hen). Film "?" menceritakan tokoh Sholeh yang sangat sulit mencari pekerjaan di kota Semarang, Menuk (istri Sholeh) yang merasa nyaman bekerja di restoran Cina yang menjual beberapa makanan haram yang diharamkan oleh agama Islam, Surya yang bosan bekerja sebagai pemeran pembantu di setiap film, Rika yang murtad dari ajaran agama Islam, karena diceraikan oleh suaminya yang berpoligami, Ustadz Wahyu sebagai seorang dai yang disegani dikampungnya, Ping Hen yang sakit hati dengan Menuk karena ia lebih memilih menikah dengan Sholeh dari pada dengannya karena berbeda agama, dan Tat Kat Sun adalah pemilik restoran China yang pada akhirnya meninggal akibat pemukulan yang dilakukan oleh warga muslim pada saat hari raya Idul Fitri.

Kontroversi
Adapun bagian/ adegan film ini yang menjadi sasaran kritik yaitu:
1. Pada awal pembukaan film ada adegan penusukkan terhadap seorang pendeta. Peristiwa tersebut seakan-akan menggiring pemirsa seolah pemeluk agama tertentu yang melakukannya. Secara tidak langsung, film tersebut menjelaskan bahwa pemeluk agama Islamlah yang melakukan pembunuhan tersebut karena mengacu pada peristiwa di Ciketing Bekasi pada tahun 2010, ketika seorang Pendeta HKBP ditusuk pemuda Islam setelah sebelumnya mereka diprovokasi jemaat HKBP Ciketing.
2. Rika yang murtad dari agama Islam ke agama Kristen karena berpikir melakukan suatu pilihan hidup yang terbaik. Baginya meninggalkan agama bukan berarti menghianati Tuhan. Pada awalnya, orang tua dan anak-anaknya keberatan dengan murtadnya Rika, tetapi lama-kelamaan orang tua dan anaknya setuju dengan hal itu. Namun di dalam ajaran agama Islam, masalah muslim, kafir, fasik, dan murtad adalah persoalan yang penting dan terkait dengan surga dan neraka. Maka, dalam mengajarkan hal ini tidak bisa main-main. Seseorang yang murtad bukan permasalahan yang sepele, melainkan sesuatu yang sangat serius karena berhubungan konsekuensi di dunia dan akherat. Hukuman di dunia untuk orang yang murtad adalah dibunuh, sedangkan hukumanya di akhirat adalah dimasukan ke dalam neraka.
3. Menuk, seorang muslimah berjilbab yang merasa nyaman bekerja di restoran Cina milik Tat Kat Sun meski restoran tersebut menyajikan makanan yang diharamkan oleh Islam seperti daging babi. Adanya adegan ini, seolah makanan babi tidak menjadi permasalahan penting, padahal dalam Al-Quran sudah dijelaskan bahwa babi itu haram untuk dikonsumsi. Orang Islam yang tidak mengkonsumsi, namun membuat dan menyajikan babi juga dilarang dalam ajaran agama Islam karena seolah mendukung daging babi agar bisa dikonsumsi oleh orang lain.
4. Seorang tokoh figuran yang beragama Islam dan kebetulan tinggal di masjid yang bernama Surya, dibujuk oleh Rika yang murtad dari agama Islam agar bersedia berperan sebagai Yesus di Gereja pada saat Paskah. Sebelum ia memerankan tokoh Yesus, ia berkonsultasi dengan seorang ustadz yang bernama Wahyu, dan ustadz tersebut mengatakan bahwa bisa menjalankan hal apa pun yang penting hati tetap beriman kepada Allah SWT. Setelah memerankan Yesus pada saat Paskah, Surya masuk ke masjid dan melalafalkan Surat Al-Ikhlas. Aksi Surya jelas tidak dibenarkan oleh Islam. Ia dianggap tidak konsisten terhadap ajaran agama Islam, meskipun itu hanya sebatas perayaan biasa. Namun itu merupakan suatu kebiasaan yang menyangkut ritual keagamaan. Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang meniru suatu kaum, maka ia termasuk di dalamnya". Maka berdasarkan argumen dari hadist ini, seharusnya seorang muslim tidak diperbolehkan mengikuti tradisi, atau kebudayaan orang-orang non muslim. Selain itu pernyataan dari Ustadz Wahyu juga perlu dipertanyakan. Jika orang muslim melakukan hal apapun, asalkan ia tetap beriman kepada Allah, maka hal tersebut diperbolehkan dalam Islam. Harusnya apa yang tampak secara fisik itu mencerminkan apa yang ada di dalam hati seseorang. Bila ada orang yang suka pergi ke gereja, maka dapat dipastikan ia percaya terhadap ajaran agama protestan atau katolik, begitu pula jika ada orang yang pergi ke masjid, maka ia dianggap percaya dengan ajaran agama Islam.  Pernyataan ini dianggap sebagai pernyataan yang sesat. Pendapat ini adalah pendapat sekte sesat Murjiah yang mana salah satu ajarannya adalah diperbolehkan berbuat apa saja (termasuk kafir secara lisan), namun hatinya tetap beriman kepada Allah. Seharusnya, antara iman dan amal itu saling terkait, tidak terpisah sendiri-sendiri. Ketika seseorang mengaku beriman secara lisan kepada Allah, maka ia harus melakukan syariat-syariat Islam, namun ketika ada yang beriman kepada Allah, tapi tidak menjalankan syariat Islam, atau ia tidak beriman tetapi ia menerapkan syariat Islam, ia tidak bisa disebut muslim karena antara iman dan amal itu saling terkait. Aksi Surya membaca Surat Al-Ikhlas untuk memantapkan hatinya dalam memeluka agama Islam setelah memerankan tokoh Yesus pada Paskah, juga bukan suatu jaminan bahwa ia adalah orang yang teguh dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Buktinya ia masuk ke gereja untuk melakukan peran Yesus pada saat paskah yang justru mengusung paham trinitas, padahal jelas dalam Surat Al-Ikhals yang dibaca Surya menyangkal konsep Trinitas yang dijunjung pada saat Paskah. Bisa disimpulkan bahwa film ini secara tidak langsung mendukung paham trinitas secara terangan-terangan.
5. Pada saat satu setelah hari Raya Idul Fitri Sholeh dan teman-temannya menyerbu restoran Tat Kat Sun karena tidak memberikan hari libur kepada para karyawannya. Seharusnya di hari yang sangat mulia tersebut, sesama muslim akan saling bermaafan dan bersilaturahmi. Namun dalam film tersebut malah umat Islam melakukan tindakan anarkis yang pada akhirnya menyebabkan pemilik restoran tersebut meninggal.
6. Banser (Barisan Ansor Serbaguna) NU pada film tersebut diidentikan dengan tempat penampungan bagi orang-orang yang menganggur, dalam film tersebut juga diceritakan bahwa Sholeh menggabungkan diri dengan Banser karena ingin mendapatkan upah. Padahal Banser itu adalah persatuan pemuda yang berjuang demi kepentingan agama, negara, dan masyarakat, sedangkan masalah ada atau tidaknya upah itu urusan belakang.
7. Pada akhir cerita, Sholeh melakukan tindakan bunuh diri karena ingin mendapatkan rasa simpatik dari istrinya, yang mana sebelumnya ia bertengkar dengan istrinya karena ia melakukan tindakan kekerasan kepada Tat Kat Sun. Sebelum Sholeh bunuh diri ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini sangat bertentangan dengan Islam karena Islam sangat mencela bunuh diri, siapa yang melakukan bunuh diri maka ia akan dimasukan ke dalam neraka.
8.  Film ini sarat dengan nuansa pluralisme agama. Pada akhir film ada beberapa bait yang menunjukkan bahwa semua agama itu pada intinya menuju pada satu Tuhan dan semuanya menuju pada kebaikan. Bagi umat Islam, Islam adalah agama yang diterima di sisi Allah. Tidak ada agama yang Haq selain Islam. Siapa yang memilih agama maka ia dijamin masuk surga, siapa yang memilih kafir maka baginya adalah neraka. Adapun bait yang dilontarkan adalah sebagai berikut:
            "Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini.
              Dia memilih jalan setapak masing-masing.
              Semua jalan setapak itu berbeda-beda,
              Namun menuju satu jalan yang sama
              Dan satu tujuan yang sama yaitu Tuhan. "
9. Film ini di akhiri dengan pertanyaan, “Apa itu Islam Pak Ustad? Sebuah tanda tanya yang membuat semua orang yang melihat trailer ini mengeluarkan tanda tanya yang sangat besar, seperti apa film ini nantinya. Dalam film itu pula menyisakan pertanyaan besar, “Masih pentingkah kita berbeda?” hal inilah yang tidak dapat diterima oleh kebanyakan orang yang menolak paham pluralisme. (http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/04/06/14019/menyoal-film-pluralisme-tanda-tanya-garapan-hanung/)
Adapun beberapa statment miring dari tokoh-tokoh Islam diantaranya:
1. KH Kholil Ridwan ketua MUI Pusat Bidang Budaya mengatakan bahwa Film “?” karya Hanung sebarkan paham “Haram dan Sesat". KH Kholil juga berpendapat bahwa film ini jelas menyebarkan paham pluralisme agama yang telah difatwakan sebagai paham yang salah dan haram bagi umat Islam untuk memeluknya. Indakasi paham pluralisme sangat tampak dalam narasi bagian awal,"Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama: mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan." KH Kholil juga menambahkan bahwa sudut pandang yang dipakai Hanung adalah sudut pandang orang yang netral akan agama sehingga sangat jelas ia mendukung agama manapun asalkan tidak ada unsur kekerasan. Menurutnya, cara pandang seperti ini menunjukkan bahwa pembuat film ini berdiri pada perspektif bukan sebagai orang muslim, tetapi sebagai seorang yang netral agama, yang memandang semua agama adalah menyembah Tuhan yang sama. Cara pandang pembuat film ini juga bertentangan dengan cara pandang Nabi Muhammad SAW, "Saat Rasulullah SAW diutus (menyampaikan wahyu) sudah ada orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi, dan kaum Musyrik Arab. Tapi Nabi menyerukan mereka semua agar kembali pada prinsip yang sama (Kalimatin Sawa), yaitu prinsip Tauhid hanya menyembah Allah semata. " (Surat Ali Imran: 64, Maryam: 88-91, Al-Maidah: 73, dan Al-Shaff: 6).  KH Kholil juga menyayangkan para pembuat film tanda tanya yang tidak mau menggunakan agama sebagai pijakan dasar dalam pembuatan film, "Sangat aneh jika seseorang mengaku beragama Islam, tetapi melihat agama-agama lain selain Islam bukan, bukan dari kacamata Al-Quran, tetapi dari kacamata netral agama" kritiknya. Selain itu, menurutnya film ini mencampuradukkan dan mengacaukan konsep toleransi dan kerukunan dengan konsep 'Pluralisme' dalam hal teologis. Toleransi tetap bisa terjalin tanpa harus mengorbankan keyakinan agama masing-masing, karena kerukunan umat beragama dapat terwujud bila masing-masing pemeluk agama tetap pada klaimnya masing-masing. Setelah mengamati dan mengkritisi dengan cermat, KH Kholil menyarankan agar para pembuat film ini belajar agama Islam dengan sungguh-sungguh, dengan belajar Islam secara sungguh-sungguh maka akan tahu mana yang haq dan mana yang bathil. "Saya menyarankan agar Saudara Hanung sebaiknya mengaji yang baik, dan dengan sukarela menyatakan bahwa filmnya memeng keliru dan menyesatkan.  Lebih baik lagi, film ini ditarik dari peredaran" imbaunya.
2.      DR Adian Husaini: "Film Hanung Kampanye Pluralisme yang Vulgar"
Menurutnya, film ini jelas-jelas sebuah kampanye pluralisme yang vulgar. Peneliti pemikiran Islam ini menambahkan bahwa orang kafir dan murtad itu masalah serius dan tidak dapat ditanggapi secara main-main, dan bukan permasalahan yang sepele. Menurutnya film ini sangat merusak, berelebihan, dan melampaui batas. Film “?” awalnya ingin menunjukkan toleransi agama yang ideal bagi masyarakat, tetapi pada akhirnya malah memberi cap buruk pada agama Islam. Misalnya kasus penusukkan pendeta, mengebom gereja, pengeroyokan restoran Cina. Semuanya dijadikan sterotype untuk agama Islam. Kasus pemurtadan ini dianggap sebagai hal yang lumrah, dan semua agama dianggap sama-sama menuju pada Tuhan. Menurut Adian, semua yang digambarkan Hanung dalam film tersebut jelas paham pluralisme yang sangat ditentang dalam Islam. Sebab menurutnya kerukunan itu bisa diwujudkan tanpa mengorbankan keyakinan masing-masing. Baginya film ini bukan menumbuhkan kerukunan, malah merusak kerukunan itu sendiri. Atas nama Pluralisme, semuanya dirusak dengan cara berlebiha
Menanggapi hal tersebut, Hanung Bramantyo akhirnya angkat  bicara dan mengatakan bahwa baginya film “?” merupakan film idealis. "Ketika kita melakukan kritik sendiri terhadap agama kita, malah dianggap kafir dan munafik, sehingga kata-kata toleransi itu sendiri menjadi tidak sah. Kenapa ? Karena ketika saya bilang orang Indonesia harus toleran, malah dianggap lucu. Kalau Islam agama yang toleran, kenapa tiba-tiba ada penusukan pastur, ada sekelompok orang yang melarang orang untuk pergi ke gereja oleh orang-orang yang mengaku dirinya sebagai Ormas Islam," jelas Hanung. Hanung mengatakan bahwa sedari kecil ia hidup di lingkungan yang bukan Islam. ”Kebetulan ibu saya Cina, saya juga punya dua hari besar, Lebaran dan Natal. Itu menjadi kehidupan pribadi saya yang sangat harmonis kala itu. Tapi, begitu masuk reformasi, yang terjadi adalah orde yang sangat represif,”ungkapnya. Selain itu, ia juga menjelaskan mengapa ia memilih kota Semarang sebagai lokasi pembuatan film kontroversial ini dengan jelas: “Saya pilih tempat di Semarang karena di sana ada lima agama, tapi tidak pernah terjadi penusukan terhadap orang-orang agama. Ini sebuah film yang menceritakan kegelisahan saya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, Saya pribadi dan teman-teman yang ada di sini ingin ber-statmen dalam bentuk film,” tukas Hanung. (http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/04/06/14019/menyoal-film-pluralisme-tanda-tanya-garapan-hanung/)

Analisis
Sebetulnya sekarang televisi sudah menjadi agama masyarakat industri. Bagaimana tidak? Banyak orang bahkan gereja sudah belajar hidup dari televisi. Di Amerika, dulu televisi disebut sebagai the second god. (Mulyana dan Ibrahim 1997, 228) Anak-anak belajar tentang cara hidup, berpakaian dan berjalan lewat televisi. Namun sekarang, televisi mungkin sudah menjadi the first god bagi sebagian orang. Hal itu disebabkan karena adanya kemampuannya televisi untuk menyajikan realitas kedua. Lewat layar kecil yang berfungsi sebagai jendela dunia, para pemirsa diarahkan untuk mendefenisikan situasi sesuai dengan kehendak elit pengelola informasi. Bahkan hampir semua kegiatan kehidupan mereka dijadwalkan dan diatur oleh pesan-pesan televisi yang mengandung kebenarannya sendiri. Padahal seharusnya tidak boleh demikian. Ada sebuah pepatah Cina yang mengatakan “There is your truth, there is my truth, there is the truth”. Pepatah ini hendak mengatakan bahwa setiap orang atau golongan, dibatasi oleh prasangka, persepsi, dan kepentingannya masing-masing. (Yakoma PGI 1989, 29) Setiap kebenaran tidak dapat disamaratakan dengan kebenaran yang sudah dimiliki oleh orang lain. Berita di televisi juga demikian. Sering kali pemirsa memperoleh kesan bahwa berita di televisi adalah satu-satunya kebenaran yang dapat dipercaya. Padahal sebenarnya gambaran dunia dalam televisi adalah gambaran dunia yang sudah diolah. Demikian juga halnya dengan agama khususnya terkait dengan perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (baik dalam arti positif maupun negatif) yang banyak kita temui dan saksikan melalui media massa (media cetak: surat kabar dan majalah, maupun media elektronik: radio, cassette, VCD/DVD, internet dan TV) pada zaman merdeka.
Berbicara mengenai agama memang bagaikan berbicara tentang sebuah koin yang memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, agama dipahami sebagai sebuah jalan dan penjaminan keselamatan, cinta, dan perdamaian. Namun di sisi lain, sejarah membuktikan bahwa agama justru dapat menjadi sumber, penyebab, dan alasan bagi kehancuran dan kemalangan, bahkan dapat menjadi bencana bagi umat manusia. Karena agama, orang dapat saling mencintai satu sama lain, dan atas nama agama pula, orang dapat saling membunuh dan menghancurkan.  Bahkan kasus-kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama tertentu mungkin juga sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita, atau mungkin saja beberapa diantara kita juga pernah mengalami kekerasan tersebut. Namun sayangnya kekerasan yang terjadi tersebut sebagian kecil dipengaruhi oleh kemajemukan agama-agama yang ada. Hal tersebut sangat disesalkan dapat terjadi karena seharusnya agama dapat mencerminkan dan mewujudkan perdamaian dalam kehidupan umat manusia.
Di zaman kapitalis, agama adalah sistem nilai yang realisasinya sangat ditentukan oleh dinamika masyarakat itu sendiri. (Kelompok Studi Proklamasi 1985, 43) Sebab sebenarnya jika ditinjau lebih jauh lagi, agama hanya terjebak oleh kekerasan yang tidak diciptakannya. (Beuken dan Kuschel 1997, 55) Agama akan cenderung mengarah pada tindakan kekerasan ketika identitasnya terancam. Maksudnya, problem tersebut bukan terletak pada agama itu sendiri melainkan pada masyarakat yang terkondisikan untuk melakukan kekerasan. Sebagai contoh, para penganut agama yang fanatik akan berusaha untuk mempertahankan identitas agamanya dengan cara apapun, termasuk dengan cara menjelekkan agama lain seperti yang dilakukan oleh Rhoma Irama, atau kekerasan lainnya. Kekerasaan muncul ketika ada kesalahpahaman tentang ajaran dan juga dapat terjadi karena adanya perasaan terancam. Selain itu, cara pandang yang berbeda terhadap kemajemukan agama lain diluar agamanya juga memampukan masyarakat yang terkondisikan untuk melakukan kekerasan berlandaskan agama tersebut semakin membabi buta agama lain. Hal inilah yang terjadi sebagai bentuk kontroversi atas film “?” tersebut. KH Kholil Ridwan juga seolah tidak dapat menerima kemajemukan agama lain diluar agamanya dengan menyatakan bahwa pluralisme adalah haram. Bahkan menganggap hal ini adalah bentuk penyebaran paham pluralisme agama yang telah difatwakan sebagai paham yang salah dan menyesatkan.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa bagi sebagian orang, pendidikan dan aktivitas antariman, secara umum, haruslah berpusat pada kekayaan iman masing-masing yang mempunyai potensi yang mempersatukan. Namun sebagian orang yang lain melihat pentingnya memahami perbedaan-perbedaan, mempelajari berbagai keterampilan untuk hidup bersama, meneliti dan menghargai perbedaan-perbedaan tersebut. Hal inilah yang ingin dikedepankan oleh Hanung Bramantyo lewat film “?” tersebut. Ia ingin mengatakan bahwa perlu adanya perjumpaan antara setiap agama untuk menghargai setiap perbedaan yang tanpa menghilangkan identitas dan jati diri kita sendiri. Namun sayangnya perspektifnya itu ditolak dengan keras. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya kekerasan agama tidak hanya terjadi kepada mereka yang memiliki iman yang berbeda, namun juga kepada mereka yang memiliki perspektif iman yang berbeda meskipun masih berada di dalam agama yang sama. Selain itu, kekerasan juga acap kali terjadi terhadap ideologi yang berbeda terutama kepada kelompok minoritas yang lain. Hal ini dapat terjadi karena benih kebencian terus dipupuk. Mungkin sebagian orang selalu terbiasa untuk melihat segala yang berbeda dengan dirinya dengan pemaknaan sesat dan menyimpang. Oleh karena itu, dapat kita rumuskan dua sikap terhadap kemajemukan:
1.      Mencerminkan mentalitas agar semuanya menjadi satu. Sikap ini menampakkan diri menerima kemajemukan, namun sebenarnya gelisah menghadapai kemajemukan itu.
2.       Menerima kemajemukan sebagai kenyataan esensial dari kehidupan manusia dan masyarakat, lalu berusaha menemukan jalan untuk memahami perannya yang dinamis dalam realitas yang majemuk. Penerimaan kemajemukan tidak dimaksudkan untuk mengorbankan pertimbangan-pertimbangan kritis. Namun sering kita menyaksikan kesalahpahaman, seolah-olah kita harus menyampaikan pertimbangan-pertimbangan kritis agar dapat berperan antarbudaya dan antariman.
            Berbicara mengenai sikap masyarakat terhadap kemajemukan, banyak pendidik, sarjana, dan bahkan teolog yang mengamati pendekatan-pendekatan umum dari terhadap keberagaman tersebut dan bagaimana pendekatan-pendekatan ini berdampak terhadap praktek pendidikan agama dan atau pendidikan Kristiani. Dari pengamatan ini, John Hick, seorang filsuf Inggris mencatat tiga pendekatan yang terangkum dalam artikelnya yang berjudul “Religious Pluralisme” yaitu pendekatan eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Pendekatan-pendekatan ini merupakan respon terhadap keberagaman jenis apa pun, tidak hanya kemajemukan agama. Respon-respon ini tidak hanya bersifat tingkah laku (behavioral), tetapi juga terkait dengan sikap (attitudinal). (Hope 2010, 41)
            Mengenai ekslusivisme, Hick mengatakan bahwa pendekatan ini adalah semacam sikap arogansi agama ketika diperhadapkan dengan kepercayaan lain. Lebih lagi ketika suatu agama merasa pendiriannya ditantang oleh alternatif lain. Untuk inklusivisme, Hick menjelaskan bahwa pendekatan ini sebenarnya terbuka dengan “yang lain”, namun secara bersamaan juga tetap memegang teguh keyakinannya. Dengan kata lain, di tengah keberagaman yang ada, golongan ini masih mempertahankan suatu keyakinan tertentu yang dianggapnya sebagai kebenaran yang paling mutlak sedangkan yang lain itu hanya mencerminkan beberapa aspek dari kebenaran tersebut. (Hope 2010, 41) Selanjutnya pluralisme diartikan sebagai pandangan yang mengadakan kesetaraan pada setiap agama. Dengan demikian, pendekatan ini memberi kesempatan untuk berdialog secara terbuka dengan yang berbeda agama. Dialog ini memiliki komitmen untuk memberi dan menerima pemahaman dari agama lain. Pendekatan golongan ini mengakui adanya keterbatasan pandangan-pandangan mereka, dan terus berupaya mencari pemahaman tersebut dengan mempelajari istilah-istilah atau nilai-nilai dari yang lain melalui dialog-dialog. Namun sayangnya, ada sebagian pihak yang mengaku bersikap pluralisme padahal sesungguhnya mereka telah bersikap inklusivisme atau malah ada yang mengaku inklusivisme tetapi malah memperlihatkan sikap pluralisme dalam setiap tindakan mereka.

Penutup
Tidak dapat dipungkiri jika televisi memang berperan banyak dalam hal memengaruhi pemirsa secara psikologis. Banyak tayangan yang mengajak pemirsanya untuk hidup dalam dunia delusi atau alam khayalan. Menciptakan kecemburuan yang akhirnya memaksa diri untuk melakukan kejahatan demi memenuhi hasrat. Hal tersebut dapat kita lihat dari contoh-contoh yang sudah disebutkan. Berdasarkan dari beberapa contoh tersebut terlihat bahwa perjumpaan antara Kristen dan Islam masih merupakan suatu fenomena yang sulit diterima di Indonesia. Fakta tersebut semakin memperlihatkan dengan jelas bahwa sebenarnya perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia masih belum dapat diterima dengan begitu baik oleh sebagian pihak tertentu. Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia masih dibayang-bayangi oleh kekerasaan, berbagai ketegangan dan kecurigaan yang ditunjukkan antar agama yang satu dengan agama yang lain. Bahkan meski hanya lewat sebuah film bertajuk agama, lewat sebuah pencalonan diri sebagai pemimpin, dan lewat konflik luar negeri yang sama sekali tidak mengandung unsur agama di televisi, namun fenomena perjumpaan Kristen dan Islam ini serta paham pluralisme yang ada tampaknya memang masih sulit untuk diterima jika tidak adanya sikap bijak dan sibarengi dengan sikap dan keinginan untuk mau menerima keberadaan yang lain diantara kita.


Daftar Pustaka

Antone, Hope S. Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan Realitas Kemajemukan
dalam Pendidikan Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Beuken, Wim & Karl-Josef Kuschel. Agama sebagai Sumber Kekerasan?. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1997.
Kelompok Studi Proklamasi. Agama dan Kekerasan. Jakarta: Sensia, 1985.
Mulyana, Dedy dan Idi Subandy Ibrahim. Bercinta dengan Televisi: Ilusi, Impresi dan Imaji
sebuah Kotak Ajaib. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997.
Yayasan Komunikasi Masyarakat (YAKOMA) PGI. Komunikasi Perdamaian Keadilan. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1989.

Sumber dari Internet:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar