Praktek Pendidikan Kristen di GBKP
Pendahuluan
Ibarat mencari
jarum di dalam tumpukan jerami, praktek Pendidikan Kristen di Gereja Batak Karo
Protestan (GBKP) sangat sulit diperoleh. Bukan seolah ditutup-tutupi, melainkan
karena tidak sedikit juga pendeta, penetua, diaken dan jemaat yang masih belum
mengerti apa saja yang mencakup Pendidikan Kristen di dalam gereja GBKP. Sebagian
dari mereka memahami Pendidikan Kristen sama dengan Sekolah Kristen, yakni
lembaga pendidikan seperti TK, SD, SMP, SMA, STM/ SMK yang didirikan dan
dikelola oleh GBKP dan mendapat label GBKP. Namun tidak sedikit juga pendeta,
penetua dan jemaat yang cukup mengerti dan mampu menjelaskan Pendidikan Kristen
di gereja GBKP dengan cukup rinci.
Di dalam gereja GBKP, Pendidikan
Kristen tersebut mencakup pendidikan anak-anak Sekolah Minggu yang dibagi dalam
tiga kelas, yakni kelas balita, kelas anak kecil (TK dan SD kelas 1-3), dan kelas tanggung (SD kelas 4-6),
remaja (SMP), pemuda (disebut PERMATA), pengajaran katekisasi (untuk persiapan sidi
dan untuk mereka yang dikenai siasat gereja,misalnya jemaat dari gereja lain
yang non PGI ingin menjadi jemaat GBKP), Pendidikan Kristen bagi kaum Bapak
(Mamre) dan kaum Ibu (Moria), serta bagi yang lanjut usia (melalui pendalaman
Alkitab), khotbah dan liturginya juga sesuai dengan kalender gereja dan
mengikuti apa yang telah ditetapkan dari sinode (yang disebut dengan Moderamen).
Selain itu, kemitraan awam dan pendeta juga terjalin dengan baik. Tidak ada istilah
tuan, tidak ada istilah budak. Semuanya terlihat saling bekerja sama dalam praktek
Pendidikan Kristen tersebut. Pendeta juga dibantu oleh penetua dan diaken serta
mereka yang menangani beberapa bidang kategorial di dalam gereja GBKP tersebut.
Namun yang akan dibahas secara lebih mendalam di dalam paper ini adalah
mengenai praktek Pendidikan Kristen terhadap anak-anak Sekolah Minggu. Penulis
juga membandingkan Sekolah Minggu yang ada di GBKP Pasar Minggu, Jakarta
Selatan dengan Sekolah Minggu yang ada di GBKP Kabanjahe Kota, Kabanjahe. Keberadaan
warga GBKP Pasar Minggu yang berada di kota besar Jakarta sebagai minoritas
ditengah mayoritas yang belum mendapat ijin untuk membangun gereja mereka
mengharuskan mereka untuk beribadah di tempat lain (di Gereja Protestan di Taman
Mini dan di gedung kantor Suara Pembaharuan dengan biaya sewa Rp.
600.000,-/minggu) juga turut mempengaruhi peribadahan anak-anak Sekolah Minggu
di GBKP Pasar Minggu.
Oleh karena itu,
melalui paper ini penulis berharap kiranya dapat memberikan dan menambahkan
sedikit informasi mengenai Sekolah Minggu. Sehingga praktek Pendidikan Kristen
dalam pelayanan Sekolah Minggu yang selama ini salah dilakukan penerapannya
dapat segera diubah setelah memahami bagaimana seharusnya Sekolah Minggu
tersebut.
Pendidikan
Kristen dalam GBKP
Pendidikan
merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berfikir
bagaimana menjalani kehidupan di dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup.
Sulit dibayangkan bagaimana jadinya hidup ini tanpa pendidikan di saat lubang
keingintahuan menganga semakin lebar. Jika dilihat dari asal katanya,
pendidikan merupakan suatu kegiatan menuntun keluar. Artinya, pendidikan mampu
membawa seseorang keluar dari kebodohannya menuju manusia yang berpengetahuan
dan dapat berpikir secara kristis. Namun Lawrence Cremin mendefinisikan
pendidikan sebagai suatu usaha sengaja, sistematis, dan terus menerus untuk
menyampaikan, menimbulkan atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap,
nilai-nilai, keahlian, atau kepekaan-kepekaan, juga setiap akibat dari usaha
itu. Maksudnya adalah pendidikan itu
dapat diperoleh karena diajarkan secara sengaja, sistematis, dan terus menerus
oleh pendidiknya sehingga nara didik memperoleh pengetahuan. Demikian juga
halnya dengan Pendidikan Kristen.
Bicara soal Pendidikan Kristen dalam gereja
GBKP, beberapa orang akan menanggapinya secara sepele. Hal ini dikarenakan dari
tahun ke tahun, orang hanya mengerti bahwa pendidikan Kristen dalam gereja itu
hanya sebatas Sekolah Minggu ataupun Pendalaman Alkitab. Padahal Pendidikan Kristen
dapat terjadi dimana saja dan kapan saja dan dalam bentuk yang berbeda dari yang sudah ada. Sebab tujuan
dari Pendidikan Kristen ini bukan hanya sekadar mempromosikan komunitas Kristen
itu tetapi juga menyebarkan misi perdamain kepada komunitas mana yang terpanggil.
Pendidikan Kristen harus memperkenalkan orang kepada kehidupan dan misi dalam
komunitas iman dengan memandang Tuhan sebagai pendidik dan bukan hanya sekadar
memberi informasi tentang agama, tapi lebih dari itu. Oleh karena itu, misi pendidik Kristen adalah
memperkenalkan Tuhan kepada orang dengan cara beriman kepadaNya dan membawa
mereka masuk ke dalam kehidupan iman Kristen melalui proses pendidikan
tersebut. Dengan demikian tercapailah tujuan gereja Kristen yang merupakan
suatu pelayanan pendamaian. Dasar-dasar pendidikan yang digunakan dalam
menjalankan misi ini merupakan iman, studi Alkitab, dan suatu hubungan atau
relasi yang berguna untuk menjalankan misi tersebut sehingga menghasilkan
perdamaian sebagai visinya. Sayangnya, Pendidikan Kristen di GBKP belum begitu
cukup dipahami, sehingga masih sulit untuk berkembang. Sebagian dari mereka
memahami Pendidikan Kristen sama dengan Sekolah Kristen, padahal Pendidikan Kristen
yang dimaksudkan adalah seperti pelajaran katekisasi, Sekolah Minggu, khotbah,
Pemahaman/Pendalaman Alkitab, dan persekutuan.
Sekolah
Minggu
Ketika seseorang
melakukan perjalanan dari suatu tempat menuju tempat lain, maka ia harus
mengendarai sesuatu untuk dapat mencapai tempat tujuannya (visi dan misi).
Hidup ini ibarat sebuah perjalanan panjang yang harus ditempuh dengan cara yang
baik sehingga menghasilkan hal yang baik pula di dalam kehidupan kita (proses).
Itulah sebabnya mengapa setiap orang memiliki suatu misi dan visi dalam
hidupnya dan melaluinya dengan sebuah proses.
Demikian pula halnya dengan pelayanan pendidikan dalam gereja yang juga
memiliki suatu visi dan misi serta proses didalamnya. Salah satu pelayanan
Pendidikan Kristen dalam gereja adalah pendidikan anak di Sekolah Minggu dengan
tujuan mengajarkan Pendidikan Kristen bagi anak-anak pada usia dini, supaya anak menerima kepercayaan dan
nilai-nilai yang dianut oleh orangtuanya, belajar bertindak baik, dan dapat bertumbuh
secara wajar dalam iman Kristen sebagai anggota jemaatnya.
Banyak orang yang
mengatakan bahwa anak adalah generasi masa depan. Bagaimana nasib masa depan
kelak, semuanya ada di tangan orang muda sekarang. Jadi jika di masa mendatang
kepemimpinan semakin buruk, tentu saja orang-orang muda yang akan
dipersalahkan. Padahal yang terlebih dahulu harus diperhatikan adalah asal usul
pendidikan yang mereka terima. Sebab apa yang dihasilkan oleh anak tidak akan
pernah terlepas dari didikan orangtua, lingkungan dan juga gerejanya. Oleh
karena itu, selain orangtua dan lingkungan, gereja melalui pelayanan Sekolah
Minggu juga mengambil peran yang cukup penting dalam membentuk karakter anak
pada masa tumbuh kembangnya.
Sekolah Minggu didirikan
oleh Robert Raikes.[1]
Robert Raikes adalah seorang praktisi yang melihat penyakit sosial yang
mengancam kewarasan masyarakat dan memprakarsai tindakan yang dapat mengatasi
sebagaian dari masalah tersebut. Ia bukanlah pemikir yang berteori tentang asas
pendidikan. Kendati demikian, dalam usahanya mengatasi masalah yang ada di
tengah masyarakat, ia memanfaatkan peran pendidikan. Sebab melalui pendidikan,
sebagian dari masalah itu akan mampu teratasi. Kebanyakan orang percaya bahwa
orang yang berpendidikan akan jauh dari kejahatan karena mereka memiliki
pemahaman yang baik akan hal-hal yang baik dan tidak baik. Oleh karena itu, ia berusaha
memberikan pendidikan kepada anak sejak usia dini agar anak-anak memiliki
pengetahuan sehingga tidak akan jatuh ke dalam masalah kejahatan. Sebab menurut
pengamatannya, kebanyakan orang dewasa yang melakukan kejahatan adalah mereka
yang tidak memiliki pendidikan. Namun sudah terlambat untuk mengubahnya diusia
dewasa lewat perkunjungan. Ia menarik
kesimpulan bahwa akhlak orang dewasa tidak akan dapat diperbaiki hanya dengan
adanya perkunjungan. Sejak saat itu ia mulai menaruh perhatian terhadap
‘akhlak’ ini yang menurutnya perlu dimuali sejak dini di kalangan angkatan
muda. Bersama dengan Pendeta Stock, ia mendirikan Sekolah Minggu bagi anak-anak
miskin yang bekerja di pabrik selama enam hari dalam seminggu. Melihat bahwa
ternyata Sekolah Minggu itu berjalan baik, ia pun melaporkannya lewat
tulisannya lewat surat kabar yang ia kelola dan semakin banyak orang yang ingin
anaknya juga mengikuti Sekolah Minggu untuk menghindari kejahatan.
Sekolah Minggu yang pertama diajar oleh ibu rumah tangga yang digaji oleh
Raikes. Namun tidak jarang juga ia ikut terlibat dan mengajar anak-anak dengan
bantuan alat peraga atau dengan berbagai pertanyaan yang dianggap mampu memupuk
dan mengembangkan pemikiran anak. Kurikulumnya terdiri atas Alkitab, pelajaran
katekismus dan keterampilan membaca, menulis serta berhitung pada taraf yang
sederhana. Sumber-sumber pelajaran mereka disediakan oleh pengajar sebelum ada
buku Sekolah Minggu yang diterbitkan. Namun sebelumnya mereka harus diajar
untuk berdisiplin terlebih dahulu. Mereka juga diajari menyanyi dan memuji
Tuhan. Selain itu, pada hari raya, mereka melayani meja. Perjamuan ini memberi
pengalaman baru bagi anak, pemimpin dan juga bagi mereka yang ingin
menyampaikan perasaannya kepada anak mereka yang sangat berharga karena mereka
bukan lagi endapan masyarakat. Oleh karena itu, hingga kini pelayanan Sekolah Minggu telah
menjadi bagian penting dari gereja untuk menjangkau dan melayani anak. Namun
sayangnya, ddalam prakteknya di gereja GBKP, anak-anak tidak diajar untuk
berdisiplin, semua anak bebas di dalam kelas karena dipengaruhi juga oleh
kurangnya tenaga pengajar di kebanyakan gereja GBKP. Selain itu, anak-anak
Sekolah Minggu juga tidak melayani meja pada saat hari raya dan tidak pernah
diajari untuk menerima perjamuan meski hanya dengan roti dan minuman dengan
rasa anggur.
a. Kurikulum Sekolah
Minggu
Peran Sekolah
Minggu, baik guru maupun kurikulum (apa yang diajarkan dan bagaimana cara
mengajar), sangat menentukan pembentukan dalam diri anak-anak yang dilayaninya.
Lois E. LeBar mendefinisikan kurikulum sebagai aktivitas yang direncanakan
dengan baik untuk membawa anak-anak selangkah lebih dewasa dalam Kristus.
Aktivitas yang dirancang untuk menghubungkan kehidupan anak dengan firman Tuhan
dan menghadirkan firman Tuhan sebagai Roti Hidup dalam kehidupan nyata yang
dialami oleh anak-anak akan menolong pertumbuhan mereka semakin menjadi seperti
Kristus yang merupakan inti dari sebuah kurikulum Sekolah Minggu.
Kurikulum
adalah hasil implementasi dari pertimbangan pemikiran yang dimiliki oleh
pengajar Kristen untuk diaplikasikan secara praksis.[2]
Oleh karena itu, pertimbangan-pertimbangan dalam membuat, mengimplementasi,
serta mengevaluasi kurikulum tersebut sangatlah penting.
Setidaknya
ada 6 definisi kurikulum yang dimuat di dalam buku Pazmino :
-
Kurikulum sebagai
isi yang tersedia (content made available)
untuk para siswa (Dwayne F. Huebner)
-
Kurikulum sebagai
perencanaan dan pengalaman belajar yang terarah dari para siswa (John Dewey)
-
Kurikulum sebagai
pengalaman aktual dari para siswa atau partisipan (Alice Miel)
-
Secara umum,
kurikulum termasuk material dan pengalaman dalam belajar. Secara spesifik,
kurikulum adalah rangkaian pelajaran yang tertulis untuk belajar yang digunakan
oleh edukasi Kristen. Kurikulum sebagai organisasi dari kegiatan belajar yang
diarahkan oleh guru dan bertujuan akan adanya perubahan perilaku (Lois E.
LeBar)
-
Kurikulum sebagai
isi yang tersedia (content made available)
untuk para siswa dan pengalaman belajar aktual mereka yang dibimbing oleh guru
(Robert W. Pazmino)
Tantangan
dalam membuat kurikulum adalah untuk menyatukan baik isi dan pengalaman Kristiani
sehingga pikiran dan kehidupan siswa dipengaruhi dan diubah oleh kebenaran
Tuhan. Lois E. LeBar berpendapat bahwa isi kekristenan tanpa pengalaman adalah
hampa dan pengalaman tanpa isi adalah kebutaan.[3]
Isi yang esensial dari pengajaran Kristiani adalah kebenaran – kebenaran
sebagaimana diungkapkan / diwahyukan oleh Kristus dan dalam Alkitab melalui
bimbingan roh kudus, dan kebenaran yang berbeda-beda dalam setiap ciptaan-Nya.
Agar
dapat menggabungkan baik isi maupun pengalaman tersebut, pengajar Kristen
dituntut untuk memperhatikan baik kebenaran dan kasih dalam pengajaran mereka
dan pengalaman yang dialami oleh murid-muridnya. Guru dituntut untuk
memperhatikan setiap muridnya yang berasal dari berbagai latar belakang yang
berbeda, memperhatikan hal yang mereka bagikan kepada muridnya dan
mengungkapkan potensi transformatif dalam kehidupan muridnya, dan untuk
memperhatikan konteks di mana murid tersebut hidup, termasuk komunitas mereka
dan dunia yang merefleksikan kasih Allah pada seluruh ciptaan-Nya.
Kurikulum Sekolah
Minggu yang hidup tidak sekadar memberikan pengetahuan tentang Alkitab kepada
anak-anak, namun membiarkan anak-anak menikmati firman Tuhan sebagai Air Hidup
dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain, anak-anak tidak hanya belajar dari
tulisan yang tertera, tapi belajar dari mengalaminya dalam kehidupan yang nyata.
Oleh karena itu, kurikulum Sekolah Minggu perlu dirancang secara lengkap dan
tepat untuk dapat dipakai sebagai alat mengajar anak-anak agar bertumbuh
optimal di dalam rencana Allah. Di dalam Pendidikan Kristen, ada 4 pengalaman
penting yaitu nyanyian rohani, doa pembendaharaan gereja, peristiwa-peristiwa
kehidupan Yesus, tabiat Allah yang diejahwantahkan dalam segala ciptaanNya, dan
bimbingan untuk menang atas kesulitan. Akan tetapi dari keempat pengalaman ini,
nyanyian dan doalah yang paling baik mewakili iman seseorang yang tidak dapat
dijelaskan dengan nyata.[4]
Di dalam pengajaran kurikulum ini, pendidik memiliki peran yang penting dalam
menyampaikan pesan kurikulum. Selain itu, berhasil atau tidaknya pendidikan
juga bergantung pada pendidiknya. Terkait dengan kurikulum yang akan diajarkan
oleh pendidik, Jean Jacques Rousseau menekankan bahwa pendidik harus
memperhatikan dan mendengar anak didik sebagaimana ia ada, apa kebutuhannya,
keinginannya, kemampuan dan minatnya sesuai dengan umur mereka.[5]
Mereka berhak mendapat pendidikan sesuai dengan umur mereka, bukan menurut
sifat yang sesuai dan berlaku bagi orang dewasa. Namun karena pendidikan adalah
sesuatu yang dapat membebaskan atau memerdekakan seseorang (Paulo Friere), maka
pendidik dalam menyampaikan kurikulum harus menggunakan metode dan teori yang
cukup menarik sehingga tujuan kurikulum tersebut dapat tercapai. (Kurikulum
Sekolah Minggu GBKP yang diperoleh penulis ada di lampiran).
b. Peranan Guru Sekolah Minggu
Pendidikan pada
masa kanak-kanak sangat membutuhkan peran seorang guru. Guru dituntut untuk
membantu mengembangkan diri anak baik potensi, bakat, intelektual, dsb. Seorang
guru juga harus memiliki pengalaman dan harus berkompetensi dalam bidangnya.
Guru sebaiknya mempersiapkan atau merencanakan program belajar yang akan
diterapkan dalam kelas, akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah program
belajar harus disesuaikan dengan keadaan anak. Pendidik yang dibutuhkan di
masyarakat adalah pendidik yang berbakat dan mampu mengembangkan bakatnya. Akan
tetapi yang paling terpenting adalah, bagaimana seorang guru melaksanakan
panggilannya menjadi pendidik yang bermutu. Ada beberapa metode yang dapat
diterapkan oleh pendidik Sekolah Minggu berdasarkan metode Froebel.[6]
a. Berdoa, menjadi metode utama yang digunakan untuk
mengembangkan perasaan keagamaan dalam diri anak sehingga anak dapat menjadikan
agama sebagai pengalaman dalam hidupnya.
b. Percakapan, metode ini membantu menghubungkan guru dan
anak menghubungkan sumber iman dengan keadaan tertentu yang timbul dari
pengalaman belajar.
c. Menghafalkan, metode ini digunakan untuk memperkuat
pengetahuan yang diperoleh.
d. Mengucapkan
jawaban secara bersama
e. Bermain
f.
Swakaji (bermain,
bernyanyi, menggambar, memelihara tanaman/binatang kecil/ dan beranjangsana,
kesinambungan)
g. Meninjau dan
memeriksa
h. Pelaporan
i.
Bertanya, metode
ini digunakan untuk menguji anak akan pengetahuan yang ia peroleh dan juga
mengantarkan akan kepada pengetahuan yang baru, dalam hal menggambarkan
hubungan-hubungan untuk menjernihkan pengertian dan untuk menggolongkan
pengetahuan agar lebih mudah diingat.
j.
Mengajar berdasarkan pola-pola, merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
mengajarkan tata bahasa selain itu juga dengan metode ini anak terdorong untuk mencari
pola-pola yang terlihat dalam benda maupun bahan.
k. Bercerita
l.
Latihan dan ulangan, dengan metode ini anak akan terdorong untuk
mengingat kembali pengetahuan yang sebelumnya sudah diperoleh.
Oleh
karena itu, sebelum menjadi seorang pengajar Sekolah Minggu, seharusnya
pendidik harus terlebih dahulu mendapat pelatihan agar ia mampu menjadi seorang
pengajar yang baik. Namun pada kenyataannya, masih ada sebagian Sekolah Minggu
yang memiliki pendidik yang belum memahami bagaimana seharusnya mendidik anak Sekolah
Minggu malah dijadikan sebagai pendidik Sekolah Minggu. Sebagian dari mereka
masih ada yang belum memahami kurikulum apa yang harus diajarkan. Namun karena
keterbatasan gereja dan kurangnya tenaga pendidikan, maka hal yang demikian
dianggap lumrah dan dijadikan wajar.
Penulis
membandingkan tenaga pendidik Sekolah Minggu di GBKP Pasar Minggu, Jakarta
Selatan dengan pendidik Sekolah Minggu di GBKP Kabanjahe Kota, Kabanjahe. Sekolah
Minggu di GBKP Kabanjahe Kota memang memberdayakan pemuda dan pemudi untuk menjadi
tenaga pendidik Sekolah Minggu namun dengan pelatihan khusus yang diberikan
oleh pihak gereja sebelumnya. Sementara di Sekolah Minggu GBKP Pasar Minggu,
yang menjadi pendidik Sekolah Minggu adalah istri dari penetua atau diaken
gereja. Semua anak dari berbagai tingkat
usia diajar oleh kaum ibu sama seperti zaman Robert Raikes. Tidak dapat
dipungkiri juga memang bahwa pada kenyataannya kaum ibu yang lebih dewasa
daripada pemuda dan pemudi tersebut lebih dapat memahami anak-anak karena mereka
juga memiliki anak. Namun setidaknya pemuda dan pemudi tersebut telah mendapat
pelatihan yang juga memampukan mereka untuk mengajar sementara kaum ibu
tersebut hanya berpedoman pada kurikulum yang dibukukan saja tanpa ada
pelatihan.
c. Anak Sekolah Minggu
Penyampaian
kurikulum pengajaran yang kurang tepat sering mengakibatkan alasan dan makna
teologis di dalam proses Pendidikan Kristen sangat sulit untuk diterima anak.
oleh karena itu dibutuhkan teori dan metode dalam pengajaran tersebut. Pendidikan agama membutuhkan
teori karena membantu seseorang melihat fenomena-fenomena yang terjadi
disekitarnya melalui sudut pandang agama. Teori bukan
sekadar abstraksi dari praktek karena
dalam arti yang
paling mendasar dari teori
tersebut muncul dari praktek. Teori adalah
cara menggunakan pikiran
dan imajinasi secara kreatif dan konstruktif. Dengan adanya teori, kita
mampu memahami sesuatu yang relevan, apa yang sebenarnya ingin kita cari dan
ingin kita pahami. Sehingga melalui teori kita mampu memaknainya.
Namun tidak semua teori dapat kita jadikan pedoman dalam pendidikan agama. Kita
harus memilihnya juga, mana teori untuk mendengar dan mana teori untuk memberi
instruksi. Hal itu jugalah yang menyebabkan adanya kurikulum dalam pengajaran. Salah satu isu abadi yang diungkapkan oleh
Yohanes Amos Comenius adalah soal kurikulum. Menurutnya, kurikulum
berfungsi sebagai tatanan pelajaran yang berisi tentang rencana pembelajaran
dengan pokok pembelajaran yang sudah ditentukan karena pokok yang diajarkan
pada setiap tingkat berbeda-beda tingkat
kesulitannya sesuai dengan umur pelajar.[7] Oleh karena itu, sebelum mengajarkan teori berdasarkan kurikulum
yang telah diatur, sebaiknya pendidik harus terlebih dahulu mengerti mengenai anak
yang akan ia didik berdasarkan usianya.[8]
·
Usia 2-3 tahun
Secara Emosi:
Anak pada usia ini dalam tahap pengenalan dan penyesuaian diri
dengan lingkungannya sehingga masih sulit
untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang atau lingkungan di luar rumah.
Mereka cenderung ingin memiliki privacy.
Selalu menyama-nyamakan keadaan dan hal-hal yang ada di rumahnya dengan apa
yang ada di lingkungan luar. Guru harus
memiliki bahan untuk diajarkan dan gurunya tidak boleh ganti-ganti. Anak pada
usia ini paling sering mengungkapkan kata “TIDAK”. Oleh karena itu, jangan
melontarkan suatu pertanyaan apapun kepada anak usia ini. Kita harus memberikan
pernyataan bukan pertanyaan. Jika kemauannya tidak dituruti maka ia dapat
menangis meronta-ronta tidak karuan. Karena mereka merasa mereka tidak
dimengerti sehingga mereka menangis sebagai wujud frustrasi. Mereka butuh rasa
aman dan nyaman (musik dan suasana ruangan).
Secara Sosial:
Kebutuhan sosial
adalah kebutuhan untuk berelasi diluar dirinya. Pada usia ini, anak masih
bergantung dengan orang lain (makan, mandi, diantar, dijemput). Mereka masih
ada perasaan malu-malu karena dipengaruhi oleh faktor emosi. Setiap anak
berbeda kebutuhan sosialnya. Mereka egosentris. Semua hal/ benda apapun yang
mereka anggap menyenangkan pasti ingin mereka miliki dan sudah mereka anggap
sebagai miliknya meskipun bukan miliknya. Jika ia memiliki adik yang baru
lahir, maka ia akan merasa cemburu. Menurutnya mamanya hanyalah mamanya sendiri
(pengaruh egosentris). Mereka belum merasa penting dan belum mengerti arti
suatu persaingan dan rasa bersaing. Mereka cenderung suka bermain sendiri,
meskipun mereka bermain dengan beberapa anak, tapi mereka cenderung merasa
bahwa mereka sedang bermain sendiri. Mereka juga memiliki teman imajiner.
Mereka berimajinasi bahwa mereka memiliki teman meskipun mereka sedang bermain
sendiri. Secara sosial, mereka suka diperhatikan. Sehingga mereka suka menarik
perhatian dengan cara yang terkadang tidak terpuji, misalnya mereka melakukan
suatu kenakalan. Untuk lepas dari ketergantunagn yang sesaat, mereka harus
diberi kegiatan dan kesibukan, sehingga mereka tidak terus menerus mengekori
kita dan kita juga dapat melanjutkan aktifitas kita.
Secara Spiritualitas:
Mereka belum tahu
siapa itu Tuhan, gereja, dan hal-hal yang di luar dirinya. Kita mengenalkan
Tuhan kepada anak-anak melalui kedekatan relasi (bermain, bercakap-cakap,
beraktifitas dengan mereka). Sehingga saat kita memperkenalkan Tuhan kepada
mereka, mereka sudah mampu menilai dan membandingkan/ menyamakan karakter kita
dengan karakter Tuhan (ibu menemaninya saat sakit, Ayah yang menyanyanginya). Oleh karena itu, orang tua
sangat berperan penting dalam pertumbuhan spiritualitas anak.
·
Usia 4-5 thn
Secara Emosi:
Rasa takutnya
masih besar tapi sudah sedikit berkurang. Artinya mereka sudah dapat berpikir
lebih baik. Mulai muncul sikap iri hati. Mereka juga sudah memiliki kontrol saat mereka menangis. Mereka tidak
menangis sambil berguling-guling atau
hanya menangis sebentar. Namun saat
mereka marah mereka juga suka menangis. Oleh sebab itu, ajak mereka bercerita
untuk menenangkan hati mereka. Pendekatan yang tepat untuk
mereka adalah komunikasi yang baik. Kita
tidak memaksakan kehendak kita kepada mereka, melainkan demokratis. Sebab mereka juga butuh dihargai.
Secara Sosial:
Mereka memiliki
egosentris yang tinggi namun jauh lebih baik, karena
mereka sudah mulai berani untuk mengungkapkannya. Mereka jauh lebih ramah
karena sudah mampu beradaptasi, mereka sudah memiliki teman yang akrab dengan
mereka. Mereka mulai aktif dan berani bernyanyi. Sikap “beo“ pada
usia ini masih ada. Anak pada usia ini suka dengan pujian (kata-kata, hadiah, pelukan). Pada usia ini, Seks
Education sudah dapat mulai
diberitahukan.
Secara Spiritualitas:
Mereka mulai
merasa akrab dan
mengenal orang lain. Mereka sudah memiliki
unsur percaya. Percaya kepada orang tuanya, gurunya, dan temannya. Mulai dapat membedakan mana hal yang
baik dan mana yang tidak baik. Mereka
merekamnya dalam memorinya. Mereka mulai menanyakan tentang kematian. Mereka
sudah mulai mengikuti ibadah, berdoa, dan membaca
Alkitab.
·
Usia 6-8 thn
Secara Emosi:
Mereka mudah untuk bersemangat karena otot kecilnya
sedang aktif. Kegiatan melompat, bermain tali merupakan kegiatan yang dapat menyalurkan semangat
mereka. Anak pada usia ini sangat mudah
perasaannya terganggu (contoh: jika dikatakan akan pergi ke suatu tempat,
mereka akan mempersiapkannya sejak awal). Mereka cenderung menolak perintah orang
tua, kadang menolak kadang menunda. Mereka tidak sabaran dan suka emosi.
Hatinya masih penuh rasa takut. Takut ditinggal ketika jalan di mall tetapi
mereka juga ingin diakui sebagai anak yang sudah tumbuh besar yang berani meski kadang masih
takut-takut (gengsinya tinggi).
Sangat mudah kasihan dan suka memberi.Oleh karena itu, harus ada inisiatif dari
pembina.
Secara Sosial:
Secara sosial
mereka ingin bertemu dengan anak seusianya dan tidak ada masalah soal gender
(mereka bermain tanpa memandang gender). Mereka akan menggunakan istilah
tersendiri sebagai panggilan keakraban. Suka berbicara/bercerita terutama
mengenai apa yang ia alami dan apa yang ia miliki (suka pamer). Mereka
cenderung ingin didengarkan daripada ingin mendengarkan orang lain. Ingin
bersahabat dengan anak sebaya meskipun ada guru ataupun orang tuanya. Sebaiknya
orang tua harus memilih teman bagi anaknya. Komunitas di dalam gereja (Sekolah
Minggu) sangat membantu. Mereka sangat ingin menjadi anak besar, sehingga
mereka sangat suka meniru cara berpakaian orang tua, mulai ingin seperti orang
dewasa. Mereka belum menyukai pertandingan yang bersifat persaingan (hanya
pertandingan bukan bersaing, karena ini adalah usia kelompok). Mereka
mengganggap pertandingan hanya sebuah komunitas kelompok bukan komunitas
persaingan. Egosentrisme anak ini sudah mulai berkurang dan ada sifat untuk
saling berbagi. Orang tua harus memberi pujian tapi bukan pujian yang palsu.
Secara Spiritualitas:
Secara spiritual
mereka sangat suka sekali pergi ke Sekolah Minggu. Mereka mudah bekerja sama,
mudah berkelompok. Pengenalan akan konsep Tuhan semakin jelas. Yesus dianggap
sebagai sahabatnya. Mereka sudah mulai mengerti arti doa. Mulai muncul banyak
pertanyaannya tentang surga dan tentang kematian.
Sangat berusaha untuk menjadi anak yang baik.
·
Usia 9-11 thn (usia terakhir kanak-kanak)
Secara Emosi:
Secara emosi, rasa
takutnya sudah berkurang. Mereka sudah mampu mengatasi
emosinya dengan lebih baik sehingga mereka sudah dapat menyesuaikan
diri. Pembina bukan menjadi guru yang selalu memandu tetapi sebagai seorang
pembimbing yang dapat dijadikan teman. Emosi mereka akan terlihat pada saat
marah (mereka akan berkelahi, bertengkar mulut) namun pada usia ini mereka juga sudah
tahu humor.
Secara Sosial:
Mereka semakin
mandiri. Mereka ingin bermain dengan temannya tanpa diikuti oleh orangtua,
pembantu ataupun adiknya sendiri. Mereka merasa malu ketika diantar ataupun dijemput
meski cenderung masih butuh. Meski mereka menolak kehadiran orangtua namun
karena masih butuh peran orangtua, mereka cenderung berteman dengan orang yang
lebih tua dari dirinya. Ini adalah awal dari kehidupan ‘GANG’. Sementara itu, minat
pada lawan jenis belum terlihat. Mereka masih bermain bersama (perempuan dan
laki-laki tidak dibedakan). Mereka sangat memuja tokoh-tokoh. Misalnya tokoh
olahraga, atau artis favorit mereka.
Secara Spiritualitas:
Mereka sangat
saleh. Mereka sudah mulai tahu mana yang baik dan mana yang buruk (dosa).
Penyampaian firman dapat dengan diskusi. Sudah mulai memperhatikan kelengkapan
ibadah mereka, misalnya Alkitab sendiri atau buku nyanyian sendiri.
Memperhatikan pendidikan anak sesuai dengan usia mereka memang penting.
Namun selain menyesuaikan kebutuhan anak berdasarkan usia mereka, para guru Sekolah
Minggu juga harus dapat menyesuaikan Pendidikan Kristen yang akan mereka
ajarkan kepada anak-anak berdasarkan kebutuhan perkembangan anak.
Tabel: KERANGKA PERKEMBANGAN MANUSIA oleh Ruth
Kadarmanto – dari berbagai sumber.
USIA
|
PERKEMBANGAN BERPIKIR
Piaget
|
PERKEMBANGAN MORAL
Kohlberg
|
PERKEMBANGAN IMAN/RELASI
Fowler
|
PERKEMBANGAN SOSIAL/MENGENAL DIRI
Erikson
|
KEBUTUHAN UTAMA UNTUK DIPENUHI
|
0-2 tahun
|
Anak
belajar melalui “perasaannya”: dengan menghisap, melihat, mendengar, memegang, dan bergerak
|
Dimulainya
kesadaran diterima atau ditolak oleh orang lain.
|
Ketergantungan
penuh pada orangtuanya/ orang yang dekat dengannya.
|
Relasi
sangat dekat dengan kedua orangtuanya/ orang yang merawatnya.
|
Pemeliharaan
secara jasmani yang maksimal. Membutuhkan rasa aman, kasih sayang yang hangat
dan kebuutuhan ruang untuk bergerak dengan bebas.
|
3-5 tahun
|
Anak
berpikir melalui perasaan. Ia percaya pada apapun yang ia lihat sebagai
kenyataan yang sebenarnya. Anak pada usia ini suka berimajinasi.
|
Ukuran
“yang benar” adalah apa yang mereka suka.
|
Anak
percaya pada apa yang dipercayai oleh orangtuanya.
|
Egonya
sangat besar. Segala sesuatu yang ia sukai adalah miliknya. Mulai memiliki
inisiatif.
|
Kebutuhan
untuk bermain. Membutuhkan gambaran positif tentang Tuhan. Membutuhkan
pertolongan agar ia melihat hal yang salah dan yang benar menurut
orangtuanya.
|
Kelas 1-3
|
Anak
berpikir secara logis sesuai dengan kenyataannya. Percaya pada apapun yang ia
lihat.
|
Mulai
mengembangkan rasa “keadilan” secara nyata.
|
Anak
mulai memahami bahwa gereja adalah tempat yang aman baginya dimana ia
diterima sebagai bagian dari persekutuan.
|
Mengembangkan
pergaulan dengan teman-temannya. Belajar bekerja sama dalam kelompok.
|
Butuh
pertolongan agar ia merasa diterima di gereja. Membutuhkan permainan di dalam
kelompok. beri kesempatan agar ia dapat melakukan sesuatu.
|
Kelas 4-6
|
Anak
mengembangkan kecerdasan secara verbal. Mengembangkan ketrampilan
berkata-kata.
|
Melanjutkan
perkembangan rasa “keadilan”.
|
Puncak
dari penyerapan dan kesungguhan belajar. Mulai tertarik pada lawan jenisnya.
|
Puncak
dari penyerapan dan kesungguhan belajar. Mulai tertarik pada lawan jenisnya.
|
Membutuhkan
pertolongan agar ia merasa diterima di gereja. Membutuhkan kegiatan aktif
partisipatif di dalam kelompok. Beri kesempatan melakukan kegiatan bersama-sama.
|
SMP
|
Bila
berpikir mulai mengerti konsep yang abstrak.
|
Sedang
mengamati perilaku moral dari orang-orang tertentu yang bilamana ia suka maka
mereka akan menjadikannya sebagai idola.
|
Memberi
perhatian khusus kepada orang lain diluar keluarga dan gerejanya.
|
Mencari
identitas dirinya sendiri. “Siapakah saya?”. Memasuki usia pubertas. Umumnya
mereka memiliki sahabat khusus.
|
Jadilah
teman yang baik bagi mereka. arahkan sikap yang positif terhadap seksualitas.
Butuh kegiatan yang dapat memahami iman Kristen mereka.
|
SMA
|
Mencari
hubungan antara pemahaman konsep yang abstrak dan yang konkrit (nyata), yakni
hubungan antara isi Kitab Suci dengan kehidupannya sehari-hari.
|
Mengembangkan
pemahaman: “penghakiman”, “masalah nilai”, “perilaku yang diterima”.
|
Baginya
gereja sudah dipahami dengan baik sehingga ia siap untuk giat pada
lingkungannya yang lebih luas.
|
Masih
melanjutkan upaya mencari idenitas dirinya. Khususnya memikirkan: siapa orang
yang dapat saya percaya, Allah yang mana bagi saya, teman hidup yang
bagaimana, apa tujuan hidup saya.
|
Perlu
pendampingan agar mereka dapat menggumuli secara bersama-sama iman Kristiani
yang sedang dicarinya itu.
|
Pemuda
|
Berpikir
berdasarkan logika. Mampu memahami konsep yang abstrak.
|
Luas
dan variasi lingkungannya sangat menentukan pikiran. Menghadapi tantangan
untuk mengambil keputusan moral yang semakin sulit dan kompleks.
|
Menghadapi
pergumulan utama:
“Apa
yang baik bagi saya?”
|
Kebutuhan
akan ikatan yang mendalam dengan lawan jenis/ juga teman hidup. Perhatian
terpusat pada tujuan hidup masa depan. Apa pekerjaan saya? Siapa teman hidup
saya? Yang mana gereja saya?
|
Membutuhkan
hubungan khusus secara pribadi yang bersedia mendengarnya. Membutuhkan
pastoral secara pribadi dalam perkembangan rohaninya.
|
Dewasa
|
Berpikir
berdasarkan logika. Mampu memahami konsep yang abstrak.
|
Melanjutkan
kemampuan mengambil keputusan moral yang baik.
|
Mencari
makna hidup agar lebih berarti. Hidup ini adalah pemberian/ karunia indah
dari Tuhan. Menemukan iman Kristiani dalam bentuk pengalaman-pengalaman yang
baru.
|
Sangat
memberi perhatian kepada generasi penerus. Menghargai hidup orang lain,
keluarga dan karir.
|
Banyak
perubahan dalam masalah fisik/ kesehatan-memerlukan pertolongan. Mereka sadar
akan tanggung jawabnya terhadap pembinaan.
|
d.
Lingkungan
Setidaknya
terdapat tiga hal yang harus diperhatikan demi keberlangsungan pendidikan yang
baik, yakni lingkungan belajar yang nyaman dan aman, menjadikan sekolah sebagai
rumah kedua, dan adanya komunitas teman sebaya. Berbicara soal lingkungan, kita
tidak boleh hanya terpaku pada lingkungan yang nyaman menurut kita (sebagai
orang tua). Tetapi kita harus membuat lingkungan itu juga nyaman bagi anak,
sebab lingkungan mengambil peran yang cukup penting dalam tumbuh kembang anak.
Lingkungan akan mengajari banyak hal kepada anak dan anak akan belajar banyak
hal dari lingkungannya.
Lingkungan yang diteliti oleh penulis adalah GBKP Pasar Minggu, Jakarta
Selatan yang kemudian dibandingkan dengan GBKP Kabanjahe Kota, Kabanjahe. GBKP Kabanjahe Kota yang berada di Kabanjahe
berlokasi tidak jauh dari kantor sinode GBKP yang merupakan pusat dari segala
sesuatu yang berhubungan dengan pelayanan GBKP. Oleh karena itu, segala informasi mengenai perubahan, kemajuan dan
perkembangan yang berhubungan dengan GBKP akan lebih dahulu diperoleh oleh GBKP
Kabanjahe Kota daripada GBKP Pasar Minggu yang berada di Jakarta, yang berada
jauh dari Kabanjahe. Selain itu, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
oleh penulis terhadap kedua gereja GBKP tersebut, penulis melihat bahwa anak-anak Sekolah Minggu Pasar
Minggu jelas tidak seberuntung anak-anak GBKP Kabanjahe Kota yang memiliki
gedung sendiri untuk beribadah. Kendati gedung memang tidak terlalu penting
melainkan hati untuk beribadahlah yang terpenting, namun lingkungan yang tetap
dan tidak berpindah-pindah dapat membuat anak-anak Sekolah Minggu nyaman untuk
beribadah sehingga mampu menyerap dengan baik apa yang diajarkan. Anak-anak
Sekolah Minggu di GBKP Pasar Minggu tidak memiliki ruangan sendiri untuk
beribadah karena mereka belum memiliki gedung gereja sendiri. Oleh karena itu,
ketika beribadah mereka harus digabung dalam satu ruangan tanpa dibagi dan
dipisahkan berdasarkan usia mereka, meski seharusnya mereka diajar dengan
kurikulum yang berbeda sesuai umur mereka.
Penutup
Melakukan pendidikan agama dengan baik adalah sebuah tantangan yang
paling sukar, terlebih apabila pendidikan tersebut diajarkan kepada anak-anak.
Anak-anak ibarat kertas putih dan siap menerima tinta dari kita, jika kita
salah menggorekan kuas pengetahuan di atas kertas putih tersebut, maka kertas
tersebut tidak akan memiliki makna kecuali terlihat penuh coretan. Anak-anak
siap menerima setiap perkataan dan perbuatan dari kita sebagai sebuah
pelajaran. Oleh karena itu, sebelum mengajarkan sesuatu kepada anak-anak, kita
seharusnya sudah memiliki konsep dan rencana (apa yang ingin kita ajarkan
kepada mereka). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis
terhadap gereja GBKP Pasar Minggu dan GBKP Kabanjahe Kota, penulis beranggapan
bahwa proses Pendidikan Kristen belum sepenuhnya tercapai oleh gereja GBKP. Hal
ini terlihat dari kurangnya pemahaman warga jemaat, pendeta, penetua, dan
diaken saat ditanyai perihal hal-hal apa saja yang menjadi Pendidikan Kristen
di GBKP. Selain itu, Sekolah Minggu yang ada di sebagian GBKP (misalnya seperti
Sekolah Minggu yang ada di GBKP Pasar Minggu tersebut) seolah mengalami
kemunduran. Hal ini terlihat dari semakin berkurangnya anak-anak yang
menghadiri kelas Sekolah Minggu. Jika diteliti lebih lanjut, selain faktor
lingkungan dan lokasi tempat mereka untuk beribadah yang memang tidak ada
disediakan (tidak ada ruangan khusus bagi anak-anak Sekolah Minggu), peran
orangtua dalam mengajak anak-anaknya untuk beribadah di gereja juga semakin
menurun. Peran guru Sekolah Minggu yang tidak kreatif dan menyamaratakan semua
murid-muridnya (bahan bacaan dan metode mengajar/kurikulum) mungkin dapat
mengakibatkan anak-anak merasa tidak tertarik, bosan, atau tidak sesuai dengan
usia mereka. Oleh karena itu, seharusnya orangtua, guru, dan lingkungan juga harus
diajarkan mengenai Pendidikan Kristen ini. Sebab bagaimana kita dapat mendidik
anak-anak kita mengenai Pendidikan Kristen tersebut jika kita sendiri sama
sekali tidak mengerti apa dan bagaimana Pendidikan Kristen tersebut. Oleh sebab
itu, usul yang dapat saya berikan adalah kiranya ada kegiatan dari gereja yang
dapat membekali orangtua dan guru gereja terkait Pendidikan Kristen ini
sehingga kemudian kita dapat bersama-sama mengajarkan Pendidikan Kristen kepada
anak-anak. Karena tidak mungkin seorang yang buta dapat menuntun orang buta
lainnya. Keduanya akan sama-sama tersesat bahkan terjatuh. Kita tidak akan
mungkin mampu mengajarkan apa-apa ketika kita tidak mengetahui apa-apa.
Daftar Pustaka
Boehlke. Robert R.. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari
Yohanes
Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2009.
Crump Miller, Randolph. Christian Nurture and the Church. New York: Charles Scribner’s
Sons,
1961.
Hurlok, Elizabeth B.. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga, 1980.
LeBar, Lois E.. “Curriculum,” in An Introduction to Evangelical Christian
Education. Chicago:
Moody, 1964.
Pazmino, Robert W.. Foundational Issues in Christian Education. Grand Rapids: Baker Academic,
2008.
[1]
Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan
Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius sampai
Perkembangan PAK di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 384.
[2]
Robert W. Pazmino, Foundational Issues in
Christian Education, (Grand Rapids: Baker Academic, 2008), 231-232.
[3]
Lois E. LeBar, “Curriculum,” in An
Introduction to Evangelical Christian Education, (Chicago: Moody, 1964),
89.
[4]
Randolph Crump Miller, Christian Nurture
and the Church, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1961), 188.
[5] Ibiid, Robert R. Boehlke, 125.
[6] Opcit, Robert R. Boehlke, 354-358.
[7] Opcit, Robert R. Boehlke, 66.
[8]
Elizabeth B. Hurlok, Psikologi
Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1980), 108-179.
Judul dan isi paper tidak sinkron dan cenderung berwacana tanpa fundamental yang jelas dan konkret.
BalasHapus