Rabu, 23 Januari 2013

Praktek Pendidikan Kristen di GBKP



Praktek Pendidikan Kristen di GBKP
Pendahuluan
Ibarat mencari jarum di dalam tumpukan jerami, praktek Pendidikan Kristen di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) sangat sulit diperoleh. Bukan seolah ditutup-tutupi, melainkan karena tidak sedikit juga pendeta, penetua, diaken dan jemaat yang masih belum mengerti apa saja yang mencakup Pendidikan Kristen di dalam gereja GBKP. Sebagian dari mereka memahami Pendidikan Kristen sama dengan Sekolah Kristen, yakni lembaga pendidikan seperti TK, SD, SMP, SMA, STM/ SMK yang didirikan dan dikelola oleh GBKP dan mendapat label GBKP. Namun tidak sedikit juga pendeta, penetua dan jemaat yang cukup mengerti dan mampu menjelaskan Pendidikan Kristen di gereja GBKP dengan cukup rinci.
Di dalam gereja GBKP, Pendidikan Kristen tersebut mencakup pendidikan anak-anak Sekolah Minggu yang dibagi dalam tiga kelas, yakni kelas balita, kelas anak kecil (TK dan SD kelas  1-3), dan kelas tanggung (SD kelas 4-6), remaja (SMP), pemuda (disebut PERMATA), pengajaran katekisasi (untuk persiapan sidi dan untuk mereka yang dikenai siasat gereja,misalnya jemaat dari gereja lain yang non PGI ingin menjadi jemaat GBKP), Pendidikan Kristen bagi kaum Bapak (Mamre) dan kaum Ibu (Moria), serta bagi yang lanjut usia (melalui pendalaman Alkitab), khotbah dan liturginya juga sesuai dengan kalender gereja dan mengikuti apa yang telah ditetapkan dari sinode (yang disebut dengan Moderamen). Selain itu, kemitraan awam dan pendeta juga terjalin dengan baik. Tidak ada istilah tuan, tidak ada istilah budak. Semuanya terlihat saling bekerja sama dalam praktek Pendidikan Kristen tersebut. Pendeta juga dibantu oleh penetua dan diaken serta mereka yang menangani beberapa bidang kategorial di dalam gereja GBKP tersebut. Namun yang akan dibahas secara lebih mendalam di dalam paper ini adalah mengenai praktek Pendidikan Kristen terhadap anak-anak Sekolah Minggu. Penulis juga membandingkan Sekolah Minggu yang ada di GBKP Pasar Minggu, Jakarta Selatan dengan Sekolah Minggu yang ada di GBKP Kabanjahe Kota, Kabanjahe. Keberadaan warga GBKP Pasar Minggu yang berada di kota besar Jakarta sebagai minoritas ditengah mayoritas yang belum mendapat ijin untuk membangun gereja mereka mengharuskan mereka untuk beribadah di tempat lain (di Gereja Protestan di Taman Mini dan di gedung kantor Suara Pembaharuan dengan biaya sewa Rp. 600.000,-/minggu) juga turut mempengaruhi peribadahan anak-anak Sekolah Minggu di GBKP Pasar Minggu.
Oleh karena itu, melalui paper ini penulis berharap kiranya dapat memberikan dan menambahkan sedikit informasi mengenai Sekolah Minggu. Sehingga praktek Pendidikan Kristen dalam pelayanan Sekolah Minggu yang selama ini salah dilakukan penerapannya dapat segera diubah setelah memahami bagaimana seharusnya Sekolah Minggu tersebut.

Pendidikan Kristen dalam GBKP
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berfikir bagaimana menjalani kehidupan di dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup. Sulit dibayangkan bagaimana jadinya hidup ini tanpa pendidikan di saat lubang keingintahuan menganga semakin lebar. Jika dilihat dari asal katanya, pendidikan merupakan suatu kegiatan menuntun keluar. Artinya, pendidikan mampu membawa seseorang keluar dari kebodohannya menuju manusia yang berpengetahuan dan dapat berpikir secara kristis. Namun Lawrence Cremin mendefinisikan pendidikan sebagai suatu usaha sengaja, sistematis, dan terus menerus untuk menyampaikan, menimbulkan atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian, atau kepekaan-kepekaan, juga setiap akibat dari usaha itu.  Maksudnya adalah pendidikan itu dapat diperoleh karena diajarkan secara sengaja, sistematis, dan terus menerus oleh pendidiknya sehingga nara didik memperoleh pengetahuan. Demikian juga halnya dengan Pendidikan Kristen.
Bicara soal Pendidikan Kristen dalam gereja GBKP, beberapa orang akan menanggapinya secara sepele. Hal ini dikarenakan dari tahun ke tahun, orang hanya mengerti bahwa pendidikan Kristen dalam gereja itu hanya sebatas Sekolah Minggu ataupun Pendalaman Alkitab. Padahal Pendidikan Kristen dapat terjadi dimana saja dan kapan saja dan dalam bentuk  yang berbeda dari yang sudah ada. Sebab tujuan dari Pendidikan Kristen ini bukan hanya sekadar mempromosikan komunitas Kristen itu tetapi juga menyebarkan misi perdamain kepada komunitas mana yang terpanggil. Pendidikan Kristen harus memperkenalkan orang kepada kehidupan dan misi dalam komunitas iman dengan memandang Tuhan sebagai pendidik dan bukan hanya sekadar memberi informasi tentang agama, tapi lebih dari itu. Oleh karena itu, misi pendidik Kristen adalah memperkenalkan Tuhan kepada orang dengan cara beriman kepadaNya dan membawa mereka masuk ke dalam kehidupan iman Kristen melalui proses pendidikan tersebut. Dengan demikian tercapailah tujuan gereja Kristen yang merupakan suatu pelayanan pendamaian. Dasar-dasar pendidikan yang digunakan dalam menjalankan misi ini merupakan iman, studi Alkitab, dan suatu hubungan atau relasi yang berguna untuk menjalankan misi tersebut sehingga menghasilkan perdamaian sebagai visinya. Sayangnya, Pendidikan Kristen di GBKP belum begitu cukup dipahami, sehingga masih sulit untuk berkembang. Sebagian dari mereka memahami Pendidikan Kristen sama dengan Sekolah Kristen, padahal Pendidikan Kristen yang dimaksudkan adalah seperti pelajaran katekisasi, Sekolah Minggu, khotbah, Pemahaman/Pendalaman Alkitab, dan persekutuan.

Sekolah Minggu
Ketika seseorang melakukan perjalanan dari suatu tempat menuju tempat lain, maka ia harus mengendarai sesuatu untuk dapat mencapai tempat tujuannya (visi dan misi). Hidup ini ibarat sebuah perjalanan panjang yang harus ditempuh dengan cara yang baik sehingga menghasilkan hal yang baik pula di dalam kehidupan kita (proses). Itulah sebabnya mengapa setiap orang memiliki suatu misi dan visi dalam hidupnya dan melaluinya dengan sebuah proses.  Demikian pula halnya dengan pelayanan pendidikan dalam gereja yang juga memiliki suatu visi dan misi serta proses didalamnya. Salah satu pelayanan Pendidikan Kristen dalam gereja adalah pendidikan anak di Sekolah Minggu dengan tujuan mengajarkan Pendidikan Kristen bagi anak-anak pada usia dini, supaya anak menerima kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh orangtuanya, belajar bertindak baik, dan dapat bertumbuh secara wajar dalam iman Kristen sebagai anggota jemaatnya.
Banyak orang yang mengatakan bahwa anak adalah generasi masa depan. Bagaimana nasib masa depan kelak, semuanya ada di tangan orang muda sekarang. Jadi jika di masa mendatang kepemimpinan semakin buruk, tentu saja orang-orang muda yang akan dipersalahkan. Padahal yang terlebih dahulu harus diperhatikan adalah asal usul pendidikan yang mereka terima. Sebab apa yang dihasilkan oleh anak tidak akan pernah terlepas dari didikan orangtua, lingkungan dan juga gerejanya. Oleh karena itu, selain orangtua dan lingkungan, gereja melalui pelayanan Sekolah Minggu juga mengambil peran yang cukup penting dalam membentuk karakter anak pada masa tumbuh kembangnya.
Sekolah Minggu didirikan oleh Robert Raikes.[1] Robert Raikes adalah seorang praktisi yang melihat penyakit sosial yang mengancam kewarasan masyarakat dan memprakarsai tindakan yang dapat mengatasi sebagaian dari masalah tersebut. Ia bukanlah pemikir yang berteori tentang asas pendidikan. Kendati demikian, dalam usahanya mengatasi masalah yang ada di tengah masyarakat, ia memanfaatkan peran pendidikan. Sebab melalui pendidikan, sebagian dari masalah itu akan mampu teratasi. Kebanyakan orang percaya bahwa orang yang berpendidikan akan jauh dari kejahatan karena mereka memiliki pemahaman yang baik akan hal-hal yang baik dan tidak baik. Oleh karena itu, ia berusaha memberikan pendidikan kepada anak sejak usia dini agar anak-anak memiliki pengetahuan sehingga tidak akan jatuh ke dalam masalah kejahatan. Sebab menurut pengamatannya, kebanyakan orang dewasa yang melakukan kejahatan adalah mereka yang tidak memiliki pendidikan. Namun sudah terlambat untuk mengubahnya diusia dewasa lewat perkunjungan. Ia menarik kesimpulan bahwa akhlak orang dewasa tidak akan dapat diperbaiki hanya dengan adanya perkunjungan. Sejak saat itu ia mulai menaruh perhatian terhadap ‘akhlak’ ini yang menurutnya perlu dimuali sejak dini di kalangan angkatan muda. Bersama dengan Pendeta Stock, ia mendirikan Sekolah Minggu bagi anak-anak miskin yang bekerja di pabrik selama enam hari dalam seminggu. Melihat bahwa ternyata Sekolah Minggu itu berjalan baik, ia pun melaporkannya lewat tulisannya lewat surat kabar yang ia kelola dan semakin banyak orang yang ingin anaknya juga mengikuti Sekolah Minggu untuk menghindari kejahatan.
Sekolah Minggu yang pertama diajar oleh ibu rumah tangga yang digaji oleh Raikes. Namun tidak jarang juga ia ikut terlibat dan mengajar anak-anak dengan bantuan alat peraga atau dengan berbagai pertanyaan yang dianggap mampu memupuk dan mengembangkan pemikiran anak. Kurikulumnya terdiri atas Alkitab, pelajaran katekismus dan keterampilan membaca, menulis serta berhitung pada taraf yang sederhana. Sumber-sumber pelajaran mereka disediakan oleh pengajar sebelum ada buku Sekolah Minggu yang diterbitkan. Namun sebelumnya mereka harus diajar untuk berdisiplin terlebih dahulu. Mereka juga diajari menyanyi dan memuji Tuhan. Selain itu, pada hari raya, mereka melayani meja. Perjamuan ini memberi pengalaman baru bagi anak, pemimpin dan juga bagi mereka yang ingin menyampaikan perasaannya kepada anak mereka yang sangat berharga karena mereka bukan lagi endapan masyarakat. Oleh karena itu, hingga kini pelayanan Sekolah Minggu telah menjadi bagian penting dari gereja untuk menjangkau dan melayani anak. Namun sayangnya, ddalam prakteknya di gereja GBKP, anak-anak tidak diajar untuk berdisiplin, semua anak bebas di dalam kelas karena dipengaruhi juga oleh kurangnya tenaga pengajar di kebanyakan gereja GBKP. Selain itu, anak-anak Sekolah Minggu juga tidak melayani meja pada saat hari raya dan tidak pernah diajari untuk menerima perjamuan meski hanya dengan roti dan minuman dengan rasa anggur.
a.      Kurikulum Sekolah Minggu
Peran Sekolah Minggu, baik guru maupun kurikulum (apa yang diajarkan dan bagaimana cara mengajar), sangat menentukan pembentukan dalam diri anak-anak yang dilayaninya. Lois E. LeBar mendefinisikan kurikulum sebagai aktivitas yang direncanakan dengan baik untuk membawa anak-anak selangkah lebih dewasa dalam Kristus. Aktivitas yang dirancang untuk menghubungkan kehidupan anak dengan firman Tuhan dan menghadirkan firman Tuhan sebagai Roti Hidup dalam kehidupan nyata yang dialami oleh anak-anak akan menolong pertumbuhan mereka semakin menjadi seperti Kristus yang merupakan inti dari sebuah kurikulum Sekolah Minggu.
Kurikulum adalah hasil implementasi dari pertimbangan pemikiran yang dimiliki oleh pengajar Kristen untuk diaplikasikan secara praksis.[2] Oleh karena itu, pertimbangan-pertimbangan dalam membuat, mengimplementasi, serta mengevaluasi kurikulum tersebut sangatlah penting.
Setidaknya ada 6 definisi kurikulum yang dimuat di dalam buku Pazmino :
-          Kurikulum sebagai isi yang tersedia (content made available) untuk para siswa (Dwayne F. Huebner)
-          Kurikulum sebagai perencanaan dan pengalaman belajar yang terarah dari para siswa (John Dewey)
-          Kurikulum sebagai pengalaman aktual dari para siswa atau partisipan (Alice Miel)
-          Secara umum, kurikulum termasuk material dan pengalaman dalam belajar. Secara spesifik, kurikulum adalah rangkaian pelajaran yang tertulis untuk belajar yang digunakan oleh edukasi Kristen. Kurikulum sebagai organisasi dari kegiatan belajar yang diarahkan oleh guru dan bertujuan akan adanya perubahan perilaku (Lois E. LeBar)
-          Kurikulum sebagai isi yang tersedia (content made available) untuk para siswa dan pengalaman belajar aktual mereka yang dibimbing oleh guru (Robert W. Pazmino)

Tantangan dalam membuat kurikulum adalah untuk menyatukan baik isi dan pengalaman Kristiani sehingga pikiran dan kehidupan siswa dipengaruhi dan diubah oleh kebenaran Tuhan. Lois E. LeBar berpendapat bahwa isi kekristenan tanpa pengalaman adalah hampa dan pengalaman tanpa isi adalah kebutaan.[3] Isi yang esensial dari pengajaran Kristiani adalah kebenaran – kebenaran sebagaimana diungkapkan / diwahyukan oleh Kristus dan dalam Alkitab melalui bimbingan roh kudus, dan kebenaran yang berbeda-beda dalam setiap ciptaan-Nya.
Agar dapat menggabungkan baik isi maupun pengalaman tersebut, pengajar Kristen dituntut untuk memperhatikan baik kebenaran dan kasih dalam pengajaran mereka dan pengalaman yang dialami oleh murid-muridnya. Guru dituntut untuk memperhatikan setiap muridnya yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, memperhatikan hal yang mereka bagikan kepada muridnya dan mengungkapkan potensi transformatif dalam kehidupan muridnya, dan untuk memperhatikan konteks di mana murid tersebut hidup, termasuk komunitas mereka dan dunia yang merefleksikan kasih Allah pada seluruh ciptaan-Nya.
Kurikulum Sekolah Minggu yang hidup tidak sekadar memberikan pengetahuan tentang Alkitab kepada anak-anak, namun membiarkan anak-anak menikmati firman Tuhan sebagai Air Hidup dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain, anak-anak tidak hanya belajar dari tulisan yang tertera, tapi belajar dari mengalaminya dalam kehidupan yang nyata. Oleh karena itu, kurikulum Sekolah Minggu perlu dirancang secara lengkap dan tepat untuk dapat dipakai sebagai alat mengajar anak-anak agar bertumbuh optimal di dalam rencana Allah. Di dalam Pendidikan Kristen, ada 4 pengalaman penting yaitu nyanyian rohani, doa pembendaharaan gereja, peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus, tabiat Allah yang diejahwantahkan dalam segala ciptaanNya, dan bimbingan untuk menang atas kesulitan. Akan tetapi dari keempat pengalaman ini, nyanyian dan doalah yang paling baik mewakili iman seseorang yang tidak dapat dijelaskan dengan nyata.[4] Di dalam pengajaran kurikulum ini, pendidik memiliki peran yang penting dalam menyampaikan pesan kurikulum. Selain itu, berhasil atau tidaknya pendidikan juga bergantung pada pendidiknya. Terkait dengan kurikulum yang akan diajarkan oleh pendidik, Jean Jacques Rousseau menekankan bahwa pendidik harus memperhatikan dan mendengar anak didik sebagaimana ia ada, apa kebutuhannya, keinginannya, kemampuan dan minatnya sesuai dengan umur mereka.[5] Mereka berhak mendapat pendidikan sesuai dengan umur mereka, bukan menurut sifat yang sesuai dan berlaku bagi orang dewasa. Namun karena pendidikan adalah sesuatu yang dapat membebaskan atau memerdekakan seseorang (Paulo Friere), maka pendidik dalam menyampaikan kurikulum harus menggunakan metode dan teori yang cukup menarik sehingga tujuan kurikulum tersebut dapat tercapai. (Kurikulum Sekolah Minggu GBKP yang diperoleh penulis ada di lampiran).

b.      Peranan Guru Sekolah Minggu
Pendidikan pada masa kanak-kanak sangat membutuhkan peran seorang guru. Guru dituntut untuk membantu mengembangkan diri anak baik potensi, bakat, intelektual, dsb. Seorang guru juga harus memiliki pengalaman dan harus berkompetensi dalam bidangnya. Guru sebaiknya mempersiapkan atau merencanakan program belajar yang akan diterapkan dalam kelas, akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah program belajar harus disesuaikan dengan keadaan anak. Pendidik yang dibutuhkan di masyarakat adalah pendidik yang berbakat dan mampu mengembangkan bakatnya. Akan tetapi yang paling terpenting adalah, bagaimana seorang guru melaksanakan panggilannya menjadi pendidik yang bermutu. Ada beberapa metode yang dapat diterapkan oleh pendidik Sekolah Minggu berdasarkan metode  Froebel.[6]
a.      Berdoa, menjadi metode utama yang digunakan untuk mengembangkan perasaan keagamaan dalam diri anak sehingga anak dapat menjadikan agama sebagai pengalaman dalam hidupnya.
b.      Percakapan, metode ini membantu menghubungkan guru dan anak menghubungkan sumber iman dengan keadaan tertentu yang timbul dari pengalaman belajar.
c.       Menghafalkan, metode ini digunakan untuk memperkuat pengetahuan yang diperoleh.
d.      Mengucapkan jawaban secara bersama
e.      Bermain
f.        Swakaji (bermain, bernyanyi, menggambar, memelihara tanaman/binatang kecil/ dan beranjangsana, kesinambungan)
g.      Meninjau dan memeriksa
h.      Pelaporan
i.        Bertanya, metode ini digunakan untuk menguji anak akan pengetahuan yang ia peroleh dan juga mengantarkan akan kepada pengetahuan yang baru, dalam hal menggambarkan hubungan-hubungan untuk menjernihkan pengertian dan untuk menggolongkan pengetahuan agar lebih mudah diingat.
j.        Mengajar berdasarkan pola-pola, merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengajarkan tata bahasa selain itu juga dengan metode ini anak terdorong untuk mencari pola-pola yang terlihat dalam benda maupun bahan.
k.       Bercerita
l.        Latihan dan ulangan, dengan metode ini anak akan terdorong untuk mengingat kembali pengetahuan yang sebelumnya sudah diperoleh.
Oleh karena itu, sebelum menjadi seorang pengajar Sekolah Minggu, seharusnya pendidik harus terlebih dahulu mendapat pelatihan agar ia mampu menjadi seorang pengajar yang baik. Namun pada kenyataannya, masih ada sebagian Sekolah Minggu yang memiliki pendidik yang belum memahami bagaimana seharusnya mendidik anak Sekolah Minggu malah dijadikan sebagai pendidik Sekolah Minggu. Sebagian dari mereka masih ada yang belum memahami kurikulum apa yang harus diajarkan. Namun karena keterbatasan gereja dan kurangnya tenaga pendidikan, maka hal yang demikian dianggap lumrah dan dijadikan wajar.
Penulis membandingkan tenaga pendidik Sekolah Minggu di GBKP Pasar Minggu, Jakarta Selatan dengan pendidik Sekolah Minggu di GBKP Kabanjahe Kota, Kabanjahe. Sekolah Minggu di GBKP Kabanjahe Kota memang memberdayakan pemuda dan pemudi untuk menjadi tenaga pendidik Sekolah Minggu namun dengan pelatihan khusus yang diberikan oleh pihak gereja sebelumnya. Sementara di Sekolah Minggu GBKP Pasar Minggu, yang menjadi pendidik Sekolah Minggu adalah istri dari penetua atau diaken gereja.  Semua anak dari berbagai tingkat usia diajar oleh kaum ibu sama seperti zaman Robert Raikes. Tidak dapat dipungkiri juga memang bahwa pada kenyataannya kaum ibu yang lebih dewasa daripada pemuda dan pemudi tersebut lebih dapat memahami anak-anak karena mereka juga memiliki anak. Namun setidaknya pemuda dan pemudi tersebut telah mendapat pelatihan yang juga memampukan mereka untuk mengajar sementara kaum ibu tersebut hanya berpedoman pada kurikulum yang dibukukan saja tanpa ada pelatihan.
c.       Anak Sekolah Minggu
Penyampaian kurikulum pengajaran yang kurang tepat sering mengakibatkan alasan dan makna teologis di dalam proses Pendidikan Kristen sangat sulit untuk diterima anak. oleh karena itu dibutuhkan teori dan metode dalam pengajaran tersebut. Pendidikan agama membutuhkan teori karena membantu seseorang melihat fenomena-fenomena yang terjadi disekitarnya melalui sudut pandang agama. Teori bukan sekadar abstraksi dari praktek karena dalam arti yang paling mendasar dari teori tersebut muncul dari praktek. Teori adalah cara menggunakan pikiran dan imajinasi secara kreatif dan konstruktif. Dengan adanya teori, kita mampu memahami sesuatu yang relevan, apa yang sebenarnya ingin kita cari dan ingin kita pahami. Sehingga melalui teori kita mampu memaknainya. Namun tidak semua teori dapat kita jadikan pedoman dalam pendidikan agama. Kita harus memilihnya juga, mana teori untuk mendengar dan mana teori untuk memberi instruksi. Hal itu jugalah yang menyebabkan adanya kurikulum dalam pengajaran. Salah satu isu abadi yang diungkapkan oleh Yohanes Amos Comenius adalah soal kurikulum. Menurutnya, kurikulum berfungsi sebagai tatanan pelajaran yang berisi tentang rencana pembelajaran dengan pokok pembelajaran yang sudah ditentukan karena pokok yang diajarkan pada setiap tingkat  berbeda-beda tingkat kesulitannya sesuai dengan umur pelajar.[7] Oleh karena itu, sebelum mengajarkan teori berdasarkan kurikulum yang telah diatur, sebaiknya pendidik harus terlebih dahulu mengerti mengenai anak yang akan ia didik berdasarkan usianya.[8]
·         Usia 2-3 tahun
Secara Emosi:
Anak pada usia ini dalam tahap pengenalan dan penyesuaian diri dengan lingkungannya sehingga masih sulit untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang atau lingkungan di luar rumah. Mereka cenderung ingin memiliki privacy. Selalu menyama-nyamakan keadaan dan hal-hal yang ada di rumahnya dengan apa yang ada di lingkungan luar. Guru harus memiliki bahan untuk diajarkan dan gurunya tidak boleh ganti-ganti. Anak pada usia ini paling sering mengungkapkan kata “TIDAK”. Oleh karena itu, jangan melontarkan suatu pertanyaan apapun kepada anak usia ini. Kita harus memberikan pernyataan bukan pertanyaan. Jika kemauannya tidak dituruti maka ia dapat menangis meronta-ronta tidak karuan. Karena mereka merasa mereka tidak dimengerti sehingga mereka menangis sebagai wujud frustrasi. Mereka butuh rasa aman dan nyaman (musik dan suasana ruangan).
Secara Sosial:
Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk berelasi diluar dirinya. Pada usia ini, anak masih bergantung dengan orang lain (makan, mandi, diantar, dijemput). Mereka masih ada perasaan malu-malu karena dipengaruhi oleh faktor emosi. Setiap anak berbeda kebutuhan sosialnya. Mereka egosentris. Semua hal/ benda apapun yang mereka anggap menyenangkan pasti ingin mereka miliki dan sudah mereka anggap sebagai miliknya meskipun bukan miliknya. Jika ia memiliki adik yang baru lahir, maka ia akan merasa cemburu. Menurutnya mamanya hanyalah mamanya sendiri (pengaruh egosentris). Mereka belum merasa penting dan belum mengerti arti suatu persaingan dan rasa bersaing. Mereka cenderung suka bermain sendiri, meskipun mereka bermain dengan beberapa anak, tapi mereka cenderung merasa bahwa mereka sedang bermain sendiri. Mereka juga memiliki teman imajiner. Mereka berimajinasi bahwa mereka memiliki teman meskipun mereka sedang bermain sendiri. Secara sosial, mereka suka diperhatikan. Sehingga mereka suka menarik perhatian dengan cara yang terkadang tidak terpuji, misalnya mereka melakukan suatu kenakalan. Untuk lepas dari ketergantunagn yang sesaat, mereka harus diberi kegiatan dan kesibukan, sehingga mereka tidak terus menerus mengekori kita dan kita juga dapat melanjutkan aktifitas kita.
Secara Spiritualitas:
Mereka belum tahu siapa itu Tuhan, gereja, dan hal-hal yang di luar dirinya. Kita mengenalkan Tuhan kepada anak-anak melalui kedekatan relasi (bermain, bercakap-cakap, beraktifitas dengan mereka). Sehingga saat kita memperkenalkan Tuhan kepada mereka, mereka sudah mampu menilai dan membandingkan/ menyamakan karakter kita dengan karakter Tuhan (ibu menemaninya saat sakit, Ayah yang menyanyanginya). Oleh karena itu, orang tua sangat berperan penting dalam pertumbuhan spiritualitas anak.
·         Usia 4-5 thn
Secara Emosi:
Rasa takutnya masih besar tapi sudah sedikit berkurang. Artinya mereka sudah dapat berpikir lebih baik. Mulai muncul sikap iri hati. Mereka juga sudah memiliki kontrol saat mereka menangis. Mereka tidak menangis sambil berguling-guling atau hanya menangis sebentar. Namun saat mereka marah mereka juga suka menangis. Oleh sebab itu, ajak mereka bercerita untuk menenangkan hati mereka. Pendekatan yang tepat untuk mereka adalah komunikasi yang baik. Kita tidak memaksakan kehendak kita kepada mereka, melainkan demokratis. Sebab mereka juga butuh dihargai.
Secara Sosial:
Mereka memiliki egosentris yang tinggi namun jauh lebih baik, karena mereka sudah mulai berani untuk mengungkapkannya. Mereka jauh lebih ramah karena sudah mampu beradaptasi, mereka sudah memiliki teman yang akrab dengan mereka. Mereka mulai aktif dan berani bernyanyi. Sikap beopada usia ini masih ada. Anak pada usia ini suka dengan pujian (kata-kata, hadiah, pelukan). Pada usia ini, Seks Education sudah dapat mulai diberitahukan.
Secara Spiritualitas:
Mereka mulai merasa akrab dan mengenal orang lain. Mereka sudah memiliki unsur percaya. Percaya kepada orang tuanya, gurunya, dan temannya. Mulai dapat membedakan mana hal yang baik dan mana yang tidak baik. Mereka merekamnya dalam memorinya. Mereka mulai menanyakan tentang kematian. Mereka sudah mulai mengikuti ibadah, berdoa, dan membaca Alkitab.
·         Usia 6-8 thn
Secara Emosi:
Mereka mudah untuk bersemangat karena otot kecilnya sedang aktif. Kegiatan melompat, bermain tali merupakan kegiatan yang dapat menyalurkan semangat mereka. Anak pada usia ini sangat mudah perasaannya terganggu (contoh: jika dikatakan akan pergi ke suatu tempat, mereka akan mempersiapkannya sejak awal). Mereka cenderung menolak perintah orang tua, kadang menolak kadang menunda. Mereka tidak sabaran dan suka emosi. Hatinya masih penuh rasa takut. Takut ditinggal ketika jalan di mall tetapi mereka juga ingin diakui sebagai anak yang sudah tumbuh besar yang berani meski kadang masih takut-takut (gengsinya tinggi). Sangat mudah kasihan dan suka memberi.Oleh karena itu, harus ada inisiatif dari pembina.

Secara Sosial:
Secara sosial mereka ingin bertemu dengan anak seusianya dan tidak ada masalah soal gender (mereka bermain tanpa memandang gender). Mereka akan menggunakan istilah tersendiri sebagai panggilan keakraban. Suka berbicara/bercerita terutama mengenai apa yang ia alami dan apa yang ia miliki (suka pamer). Mereka cenderung ingin didengarkan daripada ingin mendengarkan orang lain. Ingin bersahabat dengan anak sebaya meskipun ada guru ataupun orang tuanya. Sebaiknya orang tua harus memilih teman bagi anaknya. Komunitas di dalam gereja (Sekolah Minggu) sangat membantu. Mereka sangat ingin menjadi anak besar, sehingga mereka sangat suka meniru cara berpakaian orang tua, mulai ingin seperti orang dewasa. Mereka belum menyukai pertandingan yang bersifat persaingan (hanya pertandingan bukan bersaing, karena ini adalah usia kelompok). Mereka mengganggap pertandingan hanya sebuah komunitas kelompok bukan komunitas persaingan. Egosentrisme anak ini sudah mulai berkurang dan ada sifat untuk saling berbagi. Orang tua harus memberi pujian tapi bukan pujian yang palsu.
Secara Spiritualitas:
Secara spiritual mereka sangat suka sekali pergi ke Sekolah Minggu. Mereka mudah bekerja sama, mudah berkelompok. Pengenalan akan konsep Tuhan semakin jelas. Yesus dianggap sebagai sahabatnya. Mereka sudah mulai mengerti arti doa. Mulai muncul banyak pertanyaannya tentang surga dan tentang kematian. Sangat berusaha untuk menjadi anak yang baik.
·         Usia 9-11 thn (usia terakhir kanak-kanak)
Secara Emosi:
Secara emosi, rasa takutnya sudah berkurang. Mereka sudah mampu mengatasi emosinya dengan lebih baik sehingga mereka sudah dapat menyesuaikan diri. Pembina bukan menjadi guru yang selalu memandu tetapi sebagai seorang pembimbing yang dapat dijadikan teman. Emosi mereka akan terlihat pada saat marah (mereka akan berkelahi, bertengkar mulut) namun pada usia ini mereka juga sudah tahu humor.

Secara Sosial:
Mereka semakin mandiri. Mereka ingin bermain dengan temannya tanpa diikuti oleh orangtua, pembantu ataupun adiknya sendiri. Mereka merasa malu ketika diantar ataupun dijemput meski cenderung masih butuh. Meski mereka menolak kehadiran orangtua namun karena masih butuh peran orangtua, mereka cenderung berteman dengan orang yang lebih tua dari dirinya. Ini adalah awal dari kehidupan ‘GANG’. Sementara itu, minat pada lawan jenis belum terlihat. Mereka masih bermain bersama (perempuan dan laki-laki tidak dibedakan). Mereka sangat memuja tokoh-tokoh. Misalnya tokoh olahraga, atau artis favorit mereka.
Secara Spiritualitas:
Mereka sangat saleh. Mereka sudah mulai tahu mana yang baik dan mana yang buruk (dosa). Penyampaian firman dapat dengan diskusi. Sudah mulai memperhatikan kelengkapan ibadah mereka, misalnya Alkitab sendiri atau buku nyanyian sendiri.

Memperhatikan pendidikan anak sesuai dengan usia mereka memang penting. Namun selain menyesuaikan kebutuhan anak berdasarkan usia mereka, para guru Sekolah Minggu juga harus dapat menyesuaikan Pendidikan Kristen yang akan mereka ajarkan kepada anak-anak berdasarkan kebutuhan perkembangan anak.

Tabel: KERANGKA PERKEMBANGAN MANUSIA oleh Ruth Kadarmanto – dari berbagai sumber.
USIA
PERKEMBANGAN BERPIKIR
Piaget
PERKEMBANGAN MORAL
Kohlberg
PERKEMBANGAN IMAN/RELASI
Fowler
PERKEMBANGAN SOSIAL/MENGENAL DIRI
Erikson
KEBUTUHAN UTAMA UNTUK DIPENUHI
0-2 tahun
Anak belajar melalui “perasaannya”: dengan menghisap, melihat,  mendengar, memegang, dan bergerak
Dimulainya kesadaran diterima atau ditolak oleh orang lain.
Ketergantungan penuh pada orangtuanya/ orang yang dekat dengannya.
Relasi sangat dekat dengan kedua orangtuanya/ orang yang merawatnya.
Pemeliharaan secara jasmani yang maksimal. Membutuhkan rasa aman, kasih sayang yang hangat dan kebuutuhan ruang untuk bergerak dengan bebas.
3-5 tahun
Anak berpikir melalui perasaan. Ia percaya pada apapun yang ia lihat sebagai kenyataan yang sebenarnya. Anak pada usia ini suka berimajinasi.
Ukuran “yang benar” adalah apa yang mereka suka.
Anak percaya pada apa yang dipercayai oleh orangtuanya.
Egonya sangat besar. Segala sesuatu yang ia sukai adalah miliknya. Mulai memiliki inisiatif.
Kebutuhan untuk bermain. Membutuhkan gambaran positif tentang Tuhan. Membutuhkan pertolongan agar ia melihat hal yang salah dan yang benar menurut orangtuanya.
Kelas 1-3
Anak berpikir secara logis sesuai dengan kenyataannya. Percaya pada apapun yang ia lihat.
Mulai mengembangkan rasa “keadilan” secara nyata.
Anak mulai memahami bahwa gereja adalah tempat yang aman baginya dimana ia diterima sebagai bagian dari persekutuan.
Mengembangkan pergaulan dengan teman-temannya. Belajar bekerja sama dalam kelompok.
Butuh pertolongan agar ia merasa diterima di gereja. Membutuhkan permainan di dalam kelompok. beri kesempatan agar ia dapat melakukan sesuatu.
Kelas 4-6
Anak mengembangkan kecerdasan secara verbal. Mengembangkan ketrampilan berkata-kata.
Melanjutkan perkembangan rasa “keadilan”.
Puncak dari penyerapan dan kesungguhan belajar. Mulai tertarik pada lawan jenisnya.
Puncak dari penyerapan dan kesungguhan belajar. Mulai tertarik pada lawan jenisnya.
Membutuhkan pertolongan agar ia merasa diterima di gereja. Membutuhkan kegiatan aktif partisipatif di dalam kelompok. Beri kesempatan melakukan kegiatan bersama-sama.
SMP
Bila berpikir mulai mengerti konsep yang abstrak.
Sedang mengamati perilaku moral dari orang-orang tertentu yang bilamana ia suka maka mereka akan menjadikannya sebagai idola.
Memberi perhatian khusus kepada orang lain diluar keluarga dan gerejanya.
Mencari identitas dirinya sendiri. “Siapakah saya?”. Memasuki usia pubertas. Umumnya mereka memiliki sahabat khusus.
Jadilah teman yang baik bagi mereka. arahkan sikap yang positif terhadap seksualitas. Butuh kegiatan yang dapat memahami iman Kristen mereka.
SMA
Mencari hubungan antara pemahaman konsep yang abstrak dan yang konkrit (nyata), yakni hubungan antara isi Kitab Suci dengan kehidupannya sehari-hari.
Mengembangkan pemahaman: “penghakiman”, “masalah nilai”, “perilaku yang diterima”.
Baginya gereja sudah dipahami dengan baik sehingga ia siap untuk giat pada lingkungannya yang lebih luas.
Masih melanjutkan upaya mencari idenitas dirinya. Khususnya memikirkan: siapa orang yang dapat saya percaya, Allah yang mana bagi saya, teman hidup yang bagaimana, apa tujuan hidup saya.
Perlu pendampingan agar mereka dapat menggumuli secara bersama-sama iman Kristiani yang sedang dicarinya itu.
Pemuda
Berpikir berdasarkan logika. Mampu memahami konsep yang abstrak.
Luas dan variasi lingkungannya sangat menentukan pikiran. Menghadapi tantangan untuk mengambil keputusan moral yang semakin sulit dan kompleks.
Menghadapi pergumulan utama:
“Apa yang baik bagi saya?”
Kebutuhan akan ikatan yang mendalam dengan lawan jenis/ juga teman hidup. Perhatian terpusat pada tujuan hidup masa depan. Apa pekerjaan saya? Siapa teman hidup saya? Yang mana gereja saya?
Membutuhkan hubungan khusus secara pribadi yang bersedia mendengarnya. Membutuhkan pastoral secara pribadi dalam perkembangan rohaninya.
Dewasa
Berpikir berdasarkan logika. Mampu memahami konsep yang abstrak.
Melanjutkan kemampuan mengambil keputusan moral yang baik.
Mencari makna hidup agar lebih berarti. Hidup ini adalah pemberian/ karunia indah dari Tuhan. Menemukan iman Kristiani dalam bentuk pengalaman-pengalaman yang baru.
Sangat memberi perhatian kepada generasi penerus. Menghargai hidup orang lain, keluarga dan karir.
Banyak perubahan dalam masalah fisik/ kesehatan-memerlukan pertolongan. Mereka sadar akan tanggung jawabnya terhadap pembinaan.

d.        Lingkungan
Setidaknya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan demi keberlangsungan pendidikan yang baik, yakni lingkungan belajar yang nyaman dan aman, menjadikan sekolah sebagai rumah kedua, dan adanya komunitas teman sebaya. Berbicara soal lingkungan, kita tidak boleh hanya terpaku pada lingkungan yang nyaman menurut kita (sebagai orang tua). Tetapi kita harus membuat lingkungan itu juga nyaman bagi anak, sebab lingkungan mengambil peran yang cukup penting dalam tumbuh kembang anak. Lingkungan akan mengajari banyak hal kepada anak dan anak akan belajar banyak hal dari lingkungannya.
Lingkungan yang diteliti oleh penulis adalah GBKP Pasar Minggu, Jakarta Selatan yang kemudian dibandingkan dengan GBKP Kabanjahe Kota, Kabanjahe. GBKP Kabanjahe Kota yang berada di Kabanjahe berlokasi tidak jauh dari kantor sinode GBKP yang merupakan pusat dari segala sesuatu yang berhubungan dengan pelayanan GBKP. Oleh karena itu, segala informasi mengenai perubahan, kemajuan dan perkembangan yang berhubungan dengan GBKP akan lebih dahulu diperoleh oleh GBKP Kabanjahe Kota daripada GBKP Pasar Minggu yang berada di Jakarta, yang berada jauh dari Kabanjahe. Selain itu, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis terhadap kedua gereja GBKP tersebut, penulis melihat bahwa anak-anak Sekolah Minggu Pasar Minggu jelas tidak seberuntung anak-anak GBKP Kabanjahe Kota yang memiliki gedung sendiri untuk beribadah. Kendati gedung memang tidak terlalu penting melainkan hati untuk beribadahlah yang terpenting, namun lingkungan yang tetap dan tidak berpindah-pindah dapat membuat anak-anak Sekolah Minggu nyaman untuk beribadah sehingga mampu menyerap dengan baik apa yang diajarkan. Anak-anak Sekolah Minggu di GBKP Pasar Minggu tidak memiliki ruangan sendiri untuk beribadah karena mereka belum memiliki gedung gereja sendiri. Oleh karena itu, ketika beribadah mereka harus digabung dalam satu ruangan tanpa dibagi dan dipisahkan berdasarkan usia mereka, meski seharusnya mereka diajar dengan kurikulum yang berbeda sesuai umur mereka.

Penutup
Melakukan pendidikan agama dengan baik adalah sebuah tantangan yang paling sukar, terlebih apabila pendidikan tersebut diajarkan kepada anak-anak. Anak-anak ibarat kertas putih dan siap menerima tinta dari kita, jika kita salah menggorekan kuas pengetahuan di atas kertas putih tersebut, maka kertas tersebut tidak akan memiliki makna kecuali terlihat penuh coretan. Anak-anak siap menerima setiap perkataan dan perbuatan dari kita sebagai sebuah pelajaran. Oleh karena itu, sebelum mengajarkan sesuatu kepada anak-anak, kita seharusnya sudah memiliki konsep dan rencana (apa yang ingin kita ajarkan kepada mereka). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis terhadap gereja GBKP Pasar Minggu dan GBKP Kabanjahe Kota, penulis beranggapan bahwa proses Pendidikan Kristen belum sepenuhnya tercapai oleh gereja GBKP. Hal ini terlihat dari kurangnya pemahaman warga jemaat, pendeta, penetua, dan diaken saat ditanyai perihal hal-hal apa saja yang menjadi Pendidikan Kristen di GBKP. Selain itu, Sekolah Minggu yang ada di sebagian GBKP (misalnya seperti Sekolah Minggu yang ada di GBKP Pasar Minggu tersebut) seolah mengalami kemunduran. Hal ini terlihat dari semakin berkurangnya anak-anak yang menghadiri kelas Sekolah Minggu. Jika diteliti lebih lanjut, selain faktor lingkungan dan lokasi tempat mereka untuk beribadah yang memang tidak ada disediakan (tidak ada ruangan khusus bagi anak-anak Sekolah Minggu), peran orangtua dalam mengajak anak-anaknya untuk beribadah di gereja juga semakin menurun. Peran guru Sekolah Minggu yang tidak kreatif dan menyamaratakan semua murid-muridnya (bahan bacaan dan metode mengajar/kurikulum) mungkin dapat mengakibatkan anak-anak merasa tidak tertarik, bosan, atau tidak sesuai dengan usia mereka. Oleh karena itu, seharusnya orangtua, guru, dan lingkungan juga harus diajarkan mengenai Pendidikan Kristen ini. Sebab bagaimana kita dapat mendidik anak-anak kita mengenai Pendidikan Kristen tersebut jika kita sendiri sama sekali tidak mengerti apa dan bagaimana Pendidikan Kristen tersebut. Oleh sebab itu, usul yang dapat saya berikan adalah kiranya ada kegiatan dari gereja yang dapat membekali orangtua dan guru gereja terkait Pendidikan Kristen ini sehingga kemudian kita dapat bersama-sama mengajarkan Pendidikan Kristen kepada anak-anak. Karena tidak mungkin seorang yang buta dapat menuntun orang buta lainnya. Keduanya akan sama-sama tersesat bahkan terjatuh. Kita tidak akan mungkin mampu mengajarkan apa-apa ketika kita tidak mengetahui apa-apa.





Daftar Pustaka


Boehlke. Robert R.. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari
Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2009.
Crump Miller, Randolph. Christian Nurture and the Church. New York: Charles Scribner’s Sons,
1961.
Hurlok, Elizabeth B.. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga, 1980.
LeBar, Lois E.. “Curriculum,”  in An Introduction to Evangelical Christian Education. Chicago:
Moody, 1964.
Pazmino, Robert W.. Foundational Issues in Christian Education. Grand Rapids: Baker Academic,
2008.



[1] Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 384.
[2] Robert W. Pazmino, Foundational Issues in Christian Education, (Grand Rapids: Baker Academic, 2008), 231-232.
[3] Lois E. LeBar, “Curriculum,”  in An Introduction to Evangelical Christian Education, (Chicago: Moody, 1964), 89.
[4] Randolph Crump Miller, Christian Nurture and the Church, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1961), 188.
[5] Ibiid, Robert R. Boehlke, 125.
[6] Opcit, Robert R. Boehlke, 354-358.
[7] Opcit, Robert R. Boehlke, 66.
[8] Elizabeth B. Hurlok, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1980), 108-179.

1 komentar:

  1. Judul dan isi paper tidak sinkron dan cenderung berwacana tanpa fundamental yang jelas dan konkret.

    BalasHapus