“Mengilas Balik untuk Terus Melangkah ke Depan”[1]
Pendahuluan
Masa
tua yang terjadi pada
setiap orang memiliki berbagai macam penyambutan. Ada individu yang memang
sudah mempersiapkan segalanya bagi hidupnya di masa tua, namun ada juga
individu yang merasa terbebani atau merasa cemas ketika mereka beranjak tua. Mereka takut ditinggalkan oleh
keluarga, takut merasa disisihkan
dan takut akan rasa kesepian yang akan datang. Oleh karena
itu, keberadaan lingkungan keluarga dan sosial yang
menerima lanjut usia
akan memberikan kontribusi positif bagi
perkembangan sosio-emosional mereka,
namun apabila lingkungan keluarga
dan sosial menolaknya atau tidak memberikan ruang hidup atau ruang interaksi
bagi mereka,
maka akan memberikan dampak yang negatif bagi
kelangsungan hidup para lanjut usia.
Secara
umum, ada dua sikap yang muncul pada lanjut usia
dalam meniti kehidupannya.[2]
Pertama, sikap menerima dengan
wajar melalui kesadaran yang mendalam.
Kedua, menolak datangnya masa tua. Kelompok ini tidak mau
menerima realitas yang ada. Hal ini
juga erat hubungannya dengan bagaimana seseorang dalam usia yang sangat matang
memandang dan memaknai kehidupan dalam masa pensiunnya. Melalui paper ini,
kelompok berusaha memaparkan masa pensiun di usia lanjut dan ritus pensiun,
dalam hal ini ritus emeritasi pendeta yang dipraktikkan oleh Gereja Kristen
Indonesia (GKI).
Usia Lanjut sebagai Usia Agung
Usia
lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari usia 60-an tahun sampai akhir
kehidupan. Usia lanjut merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua
orang akan mengalami proses menjadi tua, dan masa tua merupakan masa hidup
manusia yang terakhir. Pada
masa ini sedikit demi sedikit seseorang
akan mengalami kemunduran
fisik, mental dan sosial,
sehingga cenderung tidak
dapat melakukan tugasnya sehari-hari sebagaimana
biasanya. Namun di sisi lain, usia lanjut merupakan usia agung yang penuh keemasan
karena dianggap usia yang penuh pengalaman. Menurut
Hurlock terdapat beberapa ciri-ciri orang lanjut usia, yaitu :[3]
1.
Usia lanjut merupakan
periode kemunduran
Kemunduran
pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan psikologis. Dalam upaya mencegah terjadinya kemunduran yang lebih
cepat, dibutuhkanlah motivasi dari orang-orang yang ada di sekitarnya.
2. Orang
lanjut usia memiliki status kelompok minoritas
Lansia
memiliki status kelompok minoritas karena akibat dari sikap sosial yang tidak
menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan diperkuat oleh pendapat-pendapat klise
yang jelek terhadap mereka.
Pendapat-pendapat klise itu seperti : lansia lebih senang mempertahankan
pendapatnya daripada mendengarkan pendapat orang lain, lansia mulai melemah sehingga tidak ada lagi
kesempatan kerja yang terbuka bagi mereka.
3.
Menua membutuhkan
perubahan peran
Perubahan
peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segala
hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan
sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan.
Selain ketiga hal di atas, kesepian
merupakan masalah umum yang dihadapi oleh lanjut usia.
Manusia
yang sudah mencapai lanjut usia mempunyai beberapa kebutuhan, di antaranya:
pendidikan secara holistik; dorongan untuk melampaui rasa kehilangan yang dapat
membuat hidup mereka lebih bermakna lagi; serta pemahaman spiritualitas mereka tentang kekosongan dan kepasrahan. Orang lanjut usia
biasanya sangat memerlukan kasih sayang dari lingkup kerabat maupun lingkungan
keluarga terdekatnya.[4]
Pensiun
Pensiun biasanya selalu menyangkut perubahan peran,
perubahan keinginan dan nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola
hidup setiap individu. Untuk menunjukkan seberapa luas perubahan itu terjadi,
sebuah ringkasan dibuat oleh Gordon sebagai berikut :[5]
Pensiun adalah…
… bukan memasang jam weker
… mengaktifkan kembali kartu perpustakaan Anda
… memulai karir kedua---apabila ada yang memerlukan
Anda
… mengagumi seberapa jauh Anda dapat terus bertahan
apabila terjadi inflasi
… meninggalkan pakaian resmi
… mengajak cucu ke tempat-tempat hiburan di akhir
minggu
… kecewa mengapa kolega Anda tidak pernah menelpon
Anda lagi
… menunggu tukang pos siapa tahu dia membawa kabar
sukacita bagi Anda
… mengikuti kursus yang Anda ingini, sebagai pengganti
kerja
… membaca buku sampai habis dengan sekali duduk
… berpergian dengan bis, nonton film, dan menginap di
hotel
… berpergian di luar musim libur
… istirahat sebagai masa tua
… menghadiri setiap undangan dengan sukarela
… membaca seluruh isi surat kabar sampai habis
… mencari berita kematian di kolom dukacita dan merasa
bahagia karena nama Anda tidak tercantum
… semakin mengenal para tetangga
… mencoba berbuat sesuatu yang terbaik dalam sisa
hidupnya
… antisipasi yang diikuti dengan tiadanya lagi hak,
hambatan, dan isntitusionalisasi atau sebaliknya, antisipasi yang diikuti
dengan partisipasi, rekreasi dan kegembiraan yang meluap-luap.
Pensiun dapat saja berupa sukarela atau kewajiban yang
terjadi secara reguler atau lebih awal. Beberapa pekerja menjalani masa pensiun
secara sukarela, seringkali sebelum masa usia pensiun wajib. Hal ini mereka
lakukan karena alasan kesehatan atau keinginan untuk menghabiskan sisa hidupnya
dengan melakukan hal-hal yang lebih berarti bagi diri mereka daripada
pekerjaannya. Bagi yang lain, pensiun dilakukan secara terpaksa atau disebut wajib pensiun karena organisasi atau
perusahaan tempat seseorang dipekerjakan itu menetapkan usia tertentu sebagai
batasan seseorang untuk pensiun, tanpa mempertimbangkan apakah mereka senang
atau tidak. Bagi mereka yang cenderung menyukai sikap bekerja tetapi dipaksa
keluar pada usia wajib pensiun (dalam hal ini usia lanjut) seringkali
menunjukkan sikap tidak dapat menerima. Akibatnya motivasi mereka untuk
melakukan penyesuaian diri yang baik pada masa pensiun sangat rendah, cenderung
mengalami kemunduran fisik dan psikologis.[6]
Kemunduran
ini mungkin juga dapat memicu seseorang menderita Post-power
syndrome, yakni gejala yang terjadi di mana penderita hidup dalam bayang-bayang
kebesaran masa lalunya (karirnya, kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya,
atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak dapat memandang realita yang ada
saat ini.[7]
Seperti yang terjadi pada kebanyakan orang pada usia mendekati pensiun ataupun
usia pensiun. Mereka cenderung selalu ingin mengungkapkan betapa begitu bangga
akan masa lalunya yang dilaluinya dengan jerih payah yang luar biasa. Ada
banyak faktor yang menyebabkan terjadinya post-power syndrome.
Pensiun dini dan PHK adalah salah satu dari faktor tersebut. Bila orang yang
mendapatkan pensiun dini tidak bisa menerima keadaan bahwa tenaganya sudah
tidak dipakai lagi, walaupun menurutnya dirinya masih bisa memberi kontribusi
yang signifikan kepada perusahaan, post-power syndrom akan
dengan mudah menyerang.
Peran Gereja terhadap Lanjut Usia (para pensiunan)
Menimbang
bahwa pada masa usia lanjut, manusia mengalami kesepian, maka hal yang dapat
dilakukan gereja sebagai suatu persekutuan adalah dengan memberikan ruang
kepada para lanjut usia untuk menjalin tali persekutuan dengan jemaat dan
Tuhan. Lanjut usia dapat
diberikan tanggung jawab dalam bidang tertentu yang bisa membuat mereka tidak
larut dalam kesepian,
sekaligus menunjang berlangsungnya pelayanan dalam gereja. Namun demikian,
seringkali gereja mengalami kesulitan melakukan hal itu, karena dalam diri
mereka terdapat reaksi untuk menarik diri dari lingkungannya dan menyendiri penuh
kenangan masa lampau.[8]
Dalam hal inilah, gereja berusaha untuk menarik perhatian para usia lanjut ke dalam persekutuan. Di dalam persekutuan,
para lansia juga diberi ruang untuk memperdalam relasi dengan Tuhan. Menurut kelompok, salah satu peran gereja untuk
mendorong para lansia (pensiunan pendeta) terus berkarya dan semangat menjalani
masa tuanya adalah dengan memfasilitasi ritus emeritasi para pendeta. Untuk
itu, kelompok mengambil contoh ritus emeritasi yang dilakukan dalam GKI,
khususnya pada saat emeritasi Pdt Lazarus Hendro Purwanto.
Emeritasi
Pendeta dalam GKI
Kata emeritus berasal dari kata Latin merere, yang berarti memperoleh upah (to
earn), sehingga emeritus bermakna keadaan atau kedudukan yang diperoleh karena
telah merampungkan (masa) tugas. Status emeritus diberikan kepada guru besar
dan rohaniawan Kristen yang telah menyelesaikan masa bakti dan memasuki masa
pensiun. Karena itu, status emeritus mengadung makna ganda, mengakhiri
sekaligus meneruskan tugasnya.[9] Dalam Tata Gereja GKI, seseorang dikatakan
emeritus dengan ketentuan: telah mencapai umur enam puluh tahun (60); karena
sakit, cacat atau karena alasan yang dapat dipertanggungjawabkan tidak dapat
melanjutkan pelayanan kependetaannya. Seorang pendeta emeritus tetap berjabatan
pendeta karena jabatan pendeta berlaku seumur hidup, namun ia tidak lagi
menjadi anggota Majelis Jemaat, Majelis Klasis, Majelis Sinode Wilayah, dan
Majelis Sinode. Seorang pendeta emeritus diperkenanakan utuk bekerja di bidang
lain sejauh pekerjaannya tidak bertentangan dengan iman Kristen dan ajaran GKI.[10]
Dalam ritus emeritasi pendeta, rangkaian acaranya
terdiri dari:
- Ibadah Emeritasi
- Kata-kata Sambutan:
dari Panitia Emeritasi; Badan Pekerja Majelis Sinode GKI; BPMK GKI Klasis
Jakarta 1; Majelis Jemaat GKI Rawamangun; STT J; dll.
- Penyerahan Tanda Kasih
- Foto Bersama
- Ramah Tamah
Liturgi Emeritasi
Pdt. Lazarus Hendro
Purwanto
“Mengilas Balik untuk Terus Melangkah ke Depan”
I.
Jemaat Berhimpun
Votum
Salam
Kata
Pembuka : memaknai bahwa meritasi
dari seorang pendeta bukan titik akhir dari seluruh pelayanan dalam hidupnya,
kebaktian emeritasi ini bertema “Mengilas Balik untuk Terus Melangkah ke Depan.
“Karena itu, marilah mengecamkan bersama Firman Tuhan ini “tetapi syuku kepada
Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan
kita. Karena itu,saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah
dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam
persekutuan dengan Tuhan, jarih payamu tidak sia-sia” (1 Kor. 15:57-58)
Nyanyian
Jemaat
II.
Pelayanan Firman
Doa Pelayanan Firman
Pembacaan Alkitab (Yosua 24: 1-5, 13-18, 25-28)
Khotbah
“Mengilas Balik untuk Terus Melangkah ke Depan”
Saat Hening
Pengakuan Iman
(Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel)
Nyanyian Jemaat
III.
Pelayanan
Emeritasi Pendeta
Pengantar
PL : Kita datang ke hadapan Bapa Yang
Mahakasih dan Mahamurah, untuk mengemiritasikan seorang pendeta dalam gereja
Tuhan.
Dalam
kebaktian emeritasi ini, Pendeta Lazarus Hendro Purwanto, karena telah mencapai
umur yang ditetapkan, yaitu 60 tahun, akan dinyatakan dan diberikan status
sebagai pendeta emeritus GKI.
Pendeta
Lazarus Hendro Purwanto telah tiga puluh tahun enam bulan menjadi pendeta GKI.
Selama kurun waktu itu, bersama dengan umat dan pejabat gerajawi lainnya, oleh
panggilan Allah dalam Kristus dan dengan kuasa Roh Kudus, Pendeta Lazarus
Hendro Purwanto telah memimpin gereja
dalam menjalankan misinya di tengah dunia ini, sebagai peranserta gereja
dalam misi Allah. Ia telah melaksanakan pembangunan Tubuh Kristus. Ia telah
memberitakan Firman Allah serta melayankan sakramen-sakramen Baptisan Kudus dan
Perjamuan Kudus. Ia telah menjadi gembala dan pengajar, berbagi suka dan duka
Jemaat, menghiburkan yang susah, menguatkan yang lemah, membalut yang terluka,
mencari yang terhilang dan yang tersesat, serta menolong yang sakit dan
sekarat. Ia telah menjadi teladan dalam iman, yaitu dalam berjuang untuk
perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan, berjuang untuk keesaan gereja dan
umat manusia, berjuang untuk menanti penggenapan perjanjian Allah.
Pada
hari ini, ketika Pendeta Lazarus Hendro Purwanto dinyatakan dan diberi status
sebagai Pendeta Emeritus GKI, ia akan dibebaskan dari semua jabatan dan fungsi
strukturalnya di dalam Majelis Jemaaat, dan karena itu juga di dalam Majelis
Klasis, Majelis Sinode, dan Majelis Sinode. Namun, tidak berarti ia akan
berhenti sebagai pendeta, karena
jabatannya sebagai pendeta berlaku seumur hidup. Dan dengan demikian,
kehormatannya sebagai seorang pendeta pun akan tetap diperhatikan. Bahkan, sebagai pendeta emeritus, ia akan
terus diberdayakan demi kehidupan dan pelayanan GKI, sesuai dengan kondisi dan
kemampuannya, dan sesuai dengan kebutuhan yang ada pada Jemaat, Klasis, Sinode
Wilayah, dan Sinode.
Doa Syukur
Nyayian Jemaat
Pernyataan Emeritasi
(Pendeta
yang akan diemeritasikan berdiri dan para pendeta lain berdiri mengelilinginya)
PL : Saudara Pendeta Lazarus Hendro
Purwanto, selaku hamba Tuhan Yesus Kristus, saya menyatakan dan memberikan
status sebagai pendeta emeritus
GKI kepada Saudara, dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Amin.
Penyerahan Piagam Emeritasi
(Wakil
Badan Pekerja Majelis Sinode membacakan Piagam Emeritasi lalu menyerahkannya
kepada pendeta yang diemeritasikan)
Doa Syafaat
IV.
Pelayanan Persembahan
Nas Persembahan
Nyanyian Jemaat
Doa Persembahan
V.
Pengutusan
Nyanyian Jemaat
Pengutusan
Berkat
Tanggapan Kelompok
Berdasarkan kebutuhan para usia lanjut, khususnya pemberian
motivasi untuk terus melayani, demi mencegah terjadinya kemunduran yang lebih
cepat; dorongan untuk tidak larut dalam kesepian, serta membuat hidup lebih bermakna, maka
kelompok sangat mendukung praktik emeritasi pendeta sebagai salah satu contoh
ritus pensiun. Dalam ritus ini, nampak bahwa sang pendeta yang diemeritasikan,
diberikan motivasi untuk tetap melanjutkan karyanya, bahkan ia diperkenankan
untuk bekerja dalam bidang lain. Selain itu, dalam ritus emeritasi pendeta,
nampak juga adanya kasih sayang dari lingkup kerabat dan lingkungan keluarga
terdekat sang pendeta. Hal ini nampak dalam kata-kata sambutan, seperti halnya
yang tertuang dalam buku Emeritasi Pendeta Lazarus, yang berjudul Mengilas Balik untuk Terus Melangkah ke
Depan.
Daftar Pustaka
Hurlock, Elizabeth, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta:
Erlangga, 1990
Deeken, Alfons Usia Lanjut,
Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Zakaria J. Ngelow, dalam Mengilas Balik untuk Terus Melangkah ke Depan, Emeritasi Pdt Lazarus H. Purwanto, Jakarta: Panitia Emeritus Pdt Lazarus, 2011.
____, Tager dan Talak GKI,
Jakarta:BPMS GKI, 2009.
Website
[2] Elizabeth
Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 1990), hal, 439.
[7] http://www.suyotohospital.com/index.php?option=com_content&view=article&id=99:memahami-post-power-syndrome&catid=3:artikel&Itemid=2 diunduh
oleh kelompok pada hari Senin, 16 Maret 2012 pukul 16.00 WIB.
[9] Zakaria
J. Ngelow, dalam Mengilas Balik untuk
Terus Melangkah ke Depan, Emeritasi Pdt Lazarus H. Purwanto, (Jakarta: Panitia Emeritus Pdt Lazarus, 2011), hal.
162-163.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar