The Economic Ethics of Christian and Islamic Fundamentalism
1.
Pendahuluan
Munculnya istilah “fundamentalisme”
kembali marak belakangan ini. Melihat banyak pihak yang mengatas-namakan agama
untuk melakukan kekerasan, katanya, adalah tindakan kaum fundamentalis. Pembasmian
kaum yang dianggap sesat atau tidak sesuai dengan ajaran mereka dan penutupan
tempat ibadah, disinyalir sebagai bagian dari pemahaman mereka. Namun bukan
hanya tindak kekerasan saja yang memungkinkan menjadi ajang pertunjukan bagi
kaum fundamentalis ini. Ada banyak aspek yang bisa memberikan ruang bagi para
fundamentalis. Salah satunya adalah sektor ekonomi. Berikut ini kelompok akan
memaparkan pandangan Yahya Wijaya mengenai etika ekonomi dari sisi
fundamentalisme, dari agama Kristen dan Islam yang ada di Indonesia.
2.
Fundamentalisme
Kristen: Dimensi Ekonomi
Fundamentalisme Kristen, menurut James Barr,
terbagi atas tiga golongan yaitu Pentakostal, Karismatik, dan
evangelikal-konservatif. Steve Brouwer melihat Pentakostalisme adalah aliran
yang berpegang teguh pada ketidaksalahan Alkitab dan milenialisme. Dengan pemahaman
ini, maka ada dua golongan fundamentalisme Kristen, yaitu yang berpusat pada
kitab (contoh: Evangelikal-konservatif) dan yang berpusat pada pengalaman
(contoh: Pentakosta dan Karismatik). Tanpa disadari, kedua aliran ini memiliki
keahlian khusus dalam menarik orang-orang dari dunia bisnis dan profesional,
dalam kasus di Indonesia kebanyakan adalah pebisnis dari etnis Tionghoa.
Bahkan, Michael Backman mencatat bahwa bentuk kongregasi fundamentalis berasal
dari para pebisnis dari etnis ini.
Contoh tokoh pebisnis keturunan Chinese di Indonesia adalah Stephen
Tong, pendeta fundamentalis yang bergabung dengan Gereja Reform Injili
Indonesia. Tidak hanya dirinya, tapi juga saudaranya di Bandung juga melakukan
hal yang sama, menarik orang dari ranah ekonomi dan profesional untuk bergabung
dalam gereja mereka. Keluarga Tong sudah dikenal di USA sebagai kaum
fundamentalis. Mereka terlibat aktif dalam pendirian banyak seminari di seluruh
wilayah di dunia, termasuk di Indonesia, salah satunya adalah Southeast Asia Bible Seminary di Malang.
Neo-pentakostalisme dan
evangelikal-konservatif memiliki banyak kesamaan lain, selain keahlian khusus
itu. Mereka sering mengadakan kegiatan gereja di restoran atau ballroom hotel bintang lima. Mereka
memiliki gedung gereja mega-church di
pusat kota dan bergengsi. Tampaklah bagi kita bahwa komunitas dari dua aliran
ini datang dari golongan menengah ke atas (middle-up
class). Ada juga yang disebut dengan FGBMF atau Full Gospel Business Men’s Fellowship. Mereka adalah jaringan
bisnis yang juga mempelopori penyebaran Pentakostalisme di Indonesia. Mereka
aktif dalam kegiatan ministry,
sekaligus jaringan bisnis. Perkumpulan FGBMF ini menjembatani para pebisnis dan
pendeta atau aktivis untuk bergabung dengan mereka. Lagi-lagi, kebanyakan anggotanya
dari etnis Tionghoa. Uniknya, pendeta mereka adalah pengusaha bisnis yang
berbalik dan menjadi pendeta “full-time”
atau “part-time”.
3.
Injil
Kemakmuran(The Gospel of Prosperity)
Salah satu gereja yang diusung oleh FGBMF
adalah Gereja Betani Indonesia. Gereja ini berfokus pada pemberitaan doktrin
kesuksesan dan kemakmuran. Motto mereka, “Successful
Bethany Family” dipasang di depan gereja, bulerin gereja, dan bahkan berupa
sticker di kaca mobil para anggota
jemaat gereja yang bersangkutan. Doktrin ini ditunjukkan dengan kehidupan para
pemimpin gereja tersebut. Mereka tinggal di wilayah yang strategis dan
bergengsi di pusat kota, memiliki mobil mewah, mengirim anak-anak mereka
belajar ke luar negeri, dan tinggal di hotel bintang lima jika diundang untuk
menjadi pembicara di luar kota.
The
gospel of prosperity dikenal pada tahun 1960-an di Amerika Serikat. Dari
sinilah gerakan itu disebarluaskan melalui para penginjilnya. Di Asia, Paul
Yonggi Cho dari Korea Selatan menginspirasi banyak pendeta neo-pentakostal
untuk kemudian memperkenalkan doktrin kemakmuran ini. Bedanya dengan
pentakostal adalah, pentakostal memahami anugerah atau berkat dari Tuhan
tercurah bagi umatNya yang bekerja keras. Doktrin kemakmuran ini menghilangkan
unsur kerja keras dari pemahamannya, dengan artian mereka tidak perlu bekerja
keras karena memang harus memiliki kesadaran pribadi bahwa kesuksesan atau
kemakmuran memang harus didahului
dengan kerja atau usaha pribadi. Dengan usaha kita, maka Tuhan akan melihat dan
memberikan upah yang setimpal untuk apa yang kita lakukan. Doktrin kesuksesan
dan kemakmuran ini menjadi poin yang menjadikan evangelikal-konservatif berada dalam posisi yang sama dengan
neo-pentakostal. Namun Stephen Tong menolak hal ini, menurutnya, karena hubungan
aliran evangelikal-konservatif dengan bisnis hanyalah hubungan kultural dan
historis, bukan doktrinal. Namun sikap yang diambil tradisi Kristen terhadap
bidang bisnis, dan kebanyakan orang Kristen juga, adalah memberikan sikap
positif yang kemudian membuka lahan subur untuk pertumbuhan tradisi liberal.
4.
Neo-pentakostalisme
dan kapitalisme global
Ajaran-ajaran neo-pantekostalisme tampaknya
cocok dengan pasar global. Pemahaman aliran ini mengenai penyembuhan (healing) dan pengharapan dalam Roh
Kudus menumbuhkan rasa percaya diri yang
berdampak baik dalam kehidupan umatnya, termasuk dengan keberanian beresiko
dalam dunia bisnis. Bernice Martin melihat keahlian neo-pentakostalisme untuk
menarik orang-orang kota adalah dengan
cara menawarkan kuasa (power) untuk
mengatasi kebingungan dan kesusahan. Teori ini jugalah yang meyakinkan
orang-orang miskin untuk memperbaiki keadaannya dan kualitas pribadi mereka.
Walaupun demikian teorinya, nyatanya tidak ada bukti di Amerika Latin atau Asia
bahwa neo-pentakostalisme membawa umatnya kepada keadaan ekonomi yang lebih
baik.
Untuk FGBMF, Brouwer mengatakan, bergabung
dengan organisasi tersebut artinya mendapatkan dukungan pastoral dengan lebih
baik dan bergabung dalam jaringan bisnis dengan tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi. Ini kemudian
dipandang sebagai peluang bisnis yang baik. Namun kenyataannya, baik
evangelikal-konservatif ataupun neo-pentakostal menikmati “sukses dan makmur”
bersama-sama, memiliki peluang bisnis yang sama, dan mendapat dukungan yang
sama. Padahal, hal-hal tersebut bukanlah sesuatu yang berhubungan dengan dunia
bisnis.
Kecocokan lainnya adalah masalah nilai individual.
Individualitas dijunjung tinggi dalam sistem dan struktur ekonomi, padahal
gereja arus utama (main-stream)
beranggapan bahwa struktur dan sistem ekonomi adalah hal yang jahat atau satanic. Fundamentalisme Kristen
menggunakan strategi dan nilai pasar dalam manajemen dan misi gereja. Avril
Edvardsen melakukan observasi, dan ia menemukan ada hubungan antara sistem
pertumbuhan gereja neo-pentakostal dengan sistem multi-level marketing di Amerika. Gereja Keluarga Allah (The church of the family of God) di kota
Solo memberikan kartu anggota yang berfungsi juga sebagai kartu diskon di
toko-toko atau restoran yang terkait dengan gereja tersebut. Dalam penggunaan
teknologi, gereja-gereja semacam ini menjadi pemakai perdana dari semua
kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi. Ini kemudian memungkinkan
pembaruan ibadah, manajemenm dan proyek misi secara berkala. Tidak sedikit dari
mega-church di Indonesia yang
memiliki stasiun radio sendiri atau channel
TV lokal.
5.
Kontroversi
Syariah
Syariah (Islam) di Indonesia sempat
menjadi salah satu alternatif untuk menjalankan anggaran rumah tangga di
beberapa wilayah di Indonesia. Namun, hanya Aceh yang melaksanakan hal itu. Ada
beberapa pengajuan protes mengenai menggunaan syariah ini dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Protes ini dilayangkan oleh beberapa anggota parlemen,
yang mayoritas adalah mereka yang diusung oleh partai politik yang evangelikal-konservatif
dan Pentakosta/Karismatik. Ini tentu saja membuat ketegangan terjadi di kubu
Islam dan Kristen. Kaum muslim meyakini syariah adalah solusi yang tepat bagi
penuntasan masalah moral di Indonesia. Kaum Kristen merasa syariah akan
mengancam prinsip nasional Bhinneka Tunggal Ika, karena menonjolkan agama
tertentu. Cendikiawan Islam, Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean
menilai ide penggunaan syariah ini nantinya akan sama dengan di Pakistan dan
Mesir yang kemudian menghasilkan konflik internal di dalam kaum Islam sendiri.
Zuhairi Misrawi juga melihat bahwa syariah yang dijalankan di Aceh lebih meniru
kepada kebiasaan Arab, yang sebenarnya bukan syariah.
6.
Sudut
pandang Islam pada kapitalisme
Ini adalah sebuah pandangan yang berpengaruh
di antara orang Islam. Pandangan ini berpendapat bahwa Islam mendukung konsep
praktis seperti filsafat mencakup setiap aspek masyarakat, termasuk politik dan
ekonomi. Aflazur Rahman mengatakan, ekonomi Islam berisi kekuatan kapitalisme
dan sosialisme. Dalam waktu yang sama, ekonomi Islam bebas untuk menghormati
hukum ekonomi individual, ketika tidak diizinkan mengambil ranah minat dalam
komunitas. Opini Aflazur Rahman ini dapat diperdebatkan. Menyeimbangkan minat
individual dan komunitas-komunitas nyatanya adalah sebuah sistem ekonomi yang
ideal, termasuk kapitalisme dan sosialisme. Kedua istilah ini, bisa dikatakan,
mencakup wilayah yang luas dari perbedaan yang praktis. Dengan begitu, dapat
kita katakan kapitalisme sebagai individualisme absolut dan sosialisme sebagai
komunalisme absolut; ini adalah hal yang terlalu sederhana. Rahman
membandingkan idealnya apa yang disebut ‘ekonomi Islam’ dan praktek paling
buruk dari sistem ekonomi yang lain.
Meskipun
orang Islam (para Muslim) mungkin akan mengakui bahwa Islam dapat mempengaruhi
seluruh aspek kehidupan sosial, namun banyak juga orang yang mempertanyakan
pandangan Rahman. Khamami Zada dan Arif Arafah, misalnya, berpendapat bahwa
pengertian Islam sebagai sebuah sistem yang sempurna dan penentu dari kehidupan
sosial dan kehidupan pribadi dalam bentuk romantis yang sering memimpin kepada
usaha untuk membuat kembali ataupun memperbaharui undang-undang dan hukum
dengan gaya kuno dari komunitas Islam yang sebelumnya, tanpa mempertimbangkan
kebutuhan yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat yang ada pada masa
sekarang. Zada dan Arafah membuat kelompok pemuda Muslim yang acapkali
bekerjasama dengan perguruan tinggi yang liberal. Meskipun tidak menyukai
gerakan liberal-ekumenikal Kristen yang dengan terbuka menentang kapitalisme
yang global, kelompok Islam liberal, yang mungkin akan menghindari pengaruh
radikal, tapi tidak memusuhi kapitalisme. Mansour Fakih berpendapat bahwa
pendekatan Islam liberal hampir sama dengan perkembangan sekuler, di dalam hal
tersebut kritik terhadap globalisasi dan perkembangan tidak hanya berfokus pada
level konsepnya saja, tetapi juga pada prosedurnya. Bagi orang Muslim tantangan
bukanlah sekadar mengubah sistem, tetapi bagaimana mentransformasikan atau
mengubah pemikiran Muslim yang masih berdasarkan tradisi mereka yang cenderung
terlalu falatistis, untuk menjadi rasional dan kreatif dalam menambah kapsitas
Muslim di pasar ekonomi. Oleh karena itu, daripada menawarkan alternatif,
perguruan tinggi Muslim liberal lebih fokus kepada bagaimana cara untuk
mempersiapkan Muslim untuk dapat ikut serta ambil bagian dan
menyelenggarakannya dengan lebih baik dalam sistem ekonomi. Meski Fakih
menyalahkan perguruan tinggi liberal tidak menyadari bahaya dari
neo-liberalisme. Ia percaya bahwa perspektif seperti itu cukup dominan dalam
kedua golongan Islam yang ada di Indonesia, yakni Nadhlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah. Kritik Fakih mungkin berat sebelah, namun poin utama yang ingin
diungkapkan di sini adalah sejauh etika ekonomi menyangkut posisi Islam liberal
tidak sejajar dengan liberal-eumenikal Kristen atau teologi Kristen liberal.
Hal
tersebut meskipun diyakini sebagai sebuah persamaan sejajar menurut tradisi dan
adat lembaga Islam menjadi teologi liberasi, disebut dengan Islam sayap kiri
(Left Islam). Tidak ada promosi khusus mengenai syariah, agenda dari gerakan Islam sayap kiri di Indonesia memasukkan
investigasi anti korupsi, penolakan pro-market dan politik ekonomi neo-liberal,
sebuah permohonan untuk memboikot pelayanan iklan masyarakat/publik, panggilan
bagi peningkatan upah tenaga kerja, pendistribusian tanah, dan
pembatalan/penghapusan hutang luar negeri. Posisi kelompok Islam sayap kiri di
Indonesia masih tidak penting begitu penting dalam komunitas Muslim. Meskipun
mereka berusaha untuk saling berbagi visi mereka dengan kelompok Islam dan
partai politik lainnya, aktivis Islam sayap kiri cenderung memenuhi misi mereka
melalui NGO sekular yang termasuk dalam organisasi Islam.
7. Islam Fundamentalis
terhadap Ekonomi
Perekonomian
Indonesia setelah tahun 1997 mengalami krisis yang luar biasa menyolok dan
nyata berkembang dari bisnis kecil yang menggunakan prinsip syariah. Bisnis-bisnis meminta syariah sebagai dasar mereka untuk menempuh
bermacam-macam sektor yang luas seperti dari supermarket lokal,
restoran-restoran dan real estate
menjadi jaringan pemasaran yang multi-level. Kesadaran mereka akan hal itu
menambah variasi terhadap tempat pemasaran yang dikuasai oleh rantai bisnis.
Menanggapi fenomena seperti ini, banyak bank-bank, yang menjadikan unit syariah
sebagai suatu unit internasional utama yang menawarkan sebuah pinjaman uang
tanpa bunga. Menurut Pradana Boy, fenomena ekonomi syariah ada hubungannya dengan peningkatan fundamentalisme agama yang
membawa dan menggerakkan usaha kepada semua aspek sosial kehidupan menjadi
cenderung dipengaruhi oleh Islam. Bagi Bassam Tibi, Boy melihat usaha ini
sebagai sebuah strategi kultural fundamentalisme Islam untuk menentang
kekuasaan kapitalisme global (peradaban Barat) dan ini merupakan penyerbuan
kultural. Syariah dipahami sebagai sebuah bentuk kultur lokal untuk mempertegas kembali sosial “de-westernise” (pembaratan).
Salah
satu organisasi Islam yang melahirkan promosi syariah sebagai sebuah alternatif terhadap kapitalisme adalah Hizbut
Tahrir (HT). Syariah didirikan oleh
Taqiyaudin al-Nabhany di Yerusalem pada tahun 1953, Hizbut Tahrir memulai
operasi syariah di Indonesia hanya
pada tahun 1982-1983, kemudian diprakarsai oleh Abdullah Nuh, seorang dosen Fakultas
Sastra di Universitas Indonesia. Hanya dengan beranggotakan 10.000, HT
Indonesia relatif kecil bila dibandingkan dengan organisasi-organisasi utama
seperti NU dan Muhammadiyah (yang beranggotakan jutaan orang). Namun demikian,
HT masih dapat menarik perhatian publik ketika konfrensi Internasional di Islamic State pada tahun 2000, dan pasti
masyarakat bersatu melawan peradaban Barat dalam isu internasional yang
bervariasi. Pada tahun 2002, HT mengadakan sebuah demonstrasi yang ditujukan
kepada DPR dengan banyak persyaratan syariah yang formal di Indonesia. Kekuatan HT Indonesia adalah diperlihatkan
sebagai bagian dasar dari organisasi internasional, membuat hal tersebut
sedikit bergantung pada dukungan lokal.
Misi
HT adalah menciptakan Islamic super-state yang transenden menurut batasan
konvensional nasional dan berdasarkan sistem syariah yang komplit dengan mempertimbangkan keunggulan demokrasi. HT
menganggap dunia Islam telah berubah bentuk, tidak hanya dalam hal agama,
kultural dan pelanggaran politik Barat, tetapi juga dalam hal filosofi dan
spiritualitas Timur. Untuk itu, seperti sebuah situasi yang serius yang
membutuhkan tanggapan keras, tidak mengkompromikan respons, yang harus termasuk
dalam tahap logika dan politik. Dengan misi ini HT menemukan karakteristik dari
organisasi fundamentalis, dan hal ini berbeda dengan pergerakan Islam sayap
kiri, meskipun sudah ada persetujuan mereka dalam apitalisme yang jahat.
Pandangan Islam sayap kiri termasuk analisis sosial zaman sekarang dan tidak
mengandung obsesi dengan sebuah kerajaan Islam.
Oleh
karena itu, misi HT ini sangat menentang adanya sistem ekonomi. Perspektif HT
terhadap ekonomi berdasarkan serangana Afzalur Rahman terhadap kapitalisme dan
sosialisme, dan pernyataannya bahwa ekonomi Islam unggul terhadap setiap sistem
yang ada. Sebagai sebuah manifestasi dari posisi anti kapitalisme ini, HT
menolak adanya privatisasi fasilitas umum, element dasar dan penghasilan
mineral. Organisasi ini juga menantang kedua elemen dari kapitalisme modern. Yang
pertama adalah persediaan penjualan (stock
market). HT melarang keikutsertaan dalam persediaan penjualan. Alasannya
adalah karena mekanisme penukaran persediaan menyangkal prinsip Islam dalam
perjanjian bersama, sejak salah satu menjadi pemegang saham suatu perusahaan
hanya oleh salah satu pemilik yang ditetapkan, yakni dengan membeli saham
tersebut dalam persedian penjualan. Dengan demikian, seorang pemegang saham
adalah seseornag yang tidak diketahui namanya dan transaksi hanya dengan
mengirim material. Yang kedua adalah sistem moneter dunia yang berdasarkan pada
harga Dolar Amerika. HT sangat melawan penggunaan uang kertas dan berpendapat
bahwa uang kertas itu adalah salah satu faktor penyebab krisis ekonomi pada
tahun1997, karena hal tersebut mudah robek/diserang. Hal tersebut menguntungkan
kembali emas dan perak yang digunakan pada zaman Nabi Muhammad.
8. Praktik
Ekonomi Syariah
Apakah
organisasi agama seperti Hizbut Tahrir hampir berhubungan dengan pertumbuhan
bisnis yang menggunakan syariah sebagai dasar bisnisnya? Meskipun organisasi
agama dan munculnya bisnis dengan menggunakan syariah sebagai dasar bisnisnya
mungkin dapat terinspirasikan dari perspektif ekonomi agama yang sama-seperti
Afzalur Rahman- yang meragukan praktir partai yang berbagi jalur yang sama.
Meskipun HT sangat pesimis terhadap adanya sistem ekonomi ini, sistem operasi
bisnis yang menggunakan syariah sebagai dasar bisnisnya, tidak menghindari
keterlibatan dalam transaksi, penukaran dan kerjasama dalam isntitusi bisnis
kapitalime yang normal. Dengan mewajibkan kekuasaan Islam super-state, misi HT dalam lahan ekonomi terlihat sangat/terlalu
radikal untuk melaksanakannya pada level praktikal. Oleh karena itu, hal
tersebut lebih realistis untuk membatasi posisi HT dalam hal ideologi.
Kritik
terhadap bisnis yang menggunakan syariah sebagai dasar bisnisnya terlihat fokus
pada kecenderungan mereka terhadap penyesuaian tersebut. Sebagai contoh,
misalnya Pradana Boy mengamati bahwa bisnis tersebut gagal untuk memisahkan
diri mereka dari sistem kapitalisme yang menentang ideologi mereka. Bagi Boy,
bisnis-bisnis ini jatuh pada praktik “Spiritualitas Kapitalisme” yang dalam hal
ini mereka menggunakan bahasa agama untuk mencapai tujuan ekonomi. Hasil dari
praktik bisnis-bisnis yang tidak memiliki esensi yang berbeda dari sistem
kapitalisme yang ada.
Hal
tersebut memiliki beberapa faktor yang beralasan untuk membuat bisnis yang
menggunakan syariah sebagai dasar bisnisnya sebagai sebuah alternatif nyata
bagi sistem market/pemasaran yang ada. Pertama, hal ini cukup normal bagi
bisnis-bisnis yang mengartikan ideologi yang diatur untuk dapat dilaksanakan
dalam dunia ekonomi yang nyata. Tempat pemasaran adalah sebuah konteks sosial
yang plural, dimana ada komitmen ideologi yang jelas atau spiritualitas yang
tidak akan menghalangi daya saing ekonomi, meskipun mereka tidak dapat
memperkuat hal itu. Ekonomi ini penting dan tak terelakkan untuk mencegah
interpretasi radikal ideologi dari perkembangan. Kedua, hal tersebut juga
merupakan sebuah interpretasi alternatif dari syariah, yang ditawarkan oleh perguruan tinggi yang non-fundamentalis yang
berusaha dengan tepat untuk mempromosikan ide dari kesesuaian tersebut atau
saling mengimbangi antara ekonomi syariah
dan ekonomi pemasaran, untuk menghitung/membandingkan sentimen dari shari’a-phobic. Jenis interpretasi
seperti ini juga merupakan sebuah respons untuk kesadaran dimensi spiritual
yang baru diterima dari bisnis-bisnis tersebut, seperti konsep “Spiritual
Kapital” oleh Danah Zohar dan Ian Marshall. Sebagai contoh, Hermawan Kartajaya
dan Muhammad Syakir Sula mempromosikan konsep pemasaran syariah yang berfokus
pada karakter Nabi Muhammad sebagai inspirasi bagi manajemen pemasaran modern.
Dalam kasus ini, rekomendasi agama berfungsi sebagai sebuah sumber yang layak
dan pada waktu yang sama, sebagai persetujuan spiritual bagi moral partisipan
di dalam struktur ekonomi yang ada. Pemasaran yang ramah versi syariah ini
pastilah memberi keuntungan bagi pebisnis dengan lebih baik lagi dan dengan
pilihan yang realistis daripada sekadar penghitungan globalisasi.
9. Kesimpulan
Pertentangan
antara kelompok Kristen fundamentalis dengan kelompok Islam fundamentalis tidak
hanya terbatas pada “kebenaran hak” sebagai fokus pada kebanyakan dialog
antaragama. Di dalam hubungan etika ekonomi, ada konflik yang berpotensi antara
kedua kelompok ini dalam merefleksikan teori Samuel Huntington terhadap
perselisihan warga sipil (The Clash of
Civilisations). Meskipun kelompok Kristen fundamentalisme-neo-Pentakostal
cenderung mengambil ekonomi pemasaran yang ada untuk dana bantuan, merasa bebas
untuk menggunakannya dalam strategi dan kultur, Islam terus memperjuangkan syariah sebagai sebuah alternatif,
perancangannya berdasarkan pada sistem operasi pada awal periode perkembangan
Islam. Akan tetapi, sebuah praktik konfrontasi antar mereka tidak akan mudah
terjadi, sejak ambisi kelompok Islam untuk menanamkan konsep mereka kepada
praktik tersebut dengan membersihkan sistem ekonomi yang ada, menyadari bahwa
hal itu cukup sulit untuk memperoleh dukungan yang cukup dari kelompok Islam
yang lebih luas. Meskipun komunitas bisnis Muslim mungkin akan berbagi kelompok
fundamental yang ideal, dalam praktiknya lebih memilih untuk memandang sesuatu
menurut kegunaannya, memungkinkan kemudahan dengan pebisnis lainnya yang ada di
dalam tempat pemasaran, memperhatikan keanggotaan organisasi agama.
Baik
kelompok Kristen fundamentalis maupun kelompok Islam fundamentalis di
Indonesia, keduanya membuat pergerakan ke luar negeri. Salah satu visi mereka
adalah merefleksikan situasi dalam sebuah konteks sosial-kultural yang
partikular, misalnya Amerika Utara bagi Kristen dan negara Arab bagi Muslim.
Tidak ada satupun yang memperlihatkan kesensitifan konteks lokal. Keduanya
menderita akibat kurang hati-hati dalam menafsir pekerjaan dan menganalisis
sosial yang kontemporer. Perspektif mereka jauh dari kontekstual. Sebagai
contoh, keduanya tidak mampu menyediakan rekomendasi yang layak yang tidak
hanya berupa kritikan tetapi juga gagasan yang memandang perekonomian Indonesia.
Meskipun pengaruh mereka terhadap praktik ekonomi masih terbatas, mereka
seharusnya dapat melihatnya sebagai sebuah kesempatan untuk
mengkontekstualisasikan teologi kedua agama tersebut, untuk mengembangkan
teologi ekonomi Kristen dan Islam yang akan merespons secara seksama isu-isu
ekonomi Indonesia yang nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar