Rabu, 23 Januari 2013

The Economic Ethics of Christian and Islamic Fundamentalism



The Economic Ethics of Christian and Islamic Fundamentalism

1.      Pendahuluan
Munculnya istilah “fundamentalisme” kembali marak belakangan ini. Melihat banyak pihak yang mengatas-namakan agama untuk melakukan kekerasan, katanya, adalah tindakan kaum fundamentalis. Pembasmian kaum yang dianggap sesat atau tidak sesuai dengan ajaran mereka dan penutupan tempat ibadah, disinyalir sebagai bagian dari pemahaman mereka. Namun bukan hanya tindak kekerasan saja yang memungkinkan menjadi ajang pertunjukan bagi kaum fundamentalis ini. Ada banyak aspek yang bisa memberikan ruang bagi para fundamentalis. Salah satunya adalah sektor ekonomi. Berikut ini kelompok akan memaparkan pandangan Yahya Wijaya mengenai etika ekonomi dari sisi fundamentalisme, dari agama Kristen dan Islam yang ada di Indonesia.
2.      Fundamentalisme Kristen: Dimensi Ekonomi
Fundamentalisme Kristen, menurut James Barr, terbagi atas tiga golongan yaitu Pentakostal, Karismatik, dan evangelikal-konservatif. Steve Brouwer melihat Pentakostalisme adalah aliran yang berpegang teguh pada ketidaksalahan Alkitab dan milenialisme. Dengan pemahaman ini, maka ada dua golongan fundamentalisme Kristen, yaitu yang berpusat pada kitab (contoh: Evangelikal-konservatif) dan yang berpusat pada pengalaman (contoh: Pentakosta dan Karismatik). Tanpa disadari, kedua aliran ini memiliki keahlian khusus dalam menarik orang-orang dari dunia bisnis dan profesional, dalam kasus di Indonesia kebanyakan adalah pebisnis dari etnis Tionghoa. Bahkan, Michael Backman mencatat bahwa bentuk kongregasi fundamentalis berasal dari para pebisnis dari etnis ini.
Contoh tokoh pebisnis keturunan Chinese di Indonesia adalah Stephen Tong, pendeta fundamentalis yang bergabung dengan Gereja Reform Injili Indonesia. Tidak hanya dirinya, tapi juga saudaranya di Bandung juga melakukan hal yang sama, menarik orang dari ranah ekonomi dan profesional untuk bergabung dalam gereja mereka. Keluarga Tong sudah dikenal di USA sebagai kaum fundamentalis. Mereka terlibat aktif dalam pendirian banyak seminari di seluruh wilayah di dunia, termasuk di Indonesia, salah satunya adalah Southeast Asia Bible Seminary di Malang.
Neo-pentakostalisme dan evangelikal-konservatif memiliki banyak kesamaan lain, selain keahlian khusus itu. Mereka sering mengadakan kegiatan gereja di restoran atau ballroom hotel bintang lima. Mereka memiliki gedung gereja mega-church di pusat kota dan bergengsi. Tampaklah bagi kita bahwa komunitas dari dua aliran ini datang dari golongan menengah ke atas (middle-up class). Ada juga yang disebut dengan FGBMF atau Full Gospel Business Men’s Fellowship. Mereka adalah jaringan bisnis yang juga mempelopori penyebaran Pentakostalisme di Indonesia. Mereka aktif dalam kegiatan ministry, sekaligus jaringan bisnis. Perkumpulan FGBMF ini menjembatani para pebisnis dan pendeta atau aktivis untuk bergabung dengan mereka. Lagi-lagi, kebanyakan anggotanya dari etnis Tionghoa. Uniknya, pendeta mereka adalah pengusaha bisnis yang berbalik dan menjadi pendeta “full-time” atau “part-time”.
3.      Injil Kemakmuran(The Gospel of Prosperity)
Salah satu gereja yang diusung oleh FGBMF adalah Gereja Betani Indonesia. Gereja ini berfokus pada pemberitaan doktrin kesuksesan dan kemakmuran. Motto mereka, “Successful Bethany Family” dipasang di depan gereja, bulerin gereja, dan bahkan berupa sticker di kaca mobil para anggota jemaat gereja yang bersangkutan. Doktrin ini ditunjukkan dengan kehidupan para pemimpin gereja tersebut. Mereka tinggal di wilayah yang strategis dan bergengsi di pusat kota, memiliki mobil mewah, mengirim anak-anak mereka belajar ke luar negeri, dan tinggal di hotel bintang lima jika diundang untuk menjadi pembicara di luar kota.
The gospel of prosperity dikenal pada tahun 1960-an di Amerika Serikat. Dari sinilah gerakan itu disebarluaskan melalui para penginjilnya. Di Asia, Paul Yonggi Cho dari Korea Selatan menginspirasi banyak pendeta neo-pentakostal untuk kemudian memperkenalkan doktrin kemakmuran ini. Bedanya dengan pentakostal adalah, pentakostal memahami anugerah atau berkat dari Tuhan tercurah bagi umatNya yang bekerja keras. Doktrin kemakmuran ini menghilangkan unsur kerja keras dari pemahamannya, dengan artian mereka tidak perlu bekerja keras karena memang harus memiliki kesadaran pribadi bahwa kesuksesan atau kemakmuran memang harus didahului dengan kerja atau usaha pribadi. Dengan usaha kita, maka Tuhan akan melihat dan memberikan upah yang setimpal untuk apa yang kita lakukan. Doktrin kesuksesan dan kemakmuran ini menjadi poin yang menjadikan evangelikal-konservatif  berada dalam posisi yang sama dengan neo-pentakostal. Namun Stephen Tong menolak hal ini, menurutnya, karena hubungan aliran evangelikal-konservatif dengan bisnis hanyalah hubungan kultural dan historis, bukan doktrinal. Namun sikap yang diambil tradisi Kristen terhadap bidang bisnis, dan kebanyakan orang Kristen juga, adalah memberikan sikap positif yang kemudian membuka lahan subur untuk pertumbuhan tradisi liberal.
4.      Neo-pentakostalisme dan kapitalisme global
Ajaran-ajaran neo-pantekostalisme tampaknya cocok dengan pasar global. Pemahaman aliran ini mengenai penyembuhan (healing) dan pengharapan dalam Roh Kudus  menumbuhkan rasa percaya diri yang berdampak baik dalam kehidupan umatnya, termasuk dengan keberanian beresiko dalam dunia bisnis. Bernice Martin melihat keahlian neo-pentakostalisme untuk menarik orang-orang kota  adalah dengan cara menawarkan kuasa (power) untuk mengatasi kebingungan dan kesusahan. Teori ini jugalah yang meyakinkan orang-orang miskin untuk memperbaiki keadaannya dan kualitas pribadi mereka. Walaupun demikian teorinya, nyatanya tidak ada bukti di Amerika Latin atau Asia bahwa neo-pentakostalisme membawa umatnya kepada keadaan ekonomi yang lebih baik.
Untuk FGBMF, Brouwer mengatakan, bergabung dengan organisasi tersebut artinya mendapatkan dukungan pastoral dengan lebih baik dan bergabung dalam jaringan bisnis dengan tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi. Ini kemudian dipandang sebagai peluang bisnis yang baik. Namun kenyataannya, baik evangelikal-konservatif ataupun neo-pentakostal menikmati “sukses dan makmur” bersama-sama, memiliki peluang bisnis yang sama, dan mendapat dukungan yang sama. Padahal, hal-hal tersebut bukanlah sesuatu yang berhubungan dengan dunia bisnis.
Kecocokan lainnya adalah masalah nilai individual. Individualitas dijunjung tinggi dalam sistem dan struktur ekonomi, padahal gereja arus utama (main-stream) beranggapan bahwa struktur dan sistem ekonomi adalah hal yang jahat atau satanic. Fundamentalisme Kristen menggunakan strategi dan nilai pasar dalam manajemen dan misi gereja. Avril Edvardsen melakukan observasi, dan ia menemukan ada hubungan antara sistem pertumbuhan gereja neo-pentakostal dengan sistem multi-level marketing di Amerika. Gereja Keluarga Allah (The church of the family of God) di kota Solo memberikan kartu anggota yang berfungsi juga sebagai kartu diskon di toko-toko atau restoran yang terkait dengan gereja tersebut. Dalam penggunaan teknologi, gereja-gereja semacam ini menjadi pemakai perdana dari semua kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi. Ini kemudian memungkinkan pembaruan ibadah, manajemenm dan proyek misi secara berkala. Tidak sedikit dari mega-church di Indonesia yang memiliki stasiun radio sendiri atau channel TV lokal.
5.      Kontroversi Syariah
Syariah (Islam) di Indonesia sempat menjadi salah satu alternatif untuk menjalankan anggaran rumah tangga di beberapa wilayah di Indonesia. Namun, hanya Aceh yang melaksanakan hal itu. Ada beberapa pengajuan protes mengenai menggunaan syariah ini dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Protes ini dilayangkan oleh beberapa anggota parlemen, yang mayoritas adalah mereka yang diusung oleh partai politik yang evangelikal-konservatif dan Pentakosta/Karismatik. Ini tentu saja membuat ketegangan terjadi di kubu Islam dan Kristen. Kaum muslim meyakini syariah adalah solusi yang tepat bagi penuntasan masalah moral di Indonesia. Kaum Kristen merasa syariah akan mengancam prinsip nasional Bhinneka Tunggal Ika, karena menonjolkan agama tertentu. Cendikiawan Islam, Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean menilai ide penggunaan syariah ini nantinya akan sama dengan di Pakistan dan Mesir yang kemudian menghasilkan konflik internal di dalam kaum Islam sendiri. Zuhairi Misrawi juga melihat bahwa syariah yang dijalankan di Aceh lebih meniru kepada kebiasaan Arab, yang sebenarnya bukan syariah.
6.      Sudut pandang Islam pada kapitalisme
Ini adalah sebuah pandangan yang berpengaruh di antara orang Islam. Pandangan ini berpendapat bahwa Islam mendukung konsep praktis seperti filsafat mencakup setiap aspek masyarakat, termasuk politik dan ekonomi. Aflazur Rahman mengatakan, ekonomi Islam berisi kekuatan kapitalisme dan sosialisme. Dalam waktu yang sama, ekonomi Islam bebas untuk menghormati hukum ekonomi individual, ketika tidak diizinkan mengambil ranah minat dalam komunitas. Opini Aflazur Rahman ini dapat diperdebatkan. Menyeimbangkan minat individual dan komunitas-komunitas nyatanya adalah sebuah sistem ekonomi yang ideal, termasuk kapitalisme dan sosialisme. Kedua istilah ini, bisa dikatakan, mencakup wilayah yang luas dari perbedaan yang praktis. Dengan begitu, dapat kita katakan kapitalisme sebagai individualisme absolut dan sosialisme sebagai komunalisme absolut; ini adalah hal yang terlalu sederhana. Rahman membandingkan idealnya apa yang disebut ‘ekonomi Islam’ dan praktek paling buruk dari sistem ekonomi yang lain.
Meskipun orang Islam (para Muslim) mungkin akan mengakui bahwa Islam dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan sosial, namun banyak juga orang yang mempertanyakan pandangan Rahman. Khamami Zada dan Arif Arafah, misalnya, berpendapat bahwa pengertian Islam sebagai sebuah sistem yang sempurna dan penentu dari kehidupan sosial dan kehidupan pribadi dalam bentuk romantis yang sering memimpin kepada usaha untuk membuat kembali ataupun memperbaharui undang-undang dan hukum dengan gaya kuno dari komunitas Islam yang sebelumnya, tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat yang ada pada masa sekarang. Zada dan Arafah membuat kelompok pemuda Muslim yang acapkali bekerjasama dengan perguruan tinggi yang liberal. Meskipun tidak menyukai gerakan liberal-ekumenikal Kristen yang dengan terbuka menentang kapitalisme yang global, kelompok Islam liberal, yang mungkin akan menghindari pengaruh radikal, tapi tidak memusuhi kapitalisme. Mansour Fakih berpendapat bahwa pendekatan Islam liberal hampir sama dengan perkembangan sekuler, di dalam hal tersebut kritik terhadap globalisasi dan perkembangan tidak hanya berfokus pada level konsepnya saja, tetapi juga pada prosedurnya. Bagi orang Muslim tantangan bukanlah sekadar mengubah sistem, tetapi bagaimana mentransformasikan atau mengubah pemikiran Muslim yang masih berdasarkan tradisi mereka yang cenderung terlalu falatistis, untuk menjadi rasional dan kreatif dalam menambah kapsitas Muslim di pasar ekonomi. Oleh karena itu, daripada menawarkan alternatif, perguruan tinggi Muslim liberal lebih fokus kepada bagaimana cara untuk mempersiapkan Muslim untuk dapat ikut serta ambil bagian dan menyelenggarakannya dengan lebih baik dalam sistem ekonomi. Meski Fakih menyalahkan perguruan tinggi liberal tidak menyadari bahaya dari neo-liberalisme. Ia percaya bahwa perspektif seperti itu cukup dominan dalam kedua golongan Islam yang ada di Indonesia, yakni Nadhlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kritik Fakih mungkin berat sebelah, namun poin utama yang ingin diungkapkan di sini adalah sejauh etika ekonomi menyangkut posisi Islam liberal tidak sejajar dengan liberal-eumenikal Kristen atau teologi Kristen liberal.
Hal tersebut meskipun diyakini sebagai sebuah persamaan sejajar menurut tradisi dan adat lembaga Islam menjadi teologi liberasi, disebut dengan Islam sayap kiri (Left Islam). Tidak ada promosi khusus mengenai syariah, agenda dari gerakan Islam sayap kiri di Indonesia memasukkan investigasi anti korupsi, penolakan pro-market dan politik ekonomi neo-liberal, sebuah permohonan untuk memboikot pelayanan iklan masyarakat/publik, panggilan bagi peningkatan upah tenaga kerja, pendistribusian tanah, dan pembatalan/penghapusan hutang luar negeri. Posisi kelompok Islam sayap kiri di Indonesia masih tidak penting begitu penting dalam komunitas Muslim. Meskipun mereka berusaha untuk saling berbagi visi mereka dengan kelompok Islam dan partai politik lainnya, aktivis Islam sayap kiri cenderung memenuhi misi mereka melalui NGO sekular yang termasuk dalam organisasi Islam.

7.       Islam Fundamentalis terhadap Ekonomi
            Perekonomian Indonesia setelah tahun 1997 mengalami krisis yang luar biasa menyolok dan nyata berkembang dari bisnis kecil yang menggunakan prinsip syariah. Bisnis-bisnis meminta syariah sebagai dasar mereka untuk menempuh bermacam-macam sektor yang luas seperti dari supermarket lokal, restoran-restoran dan real estate menjadi jaringan pemasaran yang multi-level. Kesadaran mereka akan hal itu menambah variasi terhadap tempat pemasaran yang dikuasai oleh rantai bisnis. Menanggapi fenomena seperti ini, banyak bank-bank, yang menjadikan unit syariah sebagai suatu unit internasional utama yang menawarkan sebuah pinjaman uang tanpa bunga. Menurut Pradana Boy, fenomena ekonomi syariah ada hubungannya dengan peningkatan fundamentalisme agama yang membawa dan menggerakkan usaha kepada semua aspek sosial kehidupan menjadi cenderung dipengaruhi oleh Islam. Bagi Bassam Tibi, Boy melihat usaha ini sebagai sebuah strategi kultural fundamentalisme Islam untuk menentang kekuasaan kapitalisme global (peradaban Barat) dan ini merupakan penyerbuan kultural. Syariah dipahami sebagai sebuah bentuk kultur lokal untuk  mempertegas kembali sosial “de-westernise” (pembaratan).
            Salah satu organisasi Islam yang melahirkan promosi syariah sebagai sebuah alternatif terhadap kapitalisme adalah Hizbut Tahrir (HT). Syariah didirikan oleh Taqiyaudin al-Nabhany di Yerusalem pada tahun 1953, Hizbut Tahrir memulai operasi syariah di Indonesia hanya pada tahun 1982-1983, kemudian diprakarsai oleh Abdullah Nuh, seorang dosen Fakultas Sastra di Universitas Indonesia. Hanya dengan beranggotakan 10.000, HT Indonesia relatif kecil bila dibandingkan dengan organisasi-organisasi utama seperti NU dan Muhammadiyah (yang beranggotakan jutaan orang). Namun demikian, HT masih dapat menarik perhatian publik ketika konfrensi Internasional di Islamic State pada tahun 2000, dan pasti masyarakat bersatu melawan peradaban Barat dalam isu internasional yang bervariasi. Pada tahun 2002, HT mengadakan sebuah demonstrasi yang ditujukan kepada DPR dengan banyak persyaratan syariah yang formal di Indonesia. Kekuatan HT Indonesia adalah diperlihatkan sebagai bagian dasar dari organisasi internasional, membuat hal tersebut sedikit bergantung pada dukungan lokal.
            Misi HT adalah menciptakan Islamic super-state yang transenden menurut batasan konvensional nasional dan berdasarkan sistem syariah yang komplit dengan mempertimbangkan keunggulan demokrasi. HT menganggap dunia Islam telah berubah bentuk, tidak hanya dalam hal agama, kultural dan pelanggaran politik Barat, tetapi juga dalam hal filosofi dan spiritualitas Timur. Untuk itu, seperti sebuah situasi yang serius yang membutuhkan tanggapan keras, tidak mengkompromikan respons, yang harus termasuk dalam tahap logika dan politik. Dengan misi ini HT menemukan karakteristik dari organisasi fundamentalis, dan hal ini berbeda dengan pergerakan Islam sayap kiri, meskipun sudah ada persetujuan mereka dalam apitalisme yang jahat. Pandangan Islam sayap kiri termasuk analisis sosial zaman sekarang dan tidak mengandung obsesi dengan sebuah kerajaan Islam.
            Oleh karena itu, misi HT ini sangat menentang adanya sistem ekonomi. Perspektif HT terhadap ekonomi berdasarkan serangana Afzalur Rahman terhadap kapitalisme dan sosialisme, dan pernyataannya bahwa ekonomi Islam unggul terhadap setiap sistem yang ada. Sebagai sebuah manifestasi dari posisi anti kapitalisme ini, HT menolak adanya privatisasi fasilitas umum, element dasar dan penghasilan mineral. Organisasi ini juga menantang kedua elemen dari kapitalisme modern. Yang pertama adalah persediaan penjualan (stock market). HT melarang keikutsertaan dalam persediaan penjualan. Alasannya adalah karena mekanisme penukaran persediaan menyangkal prinsip Islam dalam perjanjian bersama, sejak salah satu menjadi pemegang saham suatu perusahaan hanya oleh salah satu pemilik yang ditetapkan, yakni dengan membeli saham tersebut dalam persedian penjualan. Dengan demikian, seorang pemegang saham adalah seseornag yang tidak diketahui namanya dan transaksi hanya dengan mengirim material. Yang kedua adalah sistem moneter dunia yang berdasarkan pada harga Dolar Amerika. HT sangat melawan penggunaan uang kertas dan berpendapat bahwa uang kertas itu adalah salah satu faktor penyebab krisis ekonomi pada tahun1997, karena hal tersebut mudah robek/diserang. Hal tersebut menguntungkan kembali emas dan perak yang digunakan pada zaman Nabi Muhammad.

8.      Praktik Ekonomi Syariah
            Apakah organisasi agama seperti Hizbut Tahrir hampir berhubungan dengan pertumbuhan bisnis yang menggunakan syariah sebagai dasar bisnisnya? Meskipun organisasi agama dan munculnya bisnis dengan menggunakan syariah sebagai dasar bisnisnya mungkin dapat terinspirasikan dari perspektif ekonomi agama yang sama-seperti Afzalur Rahman- yang meragukan praktir partai yang berbagi jalur yang sama. Meskipun HT sangat pesimis terhadap adanya sistem ekonomi ini, sistem operasi bisnis yang menggunakan syariah sebagai dasar bisnisnya, tidak menghindari keterlibatan dalam transaksi, penukaran dan kerjasama dalam isntitusi bisnis kapitalime yang normal. Dengan mewajibkan kekuasaan Islam super-state, misi HT dalam lahan ekonomi terlihat sangat/terlalu radikal untuk melaksanakannya pada level praktikal. Oleh karena itu, hal tersebut lebih realistis untuk membatasi posisi HT dalam hal ideologi.
            Kritik terhadap bisnis yang menggunakan syariah sebagai dasar bisnisnya terlihat fokus pada kecenderungan mereka terhadap penyesuaian tersebut. Sebagai contoh, misalnya Pradana Boy mengamati bahwa bisnis tersebut gagal untuk memisahkan diri mereka dari sistem kapitalisme yang menentang ideologi mereka. Bagi Boy, bisnis-bisnis ini jatuh pada praktik “Spiritualitas Kapitalisme” yang dalam hal ini mereka menggunakan bahasa agama untuk mencapai tujuan ekonomi. Hasil dari praktik bisnis-bisnis yang tidak memiliki esensi yang berbeda dari sistem kapitalisme yang ada.
            Hal tersebut memiliki beberapa faktor yang beralasan untuk membuat bisnis yang menggunakan syariah sebagai dasar bisnisnya sebagai sebuah alternatif nyata bagi sistem market/pemasaran yang ada. Pertama, hal ini cukup normal bagi bisnis-bisnis yang mengartikan ideologi yang diatur untuk dapat dilaksanakan dalam dunia ekonomi yang nyata. Tempat pemasaran adalah sebuah konteks sosial yang plural, dimana ada komitmen ideologi yang jelas atau spiritualitas yang tidak akan menghalangi daya saing ekonomi, meskipun mereka tidak dapat memperkuat hal itu. Ekonomi ini penting dan tak terelakkan untuk mencegah interpretasi radikal ideologi dari perkembangan. Kedua, hal tersebut juga merupakan sebuah interpretasi alternatif dari syariah, yang ditawarkan oleh perguruan tinggi yang non-fundamentalis yang berusaha dengan tepat untuk mempromosikan ide dari kesesuaian tersebut atau saling mengimbangi antara ekonomi syariah dan ekonomi pemasaran, untuk menghitung/membandingkan sentimen dari shari’a-phobic. Jenis interpretasi seperti ini juga merupakan sebuah respons untuk kesadaran dimensi spiritual yang baru diterima dari bisnis-bisnis tersebut, seperti konsep “Spiritual Kapital” oleh Danah Zohar dan Ian Marshall. Sebagai contoh, Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula mempromosikan konsep pemasaran syariah yang berfokus pada karakter Nabi Muhammad sebagai inspirasi bagi manajemen pemasaran modern. Dalam kasus ini, rekomendasi agama berfungsi sebagai sebuah sumber yang layak dan pada waktu yang sama, sebagai persetujuan spiritual bagi moral partisipan di dalam struktur ekonomi yang ada. Pemasaran yang ramah versi syariah ini pastilah memberi keuntungan bagi pebisnis dengan lebih baik lagi dan dengan pilihan yang realistis daripada sekadar penghitungan globalisasi.

9.      Kesimpulan
            Pertentangan antara kelompok Kristen fundamentalis dengan kelompok Islam fundamentalis tidak hanya terbatas pada “kebenaran hak” sebagai fokus pada kebanyakan dialog antaragama. Di dalam hubungan etika ekonomi, ada konflik yang berpotensi antara kedua kelompok ini dalam merefleksikan teori Samuel Huntington terhadap perselisihan warga sipil (The Clash of Civilisations). Meskipun kelompok Kristen fundamentalisme-neo-Pentakostal cenderung mengambil ekonomi pemasaran yang ada untuk dana bantuan, merasa bebas untuk menggunakannya dalam strategi dan kultur, Islam terus memperjuangkan syariah sebagai sebuah alternatif, perancangannya berdasarkan pada sistem operasi pada awal periode perkembangan Islam. Akan tetapi, sebuah praktik konfrontasi antar mereka tidak akan mudah terjadi, sejak ambisi kelompok Islam untuk menanamkan konsep mereka kepada praktik tersebut dengan membersihkan sistem ekonomi yang ada, menyadari bahwa hal itu cukup sulit untuk memperoleh dukungan yang cukup dari kelompok Islam yang lebih luas. Meskipun komunitas bisnis Muslim mungkin akan berbagi kelompok fundamental yang ideal, dalam praktiknya lebih memilih untuk memandang sesuatu menurut kegunaannya, memungkinkan kemudahan dengan pebisnis lainnya yang ada di dalam tempat pemasaran, memperhatikan keanggotaan organisasi agama.
            Baik kelompok Kristen fundamentalis maupun kelompok Islam fundamentalis di Indonesia, keduanya membuat pergerakan ke luar negeri. Salah satu visi mereka adalah merefleksikan situasi dalam sebuah konteks sosial-kultural yang partikular, misalnya Amerika Utara bagi Kristen dan negara Arab bagi Muslim. Tidak ada satupun yang memperlihatkan kesensitifan konteks lokal. Keduanya menderita akibat kurang hati-hati dalam menafsir pekerjaan dan menganalisis sosial yang kontemporer. Perspektif mereka jauh dari kontekstual. Sebagai contoh, keduanya tidak mampu menyediakan rekomendasi yang layak yang tidak hanya berupa kritikan tetapi juga gagasan yang memandang perekonomian Indonesia. Meskipun pengaruh mereka terhadap praktik ekonomi masih terbatas, mereka seharusnya dapat melihatnya sebagai sebuah kesempatan untuk mengkontekstualisasikan teologi kedua agama tersebut, untuk mengembangkan teologi ekonomi Kristen dan Islam yang akan merespons secara seksama isu-isu ekonomi Indonesia yang nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar