Ter(di)kekangnya Kebebasan Beragama di Indonesia
Abstrak
Penelitian
ini terkait dengan persoalan praktik pluralisme. Praktik
pluralisme yang sehat menyaratkan tersedianya ruang bagi setiap pemeluk agama
untuk beribadah dan mendirikan tempat ibadah. Sebagai sebuah hal yang hakiki,
sudah selayaknya negara melindungi hak tersebut. Namun kenyataannya, terlepas
dari ideal normatif tersebut, masih jamak ditemui polemik-polemik terkait
pendirian rumah ibadah, penolakan kebebasan beragama, serta penuduhan agama
mengajarkan kesesatan. Dalam beberapa tahun terakhir tercatat beberapa kasus
kekerasan yang tidak membebasakan kelompok minoritas dalam menjalankan ibadah
serta memeluk agama dan keyakinannya.
Seharusnya keragaman agama yang ada tidak memicu kekerasan yang menekan
minoritas untuk tidak dapat bebas beribadah serta melanggar HAM minoritas.
PENDAHULUAN
I.1 Pengantar
Kondisi ter(di)kekangnya kebebasan
beragama mencerminkan betapa rumitnya hubungan antar negara dan agama di
Indonesia. Negara sebagai otoritas politik tertinggi yang semestinya menjadi
pengayom bagi semua warga negara terbukti telah melakukan semacam diskriminasi
terhadap penganut ajaran agama yang bersumber dari kearifan lokal. Negara yang seharusnya berada di atas
semua golongan, kelompok, dan agama sering (cenderung)
berperilaku memihak dan digunakan sebagai alat pemukul. Negara yang seharusnya
memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengelola keragaman dan perbedaan malah
membuat berbagai hukum dan kebijakan yang tidak bisa mengakomodir dan
menghargai keragaman tersebut[1]. Selain itu
minimnya pemahaman yang pluralis di masyarakat juga semakin
mempersempit wilayah kebebasan beragama di Indonesia. Tidak sedikit dari
masyarakat yang belum memahami perihal kebebasan beragama dan UU yang mengatur
kebebasan tersebut. Oleh karena itu, acap kali sebagian masyarakat malah
menghakimi sesamanya sendiri dengan berbagai tindakan kekerasan yang
mengatasnamakan agama tanpa mengerti UU-nya. Sebagai contoh adalah tuduhan
sesat yang dilemparkan kepada kepada Jemaat Ahmadiyah dan penutupan tempat
ibadah.
Melalui makalah laporan
penelitian ini, penulis berusaha mengedepankan masalah kebebasan beragama di
Indonesia. Masalah ini terkait dengan bagaimana masyarakat yang belum sadar
pluralisme dapat membangun pemahaman yang pluralis. Selain itu juga berkaitan
erat dengan konstitusi yang ada di tengah keterancaman pluralisme saat ini.
I.2 Latar Belakang Masalah
Isu tentang pelanggaran atas kebebasan
beragama dan berkeyakinan sepertinya belum juga tertuntaskan hingga kini.
Banyak fakta yang menunjukkan bahwa kebebasan beragama menghadapi tantangan
yang serius. Peristiwa demi peristiwa yang mendiskreditkan suatu komunitas
agama minoritas tampak menjadi sebuah hiasan berita yang bebas untuk di konsumsi
oleh masyarakat. Berbicara mengenai agama memang bagaikan berbicara tentang
sebuah koin yang memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, agama dipahami
sebagai sebuah jalan dan penjamin keselamatan, cinta, dan perdamaian. Namun di
sisi lain, sejarah membuktikan bahwa agama justru dapat menjadi sumber,
penyebab, dan alasan bagi kehancuran serta kemalangan, bahkan dapat menjadi
bencana bagi umat manusia. Karena agama, orang dapat saling mencintai satu sama
lain, dan atas nama agama pula, orang dapat saling membunuh dan menghancurkan.
Sekarang ini, sebagian orang semakin pesimis dalam menanggapi agama, sehingga
kemudian menumbuhsuburkan pemikiran mereka bahwa keberadaan agama hanya
mempersulit keadaan kita di dunia ini. Tetapi coba bayangkan apa jadinya kita
bila di dunia ini tidak ada yang namanya agama? Kira-kira apa yang akan terjadi
dengan kita? Bagaimana pula jadinya jika agama digantikan posisinya dengan
konsep pemikiran-pemikiran yang cemerlang atau dengan mesin-mesin canggih? Atau
dengan kata lain rasionalisme menggantikan agama melalui sekularisasi?
Persoalan
agama dan ruang publik memang layak untuk dibicarakan kembali sekarang ini.
Pasalnya, sekarang ini agama sudah go public. Artinya, agama sudah memasuki ruang publik dan meraih
publisitas. Hal ini
terlihat dari serangkaian peristiwa yang terjadi di ruang publik belakangan ini
semakin meresahkan, seperti bangkitnya simbolisasi agama, maraknya peraturan
daerah (perda-perda) syariat, serangkaian aksi kekerasan serta terorisme atas
nama agama, penutupan rumah ibadah, dan beberapa tindakan-tindakan lainnya yang
terlahir sebagai wujud penolakan atas kebebasan beragama di Indonesia. Jika
selama ini kekerasan yang mengatasnamakan agama hanya dipahami lewat
radikalisme para teroris yang rela mengorbankan dirinya lewat bom bunuh diri
demi agamanya, maka disisi lain ada pula kekerasan terhadap para pemeluk dan
kelompok-kelompok agama berupa tekanan dan ketidakbebasan menganut serta
menjalankan agama dan keyakinannya.
Berangkat dari isu yang sepertinya
semakin hari semakin sulit untuk diselesaikan tersebut, maka melalui paper ini
penulis hendak menjelaskan tentang agama dan kekerasan khususnya perihal
kekerasan terhadap kelompok-kelompok atau penganut agama dan keyakinan yang
tidak mendapat kebebasannya, serta keterkaitannya dengan hak asasi manusia
(HAM) dan undang-undang (UU) yang berlaku. Di dalam paper ini penulis juga
menyinggung perihal bagaimana seharusnya
membangun harmoni di tengah keragaman yang ada, khususnya terkait dengan
masalah kebebasan sebagai tanggapan atas persoalan keterkekangan sebagian
kelompok agama dan keyakinan di Indonesia dalam menjalankan peribadahannya.
Penulis menyadari bahwa isu tersebut memang masih sulit untuk diselesaikan,
tetapi bukan tidak mungkin suatu saat nanti isu tersebut akan dapat juga
terselesaikan. Penulis sadar bahwa banyak keterbatasan dalam memaparkannya
persoalan secara mendalam. Namun penulis juga berharap agar paper sederhana ini
dapat menjadi secercah cahaya yang menerangi cakrawala nalar kita yang tak
terbatas ini agar mampu memahami perihal kekerasan terhadap kelompok-kelompok
agama dan keyakinan minoritas, sehingga lubang kekerasan yang mengatasnamakan
agama yang menganga lebar tersebut mampu kita hindari bahkan kita tutup
bersama.
I.4 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan
makalah laporan penelitian praktek lapangan ini adalah untuk menggugat matinya
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia yang diteliti dari perspektif
undang-undang tentang keberagamaan. Selain itu juga berfungsi untuk menambah
pengetahuan penulis mengenai masalah-masalah sosial yang berhubungan dengan
agama, khususnya masalah kebebasan beragama di Indonesia. Laporan penelitian
ini juga digunakan sebagai salah satu syarat memperoleh nilai praktek lapangan.
Penulis berharap bahan makalah ini akan membantu kita untuk dapat mengubah pola
pikir dan pandangan kita terhadap beberapa agama yang menekan agama minoritas
dan kasus kebebasan beragama di Indonesia.
I.5 Perspektif Teoritis
Makalah ini ditinjau dari sudut
pandang teoritis. Teori yang digunakan oleh penulis dalam makalah ini adalah
teori dari John Hick, seorang filsuf Inggris, terkait persoalan kemajemukan.
Penulis memilih teori ini sebagai teori yang mengkritisi masalah ini karena
menurut penulis teori tersebut dapat menggambarkan pendekatan-pendekatan yang
merupakan respons terhadap penerimaan keberagaman jenis apapun, tidak hanya
keberagaman agama dan keyakinan. Selain
itu, penulis juga memanfaatkan perundang-undangan (konstitusi) untuk melihat
bagaimana konstitusi di tengah pluralisme dan bagaimana pengaruhnya terhadap
kebebasan beragama di Indonesia.
I.6 Metodologi Penulisan
Laporan penelitian ini ditulis
berdasarkan hasil penelitian langsung dengan menggunakan metode kualitatif,
yakni dengan mengadakan pengamatan, wawancara dengan beberapa orang yang
mengalami ketidakbebasan beragama dan berkeyakinan, dan juga dengan mengikuti
serangkaian diskusi publik terkait kebebasan beragama tersebut dan juga dengan
menggunakan studi pustaka. Wawancara yang mendalam tersebut dilakukan
dengan beberapa orang yang pernah mengalami ketidakbebasan beragama di
Indonesia. Bahkan adapula diantaranya yang hingga kini belum mendapatkan haknya
untuk beribadah secara bebas. Kendati demikian, bukan hal yang mudah untuk
dapat memperoleh data dan informasi terkait dengan masalah kebebasan beragama
dan berkeyakinan. Ada beberapa orang yang seolah tertutup dan tidak mau memberi
informasi yang lengkap tentang ketidakbebasannya beragama, adapula yang mau
berbagi informasi namun tidak mau memberitahukannya dengan jelas. Namun tidak
sedikit juga yang dengan senang hati mau berbagi cerita dan informasi tentang
kasus kebebasan beragama di Indonesia. Dalam hal ini, penulis harus terlebih
dahulu menjalin suatu hubungan dengan para narasumber yang diwawancarai, karena
dengan demikian informasi dapat dengan mudah diperoleh.
Bab
I
Profil
Lembaga
ICRP
(Indonesian Conference on Religion and
Peace)
ICRP
(Indonesian Conference on Religion and
Peace) adalah sebuah organisasi berbadan hukum yayasan yang bersifat
non-sektarian, non-profit, non-pemerintah dan independen yang bergerak di
bidang interfaith dan dialog agama-agama. Kantor sekretariat ICRP berada di Jl. Cempaka
Putih Barat XXI No. 34, Jakarta (10520), Indonesia. Telp. (62-21) 4280 2349, )
4280 2350, Fax (62-21) 422 7243. E-mail: icrp@cbn.net.id
Website: www.icrp-online.org.
Kelahiran
ICRP dibidani oleh para tokoh lintas agama dan iman. ICRP berusaha menyebarkan
tradisi dialog dalam pengembangan kehidupan keberagamaan yang humanis dan
pluralis di tanah air. Jauh sebelum diresmikannya ICRP pada 12 Juli 2000 oleh
Presiden RI Abdurrahman Wahid, upaya-upaya dialog lintas agama sudah tumbuh dan
berkembang di Indonesia. Semenjak berdirinya, upaya mentradisikan dialog yang
terbangun sebelumnya senantiasa dipertahankan oleh ICRP. Selain itu, ICRP turut
aktif pula berkontribusi dalam pengembangan studi perdamaian dan resolusi
konflik. ICRP menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga keagamaan dan
antar-iman maupun individu sebagai bagian dari pengembangan dialog antar agama
dan kepercayaan serta semangat penghargaan atas realitas perbedaan keyakinan di
masyarakat. Selain itu, ICRP juga turut serta aktif berjejaring dengan
lembaga-lembaga yang concern memperjuangkan pluralisme dan perdamaian untuk
melawan ketidakadilan sosial, gender, HAM dan sebagainya.
Visi
Visi yang dijadikan sebagai pedoman ICRP
adalah:
Masyarakat yang damai dan sejahtera
dalam konteks keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia.
Misi
Visi tersebut diejawantahkan dalam
beberapa misi lembaga sebagai berikut:
1. Menumbuhkembangkan
multikulturalisme dan pluralisme dalam kehidupan masyarakat.
2. Membangun
kesadaran dan mengembangkan budaya religiusitas yang sehat, saling menghormati
dan bebas dari rasa saling curiga di antara seluruh elemen bangsa khususnya
komunitas dan lembaga antar iman.
3. Mendorong
usaha-usaha dialog, advokasi, pengkajian dan pemecahan masalah-masalah sosial
politik dan keagamaan baik dalam skala daerah, nasional, regional, maupun
internasional.
4. Mendorong
semua pihak untuk menghormati dan mensyukuri keanekaragaman dan kekayaan
tradisi keagamaan masing-masing.
Strategi
Untuk
mencapai tujuannya, ICRP didukung oleh 6 bidang kerja, yakni: Bidang Advokasi
dan Jaringan, Bidang Pendidikan dan Pelatihan, Bidang Penelitian dan
Pengembangan, Bidang Informasi, Komunikasi & Publikasi, Bidang Perempuan
& Agama serta Bidang Pemuda.
1.
Bidang Advokasi dan Jaringan
Adapun hal-hal yang menjadi fokus dari
divisi ini adalah sebagai berikut:
• Memediasi dialog
antar tokoh-tokoh agama dan kepercayaan dan antara pemuka agama &
kepercayaan dengan pemerintah dalam kerangka perjuangan hak-hak kebebasan
berkeyakinan dan studi perdamaian di Indonesia
• Mengembangkan kerjasama dan jaringan dengan organisasi maupun individu yang peduli atas berbagai isu agama untuk perdamaian
• Melakukan advokasi atas kasus-kasus kekerasan atas nama agama
• Melaksanakan rangkaian kegiatan terpadu untuk memperjuangkan kebijakan pro-pluralisme dan perdamaian dalam kehidupan lintas agama di Indonesia
• Mengembangkan kerjasama dan jaringan dengan organisasi maupun individu yang peduli atas berbagai isu agama untuk perdamaian
• Melakukan advokasi atas kasus-kasus kekerasan atas nama agama
• Melaksanakan rangkaian kegiatan terpadu untuk memperjuangkan kebijakan pro-pluralisme dan perdamaian dalam kehidupan lintas agama di Indonesia
2. Bidang Pendidikan dan Pelatihan
Fokus dari divisi ini adalah sebagai berikut:
Fokus dari divisi ini adalah sebagai berikut:
·
Menyelenggarakan pelatihan dalam kerangka
pengembangan wacana interfaith, rekonsiliasi, pluralisme dan perdamaian
• Menyelenggarakan pendidikan kuliah agama-agama bekerja sama dengan perguruan tinggi maupun lembaga lain yang memiliki visi misi serupa
• Memfasilitasi diskusi untuk pengembangan wacana interfaith dan pluralisme di kalangan komunitas agama, aktivis dan masyarakat luas
• Menyelenggarakan pendidikan perdamaian untuk kalangan akademisi, praktisi dan pegiat pendidikan
• Menyelenggarakan pendidikan kuliah agama-agama bekerja sama dengan perguruan tinggi maupun lembaga lain yang memiliki visi misi serupa
• Memfasilitasi diskusi untuk pengembangan wacana interfaith dan pluralisme di kalangan komunitas agama, aktivis dan masyarakat luas
• Menyelenggarakan pendidikan perdamaian untuk kalangan akademisi, praktisi dan pegiat pendidikan
di tiap tingkatan
3.
Bidang Penelitian dan Pengembangan
Divisi ini memiliki fokus antara lain:
• Melakukan studi/penelitian untuk memahami dinamika pluralisme iman/agama di Indonesia
• Mengembangkan jaringan (networking) penelitian bertema interfaith
• Merumuskan rekomendasi bagi perubahan kebijakan (policy reform) dalam memperkuat pluralisme agama/iman
• Membangun database bertemakan pluralisme agama/iman
• Melakukan studi/penelitian untuk memahami dinamika pluralisme iman/agama di Indonesia
• Mengembangkan jaringan (networking) penelitian bertema interfaith
• Merumuskan rekomendasi bagi perubahan kebijakan (policy reform) dalam memperkuat pluralisme agama/iman
• Membangun database bertemakan pluralisme agama/iman
4.
Bidang Informasi, Komunikasi & Publikasi
Tugas-tugas utama bidang ini adalah:
• Mengelola penerbitan majalah (interfaith magazine), buku, website dan lainnya sebagai wahana publikasi dan komunikasi informasi seputar dinamika pluralisme dan perdamaian di Indonesia
• Mengembangkan dan mengelola perpustakaan sebagai pusat dokumentasi dan informasi agama untuk perdamaian
• Mendokumentasikan berbagai informasi relevan tentang dinamika pluralisme di Indonesia
• Mengkomunikasikan aktivitas dan perjuangan interfaith kepada khalayak luas melalui berbagai media yang relevan
• Mengelola penerbitan majalah (interfaith magazine), buku, website dan lainnya sebagai wahana publikasi dan komunikasi informasi seputar dinamika pluralisme dan perdamaian di Indonesia
• Mengembangkan dan mengelola perpustakaan sebagai pusat dokumentasi dan informasi agama untuk perdamaian
• Mendokumentasikan berbagai informasi relevan tentang dinamika pluralisme di Indonesia
• Mengkomunikasikan aktivitas dan perjuangan interfaith kepada khalayak luas melalui berbagai media yang relevan
5.
Bidang Perempuan dan Agama
Bidang ini mempunyai fokus isu terhadap
hal-hal sebagai berikut:
• Mengampanyekan
prinsip kesadaran dan kesetaraan gender pada tiap lini kehidupan terutama dalam
kerangka lintas iman
• Mendorong penekanan gender mainstreaming dalam setiap aktivitas dan kebijakan internal maupun eksternal lembaga
• Mengadvokasi kebijakan yang pro-keadilan dan kesetaraan gender
• Mengembangkan jaringan dan kerjasama dengan lembaga maupun individu pemerhati masalah perempuan
• Mendorong penekanan gender mainstreaming dalam setiap aktivitas dan kebijakan internal maupun eksternal lembaga
• Mengadvokasi kebijakan yang pro-keadilan dan kesetaraan gender
• Mengembangkan jaringan dan kerjasama dengan lembaga maupun individu pemerhati masalah perempuan
6.
Bidang Pemuda
Bidang ini
memiliki tugas-tugas utama antara lain:
• Membangun kesadaran pluralisme di kalangan generasi muda melalui berbagai aktivitas
• Melaksanakan rangkaian kegiatan terpadu untuk pengembangan wacana pluralisme dan perdamaian di kalangan generasi muda (salah satunya adalah Youth Camp)
• Mengelola kegiatan lintas iman yang berorientasi pada pengembangan pemuda untuk perdamaian
• Memfasilitasi pemberdayaan jaringan kemitraan di kalangan generasi muda untuk mengembangkan pemahaman pluralisme di Indonesia
• Membangun kesadaran pluralisme di kalangan generasi muda melalui berbagai aktivitas
• Melaksanakan rangkaian kegiatan terpadu untuk pengembangan wacana pluralisme dan perdamaian di kalangan generasi muda (salah satunya adalah Youth Camp)
• Mengelola kegiatan lintas iman yang berorientasi pada pengembangan pemuda untuk perdamaian
• Memfasilitasi pemberdayaan jaringan kemitraan di kalangan generasi muda untuk mengembangkan pemahaman pluralisme di Indonesia
Secara
organisatoris, struktur yang ada dalam kepengurusan ICRP adalah sebagai
berikut:
a.
Pendiri
Abdurrahman
Wahid, KH; Budi Santoso Tanuwibowo; Chandra Setiawan; Djohan Effendi; Gede
Natih; Haris Chandra; J.N. Hariyanto, SJ; Michael Utama Purnama; Muhamad Najib;
Musdah Mulia; Sudhamek AWS; Sylvana Maria-Apituley.
b.
Dewan
Kehormatan
Said
Agiel Siradj, KH.; A.A Yewangoe, Pdt.;Cittaqutto, Bhikkhu; Harbinderjit Singh Dillon;
Ign. Suharyo, Pr, Mgr.; Johannes Pujasumarta, Pr, Mgr.; Kardinal Julius
Darmaatmaja, SJ; M.A. Sahal Mahfudz, KH.; Machasin; Margaretha Hendriks;
Mochtar Buchori; P. Djatikusumah; Parwati Supangat; Prajnavira Mahasthavira,
Bhikkhu; Saparinah Sadli; Siti Chamamah; Sri Pannavaro Mahathera, Bhikkhu;
Syafi’I Ma’arif; Tjhie Tjay Ing, Haksu.
c.
Dewan Penasehat
A.
Mustofa Bisri, KH.; Amar Singh; Amin Abdullah; Bambang Noorsena; Banawiratma;
Cornelius Ronoeidjojo; F. Apendi S.P.; George Soraya; Ign. Ismartono, SJ; Indarto, Bunsu; Judo PurwoWedagdo, Pdt.;
Ketut Wirdhana; M. Habib Chirzin; Masdar F. Mas’udi, KH.; Nancy Wijaya; Sudjati
Djiwandono; Syamsiah Ahmad; Suryanandar; Titi Sumbung; Tommy Santokh Singh;
Zakaria Ngelow, Pdt.
d.
Dewan
Pengurus Yayasan
Ketua:
Abdul Muhaimin, KH
Sekretaris:
Michael Utama Purnama
Bendahara: G. Sulistyanto
Bendahara: G. Sulistyanto
e. Dewan Pengurus Harian Organisasi ICRP
Ketua Umum : Musdah Mulia
Ketua : Johannes
N. Hariyanto, SJ; Piet Khaidir; Imam Ad-Daruquthni;
A. Malik Haramain; Gomar Gultom
Sekretaris Umum : Imdadun Rahmat
Sekretaris : Krise Gosal; Hari Sutanto; Henry Gunawan Chandra
Bendahara Umum : Prihermono Inung Nugroho
Bendahara : Januardy; Dewi Kanti
Sekretaris : Krise Gosal; Hari Sutanto; Henry Gunawan Chandra
Bendahara Umum : Prihermono Inung Nugroho
Bendahara : Januardy; Dewi Kanti
f.
Bidang
– bidang Kerja
Bidang Advokasi,
Jaringan:
Koordinator: Abdul
Moqsith Ghazali
Bidang Pendidikan:
Koordinator: Mohammad Monib
Koordinator: Mohammad Monib
Wakil Koordinator:
Wendang Soetomo
Bidang Penelitian,
Pengembangan, Informasi dan Komunikasi:
Koordinator: Ahmad Nurcholish
Koordinator: Ahmad Nurcholish
Wakil Koordinator:
Aa Sudirman
Wakil Koordinator:
Bidang Pemuda dan Perempuan:
Koordinator: Frangky Tampubolon
Wakil Koordinator: Riri Hariroh
Koordinator: Frangky Tampubolon
Wakil Koordinator: Riri Hariroh
Sedangkan
dalam pelaksanaan aktifitas sehari-hari, kegiatan-kegiatan dan aktifitas ICRP
ditangani oleh beberapa staf, antara lain:
1. Nur
Kafid, MSc. (Program Manager)
2. Muayati,
S.PdI
3. Equivalent
Pangasi Rajagukguk, S. Si. Teol
4. Nurhabibie
Rifai
g.
Kerja
Sama
Dalam
aktifitasnya, ICRP selalu berjejaring dengan berbagai lembaga-lembaga dan
instansi luar yang mempunyai misi-misi yang sejalan dengan ICRP. Beberapa
lembaga tersebut adalah:
· Komnas
Perempuan dan Komnas HAM
· KAPAL
Perempuan (Perkumpulan Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan)
· JIL (Jaringan Islam Liberal)
· Fahmina
Institutà Kerjasama
program-seminar-keberagaman di wilayah Cirebon
· Setara
Institut
· LBH
Jakarta
· LBH
Apik=advokasi UU perkawinan-diskriminatif
· Ardhanary
(Lembaga LGBT)
· Wahid
Institut
· Internasional
Center for Islam and Pluralism
· Beberapa
lembaga lain yang bergerak di bidang HAM, demokrasi dan pluralisme.
Bab
II
Temuan
Lapangan
II.1 Hasil Penelitian: Keberagaman
Agama dan Keyakinan
Sekarang ini, keberagaman bukanlah
sesuatu yang tabu lagi. Keberagaman kini menjadi salah satu isu yang menarik
untuk diperdebatkan karena tidak semua orang dapat menerimanya dengan baik.
Ada sebagian orang yang memang menolak
keberagaman. Namun tidak sedikit pula orang yang malah menerima keberagamannya
dengan terbuka.
Berbicara soal keberagaman, tentu kita
akan menyinggung soal perbedaan dan kesamaan. Salah satunya adalah agama. Agama
adalah suatu ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dengan manusia serta manusia dengan lingkungannya[2].
Agama yang “diakui” di Indonesia hanyalah “agama-agama impor pilihan” seperti
Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghuchu. Sedangkan kepercayaan
lokal seperti Sunda Wiwitan, Penghayat Kepercayaan, Parmalim atau “agama impor
yang tidak diakui” seperti agama Baha’i
sekalipun hanya dianggap sebagai aliran sempalan. Bahkan adapula agama atau
kepercayaan lain yang tidak dianggap sama sekali. Mungkin dikarenakan jumlah penganutnya
yang minoritas, maka eksistensi agama-agama pribumi ini tertimbun oleh
popularitas “agama-agama impor” yang dianut oleh banyak masyarakat Indonesia
sekarang ini. Bahkan secara kasat mata, negara sering kali mengabaikan
pemenuhan kewajibannya terhadap para penganut “agama-agama lokal”.
Disadari
atau tidak, ketika agama masuk ke ranah publik, ia cenderung digunakan sebagian
kalangan untuk memukul rata kepentingan dan kebutuhan masyarakat tanpa melihat
konteks ruang dan waktunya[3].
Namun di sisi lain, ketika agama diposisikan hanya pada ruang privat, ia tidak
lebih dari sekadar menjadi sistem keyakinan personal yang tidak ada sangkut
pautnya dengan kehidupan sosial dan modernisasi yang semakin cepat. Dalam
konteks ini, peran agama seolah termarginalkan dari segala sesuatu yang
berkaitan dengan modernitas dan hanya berisi ritus-ritus suci keagamaan saja.
Pada dasarnya,
keberagaman atau pluralisme bukan hanya baru terjadi beberapa abad yang lalu.
Keberagaman bahkan sudah ada sejak awal penciptaan alam ini. Allah sendiri
menciptakan banyak keberagaman di dunia ini. Bahkan akan menjadi aneh rasanya
jika tidak ada keberagaman di dunia ini.
Kekerasan yang banyak terjadi di tengah
masyarakat memperlihatkan bahwa masyarakat belum mampu menerima keberagaman
yang ada secara tepat. Penolakan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di
Indonesia merupakan suatu bukti bahwa ada sebagian dari masyarakat Indonesia
yang belum mampu menerima
keberagaman/pluralitas tersebut. Menurut Kuschel kekerasaan yang muncul setidaknya
disebabkan oleh dua hal. Pertama, ada kesalahpahaman tentang ajaran agama.
Kedua, adanya perasaan terancam[4].
Selain itu, cara pandang yang berbeda terhadap agama lain di luar agamanya juga
dapat menjadikan masyarakat terkondisikan untuk melakukan kekerasan
berlandaskan agama semakin membabi buta agama lain.
Bagi sebagian orang, pendidikan dan
aktivitas antariman, haruslah dipusatkan pada kekayaan iman masing-masing agar
mempunyai potensi yang mempersatukan. Namun sebagian lainnya melihat, bahwa
pentingnya memahami perbedaan-perbedaan, mempelajari berbagai keterampilan
untuk hidup bersama, meneliti, dan menghargai perbedaan-perbedaan adalah suatu
hal yang patut ditekankan[5].
Harus diakui bahwa kekerasan agama tidak hanya terjadi kepada mereka yang
memiliki iman yang berbeda, namun juga kepada mereka yang memiliki perspektif
iman yang berbeda meskipun masih berada di dalam agama atau kepercayaan yang
sama. Selain itu, kekerasan pun acap kali terjadi terhadap ideologi yang
berbeda terutama kepada kelompok minoritas yang lain. Hal ini dapat terjadi
karena adanya benih kebencian yang terus dipupuk. Mungkin sebagian orang selalu
terbiasa untuk melihat segala sesuatu yang berbeda dengan dirinya dengan
pemaknaan sesat dan menyimpang. Oleh karena itu, setidaknya ada dua sikap atas
keberagaman yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.
Mencerminkan mentalitas agar semuanya
menjadi satu. Sikap ini menampakkan diri menerima keberagaman, namun sebenarnya
gelisah menghadapai keberagaman itu.
2.
Menerima keberagaman sebagai kenyataan
esensial dari kehidupan manusia dan masyarakat, lalu berusaha menemukan jalan
untuk memahami perannya yang dinamis dalam realitas yang majemuk. Penerimaan
keberagaman tidak dimaksudkan untuk mengorbankan pertimbangan-pertimbangan
kritis. Namun sering kali kita menyaksikan adanya kesalahpahaman, seolah-olah
kita harus menyampaikan pertimbangan-pertimbangan kritis agar dapat berperan
antarbudaya dan antariman.
Berbicara
mengenai sikap masyarakat terhadap keberagaman, banyak pendidik, sarjana, dan
bahkan teolog yang mengamati pendekatan-pendekatan umum terhadap keberagaman
tersebut dan bagaimana pendekatan-pendekatan ini berdampak terhadap praktek
pendidikan agama dan atau pendidikan Kristiani. John Hick, seorang filsuf
Inggris mencatat tiga pendekatan yang terangkum dalam artikelnya yang berjudul
“Religious Pluralisme” yaitu eksklusivisme,
inklusivisme, dan pluralisme.
Pendekatan-pendekatan ini merupakan respon terhadap keberagaman jenis apa pun,
tidak hanya keberagaman agama dan keyakinan. Respons-respons ini tidak hanya
bersifat tingkah laku (behavioral),
tetapi juga terkait dengan sikap (attitudinal)[6]
Mengenai ekslusivisme, Hick mengatakan bahwa pendekatan ini adalah semacam
sikap arogansi agama ketika diperhadapkan dengan kepercayaan lain. Terlebih
lagi ketika suatu agama merasa pendiriannya ditantang oleh alternatif lain. Mengenai
inklusivisme, Hick menjelaskan bahwa
pendekatan ini sebenarnya terbuka dengan “yang lain”, namun secara bersamaan
juga tetap memegang teguh keyakinannya. Dengan kata lain, di tengah keberagaman
yang ada, golongan ini masih mempertahankan suatu keyakinan tertentu yang
dianggapnya sebagai kebenaran yang paling mutlak sedangkan yang lain itu hanya
mencerminkan beberapa aspek dari kebenaran tersebut[7].
Selanjutnya pluralisme diartikan
sebagai pandangan yang mengadakan kesetaraan pada setiap agama. Pendekatan ini
memberi kesempatan untuk berdialog secara terbuka dengan yang berbeda agama.
Dialog ini memiliki komitmen untuk memberi dan menerima pemahaman dari agama
lain. Pendekatan golongan ini mengakui adanya keterbatasan pandangan-pandangan
mereka, dan terus berupaya mencari pemahaman tersebut dengan mempelajari
istilah-istilah atau nilai-nilai dari yang lain melalui dialog-dialog. Namun
sayangnya, ada sebagian pihak yang mengaku bersikap pluralisme tetapi sesungguhnya mereka telah bersikap inklusivisme. Atau malah ada yang
mengaku inklusif tetapi malah memperlihatkan
sikap pluralisme dalam setiap
tindakan mereka.
Tidak dapat dipungkiri,
penolakan terhadap keberagaman agama atau keyakinan tersebut jelas akan memicu
kekerasaan yang mengatasnamakan agama,sehingga menjadikan agama dan keyakinan
itu seolah menjadi ancaman tersendiri bagi pemeluknya. Kita sendiri terkadang
berpikir sempit mengenai keberagaman tersebut karena sejak kecil pun kita sudah
diajar dan dididik untuk tidak menerima keberagaman tersebut. Akan tetapi, akan
menjadi sangat disayangkan nantinya apabila agama terus menerus menjadi sebuah
ancaman dan bencana bagi pemeluknya. Sehingga dalam kadar tertentu, muncul
keinginan dari pemeluk agama atau keyakinan itu untuk lebih baik tidak beragama
daripada beragama namun penuh dengan tekanan dan rasa khawatir serta takut
dengan bayang-bayang kekerasan.
Beberapa faktor
internal yang seperti diatas, akhirnya semakin membuat sebagian komunitas agama
(khususnya agama minoritas) semakin sulit untuk memperoleh haknya dalam
beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Padahal seharusnya keberagaman dan
perbedaan yang kita miliki tidak seharusnya dijadikan sebagai senjata untuk
saling menyerang. Oleh karena itu ICRP sebagai sebuah lembaga yang bergerak di bidang interfaith
dan dialog agama-agama sedapat mungkin mendukung keberagaman agama dan
keyakinan yang ada di Indonesia, dengan:
·
percaya bahwa keragaman suku, agama,
budaya, adat Indonesia adalah kekayaan
yang diberikan Tuhan untuk mendorong integritas sosial, bukan untuk alasan
memecah belah.
· percaya
bahwa pluralisme, penghargaan terhadap orang lain, adalah pilihan sikap terbaik
dalam kehidupan beragama di tengah keragaman tersebut.
· percaya
bahwa misi utama agama-agama adalah terwujudnya kehidupan rukun, damai dan
sejahtera bagi manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan.
· percaya
bahwa pada prinsipnya agama tidak mengajarkan kekerasan. Karena itu setiap
komunitas agama harus mengambil peran aktif untuk menolak segala bentuk
kekerasan atas nama agama.
· percaya
bahwa setiap individu, setiap warga negara, harus dijamin hak-hak dan kebebasan
sipilnya oleh negara. Termasuk di dalamnya adalah hak dan kebebasan beragama
dan berkeyakinan.
· percaya
bahwa negara harus “netral-agama”. Negara harus berdiri di atas semua agama dan
keyakinan dalam merumuskan dan mengimplementasikan setiap kebijakannya.
· menolak
“logika pengakuan” yang membawa pada kesimpulan “agama resmi” atau “agama yang
diakui”. Negara sudah secara otomatis harus mengakui, melindungi, dan
menghargai setiap pengakuan agama oleh individu maupun kelompok.
· percaya
bahwa komunitas dan kelompok agama menempati posisi strategis dan peran yang
signifikan dalam kehidupan berbangsa.
· percaya
bahwa kelompok agama adalah modal sosial yang harus didorong untuk berperan
aktif dalam pemajuan kehidupan sosial masyarakat, dan karena itu mereka harus
peduli terhadap masalah sosial di luar isu-isu agama.
· menolak
politisasi agama, penggunaan agama dan simbol-simbol agama untuk kepentingan
politik sesaat dan untuk meraih dukungan dalam politik praktis.
Mengingat bahwa
salah satu cara ICRP mendukung kebebasan beragama adalah dengan percaya bahwa
pluralisme dan penghargaan terhadap orang lain adalah pilihan sikap terbaik
dalam kehidupan beragama di tengah keragaman, maka wajar rasanya jika ICRP
terlibat aktif dalam persoalan-persoalan pluralisme. Terkait dengan persoalan
ter(di)kekangnya kebebasan beragama di Indonesia tersebut, penulis yang
melakukan praktek di ICRP menjumpai beberapa persoalan seperti persoalan kolom
agama di KTP yang diskriminatif, Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) tempat ibadah,
Pernikahan Beda Agama, tuduhan sesaat kepada kelompok agama tertentu, serta
kurikulum pelajaran agama di sekolah-sekolah sebagai bukti belum terwujudnya
kebebasan beragama di Indonesia.
II.2 Analisi Data:
Kebebasan yang Terkekang
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, bebas berarti lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu)
sehingga dapat bergerak, berbicara, dan berbuat. Sedangkan kebebasan adalah
suatu keadaan bebas. Oleh karena itu kebebasan beragama artinya bebas memeluk
salah satu dari keberagaman agama yang ada sebagai agama yang diyakini.
Kebebasan
beragama dihambat di banyak negara Islam, seperti di Saudi Arabia yang melarang
adanya praktik agama di depan umum selain agama Islam; di Iran, kaum Baha’i
tidak mempunyai hak-hak hukum dan ditindas; dan di Palestina orang-orang Arab
Kristen sering menjadi korban penindasan agama oleh orang-orang Muslim.
Sayangnya di Indonesia sendiri yang bukan merupakan negara Islam telah
melakukan hal yang sama kepada sebagian agama minoritas[8].
Kenyataan yang cukup miris ketika keberagaman agama dan keyakinan yang kita
jumpai di Indonesia ternyata tidak dapat diterima begitu saja oleh sebagian
pihak. Masih ada saja pihak-pihak/kelompok agama mayoritas yang terus menekan
pihak-pihak/kelompok agama minoritas. Hal tersebut membuktikan bahwa di negara
yang sudah merdeka inipun kita masih belum merdeka. Kita belum dapat menikmati
kebebasan yang benar-benar terbebas dari keterkekangan. Akan miris mendengarnya
jika di negara yang sudah merdeka seperti Indonesia masih terdengar celetukan
pertanyaan “Sudahkah kita merdeka? Apakah kemerdekaan itu sudah benar-benar
kita raih?.” Pertanyaan yang jujur seperti itu mengarah kepada setiap orang
yang ber-KTP Indonesia. Bagi warga negara Indonesia yang kebetulan masuk Ahmadiyah,
mungkin akan menjawab tidak. Kemerdekaan mereka telah direnggut oleh saudara
mereka sendiri. Beberapa penganut kepercayaan di berbagai daerah juga
barangkali akan menjawab tidak. Sebab kebebasan mereka memeluk kepercayaannya
tidak diberi hak hidup sebagaimana semestinya.
Kenyataannya,
kemerdekaan hanya dimiliki oleh sebagian warga negara saja. Sementara warga
negara lain ditindas dan dijajah haknya. Kata “merdeka” demikian kompleks,
masih menyisakan lorong-lorong berliku untuk meraihnya. Merdeka artinya
masing-masing orang harus mengerti dan menghargai bahwa setiap orang berhak
membuat pilihannya sendiri, baik dalam bentuk keyakinan, pendapat ataupun yang
lainnya. Merdeka artinya bebas dan tidak terkekang.
Tidak bebas dan terkekang adalah salah
satu bentuk kekerasan. Namun sekarang ini di Indonesia telah berkembang istilah
“Kebebasan yang Ter(di)kekang” yang membebaskan setiap warga negara memeluk
agama, namun mengekangnya dengan rantai enam agama. Artinya, semua warga negara
Indonesia berhak memeluk agama asalkan sesuai dengan keenam agama yang diakui
oleh negara. Tetapi agama-agama yang dianut diluar dari agama-agama itu akan
menimbulkan suatu permasalahan. Secara umum, pemerintah menghormati kebebasan
menjalankan ibadah enam agama yang resmi diakui. Namun demikian pembatasan dari
pemerintah yang terus berlangsung, khususnya agama yang tidak diakui dan sekte
agama yang dianggap menyimpang dari agama yang diakui merupakan pengecualian
dari pelaksanaan penghormatan kebebasan beragama tersebut.
Kebebasan untuk
beragama dan berkeyakinan di Indonesia ini memang masih terombang-ambing.
Beberapa kasus kekerasan terhadap pemeluk agama atau keyakinan kian menjadi
masalah yang semakin renyah untuk
diperbincangkan, tetapi (seolah) semakin basi untuk diselesaikan. Kekerasan
yang terjadi seolah tidak dapat dihentikan baik oleh pemerintah maupun oleh
komunitas agama itu sendiri. Padahal negara sendiri sudah memberi jaminan
perundang-undangan, antara lain sebagai berikut:
·
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 E ayat
(1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.” (2)
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.”
·
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 I ayat
(2) “Setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu”.
·
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 pasal
(2) jelas menegaskan masalah ini: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.”
·
Hal ini juga senafas dengan isi
Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM pasal 18, yakni : ”Setiap orang berhak
atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan
berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau
kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menaatinya,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun
sendiri.”
·
Dalam perkembangan berikutnya,
pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP
MPR tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai HAM yang
tertera pada pasal 13: “Setiap orang bebas memeluk agama masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
·
Isu
kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM), ditemukan juga dalam berbagai dokumen historis tentang HAM,
seperti dokumen International Bill of Rights (1966), Rights of Man
France (1789), dan Bill of Rights of USA (1791). Pasal 2 DUHAM
menyatakan: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian, seperti ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula
kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”
·
UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik pasal 18 ayat (1) “ Setiap
orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. “ Hak ini
mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan
atas pilihannya sendiri dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama
dengan orang lain dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama
dan kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. (2)
“Tidak seorangpun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut
atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.”
·
UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal
22 ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” (2) “Negara menjamin kemerdekaan
setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu.
·
UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 1
ayat (6) “Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang
sengaja melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM
seseorang atau kelompok yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
Merujuk pada undang-undang diatas,
seharusnya tidak ada lagi alasan bagi sebagian kelompok agama untuk berbuat
semena-mena terhadap kelompok agama lainnya. Namun pada kenyataannya jaminan
perundang-undangan ini tidak dihiraukan oleh sebagian pihak. Bahkan adapula
yang membuat perda-perda tersendiri seperti perda pelarangan adanya bangunan
gereja di daerah Tangerang. Sehingga kerap kali Komnas HAM sendiri masih
mendapatkan pengaduan dari kelompok masyarakat yang beragama tertentu, seperti
Islam (Jemaat Ahmadiyah di Indonesia) yang mengalami tindak kekerasan dari
sekelompok orang yang mengatasnamakan agama tertentu, Kristen-Katolik yang
terkait dengan penutupan tempat ibadah; Penghayat Kepercayaan yang terkait
dengan hak-hak sipilnya tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah dan masih
banyak lagi.
Jika kita teliti lebih jauh lagi maka
kita juga akan menemui bagaimana agama dalam konteks tertentu juga dapat
menjadi bumerang bagi pemeluknya sendiri. Bagaimana tidak, hampir di berbagai
daerah terjadi pelanggaran atau diskriminasi sosial berdasarkan afiliasi agama,
keyakinan, dan praktik keagamaan. Hal
tersebut dapat terlihat dari:
a. Pencantuman kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP)
Pencantuman
kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan sistem pendaftaran kependudukan
tersebut menimbulkan diskriminasi atas warga yang bukan anggota salah satu dari
keenam agama yang diakui [9].
Para penganut animisme, Baha'i dan anggota dari kelompok-kelompok agama
minoritas seringkali mendapatkan kesulitan dalam membuat KTP karena adanya
kolom agama yang harus diisi, mendaftarkan akte kelahiran atau sertifikat
nikah. Ada juga beberapa pendaftar KTP tersebut merasa bahwa lebih mudah untuk
mengisi agama lain dalam formulir mereka sehingga mereka mendapatkan KTP yang
tidak menuliskan agama mereka yang sebenarnya. Sebagai contohnya adalah
Kak Nandita (bukan nama sebenarnya), seorang peserta Sekolah Agama yang juga
merupakan salah satu program dari ICRP, yang menganut agama Baha’i. Menurut
penuturannya, ia sendiri pernah mengalami diskriminasi agama saat membuat KTP.
Dulu saat ia masih menetap di Padang, Sumatera barat, ia memiliki KTP yang
menggunakan tanda (-) pada kolom KTP. Ketika pindah ke Jakarta, ia harus
membuat KTP Jakarta yang mengharuskannya mengisi kolom agama di KTP tersebut.
Namun karena agama Baha’i tidak dapat dicantumkan di kolom agama di KTP
tersebut maka KTP yang ia miliki sekarang menyatakan bahwa dirinya beragama Islam padahal ia
meyakini kepercayaan agama Baha’i.
Kisah
pembuatan KTP kak Nandita ini juga nyaris sama dengan kisah Nabil A. Samandari
yang menjadi pembicara dalam Sekolah Agama tentang Agama Baha’i malam ini. Ia
mengalami kebebasan yang terkekang dalam hal pencantuman agama pada kolom agama
di KTP-nya. Sekarang ini di KTP-nya ia beragama Islam, tetapi ia tetap menganut
kepercayaan agama Baha’i. Menurut penuturannya, saat istrinya mengurus
pembuatan KTP mereka, pemerintah daerah setempat menyuruh mereka untuk memilih
salah satu dari agama yang terdaftar di komputer mereka. Sebab pengaturan yang
ada pada sistem komputer untuk membuat KTP tidak tersedia tanda (-).Oleh karena
itu, mau tidak mau mereka pun sekarang berstatus beragama Islam[10]. Selain itu, juga ada banyak penganut Sikh yang terpaksa
mendaftar sebagai umat Hindu, dan beberapa orang Yahudi yang mendaftar sebagai
penganut agama Kristen. Mau tidak mau mereka terpaksa membuat KTP dengan
identitas palsu. Sebab warga yang tidak memiliki KTP akan menghadapi kesulitan
untuk mencari perkerjaan ataupun layanan kesehatan. Beberapa LSM dan
kelompok advokat kegaamaan termasuk ICRP, terus meminta pemerintah agar
menghapuskan kategori agama dalam formulir pendaftaran KTP, namun hingga saat
ini usaha mereka belum mendapatkan hasil.
b. Pernikahan
Beda Agama
Kasus diskriminasi
sosial berdasarkan afiliasi agama, keyakinan, dan praktik keagamaan lainnya adalah perihal pendaftaran akte kelahiran dan
sertifikat nikah. Meskipun peraturan tentang pernikahan dan adminstrasi catatan
sipil telah dikeluarkan pada bulan Juni 2007 yang menyatakan bahwa ,
pernikahan oleh anggota-anggota Aliran Kepercayaan diakui negara, namun
pasangan beda agama juga masih terus menghadapi berbagai kesulitan untuk
menikah serta mendaftarkannya secara resmi. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 2 ayat (1) ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Menurut saya, setiap
orang dapat melangsungkan pernikahan yang sah kendati berbeda agama asalkan
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Namun sayangnya masih ada juga pasangan-pasangan tersebut
yang mendapatkan kesulitan dalam mencari pemuka agama yang dapat memimpin dan
merestui upacara pernikahan mereka, sesuai apa yang diwajibkan sebagai syarat
mendaftarkan sebuah pernikahan. Akibatnya, banyak pasangan yang harus menikah
di luar negeri atau mendaftarkan pernikahan mereka ke sebuah Kedutaan Besar.
Bahkan ada juga pasangan yang tidak dapat mendaftarkan pernikahan mereka atau
membuat akte kelahiran bagi anak mereka seringkali terpaksa harus mengubah
status agama mereka atau memalsukan identitas mereka sebagai salah satu anggota
dari keenam agama yang diakui. Pasangan-pasangan yang memutuskan untuk tidak
mendaftarkan pernikahan atau kelahiran anak mereka kemungkinan besar akan menghadapi
berbagai kesulitan di masa depan mereka, seperti tidak bisa mendapatkan akte
kelahiran bagi anak-anak mereka; sesuatu yang dibutuhkan untuk mendaftar
sekolah, beasiswa ataupun melamar perkerjaan sebagai pegawai negeri.
Isu ini termasuk isu yang sangat
sensitif dan kontroversial. Salah seorang dari staf ICRP yang bernama mbak Ema Mukarramah juga pernah
menyinggung soal pernikahan beda agama[11].
Menurut penuturan beliau, disamping melakukan kampanye umum terhadap hak atas
pernikahan beda agama, ICRP juga membuka ruang konsultasi bagi pasangan yang
hendak melakukan pernikahan beda agama. Konsultasi pernikahan beda agama adalah
salah satu program ICRP yang banyak mendapat tanggapan positif dari masyarakat.
Awalnya tidak hanya sekadar konseling, tetapi juga memfasilitasi pernikahan
beda agama secara langsung hingga ke penyelenggaraan acara resepsinya. Sejak
tahun 2006 ICRP ikut berperan dalam pernikahan beda agama, namun sejak awal
2009 aktifitas ICRP yang satu ini mulai berkurang. Mereka tidak lagi mengurus pernikahan
beda agama, namun tetap menyediakan wadah untuk konseling perihal pernikahan
beda agama ini. Biasanya, orang-orang yang ingin melangsungkan pernikahan beda
agama diberitahu beberapa info penting atau dipersilahkan untuk bertanya
seputar pernikahan beda agama. Pertanyaan yang sering muncul adalah perihal
upacara pemberkatan nikah dan surat nikah. Misalnya, surat-surat apa saja dan
siapa yang akan menjadikan pernikahan
mereka sah. Selain itu, tim konsultan ICRP juga akan menjelaskan perihal surat-surat
dan dokumen-dokumen yang akan mereka butuhkan hingga kendala-kendala yang
mungkin akan mereka hadapi sebelum dan sesudah pernikahan tersebut. Misalnya
perihal akte kelahiran bagi
anak-anak mereka kelak. Selain itu, ICRP juga menerbitkan buku Pernikahan Beda
Agama yang mendapat respons yang baik dari publik.
c.
Tuduhan
Sesat
Disisi lain,
sekarang ini kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama semakin menjadi
“Superstar” di berbagai “film-film” kerusuhan akibat kekerasan yang membawa
label agama. Namun seperti yang kita ketahui bersama, sering kali beberapa
kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama tersebut dilakukan oleh kelompok
garis keras, yakni kelompok ekstrem yang dengan mengusai simbol agama berusaha
menghalalkan berbagai cara untuk mencapai sebuah perubahan yang mereka anggap
baik dan
untuk kepentingan mereka.
Biasanya, kelompok seperti FPI digolongkan sebagai kelompok garis keras[12].
Mereka melakukan tekanan, intimidasi, bahkan kekerasan terhadap mereka yang
menyebarkan pesan atau melakukan praktik yang dianggap melukai hati mereka. Terkadang
tuntutan-tuntutan politik beberapa kalangan Islam, seperti penegakan syariat
Islam dalam bentuk perda atau fatwa, tidak sensitif terhadap hak dan kebebasan
kaum minoritas, kalangan yang tidak diuntungkan secara ekonomi, sosial dan
politik seperti kaum perempuan, rakyat miskin dan kemudian paham-paham teologi
di luar mainstream seperti Ahmadiyah atau kaum non-Muslim.
Kontroversi
terhadap Ahmadiyah terus terjadi. Kelompok garis keras
kembali melakukan serangan dan menuntut pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Kelompok Ahmadiyah dikenai undang-undang penodaan agama
yang juga dikenakan pada kelompok-kelompok lain yang mengaku masih berhubungan
Islam namun dianggap “ajaran sesat” sesuai dengan Fatwa MUI
yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Jumadil Akhir
1426 H/28 Juli 2005 M tentang aliran Ahmadiyah:[13]
1. Menegaskan
kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa
Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah
murtad (keluar dari Islam).
2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti
Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan
dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang
penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta
menutup semua tempat kegiatannya. Demonstrasi terus
berlangsung di penjuru negeri baik yang mendukung maupun menentang pembubaran.
Para penggiat hak asasi manusia, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, dan para
tokoh dan pimpinan dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama terus menekankan bahwa
tindak pembubaran yang dimaksud adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan
ajaran Islam. Bahkan pemerintah
sendiri membiarkan diskriminasi dan pelecehan atas kelompok Ahmadiyah, dengan
tidak menentang atau menolak fatwa MUI tersebut. Peran negara, baik eksekutif (Pemerintah Provinsi dan Kota),
legislatif (DPRD Provinsi dan Kota), dan aparat penegak hukum lebih bersikap
pasif dan terkesan membiarkan keluarnya fatwa MUI tersebut. Karena pemerintah
dan aparatusnya menganggap MUI-lah instansi yang mempunyai kapasitas untuk
menyelesaikan permasalahan ini[14]. Hal tersebut terlihat dari pihak penegak hukum yang gagal
menghentikan ataupun menyelelidiki kasus-kasus pengerusakan berbagai fasilitas
milik Ahmadiyah. Padahal putusan fatwa secara hukum tidak mempunyai kekuatan
mengikat dan memaksa, yang harus ditaati oleh seluruh umat. Hal tersebut dikarenakan
fatwa bukan merupakan bagian dari hirarki peraturan perundang-undangan yang
berlaku secara positif untuk mengikat dan memaksa di negara ini.
Jika ditinjau ulang
dan melihat sejarahnya, ajaran Ahmadiyah telah masuk ke wilayah Indonesia sejak
tahun 1922. Organisasi Jemaat Ahmadiyah ini berdiri di Padang pada tahun 1929
kemudian pada tahun 1932 di Jakarta. Keberadaan Ahmadiyah ini juga telah diakui
sah secara hukum oleh pemerintah RI dan dianggap sebagai badan hukum
berdasarkan ketetapan Menteri Kehakiman RI dan juga terdaftar di Departemen
Agama pada tanggal 2 Maret 1970, serta Departemen Sosial pada tanggal 15 Mei
1970. Kendati demikian, mereka tetap saja masih mengalami kesulitan untuk
beribadah di Indonesia ini dengan badan hukum yang secara sah sudah mengakui
keberadaannya.
d. Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB) tempat ibadah
Selain Ahmadiyah juga ada kelompok minoritas
lainnya yang juga mengalami kesulitan dalam hal beribadah. Menurut Persekutuan
Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Wahid Institute, pejabat pemda dan
masyarakat lokal telah menutup secara paksa beberapa bangunan gereja yang
memiliki dan tidak memiliki izin[15].
Sebagian besar gereja yang menjadi sasaran menjadikan rumah-rumah tinggal dan
toko-toko pinggir jalan tempat untuk melakukan kegiatan keagamaan. Sebagian
gereja memindahkan kegiatan ibadah mereka ke tempat-tempat yang disewakan
seperti di pusat-pusat perbelanjaan (mall/plaza) untuk mengurangi potensi
ancaman dari kelompok garis keras. Bahkan ada sebagian gereja-gereja kecil yang tidak mendapatkan perizinan
untuk membangun gerejanya. Padahal ijin mendirikan tempat ibadah sama ijinnya
dengan mendirikan bangunan lainnya yang disebut dengan IMB (Ijin Mendirikan
Bangunan). Memang ironis Indonesia ini, membangun tempat hiburan malam jauh
lebih mudah ketimbang membangun rumah ibadah.
Jika menyinggung masalah penutupan
tempat ibadah, maka salah satu kasus yang mungkin akan langsung muncul dibenak
kita adalah masalah GKI Taman Yasmin Bogor yang telah dinyatakan menang atas
tanah tempat ibadah mereka oleh Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi di
Indonesia. Namun masih tetap tidak dapat mendirikan rumah ibadah dan beribadah
di gedung gereja mereka. Maka tidak adil rasanya bila mereka masih belum
diijinkan untuk mendirikan gereja mereka. Selain itu, pemerintah daerah juga
tidak melakukan tindakan untuk menangani lebih lanjut kasus GKI Taman Yasmin
Bogor ini. Seharusnya pemerintah mampu tegas dalam bersikap. Terlepas dari
masalah menang atau kalahnya GKI Taman Yasmin Bogor atas kasus pembangunan rumah
ibadahnya, pemerintah seharusnya menyadari apa yang menjadi kewajiban mereka
dengan mengingat kembali Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 pasal (2) yang
dengan jelas menegaskan masalah ini: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.” Artinya, negara harus memberikan perlindungan terhadap setiap warga
negaranya untuk melaksanakan ibadah keagamaan/ kepercayaan[16].
Sebab dari UU tersebut terpapar jelas bahwa negara berkewajiban melindungi dan
memenuhi hak atas kebebasan beragama dan kepercayaan.
Kak Alent, yang merupakan sekretaris di
ICRP, pernah bercerita kepada penulis perihal bagaimana sikap dari Walikota
Bogor atas pelarangan mendirikan rumah ibadah GKI Taman Yasmin Bogor. Walikota
tersebut tidak mengindahkan keputusan dari MA yang telah menyatakan kemenangan
atas kasus ini berpihak pada GKI Taman Yasmin Bogor sehingga GKI Taman Yasmin
Bogor masih belum dapat menggunakan gedung gereja mereka. Padahal sebelumnya
GKI Taman Yasmin Bogor telah mengantongi SK Walikota Bogor tentang Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB)[17].
Kasus GKI Taman Yasmin Bogor ini merupakan bukti nyata dari terlanggarnya hak
kebebasan beragama dan beribadah serta menunjukkan lemahnya perlindungan dan
jaminan negara terhadap golongan minoritas.
Penulis sendiri juga pernah mengalami
ketidakbebasan beribadah. Penulis yang beribadah di GBKP Pasar Minggu juga
mengalami hal serupa. Hingga saat ini bangunan gereja GBKP Pasar Minggu masih
terbengkalai. Kami tidak diijinkan untuk mendirikan gedung gereja di daerah
Pasar Minggu. Oleh karena itu kami terpaksa berdiaspora setiap minggunya. Dulu
kami sempat beribadah di Gereja Protestan di TMII, kemudian pindah ke Kantor
Suara Pembaruan dengan sewa Rp. 600.000,-/ minggu-nya. Bukan harga yang kami
permasalahkan, tetapi jumlah jemaat yang kian hari semakin berkurang yang
menjadi kekhawatiran tersendiri. Sebagian orang beralasan jarak yang jauh
membuat mereka enggan beribadah di GBKP Pasar Minggu yang bertempat di Kantor
Suara Pembaruan, sehingga memaksa mereka untuk lebih memilih beribadah di
gereja terdekat saja daripada tidak beribadah sama sekali. Bahkan sebagian lagi
ada yang dengan terbuka menyatakan akan pindah gereja karena jarak yang jauh
itu.
Diakui
tapi tidak mendapat perlakuan yang sama (didiskriminasi) sama saja artinya
dengan mendapat kebebasan tetapi tetap terkekang (kebebasan yang terkekang). Jika selama ini kita menganggap bahwa hanya agama-agama
yang diakui saja yang tidak mendapat perlakuan diskriminatif sedangkan agama
diluar agama-agama tersebut mengalami diskriminasi, maka kita berada dalam
pemikiran yang salah. Salah satu contoh agama yang diakui yang juga mengalami
diskriminasi adalah penganut agama Hindu. Walapun agama Hindu telah menjadi salah
satu dari agama-agama yang diakui pemerintah, umat Hindu seringkali harus
melakukan perjalanan jauh untuk mendaftarkan pernikahan mereka, karena di
daerah-daerah pedesaan para pemerintah setempatnya tidak dapat atau tidak mau
melakukan pendaftaran tersebut. Selain itu, disebagian sekolah-sekolah negeri
juga belum menyediakan kurikulum pelajaran agama Hindu. Oleh karena itu, kerap
kali masih ada juga anak-anak yang terpaksa tidak naik kelas karena tidak
mengikuti pelajaran agama dan ujiannya.Bahkan ada pula sebagian anak yang
terpaksa mengikuti kurikulum pelajaran dari agama lain.
Menurut penuturan
dari Derry,seorang mahasiswa STT Jakarta, yang memiliki banyak keluarga
beragama Hindu, belum ada kurikulum pelajaran agama Hindu. Beberapa temannya
yang beragama Hindu belum pernah mendapat pelajaran agama Hindu di sekolahnya,
baik ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hingga menduduki Sekolah
Menengah Atas (SMA). Namun demikian, ada juga di sebagian sekolah yang menyuruh
anak-anaknya untuk belajar di Pura dekat sekolah. Nantinya nilai untuk
pelajaran agama mereka akan diberikan oleh pengajar mereka di Pura kepada pihak
sekolah[18].
Oleh karena itu, sudah seharusnya kita menggugat kebebasan beragama kita yang
masih terkekang di negera yang menganut asas demokrasi ini. Masih haruskah kita
beribadah dengan sembunyi-sembunyi? Sampai kapan kita terus menikmati kebebasan
yang terkekang seperti ini di Indonesia?
Dalam menanggapi
hal ini, ICRP sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang agama memiliki andil
yang besar. ICRP dapat dijadikan sebagai suatu solusi bagi masalah kebebasan
beragama yang ter(di)kekang. ICRP menangani persoalan keterkekangan kebebasan
beragama mulai dari masalah kolom agama di KTP, Pernikahan Beda Agama,
penuduhan mengajarkan ajaran yang menyesesatan, IMB tempat ibadah dan kurikulum
agama minoritas yang belum ada di sekolah-sekolah. Dengan adanya lembaga
seperti ICRP, jelas bahwa masalah-masalah tersebut setidaknya dapat tertangani
dan beberapa aspirasi masyarakat mampu di tampung. ICRP menjadi wadah
masyarakat untuk berdialog terkait dengan masalah ini. Selain itu, masyarakat
juga harus sadar akan keberagaman. Terkait dengan masalah konstitusi,
seharusnya negara mampu merevisi undang-undang tersebut sehingga masyarakat
mampu memahaminya.
Bab
III Penutup
III.
Kesimpulan dan Refleksi Teologis
Agama-agama sejatinya mempunyai visi
kedamaian dan cinta kasih antar sesama. Ajarannya begitu menakjubkan, eksotik
dan menyejukkan. Bayangkan bagaimana damainya dunia ini apabila semua
agama-agama yang seluruhnya mengajarkan cinta kasih itu terjalin dalam suatu
rangkaian kehidupan yang harmonis. Namun sayangnya tidak demikian. Itu hanya
khayalan tingat tinggi. Harmoni yang menjadi impian banyak pihak ini mulai
menjauh dari kehidupan kita. Perbedaan yang dulu kita anggap sebagai anugerah,
kini malah menjadi biang gerah. Keragaman yang dulu menjadi keindahan, kini
malah memantik persoalan untuk dipertentangkan. Kita tidak memiliki empati
untuk menghormati, menghargai, apalagi mengapresiasikan keragaman dan perbedaan
yang ada di sekitar kita. Kita tidak lagi menjadikan kemajemukan sebagai modal
berharga untuk membangun kehidupan yang menjanjikan. Kita tidak memelihara kata
toleransi di dalam kamus pribadi kita. Hal semacam inilah yang berimbas pada
penderitaan banyak orang yang kebetulan minoritas di tengah komunitas
mayoritas.
Keberagaman ini sebenarnya dapat menjadi
berkah seadainya keanekaragaman itu dihargai dan menjadi modal untuk kemajuan
bangsa Indonesia. Tetapi dapat juga menjadi musibah jika kemajemukan itu
diabaikan dan dipaksakan menjadi tunggal. Hal yang kerap menjadi masalah kita
adalah kita menganggap bahwa dengan adanya agama lain diluar agama kita maka
akan melahirkan suatu kondisi buruk yang dapat menjadi sumber permasalah besar
yang nantinya akan mampu menikam kita hingga mati tak berdaya jika tidak segera
dibabat tuntas. Meski memang tidak dapat dipungkiri juga bahwa setiap agama
memiliki ajaran, sistem ritual atau normatif yang berbeda-beda, antara yang
satu dengan yang lainnya. Tetapi rasa kemanusiaan, keadilan, keprihatinan
terhadap lingkungan yang buruk, menolong orang-orang yang terpinggirkan,
seperti orang miskin, wanita, anak-anak dan orang tua, itu sama. Jadi menurut
penulis, itu bukan hal yang relatif, tetapi justru absolut. “Absolut” ide
dasarnya, tetapi “relatif” dalam pelaksanaan dan implementasinya. Jadi tidak
sepantasnya kita terus-menerus masih saling membeda-bedakan agama yang satu
dengan yang lain. Apalagi Allah sendiri juga tidak melakukan pembedaan atas
kita. Allah yang menciptakan kemajemukan dan keberagaman tidak bermaksud untuk
menciptakan keberagaman itu untuk memperlihatkan perbedaan yang ada. Allah
sendiri tidak membedakan orang (Kis. 10: 34). Oleh karena itu sudah sepantasnya
kita juga tidak membeda-bedakan sesama kita apalagi sampai membenci dan menyakiti mereka dengan
menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama hanya karena mereka berbeda
dengan kita.
Sebenarnya
agama diharapkan dapat menjadi sumber kasih yang hakiki sebab agama mengajarkan
kasih yang kita peroleh dari Allah yang begitu mengasihi kita. Sayangnya kerap
kali agama ini disalahgunakan oleh sebagian pihak untuk menindas sesamanya yang
minoritas. Padahal dengan tindakan yang demikian, maka jelas terlihat bahwa
kita sama sekali belum mampu menangkap apa esensi dan fungsi dari agama yang
mengajarkan cinta kasih itu. Oleh sebab itu, jikalau seorang berkata
"Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah
pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak
mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Karena barangsiapa mengasihi
Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya
(1
Yoh. 4: 20-21).
Selain itu, sebagai manusia yang
beragama dan beriman, terkhusus bagi minoritas yang tertindas, hendaknya kita
juga tidak membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik
bagi semua orang! Hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang! (Roma
12:17-18). Tunjukan bahwa agama memang mengajarkan cinta kasih sehingga kita
dapat membangun harmoni di tengah keberagaman dan hidup berdampingan kendati
ada banyak perbedaan.
Masyarakat juga tidak seharusnya menjadi
masyarakat yang menutup diri dari keberagaman. Melainkan dapat menjadi
masyarakat yang sadar akan pluralisme dengan cara tidak berbuat semena-mena
terhadap kelompok minoritas. Sebagai warga negara Pancasila, masyarakat juga
sudah sepatutnya sadar hukum dan UU. Masyarakat tidak sepantasnya menyegani
fatwa-fatwa yang bertentangan dengan UU dan Konstitusi. Namun
sayangnya sejauh ini Konstitusi sendiri belum memainkan perannya dalam menjamin
pluralisme di Indonesia. Beberapa UU masih saja dilanggar oleh sebagian orang.
Namun fatwa-fatwa MUI dan perda-perda kadang terlihat lebih disegani daripada
UU yang telah ditetapkan negara. Untuk itu, Konstitusi yang
berhubungan dengan perundang-undangan tersebut perlu memainkan perannya. Selain
itu, juga harus mampu mengayomi kelompok minoritas dengan UU-nya tersebut.
Selama penulis praktek di ICRP, saya
mendapat banyak sekali pengalaman keagamaan melalui kegiatan-kegiatan ICRP.
Penulis semakin mengerti terkait permasalah agama. Penulis juga mengenal agama
Baha’i melalui ICRP, membahas soal kebebasan beragama lewat berbagai diskusi
publik yang tentu saja sangat bermanfaat dalam penyusunan laporan akhir penulis.
Seluruh rangkaian kegiatan yang dialami penulis menjadi suatu pengalaman baru
yang tidak terlupakan. Pengalaman tersebut juga memiliki korelasi dengan apa yang
selama ini penulis pelajari di STT Jakarta, yakni terkait persoalan toleransi
dan cinta kasih yang mampu menimbulkan keharmonisan hidup antarsesama.
Saran
Mengingat bahwa begitu majemuknya keyakinan dan agama
yang ada di Indonesia, maka sudah sepantasnya negara wajib menjamin pemenuhan,
perlindungan dan kemajuan atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai
bentuk perwujudan HAM yang mendasar, hak konstitusi, maupun hak sipil setiap
warga negara. Hal ini diharapkan dapat terjadi agar setiap orang berhak
menjalankan agamanya dan keyakinannya tanpa adanya tekanan, intimidasi dan
diskriminasi dengan penuh tanggung jawab, tetap memenuhi koridor hukum yang
berlaku di negara ini dan menghormati pemeluk agama lainnya. Demi terwujudnya
kebebasan HAM yang hakiki yang pada akhirnya akan dapat menjaga keseimbangan
kehidupan sosial di Indonesia.
Diharapkan juga, pemerintah mempunyai regulasi-regulasi
yang jelas, yang mengatur tata tertib kebebasan beragama ini secara lebih
tegas. Tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya dan kemanusiaan sesuai dengan
Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara. Sehingga kegamangan
pemerintah dalam menindak berbagai aliran dan ajaran yang dianggap sesat dan
dapat menyesatkan dapat diantisipasi secara dini dan meminimalisir konflik
horizontal di tingkat massa umat. Pemerintah juga semestinya memberikan
pendidikan dan pelatihan kepada aparatur negara untuk memahami berbagai masalah
kebebasan beragama yang akhir-akhir ini sudah menjadi isu nasional yang dapat
merusak tata kehidupan sosial di masyarakat. Selain itu, pemerintah dan gereja
(agama lain juga), juga harus memberikan pemahaman kepada rakyatnya tentang hak
dan kewajiban rakyat dalam memeluk agama dan keyakinannya secara bebas dan
bertanggungjawab.
Terkait dengan perundang-undangan,
rasanya keseluruhan peraturan dan undang-undang tersebut harus direvisi dengan
mengacu kepada substansi ajaran semu agama dan kepercayaan yang pasti selalu
akomoditif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Selain itu juga harus
mengacu kepada hal kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam Pancasila,
konstitusi UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hanya dengan begitu
masyarakat dan pemerintah dapat bekerja sama membangun kehidupan beragama yang
sejuk, damai dan sejahtera yang di dalamnya terjamin kemerdekaan beragama bagi
setiap individu tanpa diskriminasi sedikit pun. Negara hendaknya tidak
melibatkan diri dalam perdebatan mengenai konsep “agama” dan “kepercayaan”.
Sebab sikap yang demikian akan sejalan dengan tidak dinyatakannya di dalam UUD
1945 salah salah satu agama atau kepercayaan sebagai agama atau kepercayaan negara.
Pemerintah tidak perlu menetapkan mana jenis agama dan kepercayaan yang
diperbolehkan /diakui atau mana yang tidak diperbolehkan/ tidak diakui.
Sedangkan
untuk MUI sebagai lembaga agama yang dipercaya pemerintah dalam menangani
berbagai persoalan agama khususnya umat Islam jangan terlalu gegabah untuk
menerbitkan sebuah fatwa yang menyatakan sebuah keyakinan itu sesat dan dapat
menyesatkan sebelum dilakukan penelitian yang mendalam terhadap sebuah ajaran
itu. Sebab hal itu akan menjadi sesuatu yang buruk terkait dengan pelanggaran
HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Sedikit saran juga
untuk ICRP, sebagai lembaga tempat penulis melakukan penelitian lapangan.
Sejauh ini, ICRP sudah sangat membantu masyarakat dalam hal persoalan agama,
mulai dari adanya Sekolah Agama, Youth Camp hingga Konsultasi Pernikahan Beda
Agama. Namun alangkah baiknya jika ICRP menambah program yang mampu menampung
aspirasi keagamaan atau konsultasi keagamaan. Sebab masih banyak orang yang
belum tahu ingin mengadu kepada siapa ketika mereka mengalami kekerasan yang
mengatasnamakan agama seperti misalnya ketidakbebasan mereka dalam menjalankan
ibadahnya. Mungkin sudah ada Pos Bakum, tetapi mungkin yang dimaksudkan oleh
penulis adalah sebuah wadah yang tidak hanya sekadar mampu menampung, tetapi
juga menyampaikan aspirasi masyarakat, khususnya masyarakat minoritas yang
mengalami ketidakbebasan beragama.
Daftar Pustaka
Alamsyah M Dja’far, Ema Mukarramah
dan Febi Yonesta. Mengadili Keyakinan: Kajian
Putusan Mahkamah
Konstitusi Atas UU Pencegahan Penodaan Agama. Yogyakarta:
Naufan Pustaka dan ICRP (Indonesian
Conference on Religion and Peace), 2011.
Antone,
Hope S. Pendidikan Kristiani Kontekstual:
Pertimbangan Realitas Kemajemukan dalam
Pendidikan Agama.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Beuken,
Wim & Karl-Josef Kuschel. Agama
sebagai Sumber Kekerasan?. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1997.
Jurnal Harian Praktek Lapangan
Penulis.
Kafid, N. ToR Gus Dur
Memorial Lecture. Jakarta, 2011.
Kristianto, Agustinus
Edy. Refleksi Keberagaman Agama: Hukum
Sesat dan Menyesatkan
Hukum. Jakarta:
YLBHI, 2008.
Magnis-Suseno, Franz. Berebut Jiwa Bangsa: Dialog, Perdamaian, dan
Persaudaraan. Jakarta:
Kompas, 2006.
Thangaraj, M. Thomas. Relating to People of Other Religions: What
Every Christian Needs to
Know. Nasville:
Abingdon Press. 1997.
Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus
Besar Bahasa
Indonesia edisi ke- 4. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Sumber dari internet:
[2]
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia
edisi
keempat, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1994).
[3]
Agustinus Edy Kristianto, Refleksi
Keberagaman Agama: Hukum Sesat dan Menyesatkan Hukum, (Jakarta: YLBHI,
2008), 32.
[4]
Wim Beuken & Karl-Josef Kuschel, Agama sebagai Sumber Kekerasan?
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), 63-65.
[5]
M. Thomas Thangaraj, Relating to People
of Other Religions: What Every Christian Needs to Know, (Nasville: Abingdon
Press, 1997), 87.
[6] Hope
S. Antone, Pendidikan Kristiani
Kontekstual: Pertimbangan Realitas Kemajemukan dalam Pendidikan Agama, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2010), 41.
[7] ibid,
42.
[8] www.docstoc.com/docs/27245660/2006-Ringkasan-Eksekutif
diakses
oleh Shandy Joan Barus pada hari Selasa, 28 Juli 2011 pukul 14.00 WIB.
[9]
Alamsyah M Dja’far, Ema Mukarramah dan Febi Yonesta, Mengadili
Keyakinan: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Atas UU Pencegahan Penodaan
Agama, (Yogyakarta: Naufan Pustaka dan ICRP (Indonesian Conference on
Religion and Peace), 2011), 13.
[11]
Jurnal Harian Penulis tanggal 8 Juni
2011
[12] www.kaskus.us/showthread.php?p=426039377#post426039377 diakses
oleh Shandy Joan Barus pada hari Selasa, 28 Juli 2011 pukul 14.00 WIB.
[13] http://moslemsunnah.wordpress.com/2009/06/12/fatwa-mui-tentang-kesesatan-ahmadiyah/ diakses
oleh Shandy Joan Barus pada hari Selasa, 28 Juli 2011 pukul 14.00 WIB.
[14]
ibid, 25.
[15] http://www.wahidinstitute.org/Opini/Detail/?id=228/hl=id/Setop_Penutupan_Gereja
diakses
oleh Shandy Joan Barus pada hari Selasa, 28 Juli 2011 pukul 14.00 WIB.
[16]
Franz Magnis-Suseno, Berebut Jiwa Bangsa:
Dialog, Perdamaian, dan Persaudaraan, (Jakarta: Kompas, 2006), 368.
[17]
Jurnal Harian Penulis tanggal 21
Juli 2011
[18]
Jurnal Harian Penulis tanggal 18
Juli 2011
agen casino indonesia
BalasHapusagen judi sbobet
agen sbobet indonesia
agen sbo
agen sbobet terpercaya
agen sbobet
agen sbo terpercaya
agen judi terpercaya
sbosports
agent sbobet
agen sbobet indonesia
bandar judi terpercaya
agen judi bola terpercaya
agen judi ibcbet
sbobet indonesia
agen bola online
bandar judi bola
master agen betting online
bandar bola sbobet terpercaya
judi online
BANDARQ
Agen Poker
situs poker
poker online
Judi Poker Online
situs poker online terpercaya
Poker Online Terpercaya
poker uang asli
Domino QQ
Domino Poker
Capsa Online
QQ Online
Ceme Online
Blackjack Online
Poker Online Indonesia
Agen poker online
poker online asli
agen poker terbaik
agen poker terpercaya
situs poker uang asli
agen sbobet
poker uang asli
situs agen bola terbaik
judi casino online
agen ibcbet
situs judi online
poker online
agen judi bola
agen judi terpercaya dan terlengkap
judi online
Thanks for sharing your 918kiss malaysia 2019 thoughts with us.. they are really interesting.. I would like to read more from you.
BalasHapusI have read many blogs in the net but have never come across such a well written rollex download blog. Good work keep it up
BalasHapusI like your post & I will Mega888
BalasHapusalways be coming frequently to read more of your post. Thank you very much for your post once more.
Cabinet age recommendation kiosks are another entirely popular thing in casinos more or less the world. Some slot find thismachines attain not exceed total income. Slots is choice thing that has been created for more than a century. Through a lot of survival through self-development, we comprehend what happened to the epoch of cabinets Electrical cabinet. After the manufacture of the first slot machine seemed to be entirely popular, the slot machine continued to be developed until the birth of the neighboring slot machine era. That is, in this cartoon era, the slot rotation will no longer come from the right joystick. But electricity will mainly be used for rotation (but shaking facility will yet have to be used), and in addition, the slot robot using electricity as enthusiasm makes the screen of the slot robot more interesting.
BalasHapusIn today's world, the workplace has been transformed. Computer technology is present to one degree or another in virtually every job or profession. To prepare students adequately for the workplace we must recognize that integrating computer technology into the classroom is essential. To execute this integration properly, careful planning must precede implementation. We must be prepared to explore different means of implementation inasmuch as there is no perfect system or a "one size fits all" software program. Each institution must decide to what degree they will implement technology and how quickly they will do so. It is ONLINE SHOPPING PAKISTAN also important to appeal to educational leaders for support as well as gathering preferences from both teachers and students.
BalasHapus