Teror
Atas Nama Tuhan
Sekarang ini ide-ide
agama dan arti komunitas beragama mengambil tempat tertentu dalam kultur
kekerasan yang dilahirkan terorisme. Kasus-kasus kekerasan yang mengatasnamakan
agama tertentu mungkin sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Kejadian
yang seperti itu patut kita sesalkan karena seharusnya agama bisa mencerminkan
dan mewujudkan perdamaian dalam kehidupan umat manusia bukan malah menjadi
suatu ancaman maupun sumber kekerasan dan masalah. Berbicara soal teror atas
nama Tuhan dan terorisme yang turut menyumbangkan kekuatan tersendiri bagi
agama, saya menjadi teringat pada sebuah novel karya Damien Dematra yang
berjudul Demi Allah, Aku Jadi Teroris
yang mengungkapkan tentang kekerasan dalam agama yang berbentuk terorisme. Novel
itu menceritakan tentang seorang gadis yang salah memahami agamanya sehingga ia
rela mengorbankan dirinya melalui aksi bom bunuh diri demi Allah-nya. Ia
berniat untuk membom tempat-tempat hiburan yang sering dikunjungi oleh banyak
turis mancanegara (khususnya turis Barat). Di dalam novel tersebut, penulis
mencoba menggambarkan salah satu penyebab terorisme, akar permasalahan, dan
cara menanggulanginya. Sama halnya dengan novel tersebut, di dalam bacaan bab X
ini juga membahas mengenai teror dan terorisme tersebut. Pada dasarnya, orang
yang melakukan aksi seperti itu telah merasa bahwa mereka dibenarkan oleh wahyu
Illahi. Sehingga apabila mereka melakukan hal yang diwahyukan, maka mereka merasa
telah melakukan kebaikan dan tindakan terpuji karena telah membela agama dan
Tuhannya. Namun terkadang pemikiran yang sesempit itu malah justru meresahkan
banyak pihak lain.
Semua bentuk terorisme
berwarna kekerasan. Kekerasan dapat saja dilakukan demi alasan-alasan simbolik
bahkan strategik. Tanda-tanda terorisme agama yang digambarkan di dalam buku
ini serupa dengan ciri-ciri terorisme yang dihembuskan oleh aksi-aksi para
teroris yang semata-mata dimotivasi oleh harapan-harapan perolehan politik (political gain). Motivasi kerap kali
dijadikan kepentingan-kepentingan politik jangka pendek yang dapat
menghancurkan kemanusiaan. Motivasi agama tanpa disadari rasionalitas akan
membawa umat beragama terjebak oleh idiom-idiom keagamaan, namun realitasnya
penuh dengan kepalsuan. Hal yang menarik seputar terorisme agama adalah bahwa
mereka secara eksklusif bersifat simbolik melakukannya secara luar biasa
dramatis. Tetapi pertunjukan kekerasan yang sangat mengganggu ini dibarengi
dengan klaim justifikasi moral dan absolutisme yang amat kuat yang terlihat
dari intensitas komitmen transhistoris tujuan mereka.
Salah satu alasan
mengapa mereka melakukan tindak terorisme seperti itu adalah karena mereka
ingin memperlihatkan sikap ingin melawan pemerintahan sekuler dan otoritas. Kekerasan
dan agama muncul pada saat otoritas dipertanyakan. Hal ini karena keduanya,
baik agama maupun kekerasan, merupakan cara yang dapat digunakan untuk
menentang dan menggulingkan otoritas. Pihak yang satu memperoleh kekuasaan dari
kekerasan, sedangkan pihak yang satunya lagi merengkuh kekuasaan melaluui
kklaim-klaimnya tentang ketentraman dan kedamaian abadi. Tentu saja akan
menjadi suatu penegasan yang sangat kuat apabila keduanya dikombinasikan dalam
aksi-aksi terorisme agama. Terkadang aksi-aksi kekerasan ini diharapkan dapat
menjadi aksi-aksi politik yang memiliki konsekuensi-konsekuensi politik. Namun
selama aksi-aksi tersebut merupakan upaya-upaya pembentukan kembali ketentraman
publik, maka aksi-aksi seperti itu akan dipahami sebagai peningkatan
“deprivatisasi” agama seperti yang diungkapkan oleh Jose Casanova.
Disadari atau tidak, kekerasan dan realitas
terorisme atas nama agama dan Tuhan yang ada disekitar kita secara tidak
langsung juga telah memberdayakan agama. Oleh karena itu, hendaknya kita
sendiri juga jangan sampai terjerumus ke dalam kekerasan agama yang seperti
itu. Sebab dengan melakukan aksi yang sedemikian rupa, tidak berarti bahwa kita
telah membela Tuhan karena memang Tuhan tidak perlu dibela. Malah kita akan
terlihat seperti telah membajak Tuhan, karena dengan mengandalkan dan menjual
namaNya kita melakukan aksi kekerasan agama yang sama sekali tidak mencerminkan
kita sebagai manusia yang beragama dan memiliki Tuhan.
Bab X ini menawarkan
bagaimana cara untuk memusnahkan kekerasan tersebut, yakni dengan membinasakan
para teroris tersebut atau menguasai mereka dengan cara kekerasan namun saya
pribadi rasanya kurang setuju dengan hal itu. Kita tidak harus melawan kekerasan
dengan kekerasan. Kita tidak mungkin menggigit balik anjing yang telah
menggigit kita, kan? Kekerasan yang
dihadapai dengan kekerasan pula tidak akan membuahkan hasil. Namun justru
dengan kasih, mungkin kekerasan tersebut dapat kita luluhkan. Sebuah film tentang
pruralisme karya Hanung B. yang berjudul “?”
(Tanda Tanya) memperlihatkan bahwa ada
komunitas dari agama yang selama ini disoroti dan dipandang sebagai komunitas
teroris sendiri merasa bahwa mereka harus/perlu menghapuskan image terorisme dan kekerasan yang telah
tertancap dalam jati diri agama mereka. Dengan adanya kesadaran, kasih dan
kebaikan, mereka sendiri mau mengubah kekerasan tersebut dengan kasih, bukan melawan
kekerasan dengan kekerasan pula. Jika mereka saja bisa, masakah kita tidak bisa
melawan kekerasan dengan kasih yang kita miliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar