Rabu, 23 Januari 2013

Teror Atas Nama Tuhan


Teror Atas Nama Tuhan

Sekarang ini ide-ide agama dan arti komunitas beragama mengambil tempat tertentu dalam kultur kekerasan yang dilahirkan terorisme. Kasus-kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama tertentu mungkin sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Kejadian yang seperti itu patut kita sesalkan karena seharusnya agama bisa mencerminkan dan mewujudkan perdamaian dalam kehidupan umat manusia bukan malah menjadi suatu ancaman maupun sumber kekerasan dan masalah. Berbicara soal teror atas nama Tuhan dan terorisme yang turut menyumbangkan kekuatan tersendiri bagi agama, saya menjadi teringat pada sebuah novel karya Damien Dematra yang berjudul Demi Allah, Aku Jadi Teroris yang mengungkapkan tentang kekerasan dalam agama yang berbentuk terorisme. Novel itu menceritakan tentang seorang gadis yang salah memahami agamanya sehingga ia rela mengorbankan dirinya melalui aksi bom bunuh diri demi Allah-nya. Ia berniat untuk membom tempat-tempat hiburan yang sering dikunjungi oleh banyak turis mancanegara (khususnya turis Barat). Di dalam novel tersebut, penulis mencoba menggambarkan salah satu penyebab terorisme, akar permasalahan, dan cara menanggulanginya. Sama halnya dengan novel tersebut, di dalam bacaan bab X ini juga membahas mengenai teror dan terorisme tersebut. Pada dasarnya, orang yang melakukan aksi seperti itu telah merasa bahwa mereka dibenarkan oleh wahyu Illahi. Sehingga apabila mereka melakukan hal yang diwahyukan, maka mereka merasa telah melakukan kebaikan dan tindakan terpuji karena telah membela agama dan Tuhannya. Namun terkadang pemikiran yang sesempit itu malah justru meresahkan banyak pihak lain.
Semua bentuk terorisme berwarna kekerasan. Kekerasan dapat saja dilakukan demi alasan-alasan simbolik bahkan strategik. Tanda-tanda terorisme agama yang digambarkan di dalam buku ini serupa dengan ciri-ciri terorisme yang dihembuskan oleh aksi-aksi para teroris yang semata-mata dimotivasi oleh harapan-harapan perolehan politik (political gain). Motivasi kerap kali dijadikan kepentingan-kepentingan politik jangka pendek yang dapat menghancurkan kemanusiaan. Motivasi agama tanpa disadari rasionalitas akan membawa umat beragama terjebak oleh idiom-idiom keagamaan, namun realitasnya penuh dengan kepalsuan. Hal yang menarik seputar terorisme agama adalah bahwa mereka secara eksklusif bersifat simbolik melakukannya secara luar biasa dramatis. Tetapi pertunjukan kekerasan yang sangat mengganggu ini dibarengi dengan klaim justifikasi moral dan absolutisme yang amat kuat yang terlihat dari intensitas komitmen transhistoris tujuan mereka.
Salah satu alasan mengapa mereka melakukan tindak terorisme seperti itu adalah karena mereka ingin memperlihatkan sikap ingin melawan pemerintahan sekuler dan otoritas. Kekerasan dan agama muncul pada saat otoritas dipertanyakan. Hal ini karena keduanya, baik agama maupun kekerasan, merupakan cara yang dapat digunakan untuk menentang dan menggulingkan otoritas. Pihak yang satu memperoleh kekuasaan dari kekerasan, sedangkan pihak yang satunya lagi merengkuh kekuasaan melaluui kklaim-klaimnya tentang ketentraman dan kedamaian abadi. Tentu saja akan menjadi suatu penegasan yang sangat kuat apabila keduanya dikombinasikan dalam aksi-aksi terorisme agama. Terkadang aksi-aksi kekerasan ini diharapkan dapat menjadi aksi-aksi politik yang memiliki konsekuensi-konsekuensi politik. Namun selama aksi-aksi tersebut merupakan upaya-upaya pembentukan kembali ketentraman publik, maka aksi-aksi seperti itu akan dipahami sebagai peningkatan “deprivatisasi” agama seperti yang diungkapkan oleh Jose Casanova.
 Disadari atau tidak, kekerasan dan realitas terorisme atas nama agama dan Tuhan yang ada disekitar kita secara tidak langsung juga telah memberdayakan agama. Oleh karena itu, hendaknya kita sendiri juga jangan sampai terjerumus ke dalam kekerasan agama yang seperti itu. Sebab dengan melakukan aksi yang sedemikian rupa, tidak berarti bahwa kita telah membela Tuhan karena memang Tuhan tidak perlu dibela. Malah kita akan terlihat seperti telah membajak Tuhan, karena dengan mengandalkan dan menjual namaNya kita melakukan aksi kekerasan agama yang sama sekali tidak mencerminkan kita sebagai manusia yang beragama dan memiliki Tuhan.
Bab X ini menawarkan bagaimana cara untuk memusnahkan kekerasan tersebut, yakni dengan membinasakan para teroris tersebut atau menguasai mereka dengan cara kekerasan namun saya pribadi rasanya kurang setuju dengan hal itu. Kita tidak harus melawan kekerasan dengan kekerasan. Kita tidak mungkin menggigit balik anjing yang telah menggigit kita, kan? Kekerasan yang dihadapai dengan kekerasan pula tidak akan membuahkan hasil. Namun justru dengan kasih, mungkin kekerasan tersebut dapat kita luluhkan. Sebuah film tentang pruralisme karya Hanung B. yang berjudul “?” (Tanda Tanya) memperlihatkan bahwa ada komunitas dari agama yang selama ini disoroti dan dipandang sebagai komunitas teroris sendiri merasa bahwa mereka harus/perlu menghapuskan image terorisme dan kekerasan yang telah tertancap dalam jati diri agama mereka. Dengan adanya kesadaran, kasih dan kebaikan, mereka sendiri mau mengubah kekerasan tersebut dengan kasih, bukan melawan kekerasan dengan kekerasan pula. Jika mereka saja bisa, masakah kita tidak bisa melawan kekerasan dengan kasih yang kita miliki. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar