Rabu Abu
Pendahuluan
Untuk sebagian orang Protestan,
istilah Rabu Abu merupakan sesuatu hal yang agak asing terdengar di telinga
mereka. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh karena mereka jarang merayakan
perayaan Hari Rabu Abu ini di gereja mereka. Hari Rabu Abu sebagai hari pertama
ataupun awal pembuka masa Pra-Paska merupakan masa pertobatan, perkabungan,
introspeksi diri, pendekatan diri kepada Tuhan dan berpuasa[1]. Peristiwa ini
terjadi pada hari Rabu, 40 hari sebelum Paskah tanpa menghitung hari-hari Minggu atau 44 hari (termasuk Minggu) sebelum
hari Jumat Agung. Untuk tahun ini jika dilihat berdasarkan penghitungan kalender Gregorian,
maka dapat dikatakan bahwa hari Rabu Abu sebagai pembuka masa Pra-Paska jatuh
pada tanggal 9 Maret 2011.
Sejarah
Rabu Abu
Sejak abad ke-4 hingga ke-10, istilah
Rabu Abu belum muncul. Kemungkinan
kebiasaan mengolesi abu pada dahi atau ubun-ubun baru dirayakan secara liturgis
pada tahun 900-an. Sebelumnya, abu hanya digunakan sebagai suatu tanda para
pentobat yang mau mengaku dosa. Namun berangsur-angsur
penggunaan Rabu Abu terjadi pada akhir abad ke-11 hingga ke-13 dari Rhenish,
Itali hingga Roma oleh Paus sendiri[2].
Pada akhir abad tersebut, Paus
Urbanus II menitahkan penggunaan abu di setiap gereja. Kemudian sejak saat itu
muncul beberapa doa-doa mengiringi penaburan abu. Hari penggunaan abu tersebut
dikenal sebagai dies cinerum (hari
abu) dan akhirnya dikenal dengan hari Rabu Abu.
Kemudian pada
abad ke-12 terdapat aturan bahwa abu harus terbuat dari cabang dan daun palma
dari Minggu Palma tahun sebelumnya dan aturan itu berlaku hingga kini.
Menurut sejarah tradisinya, dalam ibadah Rabu
Abu dilaksanakan upacara khusus pembubuhan abu di kepala atau di dahi sebagai
simbol ungkapan pertobatan dan tanda penyesalan akan dosa-dosa. Penaburan abu
di kepala (yang merupakan bagian paling atas dari tubuh, mengungkapkan bahwa
penguburan manusia ketika mati yang akan ditutupi oleh tanah sampai ke atas
kepala.[3]
Abu
yang digunakan pada Hari Rabu Abu berasal dari daun-daun palma yang telah
diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah kering
kemudian dibakar. Setelah Pembacaan Injil dan Homili abu diberkati. Abu yang
telah diberkati oleh gereja menjadi benda yang sakramentali. Pendeta atau Imam
memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda
salib dan berkata, “Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi
debu,” atau “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil”[4].
Menarik bahwa awalnya, para klerus
dan kaum pria menerima penaburan abu di atas kepala mereka. Sementara itu, kaum
wanita menerima tanda salib abu di dahi mereka. Namun sekarang, seperti yang
kita ketahui bersama, semua menerima tanda salib abu di dahi.
Abu dalam Kitab Suci, khususnya Perjanjian Lama, merupakan
tanda umum ungkapan pertobatan dan penyesalan karena manusia mengakui kelemahan
dan kerapuhannya (Yun 3:6) sekaligus juga untuk melambangkan harapan akan
kebangkitan, dimana segala sesuatu ini akan lenyap dan hangus oleh nyala api
dan digantikan oleh bumi dan langit baru (2 Ptr. 3:10-13)[5]. Para nabi Perjanjian Lama juga
menyinggung soal abu dengan mengingatkan Umat Allah siapa sebenarnya manusia
itu. Ketika Yeremia berseru: "Hai puteri bangsaku, kenakanlah kain kabung,
dan berguling-gulinglah dalam debu!" (Yer 6:26), ia ingin mengingatkan
bangsanya untuk bertobat dan merendahkan diri di hadapan Tuhan. Sebab manusia
telah menjadi begitu sombong (berdosa) sehingga lupa bersyukur kepada Allah dan
melakukan kehendak-Nya. Ketika orang-orang Niniwe mendengarkan berita
penghukuman dari Allah melalui Nabi Yunus, mereka sadar dan percaya. Sebagai
salah satu tanda pertobatan, ketika Raja Niniwe
mendengar nubuat Yunus bahwa Niniwe akan ditunggangbalikkan, maka turunlah ia
dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung,
lalu ia duduk
di abu (Yun 3:6). Dengan demikian, ia mengakui kerendahannya dan mohon
kemurahan hati Allah lagi bagi kotanya. Daniel di tengah penderitaannya juga
memohon kemurahan hati Allah dengan tanda abu (Dan 9:3). Ayub juga dikatakan
duduk di abu ketika mengalami pencobaan yang besar (Ayb 2:8). Tindakannya ini
merupakan tanda bahwa ia tetap percaya kepada Tuhan. Segala sesuatu bagi Ayub
adalah pemberian Tuhan. "TUHAN yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah
nama TUHAN!" (Ayb 1:21). Demikian juga dengan
Ester ketika menerima kabar dari Mordekhai, anak dari saudara ayahnya, bahwa ia
harus menghadap raja untuk menyelamatkan bangsanya, maka ia menaburi kepalanya
dengan abu sebagai tanda kesedihan, penyesalan dan pertobatan (Ester 4).
Dalam Mazmur 102:10 penyesalan juga digambarkan dengan "memakan abu".
Di sisi lain, sejak hari Rabu Abu,
minggu-minggu Pra-Paska sampai hari raya Paska ada waktu 40 hari, dipakai oleh
umat untuk berpuasa secara khusus. Angka 40 hari ini diambil dari 40 hari Tuhan
Yesus berpuasa.[6]
Sebagai milik Kristus (serupa dengan Kristus), maka jemaat diajak untuk
memahami makna tersebut. Bentuk puasa
yang diusulkan adalah sikap menyangkal diri terhadap hal-hal yang begitu
digemari oleh umat. Sehingga mulai Rabu Abu sampai menjelang Paska, umat dapat
menghindari hal-hal yang selama ini mengikat atau menjadi ketergantungan,
misalnya terhadap kebiasaan merokok, minum anggur, makan makanan lezat, sikap
yang konsumtif. Juga umat belajar menyangkal diri secara intensif terhadap
kebiasaan buruk seperti marah, iri hati, sombong, tamak, malas, dan nafsu.
Semua tindakan puasa tersebut, umat diharapkan dapat menahan diri dari hal-hal
tersebut dan menghasilkan pembaharuan hidup.
Lebih lanjut lagi, sebenarnya makna teologis yang
terdalam dari rabu Abu adalah umat Tuhan dapat mengungkapkan sikap penyesalan
dan pertobatannya (2 Samuel 13:19, Yunus 3:5-6, Ratapan 2:10, Daniel 9:3-6).
Sikap Penyesalan dan pertobatan umat didasarkan kepada kesadaran akan
kefanaannya sebagai makhluk. Hal itu juga tercermin dari simbol abu. Sifat abu yang mudah sekali buyar dan
tercerai-berai dihembus angin. Selain itu, segala sesuatu yang dibakar akan
menjadi abu, dan jika sudah menjadi abu, segala sesuatu itu sudah tidak ada
gunanya lagi. Demikian pula halnya dengan manusia yang berasal dari debu (abu) tanah,
yang secara tidak langsung juga mengungkapkan kefanaan manusia. Itu sebabnya pada hari Rabu Abu, gereja menggunakan abu untuk
menyatakan hakikat manusia yang fana dan lemah (Mazmur 103:14; Kejadian 2:7).
Sehingga jelaslah bahwa Rabu Abu dan Pra-Paska merupakan masa di mana gereja
menyadari keberdosaan dan kefanaan diri serta kebergantungannya pada rahmat
Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abineno, J.L.Ch., Unsur-unsur Liturgi, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 200..
Hickman. Hoyt.L,dkk.
The New Hand Book of the Christian
Year, USA: Abingdon Press,
1986.
Martasudjita, E., Memahami Simbol-simbol dalam Liturgi, Yogyakarta:
Kanisius, 1998.
Rachman,
Rasid., Hari Raya Liturgi, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2009.
Webber, Robert.E., The
Services of the Christian Year Vol.5: The Services of the Christian
Year, USA: Star Song Publishing Group, 1994.
Zimmerman, Martha., Celebrating the Christian Year, Minneasota:
Bethany House
Publishers, 1993.
Website:
[1] Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2009), 57.
[2] ibid, 58.
[3]
Renungan Warta Jemaat GKI
Surya Utama oleh Rasid Rachman pada hari Minggu, 6 Maret 2011.
[4] Martha Zimmerman, Celebrating the Christian Year,
(Minneasota: Bethany House Publishers, 1993), 104.
[5] E. Martasudjita, Pr., Memahami Simbol-simbol dalam Liturgi, (Yogyakarta:
Kanisius, 1998), 38-39.
[6] Diakses kelompok dari http://yesaya.indocell.net/id73.htm
pada hari Sabtu, 5 Maret 2011 pukul 12.30 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar