Rabu, 23 Januari 2013

Rabu Abu


Rabu Abu
Pendahuluan
Untuk sebagian orang Protestan, istilah Rabu Abu merupakan sesuatu hal yang agak asing terdengar di telinga mereka. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh karena mereka jarang merayakan perayaan Hari Rabu Abu ini di gereja mereka. Hari Rabu Abu sebagai hari pertama ataupun awal pembuka masa Pra-Paska merupakan masa pertobatan, perkabungan, introspeksi diri, pendekatan diri kepada Tuhan dan berpuasa[1]. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 40 hari sebelum Paskah tanpa menghitung hari-hari Minggu atau 44 hari (termasuk Minggu) sebelum hari Jumat Agung. Untuk tahun ini jika dilihat berdasarkan penghitungan kalender Gregorian, maka dapat dikatakan bahwa hari Rabu Abu sebagai pembuka masa Pra-Paska jatuh pada tanggal 9 Maret 2011.

Sejarah Rabu Abu                  
Sejak abad ke-4 hingga ke-10, istilah Rabu Abu belum muncul. Kemungkinan kebiasaan mengolesi abu pada dahi atau ubun-ubun baru dirayakan secara liturgis pada tahun 900-an. Sebelumnya, abu hanya digunakan sebagai suatu tanda para pentobat yang mau mengaku dosa. Namun berangsur-angsur penggunaan Rabu Abu terjadi pada akhir abad ke-11 hingga ke-13 dari Rhenish, Itali hingga Roma oleh Paus sendiri[2]. Pada akhir abad tersebut, Paus Urbanus II menitahkan penggunaan abu di setiap gereja. Kemudian sejak saat itu muncul beberapa doa-doa mengiringi penaburan abu. Hari penggunaan abu tersebut dikenal sebagai dies cinerum (hari abu) dan akhirnya dikenal dengan hari Rabu Abu. Kemudian pada abad ke-12 terdapat aturan bahwa abu harus terbuat dari cabang dan daun palma dari Minggu Palma tahun sebelumnya dan aturan itu berlaku hingga kini.
Menurut  sejarah tradisinya, dalam ibadah Rabu Abu dilaksanakan upacara khusus pembubuhan abu di kepala atau di dahi sebagai simbol ungkapan pertobatan dan tanda penyesalan akan dosa-dosa. Penaburan abu di kepala (yang merupakan bagian paling atas dari tubuh, mengungkapkan bahwa penguburan manusia ketika mati yang akan ditutupi oleh tanah sampai ke atas kepala.[3] Abu yang digunakan pada Hari Rabu Abu berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah kering kemudian dibakar. Setelah Pembacaan Injil dan Homili abu diberkati. Abu yang telah diberkati oleh gereja menjadi benda yang sakramentali.  Pendeta atau Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, “Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu,” atau “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil”[4]. Menarik bahwa awalnya, para klerus dan kaum pria menerima penaburan abu di atas kepala mereka. Sementara itu, kaum wanita menerima tanda salib abu di dahi mereka. Namun sekarang, seperti yang kita ketahui bersama, semua menerima tanda salib abu di dahi.
Abu dalam Kitab Suci, khususnya Perjanjian Lama, merupakan tanda umum ungkapan pertobatan dan penyesalan karena manusia mengakui kelemahan dan kerapuhannya (Yun 3:6) sekaligus juga untuk melambangkan harapan akan kebangkitan, dimana segala sesuatu ini akan lenyap dan hangus oleh nyala api dan digantikan oleh bumi dan langit baru (2 Ptr. 3:10-13)[5]. Para nabi Perjanjian Lama juga menyinggung soal abu dengan mengingatkan Umat Allah siapa sebenarnya manusia itu. Ketika Yeremia berseru: "Hai puteri bangsaku, kenakanlah kain kabung, dan berguling-gulinglah dalam debu!" (Yer 6:26), ia ingin mengingatkan bangsanya untuk bertobat dan merendahkan diri di hadapan Tuhan. Sebab manusia telah menjadi begitu sombong (berdosa) sehingga lupa bersyukur kepada Allah dan melakukan kehendak-Nya. Ketika orang-orang Niniwe mendengarkan berita penghukuman dari Allah melalui Nabi Yunus, mereka sadar dan percaya. Sebagai salah satu tanda pertobatan, ketika Raja Niniwe mendengar nubuat Yunus bahwa Niniwe akan ditunggangbalikkan, maka turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu ia duduk di abu (Yun 3:6). Dengan demikian, ia mengakui kerendahannya dan mohon kemurahan hati Allah lagi bagi kotanya. Daniel di tengah penderitaannya juga memohon kemurahan hati Allah dengan tanda abu (Dan 9:3). Ayub juga dikatakan duduk di abu ketika mengalami pencobaan yang besar (Ayb 2:8). Tindakannya ini merupakan tanda bahwa ia tetap percaya kepada Tuhan. Segala sesuatu bagi Ayub adalah pemberian Tuhan. "TUHAN yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayb 1:21). Demikian juga dengan Ester ketika menerima kabar dari Mordekhai, anak dari saudara ayahnya, bahwa ia harus menghadap raja untuk menyelamatkan bangsanya, maka ia menaburi kepalanya dengan abu sebagai tanda kesedihan, penyesalan dan pertobatan (Ester 4). Dalam Mazmur 102:10 penyesalan juga digambarkan dengan "memakan abu".
Di sisi lain, sejak hari Rabu Abu, minggu-minggu Pra-Paska sampai hari raya Paska ada waktu 40 hari, dipakai oleh umat untuk berpuasa secara khusus. Angka 40 hari ini diambil dari 40 hari Tuhan Yesus berpuasa.[6] Sebagai milik Kristus (serupa dengan Kristus), maka jemaat diajak untuk memahami makna tersebut. Bentuk puasa yang diusulkan adalah sikap menyangkal diri terhadap hal-hal yang begitu digemari oleh umat. Sehingga mulai Rabu Abu sampai menjelang Paska, umat dapat menghindari hal-hal yang selama ini mengikat atau menjadi ketergantungan, misalnya terhadap kebiasaan merokok, minum anggur, makan makanan lezat, sikap yang konsumtif. Juga umat belajar menyangkal diri secara intensif terhadap kebiasaan buruk seperti marah, iri hati, sombong, tamak, malas, dan nafsu. Semua tindakan puasa tersebut, umat diharapkan dapat menahan diri dari hal-hal tersebut dan menghasilkan pembaharuan hidup.
Lebih lanjut lagi, sebenarnya makna teologis yang terdalam dari rabu Abu adalah umat Tuhan dapat mengungkapkan sikap penyesalan dan pertobatannya (2 Samuel 13:19, Yunus 3:5-6, Ratapan 2:10, Daniel 9:3-6). Sikap Penyesalan dan pertobatan umat didasarkan kepada kesadaran akan kefanaannya sebagai makhluk. Hal itu juga tercermin dari simbol abu. Sifat abu yang mudah sekali buyar dan tercerai-berai dihembus angin. Selain itu, segala sesuatu yang dibakar akan menjadi abu, dan jika sudah menjadi abu, segala sesuatu itu sudah tidak ada gunanya lagi. Demikian pula halnya dengan manusia yang berasal dari debu (abu) tanah, yang secara tidak langsung juga mengungkapkan kefanaan manusia. Itu sebabnya pada hari Rabu Abu, gereja menggunakan abu untuk menyatakan hakikat manusia yang fana dan lemah (Mazmur 103:14; Kejadian 2:7). Sehingga jelaslah bahwa Rabu Abu dan Pra-Paska merupakan masa di mana gereja menyadari keberdosaan dan kefanaan diri serta kebergantungannya pada rahmat Tuhan.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Abineno, J.L.Ch., Unsur-unsur Liturgi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 200..
Hickman. Hoyt.L,dkk.  The New Hand Book of the Christian Year, USA: Abingdon Press,
                1986.
Martasudjita, E., Memahami Simbol-simbol dalam Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Rachman, Rasid., Hari Raya Liturgi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Webber, Robert.E., The Services of the Christian Year Vol.5: The Services of the Christian
                Year, USA: Star Song Publishing Group, 1994.
Zimmerman, Martha., Celebrating the Christian Year, Minneasota: Bethany House
               Publishers, 1993.

Website:








[1] Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 57.
[2] ibid, 58.
[3] Renungan Warta Jemaat GKI Surya Utama oleh Rasid Rachman pada hari Minggu, 6 Maret 2011.
[4] Martha Zimmerman, Celebrating the Christian Year, (Minneasota: Bethany House Publishers, 1993), 104.
[5] E. Martasudjita, Pr., Memahami Simbol-simbol dalam Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 38-39.
[6] Diakses kelompok dari http://yesaya.indocell.net/id73.htm pada hari Sabtu, 5 Maret 2011 pukul 12.30 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar