Rabu, 23 Januari 2013

Agama dan Kekerasan: Teror Atas Nama Tuhan Allah “Demi Allah Aku Jadi Teroris”



Agama dan Kekerasan: Teror Atas Nama Tuhan Allah
“Demi Allah Aku Jadi Teroris”

Pendahuluan
            Berbicara mengenai agama bagaikan berbicara tentang sebuah koin yang memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, agama dipahami sebagai sebuah jalan dan penjaminan keselamatan, cinta, dan perdamaian. Namun di sisi lain, sejarah membuktikan bahwa agama justru dapat menjadi sumber, penyebab, dan alasan bagi kehancuran dan kemalangan, bahkan dapat menjadi bencana bagi umat manusia. Karena agama, orang dapat saling mencintai satu sama lain, dan atas nama agama pula, orang dapat saling membunuh dan menghancurkan.
Kasus-kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama tertentu mungkin sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita, bahkan mungkin saja beberapa diantara kita pernah mengalami kekerasan tersebut. Namun sayangnya kekerasan yang terjadi tersebut sebagian kecil dipengaruhi oleh kemajemukan agama-agama yang ada. Hal tersebut sangat disesalkan dapat terjadi karena seharusnya agama dapat mencerminkan dan mewujudkan perdamaian dalam kehidupan umat manusia. Banyak contoh kekerasan yang mengatasnamakan agama, salah satu diantaranya adalah aksi terorisme. Terorisme berasal dari bahasa Latin Terrere yang berarti menimbulkan rasa gemetar dan cemas.[1] Terorisme jarang sekali tampil dalam bentuk aksi yang sendiri-sendiri. Sebagaimana terlihat dalam berbagai kasus dan peristiwa yang terjadi, maka dapat dikatakan bahwa terorisme selalu melibatkan komunitas dan jaringan organisasi yang cukup besar untuk melakukan sebuah keberhasilan aksinya. Aksi atau tindakan terorisme dapat terlihat dari hal-hal sederhana (misalnya teror sms), hingga aksi pengeboman dan bom bunuh diri seperti yang dilakukan oleh Jaringan Al-Qaeda, misalnya. Oleh karena itu, melalui paper ini penulis akan menjelaskan tentang kekerasan yang terjadi dalam agama dan keterkaitannya dengan aksi terorisme.  Meskipun harus diakui bahwa penulis mengalami keterbatasan dalam memaparkannya secara mendalam. Penulis juga berharap agar paper sederhana ini dapat menjadi secercah cahaya yang menerangi cakrawala nalar kita yang tak terbatas ini agar semakin mengerti perihal kekerasan dalam agama sehingga lubang kekerasan dalam agama yang menganga lebar tersebut mampu kita hindari bahkan kita tutup bersama.
Kekerasan Berlandaskan Agama sebagai Hasil dari Kemajemukan
            Sekarang ini kemajemukan bukanlah sesuatu yang tabu lagi. Kemajemukan adalah salah satu isu yang menarik untuk diperdebatkan karena tidak semua orang dapat menerima kemajemukan. Sebagian orang memang menolak kemajemukan namun tidak sedikit pula orang yang malah menerima kemajemukan tersebut dengan terbuka. Berbicara soal kemajemukan, maka kita akan menyinggung soal perbedaan dan keberagaman.
Banyak keberagaman dan perbedaan yang dapat kita temui di dunia ini. Salah satunya adalah agama. Agama adalah suatu ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya.[2] Agama yang diakui di Indonesia adalah agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha. Namun sayangnya keberagaman agama yang ada ini sering kali dilandaskan untuk melakukan tindak kekerasan. Kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[3] Menurut Jurgens Meyer, kekerasan adalah sifat alamiah imajinasi agama yang selalu memiliki kecenderungan mengabsolutkan dan memproyeksikan pandangan-pandangan perang kosmik. Kekerasan juga banyak dilakukan bersamaan dengan ketegangan-ketegangan sosial di dalam ruang sejarah masa kini.
Sebenarnya kemajemukan bukan hanya baru terjadi beberapa abad yang lalu. Kemajemukan bahkan sudah ada sejak awal penciptaan. Allah sendiri menciptakan banyak kemajemukan di dunia ini. Bahkan akan menjadi aneh rasanya jika tidak ada kemajemukan di dunia ini. Namun kekerasan yang banyak terjadi di dalam agama memperlihatkan bahwa kita tidak mampu menerima keberagaman yang ada.
Di zaman kapitalis, agama adalah sistem nilai yang realisasinyasangat ditentukan oleh dinamika masyarakat itu sendiri.[4] Sebab sebenarnya jika ditinjau lebih jauh lagi, agama hanya terjebak oleh kekerasan yang tidak diciptakannya.[5] Agama akan cenderung mengarah pada tindakan kekerasan ketika identitasnya terancam. Maksudnya, problem tersebut bukan terletak pada agama itu sendiri melainkan pada masyarakat yang terkondisikan untuk melakukan kekerasan. Sebagai contoh, para penganut agama yang fanatik akan berusaha untuk mempertahankan identitas agamanya dengan cara apapun, termasuk dengan cara terorisme atau kekerasan lainnya. Kekerasaan muncul ketika ada kesalahpahaman tentang ajaran dan juga dapat terjadi karena adanya perasaan terancam. Selain itu, cara pandang yang berbeda terhadap kemajemukan agama lain diluar agamanya juga memampukan masyarakat yang terkondisikan untuk melakukan kekerasan berlandaskan agama tersebut semakin membabi buta agama lain.
Bagi sebagian orang, pendidikan dan aktivitas antariman, secara umum, haruslah berpusat pada kekayaan iman masing-masing yang mempunyai potensi yang mempersatukan. Namun sebagian orang yang lain melihat pentingnya memahami perbedaan-perbedaan, mempelajari berbagai keterampilan untuk hidup bersama, meneliti dan menghargai perbedaan-perbedaan tersebut. Sebenarnya kekerasan agama tidak hanya terjadi kepada mereka yang memiliki iman yang berbeda, namun juga kepada mereka yang memiliki perspektif iman yang berbeda meskipun masih berada di dalam agama yang sama. Selain itu, kekerasan juga acap kali terjadi terhadap ideologi yang berbeda terutama kepada kelompok minoritas yang lain. Hal ini dapat terjadi karena benih kebencian terus dipupuk. Mungkin sebagian orang selalu terbiasa untuk melihat segala yang berbeda dengan dirinya dengan pemaknaan sesat dan menyimpang. Oleh karena itu, dapat kita rumuskan dua sikap terhadap kemajemukan:
1.      Mencerminkan mentalitas agar semuanya menjadi satu. Sikap ini menampakkan diri menerima kemajemukan, namun sebenarnya gelisah menghadapai kemajemukan itu.
2.       Menerima kemajemukan sebagai kenyataan esensial dari kehidupan manusia dan masyarakat, lalu berusaha menemukan jalan untuk memahami perannya yang dinamis dalam realitas yang majemuk. Penerimaan kemajemukan tidak dimaksudkan untuk mengorbankan pertimbangan-pertimbangan kritis. Namun sering kita menyaksikan kesalahpahaman, seolah-olah kita harus menyampaikan pertimbangan-pertimbangan kritis agar dapat berperan antarbudaya dan antariman.
            Berbicara mengenai sikap masyarakat terhadap kemajemukan, banyak pendidik, sarjana, dan bahkan teolog yang mengamati pendekatan-pendekatan umum dari terhadap keberagaman tersebut dan bagaimana pendekatan-pendekatan ini berdampak terhadap praktek pendidikan agama dan atau pendidikan Kristiani. Dari pengamatan ini, John Hick, seorang filsuf Inggris mencatat tiga pendekatan yang terangkum dalam artikelnya yang berjudul “Religious Pluralisme” yaitu pendekatan eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Pendekatan-pendekatan ini merupakan respon terhadap keberagaman jenis apa pun, tidak hanya kemajemukan agama. Respon-respon ini tidak hanya bersifat tingkah laku (behavioral), tetapi juga terkait dengan sikap (attitudinal).[6]
            Mengenai ekslusivisme, Hick mengatakan bahwa pendekatan ini adalah semacam sikap arogansi agama ketika diperhadapkan dengan kepercayaan lain. Lebih lagi ketika suatu agama merasa pendiriannya ditantang oleh alternatif lain. Untuk inklusivisme, Hick menjelaskan bahwa pendekatan ini sebenarnya terbuka dengan “yang lain”, namun secara bersamaan juga tetap memegang teguh keyakinannya. Dengan kata lain, di tengah keberagaman yang ada, golongan ini masih mempertahankan suatu keyakinan tertentu yang dianggapnya sebagai kebenaran yang paling mutlak sedangkan yang lain itu hanya mencerminkan beberapa aspek dari kebenaran tersebut.[7] Selanjutnya pluralisme diartikan sebagai pandangan yang mengadakan kesetaraan pada setiap agama. Dengan demikian, pendekatan ini memberi kesempatan untuk berdialog secara terbuka dengan yang berbeda agama. Dialog ini memiliki komitmen untuk memberi dan menerima pemahaman dari agama lain. Pendekatan golongan ini mengakui adanya keterbatasan pandangan-pandangan mereka, dan terus berupaya mencari pemahaman tersebut dengan mempelajari istilah-istilah atau nilai-nilai dari yang lain melalui dialog-dialog. Namun sayangnya, ada sebagian pihak yang mengaku bersikap pluralisme padahal sesungguhnya mereka telah bersikap inklusivisme atau malah ada yang mengaku inklusivisme tetapi malah memperlihatkan sikap pluralisme dalam setiap tindakan mereka.
Tidak dapat dipungkiri, penolakan terhadap kemajemukan tersebut jelas juga akan memicu kekerasaan yang berlandaskan agama yang kemudian menjadikan agama sebagai sebuah ancaman tersendiri bagi pemeluknya. Kekerasan yang berlandasakan agama akan terlihat sebagai hasil dari kemajemukan yang ditolak. Kita sendiri terkadang berpikir sempit mengenai kemajemukan tersebut karena sejak kecil pun kita sudah diajar dan didik untuk tidak menerima kemajemukan tersebut. Akan tetapi, akan menjadi sangat disayangkan nantinya apabila saat agama terus menerus menjadi sebuah ancaman dan bencana bagi pemeluknya, maka akan ada keinginan dari pemeluknya untuk lebih baik tidak beragama daripada beragama namun penuh dengan tekanan dan rasa khawatir dan takut dengan kekerasan dan radikalisme.

Teror, Teroris, dan Terorisme
Dari hari ke hari semakin banyak tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama yang terjadi dalam kehidupan umat manusia. Peristiwa pengeboman di berbagai tempat semakin menunjukkan kepada kita bahwa semakin meningkatnya kekerasan yang mengatasnamakan agama tertentu atau yang lebih memilukan hati lagi adalah dengan mengatasnamakan Tuhan Allah. Dengan demikian, maka kita memperoleh gambaran bahwa Tuhan Allah itu lemah sehingga patut dibela, namun ketika pembelaan itu tidak berhasil maka Tuhan Allah yang lemah dan perlu dibela itu (seolah) sudah mati. Namun sayangnya, kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan Allah bukan saja terjadi baru-baru ini, melainkan sejak lama. Jauh sebelum masa modern, kekerasan atas nama Tuhan Allah telah menjadi wajah agama. Di dalam sejarah kekristenan sendiri, para Ksatria Salib melakukan perang melawan orang-orang Turki karena legimitasi teologis yang diberikan oleh Paus Urbanus II atas permohonan Alexius untuk mempertahankan Konstantinopel. Itu hanya salah satu contoh kekerasan atas nama Tuhan Allah lewat perang agama yang mungkin saja juga dimiliki oleh agama-agama lain. Hanya saja di abad ini kekerasan atas nama Tuhan Allah seolah dilestarikan.
Kekerasan yang berlandaskan agama ini sering kali membuat banyak pihak menjadi merasa tidak nyaman lagi untuk memiliki agama. Saat teror antar agama sudah dianggap biasa dan terorisme juga semakin menjamur, rasanya sudah tidak ada lagi yang disebut kedamaian. Teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Seseorang yang meneror orang lain berarti berbuat kejam (sewenang-wenang) untuk menimbulkan rasa ngeri atau takut terhadap orang lain. Sementara teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. Sedangkan terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); merupakan praktik tindakan teror. [8] Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pemerasan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara.
Menurut Jurgens Meyer, ada tiga hal yang memicu munculnya para pembela Tuhan Allah di masa sekularisme saat ini. Pertama, kekerasan tidak hanya berfungsi untuk memberdayakan cita-cita ideologis mereka, tetapi juga untuk mendongkrak posisi gerakan-gerakan agama marjinal agar dapat (minimal) sejajar dengan para pesaing-pesaing moderat. Kedua, menjamurnya teror atas nama Tuhan Allah yang mereka lakukan, mereka pahami sebagai kehendak ilahi atas kebobrokan moral akibat dipinggirkannya agama pasca Abad Pencerahan. Ketiga, adanya rasa tidak puas terhadap sistem yang berlaku. Saat otoritas penguasa mulai dipertanyakan dan dinilai mengecewakan, maka kekerasan atas nama Tuhan Allah dianggap mampu menjadi jalan keluar untuk menentang dan menggulingkan kemapanan itu, atau setidaknya mampu menyampaikan aspirasi dan kekecewaan mereka. Para teroris akan merasa dirinya berharga jika ia menjadi teroris. Mereka tidak dapat dipaksa untuk menghentikan terorisme, karena dengan melakukan hal itu berarti mereka harus melepaskan alasan yang kuat dari keberadaanya.[9]
Walter Laquer dalam bukunya yang berjudul Origins of Terrorism dan Charles Kimball dalam bukunya Kala Agama Jadi Bencana mengungkapkan beberapa alasan mengapa seseorang memilih menjadi seorang teroris.
1.    Hasil Rasional Kolektif:
a.    Pemahaman yang salah mengenai jihat atau syahid
Menganggap bahwa mati dengan bom bunuh diri itu merupakan panggilan dan perintah dari Tuhan Allah (syahid). Kekerasaan bernuansa agama kerapkali berujung pada pemahaman eksklusif tentang konsep jihad atau obsesi mendirikan negara Islam di semenanjung Nusantara. Salah satu contoh ektrim fenomena ini adalah bom bunuh diri ala Islam yang juga dijadikan taktik utama oleh Jaringan Al-Qaeda Osama bin Laden saat melakukan pemboman kedutaan besar Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania (1998), serangan atas kapal induk USS Cole di lepas pantai Yaman (2000), dan serangan atas World Trade Center dan Pentagon (2001).[10] Landasan bagi fenomena yang semakin kuat ini ditemukan dalam pembacaan dan penafsiran atas Al-Quran yang sepotong-sepotong.
b.    Penyalahgunaan Teks Suci
Penyalahgunaan teks suci karena memperoleh pemahaman yang salah mengenai teks suci di dalam Kitab Suci. Hal tersebut dikarenakan mereka mereka membaca teks secara menyeluruh tanpa ada tafsiran yang benar sama sekali. Mereka memahami konstruk-konstruk budaya tersebut sebagai ajaran agama yang harus diperjuangkan. Padahal konstruk yang dibicarakan di dalam teks Kitab Suci tersebut lahir dari problem dan kebuTuhan Allah zamannya sehingga rasanya tidak relevan jika diterapkan pada masa sekarang tanpa ada penafsiran yang tepat. Di dalam Al-Quran terdapat istilah yang merujuk pada terorisme (dalam bahasa Arab disebut al-irhab). Istilah tersebut digunakan Al-Quran untuk melawan “musuh Tuhan Allah” (QS.8:60). Oleh karena itu, kalau kita mencermati gerakan Islam Politik, pandangan fundamentalistik dan gerakan radikalistik seringkali digunakan untuk melawan “musuh Tuhan Allah”. Bagi mereka, barat disebut sebagai salah satu simbol musuh Tuhan Allah.[11] Sayangnya, Kitab Suci yang harusnya menjadi pedoman hidup malah dieksploitasi manipulatif sehingga membuat teks tersebut mengarah pada kefanatikan yang menyimpang.

2.    Hasil Tekanan Psikologis
Seseorang tergabung ke dalam suatu kelompok teroris karena menganggap dirinya tidak berharga jika tidak tergabung dalam suatu kelompok atau komunitas (tidak memiliki kepercayaan terhadap diri sendiri) atau adanya penolakan dari lingkungannya terhadap dirinya (kesepian). Dengan tergabung dalam kelompok teroris, ia merasa dirinya diterima di dalam komunitas itu. Namun tanpa disadari, di dalam kelompok itu sendiri terdapat tekanan dan tuntutan untuk malaksanakan aksi-aksi kekerasan, yakni kesedian untuk membunuh dan terbunuh. Tiga gejala psikologis dalam kelompok teroris adalah:[12]
a.    Kelompok fight-flight (hantam dan kabur): menemukan diri mereka terkait dnegan dunia luar yang memiliki ancaman dan juga keadilan. Kelompok ini bertindak seolah satu-satunya cara untuk mempertahankan diri hanyalah dengan bertempur melawan atau menghindari musuh.
b.    Kelompok dependency (ketergantungan): patuh pada seorang pemimpin yang sangat berkuasa. Para anggotanya menggantungkan setiap keputusan pada pimpinan dan seolah-olah mereka tidak memiliki pendapatnya sendiri.
c.    Kelompok pairing (pasangan): bertindak seolah-olah kelompok itu akan melahirkan seorang juru selamat yang akan menyelamatkan mereka dan mampu menciptakan dunia yang lebih baik.
3.    Hasil Kalkulasi Untung dan Rugi
Suatu organisasi mungkin memilih terorisme karena hasil kalkulasinya menunjukkan bahwa cara-cara lain tidak dapat berfungsi atau dianggap terlalu memakan waktu, semantara situasinya penting. Kerugiaan terorisme antara lain dipastikan mendatangkan banyak reaksi hukuman dari pemerintah (Undang-undang mengenai teroris) dan hilangnya dukungan masyarakat. Keuntungan terorisme antara lain adalah terorisme dapat meletakkan isu perubahan politik pada agenda publik, menarik perhatian masyarakat, pemerintah dan kaum revolusioner, menciptakan revolusi.[13]
Ideologi dan motivasi akan mempengaruhi tujuan dan sasaran dari sebuah operasi yang dilakukan oleh teroris. Terorisme bukan sekedar bom yang meledak semata tanpa tujuan.Teroris dapat melakukan apa saja, terutama membunuh orang yang mungkin saja tidak ada sangkut-pautnya dengan apa yang sedang diperjuangkan oleh para teroris demi tercapainya tujuan mereka. Teroris juga dapat melakukan provokasi yang represif terhadap pemerintah dan rakyat sehingga mampu memperbesar daya tarik politik alternatif yang mereka ajukan. Terorisme adalah sebuah serangan yang bersumber dari sebuah entitas yang memiliki tujuan politis, agamis atau ideologis tertentu dengan harapan menanamkan rasa takut di tengah-tengah pemerintahan atau masyarakat sehingga entitas tersebut memiliki sebuah daya paksa dan intimidasi terhadap pemerintahan dan masyarakat. Tujuan teroris melakukan tindakan terorisme adalah untuk:[14]
-          Membuat dan menyebarluaskan rasa takut.
-          Memperoleh pengakuan dari dunia, nasional, atau lokal melalui menarik perhatian media.
-          Menghabiskan musuh.
-          Mengganggu, melemahkan, posisi pemerintah dan menyerang reputasi pemerintah dengan menghembuskan serangan moral maupun fisik atau membingungkan aparat keamanan pemerintah sehingga memaksa pemerintah bertindak overreactiv dan represif dan mereka dapat memperluas konflik.
-          Mencuri uang atau peralatan, khususnya senjata dan amunisi penting untuk mendukung operasi mereka.
-          Merusak atau mengganggu fasilitas saluran komunikasi untuk menciptakan keraguan bahwa pemerintah tidak dapat memberikan dan melindungi warga negaranya.
-          Menghambat investasi asing, pariwisata, atau program-program bantuan yang dapat mempengaruhi target ekonomi negara dan yang dapat mendukung pemerintah yang sedang berkuasa.
-          Mempengaruhi keputusan pemerintah, undang-undang, atau keputusan penting.
-          Pembebasan tahanan.
-          Memuaskan hati mereka/ kepuasan pribadi.
-          Menerapkan taktik perang gerilya dimana memaksa pemerintah untuk memusatkan perhatian aparat keamanan di wilayah perkotaan sehingga memungkinkan mereka untuk membentuk sel-sel baru dengan merekrut rakyat lokal di daerah pedesaan.
Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
  1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
  2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
Selain itu, seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
  1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
  2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
  3. Menggunakan kekerasan.
  4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
  5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.
Jenis target yang dipilih juga biasanya akan selalu mencerminkan motivasi dan ideologi. Sedangkan untuk kelompok yang ber faham motivasi sekuler dan sosial politik , sasaran mereka adalah sasaran simbolis Pemerintah seperti kantor-kantor pemerintah, bank, penerbangan nasional, dan perusahaan multinasional dengan langsung memberikan pesan tentang apa keinginan-keinginan mereka., mereka juga melakukan serangan yang mewakili perorangan yang mempunyai hubungan langsung dengan eksploitasi ekonomi, sosial, ketidakadilan, atau penindasan politik. Sebenarnya kelompok agama juga banyak menggunakan cara seperti ini, ada kecenderungan untuk menghubungkan ke pengrusakan fisik. Ada juga kecenderungan untuk menambahkan agama berafiliasi dengan individu, seperti misionaris, dan kegiatan keagamaan, seperti layanan beribadah, untuk penyamaan presepsi.

Penutup
Sebenarnya apa yang kita cintai ketika kita mencintai Tuhan Allah kita? Apakah sudah sepenuhnya kita mencintai Tuhan Allah ataukah kita ini mencintai diri kita sendiri dengan mengatasnamakan Tuhan Allah? Apakah kita membuat diri kita nyaman dan terhindar dari krisis identitas dengan mengatasnamakan Tuhan Allah? Apakah dengan melakukan kekerasan berarti kita telah mengasihi Tuhan Allah? Tuhan Allah sendiri tidak pernah menciptakan kekerasan di dunia ini, sebab Tuhan Allah menciptakan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini dengan baik adanya. Kekerasan hanyalah merupakan suatu bentuk ketidakpuasan dan keterbatasan kita sebagai  manusia yang selalu menginginkan sesuatu secara berlebihan. Disadari atau tidak, kelihatannya kita bukan lagi menjadikan Tuhan Allah sebagai Tuhan Allah. Di satu sisi kita bertindak seolah Tuhan Allah itu perlu dibela. Kita hadir untuk membela namun dengan topeng kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan Allah dengan tujuan membelaNya dari dunia yang semakin tidak terkontrol ini. Namun di sisi lain, kita juga sedang menjadikan Tuhan Allah sebagai kambing hitam yang siap kita persalahkan atas setiap tindak kekerasan yang kita lakukan tersebut. Seharusnya kita dapat menyadari bahwa kekerasaan yang mengatasnamakan agama dan Tuhan Allah bukanlah jawaban dari setiap permasalahan yang ada. Apalagi jika kita sampai mengorbankan diri dengan menjadi teroris. Tuhan Allah tidak pernah menginginkan kita mati sia-sia dengan cara bom bunuh diri atau dengan tindakan radikalisme lainnya yang mengatasnamakan Dia. Seharusnya dengan agama kita dapat menyingkirkan ruang kotor di dalam agama tersebut yang masih menyebabkan terjadinya perlakuan intoleransi dan radikalisme atas nama agama yang sudah semakin mengkhawatirkan sebab agama adalah suatu pendamai yang mendamaikan bukan sebagai mesin penghancur yang mampu menghancurkan segalanya.













Daftar Pustaka

Antone, Hope S. Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan Realitas Kemajemukan
dalam Pendidikan Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Beuken, Wim & Karl-Josef Kuschel. Agama sebagai Sumber Kekerasan?. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1997.
Caputo, John. D. Agama Cinta, Agama Masa Depan. Bandung: Mizan Media Utama, 2003.
Juergensmeyer, Mark. Terorisme Para Pembela Agama. Yogyakarta: Tarawang Press, 2003.
Juergensmeyer, Mark. Terror in the Mind of God. London: University of California Press, 2001.
Kelompok Studi Proklamasi. Agama dan Kekerasan. Jakarta: Sensia, 1985.
Kimball, Charles. Kala Agama Jadi Bencana. Bandung: Mizan Media Utama, 2003.
Laqueur, Walter. Origins of Terrorism. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Shandy Joan pada hari Selasa, 10 Mei 2011 pukul 14.00 WIB.
http://islamlib.com/id/artikel/islam-dan-terorisme diakses oleh Shandy Joan pada hari Selasa, 10
Mei 2011 pukul 14.00 WIB.





[1] Mark Juergensmeyer, Terorisme Para Pembela Agama, (Yogyakarta: Tarawang Press, 2003), 6.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi
  keempat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 15.
[3] ibid, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, 677.
[4] Kelompok Studi Proklamasi, Agama dan Kekerasan, (Jakarta: Sensia, 1985), 43.
[5] Wim Beuken & Karl-Josef Kuschel, Agama sebagai Sumber Kekerasan? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), 55.
[6] Hope S. Antone, Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan Realitas Kemajemukan dalam Pendidikan Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 41.
[7] ibid, 41.
[8] Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, opcit
[9] Walter Laqueur, Origins of Terrorism, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 44.
[10] Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana (Bandung: Mizan Media Utama, 2003), 102.
[11] http://islamlib.com/id/artikel/islam-dan-terorisme diakses oleh Shandy Joan pada hari Selasa, 10 Mei 2011 pukul 14.00 WIB.
[12] Walter Laqueur, Origins of Terrorism, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 36.
[13] ibid, Walter, 15-19.
[14] http://astiol.com/terorism/6-global-terorism/20-tujuan-dan-motivasi-teroris.html diakses oleh Shandy Joan pada hari Selasa, 10 Mei 2011 pukul 14.00 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar