Agama dan Kekerasan: Teror Atas Nama Tuhan Allah
“Demi Allah Aku Jadi Teroris”
Pendahuluan
Berbicara
mengenai agama bagaikan berbicara tentang sebuah koin yang memiliki dua sisi
yang berbeda. Di satu sisi, agama dipahami sebagai sebuah jalan dan penjaminan
keselamatan, cinta, dan perdamaian. Namun di sisi lain, sejarah membuktikan
bahwa agama justru dapat menjadi sumber, penyebab, dan alasan bagi kehancuran
dan kemalangan, bahkan dapat menjadi bencana bagi umat manusia. Karena agama,
orang dapat saling mencintai satu sama lain, dan atas nama agama pula, orang
dapat saling membunuh dan menghancurkan.
Kasus-kasus
kekerasan yang mengatasnamakan agama tertentu mungkin sudah tidak asing lagi
terdengar di telinga kita, bahkan mungkin saja beberapa diantara kita pernah
mengalami kekerasan tersebut. Namun sayangnya kekerasan yang terjadi tersebut
sebagian kecil dipengaruhi oleh kemajemukan agama-agama yang ada. Hal tersebut
sangat disesalkan dapat terjadi karena seharusnya agama dapat mencerminkan dan
mewujudkan perdamaian dalam kehidupan umat manusia. Banyak contoh kekerasan
yang mengatasnamakan agama, salah satu diantaranya adalah aksi terorisme.
Terorisme berasal dari bahasa Latin Terrere
yang berarti menimbulkan rasa gemetar dan cemas.[1]
Terorisme jarang sekali tampil dalam bentuk aksi yang sendiri-sendiri.
Sebagaimana terlihat dalam berbagai kasus dan peristiwa yang terjadi, maka
dapat dikatakan bahwa terorisme selalu melibatkan komunitas dan jaringan
organisasi yang cukup besar untuk melakukan sebuah keberhasilan aksinya. Aksi
atau tindakan terorisme dapat terlihat dari hal-hal sederhana (misalnya teror
sms), hingga aksi pengeboman dan bom bunuh diri seperti yang dilakukan oleh
Jaringan Al-Qaeda, misalnya. Oleh karena itu, melalui paper ini penulis akan menjelaskan
tentang kekerasan yang terjadi dalam agama dan keterkaitannya dengan aksi
terorisme. Meskipun harus diakui bahwa
penulis mengalami keterbatasan dalam memaparkannya secara mendalam. Penulis
juga berharap agar paper sederhana ini dapat menjadi secercah cahaya yang
menerangi cakrawala nalar kita yang tak terbatas ini agar semakin mengerti perihal
kekerasan dalam agama sehingga lubang kekerasan dalam agama yang menganga lebar
tersebut mampu kita hindari bahkan kita tutup bersama.
Kekerasan Berlandaskan Agama sebagai
Hasil dari Kemajemukan
Sekarang
ini kemajemukan bukanlah sesuatu yang tabu lagi. Kemajemukan adalah salah satu
isu yang menarik untuk diperdebatkan karena tidak semua orang dapat menerima
kemajemukan. Sebagian orang memang menolak kemajemukan namun tidak sedikit pula
orang yang malah menerima kemajemukan tersebut dengan terbuka. Berbicara soal
kemajemukan, maka kita akan menyinggung soal perbedaan dan keberagaman.
Banyak
keberagaman dan perbedaan yang dapat kita temui di dunia ini. Salah satunya
adalah agama. Agama adalah suatu ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan
lingkungannya.[2]
Agama yang diakui di Indonesia adalah agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan
Budha. Namun sayangnya keberagaman agama yang ada ini sering kali dilandaskan
untuk melakukan tindak kekerasan. Kekerasan adalah perbuatan seseorang atau
kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik atau barang orang lain.[3]
Menurut Jurgens Meyer, kekerasan adalah sifat alamiah imajinasi agama yang
selalu memiliki kecenderungan mengabsolutkan dan memproyeksikan
pandangan-pandangan perang kosmik. Kekerasan juga banyak dilakukan bersamaan
dengan ketegangan-ketegangan sosial di dalam ruang sejarah masa kini.
Sebenarnya
kemajemukan bukan hanya baru terjadi beberapa abad yang lalu. Kemajemukan
bahkan sudah ada sejak awal penciptaan. Allah sendiri menciptakan banyak
kemajemukan di dunia ini. Bahkan akan menjadi aneh rasanya jika tidak ada kemajemukan
di dunia ini. Namun kekerasan yang banyak terjadi di dalam agama memperlihatkan
bahwa kita tidak mampu menerima keberagaman yang ada.
Di
zaman kapitalis, agama adalah sistem nilai yang realisasinyasangat ditentukan
oleh dinamika masyarakat itu sendiri.[4]
Sebab sebenarnya jika ditinjau lebih jauh lagi, agama hanya terjebak oleh
kekerasan yang tidak diciptakannya.[5]
Agama akan cenderung mengarah pada tindakan kekerasan ketika identitasnya
terancam. Maksudnya, problem tersebut bukan terletak pada agama itu sendiri
melainkan pada masyarakat yang terkondisikan untuk melakukan kekerasan. Sebagai
contoh, para penganut agama yang fanatik akan berusaha untuk mempertahankan
identitas agamanya dengan cara apapun, termasuk dengan cara terorisme atau
kekerasan lainnya. Kekerasaan muncul ketika ada kesalahpahaman tentang ajaran
dan juga dapat terjadi karena adanya perasaan terancam. Selain itu, cara
pandang yang berbeda terhadap kemajemukan agama lain diluar agamanya juga
memampukan masyarakat yang terkondisikan untuk melakukan kekerasan berlandaskan
agama tersebut semakin membabi buta agama lain.
Bagi sebagian orang,
pendidikan dan aktivitas antariman, secara umum, haruslah berpusat pada
kekayaan iman masing-masing yang mempunyai potensi yang mempersatukan. Namun sebagian
orang yang lain melihat pentingnya memahami perbedaan-perbedaan, mempelajari
berbagai keterampilan untuk hidup bersama, meneliti dan menghargai
perbedaan-perbedaan tersebut. Sebenarnya kekerasan agama tidak hanya terjadi
kepada mereka yang memiliki iman yang berbeda, namun juga kepada mereka yang
memiliki perspektif iman yang berbeda meskipun masih berada di dalam agama yang
sama. Selain itu, kekerasan juga acap kali terjadi terhadap ideologi yang
berbeda terutama kepada kelompok minoritas yang lain. Hal ini dapat terjadi
karena benih kebencian terus dipupuk. Mungkin sebagian orang selalu terbiasa
untuk melihat segala yang berbeda dengan dirinya dengan pemaknaan sesat dan
menyimpang. Oleh karena itu, dapat kita rumuskan dua sikap terhadap kemajemukan:
1. Mencerminkan
mentalitas agar semuanya menjadi satu. Sikap ini menampakkan diri menerima
kemajemukan, namun sebenarnya gelisah menghadapai kemajemukan itu.
2. Menerima kemajemukan sebagai kenyataan
esensial dari kehidupan manusia dan masyarakat, lalu berusaha menemukan jalan
untuk memahami perannya yang dinamis dalam realitas yang majemuk. Penerimaan
kemajemukan tidak dimaksudkan untuk mengorbankan pertimbangan-pertimbangan
kritis. Namun sering kita menyaksikan kesalahpahaman, seolah-olah kita harus
menyampaikan pertimbangan-pertimbangan kritis agar dapat berperan antarbudaya
dan antariman.
Berbicara
mengenai sikap masyarakat terhadap kemajemukan, banyak pendidik, sarjana, dan
bahkan teolog yang mengamati pendekatan-pendekatan umum dari terhadap
keberagaman tersebut dan bagaimana pendekatan-pendekatan ini berdampak terhadap
praktek pendidikan agama dan atau pendidikan Kristiani. Dari pengamatan ini,
John Hick, seorang filsuf Inggris mencatat tiga pendekatan yang terangkum dalam
artikelnya yang berjudul “Religious Pluralisme” yaitu pendekatan eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Pendekatan-pendekatan ini
merupakan respon terhadap keberagaman jenis apa pun, tidak hanya kemajemukan
agama. Respon-respon ini tidak hanya bersifat tingkah laku (behavioral), tetapi juga terkait dengan
sikap (attitudinal).[6]
Mengenai
ekslusivisme, Hick mengatakan bahwa
pendekatan ini adalah semacam sikap arogansi agama ketika diperhadapkan dengan
kepercayaan lain. Lebih lagi ketika suatu agama merasa pendiriannya ditantang
oleh alternatif lain. Untuk inklusivisme,
Hick menjelaskan bahwa pendekatan ini sebenarnya terbuka dengan “yang lain”,
namun secara bersamaan juga tetap memegang teguh keyakinannya. Dengan kata
lain, di tengah keberagaman yang ada, golongan ini masih mempertahankan suatu
keyakinan tertentu yang dianggapnya sebagai kebenaran yang paling mutlak
sedangkan yang lain itu hanya mencerminkan beberapa aspek dari kebenaran
tersebut.[7]
Selanjutnya pluralisme diartikan
sebagai pandangan yang mengadakan kesetaraan pada setiap agama. Dengan
demikian, pendekatan ini memberi kesempatan untuk berdialog secara terbuka
dengan yang berbeda agama. Dialog ini memiliki komitmen untuk memberi dan
menerima pemahaman dari agama lain. Pendekatan golongan ini mengakui adanya
keterbatasan pandangan-pandangan mereka, dan terus berupaya mencari pemahaman
tersebut dengan mempelajari istilah-istilah atau nilai-nilai dari yang lain
melalui dialog-dialog. Namun sayangnya, ada sebagian pihak yang mengaku
bersikap pluralisme padahal
sesungguhnya mereka telah bersikap inklusivisme
atau malah ada yang mengaku inklusivisme
tetapi malah memperlihatkan sikap pluralisme
dalam setiap tindakan mereka.
Tidak dapat dipungkiri,
penolakan terhadap kemajemukan tersebut jelas juga akan memicu kekerasaan yang
berlandaskan agama yang kemudian menjadikan agama sebagai sebuah ancaman
tersendiri bagi pemeluknya. Kekerasan yang berlandasakan agama akan terlihat
sebagai hasil dari kemajemukan yang ditolak. Kita sendiri terkadang berpikir
sempit mengenai kemajemukan tersebut karena sejak kecil pun kita sudah diajar
dan didik untuk tidak menerima kemajemukan tersebut. Akan tetapi, akan menjadi
sangat disayangkan nantinya apabila saat agama terus menerus menjadi sebuah
ancaman dan bencana bagi pemeluknya, maka akan ada keinginan dari pemeluknya
untuk lebih baik tidak beragama daripada beragama namun penuh dengan tekanan
dan rasa khawatir dan takut dengan kekerasan dan radikalisme.
Teror, Teroris, dan Terorisme
Dari
hari ke hari semakin banyak tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama
yang terjadi dalam kehidupan umat manusia. Peristiwa pengeboman di berbagai
tempat semakin menunjukkan kepada kita bahwa semakin meningkatnya kekerasan
yang mengatasnamakan agama tertentu atau yang lebih memilukan hati lagi adalah
dengan mengatasnamakan Tuhan Allah. Dengan demikian, maka kita memperoleh
gambaran bahwa Tuhan Allah itu lemah sehingga patut dibela, namun ketika
pembelaan itu tidak berhasil maka Tuhan Allah yang lemah dan perlu dibela itu
(seolah) sudah mati. Namun sayangnya, kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan
Allah bukan saja terjadi baru-baru ini, melainkan sejak lama. Jauh sebelum masa
modern, kekerasan atas nama Tuhan Allah telah menjadi wajah agama. Di dalam
sejarah kekristenan sendiri, para Ksatria Salib melakukan perang melawan
orang-orang Turki karena legimitasi teologis yang diberikan oleh Paus Urbanus
II atas permohonan Alexius untuk mempertahankan Konstantinopel. Itu hanya salah
satu contoh kekerasan atas nama Tuhan Allah lewat perang agama yang mungkin
saja juga dimiliki oleh agama-agama lain. Hanya saja di abad ini kekerasan atas
nama Tuhan Allah seolah dilestarikan.
Kekerasan yang berlandaskan agama ini sering kali membuat
banyak pihak menjadi merasa tidak nyaman lagi untuk memiliki agama. Saat teror
antar agama sudah dianggap biasa dan terorisme juga semakin menjamur, rasanya sudah
tidak ada lagi yang disebut kedamaian. Teror adalah usaha menciptakan
ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Seseorang
yang meneror orang lain berarti berbuat kejam (sewenang-wenang) untuk
menimbulkan rasa ngeri atau takut terhadap orang lain. Sementara teroris adalah
orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk
tujuan politik. Sedangkan terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk
menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik);
merupakan praktik tindakan teror. [8]
Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pemerasan, pembajakan maupun
penyanderaan. Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara.
Menurut
Jurgens Meyer, ada tiga hal yang memicu munculnya para pembela Tuhan Allah di
masa sekularisme saat ini. Pertama, kekerasan tidak hanya berfungsi untuk
memberdayakan cita-cita ideologis mereka, tetapi juga untuk mendongkrak posisi
gerakan-gerakan agama marjinal agar dapat (minimal) sejajar dengan para
pesaing-pesaing moderat. Kedua, menjamurnya teror atas nama Tuhan Allah yang
mereka lakukan, mereka pahami sebagai kehendak ilahi atas kebobrokan moral
akibat dipinggirkannya agama pasca Abad Pencerahan. Ketiga, adanya rasa tidak
puas terhadap sistem yang berlaku. Saat otoritas penguasa mulai dipertanyakan
dan dinilai mengecewakan, maka kekerasan atas nama Tuhan Allah dianggap mampu
menjadi jalan keluar untuk menentang dan menggulingkan kemapanan itu, atau
setidaknya mampu menyampaikan aspirasi dan kekecewaan mereka. Para teroris akan
merasa dirinya berharga jika ia menjadi teroris. Mereka tidak dapat dipaksa
untuk menghentikan terorisme, karena dengan melakukan hal itu berarti mereka
harus melepaskan alasan yang kuat dari keberadaanya.[9]
Walter
Laquer dalam bukunya yang berjudul Origins
of Terrorism dan Charles Kimball dalam bukunya Kala Agama Jadi Bencana mengungkapkan beberapa alasan mengapa
seseorang memilih menjadi seorang teroris.
1. Hasil
Rasional Kolektif:
a. Pemahaman
yang salah mengenai jihat atau syahid
Menganggap bahwa mati
dengan bom bunuh diri itu merupakan panggilan dan perintah dari Tuhan Allah
(syahid). Kekerasaan bernuansa agama kerapkali berujung pada pemahaman
eksklusif tentang konsep jihad atau
obsesi mendirikan negara Islam di semenanjung Nusantara. Salah satu contoh
ektrim fenomena ini adalah bom bunuh diri ala
Islam yang juga dijadikan taktik utama oleh Jaringan Al-Qaeda Osama bin
Laden saat melakukan pemboman kedutaan besar Amerika Serikat di Kenya dan
Tanzania (1998), serangan atas kapal induk USS Cole di lepas pantai Yaman
(2000), dan serangan atas World Trade Center dan Pentagon (2001).[10]
Landasan bagi fenomena yang semakin kuat ini ditemukan dalam pembacaan dan
penafsiran atas Al-Quran yang sepotong-sepotong.
b. Penyalahgunaan
Teks Suci
Penyalahgunaan teks suci karena
memperoleh pemahaman yang salah mengenai teks suci di dalam Kitab Suci. Hal
tersebut dikarenakan mereka mereka membaca teks secara menyeluruh tanpa ada
tafsiran yang benar sama sekali. Mereka memahami konstruk-konstruk budaya
tersebut sebagai ajaran agama yang harus diperjuangkan. Padahal konstruk yang
dibicarakan di dalam teks Kitab Suci tersebut lahir dari problem dan kebuTuhan
Allah zamannya sehingga rasanya tidak relevan jika diterapkan pada masa
sekarang tanpa ada penafsiran yang tepat. Di dalam Al-Quran terdapat istilah
yang merujuk pada terorisme (dalam bahasa Arab disebut al-irhab). Istilah
tersebut digunakan Al-Quran untuk melawan “musuh Tuhan Allah” (QS.8:60). Oleh
karena itu, kalau kita mencermati gerakan Islam Politik, pandangan
fundamentalistik dan gerakan radikalistik seringkali digunakan untuk melawan
“musuh Tuhan Allah”. Bagi mereka, barat disebut sebagai salah satu simbol musuh
Tuhan Allah.[11] Sayangnya,
Kitab Suci yang harusnya menjadi pedoman hidup malah dieksploitasi manipulatif
sehingga membuat teks tersebut mengarah pada kefanatikan yang menyimpang.
2. Hasil
Tekanan Psikologis
Seseorang tergabung
ke dalam suatu kelompok teroris karena menganggap dirinya tidak berharga jika
tidak tergabung dalam suatu kelompok atau komunitas (tidak memiliki kepercayaan
terhadap diri sendiri) atau adanya penolakan dari lingkungannya terhadap
dirinya (kesepian). Dengan tergabung dalam kelompok teroris, ia merasa dirinya
diterima di dalam komunitas itu. Namun tanpa disadari, di dalam kelompok itu
sendiri terdapat tekanan dan tuntutan untuk malaksanakan aksi-aksi kekerasan,
yakni kesedian untuk membunuh dan terbunuh. Tiga gejala psikologis dalam
kelompok teroris adalah:[12]
a. Kelompok
fight-flight (hantam dan kabur):
menemukan diri mereka terkait dnegan dunia luar yang memiliki ancaman dan juga
keadilan. Kelompok ini bertindak seolah satu-satunya cara untuk mempertahankan
diri hanyalah dengan bertempur melawan atau menghindari musuh.
b. Kelompok
dependency (ketergantungan): patuh
pada seorang pemimpin yang sangat berkuasa. Para anggotanya menggantungkan
setiap keputusan pada pimpinan dan seolah-olah mereka tidak memiliki
pendapatnya sendiri.
c. Kelompok
pairing (pasangan): bertindak
seolah-olah kelompok itu akan melahirkan seorang juru selamat yang akan
menyelamatkan mereka dan mampu menciptakan dunia yang lebih baik.
3. Hasil
Kalkulasi Untung dan Rugi
Suatu organisasi mungkin memilih terorisme
karena hasil kalkulasinya menunjukkan bahwa cara-cara lain tidak dapat
berfungsi atau dianggap terlalu memakan waktu, semantara situasinya penting.
Kerugiaan terorisme antara lain dipastikan mendatangkan banyak reaksi hukuman
dari pemerintah (Undang-undang mengenai teroris) dan hilangnya dukungan
masyarakat. Keuntungan terorisme antara lain adalah terorisme dapat meletakkan
isu perubahan politik pada agenda publik, menarik perhatian masyarakat, pemerintah
dan kaum revolusioner, menciptakan revolusi.[13]
Ideologi
dan motivasi akan mempengaruhi tujuan dan sasaran dari sebuah operasi yang
dilakukan oleh teroris. Terorisme bukan sekedar bom yang meledak semata tanpa
tujuan.Teroris dapat melakukan apa saja, terutama membunuh orang yang mungkin
saja tidak ada sangkut-pautnya dengan apa yang sedang diperjuangkan oleh para
teroris demi tercapainya tujuan mereka. Teroris juga dapat melakukan provokasi
yang represif terhadap pemerintah dan rakyat sehingga mampu memperbesar daya
tarik politik alternatif yang mereka ajukan. Terorisme adalah sebuah serangan
yang bersumber dari sebuah entitas yang memiliki tujuan politis, agamis atau
ideologis tertentu dengan harapan menanamkan rasa takut di tengah-tengah
pemerintahan atau masyarakat sehingga entitas tersebut memiliki sebuah daya
paksa dan intimidasi terhadap pemerintahan dan masyarakat. Tujuan teroris
melakukan tindakan terorisme adalah untuk:[14]
-
Membuat dan menyebarluaskan rasa takut.
-
Memperoleh pengakuan dari dunia, nasional, atau lokal
melalui menarik perhatian media.
-
Menghabiskan musuh.
-
Mengganggu, melemahkan, posisi pemerintah dan menyerang
reputasi pemerintah dengan menghembuskan serangan moral maupun fisik atau
membingungkan aparat keamanan pemerintah sehingga memaksa pemerintah bertindak overreactiv dan represif dan mereka
dapat memperluas konflik.
-
Mencuri uang atau peralatan, khususnya senjata dan
amunisi penting untuk mendukung operasi mereka.
-
Merusak atau mengganggu fasilitas saluran komunikasi
untuk menciptakan keraguan bahwa pemerintah tidak dapat memberikan dan
melindungi warga negaranya.
-
Menghambat investasi asing, pariwisata, atau
program-program bantuan yang dapat mempengaruhi target ekonomi negara dan yang
dapat mendukung pemerintah yang sedang berkuasa.
-
Mempengaruhi keputusan pemerintah, undang-undang, atau
keputusan penting.
-
Pembebasan tahanan.
-
Memuaskan hati mereka/ kepuasan pribadi.
-
Menerapkan taktik perang gerilya dimana memaksa
pemerintah untuk memusatkan perhatian aparat keamanan di wilayah perkotaan
sehingga memungkinkan mereka untuk membentuk sel-sel baru dengan merekrut
rakyat lokal di daerah pedesaan.
Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum,
Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai
perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur
dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa
setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
- Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain
atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional (Pasal 6).
- Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa
takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan
harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
Selain itu,
seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan
ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan
oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
- Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan
tersebut.
- Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
- Menggunakan kekerasan.
- Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan
maksud mengintimidasi pemerintah.
- Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan
tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun
agama.
Jenis target yang dipilih juga biasanya akan selalu
mencerminkan motivasi dan ideologi. Sedangkan untuk kelompok yang ber faham
motivasi sekuler dan sosial politik , sasaran mereka adalah sasaran simbolis
Pemerintah seperti kantor-kantor pemerintah, bank, penerbangan nasional, dan
perusahaan multinasional dengan langsung memberikan pesan tentang apa
keinginan-keinginan mereka., mereka juga melakukan serangan yang mewakili
perorangan yang mempunyai hubungan langsung dengan eksploitasi ekonomi, sosial,
ketidakadilan, atau penindasan politik. Sebenarnya kelompok agama juga banyak
menggunakan cara seperti ini, ada kecenderungan untuk menghubungkan ke
pengrusakan fisik. Ada juga kecenderungan untuk menambahkan agama berafiliasi
dengan individu, seperti misionaris, dan kegiatan keagamaan, seperti layanan
beribadah, untuk penyamaan presepsi.
Penutup
Sebenarnya apa yang kita cintai ketika kita mencintai Tuhan
Allah kita? Apakah sudah sepenuhnya kita mencintai Tuhan Allah ataukah kita ini
mencintai diri kita sendiri dengan mengatasnamakan Tuhan Allah? Apakah kita membuat
diri kita nyaman dan terhindar dari krisis identitas dengan mengatasnamakan Tuhan
Allah? Apakah dengan melakukan kekerasan berarti kita telah mengasihi Tuhan
Allah? Tuhan Allah sendiri tidak pernah menciptakan kekerasan di dunia ini,
sebab Tuhan Allah menciptakan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini dengan baik
adanya. Kekerasan hanyalah merupakan suatu bentuk ketidakpuasan dan
keterbatasan kita sebagai manusia yang selalu
menginginkan sesuatu secara berlebihan. Disadari atau tidak, kelihatannya kita bukan
lagi menjadikan Tuhan Allah sebagai Tuhan Allah. Di satu sisi kita bertindak seolah
Tuhan Allah itu perlu dibela. Kita hadir untuk membela namun dengan topeng
kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan Allah dengan tujuan membelaNya dari dunia
yang semakin tidak terkontrol ini. Namun di sisi lain, kita juga sedang
menjadikan Tuhan Allah sebagai kambing hitam yang siap kita persalahkan atas
setiap tindak kekerasan yang kita lakukan tersebut. Seharusnya kita dapat
menyadari bahwa kekerasaan yang mengatasnamakan agama dan Tuhan Allah bukanlah
jawaban dari setiap permasalahan yang ada. Apalagi jika kita sampai
mengorbankan diri dengan menjadi teroris. Tuhan Allah tidak pernah menginginkan
kita mati sia-sia dengan cara bom bunuh diri atau dengan tindakan radikalisme
lainnya yang mengatasnamakan Dia. Seharusnya dengan agama kita dapat
menyingkirkan ruang kotor di dalam agama tersebut yang masih menyebabkan
terjadinya perlakuan intoleransi dan radikalisme atas nama agama yang sudah
semakin mengkhawatirkan sebab agama adalah suatu pendamai yang mendamaikan
bukan sebagai mesin penghancur yang mampu menghancurkan segalanya.
Daftar
Pustaka
Antone, Hope S. Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan Realitas Kemajemukan
dalam Pendidikan Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Beuken, Wim & Karl-Josef Kuschel. Agama sebagai Sumber Kekerasan?.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1997.
Caputo, John. D. Agama Cinta, Agama Masa Depan. Bandung: Mizan Media Utama, 2003.
Juergensmeyer, Mark. Terorisme Para Pembela Agama.
Yogyakarta: Tarawang Press, 2003.
Juergensmeyer, Mark. Terror in the Mind of God. London:
University of California Press, 2001.
Kelompok Studi Proklamasi. Agama dan Kekerasan. Jakarta: Sensia,
1985.
Kimball, Charles. Kala Agama Jadi Bencana. Bandung: Mizan
Media Utama, 2003.
Laqueur, Walter. Origins of Terrorism. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Shandy Joan pada hari
Selasa, 10 Mei 2011 pukul 14.00 WIB.
http://islamlib.com/id/artikel/islam-dan-terorisme diakses oleh Shandy Joan pada hari Selasa, 10
Mei
2011 pukul 14.00 WIB.
[1]
Mark Juergensmeyer, Terorisme Para
Pembela Agama, (Yogyakarta : Tarawang
Press, 2003), 6.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia
edisi
keempat, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1994), 15.
[3] ibid,
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, 677.
[4] Kelompok Studi Proklamasi, Agama dan Kekerasan, (Jakarta: Sensia,
1985), 43.
[5] Wim Beuken & Karl-Josef
Kuschel, Agama sebagai Sumber Kekerasan?
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), 55.
[6] Hope S. Antone, Pendidikan Kristiani Kontekstual:
Mempertimbangkan Realitas Kemajemukan dalam Pendidikan Agama, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2010), 41.
[7] ibid,
41.
[8] Kamus
Besar Bahasa Indonesia
edisi keempat, opcit
[9] Walter Laqueur, Origins of Terrorism, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003), 44.
[10]
Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana (Bandung: Mizan
Media Utama, 2003), 102.
[11] http://islamlib.com/id/artikel/islam-dan-terorisme diakses
oleh Shandy Joan pada hari Selasa, 10 Mei 2011 pukul 14.00 WIB.
[12] Walter Laqueur, Origins of Terrorism, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003), 36.
[13] ibid,
Walter, 15-19.
[14] http://astiol.com/terorism/6-global-terorism/20-tujuan-dan-motivasi-teroris.html diakses oleh Shandy Joan pada hari
Selasa, 10 Mei 2011 pukul 14.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar