Pendidikan Agama Kristen Pra-Reformasi
Dalam
perkembangan sejarah Eropa dan dunia, pada abad 16 adalah hal yang sangat
penting. Reformasi gereja oleh kaum reformis menimbulkan banyak gejolak yang
terjadi di masyrakat. Pada saat itu, pendidikan di sekolah dan universitas
sedang berkembang pesat. Dengan begitu, banyak perubahan yang terjadi
diantaranya adalah timbulnya rasa nasionalisme di Spanyol, Portugal, Belanda,
dan Inggris. Penemuan mutakhir pada zaman itu pun bermunculan, salah satunya
adalah mesin cetak oleh Yohanes Gutenberg pada 1438 dan juga teori heliosentris
oleh Kopernikus.
Pergerakan
kaum humanis dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan mereka terhadap gereja.
Awalnya ada pembaruan di ordo biarawan dan biarawati. Lalu ada Wycliffe di
Inggris, Hus di Ceko, dan Groote di Belanda. Mereka bertiga mengatakan
kekuasaan paus adalah sumber penyakit yang ada dalam gereja. Namun hanya Groote
yang menunjukkan rasa tidak puasnya dengan jalan lain. Dia mendirikan rumah
persaudaraan atau Brethren of the Common
Life). Dalam lembaga ini, polanya mirip dengan biara hanya saja ini terbuka
bagi siapa saja. Pembelajaran yang diperoleh bukan saja tentang kehidupan
spiritual mereka dengan Sang Pencipta tapi juga nilai-nilai moral dan ilmu
pengetahuan. Para pendidik dalam lembaga ini mengajar dengan memahami setiap
anak didik dan tidak ada kekerasan dalam mencapai kedisiplinan. Anak didik
dihormati sebagai pribadi yang utuh. Tamatan lembaga ini tercatat sebagai
tokoh-tokoh penting pada zamannya. Salah satunya adalah Erasmus.
Erasmus
rajin menuntut ilmu untuk mencapai cita-citanya meraih gelar Doktor Teologi.
Karya pentingnya adalah naskah Perjanjian Baru yang paling asli yang ia cari
lalu ia terjemahkan ke dalam bahasa Latin. Dalam hidupnya, Erasmus tidak ingin
ada pembatasan kemerdekaan pribadi atas dirinya dan orang lain.
Erasmus,
dalam buku Boehlke, disebut-sebut memiliki dua peran dalam pendidikan agama Kristen.
Yang pertama adalah sebagai pendidik yang oikumenis. Apa yang dia pikirkan
adalah setiap warga Kristen harus mengamalkan kelakuan Yesus, terutama dalam
hal rendah hati, lemah lembut, murah hati, kasih, damai, dan kerelaan
mengampuni serta berkorban demi sesama. Dia juga mengajarkan bahwa upacara
gerejawi bukanlah suatu hal yang mutlak. Ia juga menantang masyarakat dan
gereja atas pandangan pernikahan, hak memperoleh pendidikan, perceraian, dan
hidup selibat.
Menurutnya,
pernikahan harus dibangun atas dasar persetujuan calon mempelai, walaupun
orangtua menolak hal tersebut. Mengenai perempuan yang pada saat itu tidak
berhak menerima pendidikan, Erasmus mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan
harusnya memperoleh hak yang sama dalam menerima pendidikan. Tentang
perceraian, Erasmus memungkinkan hal itu jika hubungan suami-istri itu tidak
dapat terselamatkan lagi karena kehilangan dasarnya, yaitu cinta kasih.
Mengenai kehidupan selibat, Erasmus berdasar pada Kej. 2:23-24 di mana Allah
memerintahkan manusia untuk menikah sehingga manusia tidak boleh melarang apa
yang sudah Allah rencanakan sejak awal untuk kebahagiaan orang lain.
Peran
Erasmus yang kedua ialah sebagai pendidik khusus. Menurutnya, pendidikan di
mana pun harus mengembangkan karunia pelajar dalam suasana yang memberikan
kebebasan berpikir dan mendorong lahirnya inovasi baru dalam terang Injil.
Melalui pendidikan, Erasmus berharap dapat menghasilkan orang-orang Kristen
yang beradab. Erasmus tidak menggunakan istilah kurikulum, dia memakai buku sumber
untuk merumuskan pembelajaran yang akan diajarkan. Dasar pembelajarannya adalah
Alkitab, khususnya Injil. Tidak ada metodologi khusus yang digunakannya. Dia
hanya mengemas pengajarannya dalam bentuk yang menarik untuk mengajar. Ia
mengembangkan suasana kelas yang melancarkan pengalaman belajar dan tidak ada
kekerasan dalam kelas. Baginya, kekerasan itu adalah tanda bahwa pendidik itu
tidak mempersiapkan diri untuk mengajar.
Masuk Zaman Reformasi
1. Martin
Luther
Ø
Dasar Teologisnya bagi Pendidikan
Agama Kristen
Dalam hal ini, Boehlke mengambil
empat dasar teologis yang terdapat di dalam tulisan Luther yang menjadi
landasan bagi teori dan praktek pendidikan agama Kristen: (a) Keadaan berdosa setiap
warga: banyak teolog lain yang juga mengakui dosa asal, tetapi pengakuan
itu cenderung tetaplah sebuah ajaran kering saja. Namun berbeda halnya dengan
Luther yang melalui pengalamannya[1]
mendorong dia untuk mencari jalan keluar yang mengenyangkan kelaparan jiwa,
yang menurutnya tidak bisa diatasi melalui seluk-beluk sistem sakramental yang
merupakan soko-guru gereja zamannya. Karena itu baginya usaha menyelamatkan
jiwa menjadi pendorong utama menuju jalan memperbarui gereja dan bukan
pertengkarannya dengan lembaga Kepausan;
(b) Pembenaran oleh iman: melalui penderitaan jiwanya, Luther
diyakinkan tentang kebenaran dosa sebagai faktor dalam diri seiap orang. Dosa
itu meresap ke dalam semua kebajikan insane di samping tindakannya yang buruk.
Jadi, dampaknya mengendalikan segala kegiatan yang diprakarsai manusia termasuk
pendidikan agama Kristen. Oleh karena itu ia mutlak diperhatikan oleh para
pendidik di kalangan jemaat/ gereja; (c)
Imamat semua orang percaya:
menurut Luther, di dalam pengalaman pembenaran karena iman tersebut tersirat
pula persamaan hak setiap orang di hadapan Allah. Tidak ada satu golongan
tertentu yang menjadi penyalur anugerah Tuhan sehingga kemudian disampaikan
kepada orang yang lebih rendah martabatnya. Sebenarnya semua oleh iman telah
dijadikan makhluk baru dalam Yesus Kristus. Dengan kata lain, setiap warga
adalah imam bagi warga seimannya; (d) Firman Allah: dasar teologi ini sudah
tersirat dalam ketiga dasar lainnya, karena semuanya berakar dalam Alkitab[2],
yaitu: Yesus secara pribadi dan
ajaran-Nya aalah Firman Allah, Alkitab sebagai Firman dan Firman sebagai Amanat Allah yang Diberitakan
kepada Para Warga kristen.
Ø
Dasar “sosiologi” untuk Pendidikan Agama Kristen
Dasar sosiologi yang dimaksudkan
di sini tentang bagaimana dinamika dan unsur sosial turut memperlancar
pelaksanaan pembaruan gereja dan masyarakat atau sebaiknya menghambatnya. Dalam
arti inilah akan dibahas tentang padangan Luther terhadap dua bagian pokok
dalam masyarakat, yaitu: Orangtua dan
Penguasa sipil. Hal tersebut
dilakukan karena kemerosotan mutu pendidikan yang terjadi di sekolah-sekolah
dan universitas-universitas merupakan salah satu dampak sampingan dari
pembaruan gereja di Jerman.
Luther mengakui peranan pokok
yang diperankan oleh para orangtua dalam mendidik anak mereka. Namun bagi
Luther justru tugas inilah yang dilalaikan, karena pertimbangan ekonomi. Untuk
memperkuat argumentasinya tentang kewajiban yang harus dilakukan oleh orangtua,
Luther memberikan tiga hal pokok, yaitu contoh
dari alam: dengan memberikan gambaran bagaimana binatang-binatang yang
tidak berakal selalu memelihara serta melatih anak-anak mereka dan jika
dibandingkan dengan para orangtua, maka para orangtua tentu akan jauh
memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka; kebutuhan masyarakat: Luther juga sangat prihatin kepada orangtua
yang merasa puas apabila putranya hanya menerima pendidikan paling dasariah
saja, yang dipandang cukup untuk tugasnya (misalnya menjadi seorang pedagang).
Pandangan tersebut menurut Luther tidaklah bertanggung jawab, karena masyarakat
menyeluruh termasuk kaum pedagang memerlukan pemuda yang diajar
sedalam-dalamnya demi keamanan dan kesejahteraan umum; dan yang terakhir kehendak Allah: berdasarkan kehendak
Tuhan, yang ditarik Luther dalam Mazmur 78:5[3],
di mana para orangtualah yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak
mereka. Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa seluruh tugas dibebankan kepada
orangtua saja. Semua penguasa sipil, khususnya mereka yang bekerja di dalam
pemerintahan wajib menyediakan dana dan sarana demi kepentingan pendidikan bagi
kaum muda.
Luther memberikan beberapa alasan
mengapa para pemimpin pemerintahan wajib menyediakan kesempatan belajar bagi
kaum muda, antara lain: kalau
orangtua tidak mau mendidik anak-anak, atau tidak mampu, atau mampu tetapi
mempunyai waktu atau uang cukup untuk pendidikan, maka terdapat satu lembaga
yang mempunyai keuangan yang dapat dipergunakan untuk kesejahteraan umum.
Walaupun dana yang dikeluarkan tidak sedikit jumlahnya, namun Luther telah
memikirkannya yaitu melalui kas gereja, para dermawan, dan kas Negara.
Ø
Asas-asas Pelayanan Pendidikan
Agama Kristen di Jemaat
(1) Tujuan
Pendidikan Agama Kristen
Di dalam tulisan-tulisannya,
Luther memberikan beberapa pokok pendidikan yang semuanya itu berakar paling
tidak dalam dasar teologi dan sosiologi yang dibahas di atas. Pertama, dengan pendidikan Kristen[4]
Luther ingin menyadarkan anak didik dan orang dewasa tentang keberdosaan mereka
dan untuk menjelaskannya Luther membahas arti Dasa Titah dalam Ketekismusnya.
Dengan harapan mereka mengetahui hukum yang menyatakan tuntunan Allah terhadap
para warga jemaat entah muda atau lebih dewasa, agar mereka mengerti betapa
lebarnya jurang yang memisahkan manusia dari Allah dan mengantar mereka kepada
kesadaran akan dosa mereka pribadi. Kedua,
para warga hendaknya mendengar isi Kabar Baik dalam Yesus Kristus serta
mengamalkannya. Ketiga, para pelajar
diharapkkan memahami doa, serta melaksanakan kehidupan doa. Itulah sebabnya
mengapa Doa Bapa Kami merupakan doa teladan bagi kaum tua dan muda.
(2) Pengajar
dalam Pelayanan Pendidikan Agama Kristen
Luther mengakui bahwa Allah
sendiri merupakan pengajar pokok dalam pendidikan agama Kristen dan bukan
manusia. Bagi Luther, gaya mengajar yang diberikan oleh Allah sebaiknya menjadi
contoh bagi semua perkara pedagogis. Dalam hal ini, Luther menjelaskan bahwa
peran orangtua, terutama ayah dan guru sangat menentukan dalam memberikan
pengajaran kepada anak.
(3) Pelajar
Dalam penjelasan sebelumnya,
Luther secara tersirat telah menyebutkan beberapa jenis pelajar. Luther
berpandangan bahwa yang menyandang status pelajar bukan hanya anak-anak/ nara
didik saja, akan tetapi orangtua dan guru pun wajib menyandangnya. Menurut
Luther, orangtua dan guru haruslah terlebih dahulu diberikan
pengajaran, sebelum mereka mulai mengajar. Hal ini dilakukan agar para orangtua dan guru memiliki dasar yang kuat dalam mengajar anak-anak/ nara didik.
Para pelajar kedua adalah para anak-anak/
nara didik, baik itu laki-laki maupun perempuan. Menurut pandangan umum
pada saat itu, pendidikan untuk anak perempuan sangat disepelekan. Masyarakat
menganggap bahwa hanya anak laki-laki saja yang dapat menerima pendidikan,
bukan perempuan. Namun pandangan ini ditolak oleh Luther. Menurut Luther,
tingakatan pendidikan yang diterima anak perempuan haruslah sama dengan anak
laki-laki.
Para pelajar lainnya yang
menerima perhatian Luther adalah para
orang dewasa. Luther berpandangan bahwa orang
dewasa pun perlu diperlengkapi dengan pengetahuan dan pengertian tentang
iman Kristen. Serta untuk mereka yang melek huruf, Luther telah menyusun
Katekismus Besar, sebuah sumber tercetak yang menolong orang dewasa memperoleh
pengetahuan minimal tentang iman Kristen. Tetapi kalau tidak dibuat demikian,
maka secara praktis terdapat wadah lain lagi yang tersedia, yaitu kebaktian
pagi pada umumnya, dan khotbah pada khususnya.
Golongan pelajar yang terakhir
adalah para imam, biarawan dan awam yang ingin dipersiapkan untuk dapat
berkhotbah. Untuk para pelayan ini, Luther menyusun khotbah khusus yang dapat
dibaca pada jam kebaktian di jemaat lainnya. Sebagiannya dimanfaatkan pula
sebagai contoh atau pedoman bagi orang yang sedang dipersiapkan untuk
memberitakan injil. Khotbah-khotbah yang disalin itu kemudian dicetak dan
disebar-luaskan ke mana-mana.
(4) Kurikulumnya
Pandangan Luther tentang
kurikulum tidaklah sama dengan pandangan pada umumnya. Pandangan tersebut coba
digolongkan oleh Boehlke ke dalam tiga hal. Pertama, membahas tentang ruang
lingkup kurikulum Luther. Kedua, isi Katekismus merupakan kurikulumnya yang
paling lengkap dan teratur. Ketiga, pandangannya tentang isi kurikulum di
sekolah-sekolah[5].
Penjelasan mengenai ketiga akan dijelaskan di bawah ini.
(a) Ruang
lingkup Kurikulum yang Luther sebutkan sepintas lalu dalam karyanya
Di dalam ruang lingkup
kurikulumnya, Luther memasukkan unsur musik sebagai sarana belajar bagi semua
pelajar. Menurutnya, musik merupakan salah satu karunia Tuhan yang paling
indah. Tetapi Luther tidak hanya memasukkan vak musik ke dalam kurikulumnya.
Dia sendiri telah menggugah paling tidak sepuluh buah nyanyian rohani, yang di
antaranya termasuk nyanyian Reformasi yang terkenal, yaitu “Allahku benteng
yang Teguh” (“Ein Feste Burg Ist Unser
Gott”).[6]
Selain vak musik, Luther juga
menerapkan vak sejarah ke dalam keurikulumnya. Luther berpandangan bahwa
sejarah tidak lain daipada kisah yang bersaksi atas pemeliharaan Allah
sepanjang abad terhadap manusia. Dengan mengetahui serta memahami arti baik
buruknya sejumlah peristiwa yang terjadi pada masa lampau, maka warga diperkaya
dalam keperluan mengambil keputusan bermakna pada zaman sekarang ini. Selain
itu, vak ilmu hitung dan olahraga yang menurut Luther juga perlu ada dalam
sekolah-sekolah, di samping semua vak khusus yang berkaitan dengan bahasa
Latin. Walaupun semua vak-vak di atas adalah vak-vak pelengkap yang penting,
namun bagi Luther tidak ada pokok pelajaran yang lebih penting daripada
Alkitab. Pembelajaran tentang Alkitab dipermudah dengan adanya terjemahan Kitab
Suci dalam bahasa Jerman.
(b) Isi
Katekismus
Pada tahun 1529, Luther
menghasilkan dua buku katekismus, yaitu yang Kecil untuk anak-anak dan Besar
untuk kaum dewasa. Kedua-duanya berporos pada lima tema, yaitu Dasa Titah, Pengakuan Iman Rasuli, Doa
Bapa Kami, Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus, serta Jabatan Kunci.
Luther berusaha menjelaskan arti setiap tema dengan menyusun suatu seri
pertanyaan yang diajukan kepada anak didik oleh guru/ pendeta, dan jawaban yang
hendaknya diungkapkan oleh setiap pelajar. Sebagai contoh kita dapat melihat
beberapa pokok pertanyaan yang termuat dalam Katekismus Kecil[7],
antara lain tentang: (i) Pengakuan Iman Rasuli: “Aku percaya kepada
Allah Bapa yang Mahakuasa, yang menciptakan bumi dan semesta langit”; (ii) Doa Bapa Kami: “Berilah kami pada hari ini makanan kami yang
secukupnya”; dan (iii) Sakramen
Perjamuan Kudus.
Luther berpandangan bahwa
katekismus itu hendaknya dipakai oleh pendeta sebagai dasar khotbahnya, tetapi
pada pokoknya ia merupakan sumber pendidikan agama Kristen di rumah tangga.
Dengan buku katekismus dalam tangannya, seorang ayah mampu mendidik
anak-anaknya dalam pokok-pokok iman Kristen, walaupun pendidikannya terbatas.
(c) Isi
Kurikulum di Sekolah-sekolah
Selain menentukan pokok
kurikulumnya, Luhter juga telah menentukan isi dari kurikulumnya, antara lain: (i) Anak-anak yang duduk di sekolah
pada tahap pemula akan diajarkan membaca. Buku pertamanya memuat alphabet
(abjad), Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli di samping doa-doa. Selain itu,
anak-anak tidak belajar membaca dan menulis bahasa Jerman, melainkan bahasa
Latin. Oleh sebab itu, setiap anak diwajibkan menghafalkan beberapa kata setiap
hari dan kemudian mengucapkannya kembali secara tertulis dan lisan; (ii) Bagian Kedua: Di dalam tahap ini adalah anak-anak yang sudah mampu
membaca dan menulis, mata pelajarannya mencakup tiga vak pokok, yaitu: tata
bahasa Latin, Dongeng-dongeng Aesop
dan pendidikan agama Kristen; (iii) Bagian
Ketiga: Hanyalah anak-anak yang paling mampu dalam tata bahasa Latin boleh
naik tingkat bagian ketiga ini. Sepanjang pagi waktunya dimanfaatkan membaca
karangan klasik dalam bahasa Latin di samping mengupas berbagai pokok tata
bahasa yang ada di dalamnya. Dalam seminggu anak-anak diwajibkan menyusun
sebuah syair dalam bahasa Latin. Selain itu, pembicaraan dalam semua mata
pelajaran hendaknya berlangsung dalam bahasa Latin juga. Vak yang lebih ringan
seperti musik dipelajari sesudah makan siang. Anehnya, vak pendidikan agama
Kristen hanya dipelajari secara tidak langsung melalui kebaktian saja.
Sesungguhnya gaya mengajar yang
disarankan Luther lebih maju ketimbang pendekatan yang lazim dikenal di
sekolah-sekolah sezamannya, namun dengan semua tekanan atas menaati pola tetap,
kekhawatiran terhadap ucapan pribadi, khususnya dalam penelaahan katekismus,
dan latihan terus-menerus menyatakan metode-metode mengajar yang dinamakan
pembiasaan (Conditioning)[8].
Setelah melihat penjelasan
tentang pemikiran yang Luther berikan untuk pendidikan agama Kristen, paling
tidak kita mendapatkan beberapa pokok yang bermakna terhadap perkembangan
pendidikan agama kristen, antara lain: (a) Luther mengaitkan teologi sebagai
dasar pendidikannya, serta (b) berpandangan bahwa semua orang berhak belajar
membaca dan menulis sebagai dasar pendidikan bagi anak laki-laki dan perempuan.
(c) Luther juga menyusun bahan pendidikan khusus untuk anak didik, yaitu Katekismus kecil. (6) Dia sangat prihatin pada perbedaan sifat setiap anak, sebagai
suatu fakta yang perlu diperhatikan sebagai dasar mengembangkan tugas-tugas
belajar yang sesuai dan penggunaan kurikulum yang digunakan.
(7)
Walaupun gaya
mengajarnya tidak sempurna, namun ia cenderung lebih maju ketimbang pendekatan
yang dominan di antara kebanyakan pendidik sezamannya. Hal itu terlihat dalam
pada saat (8) Dia menitik-beratkan
peranan musik dalam proses mendidik orang-orang di samping menjadi unsur
liturgi. (9) Dia juga amat sadar
akan kemungkinan-kemungkinan yang tersirat dalam pengalaman pendidikan, dengan
berakibat kepada warga Kristen yang berhak bertumbuh dalam iman Kristen
sehingga dihayatinya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Calvin
Pemikiran
Calvin tentang pendidikan, jarang sekali ia bahas, karena ia mentitik-beratkan
dogmatika bukan pendidikan maupun pembinaan, tetapidengan mutu karyanya yang
begitu tinggi, dia berhak di gelari “Pengajar gereja”[9].
Calvin ditinggal ibu kangdungnya sejak ia berumur tiga tahun, dan tak lama
kemudian setelah ibunya meninggal, ayahnya menikah lagi dan akhirnya calvin
tinggal bersama ibu tirinya dan ayah kandungnya. Semasa itu Calvin hidup dengan
kepribadian yang disiplin dan serius karena ia dididik oleh ayahnya. Ia
mendapatkan gelar doctor hukum di universitas Orléans.
Pada 1536
ia menetap di Jenewa,
ketika ia dihentikan dalam perjalannya ke Basel, oleh bujukan
pribadi dari William Farel, seorang reformator. Ia menjadi
pendeta di Strasbourg dari 1538-1541, lalu kembali ke Jenewa. Ia tinggal di
sana hingga kematiannya pada 1564. Yohanes Calvin berniat menikah untuk menunjukkan sikap
positifnya terhadap pernikahan daripada kehidupan selibat. Pada 1539 ia menikah dengan Idelette de Bure, janda
seseorang yang dulunya anggota Anabaptis di Strasbourg. Idelette mempunyai seorang anak laki-laki dan
perempuan dari almarhum suaminya. Namun hanya anak perempuannya yang pindah
bersamanya ke Jenewa.
Pada 1542,
suami-istri Calvin mendapatkan seorang anak laki-laki yang dua minggu kemudian
meninggal dunia. Idelette Calvin meninggal
pada 1549.
Calvin
memiliki dasar teologi tentang pendidikan agama Kristen, yaitu kedaulatan
Allah, Alkitab sebagai firman Allah, ajaran tentang manusia, ajaran gereja, dan
ajaran tentang hubungan gereja dengan Negara[10].
Calvin
menjelaskan tentang pendidikan Kristen yang yang mendasarkan bahwa orang Kriten
pada mulanya sudah dipilih oleh Allah sehingga sering timbul pertanyaan bahwa
mengapa perlu mendidik jika Allah sudah memilih orang orang tertentu(Kristen)?[12].
Hal ini Calvin menjelaskan bahwa setiap manusia yang di pilih oleh Allah harus
memiliki tanggung jawab terhadap hidupnya. Boehlke menjelaskan melalui
perumpamaan bayi yang lahir tanpa apa-apa, dengan dorongan alamiah hingga
bertumbuh. Dalam pertumbuhan manusia yang semakin dewasa harus diberi
pendidikan untuk lebih mengenal Allah, seperti yang diajarakan Yesus yaitu
kasih. Menurut Boehlke calvin memandang pendidikan agama Krsiten adalah
pemupukan akal orang-orang percaya dan anak-anak mereka dengan Firman Allah
dibawah bimbingan Roh Kudus melalui sejumlah pengalaman belajar yang
dilaksanakan gereja, sehingga pertumbuhan rohani akan dihasilkan oleh mereka
yang semakin dalam, pertumbuhan ini menjadikan tindakan-tindakan kasih terhadap
sesamanya.[13]
Pandangan
calvin terhadap tujuan pendidikan dipandang melalui hidup Yesus yang sebagai
seorang yang rajin berdoa dan beribadah. Calvin melihat diri Yesus yang hidup
tanpa menginginkan seturut dengan kemauan-Nya melainkan demi keprihatinan Allah
terhadap manusia. Yesus yang menjalankan tugasnya yang begitu berat tetapi Ia
bertanggung jawab untuk melaksanakan tugasnya. Sehingga tujuan Calvin adalah
setiap warga yang mawas diri terhadap kepentingan dirinya sehingga ia melupakan
bahwa dirinya bukan kepunyaannya sendiri melainkan kepunyaan Allah. Pendidikan
agama Kristen mempunyai tujuan untuk mendidik para putra putri melalui ibu
(gereja), dan dilibatkan dalam penelaahan Alkitab sebagaimana menurut roh
kudus, dan mengambil bagian dalam kebaktian, dan dapat mejalankan tugas
panggilan sehari-hari.[15]
Calvin
menggunakan contoh gereja purba, yaitu keperluan untuk mendidik
anak-anak(laki-laki dan perempuan) dalam ajaran iman. Jemaat kedua adalah anak
muda, mereka harus wajib menghadiri kebaktian minggu maupun hari-hari lainnya
yang sudah terlebih dahulu di beritahukan. Jika terlambat maupun tidak
hadir tanpa izin maka akan di berikan
denda, kebaktian sangatlah penting bagi pendidikan Kristen menurut Luther dan
Calvin, karena mereka berdua memandang khotbah sebagai wadah yang disediakan
Tuhan untuk mendidik orang dewasa.
Golongan ketiga adalah golongan pelajar maupun pendeta. Calvin ingin pemimpin
gereja dipimpin oleh orang-orang yang terpelajar, mereka-merekalah yang
mengerti akan Alkitab.
Pengjaran
berawal dari firman Allah yang tertulis dalam Alkitab, karena dalam kehidupan
di Alkitab terdapat pengalaman mengajar dan belajar. Allah mengajar melalui
orang-orang yang menaklukan dirinya kepada Firman Allah. Menurut Calvin pengajar di bagi menjadi dua yaitu Pendeta
dan guru. Di jenewa Calvin menggabungkan jabatan tersebut, yaitu pendeta yang
sebagai gembala Jemaat dan ia juga mengajar sebagai guru dan melayani jemaat
sebagai guru juga. Selain Allah dan pendeta sebagai pengajar, perlu juga orang
lain di ajar untuk dapat menjadi pengajar, sehingga didirikannya Akademi di
Jenewa.[18]
Sehingga keteratuaran yang terjadi dalam pengajaran di gereja akan semakin kuat
karena adanya dukungan satu sama lain.
Menurut
Calvin katekimus sangat penting, katekimus hampir sama dengan ilmu pendidikan.
Terdapat empat tinjauan umum sebelum terbentuknya isinya yaitu, pertama tugas
menyusun katekimus(disusun oleh orang-orang yang terpercaya), kedua bahan studi
bagi anak yang disesuaikan menurut dengan kemampuan anak didik, ketiga
pengalaman pengajaran katekimus menentukan pembentukan kurikulum, keempat buku
kategkismus hendak memupuk hubungan di antara gereja-gereja yang terpisah.
Kurikulum ini mencakup pada empat tema pokok yaitu hukum, iman, doa dan sakramen-sakramen.
Ø
Tanggapan
Peranan Calvin dalam
rangka Pendidikan agama Kristen begitu terlihat, terbukti perananya dalam
pembentukan kurikulum. peranan Tanggung Jawab bagi Calvin hal yang penting,
yanitu tanggung jawab sebagai orang Kristen, maksudnya warga Kristen yang tidak
semena-mena dengan Kekristenannya, tanggung jawab terhadap Tuhan dengan cara
menyangkal dirinya untuk kehidupan dalam rangka melayani, bukan mementingkan
dirinya sendiri. Gereja sebagai sumber dari pengajaran, bagi Calvin harus
memiliki tanggung jawab dalam pelayanannya salah satunya ialah mendidik. Calvin
pun menginginkan pengajar-pengajar yang berada di gereja memiliki sebuah
kecerdasan didalam bidang Pendidikan Kristen sehingga tahapan yang seharusnnya
diberikan oleh pelajar tepat. sehingga
tujuan dari pendidikan Kristen dapat terwujud dalam kehidupan.
3. Ignatius
Loyola
Tokoh
ini adalah salah satu pendiri ordo Yesuit pada masa reformasi. Beliau adalah
pensiunan tentara. Ia mengalami cedera akibat perang di Pamplona, Spanyol
Utara. Dalam keadaan cedera, Ignatius memikirkan sesuatu seperti yang dilakukan
Santo Dominikus atau Santo Fransiskus. Akhirnya, dengan izin Paus, Ignatius
mendirikan Ordo Yesuit sebagai tanda dari kontra-reformasi. Dengan begitu dia
pensiun sebagai ksatria duniawi dan menjadi bagian dari ksatria rohani.
Sebagai
veteran, Ignatius menganggap pentingnya komando dari atasan kepada bawahan.
Komando utama ada di tangan Yesus, dan sebagai bawahannya kita semua harus
menaati perintah demi kemuliaan Kristus di manapun juga. Selain dasar militer,
Ignatius juga menekankan dasar kebatinan atau kehidupan rohani. Kehidupan
rohani, ia tekankan, agar kita aktif. Tidak seperti Doa Bapa Kami yang
mengatakan “..datanglah kerajaanMu”. Dia menegaskan bahwa kita harus rajin
mengetuk pintu Sorga hingga pintu itu terbuka. Artinya, kita harus mencari
kehendak Allah, bukan menanti apa yang Allah perintahkan. Selain itu, sebagai
seorang Katolik yang saleh, Ignatius melatih rohani para pengikutnya dalam Ordo
Yesuit untuk melayani gereja Katolik pada akhirnya.
Ignatius
mendaftar beberapa hal yang menjadi petunjuk betapa pentingnya kehidupan
gerejawi.1)Mengesampingkan urusan pribadi untuk kepentingan gereja, mempelai
perempuan Kristus, dan ibu dari semua orang percaya. 2)Mengaku dosa dan
mengikuti ekaristi sesering mungkin (sekali seminggu). 3)Menjunjung tinggi
keikutsertaan dalam segala upacara gerejawi dan peraturannya. 4)Menghargai
jabatan gerejawi, keperawanan, pertarakan, dan pernikahan. 5)Memuji ketaatan,
kemiskinan, dan kesucian. Ini adalah tiga landasan penting alam Ordo Yesuit
yang dipimpinnya. 6)Memuji barang keramat kaum suci serta berdoa atau
berziarah. 7)Menghormati peraturan gerejawi. 8)Harus mengatakan atau
menyampaikan hal-hal yang positif tentang para pejabat gerejawi di depan umum.
9)menekankan perbuatan baik sebagai bentuk kesetiaan kita kepada Tuhan selain
percaya dan beriman padaNya.
Asas-asas
pendidikan Kristen menurut Ignatius pokoknya adalah bagaimana menaklukan kehendak
manusia menjadi kehendak Allah yang dirumuskan oleh Paus dan gereja. Maka dari
itulah ia menekankan pelatihan rohani bagi para muridnya. Wadah pendidikan
Kristen sendiri adalah sekolah Yesuit yang ia dirikan pada saat itu. Dalam
sekolah itu, Ignatius menyusun sebelas asas umum. Dalam asas-asas itu, secara
keseluruhan, menekankan adanya keseimbangan atas nilai spiritual dan juga
moral. Kegiatan di luar kegiatan rohani pun menjadi pilihan, selama hal itu
dapat mendukung iman dan tujuan akhir mereka yaitu memperoleh keselamatan dan
mengerti serta memahami maksud Allah.
Sekolah
ordo Yesuit dibiayai oleh donatur, baik yang diminta maupun sukarela. Namun
lebih dari itu, Ignatius memilih seorang kepala atau rektor untuk mengelola
dana-dana yang masuk untuk kepentingan lembaganya. Pada saat itu, biaya sekolah
para anak didik ditanggung juga oleh donatur. Maka dari itu pendidikan ini
sampai pada tombol “off”. Tidak hanya
sekolah, Ordo ini juga memiliki universitas. Pengajarannya hampir sama dengan
unversitas lain pada abad pertengahan. Hanya saja pengajaran ilmiah diramu
dengan pengajaran spiritual. Hasilnya, banyak tamatan universitas ini yang
memegang teguh iman Katolik Roma.
Sebagai
seorang Kristen yang baik, Ignatius menjadikan Yesus sebagai pengajar utamanya.
Sebagaimana dilihatnya cara Yesus mengajar, maka menurutnya guru pun harus bisa
seperti Yesus dalam hal mengajar. Guru-guru pada sekolah yang berada di bawah
naungan Ordo ini harus taat pada disiplin yang telah ditetapkan oleh ordo
tersebut. Pelajarnya adalah anak laki-laki berusia 14-23 tahun. Para pelajar
ini terdiri dari dua, yaitu yang benar-benar (ingin menjadi bagian dari Serikat
Yesuit (skolastik) dan yang hanya ingin belajar lebih lanjut (ekstern).
Kebanyakan mereka, setelah lulus, menjadi pemimpin gereja yang berpengaruh
dalam penanggulangan reformasi di Eropa.
Susunan
pembelajaran di sekolah adalah pemakaian bahasa Latin untuk menyampaikan
gagasan dalam tulisan maupun lisan. Ada juga pembelajaran tentang isi iman
kristen atau katekismus. Para pelajar diajar untuk bertindak moral sehingga
menjadi suatu kebiasaan dalam diri mereka.
Metodenya
ada tiga yaitu di kelas, latihan rohani, dan latihan ketaatan. Berikut akan
dijelaskan satu persatu, antara lain:
Ø
Di kelas
Jumlah
anak didik dalam satu kelas bisa mencapai 200 orang. Maka guru bertindak aktif,
menjelaskan pelajaran kepada setiap murid. Dalam murid sendiri dibagi
kelompok-kelompok belajar untuk memeprmudah tugas guru. Agar tidak bosan, guru
melibatkan siswa dalam kegiatan semacam perlombaan. Perlombaan ini bisa
perorang atau perkelompok.
Ø
Latihan rohani
Latihan
ini dilakukan dengan menghadirkan sosok Kristus dalam pikiran hingga sosok itu
benar-benar meresap ke dalam pribadi setiap pelajar. Latihan ini meliputi
pengakuan dosa, kehidupan Yesus, penderitaan Yesus, dan kebangkitan serta
kenaikanNya ke surga.
Ø
Latihan ketaatan
Sebagaimana
sistem militer yang mengutamakan ketaatan setiap orang kepada perintah,
demikian halnya dalam pendidikan Kristen ini. Ignatius memahami bahwa kesetiaan
adalah yang terpenting dari pada korban sembelihan, seperti yang dipahami oleh
Gregorius. Ketaatan terdiri dari tiga tingkatan. Yang pertama adalah ketaatan
akan perintah atasan. Yang kedua kemauan atasan menjadi kemauan bawahan. Yang
ketiga adalah pemahaman bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang diingini
atasannya.
Ø Tanggapan
Ignatius memiliki latar belakang
militer yang kuat. Dengan sistem pendidikan seperti itu, akan ada senioritas
dan kecemburuan sosial sehingga tidak mendidik anak didik untuk mengembangkan
bakatnya. Mereka harus taat pada yang lebih tua dan melakukan apa yang baik di
mata mereka, mau tak mau. Hal ini akan sangat sulit jika diterapkan pada remaja
saat ini, di mana kebabasan adalah hal utama. Lagi pula sudah diatur oleh
undang-undang bahwa setiap anak memiliki hak dan kewajiban tersendiri. Untuk
taat kepada Tuhan, tentu saja itu baik. Jadi, ketaatan di sini seharusnya lebih
merujuk ketaatan pada Tuhan, dan orangtua juga tapi harus juga memperhatikan
kebutuhan dan aspirasi anak itu sendiri. Di gereja juga masih beranggapan bahwa
yang muda masih belum tahu apa-apa sehingga yang lebih tua merasa lebih benar
dan lebih tahu. Hal ini yang perlu diperbaiki dari paradigma masyarakat dan
gereja. Sudah saatnya masyarakat dan gereja belajar menerima inovasi yang baru
untuk sesuatu yang baik.
4. Kesimpulan
dan Tanggapan Kelompok
Kelompok dengan segala
keterbatasannya memohon maaf jika laporan presentasi kami terdapat kekurangan
maupun kesalahan. Namun ini merupakan usaha kami untuk bisa menyajikan materi
kepada rekan-rekan sekalian. Untuk menutup presentasi ini, kami menyimpulkan
bahwa ada kesamaan antara tiga tokoh yang kami soroti kali ini yaitu Luther,
Calvin, dan Ignatius. Mereka bertiga memfokuskan pandangan pendidikan mereka
kepada anak-anak usia remaja (kira-kira SMP dan SMA). Selain pada objek
pendidikan, pedoman pendidikan mereka pun sama-sama didasarkan pada Alkitab.
Mereka juga menempatkan Yesus sebagai pengajar yang baik dan teladan bagi para
pengajar. Perbedaan pun juga terdapat dan terungkap dengan sangat jelas.
Pemahaman mereka mengenai cara mendidik dipengaruhi dengan latar belakang
mereka pribadi. Contohnya Ignatius, dengan latar belakang militer ia memilih
latihan ketaatan sebagai salah satu pembelajaran. Menurut Calvin, seorang
reformis, pendidikan pada dasarnya adalah pendidikan Kristen sehingga tidak
perlu lagi pendidikan Kristen.
Menurut kelompok, pemikiran
ketiga tokoh itu sangat berguna bagi pendidikan sekarang ini. Walaupun muncul
beberapa abad yang lalu, tapi konstribusi mereka sangat penting. Mereka mulai
merumuskan bagaimana pendidikan yang baik dengan kurikulum serta tenaga
pengajar yang memadai untuk mengembangkan pendidikan, khususnya pendidikan
Kristen. Mereka sudah meletakkan dasar yang baik, yaitu Alkitab dan Yesus.
Walaupun memberikan sumbangan yang berbeda tapi mereka sudah sangat memahami
kebutuhan anak didik mengenai pendidikan yang dapat membuat mereka lebih
cerdas, baik intelektual maupun spiritual dan moral.
[1]
Pengalaman yang terjadi pada saat perjalanan ke Erfurt, membuat kehidupannya
berubah seratus delapan puluh derajat dari masa depannya yang sudah jelas pada
saat itu. (Robert R. Boehlke, Sejarah
Perkembangan Pikiran Dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, hlm. 309)
[2]
Ibid., hlm. 328-334
[3]
Mazmur 78:5 – “Telah ditetapkanNya peringatan di Yakub dan hukum Taurat
diberiNya di Israel; nenek moyang kita diperintahkanNya untuk memperkenalkannya
kepada anak-anak mereka..” (Ibid.,
hlm. 337) bnd dengan kalimat yang terdapat di dalam Alkitab BIS
[4]
Bagi Luther, pendidikan agama Kristen dan pendidikan umum sama artinya, kecuali
taraf yang pendidikan lebih tinggi (Ibid.,
hlm 340)
[5]
Pandangannya dapat kita lihat dalam buku yang berjudul “ Instructions for the Visitors of Parish Pastors in Electoral Saxony”,
dalam Bergendorff, Luther’s Works,
vol. 40 (Ibid., hlm. 349)
[6]
Tiga ratus tahun kemudian, penggugah ternama Felix Mendelsohn menggugah
“Simfoni Reformsi” dalam rangka HUT ke-300 pengakuan Augsburg pada tahun 1830.
[7]
Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat melalui penjelasan Boehlke dalam buku
yang berjudul “Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama
Kristen”, hlm. 352-353
[8]
Berdasarkan penilaian Strauss (Ibid., hlm.
358)
[9]
Ibid. hlm 384.
[10]
Ibid. hlm 385.
[11]
Ibid. hlm 411.
[12]
Ibid.
[13]
Ibid. hlm 413
[14]
Ibid.
[15]
Ibid. hlm 413-415
[16]
Ibid. hlm 415
[17]
Ibid. hlm 417.
[18]
Ibid. hlm 418
[19]
Ibid. hlm. 419.