Rabu, 20 Maret 2013

Perkembangan Awal Kekristenan di Asia (Abad I hinggaVII)



Perkembangan Awal Kekristenan di Asia
(Abad I hinggaVII)

Abstrak
Dalam makalah ini, kelompok berusaha untuk memberikan gambaran tentang perkembangan awal kekristenan di Asia mulai dari abad I hingga abad VII. Periode ini juga akan memperlihatkan bagaimana perkembangan kekristenan di Asia Hellenistik dan non-Hellenistik. Perkembangan tersebut tentu tidak terlepas dari berbagai faktor politik, sosial, budaya (filsafat), dan juga perjumpaan dengan agama lain yang turut memberikan sumbangan secara positif maupun negatif dalam perkembangan kekristenan tersebut. Sebagai langkah awal dalam perkembangan kekristenan, tentu akan melampaui berbagai macam tantangan dan juga hambatan atau bahkan kemudahan dalam perkembangannya. Hal inilah yang memberikan keunikan tersendiri terhadap kekristenan dalam bersaksi dan menentukan jati diri dalam identitasnya.

Kata-kata kunci:
            Gnosis, askese, literatur, aniaya, konsili, rasul.

Perkembangan kekristenan di Asia Hellenistik dan non-Hellenistik
Asia adalah salah satu wilayah yang memiliki keunikan tersendiri dalam perjalanan sejarah kekristenan. Di Asia kekristenan lahir, tumbuh dan berkembang hingga saat ini, meski perkembangannya mengalami pasang surut. Semakin banyak orang Kristen di Barat menyadari bahwa kekristenan di Asia pada dasarnya tidak bersumber dari Eropa maupun dari dunia Barat. Tetapi berasal dari Asia Barat atau Timur Tengah yaitu asal dari agama Kristen tersebut. Kekristenan berawal di Timur Tengah tepatnya di Galilea dan Yerusalem sejak abad I (Wessels 2001, 1-2).
Secara alkitabiah, perkembangan kekristenan  berawal dalam Perjanjian Baru khususnya kitab Kisah Para Rasul 2. Dengan jelas, sejarah [YS1] kekristenan dimulai sejak peristiwa Pentakosta di Yerusalem. Dengan kuasa Roh Kudus, Injil dikabarkan oleh murid-murid Yesus di Yudea, Samaria hingga ke Kaisarea (Kis. 2:40). Di samping itu, seiring dengan peristiwa pertobatan Paulus, Injil juga dikabarkan hingga ke Fenisia, Siprus dan Anthiokia meskipun hanya dalam ruang lingkup orang-orang Yahudi saja. Setelah di Anthiokia, pekabaran Injil mulai melakukan lintas budaya dan orang-orang Kristen mendapatkan julukan sebagai “Kristen” (Wetzels 2000, 9-10).
Dalam perjalanan Paulus kita dapat melihat semangat Pekabaran Injil yang sangat luar biasa. Injil tersebar melampaui batas geografis bahkan masuk dalam lingkungan kekaisaran [YS2] Romawi seperti Pamfilia dan Galatia. Sedangkan dalam perjalanan kedua, pekabaran Injil dapat mencapai Eropa (Kis. 16:9, 11, 12). Tetapi dari sekian banyak perjalanan Paulus, titik berat perjalanannya adalah Efesus yang merupakan pusat Propinsi Asia pada saat itu. Sesudah di Yunani, Paulus juga kembali ke Yerusalem  hingga akhirnya menuju Italia (Kis. 27:1, 6) dan khususnya di Roma sebagai ibukota kekaisaran Romawi pada saat itu (Wetzels 2000, 11).
Pertumbuhan gereja dalam kekaisaran Romawi tidak terlepas dari hilangnya peranan Yahudi Ebonit akibat kekalahan dengan Roma, dan beberapa ratus tahun kemudian Yahudi Ebonit hilang sama sekali. Sedangkan pengaruh Gereja di Suriah pada awalnya lebih besar di antara orang-orang yang berbahasa Yunani. Sedangkan perluasan seperti yang tercatat di Kisah Para Rasul pekabaran Injil semakin terarah ke Timur mulai dari Anthiokia sampai ke Edessa. Pertumbuhan gereja dapat terlihat dalam bidang kehidupan Kristen dan teologi. Hal tersebut dibuktikan dengan berbagai karangan-karangan bapak-bapak apostolik misalnya Ignatius dalam tujuh suratnya yang menunjukkan tanda-tanda moralisme dan Hukum Taurat yang baru. Salah satu idenya adalah sebuah jemaat harus dipimpin oleh seorang uskup, dengan demikian maka terbukalah salah satu langkah ke arah kepemimpinan klerus dan hierarkhi. Tokoh yang lain juga muncul misalnya Theophilus uskup Anthiokia yang disebut sebagai apologet pertama di Suriah yaitu seorang teolog yang membela iman Kristen secara intelektual dalam bentuk argumentasi (Wetzels, 15).
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kekristenan, maka ancaman juga turut mewarnai perkembangan tersebut. Misalnya Gnostik, Hegesipus yang seorang Kristen dari latar belakang Yahudi yang memberikan konsep tentang prinsip dasar teologi (suksesi apostolik). Pengaruh ini juga sangat didukung oleh Gnositik yang menggambarkan askese sebagai keunikan gereja Suriah yang semakin menganut kerabian. Sementara itu, adanya diatessaron yang disusun oleh Tatianus dan dipakai oleh Efraim dalam pendirian sekolahnya sebagai bahan pengajaran sesuai dengan teologi Niceanum. Dalam hal ini, diatessaron dipahami sebagai usaha dalam menyatukan keempat kitab Injil menjadi satu kitab yang kemudian Rabbulah dari Suriah memperkenalkan Vulgata yang diterjemahkan dengan sederhana dan jelas yang disebut dengan Peshita (Wessels 2001, 24-25). Namun, pada akhirnya pemahaman ini ditolak karena berlawanan dengan Firman Tuhan, sedangkan dalam bidang liturgi, Suriah menjadi daerah yang paling produktif misalnya dalam pembentukan tulisan-tulisan Apokrif, bagian-bagian liturgis yang menunjukkan bahwa upacara pembaptisan menurut sifat Suriah berisi upacara mengoleskan, baptis selam dan perjamuan kudus. Sedangkan dalam bidang teologi, muncul Mazhab Anthiokia yang dipelopori oleh Paulus dari Samosata (Wetzels 2000, 16).
Sementara tantangan dari luar dapat ditemukan berupa penganiayaan kepada orang Kristen dari pemerintahan Romawi. Hal ini dilatarbelakangi dari jumlah penganut agama Kristen yang semakin bertambah banyak jumlahnya di Asia Kecil, sehingga pemerintah Romawi memberikan peraturan tentang pemerintahan secara khusus kepada orang Kristen. Surat Plinius kepada kaisar Trayanus yang isinya mengharuskan orang Kristen menyembah dewa-dewa Romawi dan khususnya Kaisar sebagai dewa. Peraturan ini tentu menantang orang-orang Kristen yang bertahan dalam imannya untuk tidak menyembah Kaisar. Akibatnya, banyak orang Kristen yang mati syahid (mati martir). Sehingga muncul konsep penyembahan terhadap orang-orang yang mati martir sejak kematian Polikarpus dari Smirna  (156/157). Ajang perselisihan teologis juga termasuk dalam konsep pneumatologi.  Tokohnya adalah Montanus dari Frigia yang mengajarkan akhir zaman sudah dekat (Montanisme). Di kota Neokaisarea muncul Thaumaturgos yang memakai metode adat dan kepercayaan lokal (dikristenkan). Akibatnya banyak pandangan kekafiran yang masuk ke dalam gereja. Sementara itu, Ireneus dari Lyon mengajarkan tradisi sebagai prinsip jaminan iman yang benar (iman ortodoks vs gnostisisme). Sementara itu, tema-tema lain yang muncul adalah Kristologi (doktrin tentang logos) dan tema eklesiologi (Wetzel 2000, 19).
Dinamika perkembangan gereja di luar wilayah kekaisaran Romawi juga tidak jauh berbeda dengan pertumbuhan gereja di luar kekaisaran Romawi. Yang paling berpengaruh dalam dunia kekristenan pada abad-abad  pertama di luar kekaisaran Romawi bukanlah budaya Yunani. Hal ini dibuktikan dari kekristenan di Suriah yang ditandai dengan pengaruh Injil Ibrani yang dianggap sebagai kitab Apokrif. Sedangkan pusat kekristenan pada saat itu terletak di Mesopotamia bagian utara yang ibukotanya Edessa. Pelopor teologi Suriah adalah Bardesanes (154-222) yang turut mempengaruhi literatur, kesusastraan dan juga teologi. Teologinya mengarah pada kebebasan manusia terutama bagi orang Kristen. Sedangkan Mari, merupakan pelopor penginjilan di daerah Persia. Tantangan yang dialami orang Kristen di Persia adalah pengaruh pemerintahan baru yang menginstruksikan Zoroastrisme sebagai agama Negara. Hal ini tentu mengakibatkan orang Kristen mengalami penganiayaan sehingga gereja memiliki keinginan untuk menjadikan gereja yang merdeka (Wetzel 2000, 20).
Prinsip teologis Gereja Barat yang memandang Rasul Petrus sebagai pemimpin duabelas murid Yesus dan turut juga menjadikan Petrus sebagai pemimpin gereja. Sedangkan perkembangan gereja  berikutnya berlangsung di Arabia. Tokohnya adalah Abhdiso yang mengabarkan Injil ke Arab Timur dan masih ditemukan keuskupan di Mazun (sekarang Oman). Sedangkan di India, Efraim menciptakan himne-himne yang menggambarkan pelayanan Rasul Tomas. Perkembangan gereja di Armenia sekitar tahun 300-an, gereja telah berdiri dan katalikos sebagai pemimpinnya. Gereja ini memiliki keunikan tersendiri karena berkembang dalam bidang literatur, terjemahan Alkitab, pembangunan gedung gereja dan pelayanan diakonia. Sedangkan di Georgia, penyebaran Injil dilakukan oleh Nino dan berhasil mengkristenkan Raja Georgia dan beberapa kitab Perjanjian Baru yang diterjemahkan ke dalam bahasa Georgia. Literatur yang memiliki arti penting dalam perkembangan kekristenan lainnya yaitu kitab Didache dan Injil Tomas. Menurut Alhambra, kitab Didache memuat tentang berbagai inti pengajaran dari murid-murid Yesus sekitar abad I dan II. Kitab ini ditemukan sekitar tahun 1837 oleh Philetheos Bryennios seorang Uskup Gereja Ortodoks di Nikomedia. Isi dari kitab ini adalah katekisasi moral, instruksi liturgis, yang berkaitan dengan ibadah pada hari minggu dan yang terakhir adalah tentang akhir zaman. Secara umum, kitab ini mengutip kitab Matius dan anehnya tidak menyinggung sedikitpun tentang kitab Markus. Sehingga memunculkan pemikiran pemikiran baru bahwa kitab ini muncul akibat dari kebingungan para rasul dalam memberikan pengajaran terhadap orang Kristen yang berasal dari luar Yahudi (Alhambra 2006, 1-22). 

Perkembangan kekristenan di Persia (Partia)
Kekristenan di Persia dimulai dari Edessa dan Arbela. Ada asumsi yang datang dari sebuah kronik (Arbela/Arbil) bahwa kekristenan tersebut sudah ada sekitar tahun 100 (England 1996, 15). Selain itu, kronik yang dicatat oleh seorang rahib bernama Mashih-azakha juga menggambarkan banyak peristiwa yang dialami oleh umat Kristen antara tahun 99 hingga 540. Sang rahib mengutip catatan seorang guru bernama Habil (Heuken 2008, 63). Dalam kronik tersebut terdapat peristiwa-peristiwa penting yang mendeskripsikan perkembangan kekristenan. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain: “Seseorang yang melakukan konversi, martir pertama, tempat kekristenan, masa-masa penganiayaan, pembangunan gereja, dan tingkat (perkembangan) gereja hingga tahun 225 (Foster 1972, 93).”
 Seseorang yang melakukan konversi tertuju pada satu nama, yaitu Paqida. Ketertarikan Paqida pada kekristenan berawal dari ketertarikannya kepada seorang misionaris bernama Addai, dan memutuskan untuk menjadi seorang Kristen. Tindakan yang dilakukannya ditentang oleh orangtuanya sendiri, dan akibatnya Paqida dikurung, namun berhasil meloloskan diri. Ia mengikuti Addai sekaligus menjadi muridnya. Mereka pergi ke desa-desa hingga pegunungan sekitar Adiabene untuk berkhotbah (Foster 1972, 93). Kronik itu juga menerangkan bahwa pada akhirnya Paqida ditahbiskan oleh Addai dan menjadi uskup yang pertama kalinya di kota Arbela/Arbil pada tahun 104 (Heuken 2008, 64).
Tahun 114, Paqida meninggal. Keuskupan di Arbil mengalami kekosongan hingga enam tahun lamanya. Pada masa keuskupannya, Paqida mengangkat seorang diaken bernama Samsum. Ia menjadi seorang yang diajukan namanya oleh uskup dari Bait-Zabdi untuk menjadi uskup Arbil menggantikan Paqida. Seperti halnya Addai, Samsum juga melakukan khotbah di desa-desa.  Pada suatu ketika, ia menetang praktik kepercayaan Zoroaster yang menjadikan anak-anak sebagai kurban dalam penyembahan api keramat. Di sisi lain, praktik tersebut merupakan bagian penting dan amat dijunjung oleh kepercayaan Zoroaster. Pada akhirnya, ia pun didiskriminasi dan dipenggal (123). Samsum menyandang sebutan sebagai martir pertama gereja di timur (Heuken 2008, 64).
Selain uskup yang menerima kejamnya penganiayaan, perlakuan yang sama juga didapat oleh umat Kristen. Penganiayaan terhadap umat Kristen datang dari para imam Zoroaster. Mereka menghasut para rakyat untuk menganiaya umat Kristen bahkan membakar rumahnya. Hal demikian terjadi di tahun 160 dan 179. Namun demikian, penganiayaan yang dilakukan bukan mengurangi jumlah umat Kristen, justru umat Kristen di Persia bertambah banyak. Hingga tahun 225, tercatat ada 15 uskup di Persia. Secara singkat inilah perkembangan kekristenan yang dicatat dalam kronik Arbil.
Pada awalnya, kekristenan di Persia, seperti yang tercatat dalam kronik Arbil, berada di bawah pemerintahan kekaisaran Partia. Namun dalam perkembangannya, pada tahun 226 telah terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh kekaisaran Sassanid. Kekaisaran ini berhasil merebut kekaisaran Partia, menjadikan Ktesifon sebagai ibu kota, dan kepemimpinan dipegang oleh raja Sassanid yang bernama Ardhashir. Kondisi ini pun membuat kekristenan berada di bawah pemerintah kekaisaran Sassanid (Foster 1972, 95).
Pada masa itu, kekaisaran Sassanid sedang berperang dengan kekaisaran Romawi dan kekalahkan diterima oleh Romawi pada tahun 256. Perang tersebut membuat umat Kristen (Siria) menjadi tawanan dan diasingkan di Persia. Hingga tahun 315, Konstantinus Agung mengirim surat kepada kekaisaran Sassanid yang saat itu dipimpin oleh Shapur II. Surat tersebut merupakan suatu permohonan agar umat Kristen dilakukan dengan baik. Namun demikian, Shapur II merespons surat tersebut secara negatif, karena ia berasumsi bahwa umat Kristen memihak kekaisaran Romawi. Akhirnya terjadilah penganiayaan dan diskriminasi secara besar-besaran terhadap umat Kristen di tahun 339-363 dan 379-401, bahkan penganiayaan ini lebih besar dibandingkan sebelumnya. Di sisi lain, penganiayaan didukung para imam Zoroaster yang tidak suka terhadap perkembangan kekristenan di Pesia. Tentu para imam tersebut didengarkan perkataannya, mengingat Zoroaster menjadi agama resmi kekaisaran. Dalam peristiwa penganiayaan ini, ada satu nama, yaitu seorang katolikos Ktesifon bernama Shimun. Ia dianggap sebagai pengkhianat kekaisaran dan dikukum mati dengan dipenggal. Umat Kristen juga diharuskan membayar pajak dengan tinggi agar mereka menjadi miskin, bahkan pada akhirnya mereka juga dibunuh. Selain itu, gereja-gereja juga menjadi objek pengrusakan. Seorang sejarawan abad V bernama Sozomenos yang menulis perihal peristiwa tersebut melaporkan bahwa korban dari penganiayaan tersebut kurang lebih sebanyak 16.000 jiwa (Heuken 2008, 64-65).
Kekristenan di Persia sempat mendapatkan perlakuan baik di awal abad V. Pada saat itu, pemerintahan di Persia berada di bawah pimpinan Yazdegerd I yang melakukan perdamaian dengan kekaisaran Bynzantium. Ia mentoleransi umat Kristen, bahkan menginstruksikan agar gereja-gereja dapat dibangun kembali. Oleh karena kebaikankan, maka dapat dikatakan bahwa keberlangsungan kekristenan dan gereja pada masa ini berjalan dengan baik (Heuken 2008, 69).
Pada masa kekristenan di Persia, pertikaian ternyata tidak hanya terjadi di antara pemerintahan Persia dan Romawi saja, namun pertikaian para teolog saat itu juga terjadi. Sebagai contoh, pertikaian yang terjadi antara Uskup Barsauma dengan Katolikos Babowai perihal pernikahan pejabat gereja. Babowai dikhianati, sehingga ia dipenjara dan dibunuh. Dengan begitu sidang pada tahun 486 menginzinkan diakon, imam, dan uskup mempunyai istri sebelum ditahbiskan. Pada awal abad VI, pelaksanaan peraturan gereja menjadi merosost. Banyak para uskup yang menikah, para rahib meninggalkan biara, dan jabatan gereja didapatkan dengan cara yang tidak wajar. Di tengah-tengah keadaan tersebut, muncul seorang katolikos baru bernama Mar Aba I. Ia memberikan pembaruan pada gereja, khususnya disiplin atau tata tertib gereja. Selain itu, ia juga membangun banyak sekolah (Heuken 2008, 70-71).      

Uraian Singkat Pekabaran Injil di India
Dalam Kisah Rasul Tomas[YS3] , kisah penginjilan Rasul Tomas di India dimulai setelah hari Pentakosta, di mana kedua belas murid Yesus mengundi untuk menentukan ke mana setiap orang diutus mengabarkan Injil. Rasul Tomas mendapat tempat di India, tetapi ia menolak. Kemudian Tuhan Yesus menampakkan diri kepadanya melalui mimpi agar ia pergi ke India, tetapi ia tetap menolak. Tuhan pun mengatur agar Tomas dijual sebagai budak kepada seorang pedagang dari India bernama Habban/Abban yang datang ke Yerusalem untuk mencari tukang kayu (Ruck 2008, 14) (Frykenberg 2008, 94-95).
            Di India, Rasul Tomas dipercayakan untuk membangun istana untuk Raja Gudnaphar. Akan tetapi, uang yang diterimanya untuk membangun istana digunakan untuk membantu orang-orang miskin. Ia melihat keadaan masyarakat di sana sangan miskin, bahkan banyak orang yang sakit dan mengalami kekerasan. Melihat situasi seperti inilah yang membuatnya memberikan uang pembangunan istana kepada orang-orang miskin untuk membantu mereka (Ruck 2008, 14) (Frykenberg 2008, 95-96). Dengan menggunakan uang kerajaan, Rasul Tomas sedang ‘mengajar tentang Tuhan yang baru, yaitu Tuhan yang menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, dan melakukan hal yang indah di dalam nama Allah” (Frykenberg 2008, 96).
            Suatu hari, Raja Gudnaphar berjalan-jalan untuk melihat pembangunan istananya yang baru. Ketika melihat bahwa pembangunan istana belum selesai dan uang untuk pembangunan digunakan untuk keperluan lain, Raja menjadi marah. Rasul Tomas pun menerangkan bahwa ia sedang membangun istana di sorga bagi Raja Gudnaphar. Raja itu menjadi sangat marah dan ia memenjarakan Rasul Tomas. Akan tetapi, sesudah Rasul Tomas melakukan beberapa mujizat, raja bersama dengan adiknya Gad menerima tiga tanda kekristenan, yaitu: minyak urapan, baptisan kudus dan perjamuan Kudus (Ruck 2008, 14) (Frykenberg 2008, 96).

Uraian Singkat Konsili dan Sinode pada Abad IV-VI dan dampaknya bagi kekristenan di Asia
Pada abad IV-VI, terjadi beberapa konsili dan sinode yang merumuskan tentang pengakuan iman rasuli dan merumuskan beberapa pemahaman kristologi yang ada mengenai tabiat Allah. Konsili ini membahas tema teologis dalam gereja mula-mula mengenai Allah Tritunggal. Sedangkan di dalam sinode, ada beberapa keputusan gereja mengenai aturan gereja: Pertama, Konsili Nicea, tahun 324. Konsili ini menghasilkan keputusan mengenai doktrin Allah Tritunggal yang akan menjadi milik semua gereja, termasuk gereja di luar Kekaisaran Romawi (Wetzel 2000, 43). Kedua, Sinode Isaac terbentuk pada tahun 410. Sinode ini pimpinan oleh Ishak, uskup Seleucia-Ctesiphon. Keputusan dari Sinode ini menyatakan uskup Seleucia-Ctesiphon sebagai primata dari Gereja Timur dan pemberian gelar ‘Katolikos'. Sinode ini juga menyatakan kepatuhan kepada keputusan Dewan Nicea dan memakai Pengakuan Iman Nicea (Moffett 1992, 154). Ketiga, Sinode Yaballaha terbentuk pada tahun 420. Sinode ini meresmikan Antkhiokia sebagai gereja induknya. Ada tiga hal yang dapat dilihat dalam sinode ini, yaitu; dalam proses organisasi mendapat pencapaian konsensus di antara para Uskup Persia. Kedua, menjadi tangan panjang pemerintah Persia. Ketiga, memperhatikan serta waspada dari patriark Antiokhia sebagai perwakilam dari Gereja Barat (Moffett 1992, 159).
Keempat, Sinode Dadyeshu terbentuk pada tahun 424. Sinode ini dibentuk karena adanya laporan dewan sebelumnya yang menyatakan bahwa Katolikos dari Seleukia-Ctesiphon adalah "tertinggi dan tunduk di antara para uskup dari Timur bersamaan dengan patriark Timur atau Barat." Dengan kata lain, mau menyatakan bahwa Gereja di Asia itu bebas "dalam Kristus" di bawah dari kepemimpinan Katolikos; tidak menentang, tetapi sama dengan Barat (Moffett 1992, 163). Sinode ini juga berhasil mendirikan keuskupan  Merw, di Margiana (Wetzel, 2000, 56). Kelima, Konsili Oukumenis di efesus, tahun 431. Konsili ini mengambil dua keputusan mengenai konsep Kristologis, yaitu konsep Nestorius (duofisitisme) ditolak dan konsep Kyrillos (monofisitisme) diterima. Konsep Kyrillos adalah konsep monofisitisme, kesatuan tabiat ilahi dan manusiawi di dalam Kristus diakui. Konsep Nestorius adalah konsep duofisitisme, tabiat manusiawi di dalam Kristus. Keenam, Konsili Kalsedon, tahun 451. Konsili ini menghasilkan dua keputusan, yaitu: Rasa persatuan yang mengajarkan untuk mengakui Dia sebagai Anak, Tuhan Yesus Kritus sempurna baik dalam keilahian dan kemanusiaan-Nya. Mengakui bahwa Dia adalah benar-benar Allah dan benar-benar manusia. Selain itu, se-‘ia’ se-‘kata’ mengenai ajaran tentang Kristus satu dan sama, Tuhan Anak Tunggal, sungguh Allah dan sungguuh manusia di dalam dua kodrat dan kodrat tersebut tidak dapat dicampur adukkan, dipisahkan dan tidak dapat dibagi (Wetzel, 2000, 44-45).
Keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam konsili ternyata menimbulkan skisma, terutama pemahaman terhadap Kristologi. Khususnya untuk kawasan Asia, skisma yang muncul pasca Kalsedon pada tahun 451 dengan perumusan ‘Pengakuan Iman Rasuli’ membuat gereja di Asia terbagi menjadi 3 denominasi. Pertama, Asia Barat bagian Barat menganut Ortodoksi Khalkedonik, terdiri dari beberapa gereja, antara lain: Gereja Yunani Ortodoks di Asia Kecil, gereja Melkit. Secara formal, hubungan gereja ini dengan Barat belum terputus dan kesatuan prinsipil dengan gereja Roma Katolik masih ada. Kemudian Gereja Melkit, merupakan gereja yang  masih menganut paham mengikuti raja dan mendapat tempat istimewa karena mendapat dukungan dari pemerintah. Selain itu ada Gereja di Georgia, awalnya memiliki hubungan yang baik dengan gereja Armenia. Hubungan ini tidak berlangsung lama. Armenia segera memutuskan hubungan baik tersebut karena gereja Georgia mengikuti teologi Yunani-Ortodoks. Gereja Maronit, gereja ini membentuk gereja sendiri karena banyak orang Kristen yang menganut monotheletisme. Alasan lain pembentukan gereja ini karena Kaisar Heraklios tidak berhasil mempersatukan gereja Yunani-Ortodoks dengan gereja monofisit (Wetzel 2000, 50-52).
Denominasi kedua berada di Asia Barat bagian Tengah yang mayoritas menganut Monofisitisme, terdiri dari beberapa gereja, antara lain: Gereja Yakobit, melalui pelayanan Yakobos Baradaios eksistensi gereja monofisit di dalam perbatasan kekaisaran Romawi diselamatkan dan gereja Yakobit pun terbentuk (Wetzel 2000, 52). Kemudia Monofisitisme di Arab Utara. Suku Arab menganut paham monofisitisme dan pada saat itu Raja Ghassanid mengangkat Yakobos Baradaios ditahbiskan sebagai uskup daerah itu. Dari Kerajaan Ghassanid, gereja orang-orang kelana di Arab Utara diorganisir kemudian didirikan keuskupan-keuskupan kelana yang sebagian besar dari orang Arab di Palestina, dengan pemahaman yang sama yaitu monofisitisme. Selain itu ada Gereja Armenia. Gereja ini mengalami perselisihan dengan pemerintahan Persia, yang memaksakan mereka menganut paham zoroastrisme (Wetzel 2000, 54).
Denominasi terakhir berada di bagian Timur Asia Barat, di Persia, Arab, Asia Selatan dan Asia Tengah menganut Nestorianisme. Gereja-gereja tersebut antara lain: Gereja Nestorian di Persia, gereja ini membentuk dialek Suriah sendiri dan perkembangan untuk menganut paham Nestorianisme dipengaruhi oleh sekolah teologi. Gereja ini dipimpin oleh Seleukia Ktesifon; Gereja Nestorian di Asia Barat, gereja ini merupakan daerah perluasan dari Gereja Nestorian di Persia. Perkembangannya dapat terlihat saat beberapa keuskupan yang baru mulai didirikan, antara lain; (1) Merw (di Margiana) yang didirikan pada tahun 424 dan berubah menjadi keuskupan agung pada tahun 524. (2) Herat yang didirikan pada tahun 424 dan menjadi keuskupan agung pada tahun 585. Selain itu, beberapa keuskupan juga didirikan di Afghanistan; Gereja Nestorian di India, mayoritas orang-orang kristen di India menganut Nestorianisme; Gereja Nestorian di Arab, sama halnya dengan orang-orang kristen di India. Mayoritas orang-orang kristen di Arab juga menganut Nestorianisme dan disebut “al-Ibad” (hamba Tuhan). Wilayah Arab Timur memiliki 5 keuskupan di bawah metropolit Arab Timur, yaitu di Pulau Tarut, Pulau Muharrak, Hatta, Mazun dan Hagar. Wilayah Arab Timur membawa berita Kristen sampai ke arah Arab Selatan dan dapat mengembangkan paham uskup Nestorian; Gereja Nestorian di Asia Tengah, gereja ini menghidupkan misi yang luas dan yang menjadi pusat misinya ialah Keuskupan Agung di Merw. Perluasan kekeristenan terjadi di Asia Tengah melalui jalur perdagangan (Wetzel 2000, 55-58).

Kesimpulan
Setelah bertualang menjelajahi kekristenan pada abad I hingga VII, kelompok melihat bahwa kekristenan pada masa tersebut mengalami perkembangan yang pasang surut[YS4] . Di satu sisi, ada masa-masa ketika kekristenan mendapatkan posisi yang “nyaman.” Dalam arti, kekristenan berhasil mendapat perhatian para pemimpin dan penguasa, sehingga ada perlakuan baik dan dukungan dari para pemimpin pemerintahan, bahkan Kristen pernah menjadi agama resmi bagi suatu negara. Akan tetapi, sisi lainnya memperlihatkan masa-masa ketika kekristenan dilanda konflik eksternal maupun internal. Konflik eksternal terlihat ketika kekristenan dianggap mengganggu stabilitas politik pemerintahan, sehingga menjadi objek diskriminasi bahkan kekerasan. Selain itu, konflik internal terjadi ketika begitu banyak sumbangsi pemikiran teologis yang diberikan untuk menata pelaksanaan peraturan gerejawi, sehingga perpercahan tidak dapat dihindarkan demi mempertahankan pemikiran-pemikiran masing-masing. Namun demikian, melalui keadaan tersebut, kita dapat melihat kekristenan dengan corak yang begitu beragam dan kaya.




Daftar Pustaka
Alhambra, Gabriel Rehatta. Kitab Didache. Jakarta: Synaxis Press, 2006.
England, John C. The Hidden History of Christianity in Asia: The Churches of the East before the year 1500. Delhi: ISPCK, 1996.
Foster, John. Church History 1: The First Advance AD 29-500. London: SPCK, 1972.
Frykenberg, Robert Eric. Christianity in India: From Beginning to the Present. New York: Oxford Unity Press, 2008.
Heuken, Adolf. Agama Kristen di Asia: Dari Yerusalem sampai ke Beiing (abad ke-1 hingga ke-15). Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2008.
Moffett, Samuel Hugh. A History of Christianity in Asia: Vol. 1. New York: Harper Collins Publisher, 1992.
Ruck, Anne. Sejarah Gereja Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Wessels, Antonie. Arab dan Kristen. 2001.
Wetzel, Klaus. Kompendium Sejarah Gereja Asia. Malang: Gandum Mas, 2000.



 [YS1]Gereja dalam pengertian institusional belum muncul.
 [YS2]Apakah Yerusalem dan Palestina pada abad I tidak termasuk dalam wilayah kekuasaan Kekaisaran Romawi?
 [YS3]Kisah Rasul Tomas hanyalah salah satu saja dari penjelasan tradisional atas kehadiran pertama Kekristenan di India.

Kelompok tidak teliti membaca literature yang menjelaskan kompleksitas Kekristenan di India pada enam abad pertamanya, baik dari sudut penyebaran, perkembangan dan berbagai tradisi yang berbeda-beda.
 [YS4]Kesimpulan yang terlalu umum. Sama sekali tidak menggambarkan realitas, pergumulan, sumbangan Kekristenan dalam masyarakat Asia di mana Kekristenan hadir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar