Sejarah
Kekristenan dan Teologi di Jepang
Pendahuluan
Pertama,
izinkan kami mengutipkan sebuah doa yang mempertanyakan Allah yang “membisu” kala
melihat umatnya disiksa sedemikian bengis demi mempertahankan keteguhan iman mereka.
Susako Endo dalam Silence menuliskan:
“Father, I betrayed You. I trampled on the picture
of Christ… for a moment this foot was on face that any man can ever know… Even
no that face looking at me with eye of pity… ‘Trampled!’. Your foot must suffer
like all the feet that have stepped on this plaque. That pain alone is enough.
I understand.” “Lord, I resented your silence.” “I was not silent. I suffered
besides you (Heuken 2011, 51).”
Demikianlah orang-orang Kristen
selama 230 tahun melakukan tradisi menginjak gambar Yesus dan Bunda Maria
dengan perasaan ngeri, benci, dan tanpa daya. Mereka tidak meninggalkan Allah
yang tampak tidak bertindak dan seolah membiarkan penderitaan itu berlangsung
ratusan tahun. Mereka yang merasa berkhianat karena menyangkal iman dengan
menginjak patung Yesus dan Bunda Maria itu, ingin menderita di samping Tuhan
mereka.
Dalam buku Christianity in Asia – From its Beginning till Today dikisahkah
betapa bengis penguasa (kadang bekerjasama dengan pendatang lain juga: VOC) dan
para rahib Buddhisme menyiksa dan akhirnya membunuh ribuan orang Kirishitan di Jepang (1549-1650): ada
yang disalib, dibakar, dibakar kulitnya secara perlahan, digergaji anggota
badannya, digantung berhari-hari di atas kotoran, diceburkan ke air belerang
mendidih di Gunung Unzen, dll (Heuken 2011,
43-51). Lalu oleh penguasa pada tahun 1626-1857, pada setiap pesta tahun
baru, penduduk Nagasaki dan sekitarnya harus pergi ke Balai Kota untuk
menginjak gambar Yesus dan Bunda Maria, efumi
namanya. Peristiwa itu diawasi pegawai kotapraja dengan sangat teliti.
Kemudian mereka mengeluarkan surat bukti. Peraturan ini dilakukan duaratus
tigapuluh tahun. Ada orang Kristen yang berdalih sakit, ada yang mendekatkan
kaki pada gambar tanpa menjamahnya, ada yang menginjak gambar lalu langsung
bertobat dan bermati-raga. Sebelumnya mereka mencuci kaki mereka
sebersih-bersihnya dan berusaha jangan menginjak muka di tengah-tengah.
Kebiasaan buruk itu baru dihentikan setelah saudagar-saudagar di Barat
keberatan (1873). Waktu kebebasan beragama diumumkan, masih terdapat 30.000
orang Kristen (Hidden Christian : Kakure Kisrishitan) yang bertahan selama
250 tahun tanpa kontak dengan Gereja Universal dan Roma (Caldarola 1979, 17). Jumlah mereka naik menjadi lebih dari
600.000. Mereka tidak mau didaftarkan dan tetap bersikap agak tertutup (Heuken 2011, 47-50).
Mengenai ketertutupan orang-orang Kirishitan itu, akhirnya secara
institusi mereka terasing dari model Barat. Secara peradaban, mereka sangat
bercorak kultural. Khas beragama mereka pada akhirnya memunculkan bentuk baru
sinkretik, mengawinkan nilai-nilai konfusian dan Shintoisme dan kekristenan,
namun lebih tradisional. Kode etik yang muncul terasing dari teologi
sistematika, liturgi formal, dan organisasi gereja. Mereka seolah menyerukan
konteks historis dan budaya dari diri mereka sendiri (Caldarola 1979, 2).
Suasana mencekam yang kami gambarkan
di atas, dan perubahan cara hidup Kristen pada era setelahnya adalah dua hal
yang saling terkait: bahwa Jepang mengalami masa gelap, dan setelahnya mereka
mengubah diri mereka beriman Jepang-Kristen agar mereka benar-benar merasakan
Kristus itu hidup di tengah-tengah mereka, mereka ber-sinkretis. Dalam paper
tersebut akan diuraikan bagian-bagian yang menceritakan lebih mendalam tentang
apa yang sedang terjadi. Bagaimana para misionaris hadir dan menuai kejayaan: banyak
orang dibaptis dengan kualitas iman yang militan. Lalu mengalami masa
kegelapan, dan pada akhirnya dapat bernafas untuk dapat menemukan identitasnya
sendiri: lebih Jepang yang Kristen daripaada Kristen yang Jepang. Pada
akhirnya, kita mengenali sebuah realitas dunia Kristen yang pernah lahir,
berjaya, berjuang, dan berhasil belajar dari sejarah mereka.
Kekristenan di Masa Feodalisme
Benih
Kekristenan ditanam di tanah Jepang pada 1549 oleh Fransiskus Xaverius dan
Cosme de Torres. Kisah bermula ketika Fransiskus Xavierius yang tengah merintis
Kekristenan di Nusantara bertemu dengan Yajiro di Malaka. Ia mendengar tentang
kemajuan peradaban masyarakat Negeri Matahari Terbit itu darinya. Oleh karena
itulah, Xavierius memutuskan untuk menyebarkan Injil di sana. Setelah membaptis
Yajiro, ia berlayar bersama Cosme de Torres, Juan Fernandez, dan dua orang
Jepang lainnya.
Strategi
penginjilan Xavierius adalah menerjemahkan Injil ke dalam bahasa dan tradisi
Jepang. Ia meminta bantuan Yajiro untuk melaksanakan strateginya ini. Namun,
terjemahannya mengandung masalah serius sehubungan terbentangnya jarak antara
doktrin kekristenan dan konsep teologis agama-agama pribumi Jepang, misalnya
Buddhisme dan Shintoisme. Sebagai contoh, ia mengalami kesulitan untuk menemukan
terminologi yang tepat untuk mengkomunikasikan nama Allah. Terminologi Dainichi yang dipinjam Yajiro dari sekte
agama Shingon malah meneguhkan konsep ketuhanan Buddhisme alih-alih kekristenan.
Alhasil, Xaverius menginstruksikan orang-orang Jepang di Yamaguchi untuk
berhenti menyembah Dainichi (Miyazaki 2003a, 6).
Xavierius
segera mengganti strategi penginjilannya dengan berusaha mendekati Kaisar yang
berada di Kyoto dengan tujuan memperoleh izinnya. Namun, keadaan politik yang
belum stabil pada saat itu membuat kaisar hampir tidak memiliki otoritas. Oleh
karena keadaan yang tidak kondusif dan adanya kesenjangan dalam bahasa dan
tradisi, Xavier memutuskan untuk meninggalkan Jepang untuk mengurus ladang
penginjilan di Cina dan India. Karyanya dilanjutkan oleh Cosme de Torres.
Torres
berkarya jauh lebih lama daripada Xavierius yang hanya berada di Jepang selama
dua tahun. Karyanya barulah membuah hasil ketika memasuki usia satu dasawarsa.
Pada saat itu, beberapa daimyo atau
tuan tanah, misalnya Omura Sumitada, Takayama Ukon dan Otomo Sorin, memutuskan
untuk memeluk kekristenan. Konversi agama keduanya dilakukan dalam rangka
memuluskan hubungan dagang dan militer dengan Kerajaan Portugis. Kita tidak
dapat mengesampingkan konteks politik Jepang yang belum kondusif pada saat itu.
Para daimyo berlomba-lomba membangun
aliansi dalam rangka mewujudkan mimpi untuk menguasai seluruh Jepang. Namun,
ketika kapal-kapal perang Portugis tidak kunjung menampakkan diri di
pelabuhan-pelabuhan Jepang, para tuan tanah memutuskan kembali memeluk agama
semula dan menganiaya orang-orang Kristen
(Miyazaki 2003a, 7).
Misionaris
Serikat Yesuit lain yang berkarya di Jepang adalah Alexander Valignano. Pria
yang tiba pada 1579 ini melanjutkan strategi penginjilan yang diterapkan oleh
Xaverius. Ia mengakomodasi budaya pribumi dengan cara menghargai alih-alih
menghancurkannya. “Missionaries were to
show esteem for the culture of Japan and were transplant on top of that culture
the superior Christianity culture” (Miyazaki
2003a, 8). Penerapan strategi ini adalah dengan cara membangun sebuah
sekolah bahasa di Sakaguchi.
Selain
itu, Valignano pun mendorong para misionaris untuk belajar budaya, tatakrama,
dan gaya hidup sehari-sehari masyarakat setempat, termasuk cara berpakaian dan
makan. Bahkan, ia memutuskan untuk mendirikan sebuah gereja yang gaya
arsitekturnya khas Jepang. Tujuannya melakukan semua itu adalah memperkenalkan
wajah kekristenan yang bersahabat dan tidak asing, sehingga mudah berakar dan
bertumbuh di ladang misi.
Valignano
menuai buah manis dari strateginya yang bersahabat dengan konteks itu. Daimyo Nagasaki tertarik untuk memeluk
agama Kristen dan memutuskan dibaptis. Konversi agama yang dilakukan oleh
penguasa ini menarik semakin banyak rakyat jelata untuk melakukan tindakan yang
sama. Dukungan daimyo pun
memungkinkan Serikat Yesuit untuk mendirikan beberapa seminari di Azuchi dan
Arima dan novisiat di Usuki dan Bungo. Dengan adanya berbagai fasilitas
pendidikan tersebut, ia berharap dapat menarik minat putra para bangsawan dan
samurai untuk belajar agama dan pengetahuan Barat. Naradidik yang belajar di
sana akan dipersiapkan menjadi imam. Alhasil, Nagasaki menjadi kota Kristen
pertama di Jepang.
Namun,
keadaan berubah drastis bagi kekristenan sejak tampilnya rezim Tokugawa pada
1614 di Jepang. Shogun Hideyoshi
menetapkan sebuah kebijakan yang melarang adanya orang atau produk asing dalam
bentuk apapun, termasuk agama Kristen. Pada awalnya, ia menjalin hubungan
bilateral dengan Spanyol dalam sektor perdagangan, sehingga para misionaris
dari Ordo Fransiskan dan Dominikan diizinkan berkarya di Jepang. Namun, setelah
merampas seluruh muatan kapal San Felipe yang karam di Pulau Tosa, ia
membatalkan kesepakatan dengan Spanyol. Dua puluh enam orang Kristen, baik
misionaris asing maupun lokal, disalibkan di Nagasaki pada 1597.
Pemerintah
kembali memberi angin segar pada kekristenan sejak Ieyasu Tokugawa menggantikan
Hideyoshi dan mendirikan pemerintahan militer di Edo. Keperkasaan armada laut
kerajaan-kerajaan Protestan, yaitu Inggris dan Belanda, menarik minat Ieyasu
untuk menjalin kesepakatan dagang. Pada awalnya, kedua kerajaan itu bersedia
untuk bekerjasama dengan pemerintah. Namun, pesona Jepang tidak segemerlap
Malaka dan Hindia, sehingga mereka memutuskan untuk berlayar ke sana untuk
berdagang.
Tidak
adanya kerajaan Kristen dari Barat yang menjalin kesepakatan dagang dengan
pemerintah, baik dalam rangka mendulang keuntungan maupun mendukung karya para
misionaris di Jepang, mempermudah pemerintah untuk membasmi kekristenan. Dalam
kurun waktu tiga puluh tahun, penganiayaan terhadap orang-orang Kristen
mencapai puncaknya. Tidak sedikit, baik pribumi maupun imam asing, disiksa
dengan sadis dan dibunuh karena bersikukuh mempertahankan imannya. Sebagian
yang lain memilih untuk kembali memeluk agama sebelumnya dalam batasan
formalitas. Mereka tetap mendaku dan menghayati diri sebagai pengikut Kristus
sekalipun tidak lagi beragama Kristen. Tidak hanya sampai di situ, Ieyasu
Tokugawa juga tidak membiarkan berdiri satu pun bangunan gereja atau seminari.
Penganiayaan ini berlangsung selama 210 tahun dan membunuh kira-kira 5000 orang (Miyazaki
2003a, 13). Kebijakan rezim Tokugawa berdampak pada absennya imam dan
misionaris yang mampu menggembalakan umat selama sekian ratus tahun. Beberapa
utusan dari gereja yang berusaha masuk ke Jepang melewati jalur pantai
mengalami nasib buruk, entah dipenjara atau disiksa hingga meregang nyawa di
tiang gantungan. Keadaan diperparah dengan minimnya jumlah literatur dan simbol
yang berhasil selamat dari pengrusakan tentara pemerintah. Alhasil,
generasi-generasi senpuku Kirishitan selanjutnya
semakin jauh dari pokok ajaran-ajaran kekristenan ala Barat. Bahkan tercatat
ada gerakan sinkretik baru dengan corak Shinto, Buddha, dan Kristen dengan nama
Shinko Shukyo yang seolah mewadahi
kerinduan akan iman Kristen namun dihambat. Tercatat agama-agama baru dengan
banyak pengikut, a.l. Tenrikyo (1838;
2,5 juta) dan Reiyuki Kyodan (1962; 5
juta pengikut (1859). Dan yang
terbesar adalah Soka Gakkai (1930)
dengan ± 10 juta anggota terutama dari kelas menengah ke bawah (Heuken 2011,
150-151).
Demi
menjaga iman dan identitas diri sebagai orang Jepang, mereka terpaksa melakukan
sinkretisme dengan agama-agama pribumi. Hal ini terlihat dari pengadopsian
gambar-gambar dewi Buddhisme yang digunakan karena kedekatan – baik secara
tampilan maupun teologis – dengan Perawan Maria, misalnya Koyasu Kannon, sang
dewi belas kasih yang digambarkan tengah menggendong seorang bayi laki-laki (Tiedemann 2006, 468).
Masa
penganiayaan yang panjang mendorong terjadinya evolusi teologi Kristen di
Jepang. Selain sinkretisme dan pengadopsian simbol agama-agama pribumi,
penyangkalan iman melalui aksi menginjak fumie
pun mempengaruhi perubahan teologi mereka. Menurut Miyazaki Kentaro, para Kirishitan yang memilih untuk menyangkal
imannya di hadapan para tentara mengucapkan doa yang berisi penyesalan mendalam
akan dosa setelah menginjak gambar Yesus Kristus atau Perawan Maria. “Gradually, the faith of the underground Kirishitan
tended to move away from a God who was a strict father and judge and focus on a
forgiving motherly God of infinite tenderness, Mary” (Miyazaki 2003b, 21).
Berakhirnya
pemerintahan Tokugawa memberi peluang bagi kekristenan untuk kembali ke Jepang.
Selama restorasi Meiji, para misionaris dapat kembali melakukan penginjilan.
Dampaknya adalah pertumbuhan gereja, baik Katolik maupun Protestanisme, sangat
pesat pada masa ini. Pada 1858, seorang imam Perancis bernama Ptigean tiba di
Jepang untuk menghidupkan kembali gereja di Yokohama dan Nagasaki. Walaupun
demikian, agama Kristen belum diterima secara penuh oleh pemerintah Jepang.
Pada 1865, Ptigean harus bergumul bersama para Kirishitan no Senpuku di dalam penjara selama enam tahun (Yui 1996, 22).
Gereja
Ortodoks Yunani juga datang ke Jepang setelah politik Sukoku berakhir. Nicolai, seorang imam Rusia, datang ke Hakodate di
Pulau Hokkaido, Utara Jepang. Ia mengkristenkan seorang mantan samurai bernama Takuma Sawabe. Sejak
itu, gereja ini berkembang pesat hingga bisa membangun Katedral Nicolai Do di
Tokyo dengan jumlah anggota yang mencapai 30.000 orang (Yui 1996, 22).
Kekristenan
terus berkembang pesat di Jepang pada masa ini. Proses ini ditandai dengan
penggabungan beberapa jemaat hasil-hasil karya misi, yaitu jemaat milik Gereja
Presbiterian Amerika Serikat, Gereja Reformed Amerika, dan juga Gereja
Presbiterian Skotlandia ke dalam suatu wadah yang bernama Nihon Kirisuto Ichi Kyokai pada 1877. Tahun berikutnya American Board of Commissionaries
membentuk Asosiasi Penginjilan Jepang. Setelah berkarya selama sembilan tahun, lembaga
misi nii mendirikan Nihon Kumiai Kyokai
atau Japan Congregational Church. Tahun
1907 merupakan masa giliran bagi beberapa Gereja Metodis di Jepang untuk
menggabungkan diri ke dalam Methodist
Episcopal Church, Gereja Episkopal Metodis Amerika Serikat, dan Gereja
Metodis Kanada.
Tahun
1941, sejumlah besar gereja menyatu dalam Nihon
Kirisuto Kyodan atau United Church of
Christ in Japan (Steele 2003, 361).
Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah untuk pengendalian agama di Jepang.
Anggota gereja yang tidak tergabung dalam kyodan
ini akan disiksa dan dipenjara. Namun, pada akhirnya, memang banyak orang
Kristen di Jepang yang harus menderita dan menyatakan sebagai penganut
Shinto-Kristen (Yui 1996, 24).
Setelah
perang, arus penginjilan dari aliran Baptis serta Pentakostal datang ke Jepang
dalam jumlah besar. Badan misi terbesar
pada saat itu adalah Evangelical Alliance
Mission, Far Eastern Gospel Crusade, dan Overseas Missionary Fellowship. Pada 1968, Asosiasi Penginjilan
Jepang mengadakan pembicaraan tentang kerjasama penginjilan dengan beberapa
badan misi. Pada tahun itu tercatat kira-kira sejuta orang Kristen di Jepang
dengan statistik sebagai berikut: Protestan = 600,000 orang; Katolik = 370,000
orang; Ortodoks Yunani = 25,000. Jumlah ini hanya 0.8% dari jumlah penduduk
Jepang (Yui 1996, 26).
Para
pemimpin Kristen di Jepang menentang aksi pemerintah yang melancarkan serangan
dalam Perang Dunia II. Akhirnya, tidak sedikit dari mereka yang dicopot dari
jabatannya secara paksa. Orang-orang ini kemudian menjadi penginjil dan banyak menulis
pamflet yang mengkritik pemerintah dan perang yang dilancarkan (Steele 2003, 360).
Tahun
1967, Suzuki Masahisa, ketua dari Christian
United of Christ, mengakui kesalahannya dalam mendukung agresi pada Perang
Pasifik. Ia kemudian aktif di gereja dalam hal politis dan juga sebagai
pengamat sosial. Hal itu kemudian melahirkan perdebatan di dalam tubuh gereja,
yaitu antara kaum liberal dan konservatif. Perdebatan ini kemudian diperparah
dengan pemberian dukungan dari Christian
United of Christ bagi pembangunan paviliun Kristen. Kelompok liberal yang
memberikan dukungan ini melihat bahwa proyek ini menjadi satu hal penting untuk
menunjukkan agresi ekonominya di Asia. Di lain pihak, golongan konservatif
melihat bahwa ini tidak berbeda dengan pemberian dukungan gereja pada perang
yang dilancarkan pemerintah di waktu yang lalu.
Perkembangan Teologi Jepang pada abad
19-20
Pada
masa kepemimpinan Kanzo Uchimura, orang-orang Kristen di Jepang memberontak
terhadap dominasi institusi luar negeri dan menegaskan kekristenan pribumi
mereka. Mereka menyebut diri sebagai mukyokai
atau orang-orang Kristen non-gereja (1891). Pada saat yang sama muncul gerakan
Makuya. Mereka menolak ritual, hirarki imamat, dan dogma. Dewasa ini, 35.000
orang Kristen memusatkan kegiatan mereka pada agama non-gereja dan melakukan
pendalaman Alkitab dengan model pemuridan lama, yaitu sensei-deshi (Caldarola 1979, 2).
Model yang dinamakan Caldarola sebagai akulturasi ini mengusulkan tiga tahap
teologi kembali kepada tradisi, yaitu reorientation,
reaffirmation, dan integration (Caldarola 1979, 9). Bagi Uchimura, kekristenan di Jepang cukuplah bicara tentang 2J: Jesus dan Japan, artinya
cukuplah dengan Kitab Suci dan pembatisan saja (Heuken 2011, 133).
Kemajuan di
Jepang pada bagian kedua abad 19 cukup menimbulkan aneka masalah sosial, yang
menjadi perhatian beberapa orang muda Kristen, misalnya Toyohiko Kagawa
(†1960). Salah satu kritik dari pemerhati kekristenan di Jepang, a.l. Ebina,
Sesuji Otsuka dan Toyohiko Kagawa adalah ketidaksetujuan mereka terhadap
“pemberhalaan” kaisar. Bagi mereka, tentang kecintaan masyarakat Jepang
menjadikan kaisar sebagai titik pusat atau lambang kebanggaan nasional, tak
perlu sampai “menjadikan yang berkuasa sebagai Allah yang hidup.” Bagi Kagawa
sendiri, Yesus Kristus yang adalah penjelmaan ilahi Allah itu dapat dijadikan
sebagai prinsip Kristen untuk merespons kondisi sosial. Salib digambarkan
sebagai pilihan yang dilakukan Kristus secara sadar di mana hukuman terhadap
dosa-dosa manusia (memasabodohkan kepedihan dan kedukaan yang ditimpakah pada
sesama kita, bagi Allah, adalah dosa yang kejam) ditimpakan kepada-Nya.
Kesadaran Yesus akan salib ini, demikian Kagawa, harus menjadi kesadaran
manusia yang dengannya ikut berpartisipasi dalam karya penebusan dalam mengikut
Yesus (Yewangoe 2004, 230-231).
Umat Protestan di Jepang yang pada
akhir abad 19 mencakup ± 4000 orang beriman dalam beberapa gereja, sebagian
besar dipimpin oleh pendeta pribumi, yang sebagian besar bekas samurai,
berkembang lancar. Pada akhir abad ke-19 terjemahan Kitab Suci selesai
(1879-83) dan menjadi best seller (Heuken 2011, 133). Tiga universitas Protestan
sampai kini termasuk perguruan tinggi favorit, a.l. Doshisa University di Kyoto,
Universitas Yochi Daigaku atau Sophia di Tokyo (1913 oleh Serikat Jesuit). Tetapi
semenjak pertengahan abad ke-20 umat Kristen bertumbuh perlahan karena
terjadinya nasionalisme berdasar Shintoisme pasca kemenangan atas Tiongkok.
Pada awal abad 20 terdapat 70.000 orang Protestan. Pada waktu itu hanya satu
persen orang Jepang beragama Kristen, seratus tahun kemudian, satu setengah
persen saja (Heuken 2011, 133).
Kekristenan di Jepang pada 1970-2000
Dalam
upaya pengembangan Jepang terhadap dunia internasional, pada tahun 1970 terjadi
pergulatan hebat seperti yang dijelaskan sebelumnya. Jumlah orang Kristen yang
hanya 1 persen dari seluruh penduduk Jepang ternyata tidak membuat mereka
berhenti untuk bersuara, atau mengkritisi apa yang menjadi program
pemerintah.Pada tahun 1970-an, kebingungan terjadi di antara banyak agama dan
denominasi di Jepang.
Adanya
ketidakjelasan hubungan antara agama dan negara membuat banyak sekali
perdebatan di antara penganut dan juga pemimpin agama. Kasus demi kasus yang
berakitan dengan keagamaan tidak dipandang serius, entah itu dari Shinto,
Buddha, Konghucu, maupun Kristen. Tidak menjadi masalah jika ada konversi dari
agama satu ke agama yang lain, selama tidak mengganggu kebijakan pemerintah
(Reid 1991, 54). Bagi Jepang, tidak bisa dipungkiri bahwa pemahaman dan ajaran
Kristen berperan cukup banyak dalam membentuk masyarakat (Reid 1991, 57). Namun
tetap saja pada kenyataannya pemerintah Jepang lebih melihat bukan kepada
komunitas berbasis agama.
Dari
sudut pandang Kristen di Jepang, kebijakan menasionalkan kuil didasarkan pada
alasan berikut: keterlibatan pemerintah akan menyalahi aturan sejak adanya
kebijakan pemisahan agama dan politik; adanya kekhawatiran bahwa sikap ini akan
mengarah pada militerisasi Jepang. Kepercayaan terhadap roh nenek moyang dan
juga penghormatan kepada kaisar menjadi tantangan bagi gereja dan juga orang
Kristen di Jepang. Maka tugas gereja di Jepang adalah untuk mengkomunikasikan
ajaran Kristen untuk mereformasi ajaran dan budaya di Jepang (Yui 1996, 40)
Dalam
dunia industri dan komunikasi, Jepang sangat unggul bahkan menjadi satu yang
utama di Asia. Pemerintah Jepang mengadopsi slogan, “Semangat Jepang dan
teknologi Barat”. Dengan begitu, sedikit banyak pengaruh Barat datang
menghampiri kehidupan masyarakat Jepang. Kebutuhan untuk kerja lebih lama membuat
banyak orang Kristen di Jepang sulit untuk berkegiatan lebih sering di gereja.
Keterikatan jadwal sekolah yang padat juga mempengaruhi minat anak-anak Jepang
untuk hadir di Sekolah Minggu (Yui 1996, 42).
Teologi Kristen Jepang
- Kazoh
Kitamori - Teologi Luka Allah[1]
Kazoh
Kitamori lahir dalam keluarga non-Kristen yang tinggal di Kumamoto, Jepang pada
tahun 1916. Ia dikenal sebagai seorang Kristen Jepang yang berhasil
mengkonstruksi teologi kontekstual berdasarkan locus tanah kelahirannya. Teologi ini, yaitu Teologi Luka Allah,
lahir setelah Jepang menelan pil pahit kekalahan dalam Perang Dunia II pasca
dihantam bom atom oleh Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki. Rakyat Jepang
tidak hanya menderita karena kehilangan harta benda dan orang-orang yang dikasihi,
tetapi juga kehilangan identitas, masa depan, dan semangat. Ia menuangkan
pemikirannya itu dalam buku yang berjudul Kami
No Itami No Shingaku.
Teologi
Luka Allah berbicara mengenai Allah yang menderita rasa sakit. Konsep ilahi ini
bertentangan dengan teologi klasik Kristen yang memahami bahwa Allah tidak
dapat menderita alias impassibilis. Penderitaan Allah lahir akibat dari
kasih-Nya yang luar biasa kepada ciptaan yang seharusnya tidak layak menjadi
arah perasaan itu. “The Lord was unable to resolve our death without putting himself to
death. God himself was broken … and suffered, because He embraced those who
should not be embraced” (Kitamori 1965, 22).
Rasa sakit yang Allah alami bukanlah sekadar simpati atas
penderitaan manusia. Kitamori menggunakan konsep tsurasa yang dalam literatur dan drama klasik Jepang untuk
membuktikan kontekstualitas teologinya. Tsurasa
merupakan sebuah bentuk emosi yang terjadi hanya saat seseorang tidak mempunyai
pilihan cara untuk menyelamatkan nyawa orang lain, kecuali membunuh dirinya
sendiri atau orang lain yang dikasihinya. Si penyelamat merasakan kesedihan dan
kepahitan tak terperi di saat yang bersamaan (Tang 2004, 91).
2.
Kosuke Koyama – Pikiran yang Disalibkan
Kosuke
Koyama dapat digolongkan sebagai teolog kontekstual, mistikal,
Yesus-Kristus-sentris, dan barangkali tergolong post-kolonial juga. Dalam “No Handle on The Cross”, Koyama
menyuguhkan bagaimana hidup beragama manusia seharusnya tak jumawa dengan
rasionya. Beragama adalah soal bagaimana
menggantungkan segala keputusan kepada Allah. Menjadi Kristen juga tak semudah
menjinjing koper kala berangkat ke kantor atau seperti rantang makanan
bergagang, melainkan harus menyangkal diri dengan patuh memikul salib tanpa
gagang (Koyama 2012, 4). Salib yang
beratnya sulit ditolerir. Yesus yang tercabik-cabik dan menyembuhkan dunia
lebih cocok dibicarakan untuk mencari sumbangan iman bagi kondisi dunia dengan
manusia yang lapar kuasa, cenderung mencuri (Yewangoe 2004, 251) dan “lapar
tombol” (istilah kelompok) agar hidup
minim beban (Edwood 2006, 103). Koyama lebih
melihat bahwa beriman bukan mempercepat langkah bahagia, melainkan mencukupkan
diri melaju berkecepatan 3 mil per jam, menjadi tersalib, berhenti, dan
berjalan bersama Allah yang penuh kasih berbela rasa tanpa sikap “menjajah (Edwood 2006).”
Selanjutnya,
Koyama menyatakan bahwa misi Kristen bukanlah “mengkampanyekan” Allah, sebab
itu merupakan penghinaan (merendahkan dan menistakan Juruselamat) bagi Allah
sendiri (Koyama 2012, 52). Jika pun kita
memperdengarkan Allah yang penuh kasih itu, maka hal itu perlu dibimbing dan
diterangi oleh “pikiran yang disalibkan.” Pikiran yang disalibkan merujuk pada
pandangan teologis tentang “daya pikir yang dibaptis secara teologis.” Dalam
hal ini, Koyama ingin membangkitkan daya pikir Asia yang tidak dikendalikan
oleh Barat. Orang Asia memiliki “strategi yang lebih baik” yang patut diberi
tempat untuk berpartisipasi dalam bermisi.
Istilah-istilah
Koyama merujuk pada detail-detail cerita Yesus yang menakjubkan: “menyangkal
diri”; “membungkuk”; “tangan tidak terbuka dan tidak tertutup” dsb untuk
memberikan sebuah penguatan pada cara pandang Asia yang memang tidak absolut
dalam berteologi dan beriman. Hal tersebut terbukti dari sikap hidup
menyintasnya orang-orang Kirishitan
dalam lebih dari dua abad: hidup silent (Endo: Silence) itu telah menyelamatkan mereka. Pada akhirnya, teologi
Koyama dapat disimpulkan sebagai dorongan untuk hidup beragama adalah hidup
membumi, mengalami Kristus dalam keseharian bersama-sama kekayaan agama lain:
Buddha, Hindu, Islam dll. Dengan mengkritik perilaku beragama Kristen yang
kurang berpikir historis (padahal Kristen adalah agama yang historis terhadap
“Allah Pengeluaran” (Koyama 2012, 135),
Koyama hendak menyarankan orang-orang Kristen di Asia supaya benar-benar
kembali kepada sikap hidup “Yesus yang diludahi” supaya mereka menyadari risiko
imannya. Tips yang paling tepat adalah, jangan meniru Barat yang pada akhirnya
hanya memperburuk Asia ( (Koyama 2012, 136)
dengan berbagai gejala kejahatan: korupsi, eksploitasi tenaga manusia secara
kejam, penolakan secara terang-terangan tentang hak-hak asasi manusia,
timbulnya pemerintahan otoriter dsb. Padahal Asia memiliki “ceritanya” sendiri.
- Masao
Takenaka – Nasi dan Allah
Masa
Takenaka adalah seorang profesor di Doshisha University. Ia aktif dalam
kegiatan ekumenis, misalnya menjadi pembicara di sidang raya WCC ketiga di
India, kuliah memorial John R. Mott di EACC, kuliah memorial Burns di Knox
College, dan kuliah Karnahan di Union Theological Seminary New York. Sarjana
ekonomi lulusan Universitas Kyoto menempuh studi teologi di Doshisha dan Yale
University. Gelar Doctor Philosophie-nya
di bidang etika sosial diraih pada 1954 dan meraih Ph.D-nya dalam bidang etika
sosial tahun 1954. (Mikio 2001, 819). Dalam
bukunya yang berjudul Nasi dan Allah,
Takenaka mengatakan bahwa Allah lebih tepat dianalogikan sebagai nasi alih-alih
roti dalam konteks Jepang. Alasannya adalah nasi merupakan makanan pokok
orang-orang Asia, termasuk Jepang. Dengan demikian, Allah-Nasi ini lebih akrab
dibandingkan dengan Allah-Roti. Implikasi teologisnya adalah dengan
membahasakan Allah sebagai nasi, konsep tentang kasih-Nya dapat lebih mudah
dikomunikasikan kepada orang-orang Asia (Takenaka 1996).
Sebuah Testimoni
Testimoni
ini sekadar untuk melihat “karakter” orang-orang di Jepang dalam hidup beriman
– berteologi. Dalam hal ini kami mengambil sikap orang Jepang dua tahun lalu,
2011, saat Jepang diguncang oleh tsunami yang mengakibatkan kebocoran reaktor
nuklirnya. Tidak mengapa jika testimoni ini disilih dari orang bukan Jepang,
namun dari Martin Lukito Sinaga, orang Indonesia. Sinaga menulis:
Ada
yang mencatat, bagaimanapun rakyat Jepang melihat guncangan itu sebagai a calm
chaos sehingga warga dari kota-kota yang luluh lantak itu bisa perlahan merajut
kembali kebersamaan hidup. Kita pun mendengar gema ganbare ’bertahanlah’
bergetar di banyak tempat. Seorang pendeta dari Chubu mengirim berita dengan
kutipan kitab Ayub ini, ”Bagi pohon masih ada harapan: apabila ditebang, ia
bertunas kembali, dan tunasnya tidak berhenti tumbuh” (Kompas 2011).
Sikap
teologis itu ditulis dalam judul Bersama
yang Tersalib dan Yang Terguncang. Dalam kehancuran itu pasca peristiwa
itu, Sinaga melihat sebuah sikap “tegar” orang-orang Jepang ketika menghadapi
peristiwa “yang tersalib dan terguncang.” Peristiwa yang tersalib kami pahami
dekat dengan sikap “pikiran yang tersalib” dari Koyama. Sedangkan “yang
terguncang” kami pahami pada peristiwa penyiksaan dan pembunuhan yang sering
masal pada orang-orang Kirishitan pada abad-abad 16 dan 17. Bagi Sinaga,
dengan mendengarkan suara-suara mereka “yang terguncang dan tersalib” – narasi
keseharian sebagai modal terbesar dalam hidup beriman itu, - sebuah solidaritas
akan bangkit dan hendak mengatasi (melewati) pengalaman pahit dengan sebuah
keterbukaan, tidak undur ke dalam amnesia: justru melangkah dan menata ulang
hidup. “Kematian” itu diteruskan dengan “kebangkitan”, kebangkitan sebuah
tradisi baru bagi Jepang dan khususnya bagi gereja: membagi roti, saling peduli
(solidaritas) dan menyongsong pembaruan pasca guncangan dan ketersaliban.
Barang kali, teologi ini juga cocok menjadi refleksi atas pengalaman dan
sejarah Jepang yang pernah “tersalib dan terguncang” dalam hidup beriman.
Sebuah Rekonsiliasi dan Pembelajaran
Sejarah (Aritonang 2011)
Rasa-rasanya
kita memang layak memuji semangat bushido yang mengakar di Jepang. Salah satu
keberanian itu dapat kita lihat dalam proses rekonsiliasi gereja-gereja di
Jepang terhadap pemerintahan. Tak dapat dipungkiri bahwa gereja selalu berjumpa
dengan pemerintahan dalam berbagai kepentingan (baca: urusan). Pengakuan Kyodan[2]
(Nihon Kirisuto Kyodan : penyatuan gereja-gereja di Jepang) yang dilakukan oleh
gereja sebagai penyesalannya karena telah menaati tuntutan pemerintah untuk
terlibat Perang Dunia II (bahkan pengerja dan warga gereja ikut menjadi
serdadu) dipandang oleh gereja-gereja di dunia sebagai keberanian dan sekaligus
pembelajaran sejarah yang mengingatkan pemerintah Jepang supaya tidak
mengulangi kesalahan yang sama di masa depan, memanfaatkan gereja sebagai alat
perang. Pengakuan itu membebaskan gereja di Jepang dari rasa bersalah dan
membangkitkan rasa hormat dari gereja di seluruh dunia kepada gereja di Jepang.
Simpulan dan Refleksi
Jika
ada pembicaraan ihwal menyintas iman, kekristenan di Jepang dapat dijadikan
model yang relevan untuk diteladani. Tentang membahasakan Allah, mereka memilih
jalan yang tidak lazim supaya mereka tetap “berpegangan” pada Allah itu. Bahasa
itu adalah “silence.” Demikian pergolakan antara kekuasaan, budaya, politik,
agama, dan penginjilan bersilang-kepentingan dan mengakibatkan berbagai
peristiwa miris, tak beradab, namun juga sangat imani. Dalam kurun yang tidak
singkat, kekristenan (Katolik & Protestan) hadir dan bertumbuh dengan wajah
yang khas dari kekristenan di tempat lain. Peristiwa demi peristiwa – baik yang
menorehkan luka mendalam maupun pertumbuhan iman yang memukau itu telah
mengajari umat Khirisitan untuk
menyintas dan menemukan warna teologi mereka, teologi sinkretis dan lebih
berwatak tradisional-kontekstual.
Beberapa teolog kontekstual (Koyama,
Kitamori, Takenaka dll) bangkit, menyuarakan dan menunjukkan betapa agama
Kristen adalah agama yang membumi dan membawa solusi bagi berbagai persoalan
masyarakat di Asia, khususnya di Jepang sendiri. Teologi yang lahir dari
kekayaan hidup keseharian (nasi, koper, penderitaan) dan refleksi mendalam terhadap
Injil itu menjadi populer di kalangan teologi, khususnya Asia. Yesus menjadi
hidup dan turut bekerja bersama dengan umat-Nya, Allah benar-benar “bersahabat”
dan mengajari setiap orang percaya untuk tetap bersikap “bergantung pada Allah”
tanpa ingin mengendalikan Allah sendiri.
Sejarah telah mengajari orang-orang
Kristen di Jepang untuk tidak jatuh pada kesalahan yang sama, bahwa ketika
agama bertumpang tindih dengan kepentingan kekuasaan, termasuk kekuasaan atas
hidup yang serakah, agama menjadi kacau dan menimbulkan penderitaan yang tak
kunjung sembuh. Keberanian berefleksi, berteologi kontekstual dan bertindak
teologis (pengakuan dosa) itu adalah bukti bahwa Jepang memang belajar dari
kesalahan. Salah satu hal yang patut diberi penghormatan dalam hidup beriman di
Jepang adalah keterbukaan berdialog dengan nilai-nilai spiritual dan kearifan
lokal, dalam hal ini kita melihat bukti bahwa keberanian gereja di Jepang
mengakui kesalahannya dalam keterlibatan mereka dalam PD II adalah buah dari
sinkretisnya agama dan budaya Jepang. Tindakah teologis ini bukan saja
mengajari bahwa manusia memang makhluk lemah yang dapat terjebak dalam
kesalahan sejarah, namun agama mengajarkan bahwa pertobatan dan rekonsiliasi
dapat menyembuhkannya, walau tidak total.
Daftar Acuan
Aritonang, Jan Sihar. Berpikir dan
Bertindak Historis Sekaligus Teologis. Jakarta: STT Jakarta, 2011
Caldarola, Carlo. Christianity: The
Japanese Way. Leiden: Brill, 1979.
Edwood, Duglas J. Teologi Kristen Asia. Translated by B.A Abednogo.
Jakarta: Gunung Mulia, 2006.
Heuken, Adolf. Christianity in Asia.
Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2011.
Kitamori, Kazoh. Theology of the Pain
of God. Virginia: John Knox Press, 1965.
Koyama, Kosuke. Tidak Ada Gagang Pada
Salib. Dialihbahasakan oleh S. H. Widyapranawa dan H. P. Nasution. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2012.
Mikio, Robert. “Takenaka Masao.” Dalam Dictionary
of Asian Christianity, disunting oleh Scott W. Sunquist, 819. Michigan:
William B. Eerdemans Publishing Co., 2001.
Miyazaki, Kentaro. “Roman Catohlic
Mission in Pre-Modern Japan.” Dalam Handbook of Christianity in Japan,
disunting oleh Mark R. Mullins, 1-18. Leiden: Brill, 2003.
Miyazaki, Kentaro. “The Kakure Kirishitan Tradition.” Dalam Handbook
of Christianity in Japan, disunting oleh Mark R. Mullins, 19-34. Leiden:
Brill, 2003.
Steele, M. William. “Christianity and
Politics in Japan.” Dalam Handbook of Christianity in Japan, disunting
oleh Mark R. Mullins, 359-384. Leiden: Brill, 2003.
Takenaka, Masao. Nasi dan Allah. Jakarta: Gunung Mulia, 1996.
Tang, Edmond. “East Asia.” Dalam An
Introduction to Third World Theologies, disunting oleh John Parrat, 74-104.
New York: Cambridge University Press, 2004.
Tiedemann, R. G. Christianity in East
Asia. Vol. VII, dalam Cambridge History of Christianity, disunting
oleh Stewart J. Brown dan Timothy Tackett, 451-474. New York: Cambridge
University Press, 2006.
Yewangoe, A.A. Theologia Crucis di Asia. 1st. Translated by Stephen
Suleeman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Yui, Yoshiaki. “The Church in Japan.”
Dalam Church in Asia Today: Challenges and Oppurtunities, disunting oleh
Saphir Athyal, 19-47. Singapura: Asia Lausanne Committee for World
Evangelization, 1996.
[1] Bagian ini disadur dari makalah
berjudul Pain of God yang ditulis
oleh Abraham L. R. A. Suriadikusumah dan Tyson Parulian Hutabarat. Makalah
tersebut disajikan dalam kuliah Teologi Kontestual di Sekolah Tinggi Teologi
Jakarta pada 4 Maret 2013.
[2] We freshly
realized yet again the mistakes we committed in the mane of the Kyodan at the
time of our formation and during the following war years. We therefore seek the
mercy of our Lord and the forgiveness of our neighbors. In those years, the
government of our country, out of the imperatives of waging war, demanded as a
matter of national policy that religious bodies be consolidated and cooperate
with the war effort. Even as our country committed sin, so we too, as a church, fell into the
same sin. We neglected to perform our mission as a “watchman". Now, with
deep pain in our hearts, we confess our sin and ask the Lord for forgiveness.
We also seek the forgiveness of the people of all nations, particularly in Asia,
and of the churches therein and of our brothers and sisters in Christ
throughout the world; as well as the forgiveness of the people in our own
country. Over twenty years have passed since that war ended; and we are fearful
that our beloved country, set in today's problem-plagued world, is once again
headed in a dangerous direction. At
such a moment, we seek God's help and guidance so that the Kyodan may not
repeat its errors but, rather, may rightly carry out its mission in Japan and
in the world. Looking toward tomorrow, we hereby make public this resolution.
sebuah tulisan yang bagus yang merefleksikan kepada kita tentang sejarah Kekristenan di Jepang yang tidak banyak disorot. Gw juga pernah baca cuma di masa Tokugawa aja mereka dibantai, tapi gak tahu lagi keterusannya. httt://www.mrcassanova.blogspot.com
BalasHapusMantap Artikelnya... Jadi Tahu Bahwa Jadi Orang Kristen itu tidak Gampang
BalasHapus