Rabu, 20 Maret 2013

Sejarah Kekristenan dan Teologi di Jepang



Sejarah Kekristenan dan Teologi di Jepang

Pendahuluan
Pertama, izinkan kami mengutipkan sebuah doa yang mempertanyakan Allah yang “membisu” kala melihat umatnya disiksa sedemikian bengis demi mempertahankan keteguhan iman mereka. Susako Endo dalam Silence menuliskan:

            “Father, I betrayed You. I trampled on the picture of Christ… for a moment this foot was on face that any man can ever know… Even no that face looking at me with eye of pity… ‘Trampled!’. Your foot must suffer like all the feet that have stepped on this plaque. That pain alone is enough. I understand.” “Lord, I resented your silence.” “I was not silent. I suffered besides you (Heuken 2011, 51).”

            Demikianlah orang-orang Kristen selama 230 tahun melakukan tradisi menginjak gambar Yesus dan Bunda Maria dengan perasaan ngeri, benci, dan tanpa daya. Mereka tidak meninggalkan Allah yang tampak tidak bertindak dan seolah membiarkan penderitaan itu berlangsung ratusan tahun. Mereka yang merasa berkhianat karena menyangkal iman dengan menginjak patung Yesus dan Bunda Maria itu, ingin menderita di samping Tuhan mereka.
            Dalam buku Christianity in Asia – From its Beginning till Today dikisahkah betapa bengis penguasa (kadang bekerjasama dengan pendatang lain juga: VOC) dan para rahib Buddhisme menyiksa dan akhirnya membunuh ribuan orang Kirishitan di Jepang (1549-1650): ada yang disalib, dibakar, dibakar kulitnya secara perlahan, digergaji anggota badannya, digantung berhari-hari di atas kotoran, diceburkan ke air belerang mendidih di Gunung Unzen, dll (Heuken 2011, 43-51). Lalu oleh penguasa pada tahun 1626-1857, pada setiap pesta tahun baru, penduduk Nagasaki dan sekitarnya harus pergi ke Balai Kota untuk menginjak gambar Yesus dan Bunda Maria, efumi namanya. Peristiwa itu diawasi pegawai kotapraja dengan sangat teliti. Kemudian mereka mengeluarkan surat bukti. Peraturan ini dilakukan duaratus tigapuluh tahun. Ada orang Kristen yang berdalih sakit, ada yang mendekatkan kaki pada gambar tanpa menjamahnya, ada yang menginjak gambar lalu langsung bertobat dan bermati-raga. Sebelumnya mereka mencuci kaki mereka sebersih-bersihnya dan berusaha jangan menginjak muka di tengah-tengah. Kebiasaan buruk itu baru dihentikan setelah saudagar-saudagar di Barat keberatan (1873). Waktu kebebasan beragama diumumkan, masih terdapat 30.000 orang Kristen (Hidden Christian : Kakure Kisrishitan) yang bertahan selama 250 tahun tanpa kontak dengan Gereja Universal dan Roma (Caldarola 1979, 17). Jumlah mereka naik menjadi lebih dari 600.000. Mereka tidak mau didaftarkan dan tetap bersikap agak tertutup (Heuken 2011, 47-50).
            Mengenai ketertutupan orang-orang Kirishitan itu, akhirnya secara institusi mereka terasing dari model Barat. Secara peradaban, mereka sangat bercorak kultural. Khas beragama mereka pada akhirnya memunculkan bentuk baru sinkretik, mengawinkan nilai-nilai konfusian dan Shintoisme dan kekristenan, namun lebih tradisional. Kode etik yang muncul terasing dari teologi sistematika, liturgi formal, dan organisasi gereja. Mereka seolah menyerukan konteks historis dan budaya dari diri mereka sendiri (Caldarola 1979, 2).
            Suasana mencekam yang kami gambarkan di atas, dan perubahan cara hidup Kristen pada era setelahnya adalah dua hal yang saling terkait: bahwa Jepang mengalami masa gelap, dan setelahnya mereka mengubah diri mereka beriman Jepang-Kristen agar mereka benar-benar merasakan Kristus itu hidup di tengah-tengah mereka, mereka ber-sinkretis. Dalam paper tersebut akan diuraikan bagian-bagian yang menceritakan lebih mendalam tentang apa yang sedang terjadi. Bagaimana para misionaris hadir dan menuai kejayaan: banyak orang dibaptis dengan kualitas iman yang militan. Lalu mengalami masa kegelapan, dan pada akhirnya dapat bernafas untuk dapat menemukan identitasnya sendiri: lebih Jepang yang Kristen daripaada Kristen yang Jepang. Pada akhirnya, kita mengenali sebuah realitas dunia Kristen yang pernah lahir, berjaya, berjuang, dan berhasil belajar dari sejarah mereka.

Kekristenan di Masa Feodalisme
Benih Kekristenan ditanam di tanah Jepang pada 1549 oleh Fransiskus Xaverius dan Cosme de Torres. Kisah bermula ketika Fransiskus Xavierius yang tengah merintis Kekristenan di Nusantara bertemu dengan Yajiro di Malaka. Ia mendengar tentang kemajuan peradaban masyarakat Negeri Matahari Terbit itu darinya. Oleh karena itulah, Xavierius memutuskan untuk menyebarkan Injil di sana. Setelah membaptis Yajiro, ia berlayar bersama Cosme de Torres, Juan Fernandez, dan dua orang Jepang lainnya.
Strategi penginjilan Xavierius adalah menerjemahkan Injil ke dalam bahasa dan tradisi Jepang. Ia meminta bantuan Yajiro untuk melaksanakan strateginya ini. Namun, terjemahannya mengandung masalah serius sehubungan terbentangnya jarak antara doktrin kekristenan dan konsep teologis agama-agama pribumi Jepang, misalnya Buddhisme dan Shintoisme. Sebagai contoh, ia mengalami kesulitan untuk menemukan terminologi yang tepat untuk mengkomunikasikan nama Allah. Terminologi Dainichi yang dipinjam Yajiro dari sekte agama Shingon malah meneguhkan konsep ketuhanan Buddhisme alih-alih kekristenan. Alhasil, Xaverius menginstruksikan orang-orang Jepang di Yamaguchi untuk berhenti menyembah Dainichi (Miyazaki 2003a, 6).
Xavierius segera mengganti strategi penginjilannya dengan berusaha mendekati Kaisar yang berada di Kyoto dengan tujuan memperoleh izinnya. Namun, keadaan politik yang belum stabil pada saat itu membuat kaisar hampir tidak memiliki otoritas. Oleh karena keadaan yang tidak kondusif dan adanya kesenjangan dalam bahasa dan tradisi, Xavier memutuskan untuk meninggalkan Jepang untuk mengurus ladang penginjilan di Cina dan India. Karyanya dilanjutkan oleh Cosme de Torres.
Torres berkarya jauh lebih lama daripada Xavierius yang hanya berada di Jepang selama dua tahun. Karyanya barulah membuah hasil ketika memasuki usia satu dasawarsa. Pada saat itu, beberapa daimyo atau tuan tanah, misalnya Omura Sumitada, Takayama Ukon dan Otomo Sorin, memutuskan untuk memeluk kekristenan. Konversi agama keduanya dilakukan dalam rangka memuluskan hubungan dagang dan militer dengan Kerajaan Portugis. Kita tidak dapat mengesampingkan konteks politik Jepang yang belum kondusif pada saat itu. Para daimyo berlomba-lomba membangun aliansi dalam rangka mewujudkan mimpi untuk menguasai seluruh Jepang. Namun, ketika kapal-kapal perang Portugis tidak kunjung menampakkan diri di pelabuhan-pelabuhan Jepang, para tuan tanah memutuskan kembali memeluk agama semula dan menganiaya orang-orang Kristen (Miyazaki 2003a, 7).
Misionaris Serikat Yesuit lain yang berkarya di Jepang adalah Alexander Valignano. Pria yang tiba pada 1579 ini melanjutkan strategi penginjilan yang diterapkan oleh Xaverius. Ia mengakomodasi budaya pribumi dengan cara menghargai alih-alih menghancurkannya. “Missionaries were to show esteem for the culture of Japan and were transplant on top of that culture the superior Christianity culture(Miyazaki 2003a, 8). Penerapan strategi ini adalah dengan cara membangun sebuah sekolah bahasa di Sakaguchi.
Selain itu, Valignano pun mendorong para misionaris untuk belajar budaya, tatakrama, dan gaya hidup sehari-sehari masyarakat setempat, termasuk cara berpakaian dan makan. Bahkan, ia memutuskan untuk mendirikan sebuah gereja yang gaya arsitekturnya khas Jepang. Tujuannya melakukan semua itu adalah memperkenalkan wajah kekristenan yang bersahabat dan tidak asing, sehingga mudah berakar dan bertumbuh di ladang misi.
Valignano menuai buah manis dari strateginya yang bersahabat dengan konteks itu. Daimyo Nagasaki tertarik untuk memeluk agama Kristen dan memutuskan dibaptis. Konversi agama yang dilakukan oleh penguasa ini menarik semakin banyak rakyat jelata untuk melakukan tindakan yang sama. Dukungan daimyo pun memungkinkan Serikat Yesuit untuk mendirikan beberapa seminari di Azuchi dan Arima dan novisiat di Usuki dan Bungo. Dengan adanya berbagai fasilitas pendidikan tersebut, ia berharap dapat menarik minat putra para bangsawan dan samurai untuk belajar agama dan pengetahuan Barat. Naradidik yang belajar di sana akan dipersiapkan menjadi imam. Alhasil, Nagasaki menjadi kota Kristen pertama di Jepang.
Namun, keadaan berubah drastis bagi kekristenan sejak tampilnya rezim Tokugawa pada 1614 di Jepang. Shogun Hideyoshi menetapkan sebuah kebijakan yang melarang adanya orang atau produk asing dalam bentuk apapun, termasuk agama Kristen. Pada awalnya, ia menjalin hubungan bilateral dengan Spanyol dalam sektor perdagangan, sehingga para misionaris dari Ordo Fransiskan dan Dominikan diizinkan berkarya di Jepang. Namun, setelah merampas seluruh muatan kapal San Felipe yang karam di Pulau Tosa, ia membatalkan kesepakatan dengan Spanyol. Dua puluh enam orang Kristen, baik misionaris asing maupun lokal, disalibkan di Nagasaki pada 1597.
Pemerintah kembali memberi angin segar pada kekristenan sejak Ieyasu Tokugawa menggantikan Hideyoshi dan mendirikan pemerintahan militer di Edo. Keperkasaan armada laut kerajaan-kerajaan Protestan, yaitu Inggris dan Belanda, menarik minat Ieyasu untuk menjalin kesepakatan dagang. Pada awalnya, kedua kerajaan itu bersedia untuk bekerjasama dengan pemerintah. Namun, pesona Jepang tidak segemerlap Malaka dan Hindia, sehingga mereka memutuskan untuk berlayar ke sana untuk berdagang.
Tidak adanya kerajaan Kristen dari Barat yang menjalin kesepakatan dagang dengan pemerintah, baik dalam rangka mendulang keuntungan maupun mendukung karya para misionaris di Jepang, mempermudah pemerintah untuk membasmi kekristenan. Dalam kurun waktu tiga puluh tahun, penganiayaan terhadap orang-orang Kristen mencapai puncaknya. Tidak sedikit, baik pribumi maupun imam asing, disiksa dengan sadis dan dibunuh karena bersikukuh mempertahankan imannya. Sebagian yang lain memilih untuk kembali memeluk agama sebelumnya dalam batasan formalitas. Mereka tetap mendaku dan menghayati diri sebagai pengikut Kristus sekalipun tidak lagi beragama Kristen. Tidak hanya sampai di situ, Ieyasu Tokugawa juga tidak membiarkan berdiri satu pun bangunan gereja atau seminari. Penganiayaan ini berlangsung selama 210 tahun dan membunuh kira-kira 5000 orang (Miyazaki 2003a, 13). Kebijakan rezim Tokugawa berdampak pada absennya imam dan misionaris yang mampu menggembalakan umat selama sekian ratus tahun. Beberapa utusan dari gereja yang berusaha masuk ke Jepang melewati jalur pantai mengalami nasib buruk, entah dipenjara atau disiksa hingga meregang nyawa di tiang gantungan. Keadaan diperparah dengan minimnya jumlah literatur dan simbol yang berhasil selamat dari pengrusakan tentara pemerintah. Alhasil, generasi-generasi senpuku Kirishitan selanjutnya semakin jauh dari pokok ajaran-ajaran kekristenan ala Barat. Bahkan tercatat ada gerakan sinkretik baru dengan corak Shinto, Buddha, dan Kristen dengan nama Shinko Shukyo yang seolah mewadahi kerinduan akan iman Kristen namun dihambat. Tercatat agama-agama baru dengan banyak pengikut, a.l. Tenrikyo (1838; 2,5 juta) dan Reiyuki Kyodan (1962; 5 juta pengikut (1859). Dan yang terbesar adalah Soka Gakkai (1930) dengan ± 10 juta anggota terutama dari kelas menengah ke bawah  (Heuken 2011, 150-151).
Demi menjaga iman dan identitas diri sebagai orang Jepang, mereka terpaksa melakukan sinkretisme dengan agama-agama pribumi. Hal ini terlihat dari pengadopsian gambar-gambar dewi Buddhisme yang digunakan karena kedekatan – baik secara tampilan maupun teologis – dengan Perawan Maria, misalnya Koyasu Kannon, sang dewi belas kasih yang digambarkan tengah menggendong seorang bayi laki-laki (Tiedemann 2006, 468).
Masa penganiayaan yang panjang mendorong terjadinya evolusi teologi Kristen di Jepang. Selain sinkretisme dan pengadopsian simbol agama-agama pribumi, penyangkalan iman melalui aksi menginjak fumie pun mempengaruhi perubahan teologi mereka. Menurut Miyazaki Kentaro, para Kirishitan yang memilih untuk menyangkal imannya di hadapan para tentara mengucapkan doa yang berisi penyesalan mendalam akan dosa setelah menginjak gambar Yesus Kristus atau Perawan Maria. “Gradually, the faith of the underground Kirishitan tended to move away from a God who was a strict father and judge and focus on a forgiving motherly God of infinite tenderness, Mary” (Miyazaki 2003b, 21).

Kekristenan di Masa Nasionalisme
Berakhirnya pemerintahan Tokugawa memberi peluang bagi kekristenan untuk kembali ke Jepang. Selama restorasi Meiji, para misionaris dapat kembali melakukan penginjilan. Dampaknya adalah pertumbuhan gereja, baik Katolik maupun Protestanisme, sangat pesat pada masa ini. Pada 1858, seorang imam Perancis bernama Ptigean tiba di Jepang untuk menghidupkan kembali gereja di Yokohama dan Nagasaki. Walaupun demikian, agama Kristen belum diterima secara penuh oleh pemerintah Jepang. Pada 1865, Ptigean harus bergumul bersama para Kirishitan no Senpuku di dalam penjara selama enam tahun (Yui 1996, 22).
Gereja Ortodoks Yunani juga datang ke Jepang setelah politik Sukoku berakhir. Nicolai, seorang imam Rusia, datang ke Hakodate di Pulau Hokkaido, Utara Jepang. Ia mengkristenkan seorang mantan samurai bernama Takuma Sawabe. Sejak itu, gereja ini berkembang pesat hingga bisa membangun Katedral Nicolai Do di Tokyo dengan jumlah anggota yang mencapai 30.000 orang (Yui 1996, 22).
Kekristenan terus berkembang pesat di Jepang pada masa ini. Proses ini ditandai dengan penggabungan beberapa jemaat hasil-hasil karya misi, yaitu jemaat milik Gereja Presbiterian Amerika Serikat, Gereja Reformed Amerika, dan juga Gereja Presbiterian Skotlandia ke dalam suatu wadah yang bernama Nihon Kirisuto Ichi Kyokai pada 1877. Tahun berikutnya American Board of Commissionaries membentuk Asosiasi Penginjilan Jepang. Setelah berkarya selama sembilan tahun, lembaga misi nii mendirikan Nihon Kumiai Kyokai atau Japan Congregational Church. Tahun 1907 merupakan masa giliran bagi beberapa Gereja Metodis di Jepang untuk menggabungkan diri ke dalam Methodist Episcopal Church, Gereja Episkopal Metodis Amerika Serikat, dan Gereja Metodis Kanada.
Tahun 1941, sejumlah besar gereja menyatu dalam Nihon Kirisuto Kyodan atau United Church of Christ in Japan (Steele 2003, 361). Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah untuk pengendalian agama di Jepang. Anggota gereja yang tidak tergabung dalam kyodan ini akan disiksa dan dipenjara. Namun, pada akhirnya, memang banyak orang Kristen di Jepang yang harus menderita dan menyatakan sebagai penganut Shinto-Kristen (Yui 1996, 24).
Setelah perang, arus penginjilan dari aliran Baptis serta Pentakostal datang ke Jepang dalam jumlah besar.  Badan misi terbesar pada saat itu adalah Evangelical Alliance Mission, Far Eastern Gospel Crusade, dan Overseas Missionary Fellowship. Pada 1968, Asosiasi Penginjilan Jepang mengadakan pembicaraan tentang kerjasama penginjilan dengan beberapa badan misi. Pada tahun itu tercatat kira-kira sejuta orang Kristen di Jepang dengan statistik sebagai berikut: Protestan = 600,000 orang; Katolik = 370,000 orang; Ortodoks Yunani = 25,000. Jumlah ini hanya 0.8% dari jumlah penduduk Jepang (Yui 1996, 26).
Para pemimpin Kristen di Jepang menentang aksi pemerintah yang melancarkan serangan dalam Perang Dunia II. Akhirnya, tidak sedikit dari mereka yang dicopot dari jabatannya secara paksa. Orang-orang ini kemudian menjadi penginjil dan banyak menulis pamflet yang mengkritik pemerintah dan perang yang dilancarkan (Steele 2003, 360).
Tahun 1967, Suzuki Masahisa, ketua dari Christian United of Christ, mengakui kesalahannya dalam mendukung agresi pada Perang Pasifik. Ia kemudian aktif di gereja dalam hal politis dan juga sebagai pengamat sosial. Hal itu kemudian melahirkan perdebatan di dalam tubuh gereja, yaitu antara kaum liberal dan konservatif. Perdebatan ini kemudian diperparah dengan pemberian dukungan dari Christian United of Christ bagi pembangunan paviliun Kristen. Kelompok liberal yang memberikan dukungan ini melihat bahwa proyek ini menjadi satu hal penting untuk menunjukkan agresi ekonominya di Asia. Di lain pihak, golongan konservatif melihat bahwa ini tidak berbeda dengan pemberian dukungan gereja pada perang yang dilancarkan pemerintah di waktu yang lalu.

Perkembangan Teologi Jepang pada abad 19-20
Pada masa kepemimpinan Kanzo Uchimura, orang-orang Kristen di Jepang memberontak terhadap dominasi institusi luar negeri dan menegaskan kekristenan pribumi mereka. Mereka menyebut diri sebagai mukyokai atau orang-orang Kristen non-gereja (1891). Pada saat yang sama muncul gerakan Makuya. Mereka menolak ritual, hirarki imamat, dan dogma. Dewasa ini, 35.000 orang Kristen memusatkan kegiatan mereka pada agama non-gereja dan melakukan pendalaman Alkitab dengan model pemuridan lama, yaitu sensei-deshi (Caldarola 1979, 2). Model yang dinamakan Caldarola sebagai akulturasi ini mengusulkan tiga tahap teologi kembali kepada tradisi, yaitu reorientation, reaffirmation, dan integration (Caldarola 1979, 9). Bagi Uchimura, kekristenan di Jepang cukuplah bicara tentang 2J: Jesus dan Japan, artinya cukuplah dengan Kitab Suci dan pembatisan saja  (Heuken 2011, 133).
            Kemajuan di Jepang pada bagian kedua abad 19 cukup menimbulkan aneka masalah sosial, yang menjadi perhatian beberapa orang muda Kristen, misalnya Toyohiko Kagawa (†1960). Salah satu kritik dari pemerhati kekristenan di Jepang, a.l. Ebina, Sesuji Otsuka dan Toyohiko Kagawa adalah ketidaksetujuan mereka terhadap “pemberhalaan” kaisar. Bagi mereka, tentang kecintaan masyarakat Jepang menjadikan kaisar sebagai titik pusat atau lambang kebanggaan nasional, tak perlu sampai “menjadikan yang berkuasa sebagai Allah yang hidup.” Bagi Kagawa sendiri, Yesus Kristus yang adalah penjelmaan ilahi Allah itu dapat dijadikan sebagai prinsip Kristen untuk merespons kondisi sosial. Salib digambarkan sebagai pilihan yang dilakukan Kristus secara sadar di mana hukuman terhadap dosa-dosa manusia (memasabodohkan kepedihan dan kedukaan yang ditimpakah pada sesama kita, bagi Allah, adalah dosa yang kejam) ditimpakan kepada-Nya. Kesadaran Yesus akan salib ini, demikian Kagawa, harus menjadi kesadaran manusia yang dengannya ikut berpartisipasi dalam karya penebusan dalam mengikut Yesus  (Yewangoe 2004, 230-231).
            Umat Protestan di Jepang yang pada akhir abad 19 mencakup ± 4000 orang beriman dalam beberapa gereja, sebagian besar dipimpin oleh pendeta pribumi, yang sebagian besar bekas samurai, berkembang lancar. Pada akhir abad ke-19 terjemahan Kitab Suci selesai (1879-83) dan menjadi best seller (Heuken 2011, 133). Tiga universitas Protestan sampai kini termasuk perguruan tinggi favorit, a.l. Doshisa University di Kyoto, Universitas Yochi Daigaku atau Sophia di Tokyo (1913 oleh Serikat Jesuit). Tetapi semenjak pertengahan abad ke-20 umat Kristen bertumbuh perlahan karena terjadinya nasionalisme berdasar Shintoisme pasca kemenangan atas Tiongkok. Pada awal abad 20 terdapat 70.000 orang Protestan. Pada waktu itu hanya satu persen orang Jepang beragama Kristen, seratus tahun kemudian, satu setengah persen saja (Heuken 2011, 133).



Kekristenan di Jepang pada 1970-2000
Dalam upaya pengembangan Jepang terhadap dunia internasional, pada tahun 1970 terjadi pergulatan hebat seperti yang dijelaskan sebelumnya. Jumlah orang Kristen yang hanya 1 persen dari seluruh penduduk Jepang ternyata tidak membuat mereka berhenti untuk bersuara, atau mengkritisi apa yang menjadi program pemerintah.Pada tahun 1970-an, kebingungan terjadi di antara banyak agama dan denominasi di Jepang.
Adanya ketidakjelasan hubungan antara agama dan negara membuat banyak sekali perdebatan di antara penganut dan juga pemimpin agama. Kasus demi kasus yang berakitan dengan keagamaan tidak dipandang serius, entah itu dari Shinto, Buddha, Konghucu, maupun Kristen. Tidak menjadi masalah jika ada konversi dari agama satu ke agama yang lain, selama tidak mengganggu kebijakan pemerintah (Reid 1991, 54). Bagi Jepang, tidak bisa dipungkiri bahwa pemahaman dan ajaran Kristen berperan cukup banyak dalam membentuk masyarakat (Reid 1991, 57). Namun tetap saja pada kenyataannya pemerintah Jepang lebih melihat bukan kepada komunitas berbasis agama.
Dari sudut pandang Kristen di Jepang, kebijakan menasionalkan kuil didasarkan pada alasan berikut: keterlibatan pemerintah akan menyalahi aturan sejak adanya kebijakan pemisahan agama dan politik; adanya kekhawatiran bahwa sikap ini akan mengarah pada militerisasi Jepang. Kepercayaan terhadap roh nenek moyang dan juga penghormatan kepada kaisar menjadi tantangan bagi gereja dan juga orang Kristen di Jepang. Maka tugas gereja di Jepang adalah untuk mengkomunikasikan ajaran Kristen untuk mereformasi ajaran dan budaya di Jepang (Yui 1996,  40)
Dalam dunia industri dan komunikasi, Jepang sangat unggul bahkan menjadi satu yang utama di Asia. Pemerintah Jepang mengadopsi slogan, “Semangat Jepang dan teknologi Barat”. Dengan begitu, sedikit banyak pengaruh Barat datang menghampiri kehidupan masyarakat Jepang. Kebutuhan untuk kerja lebih lama membuat banyak orang Kristen di Jepang sulit untuk berkegiatan lebih sering di gereja. Keterikatan jadwal sekolah yang padat juga mempengaruhi minat anak-anak Jepang untuk hadir di Sekolah Minggu (Yui 1996, 42).


Teologi Kristen Jepang
  1. Kazoh Kitamori - Teologi Luka Allah[1]
Kazoh Kitamori lahir dalam keluarga non-Kristen yang tinggal di Kumamoto, Jepang pada tahun 1916. Ia dikenal sebagai seorang Kristen Jepang yang berhasil mengkonstruksi teologi kontekstual berdasarkan locus tanah kelahirannya. Teologi ini, yaitu Teologi Luka Allah, lahir setelah Jepang menelan pil pahit kekalahan dalam Perang Dunia II pasca dihantam bom atom oleh Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki. Rakyat Jepang tidak hanya menderita karena kehilangan harta benda dan orang-orang yang dikasihi, tetapi juga kehilangan identitas, masa depan, dan semangat. Ia menuangkan pemikirannya itu dalam buku yang berjudul Kami No Itami No Shingaku.
Teologi Luka Allah berbicara mengenai Allah yang menderita rasa sakit. Konsep ilahi ini bertentangan dengan teologi klasik Kristen yang memahami bahwa Allah tidak dapat menderita alias impassibilis. Penderitaan Allah lahir akibat dari kasih-Nya yang luar biasa kepada ciptaan yang seharusnya tidak layak menjadi arah perasaan itu. The Lord was unable to resolve our death without putting himself to death. God himself was broken … and suffered, because He embraced those who should not be embraced” (Kitamori 1965, 22).
Rasa sakit yang Allah alami bukanlah sekadar simpati atas penderitaan manusia. Kitamori menggunakan konsep tsurasa yang dalam literatur dan drama klasik Jepang untuk membuktikan kontekstualitas teologinya. Tsurasa merupakan sebuah bentuk emosi yang terjadi hanya saat seseorang tidak mempunyai pilihan cara untuk menyelamatkan nyawa orang lain, kecuali membunuh dirinya sendiri atau orang lain yang dikasihinya. Si penyelamat merasakan kesedihan dan kepahitan tak terperi di saat yang bersamaan (Tang 2004, 91).

2.      Kosuke Koyama – Pikiran yang Disalibkan
Kosuke Koyama dapat digolongkan sebagai teolog kontekstual, mistikal, Yesus-Kristus-sentris, dan barangkali tergolong post-kolonial juga. Dalam “No Handle on The Cross”, Koyama menyuguhkan bagaimana hidup beragama manusia seharusnya tak jumawa dengan rasionya.  Beragama adalah soal bagaimana menggantungkan segala keputusan kepada Allah. Menjadi Kristen juga tak semudah menjinjing koper kala berangkat ke kantor atau seperti rantang makanan bergagang, melainkan harus menyangkal diri dengan patuh memikul salib tanpa gagang (Koyama 2012, 4). Salib yang beratnya sulit ditolerir. Yesus yang tercabik-cabik dan menyembuhkan dunia lebih cocok dibicarakan untuk mencari sumbangan iman bagi kondisi dunia dengan manusia yang lapar kuasa, cenderung mencuri  (Yewangoe 2004, 251)  dan  “lapar tombol” (istilah kelompok) agar hidup minim beban  (Edwood 2006, 103). Koyama lebih melihat bahwa beriman bukan mempercepat langkah bahagia, melainkan mencukupkan diri melaju berkecepatan 3 mil per jam, menjadi tersalib, berhenti, dan berjalan bersama Allah yang penuh kasih berbela rasa tanpa sikap “menjajah  (Edwood 2006).”
Selanjutnya, Koyama menyatakan bahwa misi Kristen bukanlah “mengkampanyekan” Allah, sebab itu merupakan penghinaan (merendahkan dan menistakan Juruselamat) bagi Allah sendiri (Koyama 2012, 52). Jika pun kita memperdengarkan Allah yang penuh kasih itu, maka hal itu perlu dibimbing dan diterangi oleh “pikiran yang disalibkan.” Pikiran yang disalibkan merujuk pada pandangan teologis tentang “daya pikir yang dibaptis secara teologis.” Dalam hal ini, Koyama ingin membangkitkan daya pikir Asia yang tidak dikendalikan oleh Barat. Orang Asia memiliki “strategi yang lebih baik” yang patut diberi tempat untuk berpartisipasi dalam bermisi.
Istilah-istilah Koyama merujuk pada detail-detail cerita Yesus yang menakjubkan: “menyangkal diri”; “membungkuk”; “tangan tidak terbuka dan tidak tertutup” dsb untuk memberikan sebuah penguatan pada cara pandang Asia yang memang tidak absolut dalam berteologi dan beriman. Hal tersebut terbukti dari sikap hidup menyintasnya orang-orang Kirishitan dalam lebih dari dua abad:  hidup silent (Endo: Silence) itu telah menyelamatkan mereka. Pada akhirnya, teologi Koyama dapat disimpulkan sebagai dorongan untuk hidup beragama adalah hidup membumi, mengalami Kristus dalam keseharian bersama-sama kekayaan agama lain: Buddha, Hindu, Islam dll. Dengan mengkritik perilaku beragama Kristen yang kurang berpikir historis (padahal Kristen adalah agama yang historis terhadap “Allah Pengeluaran” (Koyama 2012, 135), Koyama hendak menyarankan orang-orang Kristen di Asia supaya benar-benar kembali kepada sikap hidup “Yesus yang diludahi” supaya mereka menyadari risiko imannya. Tips yang paling tepat adalah, jangan meniru Barat yang pada akhirnya hanya memperburuk Asia ( (Koyama 2012, 136) dengan berbagai gejala kejahatan: korupsi, eksploitasi tenaga manusia secara kejam, penolakan secara terang-terangan tentang hak-hak asasi manusia, timbulnya pemerintahan otoriter dsb. Padahal Asia memiliki “ceritanya” sendiri.



  1. Masao Takenaka – Nasi dan Allah
Masa Takenaka adalah seorang profesor di Doshisha University. Ia aktif dalam kegiatan ekumenis, misalnya menjadi pembicara di sidang raya WCC ketiga di India, kuliah memorial John R. Mott di EACC, kuliah memorial Burns di Knox College, dan kuliah Karnahan di Union Theological Seminary New York. Sarjana ekonomi lulusan Universitas Kyoto menempuh studi teologi di Doshisha dan Yale University. Gelar Doctor Philosophie-nya di bidang etika sosial diraih pada 1954 dan meraih Ph.D-nya dalam bidang etika sosial tahun 1954. (Mikio 2001, 819). Dalam bukunya yang berjudul Nasi dan Allah, Takenaka mengatakan bahwa Allah lebih tepat dianalogikan sebagai nasi alih-alih roti dalam konteks Jepang. Alasannya adalah nasi merupakan makanan pokok orang-orang Asia, termasuk Jepang. Dengan demikian, Allah-Nasi ini lebih akrab dibandingkan dengan Allah-Roti. Implikasi teologisnya adalah dengan membahasakan Allah sebagai nasi, konsep tentang kasih-Nya dapat lebih mudah dikomunikasikan kepada orang-orang Asia  (Takenaka 1996).

Sebuah Testimoni
Testimoni ini sekadar untuk melihat “karakter” orang-orang di Jepang dalam hidup beriman – berteologi. Dalam hal ini kami mengambil sikap orang Jepang dua tahun lalu, 2011, saat Jepang diguncang oleh tsunami yang mengakibatkan kebocoran reaktor nuklirnya. Tidak mengapa jika testimoni ini disilih dari orang bukan Jepang, namun dari Martin Lukito Sinaga, orang Indonesia. Sinaga menulis:
Ada yang mencatat, bagaimanapun rakyat Jepang melihat guncangan itu sebagai a calm chaos sehingga warga dari kota-kota yang luluh lantak itu bisa perlahan merajut kembali kebersamaan hidup. Kita pun mendengar gema ganbare ’bertahanlah’ bergetar di banyak tempat. Seorang pendeta dari Chubu mengirim berita dengan kutipan kitab Ayub ini, ”Bagi pohon masih ada harapan: apabila ditebang, ia bertunas kembali, dan tunasnya tidak berhenti tumbuh” (Kompas 2011).
Sikap teologis itu ditulis dalam judul Bersama yang Tersalib dan Yang Terguncang. Dalam kehancuran itu pasca peristiwa itu, Sinaga melihat sebuah sikap “tegar” orang-orang Jepang ketika menghadapi peristiwa “yang tersalib dan terguncang.” Peristiwa yang tersalib kami pahami dekat dengan sikap “pikiran yang tersalib” dari Koyama. Sedangkan “yang terguncang” kami pahami pada peristiwa penyiksaan dan pembunuhan yang sering masal pada orang-orang Kirishitan pada abad-abad 16 dan 17. Bagi Sinaga, dengan mendengarkan suara-suara mereka “yang terguncang dan tersalib” – narasi keseharian sebagai modal terbesar dalam hidup beriman itu, - sebuah solidaritas akan bangkit dan hendak mengatasi (melewati) pengalaman pahit dengan sebuah keterbukaan, tidak undur ke dalam amnesia: justru melangkah dan menata ulang hidup. “Kematian” itu diteruskan dengan “kebangkitan”, kebangkitan sebuah tradisi baru bagi Jepang dan khususnya bagi gereja: membagi roti, saling peduli (solidaritas) dan menyongsong pembaruan pasca guncangan dan ketersaliban. Barang kali, teologi ini juga cocok menjadi refleksi atas pengalaman dan sejarah Jepang yang pernah “tersalib dan terguncang” dalam hidup beriman.

Sebuah Rekonsiliasi dan Pembelajaran Sejarah  (Aritonang 2011)
Rasa-rasanya kita memang layak memuji semangat bushido yang mengakar di Jepang. Salah satu keberanian itu dapat kita lihat dalam proses rekonsiliasi gereja-gereja di Jepang terhadap pemerintahan. Tak dapat dipungkiri bahwa gereja selalu berjumpa dengan pemerintahan dalam berbagai kepentingan (baca: urusan). Pengakuan Kyodan[2] (Nihon Kirisuto Kyodan : penyatuan gereja-gereja di Jepang) yang dilakukan oleh gereja sebagai penyesalannya karena telah menaati tuntutan pemerintah untuk terlibat Perang Dunia II (bahkan pengerja dan warga gereja ikut menjadi serdadu) dipandang oleh gereja-gereja di dunia sebagai keberanian dan sekaligus pembelajaran sejarah yang mengingatkan pemerintah Jepang supaya tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan, memanfaatkan gereja sebagai alat perang. Pengakuan itu membebaskan gereja di Jepang dari rasa bersalah dan membangkitkan rasa hormat dari gereja di seluruh dunia kepada gereja di Jepang.

Simpulan dan Refleksi
Jika ada pembicaraan ihwal menyintas iman, kekristenan di Jepang dapat dijadikan model yang relevan untuk diteladani. Tentang membahasakan Allah, mereka memilih jalan yang tidak lazim supaya mereka tetap “berpegangan” pada Allah itu. Bahasa itu adalah “silence.” Demikian pergolakan antara kekuasaan, budaya, politik, agama, dan penginjilan bersilang-kepentingan dan mengakibatkan berbagai peristiwa miris, tak beradab, namun juga sangat imani. Dalam kurun yang tidak singkat, kekristenan (Katolik & Protestan) hadir dan bertumbuh dengan wajah yang khas dari kekristenan di tempat lain. Peristiwa demi peristiwa – baik yang menorehkan luka mendalam maupun pertumbuhan iman yang memukau itu telah mengajari umat Khirisitan untuk menyintas dan menemukan warna teologi mereka, teologi sinkretis dan lebih berwatak tradisional-kontekstual.
            Beberapa teolog kontekstual (Koyama, Kitamori, Takenaka dll) bangkit, menyuarakan dan menunjukkan betapa agama Kristen adalah agama yang membumi dan membawa solusi bagi berbagai persoalan masyarakat di Asia, khususnya di Jepang sendiri. Teologi yang lahir dari kekayaan hidup keseharian (nasi, koper, penderitaan) dan refleksi mendalam terhadap Injil itu menjadi populer di kalangan teologi, khususnya Asia. Yesus menjadi hidup dan turut bekerja bersama dengan umat-Nya, Allah benar-benar “bersahabat” dan mengajari setiap orang percaya untuk tetap bersikap “bergantung pada Allah” tanpa ingin mengendalikan Allah sendiri.
            Sejarah telah mengajari orang-orang Kristen di Jepang untuk tidak jatuh pada kesalahan yang sama, bahwa ketika agama bertumpang tindih dengan kepentingan kekuasaan, termasuk kekuasaan atas hidup yang serakah, agama menjadi kacau dan menimbulkan penderitaan yang tak kunjung sembuh. Keberanian berefleksi, berteologi kontekstual dan bertindak teologis (pengakuan dosa) itu adalah bukti bahwa Jepang memang belajar dari kesalahan. Salah satu hal yang patut diberi penghormatan dalam hidup beriman di Jepang adalah keterbukaan berdialog dengan nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal, dalam hal ini kita melihat bukti bahwa keberanian gereja di Jepang mengakui kesalahannya dalam keterlibatan mereka dalam PD II adalah buah dari sinkretisnya agama dan budaya Jepang. Tindakah teologis ini bukan saja mengajari bahwa manusia memang makhluk lemah yang dapat terjebak dalam kesalahan sejarah, namun agama mengajarkan bahwa pertobatan dan rekonsiliasi dapat menyembuhkannya, walau tidak total.
Daftar Acuan

Aritonang, Jan Sihar. Berpikir dan Bertindak Historis Sekaligus Teologis. Jakarta: STT Jakarta, 2011
Caldarola, Carlo. Christianity: The Japanese Way. Leiden: Brill, 1979.
Edwood, Duglas J. Teologi Kristen Asia. Translated by B.A Abednogo. Jakarta: Gunung Mulia, 2006.
Heuken, Adolf. Christianity in Asia. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2011.
Kitamori, Kazoh. Theology of the Pain of God. Virginia: John Knox Press, 1965.
Koyama, Kosuke. Tidak Ada Gagang Pada Salib. Dialihbahasakan oleh S. H. Widyapranawa dan H. P. Nasution. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Mikio, Robert. “Takenaka Masao.” Dalam Dictionary of Asian Christianity, disunting oleh Scott W. Sunquist, 819. Michigan: William B. Eerdemans Publishing Co., 2001.
Miyazaki, Kentaro. “Roman Catohlic Mission in Pre-Modern Japan.” Dalam Handbook of Christianity in Japan, disunting oleh Mark R. Mullins, 1-18. Leiden: Brill, 2003.
Miyazaki, Kentaro. “The Kakure Kirishitan Tradition.” Dalam Handbook of Christianity in Japan, disunting oleh Mark R. Mullins, 19-34. Leiden: Brill, 2003.
Steele, M. William. “Christianity and Politics in Japan.” Dalam Handbook of Christianity in Japan, disunting oleh Mark R. Mullins, 359-384. Leiden: Brill, 2003.
Takenaka, Masao. Nasi dan Allah. Jakarta: Gunung Mulia, 1996.
Tang, Edmond. “East Asia.” Dalam An Introduction to Third World Theologies, disunting oleh John Parrat, 74-104. New York: Cambridge University Press, 2004.
Tiedemann, R. G. Christianity in East Asia. Vol. VII, dalam Cambridge History of Christianity, disunting oleh Stewart J. Brown dan Timothy Tackett, 451-474. New York: Cambridge University Press, 2006.
Yewangoe, A.A. Theologia Crucis di Asia. 1st. Translated by Stephen Suleeman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Yui, Yoshiaki. “The Church in Japan.” Dalam Church in Asia Today: Challenges and Oppurtunities, disunting oleh Saphir Athyal, 19-47. Singapura: Asia Lausanne Committee for World Evangelization, 1996.



[1] Bagian ini disadur dari makalah berjudul Pain of God yang ditulis oleh Abraham L. R. A. Suriadikusumah dan Tyson Parulian Hutabarat. Makalah tersebut disajikan dalam kuliah Teologi Kontestual di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta pada 4 Maret 2013.
[2] We freshly realized yet again the mistakes we committed in the mane of the Kyodan at the time of our formation and during the following war years. We therefore seek the mercy of our Lord and the forgiveness of our neighbors. In those years, the government of our country, out of the imperatives of waging war, demanded as a matter of national policy that religious bodies be consolidated and cooperate with the war effort. Even as our country committed sin, so we too, as a church, fell into the same sin. We neglected to perform our mission as a “watchman". Now, with deep pain in our hearts, we confess our sin and ask the Lord for forgiveness. We also seek the forgiveness of the people of all nations, particularly in Asia, and of the churches therein and of our brothers and sisters in Christ throughout the world; as well as the forgiveness of the people in our own country. Over twenty years have passed since that war ended; and we are fearful that our beloved country, set in today's problem-plagued world, is once again headed in a dangerous direction.  At such a moment, we seek God's help and guidance so that the Kyodan may not repeat its errors but, rather, may rightly carry out its mission in Japan and in the world. Looking toward tomorrow, we hereby make public this resolution.

2 komentar:

  1. sebuah tulisan yang bagus yang merefleksikan kepada kita tentang sejarah Kekristenan di Jepang yang tidak banyak disorot. Gw juga pernah baca cuma di masa Tokugawa aja mereka dibantai, tapi gak tahu lagi keterusannya. httt://www.mrcassanova.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Mantap Artikelnya... Jadi Tahu Bahwa Jadi Orang Kristen itu tidak Gampang

    BalasHapus