Rabu, 20 Maret 2013

Misi, Gereja dan Teologi di India, Srilanka dan Bangladesh



Misi, Gereja dan Teologi di India, Srilanka dan Bangladesh

Pendahuluan
            Misi, gereja dan teologi di India, Sri Lanka dan Bangladesh akan dibahas oleh kelompok pada kesempatan kali ini. Kita bersama-sama akan melihat bagaimana kekristenan dihadirkan dalam rangka misi penyebaran ajaran [YS1] agama Kristen. Kemudian bagaimana akhirnya cara orang Kristen, terutama dalam berteologi,  untuk mempertahankan dirinya dengan  adanya budaya setempat yang menjadi tantangan mereka. Setelah era kolonial, apakah mereka cenderung membentengi diri atau berupaya bernegoisasi dengan tantangan yang ada?

Misi Katolik Roma bersama Portugis  di India sejak abad ke-16 sampai dengan abad ke-18
 Sejak medio abad ke-20 India merupakan salah satu negara merdeka terbesar di dunia. (Hoke 1975, 217). India memiliki struktur geografis yang terbagi atas empat wilayah yaitu wilayah gunung Himalaya yang membatasi Nepal, China, dan Pakistan di utara; pusat daratan Indo-Gangga; daratan tinggi Deccan di selatan; dan pesisir. Di akhir abad ke-17 jumlah penduduk diperkirakan lebih dari 500 juta. Sejak tahun 1859 jumlah penduduk India meningkat drastis hingga tahun 1920 mencapai angka yang mengejutkan. Tingkat pertumbuhan mencapai 2,6 persen pertahun. (Hoke 1975, 233-234) Sebagian besar penduduk India merupakan tinggal di pedesaan. Lebih dari 70 persen terlibat di pertanian. (Hoke 1975, 235).
India memiliki keanekaragaman bahasa dan agama. Tak kurang dari 720 bahasa dan dialek yang diucapkan di India.Namun dari keseluruhan jumlah bahasa tersebut, hanya  ada 14 bahasa utama saja yang diakui sebagai bahasa nasional di India. (Hoke 1975, 236) Sementara itu, ada beberapa agama yang diakui di India. Dari seratus orang di India, delapan puluh tiga persen adalah Hindu, sebelas persen adalah Muslim, dua persen adalah Sikh, dan antara dua sampai tiga persen adalah Kristen, baik Katolik Roma maupun Kristen Protestan, Buddhisme dan Jainisme mengklaim kurang dari satu persen, dan sisanya adalah agama-agama suku (Hoke 1975, 238).
 Pada abad ke-16, pekabaran iman Katolik di India dibungkus oleh pelayanan yang memakai sistem “padroado” (bahasa Portugis), artinya pelindung atau penyokong. Dalam sistem ini raja menjadi sponsor gereja. Raja memiliki wewenang untuk mengangkat uskup, mengutus misionaris serta mengurus organisasi gereja di daerah masing-masing. Sebagai orang Katolik yang saleh, raja dan ratu Spanyol dan Portugal diberikan tugas oleh Paus Alexander VI untuk mengabarkan iman Katolik dengan sistem padroado (Ruck 1997, 96).
Pembaptisan massal terjadi ketika orang Portugis membangun benteng Goa, tepatnya di pantai barat India. Lalu pada tahun 1536 penduduk Parava, desa nelayan di sebelah selatan Goa, meminta perlindungan tentara Portugis melawan suku-suku tetangga yang beragama Islam. Tentara Portugis pun menghancurkan musuh-musuh Parava dengan imbalan pembaptisan massal orang-orang Parava. Persiapan baptisan, berupa katekisasi hampir tidak ada; pengajaran dan pembinaan lanjutan juga sangat minim. Fransiskus Xaverius diutus ke India pada tahun 1541 sebagai tanggapan terhadap permohonan raja Portugal. Ia berangkat sebagai wakil raja dan diangkat menjadi wakil diplomatik dari Paus. Xaverius memakai metode yang sederhana, namun cocok bagi orang desa. Keberhasilannya ini disebabkan oleh kasih sayangnya kepada penduduk setempat. Ia selalu membela penduduk setempat kalau ditindas oleh orang Portugis (Ruck 1997, 96-97).
            Xaverius mempelajari bahasa yang bersifat elementer. Lalu dengan bantuan juru bahasa ia menerjemahkan empat pernyataan pokok iman Katolik, yakni Doa Bapa Kami, Pengakuan Rasuli, Kesepuluh Hukum, serta Salam Maria. Di setiap kampung Xaverius mengumpulkan dan mengajar anak-anak tentang keempat pokok iman Katolik itu, hingga mereka menghafalkannya dengan sempurna. Anak-anak ini kemudian ditugaskan untuk mengajar orangtua mereka. Ketika seluruh keluarga sudah menghafal pokok-pokok iman Katolik, barulah mereka dibaptis. Selama sepuluh tahun pelayanan Xaverius, ia telah membaptis 700.000 orang. Dengan metode pengajaran yang dipakai oleh Xaverius, pendidikan kaum mudah mendapat perhatian; salah satu buktinya tampak dalam pembangunan sekolah di Goa. Xaverius menaruh belas kasihan kepada orang-orang Parava, namun demikian aspek politis dari sistem padroado masih tetap berlaku. Ia mendorong anak-anak untuk menghancurkan  patung-patung tanah liat yang dibuat orangtua mereka, oleh karena menurut Xaverius Tuhan Allah membenci dan tidak berkenan kepada allah-allah lain.  (Ruck 1997, 98).
Pada tahun 1605 Roberto De Nobili (1577-1656) tiba di Madurai, India Selatan, pusat kebudayaan bangsa Tamil. Menurutnya, ada dua masalah yang merupakan rintangan berat bagi pekabaran Injil di India. Pertama, orang India menganggap hina kehidupan kasar pelaut-pelaut Portugis. Kedua, para pekabar Injil menolak sistem kasta, yang telah melekat dalam kebudayaan India, yang menyebabkan orang yang beralih agama Kristen berasal dari kasta yang paling rendah. Karenanya, kekristenan dipandang rendah sebagai agama orang miskin. De Nobili bermaksud mendekati orang-orang terkemuka dengan cara menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Ia mengenakan jubah kuning seperti orang Hindu yang saleh, dengan ikat tali seperti yang dipakai oleh kasta-kasta tinggi, ditambah tanda salib. Ia juga mengikuti pola makan orang Hindu, dan sekali-kali ia mengundang orang-orang dari kasta Brahmana makan di rumahnya. De Nobili juga belajar bahasa setempat, dan membangun gedung gereja yang dikhususkan bagi orang-orang Brahmana. Meskipun ada pertentangan terhadap metode yang digunakan oleh De Nobili, namun Paus mendukung metode yang dipakai De Nobili. Pada tahun 1643 Serikat Yesus melaporkan bahwa selama 37 tahun ada 600 orang dari kasta atas (termasuk kalangan Brahmana) yang telah dibaptis, meskipun pada tahun 1645 dilaporkan hanya 26 orang Brahmana yang tetap setia kepada iman Kristen. Usaha Ordo Yesuit untuk menyesuaikan diri dengan budaya setempat, diklaim sebagai usaha menjalankan praktik-praktik sinkretis, termasuk ikat-tali sebagai tanda kasta atas. Dalam kondisi demikian, orang Yesuit masih terus mencari metode kontekstualisasi agar bisa menyampaikan iman Kristen dalam bentuk yang berarti bagi orang India. Buku-buku Katolik ditulis dalam tujuh bahasa India. Usaha indianisasi gereja berhasil dalam hal penahbisan klerus, tetapi tidak sampai pada tingkat pimpinan gereja. Pada tahun 1705 ada 2.500 imam berkebangsaan India di Goa. (Ruck 1997, 111-114).         
             
Misi Protestan bersama Pedagang dan Kolonialis Denmark dan Inggris
            Denmark berada di Tranquebar sejak tahun 1620. Pada tanggal 09 Juli 1706 Bartholomew Ziegenbalg dan Henry Plütschau merupakan misionaris Protestan pertama yang datang ke India, yakni di Tranquebar di pantai Coromandel sekitar 150 km sebelah selatan Madras. Ketika para misionaris tiba di Tranquebar, tidak ada panitia khusus yang menyambut mereka. Tak seorang pun yang menginginkan kedatangan mereka, bahkan banyak orang yang telah siap memberikan ekspresi ketidaksenangan mereka. Ada dua gereja di Tranquebar, yakni gereja Zion yang dibangun pada tahun 1701 oleh upaya penduduk Denmark untuk mereka gunakan sendiri, dan gereja Katolik Roma (Neill 1985, 28-29)
            Ziegenbalg adalah orang yang berbakat, bersikap intens, sabar dan berdedikasi penuh dengan pekerjaan yang ia laksanakan. Sepanjang karir misionarisnya ia harus berhadapan dengan kesulitan yang tak berujung. Kesulitan itu malah membuatnya lebih bersemangat dan bertanggungjawab. Ia menekankan pentingnya pengetahuan akan bahasa lokal. Ia menyadari perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tertulis (Neill 1985, 30-31).  
Pada abad ke-19 perusahaan perdagangan Inggris, East India Company, memanfaatkan pertikaian antara raja-raja India. EIC bersekutu dengan sebagian raja-raja untuk berperang melawan raja-raja lain. Seorang prajurit India (Sepoy) dipekerjakan sebagai tentara Inggris. Berbeda dari raja-raja Portugal, perusahaan Inggris, EIC, samasekali tidak berhasrat mengabarkan Injil. Tujuan mereka satu-satunya adalah memperoleh kekayaan. Oleh karena itu, para pendeta yang diutus ke India hanya ditugaskan untuk melayani orang Eropa. EIC dengan tegas melarang penginjilan terhadap orang India, karena takut orang-orang India terganggu, sehingga merusak perdagangan mereka. Namun demikian, golongan Kristen Evangelikal memberi tekanan pada EIC melalui parlemen di Inggris, sehingga badan ini terpaksa membuka beberapa kelonggaran. Setelah tampuk pimpinan pemerintahan diambil-alih di India pada tahun 1858, pemerintah Inggris bersikap netral dan toleran terhadap semua agama. Meskipun tidak diutus oleh pemerintah penjajah, ada ratusan pekabar Injil berbondong-bondong datang ke India pada abad ke-19. Mereka datang ke India bersamaan dengan penjajahan Inggris, sehingga keduanya dianggap satu oleh bangsa India, (Ruck 1997, 119-120)
            William Carey sekeluarga mengadakan pelayaran ke India pada tahun 1793 sebagai utusan pertama dari Baptist Missionary Society. EIC melarang penginjilan, karenanya ia beralih pekerjaan. Ia menjadi pengelola pabrik nila di pedalaman India, sedangkan istrinya tidak tahan hidup di tempat tersebut. Istrinya mengalami gangguan jiwa, dan berakibat berat bagi perkembangan anak-anak mereka. Carey memakai kesempatan hidup terpencil untuk belajar bahasa Sanskrit dan Bengali. Ada empat asas penginjilan Carey, yaitu penelitian kebudayaan India, penginjilan yang seluas-luasnya, penerjemahan Firman Tuhan serta pendirian gereja mandiri dengan tenaga rohani asli. (Ruck 1997, 121-123)
            Pada tahun 1829 utusan pertama dari Gereja Skotlandia bernama Alexander Duff pergi ke India. Ia menekankan pendidikan sebagai sarana utama mendekati golongan tinggi. Sahabat dekatnya yang bernama Ram Mohan Roy membantunya untuk mendirikan sekolah di Calcutta. Duff mengajarkan konsep-konsep Kristiani dengan tujuan agar orang-orang Brahmana menjadi Kristen dan melalui mereka Injil disebarkan kepada masyarakat luas. Roy yang merupakan sahabat Duff melakukan penelitian terhadap Alkitab dan Al Quran bersama-sama dengan kitab-kitab Hindu, lalu mengarang sebuah buku yang berjudul The Precepts of Jesus the Guide to Peace and Happiness. Ia mendirikan komunitas Brahmo Samaj, yang terdiri dari orang-orang Hindu berpendidikan Barat, dengan tujuan memperbarui agama Hindu. Roy menekankan ketergantungan manusia kepada Allah Pencipta yang patut dipuji dan disembah. (Ruck 1997, 127-128 )
Di samping usaha Protestan mendidik tenaga-tenaga asli yang sanggup memimpin gereja, beberapa tokoh Kristen India berusaha mewujudkan kekristenan dalam konteks kebudayaan India. Ketika gerakan kemerdekaan India terjadi pada tahun 1880-an, orang Kristen asli terdorong untuk memisahkan inti pokok Injil dari pakaiannya yang terlalu berwarna Barat. Seorang Sikh bernama Sadhu Sundar Singh pernah mengikuti sekolah teologi Anglikan. Setelah delapan bulan belajar ia keluar dari sekolah tersebut karena merasa pendidikannya terlalu berbau Barat. Ia menyendiri dalam pengembaraan dan memakai jubah kuning seperti para “sadhu”, yaitu orang suci Hindu. Dengan kehidupan yang sederhana dan kesalehan ia mengabarkan Injil di desa-desa dan merenungkan Firman Tuhan. Pola ini sangat berkesan bagi banyak orang, (Ruck 1997, 132-133). Kemudian Sundar Singh ‘menghilang’, tidak diketahui di mana makamnya.

Teolog-teolog modern yang Berperan di India
            Berdasarkan situasi masyarakat di India seperti penekanan pada kasta, relasi dengan agama lain, beberapa teolog berupaya mengembangkan teologi yang kontekstual sebagai bentuk tanggapan iman Kristen terhadap situasi di India. Beberapa teolog tersebut, dapat kita lihat di bawah ini.
1.      Mamen Madathilparampil Thomas lahir 15 Mei 1916 di Kerala, India. Ia memperoleh pendidikan Universitas Madras dan di New York, Amerika Serikat. Ia memberikan perhatian dan berperan aktif dalam gerakan oikumene di India terkhusus mengenai mengenai masalah sosial dan gereja (Yewangoe 1996, 99). Pemikiran Thomas memberikan pengaruh yang besar dalam perkembangan teologi di India. Pemikiran khas Thomas adalah tentang memanusiakan masyarakat. Pemikiran ini berangkat dari konsep Kristen tentang manusia yang dipandang dan dikasihi Tuhan secara individual. Konsep ini seharusnya mendasari manusia untuk turut mengasihi sesama secara pribadi juga. Salah satu karya tulisan Thomas adalah The Christian Response to the Asian Revolution. (Ruck 1997, 262-263)
2.      Paul David Devanan dan adalah seorang pendeta Gereja India Selatan yang lahir pada 1901 dan meninggal 1962. Ia belajar ilmu sastra di Madras dan belajar agama Hindu di Universitas Yale di Amerika Serikat. Pemikiran utama yang khas dari Devanandan adalah tentang dialog antar agama, khususnya tentang keterbukaan orang Kristen untuk agama lain. Menurutnya orang Kristen bukan hanya berada dalam komunitas masyarakat Kristen, namun perlu memperluas komunikasi dan hubungan dengan agama lain. Salah satu keterlibatan konkret yang ia lakukan adalah dengan mendirikan Institut Penelitian Agama dan Masyarakat di Bangalore dan berperan sebagai tokoh Kristen India di Dewan Gereja-gereja se-Dunia dengan tujuan untuk mengembangkan dialog antar agama. Perhatian dan usahanya terhadap dialog antar agama ini menjadikan dialog agama sebagai tema utama teologi India (Ruck 1997, 263).
3.      Stanley Samartha adalah seorang teolog yang menjadi direktur pertama Program Dialog Dewan Gereja-gereja se-Dunia. Ia merupakan salah seorang teolog yang menolak eksklusivisme dalam agama. Pandangannya tentang keselamatan dipahami oleh agama-agama dengan cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu baginya jalan keselamatan Kristen merupakan salah satu jalan dari beberapa jalan yang patut diakui. Ia merupakan teolog yang memiliki pandangan tentang konsep misteri sebagai pusat transenden yang menjadi inti segala ibadah dan pencarian rohani (Ruck 1997, 264).
4.      Vengal Chakkarai lahir 17 Januari 1880 di Madras. Ia hidup dan dibesarkan dalam tradisi Hindu. Ia menyelesaikan studinya di sekolah Kristen dan mendapat gelar di bidang filsafat. Tahun 1903 ia dibaptis di Madras Christian College. Ia bergabung dalam kelompok “Pemikiran Ulang Misi di India” bersama P. Chenchiah. Pemikiran teologi Chakkarai yang khas adalah mengenai teologi salib.  Inti pemikirannya hendak mendorong orang percaya untuk memaknai salib yang membawa kepada moksha yaitu kelepasan, kemerdekaan, dan keselamatan. Salah satu hasil karya Chakkarai adalah buku Jesus the Avatar dan buku Jesus’ Cross and Indian Thought. Kedua buku ini membahas tentang bagaimana Yesus berinkarnasi, menderita dan berkorban melalui salib di dunia (Yewangoe 1996, 70-71).
5.      Sebastian Kappen adalah seorang teolog India yang memberikan sumbangan pemikirannya tentang kekeristenan yang berhubungan dengan marxisme dan praksis kemasyarakatan. Beberapa karya konkret tertuang dalam beberapa tulisannya, salah satunya adalah buku Jesus and Freedom dan buku Marxism and Atheism (Sugirtharajah 1996, 420).
Teologi Dalit
      Teologi Dalit merupakan teologi yang muncul sebagai bentuk keprihatinan teologi Kristen India dan perjuangan orang-orang Kristen India untuk kemanusiaan (Rajkumar 2010, 25). Dalam konteks India, Dalit berarti ‘patah’, ‘diinjak-injak’, ‘tertindas’. Teologi Dalit adalah refleksi teologis yang timbul dari 125 juta lebih orang di India yang dipatahkan oleh sistem kasta.  Sistem kasta adalah suatu cara untuk mengorganisasi masyarakat. Kasta biasanya berciri-khaskan suatu pekerjaan khusus: bertani, menjadi prajurit, berdagang, dan sebagainya. Ada empat tingkatan hierarki di masyarakat India, yaitu: pertama, Brahmin (Brahmana) yaitu mereka yang berprofesi sebagai imam dan cendekiawan. Di bawah mereka adalah kaum Kshatriya, para satria (prajurit, pejuang) yang memerintah. Di bawah kaum ini, ada kaum Vaisya, para pedagang. Kelompok terakhir adalah kaum Shudra, para pelayan, pekerja dan petani (Amaladoss 2001, 40-41).
      Kaum Dalit adalah kaum yang benar-benar tertindas dan patah. Mereka adalah orang-orang yang berada di luar batas masyarakat yang diorganisasi menurut empat varna di atas. Mereka tak boleh disentuh. Secara ekonomi, mereka miskin. Mereka seringkali menjadi pekerja sewaan yang dibayar dengan tidak adil oleh para tuan tanah. Lalu secara politis, mereka tak berdaya. Di desa-desa mereka dikuasai oleh orang-orang kaya dan berkuasa. Bahkan pada tingkat nasional, dalam masyarakat demokratis sekalipun, mereka menjadi minoritas 15 persen yang tidak ada artinya. Secara sosial, mereka tersingkir. Mereka hidup di luar atau di pinggir-pinggir desa. Mereka tidak memiliki hubungan sosial yang benar-benar sederajat. Fasilitas-fasilitas umum yang ada dalam masyarakat pun tidak diperuntukkan kepada mereka. Secara keagamaan, mereka dipandang cemar, khususnya dari segi ritual. Mereka memiliki dewa-dewi sendiri yang akhirnya menjadi pelayan dewa-dewa yang lebih tinggi dalam mitologi rakyat. Ini merupakan kebudayaaan diskriminasi dan penindasan, yang diterima sebagai tatanan sosial yang dipaksakan dengan kekerasan. Kaum perempuan merupakan kaum yang rentan diperlakukan dan dinista sebagai objek belaka, tanpa hukuman (Amaladoss 2001, 41-45).  
A.  P. Nirmal mengambil syahadat dalam Ulangan 26:5-9 sebagai titik tolak untuk pengembangan teologi Dalit. Tokoh “orang Aram yang mengembara” yang disebut dalam syahadat itu menurut Nirmal merupakan gambar visi yang harus dipunyai orang-orang Dalit mengenai diri mereka sebagai umat. Penderitaan bangsa Israel mengingatkan ketertindasan kaum Dalit. Kuasa dan kekuatan besar serta menggemparkan merupakan keperluan kaum Dalit untuk bergolak memperjuangkan hak-hak mereka. Bagi orang-orang Dalit yang menjadi Kristen, perpindahan mereka merupakan pengalaman eksodus yang membebaskan. Nirmal kemudian mengembangkan gagasannya bahwa Allah agama Kristen adalah Allah Dalit. Kaum Dalit adalah pelayan masyarakat; Allah agama Kristiani adalah Allah yang melayani. Selain Nirmal, Samuel Rayan juga mengatakan bahwa Yesus yang ditolak oleh bangsa-Nya, bahkan dihukum mati, merupakan tipe kaum Dalit (Amaladoss 2001, 50-54).
Titik tolak teologi Dalit adalah pengalaman kaum Dalit, dan pusat perhatiannya tidak hanya pada ketertindasan dan keberpihakan Allah pada kaum tertindas, tetapi pada persekutuan baru yakni persekutuan yang memerdekakan, penuh dengan cinta kasih dan keadilan, yaitu umat baru dalam Pemerintahan Allah yang memanggil semua orang/bangsa untuk masuk ke dalamnya. Dalam jemaat Kristiani, setiap diskriminasi harus dihapuskan. Secara sosiologis, meskipun kaum Dalit adalah orang buangan, mereka termasuk dalam suatu tatanan sosial yang distrukturkan oleh sistem kasta, dan pembebasan kaum Dalit yang sejati akan seiring dengan pembebasan setiap orang dari sistem kasta. Pada tingkat sosial, sakramen-sakramen Ekaristi dan pendamaian sebagai kekuatan inspirasi haruslah diwujudkan oleh gereja. Dalam masyarakat luas, orang-orang Kristiani mendukung program-program tindakan pemerintah yang positif dalam bidang ekonomi dan politik, dengan menggalakkan khususnya partisipasi politis (Amalados 2001, 56-58).

Sri Lanka
            Pulau Ceylon yang merupakan salah satu dari Kepulauan Hindia Timur, menduduki posisi yang sangat strategis. Pulau ini adalah tonggak penting bagi usaha para penjajah untuk mengontrol perdagangan Asia. Di wilayah Ceylon dihasilkan rempah-rempah tertentu yang kualitasnya sangat baik (Goor 1978, 7).
            Pada tahun 1990, 74 persen penduduk Ceylon ialah etnis Sinhala, yang hampir semuanya beragama Buddha, sedangkan orang Tamil, 18 persen penduduk, beragama Hindu. Sistem kasta berakar kuat di wilayah Ceylon, baik di antara Sinhala maupun Tamil (Ruck 1997, 268).
            Pada abad ke-16, orang Portugis membangun benteng di Kolombo lalu menguasai daerah pesisir Ceylon. Rahib-rahib Katolik Roma mengabarkan Injil baik di wilayah kekuasaan Portugis maupun di daerah lebih luas, di Kerajaan Kandy (Ruck 1997, 268). Portugis memang bangsa Eropa pertama yang datang ke Asia dalam skala besar. Sebagai konsekuensinya, pengaruh mereka tentu sangat besar. Bahasa Portugis misalnya merupakan lingua franca untuk hampir semua kontak di Asia, antara Eropa dan penduduk pribumi. Pada saat pembaptisan, nama-nama Portugis juga dipilih oleh etnis Sinhala. Pengaruh Portugis juga ditandai dengan para kepala desa yang mendukungnya, yang menimbulkan pengaruh besar terhadap pelaksanaan kebijakan kolonial mereka (Goor 1978, 14).
            Akan tetapi sejak awal abad ke-17 Portugis mengalami pukulan berat, hingga abad-abad selanjutnya. Belanda telah mengusir mereka. Pos perdagangan rempah-rempah milik Portugis di Malaka telah dirampas oleh Belanda. Goa dan markas mereka juga diblokade selama berbulan-bulan (Goor 1978, 7).
            Setelah mengusir Portugis, dari awal masanya, Belanda telah mengambil langkah-langkah untuk melawan penggunaan bahasa Portugis dan untuk membendung gelombang pengaruh Katolik (Goor 1978, 14). Belanda mengusir para pastor Katolik dan berusaha menginjili orang Ceylon supaya beralih agama menjadi Protestan. Sekolah-sekolah didirikan, Alkitab diterjemahkan dan pendeta-pendeta Protestan diutus ke Ceylon (Ruck 1997, 268-269).
            Menyangkut soal kasta di Ceylon, kedatangan orang Eropa sebetulnya memungkinkan tersedianya kesempatan bagi beberapa kelompok untuk bangkit dari status sosialnya. Namun ini tidak dapat dilakukan secara terang-terangan. Jika satu kelompok lebih tinggi akan menimbulkan dampak langsung dengan kelompok lain dan bisa menimbulkan pertikaian darah. Maka, untuk menjaga perdamaian, VOC mengeluarkan peraturan untuk anggota kasta yang berbeda supaya dihargai haknya. Peran kekristenan melalui VOC di sini sebenarnya membuka peluang bagi kasta tertentu untuk meningkatkan status mereka dalam jangka panjang (Goor 1978, 10).
            Meskipun terdapat perbedaan status sosial per kelompok masyarakat, terdapat juga karakteristik yang sama, yaitu bahwa hampir semua orang Ceylon tinggal di desa dan memperoleh penghidupan dari pertanian. Pembayaran pun untuk sebagian besar orang Ceylon dilakukan melalui barang atau hasil bumi. Dan di banyak tempat, jika terdapat sebuah kuil Hindu, maka akan ditemukan di sebelahnya juga kuil untuk orang Buddhis (Goor 1978, 11). Di sini tampak sikap Belanda untuk urusan agama dan gereja, berbeda dengan Portugis. Penghancuran sistematis kuil, yang dilakukan oleh Portugis, diakhiri oleh pemerintah Belanda. Pada masa Belanda ada candi-candi dan tempat kegiatan keagamaan lainnya yang dibiarkan saja (Goor 1978, 32).
            Dalam hal kebijakan resminya, keseluruhan hubungan dengan penduduk lokal, harus setiap saat diawasi secara hati-hati dengan mementingkan keadilan. Mereka jangan sampai dibuat bingung dengan segala macam hal baru karena selalu ada kemungkinan bahwa setiap perubahan dalam praktik tertentu dapat dengan mudah menimbulkan pemberontakan (Goor 1978, 31).
             Kemudian selama masa Belanda, telah banyak orang Hindu dan Buddha yang telah dibaptis menjadi Kristen Protestan. Akan tetapi ada sikap dari mereka yang telah dibaptis, ternyata setelah menghadiri kebaktian gereja, mereka kembali ke ibadah tradisional. Meskipun agama Kristen dianggap oleh diri mereka sebagai nilai tertinggi dalam pencapaian keselamatan, namun mereka tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa tujuan agama yang sama dapat diupayakan dengan cara agama lain. Segala sesuatu yang memberi kontribusi kepada pencapaian pembebasan akhir dianggap sebagai benar. Hal ini sebagai sesuatu yang mungkin untuk Buddha, dan untuk Kristen juga, tanpa meninggalkan imannya salah satu. Intinya menurut mereka, kehadiran upacara keagamaan dari kelompok lain berkontribusi terhadap pencapaian tujuan akhirnya, yang dipandang sebagai moral yang benar (Goor 1978, 32).
            VOC berpandangan bahwa mereka yang telah memeluk agama Protestan seharusnya tidak dibolehkan mengikuti kegiatan atau praktik keagamaan mereka sebelumnya. Untuk mengatasi hal ini dilakukanlah beberapa hal, antara lain pembentukan sekolah-sekolah bagi orang Kristen. Di sini sebetulnya kegiatan Belanda seperti pembentukan sekolah, adalah kelanjutan dari kegiatan yang telah dimulai oleh Portugis (Goor 1978, 37).
            Sikap dan kebijakan pemerintahan Belanda dipaksa oleh tekanan situasi untuk memilih pendekatan moderat terhadap penduduk pribumi. Dengan kata lain sikap mereka ternyata tidak selalu dimotivasi oleh toleransi yang benar, pertimbangan politik dan komersial juga menjadi alasan penting (Goor 1978, 37).
            Pada tahun 1796, Inggris merebut daerah pesisir Ceylon, sehingga seluruh pulau Ceylon dikuasai Inggris. Pada masa itu, pendeta-pendeta Belanda diganti oleh pendeta-pendeta Anglikan.  Kemudian pada tahun 1806, hukum-hukum Belanda yang melarang ibadah Katolik Roma dihapuskan. Akibatnya sekitar 85.000 orang Protestan beralih agama menjadi Katolik (Ruck 1997, 270).
            Pada tahun 1948 Ceylon dinyatakan merdeka, sebagai anggota Persemakmuran Inggris. Dan pada tahun 1972, Ceylon mengganti namanya menjadi Republik Sri Lanka, dengan undang-undang dasar baru. Agama Buddha lalu dinyatakan sebagai agama utama, tetapi pasal 10 Undang-Undang Dasarnya menjamin kebebasan berpikir, kebebasan nurani dan kebebasan beragama, termasuk kebebasan untuk menganut agama menurut pilihan sendiri dan untuk beralih ke agama lain menurut pilihan sendiri. Meskipun kebebasan beragama dijamin oleh undang-undang dasar negara, namun penduduk mayoritas, etnis Sinhala yang beragama Buddha, ternyata semakin agresif. Pada tahun 1956 bahasa Sinhala dinyatakan sebagai bahasa nasional. Pada tahun 1960, pendidikan dinasionalisasikan sehingga sekolah-sekolah misi Kristen diambil alih oleh pemerintah. Rumah-rumah sakit misi dan yayasan medis misi diambil alih oleh pemerintah, lalu pada tahun 1967 kalender resmi diubah sehingga satu minggu terdiri dari sepuluh hari, dan “akhir poya” setiap sepuluh hari mengganti hari Minggu sebagai hari libur. Akibatnya, kebaktian gereja pada hari Minggu sulit dijalankan. Akan tetapi, perubahan tersebut ternyata tidak praktis, terutama di bidang perhubungan luar negeri, sehingga pada tahun 1971, mereka kembali ke sistem kalender yang berlaku umum (Ruck 1997, 270).
            Saat-saat ketika Ceylon dinyatakan merdeka, ternyata membuat posisi orang Kristen menjadi sulit. Keadaan ekonomi orang Kristen semakin lemah sehingga banyak orang Kristen pergi mengadu nasib ke luar negeri. Kemudian umat Kristen juga harus menjawab tuduhan sebagai agama asing yang berkaitan erat dengan imperialisme, yang tentu sangat berbeda dengan agama Buddha yang lebih erat berkaitan dengan nasionalisme (Ruck 1997, 269). Maka, untuk menjawab tuduhan tersebut, beberapa teolog Sri Lanka berusaha mengembangkan adaptasi dan kontekstualisasi. Beberapa teolog tersebut ialah Aloysius Pieris, Tissa Balasuriya, dan Wesley Ariarajah.

Aloysius Pieris
Aloysius Pieris lahir di Ampitiya, Sri Lanka, pada tahun 1934. Ia masuk Serikat Yesus pada umur 19 tahun dan ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1965. Ia menyelesaikan lisensiat filsafatnya di Kolese Hati Kudus, Shembaganur, India, pada tahun 1959. Karena dibesarkan dalam suatu daerah mayoritas masyarakatnya memeluk agama Buddha, Pieris segera menyadari bahwa, untuk dapat bekerja secara efektif sebagai imam di tanah airnya sendiri, ia harus belajar agama Buddha (Rubianto 1996, 20-21),  sehingga ia mempunyai hubungan dialog dan pengalaman yang erat dengan kaum Buddhis. Ia berhubungan dengan agama lain dalam rangka menceburkan diri dalam perjuangannya untuk pembebasan orang-orang miskin (Amaladoss 2001, 191). Fokus teologinya ialah mengembangkan Teologi Pembebasan bergaya Asia yang memperhitungkan kemiskinan Asia.
            Agama Buddha melihat penyebab kemiskinan adalah hasrat keinginan untuk mempunyai barang-barang jasmani dan hasrat keinginan ini mendorong orang untuk memeras dan memelaratkan orang lain. Maka dari itu, hasrat keinginan itu dilawan dengan pilihan untuk hidup miskin, dengan meninggalkan baik keinginan untuk memiliki maupun kenyataan memiliki barang-barang jasmani. Menurut Pieris, memilih hidup miskin demi kepentingan kaum miskin ialah suatu perjuangan yang mendatangkan pembebasan setiap orang dari kemiskinan yang dikarenakan struktur-struktur ekonomi dan politik yang tak adil. Pieris melihat dalam suri teladan Yesus, ada pilihan seperti itu. Dalam perjuangan yang terus menerus di dunia antara Allah dan Mamon, Yesus memilih menjadi miskin sejak waktu kelahiran-Nya juga (Amaladoss 2001, 192). Dalam diri Yesus, ada Allah yang bersama dengan kaum miskin demi pembebasan mereka (Amaladoss 2001, 194). Dengan Buddhologi, Kristologi tidak dalam upaya untuk menjadi saingan, melainkan melengkapinya. Orang-orang Kristen menyatukan diri dengan para penganut Buddhisme untuk menarik diri dari dunia karena gnosis (menjalani hidup miskin dengan sukarela)[YS2] , dan para penganut Buddhisme bersatu padu dengan orang-orang Kristen untuk terjun ke dalam dunia karena cinta kasih untuk melakukan perlawanan terhadap kemiskinan yang dipaksakan (R. Sugirtharajah 1996, 102)
            Dalam teologi pembebasannya, Pieris menganjurkan orang Kristen agar memberi diri mereka untuk melayani orang miskin. Dia menggabungkan konsep anatta atau penolakan diri yang terdapat dalam agama Buddha dengan dengan konsep pengabdian Kristen. Ia menegaskan bahwa dasar tugas dan panggilan umat Kristen di Sri Lanka adalah menjadi satu dengan orang miskin. (Ruck 1997, 272)

S. Wesley Ariarajah
            Sebagian besar gereja-gereja di Asia adalah produk dari misi Barat yang datang selama periode kolonial. Ariarajah, seorang pendeta Metodis dari Sri Lanka sekaligus sebagai Direktur pada sub unit Dialog Dewan Gereja-gereja se-Dunia, mengatakan ada dua hal sebagai konsekuensi dari gereja Asia yang sebagai produk barat. Pertama, kebanyakan orang Kristen menarik diri keluar dari hubungannya dengan komunitas agama lain di Asia, yang mengakibatkan keterasingan psikologis antara komunitas Kristen dan komunitas agama tetangganya. Kedua, orang-orang Kristen Asia dibesarkan dalam tradisi teologis yang melihat agama lain sebagai kafir, atau sebagai sekelompok orang yang sedang berada dalam kegelapan dan sesat, yang membutuhkan terang Injil. (Conway 2008, 129-130)
            Menurut Ariarajah, hubungan dengan agama lain itu perlu. Dengan demikian mengatasi konflik di Sri Lanka, peran Buddhisme harus turut diikutsertakan dalam kita berteologi. Selain karena adanya konflik, membangun dialog dan hubungan antara orang Kristen dengan orang-orang dari tradisi agama lain menuntut pula dimensi sosio-politik dan ekonomi dari berbagai situasi (Conway 2008, 131)
            Mengenai hubungan antar umat beragama, menurut Ariarajah, gereja-gereja di  Barat akan jauh lebih mudah melakukannya. Namun jika situasi gereja-gereja di Asia yang sebagai minoritas, umat Kristen akan lebih fokus dalam mempertahankan identitas. Mereka takut akan terjadinya penyerapan dan asimilasi sehingga dialog hampir-hampir tidak terpikirkan (Conway 2008, 131)
            Ariarajah kemudian menawarkan ekumenisme yang meluas yakni ekumenisme dari tradisi agama-agama lain, yang berjalan sejajar dengan ekumenisme Kristiani, yang terikat pada nasib bangsa Kristen di Asia. Oleh  karena, selama ini hubungan antar agama nampaknya belum pada tahap ekumenisme Asia. Gerakan ekumenis Asia hanya menonjol pada saat kawasan Asia sedang berada dalam kekacauan sosial dan politik (Conway 2008, 131)

Tissa Balasuriya
            Tissa Balasuriya meraih gelar kesarjanaan di bidang ekonomi pertanian dari Universitas Oxford dan dalam teologi dari Universitas Gregorian di Roma dan Universitas Paris. Ia juga presiden dari Aquinas Universitas College di Sri Lanka dan presiden Centre for Society and Religion. Ia juga banyak melahirkan tulisan-tulisan yang diterbitkan di Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Spanyol dan Sri Lanka.
            Menurut Balasuriya, teologi tradisional Barat, yang sedikit banyaknya dianggap universal itu, sangat banyak ditentukan oleh para adikuasa dan kelompok-kelompok yang berkuasa. Orang-orang Eropa dan kemudian orang-orang Amerika Utara, orang-orang yang berorientasi pada kapitalisme, orang-orang dewasa, pria dewasa, kelompok-kelompok klerus menetapkan cara-cara, batas-batas dan penerapan teologi. Mereka membaca Alkitab dan sejarah umat manusia sejalan dengan kebutuhan mereka. Kebanyakan masalah yang diperhatikan para teolog Barat selama berabad-abad itu tidak menyangkut kepentingan orang-orang di Dunia Ketiga, malah ada yang merugikan mereka.
            Berdasarkan itu, Balasuriya mencoba mengembangkan kerangka umum dari suatu teologi universal yang sungguh-sungguh mencakupi elemen-elemen dasar dari kondisi manusia dan situasi dunia seluruhnya. Teologi demikian akan mengakui implikasi-implikasi global dari banyak masalah-masalah lokal atau regional kita. Maka di dalam teologi siarahnya, ia  mengemukakan masalah ekonomi, diskriminasi dalam konteks Asia, dominasi budaya dalam Asia, pembaruan liturgi, nilai-nilai agama non Kristen yang turut dipertimbangkan. Intinya, ia menawarkan teologi revolusioner yang menuju ke arah tatanan dunia baru. (Balasuriya 2004)  Selain berteologi di khazanah berpikir, Pastor Tissa Balasuriya di Sri Lanka juga pernah aktif bekerja sama dengan para demonstran dari kalangan bawah, dalam rangka menarik perhatian pemerintah pada pemerasan perusahaan multinasional (Ruck 1997, 272)
Bangladesh
Bangladesh merupakan negara yang merdeka tahun 1971 (sebelumnya adalah Pakistan Timur) dan menjadi salah satu negara merdeka termuda di dunia[YS3] . Negara Bangladesh menghadap Teluk Benggala dan hampir seluruhya dikelilingi tiga sisi lain dengan 1.500 mil dari perbatasan dengan India. Di bagian tenggara membagi 120 mil dari perbatasan Burma. Bangladesh pada sekitar tahun 1970 memiliki 75 juta warga dan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 3 persen. Bangladesh menjadi salah satu negara terpadat di dunia (Hoke 1975, 73). Pada tahun 2010 penduduknya menjadi hampir 150 juta.
Daerah utama Bangladesh merupakan daratan endapan yang terbentuk dari cabang dan anak sungai dari lima aliran sungai, termasuk Gangga, Brahmaputra, dan sungai Meghna, sebagian besar lahan kurang dari lima puluh meter di atas permukaan laut. Bangladesh merupakan negara yang memiliki curah hujan tertinggi hingga 250 inci pertahun yang seringkali menyebabkan hujan (Hoke 1975, 74).
Masyarakat Bangladesh sebagian besar adalah penduduk desa, hanya ada 5 persen penduduk kota dari keseluruhan penduduk. Sekitar 23 persen dari jumlah penduduk masih mengalami buta huruf (Hoke 1975, 74). Sekitar tahun 1990 90 persen dari 112.000.000 orang hidup di desa-desa dengan laki-laki bekerja di ladang sementara perempuan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Sektor pertanian dan perkebunan menjadi sektor terbesar negara ini. Bangladesh memproduksi 40.000.000 kilogram teh dari 151 kebun teh. Sementara beberapa industri seperti tekstil, gula, energi mulai berkembang di Bangladesh. (Athyal 1996, 346-347)
Bahasa resmi yang digunakan di negara ini adalah bahasa Bengali. Terdapat beberapa agama di Bangladesh antara lain Islam (85 persen), Hindu (10 juta), Buddha (370.000), Kristen (245.000), dan animisme (Hoke 1975, 74)
            Awal mula masuknya kekristenan di Bangladesh pada tahun 1576 oleh para misionaris Yesuit yang memasuki wilayah India dari Bengal setelah eksplorasi Portugis. Pada tahun 1793 William Carey datang ke India dan mendirikan badan misi bernama Baptist Missionary Society tahun 1795 di Dinajpur. Tahun 1816 dibuka pusat BMS di Bangladesh. Peran terbesar Carey selama di Bangladesh adalah menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bengali. Lebih dari 180 tahun BMS bekerja di Bangladesh dan menjadi salah satu gereja tersebar saat itu. Kehadiran Carey dan BMS diikuti oleh beberapa badan misi seperti The Ausralian Baptist Missionary Society ( 1882), New Zealand Baptists (1886), English Presbyterians (1862), Oxford Mission (1895), (Athyal 1996, 348-349)
      Badan misi Lutheran mulai masuk dan berperan dalam perkembangan kekristenan di Bangladesh pada akhir abad ke-19. Kedatangan mereka menghadirkan gereja-gereja. Pada awal abad ke-20 misionaris Amerika dari Gereja Pentakosta dan non-Pentakosta memulai pelayanannya. Dua gereja besar di Bangladesh tidak berhubungan dengan misi luar negeri yaitu Evangelical Christian Church di Chittagong Hills Tracts, dan “All One in Christ” Fellowship  (Athyal 1996, 349).
      Pada tahun 1971, The Cooch Behar Service (CBRS), menjadi pelopor Rangpur Dinajpur Rehabilitation Service (RDRS) Bangladesh yang dimulai oleh misionaris Norwegia, Dr. Olav Honde. Tahun 1972 RDRS Bangladesh didirikan sebagai Bangladesh Field Programme of the Geneva – based Lutheran World Federation/ Department  for World Service Founder Direction dengan tujuan untuk meningkatkan kehidupan orang-orang miskin,  orang-orang pribumi, cacat, dan orang-orang termarjinalkan termasuk perempuan di Bangladesh. RDRS sejak tahun 1971- 2008 mendirikan berbagai organisasi, dan membentuk program-program yang bertujuan memberikan perhatian pada isu sosial, ekonomi, kesehatan, lingkungan, pendidikan dan lain sebagainya. Beberapa program penting RDRS di tahun 2008 adalah  program mikrofinansial, memberdayakan perempuan, pendidikan dan pelatihan, kesehatan komunitas, pertanian, dan sebagainya (RDRS Bangladesh 2008).  

Kesimpulan dan Refleksi
            Kekristenan di India, Sri Lanka dan Bangladesh menghadapi tantangan dengan hubungan budaya setempat, terutama posisinya sebagai minoritas. Adaptasi dan upaya kontekstualisasi adalah sebuah strategi untuk kehadiran Kristen, setelah masa kolonial. Dengan demikian, dalam corak teologi-teologinya selalu ada unsur-unsur di Barat yang dominan, yang ingin disingkirkan. Atau ada upaya perumusan teologi dan praktiknya yang tarik menarik antara tradisi lokal dengan warisan Barat, yang supaya bekerja lebih kuat ke Asia.[YS4] 
            Strategi kehadiran kekristenan dengan adaptasi dan kontekstualisasi, ialah juga untuk menentang stigma yang beredar di kalangan luar. Bagi kalangan tersebut, kekristenan ialah produk dari Barat, padahal secara historis tidak seluruhnya kekristenan merupakan hasil ekspansi kekristenan di Barat. Namun dengan demikian, teologi lokal atau kontekstual dituntut perlu ada. Maka, dengan teolog-teolog Asia yang berupaya menghasilkan produk teologinya yang khas Asia, menunjukkan bahwa kekristenan di Asia telah berkembang, dinamis dan tidak statis.
            Kesamaan Indonesia dengan India, Sri Lanka dan Bangladesh ialah mereka didesak untuk menyampaikan makna kehadiran teologi dan gerejanya di tengah-tengah situasi: sebagai negara bekas jajahan, [YS5] sebagai minoritas, dan sebagai yang hadir di tengah-tengah keragaman budaya. Di berbagai situasi itu, para teolog di Indonesia perlu mencari cara dalam mengembangkan teologinya.  Teologi kontekstual dimungkinkan dapat menjadi salah satu cara untuk gereja di Indonesia dalam mengembangkan dirinya. Dalam proses berteologi kontekstual, diharapkan dapat memberikan wawasan perubahan, pengaruh dan menindaklanjuti berbagai pergumulan yang telah terjadi.

Daftar Pustaka
Amaladoss, Michael. Teologi Pembebasan Asia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Athyal, Saphir. Church In Asia Today. Singapore: Asia Lausanne Committee For World Evangelization, 1996.
Balasuriya, Tissa. Teologi Siarah. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2004.
Conway, Martin & Novel Davies. World Christianity in the 20th Century. London: SCM Press, 2008.
Goor, J. van. Jan Kompenie as Schoolmaster: Dutch Education in Ceylon 1690-1795. Groningen: Wolters-Noordhoff, 1978.
Hoke, Donald E. The Church in Asia. Chicago: Moody Press, 1975.
Neill, Stephen, A History of Christianity in India, 1709-1858, New York: Cambridge University Press,         1985.  
Rajkumar, Peniel. Dalit Theology and Dalit Liberation, England & USA: Ashgate Publishing Limited,
2010.
Rubianto, Vitus. Paradigma Asia. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Ruck, Anne. Sejarah Gereja Asia. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1997.
Sugirtharajah, R.S. Wajah Yesus di Asia. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1996.
Yewangoe, A. A. Theologia Crucis di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

Artikel
RDRS Bangladesh, Annual Report 2008.  



 [YS1]Kekristenan bukan hanya soal ajaran saja. Kekristenan sebagaimana yang diperkenalkan dan kemudian dihayati di Asia mencakup berbagai aspek: ibadah, ajaran, gaya hidup, nilai-nilai, dan lain sebagainya.
 [YS2]Apakah ini kutipan? Apakah betul gnosis = asketisme?
 [YS3]Di tahun 1975, memang inilah negara merdeka termuda.
 [YS4]Maksudnya?
 [YS5]Mengapa hal status ‘bekas jajahan’ menjadi penting?

Ada sudut pandang yang lain yang dapat dipergunakan: negara(-negara) baru yang lahir pada zaman modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar