Misi, Gereja dan Teologi di India, Srilanka dan Bangladesh
Pendahuluan
Misi, gereja
dan teologi di India, Sri Lanka dan Bangladesh akan dibahas oleh kelompok pada
kesempatan kali ini. Kita bersama-sama akan melihat bagaimana kekristenan
dihadirkan dalam rangka misi penyebaran ajaran [YS1] agama
Kristen. Kemudian bagaimana akhirnya cara orang Kristen, terutama dalam
berteologi, untuk mempertahankan dirinya
dengan adanya budaya setempat yang
menjadi tantangan mereka. Setelah era kolonial, apakah mereka cenderung
membentengi diri atau berupaya bernegoisasi dengan tantangan yang ada?
Misi Katolik Roma bersama Portugis di India sejak abad ke-16 sampai dengan abad ke-18
Sejak medio abad ke-20 India merupakan salah
satu negara merdeka terbesar di dunia. (Hoke
1975, 217). India memiliki struktur geografis yang terbagi atas empat
wilayah yaitu wilayah gunung Himalaya yang membatasi Nepal, China, dan Pakistan
di utara; pusat daratan Indo-Gangga; daratan tinggi Deccan di selatan; dan
pesisir.
Di akhir abad ke-17 jumlah penduduk diperkirakan lebih dari 500 juta. Sejak
tahun 1859 jumlah penduduk India meningkat drastis hingga tahun 1920 mencapai
angka yang mengejutkan. Tingkat pertumbuhan mencapai 2,6 persen pertahun. (Hoke 1975, 233-234) Sebagian besar penduduk
India merupakan tinggal di pedesaan. Lebih dari 70 persen terlibat di
pertanian. (Hoke 1975, 235).
India memiliki keanekaragaman
bahasa dan agama. Tak kurang dari 720 bahasa dan dialek yang diucapkan di
India.Namun dari keseluruhan jumlah bahasa tersebut, hanya ada 14 bahasa utama saja yang diakui sebagai
bahasa nasional di India. (Hoke 1975, 236)
Sementara itu, ada beberapa agama yang diakui di India. Dari seratus orang di
India, delapan puluh tiga persen adalah Hindu, sebelas persen adalah Muslim,
dua persen adalah Sikh, dan antara dua sampai tiga persen adalah Kristen, baik
Katolik Roma maupun Kristen Protestan, Buddhisme dan Jainisme mengklaim kurang
dari satu persen, dan sisanya adalah agama-agama suku (Hoke 1975, 238).
Pada abad ke-16, pekabaran iman Katolik di
India dibungkus oleh pelayanan yang memakai sistem “padroado” (bahasa
Portugis), artinya pelindung atau penyokong. Dalam sistem ini raja menjadi
sponsor gereja. Raja memiliki wewenang untuk mengangkat uskup, mengutus
misionaris serta mengurus organisasi gereja di daerah masing-masing. Sebagai
orang Katolik yang saleh, raja dan ratu Spanyol dan Portugal diberikan tugas
oleh Paus Alexander VI untuk mengabarkan iman Katolik dengan sistem padroado
(Ruck 1997, 96).
Pembaptisan massal terjadi ketika
orang Portugis membangun benteng Goa, tepatnya di pantai barat India. Lalu pada
tahun 1536 penduduk Parava, desa nelayan di sebelah selatan Goa, meminta
perlindungan tentara Portugis melawan suku-suku tetangga yang beragama Islam.
Tentara Portugis pun menghancurkan musuh-musuh Parava dengan imbalan pembaptisan
massal orang-orang Parava. Persiapan baptisan, berupa katekisasi hampir tidak
ada; pengajaran dan pembinaan lanjutan juga sangat minim. Fransiskus Xaverius diutus
ke India pada tahun 1541 sebagai tanggapan
terhadap permohonan raja Portugal. Ia berangkat sebagai wakil raja dan diangkat
menjadi wakil diplomatik dari Paus. Xaverius memakai metode yang sederhana,
namun cocok bagi orang desa. Keberhasilannya ini disebabkan oleh kasih
sayangnya kepada penduduk setempat. Ia selalu membela penduduk setempat kalau
ditindas oleh orang Portugis (Ruck 1997, 96-97).
Xaverius
mempelajari bahasa yang bersifat elementer. Lalu dengan bantuan juru bahasa ia menerjemahkan
empat pernyataan pokok iman Katolik, yakni Doa Bapa Kami, Pengakuan Rasuli,
Kesepuluh Hukum, serta Salam Maria. Di setiap kampung Xaverius mengumpulkan dan
mengajar anak-anak tentang keempat pokok iman Katolik itu, hingga mereka
menghafalkannya dengan sempurna. Anak-anak ini kemudian ditugaskan untuk
mengajar orangtua mereka. Ketika seluruh keluarga sudah menghafal pokok-pokok
iman Katolik, barulah mereka dibaptis. Selama sepuluh tahun pelayanan Xaverius,
ia telah membaptis 700.000 orang. Dengan metode pengajaran yang dipakai oleh
Xaverius, pendidikan kaum mudah mendapat perhatian; salah satu buktinya tampak
dalam pembangunan sekolah di Goa. Xaverius menaruh belas kasihan kepada
orang-orang Parava, namun demikian aspek politis dari sistem padroado masih
tetap berlaku. Ia mendorong anak-anak untuk menghancurkan patung-patung tanah liat yang dibuat orangtua
mereka, oleh karena menurut Xaverius Tuhan Allah membenci dan tidak berkenan
kepada allah-allah lain. (Ruck 1997,
98).
Pada tahun 1605 Roberto De Nobili
(1577-1656) tiba di Madurai, India Selatan, pusat kebudayaan bangsa Tamil.
Menurutnya, ada dua masalah yang merupakan rintangan berat bagi pekabaran Injil
di India. Pertama, orang India menganggap hina kehidupan kasar pelaut-pelaut
Portugis. Kedua, para pekabar Injil menolak sistem kasta, yang telah melekat
dalam kebudayaan India, yang menyebabkan orang yang beralih agama Kristen
berasal dari kasta yang paling rendah. Karenanya, kekristenan dipandang rendah
sebagai agama orang miskin. De Nobili bermaksud mendekati orang-orang terkemuka
dengan cara menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Ia mengenakan jubah
kuning seperti orang Hindu yang saleh, dengan ikat tali seperti yang dipakai
oleh kasta-kasta tinggi, ditambah tanda salib. Ia juga mengikuti pola makan
orang Hindu, dan sekali-kali ia mengundang orang-orang dari kasta Brahmana
makan di rumahnya. De Nobili juga belajar bahasa setempat, dan membangun
gedung gereja yang dikhususkan bagi orang-orang Brahmana. Meskipun ada
pertentangan terhadap metode yang digunakan oleh De Nobili, namun Paus
mendukung metode yang dipakai De Nobili. Pada tahun 1643 Serikat Yesus
melaporkan bahwa selama 37 tahun ada 600 orang dari kasta atas (termasuk kalangan
Brahmana) yang telah dibaptis, meskipun pada tahun 1645 dilaporkan hanya 26
orang Brahmana yang tetap setia kepada iman Kristen. Usaha Ordo Yesuit untuk
menyesuaikan diri dengan budaya setempat, diklaim sebagai usaha menjalankan
praktik-praktik sinkretis, termasuk ikat-tali sebagai tanda kasta atas. Dalam
kondisi demikian, orang Yesuit masih terus mencari metode kontekstualisasi agar
bisa menyampaikan iman Kristen dalam bentuk yang berarti bagi orang India.
Buku-buku Katolik ditulis dalam tujuh bahasa India. Usaha indianisasi gereja
berhasil dalam hal penahbisan klerus, tetapi tidak sampai pada tingkat pimpinan
gereja. Pada tahun 1705 ada 2.500 imam berkebangsaan India di Goa. (Ruck 1997,
111-114).
Misi Protestan bersama Pedagang dan Kolonialis Denmark
dan Inggris
Denmark berada di Tranquebar sejak
tahun 1620. Pada tanggal 09 Juli 1706 Bartholomew Ziegenbalg dan Henry Plütschau
merupakan misionaris Protestan pertama yang datang ke India, yakni di Tranquebar
di pantai Coromandel sekitar 150 km sebelah selatan Madras. Ketika para
misionaris tiba di Tranquebar,
tidak ada panitia khusus yang menyambut mereka. Tak seorang pun yang
menginginkan kedatangan mereka, bahkan banyak orang yang telah siap memberikan
ekspresi ketidaksenangan mereka. Ada dua gereja di Tranquebar, yakni gereja
Zion yang dibangun pada tahun 1701 oleh upaya penduduk Denmark untuk mereka
gunakan sendiri, dan gereja Katolik Roma (Neill 1985, 28-29)
Ziegenbalg adalah orang yang berbakat,
bersikap intens, sabar dan berdedikasi penuh dengan pekerjaan yang ia laksanakan.
Sepanjang karir misionarisnya ia harus berhadapan dengan kesulitan yang tak berujung. Kesulitan itu malah membuatnya lebih
bersemangat dan bertanggungjawab. Ia menekankan pentingnya pengetahuan akan
bahasa lokal. Ia menyadari perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tertulis
(Neill 1985, 30-31).
Pada abad ke-19 perusahaan
perdagangan Inggris, East India Company, memanfaatkan
pertikaian antara raja-raja India. EIC bersekutu dengan sebagian raja-raja
untuk berperang melawan raja-raja lain. Seorang prajurit India (Sepoy)
dipekerjakan sebagai tentara Inggris. Berbeda dari raja-raja Portugal, perusahaan
Inggris, EIC, samasekali tidak berhasrat mengabarkan Injil. Tujuan mereka
satu-satunya adalah memperoleh kekayaan. Oleh karena itu, para pendeta yang
diutus ke India hanya ditugaskan untuk melayani orang Eropa. EIC dengan tegas
melarang penginjilan terhadap orang India, karena takut orang-orang India
terganggu, sehingga merusak perdagangan mereka. Namun demikian, golongan
Kristen Evangelikal memberi tekanan pada EIC melalui parlemen di Inggris,
sehingga badan ini terpaksa membuka beberapa kelonggaran. Setelah tampuk
pimpinan pemerintahan diambil-alih di India pada tahun 1858, pemerintah Inggris
bersikap netral dan toleran terhadap semua agama. Meskipun tidak diutus oleh
pemerintah penjajah, ada ratusan pekabar Injil berbondong-bondong datang ke India
pada abad ke-19. Mereka datang ke India bersamaan dengan penjajahan Inggris,
sehingga keduanya dianggap satu oleh bangsa India, (Ruck 1997, 119-120)
William
Carey sekeluarga mengadakan pelayaran ke India pada tahun 1793 sebagai utusan
pertama dari Baptist Missionary Society. EIC
melarang penginjilan, karenanya ia beralih pekerjaan. Ia menjadi pengelola
pabrik nila di pedalaman India, sedangkan istrinya tidak tahan hidup di tempat
tersebut. Istrinya mengalami gangguan jiwa, dan berakibat berat bagi
perkembangan anak-anak mereka. Carey memakai kesempatan hidup terpencil untuk
belajar bahasa Sanskrit dan Bengali. Ada
empat asas penginjilan Carey, yaitu penelitian kebudayaan India, penginjilan
yang seluas-luasnya, penerjemahan Firman Tuhan serta pendirian gereja mandiri
dengan tenaga rohani asli. (Ruck 1997, 121-123)
Pada
tahun 1829 utusan pertama dari Gereja Skotlandia bernama Alexander Duff pergi
ke India. Ia menekankan pendidikan sebagai sarana utama mendekati golongan
tinggi. Sahabat dekatnya yang bernama Ram Mohan Roy membantunya untuk
mendirikan sekolah di Calcutta. Duff mengajarkan konsep-konsep Kristiani dengan
tujuan agar orang-orang Brahmana menjadi Kristen dan melalui mereka Injil
disebarkan kepada masyarakat luas. Roy yang merupakan sahabat Duff melakukan
penelitian terhadap Alkitab dan Al Quran bersama-sama dengan kitab-kitab Hindu,
lalu mengarang sebuah buku yang berjudul The
Precepts of Jesus the Guide to Peace and Happiness. Ia
mendirikan komunitas Brahmo Samaj, yang terdiri dari
orang-orang Hindu berpendidikan Barat, dengan tujuan memperbarui agama Hindu. Roy
menekankan ketergantungan manusia kepada Allah Pencipta yang patut dipuji dan
disembah. (Ruck 1997, 127-128 )
Di
samping usaha Protestan mendidik tenaga-tenaga asli yang sanggup memimpin
gereja, beberapa tokoh Kristen India berusaha mewujudkan kekristenan dalam
konteks kebudayaan India. Ketika gerakan kemerdekaan India terjadi pada tahun
1880-an, orang Kristen asli terdorong untuk memisahkan inti pokok Injil dari
pakaiannya yang terlalu berwarna Barat. Seorang
Sikh bernama Sadhu Sundar Singh pernah mengikuti sekolah teologi Anglikan. Setelah
delapan bulan belajar ia keluar dari sekolah tersebut karena merasa
pendidikannya terlalu berbau Barat. Ia menyendiri dalam
pengembaraan dan memakai jubah kuning seperti para “sadhu”, yaitu orang suci
Hindu. Dengan kehidupan yang sederhana dan kesalehan ia mengabarkan Injil di
desa-desa dan merenungkan Firman Tuhan. Pola ini sangat berkesan bagi banyak
orang, (Ruck 1997, 132-133). Kemudian
Sundar Singh ‘menghilang’, tidak diketahui di mana makamnya.
Teolog-teolog modern yang Berperan di India
Berdasarkan
situasi masyarakat di India seperti penekanan pada kasta, relasi dengan agama
lain, beberapa teolog berupaya mengembangkan teologi yang kontekstual sebagai
bentuk tanggapan iman Kristen terhadap situasi di India. Beberapa teolog tersebut, dapat
kita lihat di bawah ini.
1.
Mamen Madathilparampil Thomas lahir 15 Mei 1916 di Kerala,
India. Ia memperoleh pendidikan Universitas Madras dan di New
York, Amerika Serikat. Ia memberikan perhatian dan berperan aktif dalam gerakan
oikumene di India terkhusus mengenai mengenai masalah sosial dan gereja (Yewangoe 1996, 99). Pemikiran Thomas
memberikan pengaruh yang besar dalam perkembangan teologi di India. Pemikiran
khas Thomas adalah tentang memanusiakan masyarakat. Pemikiran ini berangkat
dari konsep Kristen tentang manusia yang dipandang dan dikasihi Tuhan secara
individual. Konsep
ini seharusnya mendasari manusia untuk turut mengasihi sesama secara pribadi juga.
Salah satu karya tulisan Thomas adalah The
Christian Response to the Asian Revolution. (Ruck
1997, 262-263)
2.
Paul David Devanan dan adalah
seorang pendeta Gereja India Selatan yang lahir pada 1901 dan meninggal 1962.
Ia belajar ilmu sastra di Madras dan belajar agama Hindu di Universitas Yale di
Amerika Serikat. Pemikiran utama yang khas dari Devanandan adalah tentang
dialog antar agama, khususnya tentang keterbukaan orang Kristen untuk agama
lain. Menurutnya orang Kristen bukan hanya berada dalam komunitas masyarakat
Kristen, namun perlu memperluas komunikasi dan hubungan dengan agama lain.
Salah satu keterlibatan konkret yang ia lakukan adalah dengan mendirikan
Institut Penelitian Agama dan Masyarakat di Bangalore dan berperan sebagai
tokoh Kristen India di Dewan Gereja-gereja
se-Dunia dengan tujuan untuk mengembangkan dialog antar agama. Perhatian dan
usahanya terhadap dialog antar agama ini menjadikan dialog agama sebagai tema
utama teologi India (Ruck 1997, 263).
3.
Stanley
Samartha adalah seorang teolog yang menjadi direktur pertama
Program Dialog Dewan Gereja-gereja se-Dunia. Ia merupakan salah seorang teolog
yang menolak eksklusivisme dalam agama. Pandangannya tentang keselamatan
dipahami oleh agama-agama dengan cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu baginya
jalan keselamatan Kristen merupakan salah satu jalan dari beberapa jalan yang
patut diakui. Ia merupakan teolog yang memiliki pandangan tentang konsep
misteri sebagai pusat transenden yang menjadi inti segala ibadah dan pencarian
rohani (Ruck 1997, 264).
4.
Vengal
Chakkarai lahir 17 Januari 1880 di Madras. Ia hidup dan dibesarkan
dalam tradisi Hindu. Ia menyelesaikan studinya di sekolah Kristen dan mendapat
gelar di bidang filsafat. Tahun
1903 ia dibaptis di Madras Christian College. Ia bergabung dalam kelompok “Pemikiran
Ulang Misi di India” bersama P. Chenchiah. Pemikiran teologi Chakkarai yang
khas adalah mengenai teologi salib. Inti
pemikirannya hendak mendorong orang percaya untuk memaknai salib yang membawa kepada moksha yaitu
kelepasan, kemerdekaan, dan keselamatan. Salah
satu hasil karya Chakkarai adalah buku
Jesus the Avatar dan buku Jesus’
Cross and Indian Thought. Kedua buku ini membahas tentang bagaimana Yesus
berinkarnasi, menderita dan berkorban melalui salib di dunia (Yewangoe 1996, 70-71).
5.
Sebastian
Kappen adalah seorang teolog India yang memberikan sumbangan
pemikirannya tentang kekeristenan yang berhubungan dengan marxisme dan praksis
kemasyarakatan. Beberapa karya konkret tertuang dalam beberapa tulisannya,
salah satunya adalah buku Jesus and
Freedom dan buku Marxism and Atheism (Sugirtharajah 1996, 420).
Teologi Dalit
Teologi
Dalit merupakan teologi yang muncul sebagai bentuk keprihatinan teologi Kristen
India dan perjuangan orang-orang Kristen India untuk kemanusiaan (Rajkumar
2010, 25). Dalam konteks India, Dalit berarti ‘patah’, ‘diinjak-injak’,
‘tertindas’. Teologi Dalit adalah refleksi teologis yang timbul dari 125 juta
lebih orang di India yang dipatahkan oleh sistem kasta. Sistem kasta adalah suatu cara untuk
mengorganisasi masyarakat. Kasta biasanya berciri-khaskan suatu pekerjaan
khusus: bertani, menjadi prajurit, berdagang, dan sebagainya. Ada empat
tingkatan hierarki di masyarakat India, yaitu: pertama, Brahmin (Brahmana) yaitu mereka yang berprofesi sebagai imam dan
cendekiawan. Di
bawah mereka adalah kaum Kshatriya,
para satria (prajurit, pejuang) yang memerintah. Di bawah kaum ini, ada kaum Vaisya, para pedagang. Kelompok terakhir
adalah kaum Shudra, para pelayan,
pekerja dan petani (Amaladoss 2001, 40-41).
Kaum
Dalit adalah kaum yang benar-benar tertindas dan patah. Mereka adalah orang-orang
yang berada di luar batas masyarakat yang diorganisasi menurut empat varna di atas. Mereka tak boleh
disentuh. Secara ekonomi, mereka miskin. Mereka seringkali menjadi pekerja
sewaan yang dibayar dengan tidak adil oleh para tuan tanah. Lalu secara
politis, mereka tak berdaya. Di desa-desa mereka dikuasai oleh orang-orang kaya
dan berkuasa. Bahkan pada tingkat nasional, dalam masyarakat demokratis
sekalipun, mereka menjadi minoritas 15 persen yang tidak ada artinya. Secara sosial, mereka tersingkir.
Mereka hidup di luar atau di pinggir-pinggir desa. Mereka tidak memiliki
hubungan sosial yang benar-benar sederajat. Fasilitas-fasilitas umum yang ada
dalam masyarakat pun tidak diperuntukkan kepada mereka. Secara keagamaan,
mereka dipandang cemar, khususnya dari segi ritual. Mereka memiliki dewa-dewi
sendiri yang akhirnya menjadi pelayan dewa-dewa yang lebih tinggi dalam
mitologi rakyat. Ini merupakan kebudayaaan diskriminasi dan penindasan, yang diterima
sebagai tatanan sosial yang dipaksakan dengan kekerasan. Kaum
perempuan merupakan kaum yang rentan diperlakukan dan dinista sebagai objek
belaka, tanpa hukuman (Amaladoss 2001, 41-45).
A. P.
Nirmal mengambil syahadat dalam Ulangan 26:5-9 sebagai titik tolak untuk
pengembangan teologi Dalit. Tokoh “orang Aram yang mengembara” yang disebut
dalam syahadat itu menurut Nirmal merupakan gambar visi yang harus dipunyai
orang-orang Dalit mengenai diri mereka sebagai umat. Penderitaan bangsa Israel
mengingatkan ketertindasan kaum Dalit. Kuasa dan kekuatan besar serta
menggemparkan merupakan keperluan kaum Dalit untuk bergolak memperjuangkan
hak-hak mereka. Bagi orang-orang Dalit yang menjadi Kristen, perpindahan mereka
merupakan pengalaman eksodus yang membebaskan. Nirmal kemudian mengembangkan
gagasannya bahwa Allah agama Kristen adalah Allah Dalit. Kaum Dalit adalah
pelayan masyarakat; Allah agama Kristiani adalah Allah yang melayani. Selain
Nirmal, Samuel Rayan juga mengatakan bahwa Yesus yang ditolak oleh bangsa-Nya, bahkan
dihukum mati, merupakan tipe kaum Dalit (Amaladoss 2001, 50-54).
Titik tolak teologi Dalit adalah pengalaman kaum Dalit,
dan pusat perhatiannya tidak hanya pada ketertindasan dan keberpihakan Allah
pada kaum tertindas, tetapi pada persekutuan baru yakni persekutuan yang
memerdekakan, penuh dengan cinta kasih dan keadilan, yaitu umat baru dalam
Pemerintahan Allah yang memanggil semua orang/bangsa untuk masuk ke dalamnya. Dalam
jemaat Kristiani, setiap diskriminasi harus dihapuskan. Secara sosiologis,
meskipun kaum Dalit adalah orang buangan, mereka termasuk dalam suatu tatanan
sosial yang distrukturkan oleh sistem kasta, dan pembebasan kaum Dalit yang
sejati akan seiring dengan pembebasan setiap orang dari sistem kasta. Pada
tingkat sosial, sakramen-sakramen Ekaristi dan pendamaian sebagai kekuatan
inspirasi haruslah diwujudkan oleh gereja. Dalam masyarakat luas, orang-orang
Kristiani mendukung program-program tindakan pemerintah yang positif dalam
bidang ekonomi dan politik, dengan menggalakkan khususnya partisipasi politis
(Amalados 2001, 56-58).
Sri Lanka
Pulau
Ceylon yang merupakan salah satu dari Kepulauan Hindia Timur, menduduki posisi
yang sangat strategis. Pulau ini adalah tonggak penting bagi usaha para
penjajah untuk mengontrol perdagangan Asia. Di wilayah Ceylon dihasilkan
rempah-rempah tertentu yang kualitasnya sangat baik (Goor 1978, 7).
Pada tahun 1990, 74 persen penduduk
Ceylon ialah etnis Sinhala, yang hampir semuanya beragama Buddha, sedangkan
orang Tamil, 18 persen penduduk, beragama Hindu. Sistem kasta berakar kuat di
wilayah Ceylon, baik di antara Sinhala maupun Tamil (Ruck 1997, 268).
Pada abad ke-16, orang Portugis membangun benteng di
Kolombo lalu menguasai daerah pesisir Ceylon. Rahib-rahib Katolik Roma
mengabarkan Injil baik di wilayah kekuasaan Portugis maupun di daerah lebih
luas, di Kerajaan Kandy (Ruck 1997, 268).
Portugis memang bangsa Eropa pertama yang datang ke Asia dalam skala besar.
Sebagai konsekuensinya, pengaruh mereka tentu sangat besar. Bahasa Portugis
misalnya merupakan lingua franca untuk
hampir semua kontak di Asia, antara Eropa dan penduduk pribumi. Pada saat
pembaptisan, nama-nama Portugis juga dipilih oleh etnis
Sinhala. Pengaruh Portugis juga ditandai dengan para kepala desa yang
mendukungnya, yang menimbulkan pengaruh besar terhadap pelaksanaan kebijakan
kolonial mereka (Goor 1978, 14).
Akan
tetapi sejak awal abad ke-17 Portugis mengalami pukulan berat, hingga abad-abad
selanjutnya. Belanda telah mengusir mereka. Pos perdagangan
rempah-rempah milik Portugis di Malaka telah dirampas oleh Belanda. Goa dan
markas mereka juga diblokade selama berbulan-bulan (Goor 1978, 7).
Setelah mengusir Portugis, dari awal
masanya, Belanda telah mengambil langkah-langkah untuk melawan penggunaan
bahasa Portugis dan untuk membendung gelombang pengaruh Katolik (Goor 1978, 14). Belanda mengusir para pastor
Katolik dan berusaha menginjili orang Ceylon supaya beralih agama menjadi
Protestan. Sekolah-sekolah didirikan, Alkitab diterjemahkan dan pendeta-pendeta
Protestan diutus ke Ceylon (Ruck 1997, 268-269).
Menyangkut soal kasta di Ceylon,
kedatangan orang Eropa sebetulnya memungkinkan tersedianya kesempatan bagi
beberapa kelompok untuk bangkit dari status sosialnya. Namun ini tidak dapat
dilakukan secara terang-terangan. Jika satu kelompok lebih tinggi akan
menimbulkan dampak langsung dengan kelompok lain dan bisa menimbulkan
pertikaian darah. Maka, untuk menjaga perdamaian, VOC mengeluarkan peraturan
untuk anggota kasta yang berbeda supaya dihargai haknya. Peran kekristenan
melalui VOC di sini sebenarnya membuka peluang bagi kasta tertentu untuk
meningkatkan status mereka dalam jangka panjang (Goor
1978, 10).
Meskipun terdapat perbedaan status
sosial per kelompok masyarakat, terdapat juga karakteristik yang sama, yaitu bahwa hampir semua orang Ceylon tinggal di desa dan
memperoleh penghidupan dari pertanian. Pembayaran
pun untuk sebagian besar orang Ceylon dilakukan melalui barang atau hasil bumi.
Dan di banyak tempat, jika terdapat sebuah kuil Hindu, maka akan ditemukan di
sebelahnya juga kuil untuk orang Buddhis (Goor
1978, 11). Di sini tampak sikap Belanda untuk urusan agama dan
gereja, berbeda dengan Portugis. Penghancuran sistematis kuil, yang dilakukan
oleh Portugis, diakhiri oleh pemerintah Belanda. Pada masa Belanda ada
candi-candi dan tempat kegiatan keagamaan lainnya yang dibiarkan saja (Goor 1978, 32).
Dalam hal kebijakan resminya,
keseluruhan hubungan dengan penduduk lokal, harus setiap saat diawasi secara
hati-hati dengan mementingkan keadilan. Mereka jangan sampai dibuat bingung
dengan segala macam hal baru karena selalu ada kemungkinan bahwa setiap
perubahan dalam praktik tertentu dapat dengan mudah menimbulkan pemberontakan (Goor 1978, 31).
Kemudian selama masa Belanda, telah banyak
orang Hindu dan Buddha yang telah dibaptis menjadi Kristen Protestan. Akan
tetapi ada sikap dari mereka yang telah dibaptis, ternyata setelah menghadiri
kebaktian gereja, mereka kembali ke ibadah tradisional. Meskipun agama Kristen
dianggap oleh diri mereka sebagai nilai tertinggi dalam pencapaian keselamatan,
namun mereka tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa tujuan agama yang sama
dapat diupayakan dengan cara agama lain. Segala
sesuatu yang memberi kontribusi kepada pencapaian pembebasan akhir dianggap
sebagai benar. Hal ini sebagai sesuatu yang mungkin untuk Buddha, dan untuk
Kristen juga, tanpa meninggalkan imannya salah satu. Intinya menurut mereka,
kehadiran upacara keagamaan dari kelompok lain berkontribusi terhadap
pencapaian tujuan akhirnya, yang dipandang sebagai moral yang benar (Goor 1978, 32).
VOC
berpandangan bahwa mereka yang telah memeluk agama Protestan seharusnya tidak
dibolehkan mengikuti kegiatan atau praktik keagamaan mereka sebelumnya. Untuk
mengatasi hal ini dilakukanlah beberapa hal, antara lain pembentukan
sekolah-sekolah bagi orang Kristen. Di sini sebetulnya kegiatan Belanda seperti
pembentukan sekolah, adalah kelanjutan dari kegiatan yang telah dimulai oleh
Portugis (Goor 1978, 37).
Sikap
dan kebijakan pemerintahan Belanda dipaksa oleh tekanan situasi untuk memilih
pendekatan moderat terhadap penduduk pribumi. Dengan kata lain sikap mereka
ternyata tidak selalu dimotivasi oleh toleransi yang benar, pertimbangan
politik dan komersial juga menjadi alasan penting (Goor 1978, 37).
Pada tahun 1796,
Inggris merebut daerah pesisir Ceylon, sehingga seluruh pulau Ceylon dikuasai
Inggris. Pada masa itu, pendeta-pendeta Belanda diganti oleh pendeta-pendeta
Anglikan. Kemudian pada tahun 1806,
hukum-hukum Belanda yang melarang ibadah Katolik Roma dihapuskan. Akibatnya
sekitar 85.000 orang Protestan beralih agama menjadi Katolik (Ruck 1997, 270).
Pada tahun 1948 Ceylon dinyatakan
merdeka, sebagai anggota Persemakmuran Inggris. Dan pada tahun 1972, Ceylon
mengganti namanya menjadi Republik Sri Lanka, dengan undang-undang dasar baru.
Agama Buddha lalu dinyatakan sebagai agama utama, tetapi pasal 10 Undang-Undang
Dasarnya menjamin kebebasan berpikir, kebebasan nurani dan kebebasan beragama,
termasuk kebebasan untuk menganut agama menurut pilihan sendiri dan untuk
beralih ke agama lain menurut pilihan sendiri. Meskipun kebebasan beragama dijamin oleh
undang-undang dasar negara, namun penduduk mayoritas, etnis Sinhala yang
beragama Buddha, ternyata semakin agresif. Pada tahun 1956 bahasa Sinhala
dinyatakan sebagai bahasa nasional. Pada tahun 1960, pendidikan
dinasionalisasikan sehingga sekolah-sekolah misi Kristen diambil alih oleh
pemerintah. Rumah-rumah sakit misi dan yayasan medis misi diambil alih oleh
pemerintah, lalu pada tahun 1967 kalender resmi diubah sehingga satu minggu
terdiri dari sepuluh hari, dan “akhir poya” setiap sepuluh hari mengganti hari
Minggu sebagai hari libur. Akibatnya, kebaktian gereja pada hari Minggu sulit
dijalankan. Akan tetapi, perubahan tersebut ternyata tidak praktis, terutama di
bidang perhubungan luar negeri, sehingga pada tahun 1971, mereka kembali ke sistem
kalender yang berlaku umum (Ruck 1997, 270).
Saat-saat
ketika Ceylon dinyatakan merdeka, ternyata membuat posisi orang Kristen menjadi
sulit. Keadaan ekonomi orang Kristen semakin lemah sehingga banyak orang
Kristen pergi mengadu nasib ke luar negeri. Kemudian umat Kristen juga harus
menjawab tuduhan sebagai agama asing yang berkaitan erat dengan imperialisme,
yang tentu sangat berbeda dengan agama Buddha yang lebih erat berkaitan dengan
nasionalisme (Ruck 1997, 269). Maka,
untuk menjawab tuduhan tersebut, beberapa teolog Sri Lanka berusaha
mengembangkan adaptasi dan kontekstualisasi. Beberapa teolog tersebut ialah Aloysius Pieris,
Tissa Balasuriya, dan Wesley Ariarajah.
Aloysius Pieris
Aloysius Pieris lahir di
Ampitiya, Sri Lanka, pada tahun 1934. Ia masuk Serikat Yesus pada umur 19 tahun
dan ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1965. Ia menyelesaikan lisensiat
filsafatnya di Kolese Hati Kudus, Shembaganur, India, pada tahun 1959. Karena
dibesarkan dalam suatu daerah mayoritas masyarakatnya memeluk agama Buddha,
Pieris segera menyadari bahwa, untuk dapat bekerja secara efektif sebagai imam
di tanah airnya sendiri, ia harus belajar agama Buddha (Rubianto 1996, 20-21), sehingga ia mempunyai hubungan dialog dan
pengalaman yang erat dengan kaum Buddhis. Ia berhubungan dengan agama lain
dalam rangka menceburkan diri dalam perjuangannya untuk pembebasan orang-orang
miskin (Amaladoss 2001, 191). Fokus
teologinya ialah mengembangkan Teologi Pembebasan bergaya Asia yang
memperhitungkan kemiskinan Asia.
Agama
Buddha melihat penyebab kemiskinan adalah hasrat keinginan untuk mempunyai
barang-barang jasmani dan hasrat keinginan ini mendorong orang untuk memeras
dan memelaratkan orang lain. Maka dari itu, hasrat keinginan itu dilawan dengan
pilihan untuk hidup miskin, dengan meninggalkan baik keinginan untuk memiliki
maupun kenyataan memiliki barang-barang jasmani. Menurut Pieris, memilih hidup
miskin demi kepentingan kaum miskin ialah suatu perjuangan yang mendatangkan
pembebasan setiap orang dari kemiskinan yang dikarenakan struktur-struktur
ekonomi dan politik yang tak adil. Pieris melihat dalam suri teladan Yesus, ada
pilihan seperti itu. Dalam perjuangan yang terus menerus di dunia antara Allah
dan Mamon, Yesus memilih menjadi miskin sejak waktu kelahiran-Nya juga (Amaladoss 2001, 192). Dalam diri Yesus, ada
Allah yang bersama dengan kaum miskin demi pembebasan mereka (Amaladoss 2001, 194). Dengan Buddhologi,
Kristologi tidak dalam upaya untuk menjadi saingan, melainkan melengkapinya.
Orang-orang Kristen menyatukan diri dengan para penganut Buddhisme untuk
menarik diri dari dunia karena gnosis (menjalani hidup miskin dengan sukarela)[YS2] , dan para penganut Buddhisme
bersatu padu dengan orang-orang Kristen untuk terjun ke dalam dunia karena
cinta kasih untuk melakukan perlawanan terhadap kemiskinan yang dipaksakan (R. Sugirtharajah 1996, 102)
Dalam
teologi pembebasannya, Pieris menganjurkan orang Kristen agar memberi diri
mereka untuk melayani orang miskin. Dia menggabungkan konsep anatta atau penolakan diri yang terdapat
dalam agama Buddha dengan dengan konsep pengabdian Kristen. Ia menegaskan bahwa
dasar tugas dan panggilan umat Kristen di Sri Lanka adalah menjadi satu dengan
orang miskin. (Ruck 1997, 272)
S. Wesley Ariarajah
Sebagian besar gereja-gereja di Asia adalah produk
dari misi Barat yang datang selama periode kolonial. Ariarajah, seorang pendeta
Metodis dari Sri Lanka sekaligus sebagai Direktur pada sub unit Dialog Dewan
Gereja-gereja se-Dunia, mengatakan ada dua hal sebagai konsekuensi dari gereja
Asia yang sebagai produk barat. Pertama, kebanyakan orang Kristen menarik diri
keluar dari hubungannya dengan komunitas agama lain di Asia, yang mengakibatkan
keterasingan psikologis antara komunitas Kristen dan komunitas agama tetangganya.
Kedua, orang-orang Kristen Asia dibesarkan dalam tradisi teologis yang melihat
agama lain sebagai kafir, atau sebagai sekelompok orang yang sedang berada
dalam kegelapan dan sesat, yang membutuhkan terang Injil. (Conway 2008, 129-130)
Menurut
Ariarajah, hubungan dengan agama lain itu perlu. Dengan demikian mengatasi
konflik di Sri Lanka, peran Buddhisme harus turut diikutsertakan dalam kita
berteologi. Selain karena adanya konflik, membangun dialog dan hubungan antara
orang Kristen dengan orang-orang dari tradisi agama lain menuntut pula dimensi
sosio-politik dan ekonomi dari berbagai situasi (Conway
2008, 131)
Mengenai
hubungan antar umat beragama, menurut Ariarajah, gereja-gereja di Barat akan jauh lebih mudah melakukannya.
Namun jika situasi gereja-gereja di Asia yang sebagai minoritas, umat Kristen
akan lebih fokus dalam mempertahankan identitas. Mereka takut akan terjadinya
penyerapan dan asimilasi sehingga dialog hampir-hampir tidak terpikirkan (Conway 2008, 131)
Ariarajah
kemudian menawarkan ekumenisme yang meluas yakni ekumenisme dari tradisi
agama-agama lain, yang berjalan sejajar dengan ekumenisme Kristiani, yang
terikat pada nasib bangsa Kristen di Asia. Oleh
karena, selama ini hubungan antar agama nampaknya belum pada tahap
ekumenisme Asia. Gerakan ekumenis Asia hanya menonjol pada saat kawasan Asia
sedang berada dalam kekacauan sosial dan politik (Conway 2008, 131)
Tissa Balasuriya
Tissa
Balasuriya meraih gelar kesarjanaan di bidang ekonomi pertanian dari
Universitas Oxford dan dalam teologi dari Universitas Gregorian di Roma dan
Universitas Paris. Ia
juga presiden dari Aquinas Universitas College di Sri Lanka dan presiden Centre
for Society and Religion. Ia juga banyak melahirkan tulisan-tulisan yang
diterbitkan di Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Spanyol dan Sri Lanka.
Menurut Balasuriya, teologi
tradisional Barat, yang sedikit banyaknya dianggap universal itu, sangat banyak
ditentukan oleh para adikuasa dan kelompok-kelompok yang berkuasa. Orang-orang
Eropa dan kemudian orang-orang Amerika Utara, orang-orang yang berorientasi
pada kapitalisme, orang-orang dewasa, pria dewasa, kelompok-kelompok klerus
menetapkan cara-cara, batas-batas dan penerapan teologi. Mereka membaca Alkitab
dan sejarah umat manusia sejalan dengan kebutuhan mereka. Kebanyakan masalah
yang diperhatikan para teolog Barat selama berabad-abad itu tidak menyangkut
kepentingan orang-orang di Dunia Ketiga, malah ada yang merugikan mereka.
Berdasarkan itu, Balasuriya mencoba
mengembangkan kerangka umum dari suatu teologi universal yang sungguh-sungguh
mencakupi elemen-elemen dasar dari kondisi manusia dan situasi dunia
seluruhnya. Teologi demikian akan mengakui implikasi-implikasi global dari
banyak masalah-masalah lokal atau regional kita. Maka di dalam teologi
siarahnya, ia mengemukakan masalah
ekonomi, diskriminasi dalam konteks Asia, dominasi budaya dalam Asia, pembaruan
liturgi, nilai-nilai agama non Kristen yang turut dipertimbangkan. Intinya, ia menawarkan teologi
revolusioner yang menuju ke arah tatanan dunia baru. (Balasuriya 2004) Selain
berteologi di khazanah berpikir, Pastor Tissa Balasuriya di Sri Lanka juga
pernah aktif bekerja sama dengan para demonstran dari kalangan bawah, dalam
rangka menarik perhatian pemerintah pada pemerasan perusahaan multinasional (Ruck 1997, 272)
Bangladesh
Bangladesh merupakan negara yang
merdeka tahun 1971 (sebelumnya adalah Pakistan Timur) dan menjadi salah
satu negara merdeka termuda di dunia[YS3] . Negara Bangladesh menghadap
Teluk Benggala dan hampir seluruhya dikelilingi tiga sisi lain dengan 1.500 mil
dari perbatasan dengan India. Di bagian tenggara membagi 120 mil dari
perbatasan Burma. Bangladesh pada sekitar tahun 1970 memiliki 75 juta warga dan
tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 3 persen. Bangladesh menjadi salah satu
negara terpadat di dunia (Hoke 1975, 73). Pada
tahun 2010 penduduknya menjadi hampir 150 juta.
Daerah utama Bangladesh merupakan
daratan endapan yang terbentuk dari cabang dan anak sungai dari lima aliran
sungai, termasuk Gangga, Brahmaputra, dan sungai Meghna, sebagian besar lahan
kurang dari lima puluh meter di atas permukaan laut. Bangladesh merupakan
negara yang memiliki curah hujan tertinggi hingga 250 inci pertahun yang
seringkali menyebabkan hujan (Hoke 1975, 74).
Masyarakat Bangladesh sebagian
besar adalah penduduk desa, hanya ada 5 persen penduduk kota dari keseluruhan
penduduk. Sekitar 23 persen dari jumlah penduduk masih mengalami buta huruf (Hoke 1975, 74). Sekitar tahun 1990 90 persen
dari 112.000.000 orang hidup di desa-desa dengan laki-laki bekerja di ladang
sementara perempuan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Sektor
pertanian dan perkebunan menjadi sektor terbesar negara ini. Bangladesh memproduksi
40.000.000 kilogram teh dari 151 kebun teh. Sementara beberapa industri seperti
tekstil, gula, energi mulai berkembang di Bangladesh. (Athyal 1996, 346-347)
Bahasa
resmi yang digunakan di negara ini adalah bahasa Bengali. Terdapat beberapa
agama di Bangladesh antara lain Islam (85 persen), Hindu (10 juta), Buddha
(370.000), Kristen (245.000), dan animisme (Hoke
1975, 74)
Awal mula masuknya kekristenan di
Bangladesh pada tahun 1576 oleh para misionaris Yesuit yang memasuki
wilayah India dari Bengal setelah eksplorasi Portugis. Pada tahun 1793 William Carey datang
ke India dan mendirikan badan misi bernama Baptist Missionary Society tahun 1795
di Dinajpur. Tahun
1816 dibuka pusat BMS di Bangladesh. Peran terbesar Carey selama di Bangladesh
adalah menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bengali. Lebih dari
180 tahun BMS bekerja di Bangladesh dan menjadi salah satu gereja tersebar saat
itu. Kehadiran Carey dan BMS diikuti oleh beberapa badan misi seperti The Ausralian Baptist Missionary Society
( 1882), New Zealand Baptists (1886), English Presbyterians (1862), Oxford Mission (1895), (Athyal 1996, 348-349)
Badan misi
Lutheran mulai masuk dan berperan dalam perkembangan kekristenan di Bangladesh
pada akhir abad ke-19. Kedatangan mereka menghadirkan gereja-gereja. Pada
awal abad ke-20 misionaris Amerika dari Gereja Pentakosta dan non-Pentakosta
memulai pelayanannya. Dua gereja besar di Bangladesh tidak berhubungan dengan
misi luar negeri yaitu Evangelical
Christian Church di Chittagong Hills Tracts, dan “All One in Christ” Fellowship” (Athyal 1996,
349).
Pada tahun 1971,
The Cooch Behar Service (CBRS),
menjadi pelopor Rangpur Dinajpur
Rehabilitation Service (RDRS) Bangladesh yang dimulai oleh misionaris
Norwegia, Dr. Olav Honde. Tahun 1972 RDRS Bangladesh didirikan sebagai Bangladesh Field Programme of the Geneva –
based Lutheran World Federation/ Department for
World Service Founder Direction dengan tujuan untuk meningkatkan kehidupan
orang-orang miskin, orang-orang pribumi,
cacat, dan orang-orang termarjinalkan termasuk perempuan di Bangladesh. RDRS sejak tahun 1971- 2008 mendirikan berbagai organisasi,
dan membentuk program-program yang bertujuan memberikan perhatian pada isu
sosial, ekonomi, kesehatan, lingkungan, pendidikan dan lain sebagainya. Beberapa
program penting RDRS di tahun 2008 adalah
program mikrofinansial, memberdayakan perempuan, pendidikan dan
pelatihan, kesehatan komunitas, pertanian, dan sebagainya (RDRS Bangladesh
2008).
Kesimpulan dan Refleksi
Kekristenan
di India, Sri Lanka dan Bangladesh menghadapi tantangan dengan hubungan budaya
setempat, terutama posisinya sebagai minoritas. Adaptasi dan upaya
kontekstualisasi adalah sebuah strategi untuk kehadiran Kristen, setelah masa
kolonial. Dengan demikian, dalam corak teologi-teologinya selalu ada
unsur-unsur di Barat yang dominan, yang ingin disingkirkan. Atau ada
upaya perumusan teologi dan praktiknya yang tarik menarik antara tradisi lokal
dengan warisan Barat, yang supaya bekerja lebih kuat ke Asia.[YS4]
Strategi
kehadiran kekristenan dengan adaptasi dan kontekstualisasi, ialah juga untuk
menentang stigma yang beredar di kalangan luar. Bagi kalangan tersebut,
kekristenan ialah produk dari Barat, padahal secara historis tidak seluruhnya
kekristenan merupakan hasil ekspansi kekristenan di Barat. Namun dengan
demikian, teologi lokal atau kontekstual dituntut perlu ada. Maka, dengan
teolog-teolog Asia yang berupaya menghasilkan produk teologinya yang khas Asia,
menunjukkan bahwa kekristenan di Asia telah berkembang, dinamis dan tidak statis.
Kesamaan Indonesia dengan India, Sri
Lanka dan Bangladesh ialah mereka didesak untuk menyampaikan makna kehadiran
teologi dan gerejanya di tengah-tengah situasi: sebagai negara bekas jajahan, [YS5] sebagai
minoritas, dan sebagai yang hadir di tengah-tengah keragaman budaya. Di
berbagai situasi itu, para teolog di Indonesia perlu mencari cara dalam
mengembangkan teologinya. Teologi
kontekstual dimungkinkan dapat menjadi salah satu cara untuk gereja di
Indonesia dalam mengembangkan dirinya. Dalam proses berteologi kontekstual,
diharapkan dapat memberikan wawasan perubahan, pengaruh dan menindaklanjuti
berbagai pergumulan yang telah terjadi.
Daftar Pustaka
Amaladoss,
Michael. Teologi Pembebasan Asia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Athyal,
Saphir. Church In Asia Today. Singapore: Asia Lausanne Committee For World Evangelization, 1996.
Balasuriya,
Tissa. Teologi Siarah.
Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2004.
Conway, Martin
& Novel Davies. World Christianity in the 20th Century. London: SCM
Press, 2008.
Goor, J. van. Jan Kompenie as Schoolmaster: Dutch Education in
Ceylon 1690-1795. Groningen: Wolters-Noordhoff, 1978.
Hoke,
Donald E. The Church in Asia.
Chicago: Moody Press, 1975.
Neill, Stephen, A
History of Christianity in India, 1709-1858,
New York: Cambridge University Press, 1985.
Rajkumar,
Peniel. Dalit Theology and Dalit
Liberation, England & USA: Ashgate Publishing Limited,
2010.
Rubianto, Vitus.
Paradigma Asia. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Ruck, Anne. Sejarah
Gereja Asia. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1997.
Sugirtharajah,
R.S. Wajah Yesus di Asia. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1996.
Yewangoe, A. A. Theologia
Crucis di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Artikel
RDRS Bangladesh, Annual
Report 2008.
[YS1]Kekristenan
bukan hanya soal ajaran saja. Kekristenan sebagaimana yang diperkenalkan dan
kemudian dihayati di Asia mencakup berbagai aspek: ibadah, ajaran, gaya hidup,
nilai-nilai, dan lain sebagainya.
[YS2]Apakah
ini kutipan? Apakah betul gnosis = asketisme?
[YS3]Di tahun 1975, memang inilah negara
merdeka termuda.
[YS4]Maksudnya?
[YS5]Mengapa
hal status ‘bekas jajahan’ menjadi penting?
Ada sudut pandang yang lain yang dapat dipergunakan:
negara(-negara) baru yang lahir pada zaman modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar