Jumat, 01 Mei 2015

NJENGKALI SI LA TERJENGKALI (MENILAI YANG TIDAK TERNILAI): Kajian Konsep “Menakar Harga” untuk Mewujudkan Keadilan bagi Perempuan Karo



NJENGKALI SI LA TERJENGKALI (MENILAI YANG TIDAK TERNILAI):
Kajian Konsep “Menakar Harga” untuk Mewujudkan Keadilan bagi Perempuan Karo


Description: Logo STT Jakarta.jpg 
GUNA MEMENUHI SEBAGIAN DARI PERSYARATAN MENCAPAI GELAR SARJANA SAINS TEOLOGI

OLEH:
SHANDY JOAN BARUS
NIM: 012091866
2014

LEMBAR PENGESAHAN

Pembimbing telah menerima hasil penelitian khusus yang berjudul: NJENGKALI SI LA TERJENGKALI (MENILAI YANG TIDAK TERNILAI): Kajian Konsep “Menakar Harga” untuk Mewujudkan Keadilan bagi Perempuan Karo yang telah dipersiapkan dan diserahkan oleh Shandy Joan Barus guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.



Pembimbing



Dr. Rebecca Blair Young, Ph. D.


Diterima sebagai persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Sains Teologi di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.


Sekolah Tinggi Teologi Jakarta



Pdt. Joas Adi Prasetya, Th. D





Hampir sebagian besar masyarakat di daerah tertentu di dunia masih menabukan membicarakan peran, hak, kedudukan, posisi dan “harga” perempuan. Umumnya kita menduga bahwa dengan begitu banyak perkembangan yang terjadi pada perempuan di kota-kota besar, maka cukup banyak juga terjadi perubahan pada perempuan di daerah. Namun sayangnya, ternyata tidak demikian. Perempuan daerah masih terbelit dengan masalah marginalisasi (peminggiran), subordinasi (penomorduaan), stereotipe (citra buruk), bahkan kekerasan yang mungkin saja mereka terima. Tidak hanya itu, bahkan di sebagian daerah, perempuan sangat terikat dengan tradisi dan terkadang hanya disamakan seperti barang yang dapat diperjualbelikan. Hal tersebut tampaknya sudah menjadi bagian dari tradisi di sebagian daerah oleh sebagian masyarakat adat.
            Tradisi yang “memperjualbelikan perempuan” tampaknya memang masih belum dapat dipisahkan dari perempuan. Di berbagai daerah di seluruh dunia ada banyak sekali tradisi yang menuntut perempuan harus sempurna agar mendapat harga yang tinggi. Dengan kata lain, sekalipun perempuan kerap mengalami subordinasi dan marginalisasi, perempuan dinilai mendatangkan “keuntungan” tertentu bagi keluarganya melalui mahar. Beberapa contoh tradisi yang menuntut perempuan untuk sempurna agar mendapat “Harga” yang tinggi adalah Tradisi “Mengikat Kaki” di China, Tradisi “Memanjangkan Leher” di Thailand, dan Tradisi “Merenggangkan Bibir” di Amazon. Sekalipun Perempuan Karo tidak dituntut untuk “Mengikat Kaki”, “Memanjangkan Leher”, atau “Merenggangkan Bibir”, perempuan Karo tetap dituntut untuk sempurna sehingga kelak akan mendapatkan “Harga” yang cukup tinggi pula.

Tulisan ini merupakan kajian antropologis, feminis, dan teologis terhadap adat pernikahan di Karo. Tulisan ini akan difokuskan pada ritus perkawinan adat Karo yang memberlakukan Unjuken (praktik mas kawin) dan menyoal posisi serta eksistensi Perempuan Karo sebelum dan setelah menikah.

“Dua orang anak sudah cukup. Laki-laki atau perempuan sama saja”. Kurang lebih demikianlah celotehan iklan dari pemerintah terkait Keluarga Berencana (KB) yang disampaikan ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia ini. Namun tampaknya pernyataan tersebut ditolak oleh sebagian besar keluarga Karo. Bagi keluarga Karo, lebih baik memiliki satu anak lelaki daripada sembilan anak perempuan, karena mereka mengganggap walaupun mereka hanya memiliki satu anak lelaki tetapi anak itu akan dapat membawa nama keluarga. Anak lelaki dianggap sebagai penerus marga. Berbeda halnya dengan anak perempuan yang jika ia menikah maka ia akan pergi dari rumah dan mengikuti keluarga suaminya. Bahkan bagi sebagian keluarga Karo, anak perempuan hanya dianggap sebagai “beban ekonomi keluarga”. Sehingga tidak jarang perkawinan dini sering dianggap sebagai suatu solusi karena dengan demikian keluarga perempuan akan mendapatkan mas kawin dari pihak laki-laki.
Budaya seperti ini merupakan bagian dari adat suku Karo dan masih terus berlanjut hingga kini. Perempuan yang akan dinikahkan itu disebutkan “harganya” kemudian “ditawar”. Jika harga sudah sesuai maka ia akan “dibeli” dan dinikahi oleh laki-laki yang telah membelinya. “Unjuken” atau “Tukur” (uang hasil penjualan perempuan Karo) tersebut akan dibagikan kepada seluruh sanak saudara yang hadir sebagai tanda bahwa ia telah sah dibeli dan dinikahi. Berdasarkan penjelasan tersebut, ada kemungkinan bahwa anak perempuan memang dipandang sebagai beban ekonomi yang kemudian dapat dipertukarkan dengan mas kawin untuk menggantikan seluruh biaya hidup yang telah dikeluarkan oleh orang tuanya selama ini. Anak perempuan yang telah diganti dengan mas kawin tersebut biasanya akan dibawa oleh pengantin laki-laki atau masuk dalam keluarga pengantin laki-laki. Segala macam perlakuan dan perbuatan mereka terhadap pengantin perempuan adalah sah karena dalam keyakinan mereka (sesuai tradisi), si perempuan memang telah dibeli.
Sekalipun perempuan Karo sudah mengalami peningkatan dan mendapatkan posisi dalam hal pendidikan dan pekerjaan, namun dalam status adat istiadat dan tradisi, perempuan tetap berada di belakang layar panggung adat. Perempuan Karo sama sekali tidak berhak menentukan “harga” atas dirinya sendiri, tidak diberi kesempatan untuk menikmati “nilai jual”-nya tersebut, tidak berhak menuntut warisan, dan tidak memiliki status dalam adat sebelum menikah. Itulah yang dialami oleh perempuan lajang sebelum menikah. Namun sayangnya sekalipun sudah menikah, mereka tetap tidak mengalami kemajuan yang signifikan. Perempuan tetap tidak diberi kebebasan untuk menentukan karirnya tanpa seijin suaminya (ruang gerak dibatasi) dan jarang diberi kesempatan untuk memberikan pendapat dan pengambilan keputusan di dalam rumah tangga. Sehingga dapat dikatakan konsep dan kebiasaan masyarakat yang melegalkan kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan kondisi dan posisi perempuan menjadi lemah apalagi kemudian dengan menyudutkan posisi perempuan hanya dalam ruang domestik saja. Padahal (dengan demikian), perempuan Karo sesungguhnya diyakini sebagai sumber berkat karena dia mengalirkan “pemasukan” terhadap keluarga melalui mas kawin, memberikan “penerus” bagi suaminya, memberikan “martabat” bagi saudaranya laki-laki, dan bahkan sesungguhnya adalah penerus silsilah. Lelaki memang selalu dibanggakan tetapi perempuanlah yang dituntut untuk menjaga nama baik keluarganya.
Gambaran perempuan dalam perkawinan pada budaya patriaki ini setidaknya mengingatkan kita pada pemikiran Michel Foucault, seorang filsuf asal Prancis, tentang disiplin tubuh, yang mengupas tentang nilai kuasa seseorang untuk menguasai orang lain atas tubuhnya. Menurutnya, dalam setiap masyarakat, tubuh senatiasa menjadi objek kuasa. Tubuh dimanipulasi, dilatih, dikoreksi, menjadi patuh, bertanggungjawab, menjadi terampil dan meningkat kekuatannya. Tubuh senantiasa menjadi sasaran “kuasa” baik dalam artian “anatomi-metafisik” yakni seperti yang dibuat oleh para dokter dan filsuf, maupun dalam arti “teknis politis” yang mau mengontrol, mengatur dan mengoreksi segala aktivitas tubuh. (Foucault 1997, 82-85) Seolah perempuan itu tidak memiliki kebebasan atas segala aktivitas tubuhnya karena sudah sejak lama terkontrol dan terikat secara paksa oleh tuntutan masyarakat, tradisi, dan budaya.
Perkawinan dalam budaya patriarki merupakan penciptaan disiplin dan penguasaan tubuh perempuan dalam arti “anatomi-metafisik” dan “teknis politis”, guna mengatur, mengontrol dan mengoreksi setiap aktifitas perempuan. Perempuan tidak mempunyai otonominya terhadap tubuhnya karena harus mengorbankan dirinya secara fisik dan psikologis untuk diserahkan kepada laki-laki. Untuk itu, perkawinan dalam konteks ini perlu ditinjau ulang makna dan substansinya. Perkawinan setidaknya tidak dijadikan sebagai mesin pemenjara (meminjam istilah Foucault) perempuan pada posisi yang tidak berdaya. Tetapi, perkawinan dijadikan sebagai proses interaksi atas kehendak bersama antara perempuan dan laki-laki di mana peran dan posisi perempuan dapat diperhitungkan, bukan dikesampingkan atau bahkan ditiadakan.
Sherry Ortner, seorang Antropolog Feminis juga menyatakan bahwa perempuan di berbagai kebudayaan memang selalu dikaitkan dengan sesuatu atau nilai yang dianggap rendah oleh masyarakat. (Ortner 1974, 67-68) Artinya, posisi subordinat perempuan dalam masyarakat itu dibangun oleh konstruksi budaya (simbolik) yang selalu menganggap perempuan itu lebih rendah dari laki-laki. Demikian juga halnya dengan budaya Karo yang seperti sebuah koin dengan dua sisi yang berbeda dalam melihat dan memposisikan perempuan. Pada satu sisi budaya menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki sehingga dalam pernikahan adat Karo perempuan ditakar harganya melalui Unjuken. Dan pada sisi lainnya menempatkan perempuan pada suatu posisi yang menempatkan perempuan sebagai penerus silsilah dan dianggap sebagai pembawa berkat.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa perkawinan menjadi pokok bahasan paling menarik bagi hampir setiap feminis. Simone de Beauvoir seorang feminis eksistensialis menjuluki perkawinan sebagai bentuk dari perbudakan, karena dalam perkawinan ambisi dan kehendak perempuan dimatikan, ia dibiarkan tenggelam dalam kegiatan rutin, hingga masa tua baru akhirnya perempuan sadar bahwa begitu lama waktu dihabiskannya tanpa tujuan yang jelas. (Putnam Tong 2005, 179-189) Namun pada kenyataannya, bagi perempuan Karo, bentuk perbudakan dan penindasan ini sudah terjadi sebelum mereka menikah. Karena sebelum mereka menikah, seorang perempuan Karo juga memiliki tanggungjawab bagi keluarganya. Karena itu muncul di benak saya pertanyaan seperti berikut, ”Apakah harga yang dibayarkan itu cukup sepadan dengan setiap hal yang dilakukan oleh perempuan Karo semenjak dia belum menikah bahkan setelah dia sudah menikah dan menjadi milik suaminya? Ataukah harga yang demikan memang pantas bagi perempuan Karo karena sejak awal, perempuan Karo memang bukan miliknya sendiri, melainkan milik orang lain, yakni milik orang tua dan suaminya?”
Berbicara mengenai perempuan, di dalam Perjanjian Lama sendiri juga dibicarakan tentang peran, kedudukan, hak, bahkan “harga” perempuan. Perempuan digambarkan dan diciptakan sebagai penolong tetapi pada kenyataannya perempuan selalu ditempatkan pada posisi pasif yang selalu harus ditolong, dicintai, dilindungi, dinikahi, diberi, dihidupi, bahkan dibeli. Namun dengan demikian, perempuan akan semakin terpojok dalam budaya yang tanpa sadar telah membuat perempuan menjadi tidak berdaya. Seolah perempuan dan laki-laki memang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah namun memiliki fungsi dan kedudukan yang berbeda, karena laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan perempuan.
Di dalam Perjanjian Lama sendiri juga diungkapkan beberapa hal yang menjadi masalah perempuan. Kedudukan dan posisi perempuan dalam Perjanjian Lama cenderung tergolong rendah, khususnya pada masyarakat Israel Kuno. Sistem masyarakat Israel dalam Perjanjian Lama adalah patriarki yang didalamnya laki-laki lebih berkuasa. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan banyak orang yang menilai perempuan lebih rendah kedudukannya daripada laki-laki. Berbagai kenyataan di masyarakat juga membuktikan bahwa perempuan masih dianggap sebagai objek untuk dinikahi, menjadi “harta milik suami” (Kel. 20: 17), dituntut untuk mengabdi kepada suami dan patuh terhadap setiap petunjuk dan perintahnya. (Karman 2009, 69-70.) Padahal seharusnya tidak demikian. Jika ditilik lebih lanjut, perempuan seharusnya dapat dijadikan sebagai rekan dan penolong bagi laki-laki, bukan hanya sekadar pelengkap atau harta pajangan suami semata (Kej. 2:18). (Meyers 2000, 79-81)
Jika diteliti dari sudut pandang sejarah Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), memang tidak dapat dipungkiri bahwa kedatangan Kekristenan ke Tanah Karo hingga dapat menjadi GBKP seperti sekarang ini juga banyak dipengaruhi oleh budaya Barat dan budaya patriakal yang lebih mengedepankan kaum laki-laki dalam hal kepemimpinan gereja. Namun hal tersebut tidak serta merta menelantarkan perempuan, malah sebaliknya mereka juga memberikan tempat bagi perempuan dalam suatu organisasi pembinaan perempuan Karo sejak tanggal 10 Agustus 1933 yang bernama “Chistelijke Meisjes Club Maju”. Organisasi ini bertujuan untuk memberikan pendidikan bagi perempuan Karo yang terus berkembang ke seluruh desa di Tanah Karo di bawah pimpinan Nyonya G. Neumann Bos. (GBKP 2004, 5) Kendati demikian, pada masa itu perempuan memang baru sebatas mendapat tempat untuk mengecap pembinaan semata, bukan menjadi pemimpin. Namun seiring berjalannya waktu, sekarang perempuan sudah diberi tempat untuk menjadi pemimpin gereja. Hal ini memperlihatkan bahwa GBKP tidak hanya melihat perempuan Karo dalam nilai ekonomisnya sehingga hanya menempatkannya dalam peran domestik saja, sekalipun budaya Karo cenderung menilai demikian karena pengaruh budaya patriakal yang sudah mengakar lama. Melainkan GBKP dapat melihat perempuan Karo secara keseluruhan baik melalui peran dan martabatnya sebagai perempuan Karo sebagaimana mestinya.

Unjuken memperlihatkan bahwa masyarakat Karo cenderung melihat perempuan dalam harga sosialnya. Padahal di dalam tradisi dan budaya Karo itu sendiri terdapat pemahaman yang menunjukkan bahwa martabat perempuan Karo melangkaui nilai ekonomisnya tersebut. Untuk itu, dengan meninjau kembali adat dan budaya Karo akan memberi pemahaman terhadap martabat perempuan yang lebih luas dari nilai ekonomis semata.


            Melihat bagaimana besarnya pengorbanan yang dilakukan oleh seorang perempuan terhadap keluarganya sebelum dan sesudah ia menikah, maka muncul pertanyaan apakah harga tepat mengukur martabat perempuan melalui mekanisme Unjuken? Atau adakah cara-cara yang lebih bermartabat kalau tradisi Unjuken” masih tetap ingin dipertahankan? Untuk menilik lebih lanjut maka saya memutuskan untuk memilih pembahasan tentang “Menakar Harga” Perempuan Karo ini sebagai pokok bahasan dalam skripsi saya.
Alasan mengapa saya ingin membahas hal ini di dalam skripsi saya adalah karena adanya keprihatinan saya akan nasib perempuan Karo yang selalu ijengkali (ditakar harganya) melalui Unjuken. Fokus pembahasan saya adalah mengenai perlunya mempertimbangkan lagi adat “menakar harga” perempuan Karo sebelum dan sesudah dia menikah. Hal ini juga nantinya akan mengantarkan kita untuk merefleksikan kembali bagaimana seharusnya “Posisi Perempuan Karo dan Pertaruhan Eksistensi Dirinya (Sebelum dan Sesudah Perkawinan)”. Selain itu, saya juga ingin mengajak masyarakat Karo untuk melihat Unjuken dari sisi yang berbeda. Unjuken seharusnya tidak dijadikan sebagai kungkungan ataupun harus dihapuskan, melainkan dimaknai kembali. Saya juga ingin mengembangkan upaya GBKP dalam mencari dan mewujudkan keadilan bagi Perempuan Karo terkait persoalan perkawinan dengan menggunakan GBKP sebagai mediator. Sehingga setiap orang nantinya akan memandang perempuan Karo, baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah, sebagai sosok yang bermartabat. Dengan demikian tidak akan ada lagi konsep njengkali si laterjengkali yang terjadi bagi perempuan Karo.
           


Penelitian yang akan saya lakukan adalah penelitian kualitatif dan kuantitatif. Untuk penelitian kualitatif, wilayah yang akan saya teliti adalah Jemaat GBKP yang ada di Tanah Karo. Metodologi yang akan digunakan adalah wawancara dengan pihak-pihak tertentu yang mendukung penelitian terhadap budaya Karo terkait tentang pernikahan dan beberapa orang perempuan Karo di daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk penelitian kuantitatif, saya akan mengumpulkan data dari gereja dan sinode Moderamen GBKP tentang peran perempuan sebagai pemimpin dari tingkat sinode hingga jemaat. Selain itu saya juga akan melakukan studi pustaka terhadap budaya Karo dan teologi feminis.

Pendahuluan
Bab I: Eksistensi Perempuan Karo dalam Adat Karo, Agama Pemena, dan Masyarakat
I.1. Eksistensi Perempuan Karo dalam Adat dan Budaya Karo
Adat Ertutur: Merga Silima, Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu
Budaya Unjuken : Menakar Harga Perempuan Karo Lewat Batang Unjuken
I.2. Eksistensi Perempuan Karo dalam Agama Pemena
I.3. Eksistensi Perempuan Karo dalam Masyarakat dan Kehidupan sehari-hari
Eksistensi Perempuan Karo Sebelum Menikah
Eksistensi Perempuan Karo dalam Pernikahan Karo Setelah Menikah
Bab II: Eksistensi Perempuan Karo dalam GBKP
II. 1. Perempuan dan GBKP (Analisis peran perempuan dalam GBKP)
   Cikal Bakal Perempuan Berperan di dalam GBKP
  Perempuan sebagai Pemimpin Gereja
   Hambatan dan Kendala bagi Perempuan untuk Menjadi Pendeta
II. 2. Peluang dan Tantangan Moria GBKP (Kaum Ibu di GBKP) Menilik Pergumulan GBKP dalam Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan Karo dan Jalan Keluar yang dapat Ditawarkan
Bab III: Analisis Terhadap Posisi Perempuan Karo dalam Pernikahan Adat terkait Unjuken serta Peran dan Eksistensi Perempuan Karo
III. 1. Analisis Terhadap Perempuan Karo Berdasarkan Teologis
Allah adalah Kasih (Kej. 1:1-2:7)
Hawa = Sumber Dosa? (Kej. 3:1-19)
Yesus dan Perempuan Berzinah (Yoh. 7: 53-8:11)
Sikap Yesus terhadap Perempuan (Luk. 10: 38-42)
Perempuan sebagai Saksi Kebangkitan (Luk. 24:1-12)
III. 2. Analisis Terhadap Perempuan Karo Berdasarkan Budaya Unjuken
III. 3. Analisis Terhadap Perempuan Karo Berdasarkan Feminisme Eksistensialis
III. 4. Teologi Feminis
Bab V: Penutup
Kesimpulan
Saran





            Suku Karo adalah suku yang memiliki sistem kekerabatan yang teratur dan perencanaan yang jauh kedepan. Pada suku Karo terdapat sistem kekerabatan sudah tertata dan akan dibawa oleh orang Karo ke manapun mereka pergi. Sistem kemasyarakatan atau adat ini disebut dengan Merga Silima, Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu, dan Perkade-kaden Sepuluh Dua Tambah Sada. Sistem kekerabatan ini sangat penting dan tidak bisa dihilangkan dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari dari masyarakat Karo.
1.      Merga Silima
Identitas orang Karo dapat dilihat melalui Marga atau Merganya karena merga adalah identitas masyarakat Karo yang unik. Setiap orang Karo mempunyai marga atau merga. Merga bagi orang Karo adalah hal yang paling utama dalam identitasnya. Dalam setiap perkenalan dalam masyarakat Karo atau yang biasa disebut ertutur dalam bahasa Karo, hal yang terlebih dahulu ditanyakan adalah merga. Merga digunakan oleh laki-laki, sedangkan beru disandang oleh perempuan. Kendati demikian keduanya tetap memiliki makna yang sama. Baik merga maupun beru, berasal dari merga ayah yang kemudian diturunkan kepada anaknya. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Merga berasal dari kata meherga yang artinya mahal. Mahal dalam konteks budaya Karo berarti penting (Tarigan 2008, 16). Setelah ditanyakan merga, kemudian ditanyakan bere-bere. Bere-bere adalah identitas ibu yang diturunkan kepada anaknya. Bere-bere merupakan beru ibu yang diturunkan oleh ibu kepada anaknya. Dengan demikian perempuan juga turut menyumbangkan merga atau beru-nya kepada anaknya sebagai identitasnya ketika ertutur.
            Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima. Kelima merga tersebut adalah seperti berikut:
                    i.            Karo-Karo : Barus, Bukit, Jung, Gurusinga, Kaban, Kacaribu, Kemit, Ketaren, Purba, Samura, Karo Sekali, Surbakti, Sinulingga, Sitepu, Sinubulan, Sinuhaji, Sinukaban, Sinuraya.
                  ii.            Tarigan : Bondong, Ganagana, Gerneng, Purba, Sibero, Gersang, Jampang, Purba, Pekan, Silangit, Tambak, Tambun, Tua, Tegur.
                iii.            Ginting: Ajartambun, Babo, Siberas, Capah, Garamata, Gurupatih, Jadibata, Jawak, Manik, Pase, Munthe, Seragih, Suka, Sinusinga, Sugihen, Tumangger.
                iv.            Sembiring:
a.       Sembiring si la mantangken biang (sembiring yang boleh makan daging anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung;
b.      Sembiring si mantangken biang (sembiring yang tidak boleh makan daging anjing): Brahmana, Bunuhaji, Busuuk, Colia, Depari, Gurukinayan, Keling, Maha, Meliala, Muham, Pandebayang, Pandia, Pelawi, Sinukapar, Tekang.
                  v.            Perangin-angin: Bangun, Benjerang, Kacinambun, Keliat, Laksa, Limbeng, Mano, Namohaji, Penggarun, Perbesi, Pencawan, Sebayang, Pinem, Sinurat, Singarimbun, Sukatendel, Tanjung, Ulujandi, Uwir. (Milala 2007, 1-4)
Daftar merga di atas ini merupakan hal yang penting di dalam budaya Karo karena akan dipergunakan saat ertutur dan juga sebagai penentu dalam suatu perkawinan. Oleh karena itu, sangat penting bagi seseorang untuk mengenal merga-merga lain di luar merganya agar dapar ertutur (berkenalan) dengan orang lain.

2.      Tutur Siwaluh
Tutur siwaluh dapat diartikan sebagai dasar hubungan persaudaraan yang dibagi menjadi delapan macam, yaitu :
                    i.            Sembuyak, yaitu hubungan saudara kandung satu ayah satu ibu, bila ayah bersaudara kandung dan keturunan dari dua ibu satu ayah;
                  ii.            Senina, yaitu Saudara karena satu, selain itu juga bila kakeknya bersaudara maka semua keturunannya dalam hubungan kekerabatan disebut Senina. Di dalam hubungan kekerabatan tersebut dapat juga semua yang bermerga atau sub-merga yang sama disebut Senina;
                iii.            Senina Sipemeren adalah hubungan saudara karena ibunya atau neneknya saudara kandung, di mana merga mereka dapat berbeda;
                iv.            Senina Siparibanen, yaitu hubungan apabila istri merupakan saudara kandung;
                  v.            Anak Beru, yaitu hubungan kekeluargaan dari anak perempuan yang diturunkan oleh pihak sembuyak, senina, senina siparibanen dan senina sipemeren;
                vi.            Anak Beru Mentri, yaitu hubungan kekeluargaan dari seluruh anak perempuan dari pihak anak beru sukut, sembuyak, senina, senina sipemeren & senina siparibanen;
              vii.            Kalimbubu, yaitu hubungan kekeluargaan dari istri sukut, sembuyak, senina, senina sipemeren & senina siparibanen;
            viii.            Puang kalimbubu, yaitu hubungan kekeluargaan yang diakibatkan oleh kalimbubu atau mungkin dapat di katakan puang kalimbubu adalah kalimbubunya dari kalimbubu seseorang.

3.      Rakut Sitelu
Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah Rakut Sitelu atau Daliken Sitelu (artinya secara metaforik adalah tiga tungku), yang berarti ikatan yang tiga. Arti Rakut Sitelu tersebut adalah Sangkep Nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Rakut sitelu adalah merupakan pola dasar dari hubungan kekerabatan suku Karo, Rakut Sitelu disebut juga dengan istilah “Kuh Sangkep Nggeluh.” Hubungan ini tidak hanya terjalin karena berdasarkan identitas adat, tetapi juga oleh hubungan darah dan perkawinan. Sebuah pesta tradisi Karo, seperti sebuah pernikahan, misalnya, baru akan dapat diselesaikan apabila Rakut Sitelu ini hadir. Dalam sebuah acara pernikahan adat dengan adat Karo, maka ketiga posisi Rakut Sitelu itu adalah sebagai berikut:
                    i.            Anak beru dapat didefinisikan sebagai keluarga yang mengambil atau menerima isteri. Selain itu, mereka juga adalah petugas atau pekerja dalam upacara ataupun pesta adat Karo. Sama sekali tidak ada kejanggalan atau bahkan mereka bangga menjadi “pekerja wajib” dalam upacara adat Karo dan mereka akan marah jika tugas mereka diembankan kepada orang lain. Misalnya tugas memasak seluruh makanan pada pesta tersebut harus diserahkan kepada anak beru. Menjadi anak beru tidak memandang pangkat atau jabatan yang bersangkutan di luar adat. Jika ada hal yang tidak sesuai dengan yang seharusnya, maka mereka yang akan disalahkan. Anak beru dalam peradatan Karo itu bisa saja seorang menteri, bupati, jendral, profesor, pendeta dan apa saja, namun dalam posisi anak beru mereka adalah “pekerja wajib” secara adat. Panggilan untuk anak beru adalah : bengkila (untuk laki-laki), bibi (untuk perempuan), impal (pihak laki-laki), turang impal (pihak perempuan), bebere (panggilan kepada anak saudari kita).
                  ii.            Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi istri, pihak keluarga istri, pihak yang dihormati dan selalu dapat tempat terhormat dalam upacara/kerja adat Karo. Kalimbubu juga disebut dibata ni idah (Tuhan yang terlihat) karena dianggap sebagai pemberi berkat melalui anak perempuannya. Oleh karena itu harus dihormati dan dianggap sebagai perwujudan dari Tuhan. Namun bukan hanya pemilik langsung atau ayah dan ibu langsung dari mempelai perempuan yang menjadi Kalimbubu, melainkan semua yang berada dalam kelompok yang sama posisinya secara adat dengan orang tua mempelai perempuan adalah Kalimbubu. Kalimbubu dari pihak laki-laki disebut dengan ‘si ngalo ulu emas’ sedangkan kalimbubu dari pihak perempuan disebut dengan ‘si ngalo bere-bere’. Panggilan yang digunakan untuk memanggil kalimbubu adalah Mama (untuk laki-laki), Mami (untuk perempuan), impal, silih dan turangku. Sukut, Senina, dan Sembuyak dapat didefinisikan sebagai pihak dari mempelai laki-laki, tuan rumah dan keluarga terdekat (saudara semarga), keluarga satu garis keturunan merga atau keluarga dekat atau keluarga inti yang merupakan penanggungjawab pesta atau upacara adat Karo. Pangilan untuk Senina kepada laki – laki ialah kaka (untuk abang), agi (untuk adik) dan turang (untuk perempuan). (Tarigan 2008, 17-28)

4.      Perkade-kaden Sepuluh Dua Tambah Sada
Dari Tutur Siwaluh dan Rakut Sitelu diatas terbentuklah Perkade-kaden sepuluh dua tambah sada (hubungan persaudaraan), yaitu :
                    i.            Nini, panggilan untuk nenek;
                  ii.            Bulang, panggilan untuk kakek;
                iii.            Kempu, panggilan untuk cucu;
                iv.            Bapa, panggilan untuk orang tua laki -laki;
                  v.            Nande, panggilan untuk orang tua perempuan;
                vi.            Anak, adalah keturunan dari orang tua laki-laki dan perempuan;
              vii.            Bengkila, panggilan untuk orang tua laki-laki dari suami;
            viii.            Bibi, panggilan untuk orang tua perempuan dari suami;
                ix.            Permen, panggilan untuk menantu perempuan atau anak dari kalimbubu;
                  x.            Mama, panggilan untuk orang tua laki-laki dari istri;
                xi.            Mami, panggilan untuk orang tua perempuan dari istri;
              xii.            Bere-bere, panggilan untuk menantu laki-laki atau anak dari saudara perempuannya kalimbubu; dan
+ 1 : yaitu adalah teman meriah, kenalan atau orang lain di luar hubungan kekeluargaan yang terbentuk. Hubungan yang terakhir ini menunjukkan bahwa suku Karo terbuka terhadap suku lain di luar suku Karo dan menghargai kemajemukkan. (Tarigan 2008, 11-14)

            Hingga kini, masyarakat suku Karo masih mempertahankan budaya mereka dalam melaksanakan adat istiadat termasuk dalam pelaksanaan sistem perkawinannya. Ada banyak aturan dalam sistem perkawinan di masyarakat suku Karo, salah satunya adalah Batang Unjuken.
Sifat perkawinan dalam masyarakat suku Karo adalah eksogami artinya harus menikah atau mendapat jodoh di luar marganya (klan). Bentuk perkawinannya adalah dengan pemberian jujuran (mas kawin) yang bersifat religio magis kepada pihak perempuan yang menyebabkan perempuan keluar dari klannya dan pindah ke dalam klan suaminya. Mas kawin disebut Batang Unjuken oleh orang Karo. Batang Unjuken biasanya diterima oleh orangtua mempelai perempuan dari pihak laki-laki sebagai simbol yang menyatakan bahwa mereka telah menyerahkan anaknya kepada pihak laki-laki dan sebagai imbalannya mereka memperoleh unjuken. Perempuan yang telah diganti dengan mas kawin tersebut biasanya akan dibawa oleh pengantin laki-laki atau masuk dalam keluarga pengantin laki-laki. Segala macam perlakuan dan perbuatan mereka terhadap pengantin perempuan adalah sah karena dalam keyakinan mereka (sesuai tradisi), si perempuan memang telah dibeli.
Di dalam budaya Karo, seorang perempuan tidak berhak menentukan harga atas dirinya, melainkan para Sukut, Senina, Anak Beru, dan Kalimbubu yang mengadakan runggu atau musyawarah untuk membicarakan perihal unjuken ini saja yang boleh menentukan harganya sesuai dengan harga “pasaran” yang berlaku. Kemudian batang unjuken ini nantinya akan dibagikan juga kepada seluruh sanak saudara dan keluarga yang hadir di pesta itu. Memang tidak ada ukuran besar atau kecilnya unjuken tersebut. Namun umumnya ada nilai pasaran unjuken seperti yang selama ini telah berlangsung. Misalnya untuk saat ini nilai unjuken yang paling tinggi adalah Rp. 956.000,- dan yang terendah berkisar Rp. 356.000,-. Sebenarnya batang unjuken yang hendak diminta seharusnya bukan atas dasar berapa banyak yang dinginkan, melainkan atas dasar pertimbangan nilai-nilai simboliknya. Hal ini disebabkan oleh adanya kepercayaan terkait batang unjuken yang menyatakan bahwa ada nilai magis yang terlekat pada mas kawin atau batang unjuken yang berisi harapan bagi kehidupan rumah tangga perempuan dan laki-laki yang akan menikah itu. Kendati demikian, di beberapa daerah di Sumatera Utara, masih ada juga pesta pernikahan yang batal hanya karena unjukennya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh keluarga tanpa memperdulikan bagaimana perasaan kedua calon mempelai. Hal ini mungkin disebabkan karena kedua calon mempelai juga kurang memahami makna dari unjuken tersebut. Bahkan saat melakukan penelitian di GBKP Desa Lingga pada tanggal 26 Januari 2014 lalu, adapula salah seorang dari Moria (persekutuan perempuan GBKP yang sudah menikah) itu yang tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan batang unjuken.
            Dalam prakteknya, unjuken dijalankan pada saat sebelum pesta berlangsung. Jauh sebelum terjadinya pesta adat, harus diadakan Ngembah belo selambar terlebih dahulu. Pada saat Ngembah belo selambar ini semua pihak akan ditanyai persetujuannya. Pada tahap berikutnya akan ada proses Nganting manuk, yakni suatu acara yang merembukkan perihal batang unjuken yang akan dibayarkan pada saat pesta adat nantinya. Pada saat inilah harga unjuken seorang perempuan dapat ditawar apakah menjadi lebih tinggi atau menjadi lebih rendah. Seolah perempuan memang dapat ditakar harganya entah berdasarkan hal apa.
Pada saat proses pesta adat berlangsung, hal pertama yang dilakukan adalah runggu untuk membicarakan kembali mengenai batang unjuken yang akan dibayarkan sekaligus membagikannya kepada seluruh sanak keluarga yang hadir. Adapun yang dipersiapkan dalam praktek unjuken ini adalah sebuah kain Julu berwarna hitam sebagai alas piring dan Pinggan Pasu sebagai tempat uang unjuken beserta dengan belo ras kuhna (sirih, pinang, kapur, dan lain-lain), beras piher, dan sebuah uang logam sebagai “batu”nya. Kain Julu yang dipergunakan sebagai alas merupakan kain yang dianggap mahal sehingga menyimbolkan sesuatu yang berharga tinggi. Sementara belo atau sirih dianggap sebagai simbol keramahtamahan orang Karo ketika mengunjungi ataupun menyambut orang penting. Sedangkan beras piher diartikan sebagai berkat dan uang logam sebagai “batu” merupakan simbol penguat yang keras dan tidak mudah hancur. Umumnya yang mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan proses ini adalah Anak Beru dari pihak perempuan. Mereka menyiapkan seluruh perlengkapan tersebut kecuali uang unjuken yang akan dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Piring ini dijalankan sebanyak tiga kali putaran. Putaran pertama berisi uang unjuken dan seluruh pelengkapnya akan diberikan kepada Sukut dan Senina, yang mencakup Ayah dan Ibu dari pihak perempuan. Ibu dari pengantin perempuan akan menerima unjuken tersebut kemudian mengambil sirih dan menggendongnya bersama uang unjuken tersebut sebagai simbol bahwa apa yang telah ia terima merupakan simbol dari anaknya yang telah menikah namun pertendin (jiwa) anaknya akan tetap ia jaga seolah anaknya masih dalam pangkuannya. Kemudian setelah itu dia akan mengambil sejumput dari beras piher yang ada di dalam piring dan meletakkannya diatas kepala dan dibahunya sebagai simbol bahwa ia akan tetap memikirkan anaknya dan masih akan tetap menyediakan bahunya untuk menjadi pegangan bagi anaknya kelak. Kemudian putaran kedua, piring akan disampaikan kepada pihak singalo bere-bere, singalo perninin, singalo perbibin. Setelah itu putaran ketiga, piring akan diberikan kepada anak beru yang meliputi anak beru menteri dan sirembah ku lau. Pemberian ini tidak boleh diberikan secara langsung dari Anak Beru pihak laki-laki kepada Sukun, Senina, Kalimbubu pihak perempuan, melainkan harus melalui anak beru pihak perempuan sebagai perantara. Seluruh uang unjuken ini akan dibagikan kepada semua orang yang hadir. Namun jika uang unjuken ini kurang dan masih ada keluarga yang belum mendapat bagian, maka orang tua dari pihak perempuan berkewajiban untuk membayar uang tambahan yang nantinya akan dibagikan kepada yang belum mendapatkan bagian unjuken tersebut.

            Jauh sebelum kekristenan masuk ke Tanah Karo, masyarakat Karo sudah mengenal suatu sistem kepercayaan yang disebut dengan Agama Pemena atau Pemena. Pemena merupakan kepercayaan yang ada pada masyarakat tradisional Karo, ataupun bisa juga disebut agama asli dari masyarakat Karo. Pemena, merupakan kepercayaan yang menganut sistem politheisme dan dinanisme. Dikatakan politheisme, karena dalam ajaran dasar pemena, perwujudan Dibata (Tuhan) digambarkan dalam tiga wujud, yaitu :
1. Dibata Datas (Kaci-kaci)
2. Dibata Tengah (Banua Koling), dan
3. Dibata Teruh (Paduka Ni Aji) (Arikokena 2012).
Dalam kepercayaan pemena, upacara ritual dipimpin oleh seorang guru. Guru merupakan sebutan bagi orang-orang tertentu yang dianggap memiliki keahlian melakukan berbagai upacara tradisional Karo, antara lain meramal, memimpin ritual, berkomunikasi dengan roh atau mahluk gaib. Dalam tulisannya yang berjudul “De Bataksche Guru”, J. H. Neumamnn memandang guru sebagai ahli perawatan, ahli sejarah, ahli teologi, ahli ekonomi, penyembuhan kesehatan, bahkan juga merupakan suatu ‘ensiklopedi’ yang mengembara di tengah-tengah masyarakat (Neumamnn 1986, 1-18). Ginting, J. G. menyebutkan secara harfiah guru sama artinya dengan kata guru (lehrer) dalam bahasa Indonesia, yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang mendetail mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan. Tetapi sebagai sebuah peran, guru cenderung diartikan dengan dukun dalam bahasa Indonesia. Sementara Achim Siebeth menyebut guru sebagai magician-priest (Sibeth 1991, 64).
            Di dalam praktik agama Pemena terdapat beberap ritual tradisional yang dipimpin oleh seorang atau beberapa orang perempuan. Bagi orang Karo, perempuan yang berprofesi seperti ini disebut Guru Si Baso (Sibeth 1991, 64). Mereka terutama memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan roh gaib atau jiwa orang yang telah meninggal. Para perempuan ini memiliki roh pelindung. Dalam memimpin upacara, mereka selalu berkomunikasi dengan mahluk gaib melalui keadaan kesurupan.
            Guru Si Baso memiliki peran penting disepanjang daur hidup seseorang. Peran perempuan sebagai guru si baso memiliki fungsi sebagai berikut:
·         Si Baso sebagai Dukun Beranak
Seorang dukun beranak juga disebut sebagai guru Si Baso. Proses kelahiran manusia baru dipandang sama dengan datangnya sesuatu dari dunia gaib (rahim ibu) ke dunia nyata (dunia manusia). Kelahiran merupakan awal kehidupan suatu tendi (jiwa) baru. Pemotongan tali pusat yang dilakukan oleh Guru Si Baso dipandang sebagai sebuah legitimasi pemutusan hubungan dengan dunia gaib. Manusia baru telah hidup di dunia nyata dan tendinya (jiwanya) adalah milik pribadinya seutuhnya.
·         Si Baso sebagai Dokter dan Ahli Kejiwaan
Selama masa pertumbuhan hingga dewasa, jika terjadi gangguan kesehatan fisik atau gangguan kejiwaan yang berhubungan dengan ketidakseimbangan dari tendi (jiwa), maka guru Si Baso akan berperan dalam proses penyembuhan. Beberapa ritual yang dipimpin Si Baso , seperti: raleng tendi atau ndilo tendi, ngombak belo, erpangir ku lau, perumah dibata atau jinujung, nuan galoh, buah huta-huta, muncang atau ngeluncang, mulahken manok, dan upah tendi. Dalam kasus penyakit yang disebabkan karena kehilangan tendi untuk sementara. Seorang guru Si Baso akan melakukan diagnosis penyebab sakit dan metode penyembuhannya dengan bertanya pada jenujungnya melalui suara siulan di lehernya (i sendongken). Si Baso harus tahu apakah sakit itu disebabkan campur tangan pihak luar seperti guna-guna, roh jahat, atau karena kondisi fisik tertentu si pasien, bagaimana proses kejadiannya (apakah karena melakukan pelanggaran yang dipantangkan atau karena seseorang itu mempunyai musuh), kapan gejala dimulai, serta di mana pertama kali terjadi. Perlu juga informasi mengenai latar belakang keadaan fisik, keturunan (apakah dari keluarga guru atau orang biasa), persoalan keluarga dan masalah dalam hubungan kekerabatan, kondisi ekonomi, dan beberapa hal-hal lain yang dipandang perlu oleh guru Si Baso.
·         Si Baso sebagai ‘Master of Ceremonies
Setelah seseorang meninggal, maka guru Si Baso juga berperan melalui ritual perumah begu. Bahkan apabila akan dilakukan upacara memindahkan tulang-belulang dari makam lama ke geriten, guru Si Baso juga memimpin ritualnya dengan nama ngampeken tulan-tulan. Perpindahan makam dipandang sebagai suatu perpindahan tempat juga bagi begu (roh) orang yang telah meninggal itu. Roh itu harus kembali diintegrasikan dalam tempat peristirahatan terakhirnya yang baru. Guru Si Baso akan menyanyi dan menari dalam memimpin upacara ini sembari menjujung sekumpulan tulang-belulang leluhur di atas kepalanya. Roh pemilik tulang tersebut diharapkan mengikuti langkah guru Si Baso menuju geriten baru. Selesai acara ini, maka akan dilakukan perumah begu pada malam harinya, khusus bagi begu (roh) yang dipindahkan tulangnya. Nyanyian guru Si Baso memanggil jenujung adalah memanggil raja kepultaken (penguasa matahari terbit) dan raja kesunduten (penguasa matahari terbenam):
Enda maka kurudangken rudang kapias, ras pe rimo malem. Kuturangken kam melias dapet ate malem. O…turang rudang kapias rudang tara tinggi, e bandu kepe rudangta. Mare nini raja keputaken berkat kam kerina raja kesunduten, maka si dungi dahinta. Adi la kam reh la aku beloh. Kuleboh kel kam kerina, masok kel kam kerina ku dagingku, adi la kem reh la aku beloh ermag-mag.

Penerjemahan oleh penulis:
Ini telah kubungakan bunga kapias, juga jeruk kesejukan. Kujadikan kamu saudara yang baik untuk mendapat perasaan damai. O…saudara bunga kapias bunga tara tinggi, kiranya itu jadi bunga kita. Mari penguasa matahari terbit, berangkatlah kamu beserta penguasa matahari terbenam, supaya kita selesaikan pekerjaan kita. Jika kamu tidak datang tidak mampu aku melakukannya sendiri. Aku memanggil kamu semua, masuklah ke dalam tubuhku, kalau kamu tidak datang, aku tidak akan mampu untuk bercerita dan bernyanyi.
·         Si Baso sebagai Pencerita Kembali
Peran sebagai penceritera kembali kisah hidup dari orang yang telah meninggal ini dilakukan pada saat begu (roh) yang datang adalah orang yang baru dikebumikan pada sore harinya. Dalam keadaan kesurupan, Si Baso akan berkisah mengenai dirinya dengan tokoh aku (saya). Aku yang dimaksud adalah diri si begu (roh) yang datang memasuki tubuh Si Baso. Kisah yang dipaparkan dapat dikelompokkan dalam tiga bagian. Pertama mengenai pribadi aku, kisah antara aku dan kerabat, dan mengenai harapan-harapanku.
Si Baso harus dapat bernyanyi dengan bagus dan merangkai kata-kata untuk menciptakan suasana gaib di ritual tersebut. Suasana ini dibutuhkan untuk menciptakan ‘keterbukaan’ agar para penyelenggara dapat meluapkan segala sesuatu yang mengganjal perasaannya selama ini untuk semua masalah yang berhubungan dengan orang yang baru meninggal itu semasa hidupnya.
·         Si Baso sebagai Pendeta
Sebagai seseorang yang memiliki kekuatan supranatural, seorang guru Si Baso memiliki fungsi untuk pemenuhan kebutuhan rohani bagi warganya. Sebagai penyambung rasa antara manusia dan Dibata la idah (Tuhan penguasa alam semesta yang tidak kelihatan).
·         Si Baso sebagai Ahli Tafsir dan Penasehat
Sebagai orang yang menguasai pengetahuan tentang kosmos (alam semesta), guru Si Baso juga berfungsi sebagai biak penungkunen (biro konsultasi). Warga akan meminta penjelasan mengenai mimpi mereka, peristiwa aneh yang dialami, dan mengharapkan nasehat-nasehat sebagai tindakan lanjutan. Nasehat terutama sangat dibutuhkan dalam kasus konflik antarwarga atau antar kerabat. Jika kasus terjadi dalam lingkup kerabat dekat, Si Baso akan menyarankan diadakannya perumah dibata dan disusul dengan perumah begu pada malam harinya dengan hanya melibatkan kerabat terdekat yang bersengketa. Fokus dalam acara diarahkan pada penyelesaian konflik. Dalam kasus ini, Si Baso juga berfungsi sebagai pengikat solidaritas sosial.
·         Si Baso sebagai Mediator
Si Baso juga berperan sebagai perantara antara dua kerabat yang berselisih paham. Dalam hal ini, peran Si Baso sebagai perantara perdamaian untuk dua kelompok kerabat yang berkonflik. Begu (roh) atau arwah yang memasuki tubuh Si Baso bertindak sebagai juru damai dan memberi beberapa nasihat.
Selain menjaga keseimbangan dalam diri manusia, secara tidak langsung Si Baso juga berperan menjaga keseimbangan berjalannya norma dan nilai adat-istiadat. Pergeseran norma dan nilai adat dapat menjadikan jalannya adat menyimpang dan menyebabkan para leluhur marah dan mencelakakan manusia. (Sembiring 1992, 13-18)

            Menjadi seorang anak perempuan di dalam suku Karo bukanlah sesuatu yang mudah. Seorang perempuan Karo memiliki banyak sekali kewajiban terhadap keluarga yang harus mereka tanggung, baik itu sebelum mereka menikah maupun sesudah mereka menikah.

Sejengkal di atas Lutut, Sejengkal di bawah Leher (terkait dengan tradisi, aturan, dan larangan adat mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh anak perempuan yang belum menikah)
·         Sikap dan Prilaku Perempuan Karo sebelum menikah
Seorang perempuan Karo yang belum menikah akan dihujani dengan berbagai macam aturan dan larangan yang berkaitan erat dengan tradisi dan adat budaya Karo. Segala hal yang dipantangkan bagi perempuan itu dianggap sebagai nilai-nilai inti yang pada akhirnya menjadi panduan bagi mereka untuk dijadikan pedoman dalam bertingkah laku. Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang pemerhati budaya Karo yang bernama Malem Ukur Ginting, ada beberapa hal yang dijadikan sebagai aturan bagi seorang perempuan Karo, misalnya sebagai berikut:
-          Seorang perempuan Karo harus mengenakan sarung ketika berada di dalam rumah saat berkumpul dengan keluarga maupun ketika berada di luar rumah. Hal ini jelas ingin mempertegas bahwa seorang perempuan Karo yang belum menikah harus menjaga kesopanan ketika bertemu dengan orang lain. Di satu sisi, penggunaan sarung atas nama kesopanan memang dinilai membawa makna yang positif. Namun pada sisi lain, dengan adanya penggunaan sarung, seorang perempuan seolah tidak memiliki kebebasan yang penuh. Perempuan Karo seolah tidak boleh mengekspresikan dirinya dengan mengenakan pakaian lain melainkan harus dengan mengenakan sarung yang berarti seluruh bagian tubuh tertutupi hingga ujung kaki. Selain itu dengan mengenakan sarung, otomatis pergerakan perempuan itu pun dibatasi. Perempuan menjadi kelihatan lebih gemulai, berjalan pelan dalam balutan sarung, dan sulit untuk berlari. Bahkan ketika mandi pun seorang perempuan Karo harus tetap mengenakan sarung yang disematkan di dadanya.
-          Seorang perempuan Karo yang sudah memasuki usia remaja tidak boleh tinggal di rumahnya sendiri bersama orang tuanya dan tidak diperbolehkan untuk berada di rumahnya jika hanya ada dia dan ayahnya atau saudaranya laki-laki juga berada di rumah pada waktu yang bersamaan. Para anak perempuan akan ditempatkan di rumah janda-janda pada malam hari dan tidur di rumah itu hingga pagi. Ketika pagi hari, mereka diperbolehkan kembali ke rumahnya untuk membantu orangtuanya ataupun berangkat sekolah. Hal ini bertujuan untuk menghindari zinah antar anggota keluarga.
-          Seorang perempuan Karo dilarang untuk berboncengan menggunakan sepeda motor dengan saudaranya laki-laki meski dengan alasan apapun. (Ginting 2014)

·         Runggu Tanpa Diberu
Seorang perempuan Karo, yang biasa disebut diberu, tidak pernah mendapatkan posisi di dalam budaya runggu (musyawarah). Biasanya di dalam acara pernikahan atau acara kedukaan, orang Karo selalu memulainya dengan runggu. Segala hal yang berkaitan dengan acara tersebut akan diputuskan di dalam runggu itu. Namun umumnya hanya laki-laki saja yang bertugas untuk runggu, sementara perempuan hanya mendapat kesempatan untuk bertugas menyiapkan minuman, atau duduk di luar lingkaran runggu tersebut. Hal ini semakin membuktikan bahwa pada dasarnya kemampuan perempuan dipertanyakan. Selain itu juga menunjukkan bahwa perempuan memang tidak pernah diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Kaum perempuan boleh tetap duduk untuk mendengar dan menyaksikan berjalannya runggu, tetapi tidak memiliki andil apapun untuk ikut menyumbangkan suaranya.

·         Perempuan Tanpa Warisan
Seorang perempuan Karo tidak memiliki hak waris atas warisan orangtuanya. Dengan sistem kekeluargaan patrilineal yamg dianut masyarakat Karo, hanya anak laki-laki yang diyakini dapat menjadi penerus garis keturunan dari orang tuanya maka hanya anak laki-laki yang berhak mewarisi harta kekayaan orang tuanya. Atas alasan itu pula maka perempuan di dalam adat masyarakat Karo sejak dahulu bukan merupakan ahli waris. Dia hanya berhak atas harta suaminya yang diperoleh suaminya dari keluarganya kelak jika dia telah menikah ataupun pemberian dari saudaranya laki-laki. Perempuan Karo masih menduduki posisi yang termajinalkan dan tersubordinasi dalam hal warisan. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitianTesis Mberguh Sembiring dengan judul Sikap Masyarakat Batak Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 179/K/SIP/1961 (Studi di Desa Lingga) yang mengatakan bahwa pada asasnya dalam susunan masyarakat Karo yang mempertahankan garis keturunan laki-laki (patrilineal), anak perempuan hanya dapat memperoleh harta dari orang tuanya dengan cara pemberian yang didasari oleh kasih sayang saja dan juga pemberian yang dimaksud tergantung pada kemampuan orang tua mereka. Hal ini menunjukkan tidak ada persamaan kedudukan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal mewaris dari kedua orang tuanya. Padahal Keputusan Mahkamah Agung tersebut dengan jelas mengatakan: bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas harta warisan, dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan (Sembiring 2003, 49).

Jika kita melakukan pengamatan sepintas tentang perempuan Karo yang sudah menikah, mungkin ada anggapan awal bahwa perempuan Karo sama dengan perempuan-perempuan lainnya dalam suatu masyarakat pada umumnya dengan berbagai aktifitas domestik yang mereka lakukan. Namun apabila dilakukan penelitian dengan cermat terhadap perempuan Karo, maka akan ditemukan berbagai kenyataan yang menunjukkan perbedaan mereka dengan perempuan-perempuan pada masyarakat tradisional lainnya.
·         Ndehara singukat nakan (perempuan sebagai ibu rumah tangga yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga)
Di dalam pemahaman orang Karo pada umumnya, seorang perempuan yang sudah menikah memiliki kewajiban untuk menjaga stabilitas rumah tangga, mengerjakan setiap pekerjaan rumah tangga, hingga mengurus anak dan suami sekalipun dia bekerja di luar rumah. Oleh karena itu ada ungkapan di dalam bahasa Karo Ndehara singukat nakan. Jika diterjemahkan secara harafiah, ungkapan ini berarti istri yang menyendokkan nasi. Dengan kata lain, ungkapan ini ingin memperlihatkan bahwa seorang istri di dalam kelurga Karo memiliki tugas untuk “menyendokkan nasi” kepada anggota keluarganya. Sehingga sangat sulit untuk menggeserkan tugas dan tanggungjawab itu untuk diembankan kepada laki-laki karena khawatir akan pergeseran makna yang nantinya terjadi. Sehingga, hingga saat ini sangat jarang ada laki-laki yang mau mengerjakan pekerjaan domestik dan membantu istrinya memasak di dapur, membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan lain-lain.

·         Nande maka Nande (terkait memahami Perempuan Karo sebagai sumber berkat ketika ia dapat melahirkan keturunan bagi suaminya)
Secara umum, perbedaan yang terlihat antara perempuan dan laki-laki adalah fungsi mereka secara biologis. Banyak orang yang beranggapan bahwa perempuan dikodratkan untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui anak. Padahal secara biologis, kodrat perempuan adalah memiliki vagina, rahim, kelenjar susu, dan lain-lain. Sementara mengandung, melahirkan, dan menyusui anak merupakan peran gender mereka. Fungsi ini jelas sekali tidak dapat diambil alih oleh laki-laki. Namun menurut penulis, peran biologis ini merupakan eksistensi perempuan, bukan konstruksi sosial atau hal yang dikembangkan oleh budaya. Sehingga perempuan berhak untuk memilih untuk memakai alat reproduksi yang mereka miliki itu untuk mengandung, melahirkan dan menyusui, atau tidak sama sekali.
Minimnya pengetahuan masyarakat Karo tentang kodrat dan peran gender yang berbeda ini terkadang mampu membuat perempuan terpojokkan ke dalam suatu situasi yang sulit dan merugikannya sebagai perempuan. Bahkan tidak sedikit orang Karo yang masih tabu membicarakan tentang kodrat dan peran gender perempuan ini. Salah satu contoh dari kenyataan ini yang dapat kita temui di dalam budaya Karo adalah sangat sedikit orang yang berani menyebut vagina dan payudara baik menggunakan bahasa Karo maupun bahasa Indonesia. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk menggantikan istilah itu dengan sebutan lain seperti “barangmu” (ajangmu) atau “burung”. Namun istilah itupun hanya untuk menyebut penis, sedangkan untuk menyebut vagina, orang Karo belum memiliki istilah yang dapat mewakilinya sehingga jarang sekali disebutkan. Hal itu membuktikan bahwa beberapa hal yang berkaitan dengan tubuh perempuan masih tabu untuk dibicarakan di dalam masyarakat Karo. Bahkan bila ada yang berani menyebutnya, maka pasti akan ditegur karena menyebut kata vagina dan payudara dianggap “cakap kotor”.
Bagi masyarakat Karo sendiri, memiliki keturunan berarti dilimpahi berkat. Apalagi jika di dalam keluarga itu dikaruniai anak laki-laki. Seorang perempuan barulah dianggap mempunyai kedudukan apabila dia telah melahirkan dan anak itu adalah laki-laki. Namun demikian seorang perempuan akan dianggap kurang beruntung jika tidak memiliki anak laki-laki di dalam keluarganya. Oleh karena itu tidak sedikit perempuan yang terus menerus, dipaksa ataupun dengan keinginannya sendiri, untuk melahirkan hingga nantinya akan berhasil mendapat anak laki-laki. Sebab di dalam pemahaman orang Karo, satu anak laki-laki lebih berharga bila dibandingkan dengan sembilan anak perempuan. Bahkan jika seorang perempuan tidak dapat melahirkan keturunan atau tidak melahirkan anak laki-laki, maka suaminya akan diijinkan oleh semua keluarga untuk menikahi perempuan lain dan diharapkan dapat mendatangkan keturunan laki-laki. Hal ini dilandasi dengan alasan bahwa jika seseorang tersebut tidak memiliki anak laki-laki di dalam keluarganya, maka orang itu akan dinamai masap atau “hilang terhapus”. Bukan orangnya yang hilang, melainkan identitasnya yang terhapus karena tidak memiliki penerus silsilah atau pengganti yang dapat meneruskan merganya. Tentu saja hal ini sangat tidak menguntungkan pihak perempuan. Karena perempuanlah yang dianggap tidak mendatangkan berkat bagi keluarganya jika tidak memiliki anak laki-laki. Padahal mungkin saja suaminya juga yang tidak mampu untuk memberikan keturunan, bukan hanya perempuan saja. Namun hal ini selalu dilihat sepihak saja, hanya dari sisi perempuan.
Laki-laki dihormati karena dia adalah laki-laki, dan hal itu sudah merupakan alasan yang cukup kuat untuk mempunyai kedudukan. Tetapi perempuan baru dipandang setelah dia dapat melahirkan anak laki-laki. Hal ini memperlihatkan bahwa nasib perempuan tergantung kepada sesuatu yang di luar dirinya.
Sekarang setelah melihat eksistensi perempuan Karo dengan latar belakang budaya adat istiadat Karo yang cukup mengikat, bagaimana peran perempuan dalam Agama Pemena, dan bagaimana partisipasi mereka dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan masyarakat telah cukup membantu kita untuk melihat dan menyadari bagaimana peran dan status perempuan Karo sebelum masuknya kekristenan. Oleh karena itu, pada bab selanjutnya penulis akan memaparkan bagaimana pula sebenarnya eksistensi perempuan Karo dalam GBKP yang menyoal posisi, peran, dan status perempuan baik itu di dalam dan di luar gereja serta pengaruhnya bagi kehidupan perkawinan seorang perempuan Karo setelah kekristenan berhasil menapakkan kakinya di Bumi Turang, Tanah Karo dan menyentuh hampir setiap hati masyarakat Karo.


Persekutuan Kaum Ibu di GBKP disebut dengan Moria. Moria GBKP sudah ada sejak tanggal 16 Oktober 1957 (Sinulingga 2008, 10). Awal mula pembentukan persekutuan kaum ibu (Moria) ini dipicu oleh adanya keinginan untuk melibatkan perempuan di dalam kehidupan bergereja. Sekalipun Moria GBKP baru muncul 68 tahun setelah GBKP sudah dapat berdiri kokoh dengan kakinya, sebenarnya pemikiran untuk memajukan kaum perempuan Karo sudah muncul sejak lama, yakni sejak kehadiran misionaris Belanda di Tanah Karo. Pemikiran mengenai kemajuan perempuan Karo ini mulai direalisasikan oleh misionaris pertama di Buluh Awar, yakni Pdt. H. C. Kruyt dan Nora Willemien de Light (1890-1892). Dalam pendekatannya terhadap masyarakat Karo, mereka juga memberi perhatian kepada kaum perempuan Karo, yang pada masa itu masih termarjinalkan dan tersubordinasi karena pengaruh budaya patriakal yang dianut oleh masyarakat Karo.
Pada mulanya, mereka mengadakan pelayanan pendidikan sekolah dan pelayanan kesehatan di lima Pos Pekabaran Injil dan menempatkan Guru-guru dari Minahasa di desa-desa sekitar Bunuh Awar pada tahun 1891. Sejak saat itu, lama kelamaan masyarakat Karo menjadi ingin tahu, semakin ingin mendengar, bahkan pada akhirnya mereka juga ingin belajar.
            Pada tahun 1892, Nora Pdt. Wijngaarden memberikan pendidikan kepada kaum perempuan Karo seperti jahit menjahit, belajar membaca dan menulis, serta sedikit pengetahuan tentang kesehatan (Sinulingga 2008, 44){Ginting, 2014 #2}. Hal ini berlanjut hingga 43 tahun kemudin setelah injil masuk akhirnya keluarga-keluarga misionaris Belanda, yang dipelopori oleh para Nora, semakin merasakan akan pentingnya pendidikan untuk kemajuan perempuan Karo kelak. Oleh karena itu, disamping menjalankan misi Pekabaran Injil mereka juga memberikan pendidikan melalui sekolah yang mereka dirikan dan pelayanan kesehatan melalui Poli Klinik dan Rumah Sakit. Hal ini didukung juga oleh Nora Pdt. Van den Berg, Ny. Dr. de Klijn, Suster Meyer, Nora Pdt. Neumann dan Nora Pdt. Vuurman selaku pembina perempuan Karo. Pada tanggal 10 Agustus 1933 di Kabanjahe diadakan pertemuan kaum Perempuan Karo oleh Nora Pdt. Ny. G. Neuman Bosch yang dihadiri oleh kurang lebih 20 orang perempuan muda Karo yang sudah berpendidikan dan yang sudah mengikuti pembinaan dari Nora-nora (keluarga misionaris Belanda). Perempuan muda Karo yang diajar dan mendapat pendidikan umumnya adalah anak-anak pengulu, pegawai, guru agama, guru sekolah dan anak-anak dari keluarga tertentu lainya. Pada waktu itulah dibentuk organisasi perempuan dengan nama Christelyke Meisjes Club Majoe (CMCM). Organisasi ini makin semakin berkembang, baik dalam jumlah maupun kegiatan mereka, misalnya seperti belajar bernyanyi, berdoa, membaca, menulis, pengetahua umum termasuk kesehatan, kebersihan, tata boga (masak memasak), menata dan melayani jamuan makan, menjahit, dan yang terpenting mereka juga diberi kesempatan untuk mempelajari Pengetahuan tentang Alkitab (Sinulingga 2008, 10). Anggotanya bukan hanya perempuan muda Karo saja, melainkan juga kaum ibu-ibu rumah tangga.
Dalam sejarah perjalan Pekabaran Injil, kaum Perempuan Karo sudah mulai mengikuti pendidikan sekolah umum (intelektual) dan pendidikan rohani dan gerejawi (spiritual). Dari Pemahaman Alkitab, Perempuan Karo mulai melihat dan menyadari bahwa keadaan terkekang oleh adat istiadat yang berlaku ditengah-tengah masyarakat Karo yang sangat membatasi ruang gerak hidup perempuan, sangatlah tidak sesuai dengan hakekat pemberian Tuhan kepada perempuan. Selaku ciptaan Tuhan, kaum perempuan harus hidup sesuai dengan kehendak dan panggilan Tuhan. Kaum perempuan GBKP adalah anak-anak Tuhan sebagai “garam dan terang dunia” yang dipanggi untuk menggarami dan menerangi adat istiadat manusia (adat Karo). Dari pendidikan sekolah, mereka diajari untuk membaca buku-buku sejarah sehingga mereka dapat mengenal dan mempelajari tokoh-tokoh perempuan Indonesia yang berjuang bagi kemajuan perempuan dan bangsa Indonesia seperti Raden Ajeng Kartini, Tjut Nyak Dien, Tjut Mutia, dan lain-lain. Selain itu mereka juga mempelajari buku-buku pengetahuan umum dan buku lainnya yang membuat perempuan Karo dapat berpikir secara kritis sehingga wawasan berpikirnya pun semakin terbuka.

Perjalanan sejarah pemikiran GBKP dalam penerimaan Perempuan sebagai Pendeta Pelayan Khusus Penuh Waktu (PKPW) tentu tidak terlepas dari sejarah tumbuhnya dan kemajuan kaum perempuan GBKP, yang biasa disebut dengan Moria. Hal ini juga didukung oleh adanya hubungan oikumenis GBKP baik dalam negeri dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) maupun dengan Gereja-gereja Luar Negeri antara lain: Dewan Gereja-gereja se-Dunia (World Council of Churches), Persekutuan Gereja-gereja Reformasi se-Dunia (World Alliance of Reformed Churches), Persekutuan Gereja-gereja Asia (Christian Conference of Asia), Persukutuan Misi Injili Gereja-geraja di Tiga Benua Eropa (Jerman, Asia, Afrika/United Evangelical Mission, dan lain-lain). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa sungguh sangatlah tidak mudah untuk mencapai kemajuan bagi perbaikan status perempuan Karo dengan latar belakang penganut sistem budaya patriakal tersebut. Selain karena pada masa awal masih sedikit keterlibatan, kehadiran dan peran aktif perempuan dalam gereja, proses ini juga memakan waktu yang tidak singkat. Namun demikian proses itu tetap berjalan lancar karena tidak ada penolakan dari berbagai pihak terhadap keikutsertaan perempuan dalam perkembangan Pekabaran Injil dan kehidupan GBKP, bahkan sejak masuknya injil ke masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari dibuka kesempatan bagi perempuan Karo untuk mengikuti pendidikan Guru dan Evangelis di Sekolah Guru dan Evangelis pada angkatan kedua pada tahun 1938-1940 di Kabanjahe yang didirikan oleh Pdt. J. V. Muylwijk. Di antara enam belas murid yang dididik, enam orang di antaranya adalah murid perempuan. Guru dan Evangelis ini nantinya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan guru Pendidikan Agama Keristen di desa-desa. Namun yang menjadi penekanan penting dengan hadirnya guru-guru perempuan di desa-desa diharapkan dapat memberikan pandangan yang lebih luas dan terbuka terhadap peran perempuan dalam masyarakat Karo. Demikianlah usaha Pekabaran Injil dan usaha memajukan kaum Perempuan Karo (Abram 1997, 81-115).

Pada tahun 1953, GBKP menahbiskan sebelas Guru Agama dan Evangelis. Dua orang di antaranya adalah perempuan, yaitu Gr. Ag. Rahel br Sinuraya dan Gr. Ag. Ruth br Tarigan. Sejak tahun 1960-an, sudah ada Penatua dan Diaken perempuan yang melayani di gereja walaupun pada mulanya pelayanannya masih terbatas pada menghitung uang persembahan, melakukan pelayanan diakonia, mengurus keperluan konsumsi pada rapat Majelis (Runggun) Gereja, dan lain-lain. Namun diakhir tahun 1980-an, Penatua atau Diaken perempuan mulai diberi kesempatan untuk memimpin Ibadah (Kebaktian Minggu), baik sebagai liturgos maupun pengkhotbah, karena mereka sudah terlebih dahulu belajar dan mendapat pembekalan melalui Sermon Penatuadan Diaken di Runggun Gereja dan Kursus Pertua dan Diaken perempuan oleh BPP (Badan Pengurus Pusat) Moria.
Meskipun GBKP tidak melakukan penolakan secara prinsipil terhadap peran Pendeta Perempuan, namun sebelum tahun 1979, Sinode GBKP masih belum terdorong untuk membekali, memperlengkapi dan menyekolahkan perempuan ke sekolah-sekolah teologi di Indonesia untuk menjadi pendeta. Sama seperti kebanyakan gereja-gereja anggota PGI lainnya di Sumatera Utara dan ditempat lain, penerimaan perempuan untuk menduduki jabatan pendeta baru terjadi di tiga dekade terakhir. Beberapa hal yang menjadi hambatan bagi perempuan untuk menjadi pendeta antara lain:
1.      Pandangan tradisional
Adanya pandangan dari sikap kebanyakan orang dalam masyarakat patriakal yang menganggap perempuan hanyalah mahluk lemah yang harus dilindungi, dihidupi, dimiliki, bahkan untuk dicintai menyebabkan perempuan berada dalam posisi pasif yang selalu harus dijadikan objek oleh pihak yang memposisikan diri sebagai subjek atas perempuan. sehingga perempuan selalu dinomorduakan, tidak mendapat posisi yang baik untuk berkembang karena ruang geraknya dibatasi dengan pekerjaan rumah tangga, melahirkan dan membesarkan anak, dan menyenangkan hati suami. Bahkan bagi kebanyakan masyarakat Karo hal ini sudah merupakan tugas, tanggung jawab, dan kewajiban utama seorang perempuan Karo yang sudah dinikahi dan “dibeli” oleh suaminya melalui proses unjuken yang sudah merupakan bagian dari tradisi adat-adat Karo dalam suatu perkawinan. Dengan demikian perempuan dianggap harus tunduk kepada kehendak suami, sehingga tidak penting bagi perempuan untuk mengikuti pendidikan akademis. Hal ini juga disebabkan karena adanya pemahaman bahwa perempuan itu dianggap tidak mempunyai kemampuan dalam hal kepemimpinan. Bahkan kedudukannyapun terancam jika dia tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai anak laki-laki, karena mungkin saja dia akan diceraikan oleh suaminya. Praktik budaya Karo yang seperti inilah yang tidak mendukung kesetaraan gender dan menjadi tantangan bagi perkembangan perempuan Karo dalam menunjukkan eksistensinya. Sebab hanya laki-laki yang lebih banyak diberikan peran baik di dalam pengambilan kebijakan dan tanggung jawab di dalam keluarga, gereja, dan masyarakat.
2.      Pemahaman yang keliru tentang Alkitab
Masih ada sebagian masyarakat Karo yang beranggapan bahwa laki-laki dianggap lebih penting, lebih tinggi derajatnya, lebih mampu memimpin, dan lebih dapat diandalkan untuk menguasai kehidupan, karena di dalam Alkitab dikatakan bahwa laki-laki lebih dulu diciptakan daripada perempuan dan perempuan berasal dari laki-laki sehingga perempuan hanyalah bagian kecil dari laki-laki (Kej. 1:27; 2:18, 21-22). Bahkan ada pula yang mengutip dari surat Rasul Paulus (I Kor. 14:34-35) yang melarang perempuan berbicara dihadapan jemaat. Nats ini sering kali pula dijadikan sebagai alasan kuat untuk tidak bersedia menerima perempuan menjadi pendeta. Padahal jika diteliti kembali, kita dapat melihat bahwa teman sekerja Rasul Paulus dalam Pekabaran Injil juga perempuan, antara lain Priskila, Febe, Trifena, Trifosa, Persis, Ibu Rufus, Eudia, dan Sintikhe.
3.      Pemahaman dari diri perempuan itu sendiri
Kaum perempuan sendiri belum menyadari panggilannya ataupun kurang percaya diri dengan kemampuannya untuk memimpin dan melayani jemaat karena merasa kurang kompeten akibat kurangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Sehingga kebanyakan perempuan masih berwawasan sempit, tidak terampil, pasif dan kurang berpartisipasi dalam kegiatan gereja, keluarga maupun masyarakat. Bahkan kesibukannya sebagai ibu dan istri yang mengurus rumah tangga turut menghalangi dirinya untuk berperan aktif sehingga pada akhirnya hal itu juga dapat mereka jadikan sebagai alasan untuk tidak ikut mengambil bagian dalam suatu kegiatan gereja pada kesempatan mendatang.
Kendati banyak hal yang menjadi hambatan dan kendala bagi perempuan untuk menjadi seorang pendeta, namun pada tanggal 15 Maret 1987 GBKP menahbiskan pendeta perempuan yang pertama, yakni Pdt. Rosmalia br. Barus yang merupakan lulusan Institut Theologia Makassar dengan gelar Sarjana Muda Theologia. Pada tahun yang sama, tanggal 6 Desember 1987, dua orang perempuan lagi ditahbiskan menjadi pendeta, yaitu Pdt. S. U. br Tarigan S.Th dan Pdt. Ratna br Sembiring S.Th yang merupakan lulusan dari Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta (Sinulingga 2008, 50). Menurut Pdt. Suenita Sinulingga, adanya penerimaan yang demikian merupakan hasil dari pergeseran budaya Karo sehingga perempuan sudah mulai diberi kesempatan untuk berkarya. Selain itu, menurut beliau, GBKP juga sudah semakin dapat menerima perempuan sebagai pendeta dan membuka peluang bagi perempuan dalam jabatan struktural disegala tingkatan (Sinulingga 2014). Berdasarkan Data Penempatan Personalia GBKP yang memuat 438 orang pendeta dan calon pendeta, 293 orang di antaranya adalah perempuan dan 145 orang lainnya adalah laki-laki (GBKP 2013). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perempuan sudah dapat diterima sebagai pemimpin di gereja, namun masih banyak juga pendeta perempuan yang ditempatkan di daerah pedesaan. Hal ini jelas memperlihatkan bahwa meski sudah ada pendeta perempuan yang ditahbiskan, tetapi peran mereka masih terbatas, yakni hanya mendapat peran di pelosok dengan tugas pelayanan standar. Berbeda halnya dengan tugas pelayanan pendeta yang ada di daerah perkotaan. Jadi dengan kata lain, di dalam gereja pun ternyata perempuan masih menjadi subordinat yang membuat mereka masih harus menghadapi hambatan agar perempuan itu dapat menunjukkan eksistensinya sehingga tidak terus-menerus dinomorduakan.
Jika ingin melihat eksistensi perempuan di dalam GBKP, kita jangan hanya melihat pendeta perempuan saja, tetapi juga perempuan lain (Moria) yang juga mampu berjuang untuk memperlihatkan eksistensinya di dalam GBKP.
Moria adalah salah satu persekutuan kategorial kaum ibu di GBKP yang bertujuan untuk melaksanakan pembinaan, pelayanan bagi anggotanya serta memperjuangkan hak-hak perempuan di keluarga, gereja dan masyarakat. Moria juga terpanggil untuk menjalankan Tritugas Panggilan Gereja yakni koinonia, marturia dan diakonia. Diharapkan melalui panggilan ini Moria dapat meningkatkan kualitas spiritual (pertumbuhan rohani), kualitas sumber daya sebagai perempuan sekaligus meningkatkan kualitas jemaat GBKP. Untuk itu, perempuan ditengah GBKP dalam kurun waktu tahun 2005-2010 “dibukakan pintu” untuk melayankan potensinya dan dikurangi hambatan-hambatannya dan sekaligus mencari penyelesaian masalah. Umumnya, Ibadah Moria GBKP dilakasanakan oleh masing-masing gereja dan dibagi berdasarkan sektor. Kegiatan PA Moria biasanya diadakan seminggu sekali di GBKP ataupun di rumah-rumah.
Kenyataan yang dihadapi Moria saat ini adalah:
-          Masih banyak anggota Moria yang belum mengembangkan potensinya oleh karena sikap yang masih diwarnai ketidak-setaraan jender, sehingga anggota Moria sendiri masih menempatkan dirinya sebagai warga kelas dua.
-          Masih banyak anggota Moria yang belum berperan aktif (30-55%). Hal ini dikarenakan selama ini persentase jumlah Moria yang hadir sangat jauh dari yang diharapkan, yakni hanya 10 sampai 15 orang saja yang hadir untuk mengikuti ibadah Moria.
-          Pengurus Moria belum berperan secara maksimal terutama di pedesaan baik dalam perencanaan maupun operasional.
-          Kehidupan keluarga yang merupakan gereja mini yang masih lemah dalam ketaatan akan kebenaran Firman Tuhan yang dibuktikan dengan tingginya angka perceraian, konflik keluarga, konflik suami-isteri dan kenakalan anak-anak.
-          Menjadi satu kenyataan saat ini, tingkat stress sangat tinggi akibat manusia tidak mampu menyesuaikan keinginan dengan kemampuannya sesuai dengan Firman Tuhan. Dan juga manusia cenderung melakukan kekerasan yang korbannya adalah perempuan dan anak-anak.
Upaya yang ditempuh dalam rangka peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) baik dari segi pertumbuhan rohani maupun dari segi pengetahuan dan keterampilan, maka Moria menyusun program untuk 5 (lima) tahun mendatang sebagai berikut :
-          Bidang Persekutuan/Rohani: Mengadakan Retreat, PA, Pastoral Konseling, Pelatihan Kemitraan, Perayaan Tahun Gerejani, Pemberdayaan Perempuan, Orientasi Peranan Nora (sebutan untuk istri Pendeta/Penatua/Diaken).
-          Bidang Pelayanan/Sosial: Diakonia, Pendidikan, Litbang, Kesehatan, Pembinaan KWK, Kepemimpinan, Crisis Centre. Meliputi pelayanan terhadap masyarakat pada umumnya dan khususnya kaum perempuan Walaupun tidak tertutup kemungkinan bagi kaum laki-laki yang mengalami penderitaan dan stress dalam hidupnya akibat tekanan, kekerasan dan sebagainya. Tujuan dari Crisis Center ini adalah memberikan tempat yang aman dan terlindung bagi seluruh jemaat (perempuan) bermasalah, sebagai wadah sharing antar perempuan bermasalah dan mendampingi perempuan dalam proses penyelesaian masalahnya dari sudut konseling dan advokasi. Sasarannya adalah perempuan yang bermasalah atau yang mengalami kekerasan (di rumah tangga, pekerjaan, lingkungan sosial dan lain-lain), Aron-Aron (buruh harian di Tanah Karo) dan perempuan yang bermasalah dengan Narkoba. KWK GBKP atau Kursus Perempuan Kristen adalah salah satu pelayanan GBKP untuk menjawab tantangan angkatan kerja perempuan muda dengan memberikan keterampilan-keterampilan. Dengan memberi keterampilan angkatan kerja perempuan muda diharapkan akan mendapat peluang berwirausaha dibidang keterampilan perempuan untuk mengangkat derajat hidupnya serta menciptakan lapangan kerja sendiri. Dengan demikian KWK adalah suatu pemberdayaan perempuan-perempuan muda Kristen yang kurang mampu untuk mendapatkan dan menciptakan lapangan kerja.
-          Bidang Kesaksian: Koor, Senibudaya, Evangelisasi/Pekabaran Injil (PI).
-          Bidang Usaha: Mengupayakan dana untuk pelayanan GBKP Moria khususnya melalui pengadaan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan Tata GBKP dan Firman Tuhan misalnya pengaktifan iuran, lelang-lelang, bazar dan sebagainya.
-          Bidang Umum: Sidang-Sidang : Mupel, MPL, Kunjungan Kerja Antar Tingkat Pengurus, Mengevaluasi dan Membuat Program Kerja, dan Rapat-Rapat.
Moria memang merupakan komisi perempuan tersendiri di dalam GBKP, namun peran Moria sebagai perempuan di dalam gereja juga terlihat di dalam gereja melalui perannya sebagai Penatua dan Diaken perempuan yang melayani di gereja. Jika dulu tugas merencanakan, memimpin, dan mengambil keputusan adalah tugas laki-laki, sementara tugas pelaksanaan dan membantu secara materi diembankan kepada perempuan, maka sekarang dengan adanya perempuan yang berperan di dalam gereja, tugas laki-laki juga dapat dilakukan oleh perempuan. Misalnya dalam merencakan suatu hal yang berguna bagi gereja, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Namun sebagai tantangannya adalah hanya ada ruang kecil yang disediakan bagi perempuan. Sehingga jumlah perempuan yang berperan di dalam suatu gereja kadang tidak mencapai setengah dari jumlah partisipan keseluruhan.

Seiring perkembangan pengetahuan yang semakin meluas tentang perempuan, maka sekarang ini sudah semakin banyak Moria ataupun perempuan yang sudah menikah tetap diperbolehkan bekerja di luar rumah oleh suaminya. Namun harus tetap melakukan pekerjaan rumah tangga yang sudah diembankan kepadanya. Seolah setiap perempuan yang bekerja itu seperti memikul peran ganda. Beban ganda itu terlihat misalnya: seorang ibu selain harus melakukan peran biologisnya seperti hamil, melahirkan, menyusui, dia juga harus melayani suami, anak, bahkan anggota keluarga lainnya yang tercakup dalam peran merawat dan mengurus rumah tangga. Padahal dia sudah bekerja di luar rumah, ikut mencari nafkah tetapi masih harus tetap melakukan tugas dan tanggung jawab tersebut.
Adanya peluang dan tantangan yang diterima oleh perempuan di dalam perkawinan tersebut juga tidak luput dari pengaruh unjuken yang seringkali dimaknai secara salah oleh beberapa orang suami terhadap istrinya. Makna unjuken sebagai pengikat keluarga dan pemersatu kedua belah pihak seringkali hanya dimaknai sebagai bukti pembelian yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Sehingga tidak jarang suami mengungkit perihal unjuken agar istrinya mau menurut kepadanya. Misalnya dengan mengatakan “Mbarenda pe ku empoi kam, gelah lit sinangger nakanku. Enggo kap ken kam kutukur.” Artinya, “Dulu pun aku menikahi kamu supaya ada yang mengurusku dan memasak nasiku. Aku kan sudah membelimu” atau dengan kata lain dengan mengatakan seperti itu, suaminya ingin mengatakan “Bukankah untuk itu kau ku beli? Yaitu untuk memenuhi kepentinganku”. Dan dengan pemahaman yang salah pula perempuan mau tunduk dan seolah menjadi milik suami sepenuhnya seperti harta dan barang lainnya. Akibatnya istri selalu taat kepada suami, apapun yang diminta dan diperintahkan suami akan dituruti oleh istri. Sebab jika tidak, maka akan ada kekerasaan di dalam rumah tangga yang selanjutnya akan terjadi. Bukan hanya sekadar kekerasaan verbal berupa perkataan, tetapi mungkin saja tindak pemulukan juga dapat diterima oleh istri dari suaminya. Dan di dalam suatu adegan kekerasan di dalam rumah tangga, perempuan adalah korban yang paling banyak menerima kekerasan tersebut.
Namun itulah gunanya ada wadah seperti Moria yang mengayomi perempuan Karo. Gereja, melalui ibadah PA Moria setidaknya mampu memberikan pembelajaran yang membekali Moria hingga mampu menghadapi semua tantangan baik itu di dalam ranah domestik maupun dalam ranah publik.

            Diskriminasi dan penindasan terhadap kaum perempuan terjadi hampir di semua aspek kehidupan, baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan. Anak perempuan dalam masyarakat Karo tidak pernah dipandang sederajat dengan anak laki-laki. Pandangan ini pada akhirnya juga berakibat pada relasi anak laki-laki dan anak perempuan serta sikap anak laki-laki terhadap perempuan bahkan hingga mereka dewasa. Sejak kecil anak perempuan dididik agar selalu bersikap tuduk terhadap orangtua dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga bersama ibunya. Segala tugas dan tanggung jawab rumah tangga sudah diembankan kepada anak perempuan sejak dini. Mereka harus membersihkan rumah, memasak makanan, mencuci, bahkan juga turut bekerja di ladang. Anak perempuan dibebani dengan banyak tugas dan tanggung jawab sementara anak laki-laki bebas dari pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Sifat submissive tersebut pada akhirnya sudah mendarah daging bagi anak perempuan sedangkan sikap bebas dan menjadi penguasa diajarkan kepada laki-laki.
            Apa yang diajarkan sejak kecil pada akhirnya diterapkan ketika di dalam kehidupan berumahtangga. Kebanyakan orang akan melakukan demikian, termasuk perempuan di dalam GBKP. Hal ini juga menurun kepada anak dan cucunya kelak. Apa yang mereka terima sebagai pelajaran untuk menjadi istri yang baik atau perempuan ideal, juga akan diajarkan kembali kepada anak-anak perempuan mereka. Sebagian besar perempuan Karo yang tergabung dalam Moria GBKP juga demikian. Seolah eksistensi mereka sudah ada patronnya tersendiri. Oleh karena itu, gereja melalui Moria GBKP berusaha membina perempuan-perempuan Karo dalam GBKP untuk dapat melangkaui hal tersebut dan memperlihatkan eksistensi mereka.
Menurut pengamatan penulis, sejauh ini, GBKP bukan tidak berupaya dalam mewujudkan kesetaraan dan memperjuangkan peran perempuan untuk tampil di dunia publik. Namun tidak dapat sangkal bahwa hal tersebut belum berhasil secara merata sebab baru perempuan di perkotaan saja yang mendapat keleluasaan yang lebih dalam mengespresikan diri. Gereja dengan segala upayanya telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memperjuangkan hak perempuan. Namun kenyatannya hal ini hanya berlaku pada perempuan di daerah perkotaan yang sudah terbuka dengan dunia luar yang memungkinkan perempuan untuk dapat lebih ekspresif menunjukkan jati dirinya. Tetapi bagi perempuan di daerah pedesaan yang masih terikat dengan segala aturan adat yang mengikat mereka, tentu saja mereka belum merdeka dan belum dapat menunjukkan eksistensinya sebagaimana mestinya.
            Gambaran tentang peran anak laki-laki dan perempuan tersebut seolah sudah menjadi prototype dari relasi perempuan atau istri dengan laki-laki atau suami. Misalnya, di dalam rumah tangga laki-laki memegang kontrol atas istri dan anak-anak di dalam pengambilan keputusan sementara istri seolah hanya bertugas untuk menjalankan perintah dan keputusan suaminya. Berdasarkan hal tersebut maka di dalam bab selanjutnya akan dibahas beberapa analisis yang berkaitan mengenai eksistensi dan posisi serta peran perempuan Karo.







Mengapa Allah menciptakan dunia? Mengapa Ia membutuhkannya? Dan jawab para ahli kitab setelah merenungkannya berabad-abad adalah: bahwa Ia menciptakan dunia karena cinta. Mengapa karena cinta? Karena cinta adalah satu-satunya hal yang membutuhkan yang lain. Karena itu Ia menciptakan manusia menurut citraNya.
Pinkhas Lapide (Moltmann 1979, 54)
           
Munculnya teori-teori sosial tentang perempuan yang diangkat berdasarkan hasil studi pada berbagai wilayah tentang pandangan, status, dan peran perempuan yang lebih rendah dibandingkan dengn laki-laki, banyak diangkat dari aspek-aspek kekuasaan dan ekonomi yang kemudian melihat tentang status perempuan yang rendah dan peran perempuan yang begitu lemah bila dibandingkan dengan laki-laki, karena didasarkan pada perbedaan jenis kelamin. Padahal jika diteliti dengan menggunakan ajaran agama, diperoleh gambaran bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Hal tersebut dapat dilihat dari Kejadian 1: 26-27 dan 31a:
Berfirmanlah Allah: ”Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di atas bumi. Maka Allah menciptakan menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptkan-Nya mereka. Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik.”

Dari firman Tuhan itu, maka menurut Stefania Cartore (dalam Sulistyowati Irianto, 2006), yang diwahyukan adalah:
-          Laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai hasil keputusan yang khusus dari Allah
-          Laki-laki dan perempuan merupakan makhluk yang berasal dari Allah yang satu dan sama; Khalik mereka
-          Laki-laki dan perempuan memiliki kesempurnaan dengan Allah. Sebagai gambar Allah, baik laki-laki maupun perempuan, mereka dimungkinkan untuk (1) berelasi dengan Allah sebagai orangtua, dengan-Nya, mereka memiliki “keserupaan” (2) bertindak menurut teladan-Nya (3) melanjutkan karya penciptaan-Nya, entah melalui eksistensi manusia yang lain atau dengan memelihara dunia ciptaan-Nya
-          Laki-laki dan perempuan memiliki martabat yang sama dalam segala aspeknya. Martabat mereka didasarkan pada “keserupaan” mereka denga Allah yang mendorong mereka untuk dapat melangkaui apa yang dapat mereka capai dan mendekati apa yang telah direncanakan Allah bagi hidup mereka.
Melalui penciptaan ini kita dapat melihat bahwa Allah adalah kasih dan sumber kasih sehingga Ia menciptakan laki-laki dan perempuan dengan penuh kasih pula. Allah yang pengasih tidak pernah pilih kasih dengan memihak hanya mengasihi laki-laki saja atau perempuan saja. Namun Ia mengasihi keduanya dengan sempurna. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan kasih dan karena kasih. Oleh karena Allah adalah kasih, Ia menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, segambar denganNya untuk menunjukkan kasihNya kepada manusia, bukan menunjukkan kuasaNya. Semua semata-mata karena kasih. Oleh karena itu, maka Allah yang penuh kasih itu juga tidak akan pernah mengijinkan laki-laki untuk menindas perempuan. Melainkan karena manusia sudah terlebih dahulu menerima kasih Allah, maka tugas manusia selanjutnya seharusnya adalah meneruskan kasih Allah dengan cara mengasihi sesama, bukan hanya sesama laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan, melainkan juga antara laki-laki dan perempuan. Sebab tidak ada alasan bagi laki-laki untuk menindas perempuan maupun sebaliknya karena di dalam Kej. 2:18 juga tertulis bahwa perempuan diciptakan untuk menjadi rekan sekerja laki-laki ataupun menjadi penolong yang sepadan bukan sebagai budak (helper, not servant), melainkan menjalankan tugas yang sama bersama-sama (Richards 1999, 4).Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan seorang penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kejadian 2:18).
Pada Kejadian 1:1-2:7 diperlihatkan bahwa dalam hal prokreasi, laki-laki dan perempuan adalah sepadan, seharga, dan setingkat karena keduanya diciptakan sesuai dengan gambar Allah dan keduanya sama-sama diberkati oleh Allah. Karena sama-sama diberkati oleh Allah, maka keduanya berhak untuk memakai dan mempertanggungjawabkan berkat Allah itu secara optimal demi kebaikan bersama seluruh ciptaan. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan diharapkan dapat membentuk relasi yang saling tolong-menolong. Laki-laki dan perempuan adalah ezer kenegdo atau penolong yang sepadan. Ezer kenegdo tidak diartikan sebagai pembantu dengan kadar kemanusiaan yang lebih rendah, atupun dengan gambar Allah yang tidak sempurna. Melainkan ezer kenegdo harus dipahami dalam kerangka saling tolong-menolong yang merupakan bagian dari kemanusiaan laki-laki dan perempuan dalam rangka meneruskan kasih Allah yang telah mereka terima sebelumnya.
Kehadiran perempuan sebagai penolong bagi laki-laki bukan dengan maksud untuk menjadi pembantu laki-laki dan bukan untuk memberikan dirinya melakukan apa saja yang dikehendaki oleh laki-laki. Sebaliknya perempuan jug tidak boleh memperlakukan laki-laki menurut kehendaknya sendiri. Dalam hal ini keduanya dipanggil untuk saling menghargai, saling menghormati, dan saling menopang sehingga laki-laki dan perempuan mampu berkarya bersama.
Menjadi penolong juga berarti bertanggungjawab atas kehidupan orang yang ditolongnya. Laki-laki dan perempuan adalah penolong satu sama lain. Laki-laki dan perempuan tidak dapat mengandalkan diri sendiri sebagi orang yang lebih kuat karena keduanya memang saling membutuhkan penolong yang sepadan seperti yang telah disediakan oleh Allah.
Di hadapan Allah, perempuan sepadan dengan laki-laki. Artinya, tidak lebih rendah atau lebih tinggi. Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagai “penolong yang sepadan” bagi Adam (Kej. 2:18, 21-22). Memang ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya perbedaan secara fisik, psikis dan karakter, tetapi keduanya sama-sama mahkluk yang dikasihi, dihargai, dipercayai dan dipedulikan Allah.
Kendati demikin, tidak dapat disangkal pula bahwa tidak jarang Kitab Suci juga digunakan untuk mendukung kecenderungan men-dewi-tololkan perempuan. Di dalam Kitab Suci memang terdapat bagian yang jelas-jelas menyisihkan perempuan dari kehidupan sosial. Bagian-bagian ini yang paling sering diangkat untuk menekan kebebasan kaum perempuan. Namun jika diperhatikan dengan seksama, isi Kitab Suci bukanlah sepenuhnya meminggirkan kaum perempuan hanya karena Kitab Suci adalah produk dari masyarakat yang bersifat androsentrisme. Melainkan Kitab Suci juga memuat kisah yang menyoal perempuan, yakni seperti Hawa, Sarah, Ratu Ester, Hakim Debora, Rut, dan lain-lain, yang juga dipakai Allah untuk berperan dalam menghidupi kehidupan pada masanya.

Hawa adalah perempuan pertama yang diciptakan oleh Allah. Adam terlahir untuk Hawa dan Hawa tercipta untuk Adam. Sebagai penolong yang sepadan bagi Adam, Hawa juga diberi tugas yang sama pentingnya dengan Adam, yaitu mengelola dan menatalayani seluruh ciptaan di bumi ini. Namun karena kejatuhannya ke dalam penggodaan iblis, ia disebut-sebut sebagai perempuan pembawa dosa ataupun sumber dosa.
Alkitab mencatat bahwa hubungan yang timpang antara laki-laki dan perempuan itu terjadi setelah manusia memakan buah yang dilarang oleh Allah (Kej. 3:12dst). Adam mempersalahkan Hawa sebagai pembawa dosa, sedangkan Hawa mempersalahkan ular sebagai penggoda. Tetapi akhirnya Allah menghukum Adam dan Hawa. Adam dihukum bukan hanya karena Adam ikut-ikutan makan buah yang Allah larang, tetapi juga karena ketika Hawa berdialog dengan ular sampai memetik buah, Adam ada bersama Hawa (Kej. 3:6). Adam hadir di sana tetapi ia bungkam. Dengan kata lain, perbuatan Hawa sebenarnya mendapat restu dari Adam. Karena itu kesalahan ada pada kedua pihak. Itu berarti bahwa Adam dan kaum laki-laki tidak bisa menghakimi Hawa dan kaumnya sebagai pembawa dosa. Dalam perkembangan selanjutnya, hal ini terus berdampak bagi peran perempuan dan ruang geraknya pun selalu dibatasi, sehingga hal ini yang menciptakan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Kejatuhan manusia kedalam dosa seharusnya tidak sepenuhnya menyalahkan Hawa dan mengecam seluruh perempuan adalah sebagai sumber dosa. Sumber dosa yang pertama adalah iblis yang menggoda perempuan. perempuan sama sekali tidak tertarik pada isi kata-kata ular, ia lebih terkesan pada buah itu. Keinginan untuk memiliki buah serta memakan buah itulah yang mendorong perempuan untuk mengambil dan memakan buah itu, bukan hasrat ingin menyaingi Allah seperti yang ditawarkan oleh iblis (Pr. 2003, 16). Bila direnungkan dengan seksama akan terlihat betapa pintarnya ular dan betapa polosnya manusia. Allah sendiri melihat hal itu sehingga yang pertama kali dihukum adalah iblis yang menjelma sebagai ular (Kej. 3:13-15), dan kemudian manusia (Kej. 3: 16-19).
Terkait dengan hal itu, di dalam budaya Karo sendiri perempuan tidak sepenuhnya dianggap sebagai sumber dosa. Namun ada kecurigaan bahwa perempuan dianggap cukup dekat dengan dosa dan hal-hal yang kurang baik. Perempuan yang berprofesi sebagai Si Baso menjadikan sosok perempuan mempunyai dua sisi yang berlawanan. Disatu sisi perempuan yang menjadi Si Baso itu merupakan perantara antara masyarakat dengan alam ghaib dan begu, tetapi di sisi lain perempuan juga dianggap mendatangkan kebaikan dan sebagai perantara antara masyarakat dan Tuhan (berdasarkan kepercayaan agama Pemena pada masa itu). Sehingga sulit untuk menyatakan dengan lantang apakah perempuan di dalam budaya Karo juga disebut sebagai sumber dosa atau tidak.
Dosa adalah tindakan manusia secara perorangan maupun secara kelompok yang menyimpang dari kehendak dan hukum Allah (Browning 2008). Dosa adalah perbuatan yang melanggar hukum Tuhan atau agama (DEPDIKBUD 1989, 242). Dosa adalah musuh yang setiap saat telah mengintip di depan pintu hati manusia untuk memasukinya (Kej. 4 : 7). Berikut ini adalah beberapa defenisi mengenai dosa:
·         Dosa Warisan
Iblis membawa dosa kepada umat manusia di taman Eden ketika dia mencobai Adam dan Hawa dengan godaan “engkau akan menjadi sama seperti Allah.” Kejadian 3 menjelaskan bahwa pemberontakan manusia itu melawan Allah dan perintah-perintahNya. Sejak saat itu manusia menjadi berdosa dan dosanya diwariskan kepada semua generasi umat manusia. Dan kita sebagai keturunan Adam, ikut mewarisi dosa darinya. Manusia menjadi orang-orang berdosa bukan karena mereka berbuat dosa, mereka berbuat dosa karena mereka adalah orang-orang berdosa yang sudah mewarisi dosa sejak lahir. Inilah keadaan yang disebut sebagai dosa warisan. Sama seperti kita mewarisi karakteristik fisik dari orangtua kita, kita mewarisi dosa dari Adam. Roma 5:12 memberitahukan bahwa melalui Adam dosa masuk ke dalam dunia dan kematian diwariskan kepada semua orang karena upah dosa adalah maut (Roma 6:23) (Blocher 1997, 32-33).
Dalam penelusuran yang dilakukan oleh penulis, penulis menemukan beberapa sebutan atau istilah berbahasa asing yang digunakan untuk mengkategorikan dosa warisan ini, yakni Universal sinfulness, Natural sinfulness, Inherited sinfulness, dan Adamic sinfulness (Blocher 1997, 19-35). Ironisnya, tidak ada satupun istilah atau sebutan untuk dosa warisan ini yang mengacu kepada Hawa atau menyebut nama Hawa. Sehingga hal ini seperti celah kecil yang memungkinkan kita untuk membela Hawa yang kerap dipersalahkan dan disebut-sebut sebagai sumber dosa oleh banyak orang. Sebab tidak ada penjelasan yang jelas yang dapat menjelaskan apa maksud dari sebutan oleh banyak orang terhadap Hawa sebagai sumber dosa karena memang tidak ada istilah yang mengacu pada Hawa secara khusus.
·         Dosa Pribadi
Dosa pribadi atau dosa perbuatan adalah dosa yang dilakukan oleh manusia itu sendiri baik secara sengaja atau tidak sengaja dan diperbuat melalui hati/pikiran/pandangan mata/perkataan dan perbuatan. Dosa pribadi adalah dosa yang harus dipertanggungjawabkan sendiri, misalnya seperti dosa membunuh, mencuri, berzinah, dan lain-lain. Dosa ini mengacu pada pelanggaran yang dilakukan atas hukum Taurat yang tertulis pada Kel. 20:1-17, baik terkait peraturan yang berkenaan dengan relasi antara manusia dengan Allah maupun antara manusia dengan sesamanya.
·         Dosa Sosial
Selain dosa pribadi terdapat pula dosa sosial yang sudah membentuk struktur sehigga pribadi-pribadi di dalamnya sulit untuk terbebas darinya. Dosa-dosa berlembaga dan berbentuk sistem inilah yang yang menindas, mempermiskin, memperbodoh, dan mengintimidasi, serta membunuh dengan kekerasan yang spiral semakin meningkat. Kedosaan struktural itu mengambil bentuk globalisasi ekonomi dan politik-ideologi yang tidak terkendali oleh segi-segi manusiawi yang ada pada globalisasi ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. Selain itu, rasisme, seksisme, diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan juga merupakan bagian dari dosa sosial.
Seseorang yang miskin kerap kali dianggap sebagai sebuah akibat dari dosanya. Padahal seseorang yang miskin atau menjadi miskin bukan karena dia berdosa, tetapi karena sistem yang menindas akhirnya menjadikan mereka menjadi semakin menderita dengan kemiskinan mereka. Kemiskinan yang mereka alami disebabkan karena perbudakan, pencabutan warisan, hak milik melalui kolonialisasi (Rubianto 1996, 45). Orang-orang kaya dan pemerintah menindas mereka yang miskin melalui struktur dan sistem yang mereka ciptakan dengan alasan bahwa kemiskinan mereka adalah akibat dari dosa mereka sendiri. Sehingga tidak ada yang dapat menolong mereka dari dosa kemiskinan itu. Menurut penulis, terlahir miskin bukanlah suatu dosa. Demikian juga halnya dengan perempuan. Terlahir sebagai perempuan juga bukanlah suatu dosa. Sehingga tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak memanusiakan perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan berhak menerima penindasan, diskriminasi, dan subordinasi karena dia adalah seorang perempuan yang merupakan keturunan Hawa sebagai ibu pembawa kehidupan sekaligus kematian melalui dosa.
Dengan kata lain, perempuan selalu dilihat secara ambivalensi dan seperti memiliki dua sisi yang berlawanan seperti istilah yang diungkapkan Sherry Ortner. Menurut Sherry Ortner, perempuan pada kenyataannya memang memiliki posisi yang selalu lebih rendah daripada laki-laki sehingga perempuanlah yang paling sering menerima kesan yang kurang baik atau dicap buruk. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa di sisi lain, perempuan juga dianggap sebagai sumber berkat karena selain seorang perempuan dikodratkan menjadi seorang ibu, perempuan sesungguhnya memiliki peran dalam rumah tangga, memiliki kecakapan tersendiri untuk memotivasi serta menginspirasi manusia lain (laki-laki), dan mereka juga dekat dengan alam (Radford Ruether 1983, 65). Kendati demikian, masih banyak juga perempuan yang terbelenggu dan tetap tersisih oleh karena adanya sistem patriakal.
Sistem patriakal yang dianut oleh banyak budaya, termasuk budaya Karo, akhirnya menjadi sistem yang menyiksa dan menindas perempuan. Sehingga menurut penulis, sistem patriakal juga dapat dikatakan sebagai salah satu dosa sosial yang kerap dilakukan oleh banyak orang terhadap perempuan hanya karena dia seorang perempuan. Jika struktur dan sistem seperti ini tidak diputuskan, maka dosa sosial seperti ini nantinya akan terjadi secara turun temurun dan mengakibatkan penindasan yang tidak pernah terputus bagi perempuan. Sayangnya, masih banyak orang yang tidak memahami dosa sosial ini. Bagi sebagian orang, yang dimaksud dengan dosa hanyalah pelanggaran yang dilakukan terhadap hukum Taurat dan juga dosa warisan tersebut. Sementara praktik penindasan, diskriminasi, dan kekerasan yang mereka lakukan terhadap orang lain kadang tidak diperhitungkan sebagai dosa. Hal itu kemungkinan disebabkan pula oleh gereja yang hanya menekankan tentang dosa warisan dan dosa pribadi tetapi kurang menekankan pengajaran mengenai dosa sosial ini di dalam pemberitaan firman. Padahal gereja adalah tempat di mana tidak ada penindasan dan diskriminasi bagi setiap orang, termasuk bagi perempuan. Sehingga seharusnya gereja juga berbicara mengenai pertobatan manusia dari dosa sosial mereka, bukan hanya bertobat dari dosa pribadi yang mereka lakukan.

Kisah ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diadukan berzinah. Maka sudah dapat dipastikan bahwa ia adalah seorang istri yang sudah mempunyai suami. Berdasarkan peraturan Yahudi yang berlaku pada saat itu, seorang istri yang berzinah itu harus dilempari batu sampai mati (Im. 20:10; Ul. 22:22-24, 28-29). Tetapi pelaksanaan peraturan ini tentu tidak sesederhana apa yang dituliskan tersebut. Dengan kata lain, orang tidak seharusnya main hakim sendiri, tetapi harus ada ketentuan lain yang menjamin pelaksanaan hukuman yang demikian (Yoh. 18:13). Namun yang paling menarik dari kisah ini adalah bahwa di dalam kisah ini yang paling dikedepankan adalah perempuan yang berzinah, sementara laki-laki yang berzinah itu tidak disebutkan sama sekali. Padahal sesuai aturan, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah harus dihukum mati. “Bila seorang laki-laki berzinah dengan istri orang lain, yakni berzinah dengan istri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu” (Ul. 20:10). Selain itu, suaminya pun sama sekali tidak disebutkan. Sehingga memunculkan kecurigaan apakah benar ini sungguh merupakan kasus perzinahan atau hanya sekadar rekayasa semata yang ingin menyudutkan perempuan itu.
Kisah ini seolah gambaran persoalan yang hampir mustahil untuk dipecahkan. Jika Yesus membiarkan perempuan itu dilempari batu, maka Ia akan didakwa sebagi guru yang keras, bahkan akan dilaporkan kepada pejabat pemerintah Romawi yang akan menghukum tindakan demikian. Tetapi jika Yesus menolak pelemparan batu tersebut, maka Ia dapat didakwa sebagai penentang Taurat. Dengan kata lain, situasinya sungguh menjepit. Tetapi Yesus tampaknya tidak memperhatian tantangan itu, melainkan memikirkan hal lain. Ia menulis di tanah seperti menunjukkan seolah Ia tidak ambil pusing soal itu, tetapi tetap mencari jalan keluar sambil menenangkan hatinya sendiri. Lalu ketika didesak, Ia menyampaikan jawaban jitu, yakni “siapa yang tidak bersalah boleh melemparkan batu pertama!” Dalam Ul 17:1 disebutkan bahwa dalam kasus demikian harus pula didatangkan saksi.
            Dengan sikap seperti itu, Yesus lembut terhadap pendosa dan keras terhadap orang yang sok tahu. Ia kemudian menulis kembali di tanah, seolah ingin memberi waktu kepada orang-orang yang ingin menghukum perempuan itu, untuk menenangkan diri dari emosi mereka. Mereka mendapat kesempatan untuk melihat sisi lain dari masalah ini bahwa setiap orang dapat melakukan kesalahan dan yang harus dipecahkan bersama adalah bagaiman membantu sesama yang jatuh dalam kesalahan.
            Teks menyebutkan bahwa mereka yang ingin menghukum perempuan itu akhirnya bergiliran pergi, mulai dari yang tua-tua sampai akhirnya tinggal perempuan itu bersama Yesus. Yesus tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah dengan perempuan yang kedapatan berzinah tersebut. Melainkan memberikan peringatan moral kepada perempuan itu sehingga memberi kemungkinan untuk memperbaiki kehidupan di kemudian hari.
            Jika kisah ini dibaca dengan latar belakang jemaat waktu itu, akan terlihat jelas bahwa perempuan pada masa itu memiliki kedudukan yang tersisih dan rawan dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan pribadi di dalam keluarga. Sherry Ortner, seorang Antropolog Feminis juga menyatakan bahwa perempuan di berbagai kebudayaan memang selalu dikaitkan dengan sesuatu atau nilai yang dianggap rendah oleh masyarakat (Ortner 1974, 67-68). Artinya, posisi subordinat perempuan dalam masyarakat itu dibangun oleh konstruksi budaya (simbolik) yang selalu menganggap perempuan itu lebih rendah dari laki-laki. Demikian pula halnya dengan konstruksi budaya Karo yang juga mengaitkan perempuan dengan nilai. Sehingga pada akhirnya terlahirlah penafsiran yang salah atas budaya unjuken. Tidak sedikit orang yang pada akhirnya menilai perempuan menjadi lebih rendah daripada laki-laki hanya karena adanya budaya unjuken tersebut yang diberlakukan hanya kepada perempuan, bukan kepada laki-laki. Sehingga setiap perlakukan yang dilakukan untuk merendahkan perempuan pun pada akhirnya dinilai sah. Namun dimata Yesus, tidak demikian. Seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan mampu saling mengampuni dan menciptakan dunia baru yang kaya akan alternatif untuk berkembang. Bukan saling menyisihkan, melainkan bekerjasama sesuai kemampuan masing-masing.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa di lingkungan Yesus, perempuan sudah mempunyai kedudukan dan peran yang hampir sama dengan laki-laki. Yesus tidak menjauhkan diri dari perempuan yang dianggap sebagai pendosa oleh sebagian orang (Luk. 7:36-50; Mrk. 14:3-9; Mat. 26:6-13; Yoh. 12:1-8). Melainkan Yesus membuka jalan bagi perempuan untuk dapat mempunyai kedudukan dan peran yang sama dalam jemaat. Hal ini dapat dilihat dalam Luk. 10:38-42 terkait sikap Maria dan Marta. Maria duduk di dekat kaki Yesus dan mendengarkan perkatanNya. Sementara Marta yang sibuk melayani orang banyak merasa sikap saudarinya itu bukanlah sesuatu yang wajar untuk dilakukan oleh seorang perempuan pada masa itu. Sehingga ia meminta Yesus untuk menegur Maria agar mau membantu Marta dan melayani orang banyak. Tapi Yesus menolaknya.
Kesibukan Marta yang disebut sebagai pelayan dan melayani seolah memberi gambaran mengenai seluruh kegiatan perempuan dalam rumah tangga. Sementara sikap Maria yang mendengarkan Yesus memperlihatkan kesediaannya untuk mengikut Yesus. Namun yang menjadi paling istimewa dari kisah ini adalah sikap Yesus yang mengijinkan perempuan untuk duduk mendengarkan firman. Padahal jika dianalisa, pada masa itu Yesus hidup di tengah masyarakat patriakal yang memang mengharuskan perempuan untuk selalu berada di dapur dan tidak mencampuri urusan laki-laki (Radford Ruether 1983, 158). Sementara bagi Yesus, perempuan juga berhak mendapatkan pengajaran dan tidak harus selalu berada di dapur untuk melayani.
            Berdasarkan pengamatan penulis, hal ini masih terus berpengaruh pada praktek kehidupan kita bergereja. Di dalam gereja, ketika ada rapat penatua dan diaken, sangat jarang ditemui laki-laki yang menyediakan konsumsi rapat. Kebanyakan dari prakteknya, perempuanlah yang turun tangan untuk menangani konsumsi, sementara laki-laki dapat tetap duduk mengikuti diskusi atau rapat. Hal yang demikian juga ditemui oleh penulis ketika menjalankan konsumsi saat Ibadah Rumah Tangga atau Perpulungen Jabu-jabu (PJJ) di dalam GBKP. Pada saat seluruh partisipan PJJ mengikuti diskusi yang masih berhubungan dengan ibadah itu, sebagaian perempuan harus pergi ke dapur untuk membantu tuan rumah melayani para tamu PJJ. Mereka mengantar makanan dari dapur untuk diletakkan di depan setiap orang yang hadir dalam PJJ itu. Jika kesetaraan memang sudah terjadi di dalam gereja termasuk GBKP, mengapa laki-laki tidak ikut berpartisipasi dan mengambil bagian untuk melayani dan membagikan konsumsi? Dengan analisis yang demikian, dapat dikatakan bahwa kesetaraan belum terjadi secara maksimal, termasuk di dalam tubuh gereja dan jemaat itu sendiri. Lalu jika demikian, apa yang menjadi masalahnya jika Yesus sendiri menerima perempuan dan membiarkannya untuk tetap duduk dan mendengarkanNya, mengapa gereja tidak dapat bersikap seperti Yesus?


Pagi-pagi benar pada hari Minggu, setelah matahari terbit di ufuk Timur, beberapa orang perempuan pergi ke kubur Yesus. Mereka adalah Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Salome. Mereka hendak memberikan pelayanan terakhir terhadap mayat Yesus yang sempat tertunda karena hari Sabat. Sepagi mungkin setelah hari Sabat lewat, mereka berangkat dengan membawa rempah-rempah untuk meminyaki mayat Yesus. Mengapa para perempuan? Bukankah masih ada murid-murid lain yang lebih gagah perkasa? Hal ini memberi kesan dan pesan tertentu. Di dalam masyarakat patriarkis yang meminggirkan kaum perempuan, justru peranan kaum perempuan diberikan tempat yang sentral oleh Allah.
Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Salome diberikan kesempatan pertama untuk mendengar warta kebangkitan Kristus. Mereka pula yang pertama kali diberi kepercayaan untuk mewartakannya. Kaum perempuan yang seringkali dianggap lemah dan tersingkir justru diangkat sebagai duta dan pewarta kabar baik, sedang lelaki yang dianggap kuat justru digambarkan sebagai orang yang mula-mula tidak percaya atau ragu-ragu terhadap kabar baik itu.
Tiga perempuan itu, Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Salome adalah wakil perempuan-perempuan lainnya. Mereka diberi-Nya kepercayaan untuk mengambil peranan karena cinta kasih mereka terhadap Tuhan Yesus. Di dalam pelayanan Tuhan Yesus, para perempuan yang senantiasa menyiapkan keperluan-Nya. Pada saat Ia bergumul menghadapi kematian, seorang perempuan yang datang mengurapi-Nya dengan minyak narwastu. Para perempuan juga yang berani berada dekat dengan-Nya ketika Ia terpaku di kayu salib. Mereka tidak pernah menyangkal Yesus, melainkan terus menyertai Yesus hingga Ia mati dan mayat-Nya diletakkan dalam lubang kubur. Setelah lewat hari Sabat, pagi-pagi benar mereka sudah datang ke kubur Yesus dan menyaksikan kebangkitan Yesus (Drinkwater 1978, 9).
Dalam kisah kebangkitan Yesus, perempuan adalah orang pertama yang memberi tahu murid-murid lainnya tentang kebangkitan Yesus. Ini berarti bahwa mereka tidak hanya menjadi pihak pertama yang melihat kubur Yesus kosong, tetapi juga menjadi pihak pertama yang membawa pesan kepada orang lain tentang Yesus yang bangkit. Betapa luar biasanya hak istimewa yang diberikan kepada para perempuan ini, khususnya pada era mereka hidup. Dengan berani mereka menyampaikan berita kebangkitan itu kepada murid-murid laki-laki Yesus, yaitu Petrus dan teman-teman, seolah-olah tanpa batas gender yang mengungkung kehidupan sosial saat itu. Lalu, bagaikan gelombang yang terus bergulung di dalam sejarah dunia, berita kebangkitan Kristus itu terus tersebar semakin luas dan semakin jauh sampai ke masa kini.
Kendati demikian, memang tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat itu budaya patriarki yang mengekang perempuan menjadikan mereka tidak dipercayai oleh siapapun. Kebudayaan Romawi dan Yahudi yang memperlakukan perempuan sebagai warga negara kelas dua menjadikan kesaksian seorang perempuan tidak dihargai, tidak dianggap di pengadilan, bahkan diremehkan secara terang-terangan dan dengan sengaja disingkirkan. Hal itu dapat terlihat juga dari respons awal para murid ketika perempuan-perempuan tersebut memberi tahu mereka bahwa Yesus telah bangkit dari kematian. Seperti yang dikatakan Lukas dalam Luk. 24:11: “Tetapi bagi mereka perkataan-perkataan itu seakan-akan omong kosong dan mereka tidak percaya kepada perempuan-perempuan itu. Kejadian itu pada akhirnya mendorong Petrus untuk segera pergi ke kubur dan melihat sendiri bahwa Yesus benar-benar bangkit dari kematian.
            Entah suka atau tidak, para perempuan cenderung dianggap bukan sebagai saksi mata terpercaya dalam karya kebangkitan Kristus. Dalam 1 Kor. 15, perempuan dalam kisah kebangkitan Kristus secara diam-diam dihilangkan. Mungkin karena akan menjadi sangat memalukan untuk menyadari bahwa para saksi mata untuk peristiwa luar biasa itu adalah para perempuan (Evans and Wright 2008, 101-102). Padahal sesungguhnya pemilihan para perempuan sebagai saksi kebangkitan merupakan hal yang unik. Meski bobot kesaksian mereka tidak terlalu dianggap oleh masyarakat Yahudi, tapi Allah tetap memilih mereka sebagai saksi karya kebangkitan Kristus. Mereka pantas untuk mendapatkannya karena mereka yang terus-menerus mengikuti Yesus di masa-masa sukar. Kasih mereka yang besar akhirnya membuahkan hasil yang luar biasa.
Perempuan memegang peranan penting dalam pelayanan, kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus. Tuhan Yesus tidak mengabaikan perempuan, apalagi menyepelekannya. Perempuan diberi tempat dan tanggung jawab yang tidak kalah pentingnya dari laki-laki. Pentingnya perempuan bukan hanya masa lalu, tetapi juga masa kini dan masa yang akan datang. Dunia saat ini membutuhkan saksi-saksi kebangkitan Kristus. Bukan kaum lelaki saja yang Tuhan panggil, tetapi juga kaum perempuan. Menjadi saksi itu perlu diwujudkan dalam hidup, pewartaan, pelayanan, dan peranan yang nyata.
Dalam kisah kebangkitan, dengan menyingkapkan diri-Nya sendiri untuk pertama kalinya kepada para perempuan, Allah sekali lagi menjungkirbalikkan hal tabu dalam budaya dan mengatakan bahwa para perempuan, meskipun dipandang sebagai penduduk kelas dua di Israel, adalah penduduk kelas pertama dalam kerajaan-Nya. Paulus yang banyak mengajarkan hal ini di Galatia dalam Gal. 3:28: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”
            Berdasarkan pengamatan penulis, hal seperti ini juga tidak jarang terjadi di dalam budaya Karo. Perempuan jarang diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dengan lantang. Meskipun sekarang sudah ada kesempatan yang sama yang diberikan kepada perempuan seperti kesempatan yang sama kepada laki-laki, namun hal itu tidak terjadi secara merata di seluruh aspek kehidupan. Salah satu contohnya adalah di dalam adat budaya Karo, perempuan tidak pernah diberi kesempatan untuk dapat memimpin suatu runggu atau musyawarah. Runggu atau musyawarah di dalam adat Karo merupakan bagian yang cukup penting dari berbagai rangkaian acara apapun yang akan dilakukan menurut adat Karo. Namun sayangnya perempuan tidak pernah mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki untuk ikut memimpin runggu. Meminjam istilah berbahasa Karo, perempuan ibarat “Belo la ertangke. Ikut sada kepiten, tading bas beligan”. Perempuan sama seperti sirih yang tidak bertangkai. Ikut dalam satu kepitan, tapi tidak masuk hitungan. Perempuan ikut sebagai bagian dari Rakut Sitelu (entah sebagai Sukut, Anak Beru, atau Kalimbubu), tetapi tidak dianggap ketika runggu sedang berlangsung. Padahal ketika runggu, komponen dari Rakut Sitelu harus hadir agar runggu dianggap pantas untuk dilakukan. Namun pada kenyataannya perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap saja. Hadir atau tidak hadirnya perempuan dalam suatu runggu, pada akhirnya sama sekali tidak mempengaruhi runggu itu.

            Pada dasarnya konsep unjuken dalam masyarakat Karo mengandung banyak makna yang sangat bervariasi. Bagi penulis sendiri, ada beberapa makna dari unjuken tersebut. Pertama, unjuken adalah keseluruhan pemberian dalam ritus perkawinan di Karo, kedua, unjuken adalah adat Karo itu sendiri, ketiga, unjuken adalah suatu simbol nilai penghargaan yang diberikan oleh pihak laki-laki sebagai penghargaan bagi perempuan, keempat, unjuken merupakan jembatan antara dua belah pihak keluarga yang tujuannya untuk mengikat kedua keluarga. Sebab kedua belah pihak keluarga sebelumnya belum saling mengenal. Namun seiring berjalannya waktu, banyak orang yang pada akhirnya menyalahartikan makna dari unjuken yang sebenarnya sehingga tidak jarang hal ini berujung pada kekerasan yang dilakukan oleh pihak suami terhadap istrinya sebagai bentuk penguasaan diri perempuan yang telah dibeli oleh laki-laki itu. Jika analisis secara seksama:
-          Batang unjuken harus dilihat sebagai alat pemersatu kedua keluarga karena melalui unjuken kedua keluarga dapat terhubungkan dalam sebuah relasi saling memberi dan menerima.
-          Batang unjuken hanya sebagai ungkapan terima kasih dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang telah merelakan anaknya untuk dinikahi. Dengan demikian unjuken tidak disalahartikan menjadi upaya menjengkal seorang perempuan Karo dengan menakar harganya.
-          Jika unjuken memang hanya sekadar simbol pemersatu, mengapa harus ada harga yang berbeda di antara tiap perempuan Karo? Bukankah dengan demikian semakin menunjukkan bahwa unjuken seolah memberi label kepada perempuan, sehingga unjuken pada akhirnya terjerumus pada pemahaman yang salah, yakni sebagai upaya menjengkal yang terus dipupuk di dalam budaya Karo. Jadi, jika memang harus tetap diberlakukan pemberian harga atas diri seorang perempuan Karo melalui proses unjuken, mengapa tidak disamaratakan saja harganya? Atau diubah simbol unjukennya menjadi sesuatu yang lebih simbolik, tetapi bukan dalam bentuk nomimal uang.
Di dalam pandangan umum orang Karo, antara perempuan dan laki-laki tidak memiliki kedudukan yang sama. Dalam hal ini, seorang perempuan memiliki status yang lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki. Keadaan ini mungkin sama dengan perempuan-perempuan lain pada masyarakat-masyarakat adat tertentu yang masih berpegangan pada pandangan mereka tentang perempuan, baik yang dipandang oleh perempuan itu sendiri maupun oleh kelompok masyarakat itu secara keseluruhan. Namun jika ditilik dengan lebih mendalam, maka akan terlihat jelas bahwa di dalam hal tertentu, perempuan jelas memiliki peran yang cukup penting sehingga seharusnya dapat membuat status seorang perempuan tidak lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini terlihat dari bagaimana seorang perempuan juga turut berpartisipasi sebagai penerus silsilah keluarga. Namun memang tidak dapat sangkal juga bahwa hingga saat ini masih banyak juga perempuan Karo yang tidak menyadari peran mereka sebagai penerus silsilah keluarga. Berdasarkan hasil kuisioner yang dibagikan kepada 100 orang perempuan Karo baik di kota maupun di desa, hampir 70% tidak mengetahui apa peran mereka sebagai penerus silsilah, bahkan ada pula yang mengaku baru mendengar hal tersebut.
Di dalam budaya Karo, ertutur atau perkenalan dianggap cukup penting. Bukan hanya sekadar menyebutkan merga atau beru mereka tetapi juga harus menyebutkan bere-bere, perkempun, binuang, kampah, dan soler (Karo 1996, 43):
-          Merga atau beru adalah identitas utama orang Karo yang berasal dari merga ayah dan kemudian diturunkan kepada anaknya baik laki-laki maupun perempuan. Merga ayah menjadi merga untuk anak laki-laki dan menjadi beru untuk anak perempuan.
-          Bere-bere adalah Beru dari ibu yang menjadi bere-bere untuk anak laki-laki dan anak perempuan.
-          Perkempun adalah Bere-bere dari ibu menjadi perkempun untuk anak laki-laki dan anak perempuan.
-          Binuang adalah Bere-bere dari ayah menjadi binuang untuk anak laki-laki dan anak perempuan.
-          Kampah adalah Bere-bere Nini Bulang (Kakek) dari ayah menjadi kampah untuk anak laki-laki dan anak perempuan.
-          Soler adalah Bere-bere Nini Bulang (Kakek) dari ibu menjadi Soler untuk anak laki-laki dan anak perempuan.

Contohnya:
Nama               : Shandy Joan
Marga/Beru     : Barus (berasal dari merga ayah saya)
Bere-bere         : Ginting (berasal dari beru ibu saya)
Perkempun      : Sinulingga (berasal dari beru nenek saya dari pihak ibu)
Binuang           : Tarigan Tua (berasal dari beru nenek saya dari pihak ayah)
Kampah           : Ginting Jawak (berasal dari beru nenek buyut saya dari pihak ayah atau beru dari nenek ayah saya)
Soler                : Tarigan (berasal dari beru nenek buyut saya dari pihak ibu atau beru dari nenek ibu saya).





Oval: S O L E R
 
Nenek Buyut dari pihak ibu
(perempuan)   


Oval: K A M P A H
 
Nenek Buyut dari pihak ayah
(perempuan)   


Oval: B I N U A N G
 
Nenek dari pihak ayah
(perempuan)   


Oval: P E R K E M P U N
 
Nenek dari pihak ibu
(perempuan)   

Oval: B E R E – B E R EIbu
(perempuan)   


Oval: B E R U
 
Saya
 (perempuan)  













 
Jika dianalisis dan diperhatikan secara seksama, dapat dikatakan bahwa hampir sebagian besar identitas tersebut berasal dari perempuan.

Hampir seluruh bagian dari istilah petuturken (perkenalan) ini berasal dari bere-bere yang diwariskan oleh ibu kepada anaknya. Semua yang digunakan dalam petuturken ini diambil dari beru yang dimiliki oleh perempuan. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa sebenarnya perempuan juga jelas menentukan garis silsilah keturunan. Sehingga seharusnya perempuan juga mendapat status yang sama dengan laki-laki, bukan hanya dipandang sebelah mata saja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya perempuan juga turut mewarnai adat dan budaya Karo. Oleh sebab itu seharusnya perempuan mendapat penghargaan yang layak juga dengan pengorbanannya maupun dengan fungsinya. Bukan hanya dihargai dengan unjuken yang tidak seberapa melainkan harus dihargai melangkaui dari nilai ekonomis unjuken tersebut. Sehingga setidaknya perempuan mendapat status yang sama dengan laki-laki, bukan selalu disubordinatkan pada posisi yang lebih rendah. Namun pada kenyataannya perempuan sendiri kerap melemparkan dirinya sendiri ke dalam pemahaman yang salah seolah dirinya memang dilahirkan sebagai objek dan pelengkap penderita semata. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis di Desa Lingga kepada Moria (Persekutuan Kaum Ibu) GBKP Runggun Lingga pada hari Minggu tanggal 26 Januari 2014 melalui kuisioner seputar perempuan, adat dan unjuken, hampir 70% dari peserta tidak tahu dan tidak menyadari apa peran mereka di dalam kehidupan berumahtangga mereka selain menjadi ibu yang merawat anak dan istri yang melayani suami. Bahkan hampir sebagian besar peserta baru menyadari bahwa mereka juga turut menjadi penerus silsilah melalui Beru yang mereka sandang selama ini melalui Bere-bere, Perkempun, Binuang, Kampah, dan Soler. Bahkan adapula ibu-ibu yang mengaku baru mendengar istilah-istilah tersebut. Sulit dibayangkan bagaimana jadinya keturunan-keturunan mereka jika mereka tidak dapat menjelaskan bagaimana silsilah mereka kelak. Padahal sudah seharusnya mereka mengetahui hal itu. Seharusnya mereka lebih terbuka untuk membicarakan perannya di dalam adat dan silsilah sehingga mereka mampu melihat dirinya sebagai bagian kehidupan adat dan menjadi subjek yang bermartabat sekaligus juga turut menentukan dinamika adat.
Dengan demikin, unjuken seharusnya dapat lebih memperlihatkan rasa penghormatan akan martabat perempuan di dalam budaya Karo daripada sekadar menjengkal perempuan itu hanya karena dia adalah seorang perempuan. Seolah dengan memberikan unjuken, kita seakan menakar harga perempuan Karo hanya dengan melihat nilai ekonomisnya saja. Padahal dibalik itu ada hal lain dari diri perempuan Karo yang melangkaui nilai ekonomisnya dan malah mengedepankan martabatnya sebagai perempuan seutuhnya, yakni perannya sebagai penerus silsilah yang tersirat di dalam budaya Karo.

Feminisme eksistensialis dipelopori oleh Simone de Beauvoir. Pemikirannya dipengaruhi filsafat eksistensialisme, khususnya pemikiran Jean Paul Sartre.
Jean Paul Sartre adalah seorang filsuf eksistensialis berpendapat bahwa manusia itu bebas. Di dalam bukunya yang berjudul Being and Nothingness, Sartre menegaskan, bahwa kodrat terdalam manusia adalah kebebasannya (Muzairi 2002, 82). Manusia tidak memiliki hakikat, yang dimilikinya adalah pilihan. Pilihan tersebut yang nantinya akan menentukan hakikatnya. Sartre mengungkapkan bahwa eksistensi manusia (pilihan cara hidupnya) mendahului esensinya (hakikat dirinya yang tidak berubah). Menurutnya, keputusan bebas adalah bagian dari kodrat alamiah manusia. Dalam arti ini kebebasan adalah adalah hakikat dari diri manusia yang terus berubah, seturut dengan pilihan-pilihan yang dibuatnya di dalam kehidupan. Kebebasan tersebut terkait dengan keberadaan (existence) orang tertentu. Fokus utama kebebasan adalah ekspresi diri sejati (genuine self expression) dari orang yang terkait, walaupun ekspresi diri sejati yang dinamis tersebut seringkali berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Mengikuti pemikiran Jean Paul Sartre, penulis juga ingin mengajukan argumen, bahwa kodrat manusia yang paling dalam adalah kebebasannya untuk eksis, atau untuk berada sesuai dengan pilihannya. Kodrat melibatkan hakikat manusia, termasuk kemampuannya untuk membuat keputusan bebas tentang hidupnya dan bertanggung jawab atas pilihannya tersebut. Menurut Sartre, manusia ada sebagai dirinya sendiri dengan kesadaran. Dengan demikian maka Ada tidak dapat dipertukarkan. Hal ini jugalah yang menyebabkan manusia berbeda dari benda-benda atau hal-hal lain. Dengan kata lain, bagi manusia, eksistensi adalah keterbukaan, keberadaan, yang berbeda dengan benda-benda lain yaitu Ada sekaligus merupakan esensi, maka bagi manusia eksistensi mendahului esensi,Man is nothing else but what he makes of himself. Such is the first principle of existentialism (Muzairi 2002, 7). Inilah asas eksistensialisme.
Teori eksistensialis adalah teori yang memandang suatu hal dari sudut keberadaan manusia, teori yang mengaji cara manusia berada di dunia dengan kesadarannya. Sedangkan, feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya (Humm 2002, 158). Feminisme berjuang untuk mendapatkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Jadi, teori feminisme eksistensialis merupakan kajian yang melihat adanya ketimpangan pengakuan terhadap perempuan. Keberadaan perempuan adalah objek bagi laki-laki. Perempuan hanya dianggap sebagai “second sex” maka tidak bisa mendapat kesamaaan hak seperti halnya laki-laki. Eksistensi perempuan hanya dinilai dari keterampilannya melakukan pekerjaan domestik dan mengikuti konstruksi yang ada dimasyarakat terutama mengenai femininitas. Karena itu, femininitas, menurut de Beauvoir adalah nilai-nilai yang membelenggu perempuan. Padahal perempuan tidaklah harus feminin untuk menjadi seorang perempuan karena tidak semua perempuan memiliki kemampuan yang sama terutama dibidang domestik, ada juga perempuan yang mampu berkiprah di ranah publik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pandangan Sartre, orang lain merupakan ancaman bagi eksistensi Diri. Liyan selalu dipandang sebagai ojek pengamatan Diri. Liyan tampil di hadapan diri seolah-oleh di bukanlah subjek. Padahal Liyan itu juga adalah Diri, dan sebagai subjek dia memasuki dunia Diri. Munculnya Liyan dalam dunia Diri berarti monopoli Diri atas dunianya diterjang oleh Liyan. Ibarat sebuah taman yang diciptakan, dibina dengan segala cita-cita dan keinginan, oleh Diri sebagai dunia milik pribadi kemudian harus didiami bersama orang lain (Liyan). Dan didalam pandangan de Beauvoir, dengan memakai istilah sang Diri dan sang Liyan, de Beauvoir mengemukakan bahwa laki-laki dinamai sang Diri, sedangkan perempuan disebut sang Liyan. Jika bagi Sartre sang Liyan merupakan ancaman bagi sang Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Oleh karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas dan berkemungkinan, ia harus mensubordinasi perempuan.
Perbedaan pandangan terhadap perempuan dan laki-laki menyebabkan perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki, sehingga mengundang banyak reaksi dari perempuan. Kenyataannya, perempuan ataupun laki-laki adalah being, manusia. De Beauvoir menunjukkan kejanggalan yang diterima oleh perempuan (de Beauvoir 2003, 40). Kaum laki-laki selalu menjadi kaum yang diunggulkan daripada perempuan. Menentang pendapat Freud yang mengatakan adanya penis envy pada diri perempuan terhadap laki-laki, Beauvoir dengan jelas mengatakan bahwa perempuan tidak cemburu pada penis, namun lebih merasa cemburu kepada keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh kaum laki-laki karena memiliki penis (Putnam Tong 2005, 265). Hal ini dialami seorang perempuan sejak ia masih kecil dan terus semakin menjadi-jadi ketika ia tumbuh sebagai perempuan dewasa. Ketika dalam pergaulannya seorang perempuan kemudian menyadari bahwa teman-teman, pelajaran, dan permainan-permainan, serta apa yang dibacanya menariknya dari lingkaran maternal. Saat inilah ia melihat bahwa yang menguasai dunia adalah laki-laki, bukannya perempuan (de Beauvoir 2003, 30). Perempuan menjadi Liyan bukan karena tidak memiliki penis, tetapi karena tidak memiliki kekuasaan.
Beauvoir membuat spesifikasi peran sosial yang sejalan dengan mekanisme utama Sartre mengenai Diri (subjek) yang ingin menguasai Liyan (objek). Beauvoir mendefinisikan tindakan perempuan yang menerima ke-Liyanan mereka sebagai sebuah misteri feminin yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi di kalangan perempuan. Ia menyatakan bahwa perempuan menyadari perbedaan tubuhnya dengan tubuh laki-laki pada usia muda. Sejalan dengan perkembangan tubuhnya, anak-anak perempuan dipaksa untuk menerima dan menginternalisasi tubuhnya sebagai Liyan, yang memalukan dan inferior. Ke-Liyanan ini kemudian dilekatkan dalam lembaga perkawinan, sebagai istri dan ibu.
Dalam pengertiannya, de Beauvoir menyatakan bahwa perempuan yang feminin sangat menjamin dirinya kepada ke-superior-an suaminya. “Seorang perempuan yang sudah menikah dan mengikuti femininitas percaya bahwa tugas mereka terhadap dirinya sendiri, kepada masyarakat, dan kepada keluarganya adalah mencintai suaminya dan berbahagia” (de Beauvoir 2003, 277).
Bahkan bagi seorang feminin, mendapatkan suami adalah seni, mempertahankannya adalah suatu pekerjaan dan membutuhkan keahlian tinggi untuk melakukannya (de Beauvoir 2003, 285). Oleh karena pengertian inilah seseorang yang feminin selalu melekatkan di dalam hatinya bahwa tugas atau pekerjaan utama mereka adalah untuk mendapatkan keluarga yang bahagia. Bagi mereka dirinya bukan berarti apa-apa selain bagian dari suaminya. Selain itu, feminin identik dengan sikap seorang perempuan yang baik, benar-benar tulus, mengabdi, setia, murni dan bahagia, dan ia berpikir apa yang layak untuk dia pikirkan. Dia akan diam saja ketika suaminya yang tidak mengucapkan terimakasih kepada istrinya yang selalu berada di sampingnya dan merawatnya ketika suaminya sedang sakit (de Beauvoir 2003, 293). Tuntutan untuk mendampingi suami, mendiskusikan segala tujuan suaminya, memberikan nasihat, berkolaborasi dengan pekerjaannya adalah tujuan utama seorang feminin.
Peran sebagai istri seperti itu, menurut Beauvoir sebenarnya membatasi kebebasan perempuan. Ia meyakini bahwa lembaga perkawinan merusak hubungan pasangan. Perkawinan mentransformasi perasaan yang tadinya diberikan secara tulus menjadi kewajiban yang diperoleh dengan cara menyakitkan, dengan kata lain bentuk perbudakan. Selain menawarkan kenyamanan, ketenangan, dan keamanan, perkawinan juga mengambil kesempatan perempuan untuk bisa menjadi hebat. Mengapa demikian? Sebab, begitu perempuan masuk dalam lembaga perkawinan, maka deretan pekerjaan yang berjudul “melahirkan, mengurus anak, suami dan rumah tangga” sudah menanti. Umumnya tanpa disadari baik oleh istri maupun suami, tugas-tugas tersebut akan mengikat badan, hati dan pikiran perempuan ke rumah sejak ia bangun pagi hingga malam hari. Kadangkala karena desakan kebutuhan ekonomi, istri juga diperbolehkan untuk bekerja di luar rumah. Akan tetapi hal ini pun tidak serta merta membebaskannya dari kewajiban utamanya itu. Malah bebannya semakin bertambah. Seolah semua memang berlangsung teratur sebagaimana mestinya dan memang beginilah seharusnya kehidupan berkeluarga yang normal dan alamiah bagi seorang perempuan. Hingga akhirnya keteraturan itu mencapai titik jenuh. Banyak perempuan yang kemudian merasa tersiksa dengan pembatasan peran mereka dan banyaknya tugas yang diembankan kepada mereka.
Ketidaksetaraan dan ketidakbebasan yang dialami perempuan berlanjut ketika sudah menikah, oleh karena hal tersebut kaum feminis tidak setuju dengan pernyataan lembaga pernikahan yang menyatakan bahwa suami adalah pelindung bagi istri. Karena pada dasarnya masih banyak laki-laki hanya memperlakukan istri sebagai kaum yang lemah yang tidak memiliki pengaruh apa-apa, dari hal tersebut laki-laki melakukan hal sesuka hati terhadap istri mereka. Seperti contoh, suami akan dengan bangga menampar istrinya yang berani menjawab dan mengutarakan isi hatinya secara terus terang. Mereka bangga dengan arti, mereka merasa bahwa yang mereka lakukan adalah suatu kebenaran, suatu sikap yang baik untuk mengembalikan sang istri ke jalan yang benar yakni menjadi seorang perempuan ideal dalam masyarakat. Contoh lainnya ialah, seorang suami akan dengan mudah menyampaikan kekesalannya terhadap istri dengan ucapan kasar karena tidak dengan cekatan melayani sang suami ketika waktunya makan. Suami beralasan bahwa melayani suami adalah suatu kewajiban seorang istri. Bahkan perempuan tidak memiliki hak atas tubuhnya sendiri. Seperti yang dikutip oleh De Beauoir dari pendapat masyarakat bahwa Perempuan adalah Rahim (de Beauvoir 2003, v). Laki-laki menganggap bahwa perempuan itu adalah sebuah “wadah”, hanya sebuah tempat bagi laki-laki untuk calon bayinya. Hal seperti inilah salah satu yang ditentang oleh kaum feminis.
Michel Foucault, seorang filsuf asal Prancis, berbicara tentang disiplin tubuh, yang mengupas tentang nilai kuasa seseorang untuk menguasai orang lain atas tubuhnya. Menurutnya, bahwa dalam setiap masyarakat, tubuh senatiasa menjadi objek kuasa. Tubuh dimanipulasi, dilatih, dikoreksi, menjadi patuh, bertanggungjawab, menjadi terampil dan meningkat kekuatannya. Tubuh senantiasa menjadi sasaran “kuasa” baik dalam artian “anatomi-metafisik” yakni seperti yang dibuat oleh para dokter dan filsuf, maupun dalam arti “teknis politis” yang hendak mengontrol, mengatur dan mengoreksi segala aktivitas tubuh (Foucault 1997, 82-85). Seolah perempuan itu tidak memiliki kebebasan atas segala aktivitas tubuhnya karena sudah sejak lama terkontrol dan terikat secara paksa oleh tuntutan masyarakat, tradisi, dan budaya.
Sistem patriarki mengisyaratkan bahwa keluarga dan rumah tangga berada dalam kendali laki-laki. Konstruksi masyarakat sudah sangat melekat dalam masyarakat dan secara gamblang menyimpulkan bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini salah satunya disebabkan oleh pandangan bahwa perempuan dianggap sebagai pengasuh dan menjaga anak dan seluruh isi rumah, sedangkan laki-laki pulang dari pekerjaannya diartikan sebagai pekerjaan yang memiliki nilai lebih baik dari pekerjaan di rumah. Lama-lama pemilahan ini menimbulkan konstruksi bagaimana menjadi “perempuan ideal” atau feminin.
Perempuan yang ideal adalah perempuan yang memenuhi beberapa kondisi seperti berikut ini. Pertama, perempuan harus menyadari bahwa tempatnya adalah di dalam rumah dengan keluarganya karena tujuan akhir perempuan adalah merawat suami dan anak-anak. Perempuan akan dikatakan baik jika berhasil merawat keluarganya dan tidak menelantarkan mereka hanya karena pekerjaan lain di luar pekerjaan rumah tangga yang dia lakukan. Kedua, perempuan tidak memiliki hak untuk menentukan keputusan yang sangat penting. Sering sekali perempuan hanya sebagai pembantu laki-laki untuk memenuhi keputusan yang sudah diputuskan oleh laki-laki. Ketiga, perempuan ditunjukkan sebagai orang yang tergantung pada laki-laki dan sangat membutuhkan penerimaan dan perhatian laki-laki. Hal ini terlihat pada perempuan yang berusaha mempercantik diri demi dapat menyenangkan laki-laki (de Beauvoir 2003, 97). Keempat adalah keindahan bagi seorang perempuan. Laki-laki menganggap perempuan hanya sebagai objek seksual dan yang memiliki status yang lebih rendah dari dirinya. Stereotip ini sangat merusak identitas seorang perempuan. Dengan memproyeksikan perempuan sebagai “second sex” membuat pemikiran bahwa laki-lakilah yang memiliki kekuatan untuk menentukan perempuan ideal atau tidak.
Keadaan yang dimiliki perempuan menurut de Beauvoir adalah keadaan yang dibayangi oleh batasan. Bahkan jika seorang perempuan mampu membaca, mendengarkan pelajaran, melakukan kemampuan mereka; perempuan tetap tidak dapat mengutarakan alasan secara masuk akal bukan karena kesalahan mental ini; pengalamanlah yang belum menggerakkan mereka untuk memberikan alasan kuat.
Perlakuan diskriminasi semakin kuat menguasai kehidupan perempuan, sehingga banyak dari perempuan yang berusaha untuk menunjukkan diri mereka dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan yang masyarakat gariskan terhadap perempuan. Kaum Feminis berusaha untuk menghapus paradigma masyarakat terhadap diri mereka yang menyatakan bahwa perempuan tidak mampu menghasilkan sesuatu hal yang berharga. Kaum feminis dalam prakteknya selalu berjuang untuk memperlihatkan kepada laki-laki bahwa kemampuan dirinya lebih dari kemampuan laki-laki yang mereka bisa lakukan atau hasilkan. Hanya saja mereka menuntut kesempatan untuk membuktikannya. Akan tetapi, kebanyakan masyarakat masih memiliki keyakinan bahwa perempuan tidak mampu ataupun tidak layak untuk melakukan hal-hal yang laki-laki lakukan.
Akhirnya, perempuan merasa bahwa mereka tidak mampu untuk menyatakan sudut pandang secara pasti atau membuat sesuatu secara pasti karena kepercayaan mereka; mengganggap bahwa mereka tidak memiliki nilai intelektual yang lebih tinggi daripada laki-laki. Sementara laki-laki akan dengan mudah mendominasi kendati kemampuannya masih di bawah rata-rata perempuan. Laki-laki yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari perempuan tidak akan pernah lelah untuk membuktikan kepada perempuan kalau dialah yang paling benar, dan laki-laki tersebut sama sekali tidak menganggap opini seorang perempuan yang berada di bawahnya. Sering sekali logika yang dimiliki laki-laki menjadi sangat susah untuk dibantah karena perempuan susah untuk membuktikan dengan kemampuan perasaan yang mereka miliki.

Pada awal 1960-an beberapa teolog perempuan dan mahasiswi teologi di Amerika Serikat mengembangkan satu jurusan teologi baru yang mereka sebut dengan Teologi Feminis. Teologi ini dipengaruhi oleh gerakan pembebasan perempuan yang mewabah ke seluruh dunia, khususnya bagi masyarakat Amerika Utara. Akar dari aliran Feminisme ini sudah ada sejak awal abad 20, yaitu pada masa sesudah penghapusan perbudakan dan hak pilih kaum perempuan diakui dan dilegitimasi di Amerika dalam undang-undang (Grenz and Oslone 1992, 225). Lalu mulai ada beberapa penulis perempuan mengembangkan dan memperluas pengaruh gerakan feminisme ini ke dalam suatu karya tulis. Mereka menyoroti pengaruh kecenderungan patriarkat yang menurut mereka begitu dominan ada di dalam Alkitab dan juga dalam penafsiran tradisi gereja secara socio-kultural, terutama dalam konsep perihal Allah Tritunggal.
Tokoh-tokoh utama dalam gerakan teologi Feminis antara lain, Elizabeth Schüssler Fiorenza dengan karyanya In Memory of Her: A Feminist Reconstruction of Christian Origins 1983, Mary Daly dengan karyanya The Church and the Second Sex (1968) dan Beyond God the Father (1973), Letty M. Russell dengan karyanya Human Liberation in a Feminist Perspective Theology dan Feminist Interpretation of the Bible (1985), Rosemary Radford Ruether dengan karyanya Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology, Women-Church: Theology and Practice (1985),Virginia Ramey Mollenkott dengan karyanya The Divine Feminine: The Biblical Imagery of God as Female, Michael Amaladoss dalam Life in Freedom: Liberation Theologies From Asia (1997), Choan-Seng Song dalam The Tearts of Laddy Meng: A Parable of Peoples Political Theology (1981), dan lain-lain.
Kaum Feminis mengembangkan tiga langkah dalam berteologi feminis. Pertama, dimulai dengan kritik terhadap peristiwa masa lampau, terutama terhadap tradisi gereja dan budaya yang cenderung bernuansa patriarkat. Kritik tersebut dimaksudkan sebagai semacam penyembuhan atas ingatan akan adanya bahaya penindasan yang dialami kaum perempuan pada masa lampau yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Kedua, mencari alasan, istilah dan alternatif lain untuk mendukung gerakan yang disesuaikan dengan keinginan mereka, terutama dari Kitab Suci, dan juga dari luar Alkitab. Ketiga, mereka mengembangkan metode teologi untuk merevisi doktrin yang tidak sesuai dengan lingkup dunia perempuan. Seperti yang dituliskan Rosemary Radford Ruether dalam karyanya Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology tentang karya penyelamatan Kristus yang berlaku bagi setiap orang tanpa terkecuali termasuk perempuan.
Munculnya pandangan bahwa perempuan bukanlah gambaran Allah sehingga perempuan dilarang untuk menjadi pemimpin, penghotbah dan pengajar dalam ibadah pelayanan gereja turut mempengaruhi pandangan banyak orang terhadap perempuan. Bapa-bapa gereja juga turut terpengaruh dengan perkataan Paulus di 1 Korintus 14:34-35 dan 1 Timotius 2:12-1 yang melarang perempuan untuk berbicara dan mengajar dalam pertemuan-pertemuan jemaat. Sehingga membuat perempuan hampir-hampir tidak mempunyai peran dalam gereja dan perempuan dianggap dibawah dominasi laki-laki hingga berlanjut sampai abad-abad berikutnya.
Para teolog feminis memberikan kritik terhadap tradisi gereja terutama kritik terhadap pandangan para Bapa Gereja. Sebagai contoh, Rosemary Radford Ruether, mengkritik para Bapa gereja dan ahli filsafat seperti Origenes, Agustinus, Socrates, Plato, dan lain-lain, yang menurutnya hanya menghargai keberadaan kaum laki-laki sebagai “the Image of God” sedangkan perempuan bukan ”the Image of God”. Sementara Thomas Aquinas dinilai hanya menghargai perempuan sebagai seorang laki-laki yang dilupakan. Menurut beberapa teolog feminis, meski demikian, para Bapa reformasi tidak berusaha mengubah status perempuan di dalam gereja, bahkan Karl Barth pun mengatakan perempuan di dalam perjanjian dengan Allah menduduki tempat nomor dua. (Radford Ruether 1983, 193-194) Sementara itu, Tertulianus menyebut perempuan sebagai “gerbang iblis”. Terakhir Agustinus berpendapat bahwa hanya laki-laki sendirilah yang merupakan citra Allah, sementara seorang perempuan adalah citra Allah hanya jika dia bersama dengan suaminya. (Clifford 2002, 19-52)
Pendapat di atas menurut Marie Claire Barth-Frommel cukup hidup dalam masyarakat, seperti terjadi di Asia. Sebagai seorang teolog perempuan yang menganalisis dan mengembangkan wawasannya tentang teologi feminis di Asia, dia menulis pendapatnya demikian: ”Dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki-laki adalah kuat, pemberani, rasional, produktif, menghasilkan kekayaan, menciptakan budaya, sanggup membuat perencanaan. Sedangkan kodrat perempuan adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, suka memelihara apa yang ada dan meneruskan ketrampilan lama, biasa melayani dan suka dipimpin.” (Barth-Frommel 2003, 3-4)
Pandangan yang merendahkan perempuan bukan hanya ada di luar kekristenan. Di dalam gereja sendiri, sering kali perempuan dipandang sebagai harta milik, objek, polusi yang membahayakan, dan yang paling keras adalah, perempuan dinilai tidak mampu menjadi gambar Allah sehingga mereka dilarang untuk menjadi pemimpin, pengkhotbah dan pengajar dalam ibadah maupun pelayan di gereja. Teologi feminis berusaha memperbaharui teologi, gereja dan masyarakat. Mereka menafsirkan kembali secara kritis sumber iman Kristen, yaitu Alkitab dengan tujuan berteologi dalam kategori yang lain selain patriarkat. Teolog-teolog feminis memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan doktrin gereja. Salah satunya adalah Rosemary Radford Reuther yang memahami bahwa Kristus dapat menyelamatkan baik laki-laki maupun perempuan. (Radford Reuther 1983, 116)
Baik De Beauvoir maupun Rosemary Radford Reuther dan teolog feminis lainnya ingin menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa cara penilaian terhadap manusia sangat tidak masuk akal jika hanya menilainya dari gender. Akan menjadi sebuah keadilan jika menilai sesuatu hal itu sesuai dengan eksistensinya (keberadaannya), artinya keberadaannya ketika melakukan sesuatu hal ataupun kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu hal. Demikian juga halnya bagi perempuan Karo yang akan lebih baik jika tidak harus dijengkal dan ditakar harganya hanya karena dia adalah seorang perempuan. Melainkan seharusnya memperhitungkan eksistensi perempuan itu yang sebenarnya dan martabat yang melangkaui harga dan nilai yang diberikan oleh masyarakat melalui proses unjuken. Tidak hanya itu, perempuan Karo hendaknya juga diberi ruang dan kesempatan yang lebih luas untuk berkecimpung di dalam gereja dan melayani tanpa batasan-batasan tertentu yang kerap kali ditetapkan oleh gereja hanya karena dia adalah seorang perempuan. Jika Allah saja mau memberi tempat dan posisi yang sama kepada laki-laki dan perempuan, masakah kita tidak mau melakukan hal yang sama kepada sesama kita?
Bab III ini merupakan analisis feminis yang digunakan oleh penulis sebagai pisau bedah dalam mengkaji permasalahan yang telah dikemukan oleh penulis. Dengan demikian, pada bab berikutnya kita akan diantarkan untuk masuk ke dalam bagian akhir dari tulisan ini yang merupakan sebuah kesimpulan dari apa yang telah ditulis oleh penulis pada bab-bab sebelumnya.

Penutup

Penempatan perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan merupakan akibat dari streotipe ideologi patriaki terhadap perempuan. Ideologi ini menempelkan label pada perempuan, tidak saja pada aspek psikologis, tetapi juga pada aspek teknis. Perempuan dianggap sebagai makhuk yang lemah, lembut, dan cengeng sehingga harus dilindungi. Pelabelan ini membuat perempuan tidak mampu memimpin karena pemimpin membutuhkan karakter yang kuat, tegas, dan rasional, dan memiliki kemampuan teknis yang handal. Dalam konteks keluarga, perempun ditetapkan sebagai pihak yang dipimpin, sedangkan laki-laki adalah pemimpin. Akibatnya, perempuan tidak memiliki hak untuk memutuskan sesuatu dalam keluarga. Sehingga mau tidak mau, perempuan harus bersandar sepenuhnya kepada laki-laki karena ia tidak diijinkan bergantung pada dirinya sendiri.
Ulasan yang dikedepankan oleh penulis ini menggambarkan upaya beberapa perempuan dalam memperluas ruang geraknya dan memberi makna yang berbeda pada perkawinan mereka, khususnya perempuan dalam budaya Karo. Budaya Karo pada dasarnya masih melihat perempuan dalam ambivalensi. Pada satu sisi, perempuan mendapatkan penghargaan, namun di sisi lain, perempuan juga masih tetap mengalami diskriminasi. Penggalian filosofi dan mitologi Karo tentang perempuan di dalam adat Karo telah menunjukkan bahwa perempuan Karo memang cukup memiliki posisi yang penting di dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Di dalam budaya Karo, perempuan seolah ditakar harganya melalui budaya unjuken, namun di sisi lain, budaya Karo secara tidak langsung juga mengangkat tinggi martabat perempuan dengan menjadikanya sebagai penerus silsilah yang tersirat. Meski demikian tetap tidak dapat dipungkiri bahwa patriakalisme dalam budaya Karo masih menyebabkan diskriminasi terhadap perempuan Karo baik secara terang-terangan maupun secara tertutup. Untuk menciptakan keadilan bagi perempuan Karo dalam kehidupan perkawinan, maka seharusnya sejak awal pernikahan ia harus mengalami pembebasan.
Melalui tulisan ini penulis ingin menguak perihal eksistensi perempuan yang seringkali dibatasi dan dijengkali. Oleh karena itu, pada Bab I, penulis sudah menjelaskan tentang bagaimana eksistensi perempuan Karo dalam konteks adat dan budaya Karo, yakni mengenai adat ertutur (perkenalan) dan budaya unjuken, yakni suatu konsep mas kawin yang diberlakukan kepada perempuan dalam budaya Karo. Konsep unjuken di dalam budaya Karo ini tidak jarang seolah memberi kesan bahwa perempuan seperti mendapat nilai tertentu dan bahkan ditakar harganya.
Pada bab I ini juga penulis juga membahas mengenai bagaimana eksistensi perempuan Karo dalam agama Pemena yang dulu mendapat peran yang cukup penting dalam membantu masyarakat Karo untuk berhubungan dengan Tuhan mereka. Kendati di satu sisi perempuan sebagai Si Baso dalam praktik agama Pemena yang mampu menghubungkan orang-orang yang masih hidup dengan orang-orang yang sudah meninggal ( begu) dan dinilai negatif, namun di sisi lain, perempuan sebagai Si Baso juga mempunyai peran positif yang dapat membantu masyarakat, yakni perannya sebagai mediator, dukun penyembuh, dan lain-lain. Selain melihat eksistensi perempuan Karo sebagai Si Baso, pada bab ini penulis juga mengedepankan mengenai eksistensi perempuan yang sudah menikah maupun yang belum menikah, yakni sebagai ibu maupun sebagai anak perempuan di dalam budaya Karo yang masih harus hidup dengan ter(di)kekang oleh berbagai aturan adat yang diberlakukan bagi mereka.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam banyak hal, secara langsung maupun tidak langsung, gereja terkadang justru ikut melestarikan budaya patriarki, baik secara institusional, misalnya melalui pernikahan, baptisan, atau penetapan jabatangerejawi, maupun secara struktural, misalnya dalam pembentukan pelayanan gerejawi dan keterlibatan perempuan dalam lingkup lokal, klasikal, sinodal, regional, sampai nasional. Oleh karena itu, pada Bab II, penulis memaparkan tentang bagaimana eksistensi perempuan dalam GBKP. Tujuan penulis untuk memaparkan hal ini adalah agar kita dapat melihat sejauh mana perempuan dapat berperan aktif di dalam gereja dan bagaimana sikap dari GBKP yang sudah dapat menerima perempuan sebagai pemimpin gereja meski masih ada hambatan yang menghalangi mereka untuk berkarya dengan bebas. Pada bab ini penulis juga memaparkan tentang hal-hal apa saja yang dapat menjadi peluang dan tantangan yang diterima oleh Moria (Kaum Ibu) di dalam kehidupannya bergereja maupun dalam kehidupan perkawinannya. Sebagai seorang ibu, tentu tidak mudah bagi perempuan untuk dapat berkarya sekaligus mengurus keluarga. Moria tidak harus terus menerus hidup dalam kungkungan urusan rumah tangga, tetapi juga seharusnya dapat melakukan pekerjaan luar biasa lainnya di berbagai aspek kehidupan. Sebab peranan perempuan tidak hanya bersifat domestik, tetapi juga di gereja, masyarakat dan dunia. Hal inilah yang hendak diperjuangkan oleh perempuanKaro demi mempertahankan eksistensinya sekaligus tidak menomorduakan keluarganya.
Pada Bab III, penulis berusaha untuk menganalisis bagaimana perihal eksistensi perempuan. Penulis berusaha untuk menganalisa persoalan pelik tentang perempuan Karo ini dengan menggunakan sudut pandang teologis, budaya Karo, dan juga feminisme eksistensialis.
Pada bab III kita dapat melihat bagaimana Alkitab memberikan gambaran yang terang dan jelas mengenai posisi perempuan baik, mulai dari rancang penciptaan hingga sejarah penebusan Allah bagi manusia melalui Yesus Kristus. Perempuan sering disebut sebagai sumber dosa. Padahal perempuan hanyalah diperalat oleh Iblis untuk menjalankan misinya dan menjadikan manusia jatuh ke dalam dosa. Dengan demikian, bukankah akan lebih baik jika kita menyebut perempuan bukan sebagai sumber dosa melainkan sebagai saksi pertama dari dosa. Namun di sisi lain, perempuan seringkali mendapat kesempatan yang istimewa untuk menyaksikan hal-hal yang istimewa pula. Selain menjadi saksi pertama dari dosa, perempuan juga menjadi saksi pertama atas kehidupan melalui kelahiran anak-anaknya. Bukankah itu sebuah berkat dan anugrah yang istimewa? Bahkan saat kebangkitan Yesus pun perempuan adalah orang pertama yang menjadi saksi kebangkitanNya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sesungguhnya perempuan diciptakan seharkat dan semartabat dengan laki-laki. Baik laki-laki maupun perempuan diberikan panggilan dan peran yang sama-sama penting di hadapan Allah. Dan oleh karya Yesus Kristus, baik laki-laki maupun perempuan dihargai dan difungsikan eksistensi mereka. Meskipun laki-laki maupun perempuan mempunyai kelemahan dan keterbatasan masing-masing, tetapi Yesus Kristus telah menjadikan mereka semua sebagai saksi-nya, sebagai murid-nya, dan sebagai pemberita Injil Kristus. Maka dalam misi Kristiani di manapun dan kapanpun, kaum laki-laki dan perempuan Kristen harus terus membangun kerjasama yang saling mengisi, saling menguatkan dan saling mendukung. Sehingga tidak sepantasnya ada sikap yang menempatkan kaum perempuan seolah sebagai kelompok masyarakat kelas dua, atau menjadikan kaum laki-laki seolah sebagai superior.
Namun tidak jauh berbeda dengan tradisi Yahudi yang menomorduakan perempuan, di dalam budaya Karo juga terjadi hal yang sama. Namun di dalam budaya Karo, tradisi Karo juga masih memandang perempuan seperti sebuah koin yang memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, perempuan seolah ditakar harganya melalui praktik unjuken dan tidak memiliki fungsijabatan adat dalam runggu. Namun di sisi lain perempuan tetap berharga karena sesungguhnya mereka adalah penerus silsilah yang tersirat.
Demikian juga halnya dengan feminisme eksitensialis yang menganalisis bagaimana ketidakadilan terjadi terhadap keberadaan (eksistensi) perempuan. Teori feminis eksistensialis ini merupakan kajian yang melihat bahwa ada ketimpangan pengakuan terhadap perempuan. Keberadaan perempuan hanya dianggap sebagai objek yang menyebabkan perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Sehingga memberi kesan negatif, yakni perempuan bukanlah apa-apa selain bagian dari laki-laki. Seolah eksistensi perempuan tidak pernah ada tanpa laki-laki. Sehingga dengan meminjam istilah dari bahasa Karo yang mengataan “Ikut la atan, sirang la ngasup” (Kalau ikut, tidak mampu. Kalau berpisah, tidak sanggup), perempuan digambarkan sebagai sesosok makhluk yang lemah yang bahkan ekistensinya pun dipertanyakan.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebelum datangnya agama, adat adalah agama. Sehingga hal-hal yang merupakan hukum adat adalah sesuatu yang harus dilaksanakan tanpa pengecualiaan. Namun penulis berharap dengan adanya tulisan seperti yang diungkapkan oleh penulis, budaya Karo dan GBKP dapat mempertimbangkan kembali mengenai peran dan kedudukan perempuan Karo itu sendiri di dalam kehidupan bergereja maupun dalam praktek adat. Harapan penulis terhadap GBKP adalah agar GBKP sebagai tempat terdekat bagi perempuan Karo untuk bernaung juga memberi kesempatan bagi perempuan untuk dapat memenuhi panggilan Allah dalam kehidupan mereka. Untuk itu, GBKP ditantang untuk membina, memperlengkapi, serta memberdayakan kaum perempuan di dalam pelayanan gereja sehingga tidak ada lagi keterkekangan bagi perempuan Karo untuk dapat menunjukkan eksistensi dirinya sebagai perempuan yang seutuhnya. Sehingga dengan demikian tidak akan ada lagi celah bagi siapapun untuk menjengkal perempuan dan menakar harganya karena perempuan jauh lebih berharga melangkaui harga yang telah ditetapkan masyarkat pada dirinya.

1.      Kepada GBKP
Pergumulan masyarakat juga adalah pergumulan gereja. Gereja hadir di tengah masyarakat sebagai alat Allah untuk bersama-sama dengan masyarakat untuk menjawab setiap pergumulan. Beberapa saran yang dapat ditawarkan kepada GBKP antara lain:
-          Gereja harus mengadakan pembinaan berkesetaraan gender kepada seluruh warga jemaat GBKP terkait dengan perempuan
-          Gereja harus membuka peluang bagi perempuan GBKP untuk dapat beraktualisasi di tengah-tengah gereja melalui pelayanannya di dalam GBKP.
-          Penempatan Pendeta tidak didasarkan pada jenis kelamin perempuan atau laki-laki, tetapi didasarkan pada potensi dan kemampuannya.
-          Harus diadakan pertemuan dan pembinaan kepada suami/istri pendeta agar dapat mendukung pelayanan suami/istrinya sebagai pendeta.
-          Harus diadakan pertemuan dan pembinaan kepada suami/istri penatua dan diaken agar dapat mendukung pelayanan suami/istrinya sebagai penatua dan diaken.
-          Memperhatikan muatan khotbah yang akan disampaikan kepada jemaat. Jangan sampai khotbah dari pendeta justru menjadi sarana untuk menjatuhkan perempuan karena khotbah yang menyerang gender tertentu.
-          Perempuan tidak hanya dijadikan sebagai bagian dari seksi konsumsi ketika rapat, melainkan perempuan juga harus diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki, yakni mengikuti rapat dan juga diberi kesempatan untuk mengambil keputusan.
-          GBKP diharapkan dapat berusaha mencari alternatif lain dalam proses unjuken sehingga tidak memberi kesan seolah perempuan Karo itu memang dijengkali dengan cara ditakar harganya melalui proses unjuken.
-          Mengupayakan secara optimal penyuluhan tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki di dalam rumah tangga lewat pengajaran ketekisasi pernikahan pada saat pra pernikahan. Sehingga mengurangi tingkat kekerasan di dalam rumah tangga dan juga perceraian di dalam GBKP.

2.      Kepada Pengurus Moria GBKP
Beberapa saran yang dapat diberikan kepada pengurus Moria GBKP antara lain:
-          Komisi perempuan (Pengurus Moria GBKP) dapat memfasilitasi pertemuan khusus pendeta perempuan dalam rangka terbentuknya persaudaraan dan rasa saling memiliki dikalangan pendeta perempuan.
-          Komisi perempuan (Pengurus Moria GBKP) dapat memfasilitasi pertemuan khusus penatua dan diaken perempuan dalam rangka terbentuknya persaudaraan dan rasa saling memiliki dikalangan penatua dan diaken perempuan.
-          Memberikan pelatihan kepada perempuan, khususnya perempuan yang masih berada di pedesaan dan belum mengenal arti kesetaraan.
-          Memasukkan beberapa poin pengajaran tentang kesetaraan perempuan dan eksistensi perempuan di dalam buku-buku PA Moria dan Permata.
3.      Kepada Perempuan Karo
Jika ingin dihargai oleh orang lain, maka penghargaan itu haruslah pertama-tama datangnya dari diri perempuan itu sendiri. Apabila perempuan sendiri tidak dapat menghargai dirinya, tidak menyadari kemampuannya, bahkan tidak merasa jika ia juga memiliki martabat yang sama dengan laki-laki, maka sampai kapanpun harkat dan martabatnya tidak akan pernah dianggap ada oleh orang lain. Beberapa hal yang dapat diberikan kepada perempuan Karo antara lain:
-          Perempuan Karo harus lebih menyadari potensi yang ia miliki
-          Perempuan Karo harus menyadari bahwa mereka juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai hal
-          Perempuan Karo harus mau membuka diri untuk setiap kesempatan yang ditawarkan kepadanya
-          Perempuan Karo harus dapat membuktikan eksitensinya dengan tidak berdiam diri saja, melainkan harus berkarya.








Daftar Acuan

Blocher, Henri. 1997. Original sin: Illuminating the riddle. United Kingdom: APOLLOS.
Clifford, Anne M. 2002. Memperkenalkan teologi feminis. Maumere: Ledalero.




Wawancara dengan Komisi Perempuan GBKP:
1.                          Bagaimana sejarah pendeta perempuan di GBKP?
2.                          Apa peran perempuan dalam GBKP?
3.                          Apa peran perempuan dalam adat Karo?
4.                          Bagaimana peran dan posisi perempuan Karo dalam pernikahan terkait dengan Moria?
5.                 Apa saja pergumulan GBKP dalam mewujudkan keadilan bagi perempuan Karo? Apa  jalan keluar yang dapat ditawarkan?
6.                 Bagaimana pandangan pendeta pengurus Moria GBKP tentang unjuken?
7.                 Apakah ada data dari Moderamen GBKP tentang peran perempuan sebagai pemimpin dari tingkat sinode hingga jemaat? Bagaimana presentase pejabat gereja perempuan bila dibandingkan dengan laki-laki?
8.                 Apa pengaruh kekristenan terhadap perempuan Karo?
9.                 Bagaimana pandangan GBKP dan Komisi Perempuan Moria terhadap budaya patriakal yang dipahami dan dianut oleh orang Karo?
10.             Bagaimana peran GBKP dalam mewujudkan kesetaraan gender?
11.             Apakah bahan katekisasi pernikahan di GBKP sudah menekankan perihal kesetaraan gender? Apa manfaat dan kerugiannya bagi perempuan?



A.     Silahkan lingkari salah satu jawaban dari pertanyaan berikut:
1.      Usia saat ini:
a.      17-22 tahun (Belum Menikah)                 c. 41-55 tahun (Keluarga Mapan)
b.      23-40 tahun (Keluarga Muda)                  d. 56-70 tahun (Keluarga Lanjut)
2.      Pendidikan terakhir:
a.      Tidak sekolah                                            c. SMA/SMK/STM
b.      SD - SMP                                                   d. Kuliah (D3/S1/S2)
3.      Pekerjaan:
a.      Wira swasta/ Karyawan swasta                            c. Tidak bekerja
b.      PNS atau Profesional (Dokter, Pengacara,dll)      d. Lain-lain (Petani/Buruh/Ibu rumah
     tangga/pelajar)
4.      Bagaimana pendapat Anda bila anak perempuan Karo tampil dengan rok mini?
a.      Biasa saja                                     c. Tidak setuju
b.      Setuju                                           d. Tidak peduli
5.      Apa yang Anda ketahui tentang posisi perempuan Karo di dalam keluarga terkait dengan hak anak perempuan yang berbeda dengan hak anak laki-laki?
a.      Hak waris anak perempuan dalam keluarga tidak ada, sementara anak laki-laki memiliki hak waris
b.      Anak perempuan tidak berhak untuk mengemukakan pendapat
c.       Jawaban A dan B adalah benar
d.      Tidak tahu
6.      Apakah ada aturan/larangan/tradisi yang Anda ketahui pernah/masih diberlakukan bagi perempuan Karo? (misalnya dulu ada budaya yang mengharuskan anak perempuan untuk mengenakan sarung ketika berada di rumah)
a.      Ada                                               c. Tidak tahu
b.      Tidak ada                                     d. Ragu-ragu
7.      Menurut Anda, apakah yang menjadi tugas atau tanggung jawab seorang perempuan yang belum menikah bagi keluarganya?
a.      Membantu pekerjaan domestik Ibunya   c. Jawaban A dan B adalah benar
b.      Menjaga nama baik keluarga                  d. Tidak ada karena dia belum menikah
8.      Apakah sejauh ini Anda cukup merasa adil terhadap segala bentuk perlakuan yang diberlakukan terhadap perempuan Karo yang belum menikah?
a.      Ya                                                 c. Tidak peduli
b.      Tidak                                            d. Tidak tahu
9.      Menurut Anda, apakah yang menjadi tugas/ kewajiban seorang perempuan yang sudah menikah bagi keluarganya?
a.      Melayani suaminya, anak-anaknya, dan keluarganya
b.      Penerus silsilah keluarga
c.       Jawaban A dan B benar
d.      Tidak tahu
10.  Menurut Anda, apakah yang menjadi hak seorang perempuan Karo yang sudah menikah di dalam keluarganya?
a.      Hak mengemukakan pendapat di dalam rumah tangga
b.      Tidak ada. Perempuan yang sudah menikah masih tetap tidak punya hak di dalam keluarga sama seperti perempuan yang belum menikah
c.       Hak mendapatkan warisan
d.      Tidak tahu
11.  Menurut Anda, apakah perempuan yang sudah menikah masih boleh bekerja di luar rumah?
a.      Ya, boleh bekerja                                      c. Tergantung suami
b.      Tidak boleh bekerja                                  d. Harus bekerja
12.  Bolehkah seorang suami juga mengerjakan pekerjaan domestik seperti yang dikerjakan oleh istrinya?
a.      Tidak boleh karena tidak pantas                          c. Sah-sah saja
b.      Tidak dibenarkan oleh adat/budaya                                 d. Jawaban A dan B adalah benar
13.  Apakah sejauh ini Anda cukup merasa adil terhadap segala bentuk perlakuan yang diberlakukan terhadap perempuan Karo yang sudah menikah?
a.      Ya                                                  c. Tidak peduli
b.      Tidak                                             d. Tidak tahu
14.  Bagi Anda yang sudah menikah, apakah selama ini Anda sudah merasa cukup dihargai oleh suami dan anak Anda di dalam keluarga?
a.      Sudah                                            c. Hal itu bukan kewajiban mereka
b.      Belum                                            d. Tidak peduli
15.  Bagi Anda yang sudah menikah, apakah selama ini Anda pernah menerima kekerasan di dalam rumah tangga?
a.      Pernah                                           c. Kadang-kadang
b.      Tidak pernah                                 d. Sering
16.  Kekerasan di dalam rumah tangga yang Anda pahami adalah:
a.      Suami berlaku kasar kepada istri (misalnya memukul, meninju, menendang, dsb)
b.      Suami berkata-kata kasar kepada istri
c.       Suami melecehkan dan merendahkan istri
d.      Semuanya benar
17.  Menurut Anda, apakah perempuan yang sudah menikah berhak untuk memiliki suatu kebebasan?
a.      Tidak, karena sudah memiliki suami dan anak-anak
b.      Ya, karena kodrat paling dasar dari diri manusia adalah suatu kebebasan
c.       Tergantung keluarga dan suaminya, apakah mereka memberikan kebebasan kepada perempuan Karo itu atau tidak
d.      Bebas atau tidak, terserah perempuan itu sendiri
18.  Apakah yang Anda ketahui tentang Unjuken yang diberlakukan oleh adat Karo bagi perempuan?
a.      Mahar                                           c. Biaya pesta
b.      Biaya hidup                                   d. Tidak tahu
19.  Bagaimanakah pandangan Anda tentang Unjuken?
a.      Harus tetap dijalankan                 c. Hanya sebuah tradisi
b.      Harus dihapuskan                         d. Tidak tahu
20.  Apa dampak Unjuken terhadap perempuan Karo yang belum menikah?
a.      Memberi pemasukan bagi keluarganya
b.      Tidak berdampak sama sekali
c.       Hanya sebagai mas kawin
d.      Tidak tahu
21.  Apa dampak Unjuken terhadap perempuan Karo yang sudah menikah?
a.      Memudahkan suami berlaku kasar bagi istri
b.      Tidak berdampak sama sekali
c.       Sebagai penanda dia sudah dibeli oleh suaminya
d.      Tidak tahu
22.  Menurut Anda adakah peran perempuan di dalam budaya?
a.      Tidak ada                          c. Tidak peduli
b.      Ada                                                d. Tidak tahu
23.  Menurut Anda, apakah GBKP sudah memperhatikan perempuan Karo (Moria dan Permata)?
a.      Sudah                                c. GBKP kurang memperhatikan
b.      Belum                                d. Tidak tahu
24.  Apa yang dimaksud dengan Merga atau beru?
a.      Merga Ayah menjadi merga untuk anak laki-laki dan menjadi beru untuk anak perempuan
b.      Beru Ibu menjadi merga untuk anak laki-laki dan menjadi beru untuk anak perempuan
c.       Bere-bere Ibu menjadi  merga untuk anak laki-laki dan menjadi beru untuk anak perempuan
d.      Bere-bere Ayah menjadi merga untuk anak laki-laki dan menjadi beru untuk anak perempuan
25.  Apa yang dimaksud dengan Bere-bere?
a.      Merga Ayah menjadi bere-bere untuk anak laki-laki dan anak perempuan
b.      Beru Ibu menjadi bere-bere untuk anak laki-laki dan anak perempuan
c.       Bere-bere Ibu menjadi  bere-bere untuk anak laki-laki dan anak perempuan
d.      Bere-bere Ayah menjadi bere-bere untuk anak laki-laki dan anak perempuan
26.  Apa yang dimaksud dengan perkempun?
a.      Bere-bere Ayah menjadi perkempun untuk anak laki-laki dan anak perempuan
b.      Bere-bere Ibu menjadi perkempun untuk anak laki-laki dan anak perempuan
c.       Bere-bere Nini Bulang (Kakek) dari Ayah menjadi perkempun untuk anak laki-laki dan anak perempuan
d.      Bere-bere Nini Bulang (Kakek) dari Ibu menjadi perkempun untuk anak laki-laki dan anak perempuan
27.  Apa yang dimaksud dengan binuang?
a.      Bere-bere Ayah menjadi binuang untuk anak laki-laki dan anak perempuan
b.      Bere-bere Ibu menjadi binuang untuk anak laki-laki dan anak perempuan
c.       Bere-bere Nini Bulang (Kakek) dari Ayah menjadi binuang untuk anak laki-laki dan anak perempuan
d.      Bere-bere Nini Bulang (Kakek) dari Ibu menjadi binuang untuk anak laki-laki dan anak perempuan
28.  Apa yang dimaksud dengan kampah?
a.      Bere-bere Ayah menjadi kampah untuk anak laki-laki dan anak perempuan
b.      Bere-bere Ibu menjadi kampah untuk anak laki-laki dan anak perempuan
c.       Bere-bere Nini Bulang (Kakek) dari Ayah menjadi kampah untuk anak laki-laki dan anak perempuan
d.      Bere-bere Nini Bulang (Kakek) dari Ibu menjadi kampah untuk anak laki-laki dan anak perempuan
29.  Apa yang dimaksud dengan Soler?
a.      Bere-bere Ayah menjadi Soler untuk anak laki-laki dan anak perempuan
b.      Bere-bere Ibu menjadi Soler untuk anak laki-laki dan anak perempuan
c.       Bere-bere Nini Bulang (Kakek) dari Ayah menjadi Soler untuk anak laki-laki dan anak perempuan
d.      Bere-bere Nini Bulang (Kakek) dari Ibu menjadi Soler untuk anak laki-laki dan anak perempuan

B.      Essay
30.  Apa yang ingin Anda kemukakan, katakan atau ajukan sebagai saran atau kritik jika Anda diberi kesempatan untuk berbicara terkait Unjuken?
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
31.  Bagaimana Anda menghargai diri Anda sendiri selaku perempuan Karo yang bermartabat?
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
32.  Utarakan pandangan Anda terkait istilah “Ndehara Singukat Nakan”
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
33.  Ceritakan sedikit tentang diri Anda baik sebagai anak perempuan di dalam keluarga, ibu bagi anak-anak Anda, istri bagi suami, dan peran Anda di dalam kehidupan bergereja di GBKP.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Lampiran III
Daftar Responden