NJENGKALI SI LA TERJENGKALI (MENILAI
YANG TIDAK TERNILAI):
Kajian Konsep
“Menakar Harga” untuk
Mewujudkan Keadilan bagi Perempuan Karo
GUNA MEMENUHI SEBAGIAN DARI
PERSYARATAN MENCAPAI GELAR SARJANA SAINS TEOLOGI
OLEH:
SHANDY JOAN BARUS
NIM: 012091866
2014
LEMBAR PENGESAHAN
Pembimbing telah menerima hasil penelitian khusus yang
berjudul: NJENGKALI
SI LA TERJENGKALI (MENILAI YANG TIDAK
TERNILAI): Kajian
Konsep “Menakar Harga” untuk
Mewujudkan Keadilan bagi Perempuan Karo yang
telah dipersiapkan dan diserahkan oleh Shandy
Joan Barus guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
Pembimbing
Dr. Rebecca Blair Young, Ph. D.
Diterima sebagai
persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Sains Teologi di Sekolah Tinggi Teologi
Jakarta.
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Pdt. Joas Adi Prasetya, Th. D
Hampir sebagian besar masyarakat di daerah tertentu di
dunia masih menabukan membicarakan peran, hak, kedudukan, posisi dan “harga”
perempuan. Umumnya kita menduga bahwa dengan begitu banyak perkembangan yang
terjadi pada perempuan di kota-kota besar, maka cukup banyak juga terjadi
perubahan pada perempuan di daerah. Namun sayangnya, ternyata tidak demikian.
Perempuan daerah masih terbelit dengan masalah marginalisasi (peminggiran),
subordinasi (penomorduaan), stereotipe (citra buruk), bahkan kekerasan yang
mungkin saja mereka terima. Tidak hanya itu, bahkan di sebagian daerah,
perempuan sangat terikat dengan tradisi dan terkadang hanya disamakan seperti
barang yang dapat diperjualbelikan. Hal tersebut tampaknya sudah menjadi bagian
dari tradisi di sebagian daerah oleh sebagian masyarakat adat.
Tradisi
yang “memperjualbelikan perempuan” tampaknya memang masih belum dapat
dipisahkan dari perempuan. Di berbagai daerah di seluruh dunia ada banyak
sekali tradisi yang menuntut perempuan harus sempurna agar mendapat harga yang
tinggi. Dengan kata lain, sekalipun perempuan kerap mengalami subordinasi dan
marginalisasi, perempuan dinilai mendatangkan “keuntungan” tertentu bagi keluarganya
melalui mahar. Beberapa contoh tradisi yang menuntut perempuan untuk sempurna
agar mendapat “Harga” yang tinggi adalah Tradisi “Mengikat Kaki” di China,
Tradisi “Memanjangkan Leher” di Thailand, dan Tradisi “Merenggangkan Bibir” di
Amazon. Sekalipun Perempuan Karo tidak dituntut untuk “Mengikat Kaki”,
“Memanjangkan Leher”, atau “Merenggangkan Bibir”, perempuan Karo tetap dituntut
untuk sempurna sehingga kelak akan mendapatkan “Harga” yang cukup tinggi pula.
Tulisan ini merupakan kajian antropologis, feminis, dan
teologis terhadap adat pernikahan di Karo. Tulisan ini akan difokuskan pada
ritus perkawinan adat Karo yang memberlakukan Unjuken (praktik mas kawin) dan menyoal posisi serta eksistensi
Perempuan Karo sebelum dan setelah menikah.
“Dua orang anak sudah cukup. Laki-laki atau perempuan sama
saja”. Kurang lebih demikianlah celotehan iklan dari pemerintah terkait
Keluarga Berencana (KB) yang disampaikan ke seluruh lapisan masyarakat di
Indonesia ini. Namun tampaknya pernyataan tersebut ditolak oleh sebagian besar
keluarga Karo. Bagi keluarga Karo, lebih baik memiliki satu anak lelaki
daripada sembilan anak perempuan, karena mereka mengganggap walaupun mereka
hanya memiliki satu anak lelaki tetapi anak itu akan dapat membawa nama
keluarga. Anak lelaki dianggap sebagai penerus marga. Berbeda halnya dengan
anak perempuan yang jika ia menikah maka ia akan pergi dari rumah dan mengikuti
keluarga suaminya. Bahkan bagi sebagian keluarga Karo, anak perempuan hanya
dianggap sebagai “beban ekonomi keluarga”. Sehingga tidak jarang perkawinan
dini sering dianggap sebagai suatu solusi karena dengan demikian keluarga
perempuan akan mendapatkan mas kawin dari pihak laki-laki.
Budaya seperti ini merupakan bagian dari adat suku Karo
dan masih terus berlanjut hingga kini. Perempuan yang akan dinikahkan itu
disebutkan “harganya” kemudian “ditawar”. Jika harga sudah sesuai maka ia akan
“dibeli” dan dinikahi oleh laki-laki yang telah membelinya. “Unjuken” atau “Tukur” (uang hasil penjualan perempuan Karo) tersebut akan
dibagikan kepada seluruh sanak saudara yang hadir sebagai tanda bahwa ia telah
sah dibeli dan dinikahi. Berdasarkan penjelasan tersebut, ada kemungkinan bahwa
anak perempuan memang dipandang sebagai beban ekonomi yang kemudian dapat
dipertukarkan dengan mas kawin untuk menggantikan seluruh biaya hidup yang
telah dikeluarkan oleh orang tuanya selama ini. Anak perempuan yang telah
diganti dengan mas kawin tersebut biasanya akan dibawa oleh pengantin laki-laki
atau masuk dalam keluarga pengantin laki-laki. Segala macam perlakuan dan
perbuatan mereka terhadap pengantin perempuan adalah sah karena dalam keyakinan
mereka (sesuai tradisi), si perempuan memang telah dibeli.
Sekalipun perempuan Karo sudah mengalami peningkatan dan
mendapatkan posisi dalam hal pendidikan dan pekerjaan, namun dalam status adat
istiadat dan tradisi, perempuan tetap berada di belakang layar panggung adat.
Perempuan Karo sama sekali tidak berhak menentukan “harga” atas dirinya
sendiri, tidak diberi kesempatan untuk menikmati “nilai jual”-nya tersebut,
tidak berhak menuntut warisan, dan tidak memiliki status dalam adat sebelum
menikah. Itulah yang dialami oleh perempuan lajang sebelum menikah. Namun
sayangnya sekalipun sudah menikah, mereka tetap tidak mengalami kemajuan yang
signifikan. Perempuan tetap tidak diberi kebebasan untuk menentukan karirnya
tanpa seijin suaminya (ruang gerak dibatasi) dan jarang diberi kesempatan untuk
memberikan pendapat dan pengambilan keputusan di dalam rumah tangga. Sehingga
dapat dikatakan konsep dan kebiasaan masyarakat yang melegalkan kondisi
tersebut pada akhirnya menyebabkan kondisi dan posisi perempuan menjadi lemah
apalagi kemudian dengan menyudutkan posisi perempuan hanya dalam ruang domestik
saja. Padahal (dengan demikian), perempuan Karo sesungguhnya diyakini sebagai
sumber berkat karena dia mengalirkan “pemasukan” terhadap keluarga melalui mas
kawin, memberikan “penerus” bagi suaminya, memberikan “martabat” bagi
saudaranya laki-laki, dan bahkan sesungguhnya adalah penerus silsilah. Lelaki
memang selalu dibanggakan tetapi perempuanlah yang dituntut untuk menjaga nama
baik keluarganya.
Gambaran perempuan dalam perkawinan pada budaya patriaki
ini setidaknya mengingatkan kita pada pemikiran Michel Foucault, seorang filsuf
asal Prancis, tentang disiplin tubuh, yang mengupas tentang nilai kuasa
seseorang untuk menguasai orang lain atas tubuhnya. Menurutnya, dalam setiap
masyarakat, tubuh senatiasa menjadi objek kuasa. Tubuh dimanipulasi, dilatih,
dikoreksi, menjadi patuh, bertanggungjawab, menjadi terampil dan meningkat
kekuatannya. Tubuh senantiasa menjadi sasaran “kuasa” baik dalam artian
“anatomi-metafisik” yakni seperti yang dibuat oleh para dokter dan filsuf,
maupun dalam arti “teknis politis” yang mau mengontrol, mengatur dan mengoreksi
segala aktivitas tubuh. (Foucault 1997, 82-85)
Seolah perempuan itu tidak memiliki kebebasan atas segala aktivitas tubuhnya
karena sudah sejak lama terkontrol dan terikat secara paksa oleh tuntutan
masyarakat, tradisi, dan budaya.
Perkawinan dalam budaya patriarki merupakan penciptaan
disiplin dan penguasaan tubuh perempuan dalam arti “anatomi-metafisik” dan “teknis
politis”, guna mengatur, mengontrol dan mengoreksi setiap aktifitas perempuan.
Perempuan tidak mempunyai otonominya terhadap tubuhnya karena harus
mengorbankan dirinya secara fisik dan psikologis untuk diserahkan kepada
laki-laki. Untuk itu, perkawinan dalam konteks ini perlu ditinjau ulang makna
dan substansinya. Perkawinan setidaknya tidak dijadikan sebagai mesin pemenjara
(meminjam istilah Foucault) perempuan pada posisi yang tidak berdaya. Tetapi,
perkawinan dijadikan sebagai proses interaksi atas kehendak bersama antara
perempuan dan laki-laki di mana peran dan posisi perempuan dapat
diperhitungkan, bukan dikesampingkan atau bahkan ditiadakan.
Sherry Ortner, seorang Antropolog Feminis juga menyatakan
bahwa perempuan di berbagai
kebudayaan memang selalu dikaitkan dengan sesuatu atau nilai yang dianggap
rendah oleh masyarakat. (Ortner 1974, 67-68) Artinya, posisi subordinat
perempuan dalam masyarakat itu dibangun oleh konstruksi budaya (simbolik) yang
selalu menganggap perempuan itu lebih rendah dari laki-laki. Demikian juga halnya dengan budaya Karo
yang seperti sebuah koin dengan dua sisi yang berbeda dalam melihat dan
memposisikan perempuan. Pada satu sisi budaya menempatkan perempuan pada posisi
yang lebih rendah daripada laki-laki sehingga dalam pernikahan adat Karo
perempuan ditakar harganya melalui Unjuken.
Dan pada sisi lainnya menempatkan perempuan pada suatu posisi yang menempatkan perempuan sebagai
penerus silsilah dan dianggap sebagai pembawa berkat.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa perkawinan menjadi
pokok bahasan paling menarik bagi hampir setiap feminis. Simone de Beauvoir
seorang feminis eksistensialis menjuluki perkawinan sebagai bentuk dari
perbudakan, karena
dalam perkawinan ambisi dan kehendak perempuan dimatikan, ia dibiarkan
tenggelam dalam kegiatan rutin,
hingga masa tua baru akhirnya perempuan sadar bahwa begitu lama waktu
dihabiskannya tanpa tujuan yang jelas. (Putnam Tong 2005, 179-189) Namun pada kenyataannya, bagi
perempuan Karo, bentuk perbudakan dan penindasan ini sudah terjadi sebelum
mereka menikah. Karena sebelum mereka menikah, seorang perempuan Karo juga memiliki
tanggungjawab bagi keluarganya. Karena itu muncul di benak saya pertanyaan seperti berikut, ”Apakah harga yang dibayarkan itu cukup sepadan dengan setiap
hal yang dilakukan oleh perempuan Karo semenjak dia belum menikah bahkan
setelah dia sudah menikah dan menjadi milik suaminya? Ataukah harga yang
demikan memang pantas bagi perempuan Karo karena sejak awal, perempuan Karo
memang bukan miliknya sendiri, melainkan milik orang lain, yakni milik orang
tua dan suaminya?”
Berbicara mengenai perempuan, di dalam Perjanjian Lama
sendiri juga dibicarakan
tentang peran, kedudukan, hak, bahkan “harga” perempuan. Perempuan digambarkan
dan diciptakan sebagai penolong tetapi pada kenyataannya perempuan selalu
ditempatkan pada posisi pasif yang selalu harus ditolong, dicintai, dilindungi, dinikahi, diberi, dihidupi, bahkan dibeli. Namun dengan demikian, perempuan akan semakin terpojok
dalam budaya yang tanpa sadar telah membuat perempuan menjadi tidak berdaya.
Seolah perempuan dan laki-laki memang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah
namun memiliki fungsi dan kedudukan yang berbeda, karena laki-laki lebih tinggi
kedudukannya dibandingkan dengan perempuan.
Di dalam Perjanjian Lama sendiri juga diungkapkan beberapa
hal yang menjadi masalah perempuan. Kedudukan dan posisi perempuan dalam
Perjanjian Lama cenderung tergolong rendah, khususnya pada masyarakat Israel
Kuno. Sistem masyarakat Israel dalam Perjanjian Lama adalah patriarki yang
didalamnya laki-laki lebih berkuasa. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan banyak
orang yang menilai perempuan lebih rendah kedudukannya daripada laki-laki.
Berbagai kenyataan di masyarakat juga membuktikan bahwa perempuan masih
dianggap sebagai objek untuk dinikahi, menjadi “harta milik suami” (Kel. 20:
17), dituntut untuk mengabdi kepada suami dan patuh terhadap setiap petunjuk
dan perintahnya. (Karman 2009, 69-70.) Padahal seharusnya tidak
demikian. Jika ditilik lebih lanjut, perempuan seharusnya dapat dijadikan
sebagai rekan dan penolong bagi laki-laki, bukan hanya sekadar pelengkap atau
harta pajangan suami semata
(Kej. 2:18). (Meyers 2000, 79-81)
Jika diteliti
dari sudut pandang sejarah Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), memang tidak
dapat dipungkiri bahwa kedatangan Kekristenan ke Tanah Karo hingga dapat
menjadi GBKP seperti sekarang ini juga banyak dipengaruhi oleh budaya Barat dan
budaya patriakal yang lebih mengedepankan kaum laki-laki dalam hal kepemimpinan
gereja. Namun hal tersebut tidak serta merta menelantarkan perempuan, malah
sebaliknya mereka juga memberikan tempat bagi perempuan dalam suatu organisasi
pembinaan perempuan Karo sejak tanggal 10 Agustus 1933 yang bernama “Chistelijke Meisjes Club Maju”.
Organisasi ini bertujuan untuk memberikan pendidikan bagi perempuan Karo yang
terus berkembang ke seluruh desa di Tanah Karo di bawah pimpinan Nyonya G.
Neumann Bos. (GBKP 2004, 5)
Kendati demikian, pada masa itu perempuan memang baru sebatas mendapat
tempat untuk mengecap pembinaan semata, bukan menjadi pemimpin. Namun seiring
berjalannya waktu, sekarang perempuan sudah diberi tempat untuk menjadi
pemimpin gereja. Hal ini memperlihatkan bahwa GBKP tidak hanya melihat
perempuan Karo dalam nilai ekonomisnya sehingga hanya menempatkannya dalam peran
domestik saja, sekalipun budaya Karo cenderung menilai demikian karena pengaruh
budaya patriakal yang sudah mengakar lama. Melainkan GBKP dapat melihat
perempuan Karo secara keseluruhan baik melalui peran dan martabatnya sebagai
perempuan Karo sebagaimana mestinya.
Unjuken memperlihatkan
bahwa masyarakat Karo cenderung melihat perempuan dalam harga sosialnya. Padahal di dalam tradisi dan
budaya Karo itu sendiri
terdapat pemahaman yang menunjukkan bahwa martabat perempuan Karo melangkaui nilai ekonomisnya tersebut. Untuk itu,
dengan meninjau kembali adat dan budaya Karo akan memberi pemahaman terhadap
martabat perempuan yang lebih luas dari nilai ekonomis semata.
Melihat bagaimana
besarnya pengorbanan yang dilakukan oleh seorang perempuan terhadap keluarganya
sebelum dan sesudah ia menikah, maka muncul pertanyaan apakah harga tepat
mengukur martabat perempuan melalui mekanisme “Unjuken”? Atau adakah cara-cara yang lebih bermartabat
kalau tradisi “Unjuken” masih tetap ingin
dipertahankan? Untuk menilik lebih lanjut maka saya memutuskan untuk memilih pembahasan
tentang “Menakar Harga” Perempuan Karo ini sebagai pokok bahasan dalam skripsi saya.
Alasan mengapa saya ingin membahas hal ini di dalam
skripsi saya adalah karena adanya keprihatinan saya akan nasib perempuan Karo
yang selalu ijengkali (ditakar
harganya) melalui Unjuken. Fokus
pembahasan saya adalah mengenai perlunya mempertimbangkan
lagi adat “menakar harga” perempuan Karo sebelum dan sesudah dia menikah. Hal
ini juga nantinya akan mengantarkan kita untuk merefleksikan kembali bagaimana
seharusnya “Posisi Perempuan Karo dan Pertaruhan Eksistensi Dirinya (Sebelum
dan Sesudah Perkawinan)”. Selain itu, saya juga ingin mengajak masyarakat Karo
untuk melihat Unjuken dari sisi yang
berbeda. Unjuken seharusnya tidak dijadikan sebagai kungkungan ataupun harus
dihapuskan, melainkan dimaknai kembali. Saya juga ingin mengembangkan upaya
GBKP dalam mencari dan mewujudkan keadilan bagi Perempuan Karo terkait
persoalan perkawinan dengan menggunakan
GBKP sebagai mediator. Sehingga setiap orang nantinya akan memandang perempuan
Karo, baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah, sebagai sosok yang
bermartabat. Dengan demikian tidak akan ada lagi konsep njengkali si laterjengkali yang terjadi bagi perempuan Karo.
Penelitian yang akan saya lakukan adalah penelitian
kualitatif dan kuantitatif. Untuk penelitian kualitatif, wilayah yang akan saya
teliti adalah Jemaat GBKP yang ada di Tanah Karo. Metodologi yang akan
digunakan adalah wawancara dengan pihak-pihak tertentu yang mendukung
penelitian terhadap budaya Karo terkait tentang pernikahan dan beberapa orang
perempuan Karo di daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk penelitian kuantitatif,
saya akan mengumpulkan data dari gereja dan sinode Moderamen GBKP tentang peran
perempuan sebagai pemimpin dari tingkat sinode hingga jemaat. Selain itu saya
juga akan melakukan studi pustaka terhadap budaya Karo dan teologi feminis.
Pendahuluan
Bab I: Eksistensi Perempuan Karo dalam Adat Karo,
Agama Pemena, dan Masyarakat
I.1. Eksistensi Perempuan Karo dalam Adat dan Budaya Karo
Adat Ertutur: Merga Silima, Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu
Budaya Unjuken : Menakar Harga Perempuan Karo Lewat Batang
Unjuken
I.2. Eksistensi Perempuan Karo dalam Agama Pemena
I.3. Eksistensi Perempuan Karo dalam Masyarakat dan Kehidupan
sehari-hari
Eksistensi
Perempuan Karo Sebelum Menikah
Eksistensi
Perempuan Karo dalam Pernikahan Karo Setelah Menikah
Bab II: Eksistensi Perempuan Karo dalam GBKP
II. 1. Perempuan dan GBKP (Analisis peran perempuan dalam GBKP)
Cikal Bakal Perempuan Berperan di
dalam GBKP
Perempuan sebagai Pemimpin Gereja
Hambatan dan Kendala bagi Perempuan
untuk Menjadi Pendeta
II. 2. Peluang dan Tantangan Moria GBKP (Kaum Ibu di GBKP) Menilik
Pergumulan GBKP dalam Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan Karo dan Jalan Keluar
yang dapat Ditawarkan
Bab III: Analisis Terhadap Posisi Perempuan Karo dalam Pernikahan Adat
terkait Unjuken serta Peran dan Eksistensi Perempuan Karo
III. 1. Analisis Terhadap Perempuan Karo Berdasarkan Teologis
Allah
adalah Kasih (Kej. 1:1-2:7)
Hawa =
Sumber Dosa? (Kej. 3:1-19)
Yesus dan
Perempuan Berzinah (Yoh. 7: 53-8:11)
Sikap
Yesus terhadap Perempuan (Luk. 10: 38-42)
Perempuan
sebagai Saksi Kebangkitan (Luk. 24:1-12)
III. 2. Analisis Terhadap Perempuan Karo Berdasarkan Budaya Unjuken
III. 3. Analisis Terhadap Perempuan Karo Berdasarkan Feminisme
Eksistensialis
III. 4. Teologi Feminis
Bab V: Penutup
Kesimpulan
Saran
Suku Karo adalah
suku yang memiliki sistem kekerabatan yang teratur dan perencanaan yang jauh
kedepan. Pada suku Karo terdapat sistem kekerabatan sudah tertata dan akan
dibawa oleh orang Karo ke manapun mereka pergi. Sistem kemasyarakatan atau adat
ini disebut dengan Merga Silima, Tutur Siwaluh, Rakut
Sitelu, dan Perkade-kaden Sepuluh Dua Tambah Sada. Sistem kekerabatan
ini sangat penting dan tidak bisa dihilangkan dalam kehidupan dan pergaulan
sehari-hari dari masyarakat Karo.
1.
Merga Silima
Identitas orang Karo dapat dilihat melalui Marga atau
Merganya karena merga adalah identitas masyarakat Karo yang unik. Setiap orang
Karo mempunyai marga atau merga. Merga bagi orang Karo adalah hal yang paling
utama dalam identitasnya. Dalam setiap perkenalan dalam masyarakat Karo atau
yang biasa disebut ertutur dalam bahasa Karo, hal yang terlebih dahulu
ditanyakan adalah merga. Merga digunakan oleh laki-laki, sedangkan beru
disandang oleh perempuan. Kendati demikian keduanya tetap memiliki makna yang
sama. Baik merga maupun beru, berasal dari merga ayah yang kemudian diturunkan
kepada anaknya. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara
dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Merga berasal dari kata meherga
yang artinya mahal. Mahal dalam konteks budaya Karo berarti penting (Tarigan 2008, 16). Setelah ditanyakan merga,
kemudian ditanyakan bere-bere. Bere-bere adalah identitas ibu yang diturunkan
kepada anaknya. Bere-bere merupakan
beru ibu yang
diturunkan oleh ibu kepada anaknya. Dengan demikian perempuan juga turut
menyumbangkan merga atau beru-nya kepada anaknya sebagai identitasnya ketika
ertutur.
Merga dalam
masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga
silima. Kelima merga tersebut adalah seperti berikut:
i.
Karo-Karo : Barus, Bukit, Jung, Gurusinga,
Kaban, Kacaribu, Kemit, Ketaren, Purba, Samura, Karo Sekali, Surbakti,
Sinulingga, Sitepu, Sinubulan, Sinuhaji, Sinukaban, Sinuraya.
ii.
Tarigan : Bondong, Ganagana, Gerneng,
Purba, Sibero, Gersang, Jampang, Purba, Pekan, Silangit, Tambak, Tambun, Tua,
Tegur.
iii.
Ginting: Ajartambun, Babo, Siberas, Capah,
Garamata, Gurupatih, Jadibata, Jawak, Manik, Pase, Munthe, Seragih, Suka,
Sinusinga, Sugihen, Tumangger.
iv.
Sembiring:
a.
Sembiring si la mantangken biang (sembiring
yang boleh makan daging anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung;
b.
Sembiring si mantangken biang (sembiring
yang tidak boleh makan daging anjing): Brahmana, Bunuhaji, Busuuk, Colia,
Depari, Gurukinayan, Keling, Maha, Meliala, Muham, Pandebayang, Pandia, Pelawi,
Sinukapar, Tekang.
v.
Perangin-angin: Bangun, Benjerang, Kacinambun,
Keliat, Laksa, Limbeng, Mano, Namohaji, Penggarun, Perbesi, Pencawan, Sebayang,
Pinem, Sinurat, Singarimbun, Sukatendel, Tanjung, Ulujandi, Uwir. (Milala 2007, 1-4)
Daftar
merga di atas ini merupakan hal yang penting di dalam budaya Karo karena akan
dipergunakan saat ertutur dan juga sebagai penentu dalam suatu perkawinan. Oleh
karena itu, sangat penting bagi seseorang untuk mengenal merga-merga lain di
luar merganya agar dapar ertutur (berkenalan) dengan orang lain.
2.
Tutur Siwaluh
Tutur siwaluh dapat diartikan sebagai dasar hubungan
persaudaraan yang dibagi menjadi delapan macam, yaitu :
i.
Sembuyak, yaitu hubungan saudara kandung satu
ayah satu ibu, bila ayah bersaudara kandung dan keturunan dari dua ibu satu
ayah;
ii.
Senina, yaitu Saudara karena
satu, selain itu juga bila kakeknya bersaudara maka semua
keturunannya dalam hubungan kekerabatan disebut Senina. Di dalam hubungan
kekerabatan tersebut dapat juga semua yang bermerga atau sub-merga yang sama
disebut Senina;
iii.
Senina Sipemeren adalah hubungan saudara
karena ibunya atau neneknya saudara kandung, di mana merga mereka dapat berbeda;
iv.
Senina Siparibanen, yaitu hubungan apabila istri
merupakan saudara kandung;
v.
Anak Beru, yaitu hubungan kekeluargaan dari anak
perempuan yang diturunkan oleh pihak sembuyak, senina, senina siparibanen dan senina
sipemeren;
vi.
Anak Beru Mentri, yaitu hubungan kekeluargaan
dari seluruh anak perempuan dari pihak anak beru sukut, sembuyak, senina,
senina sipemeren & senina siparibanen;
vii.
Kalimbubu, yaitu hubungan kekeluargaan dari
istri sukut, sembuyak, senina, senina sipemeren & senina siparibanen;
viii.
Puang kalimbubu, yaitu hubungan kekeluargaan
yang diakibatkan oleh kalimbubu atau mungkin dapat di katakan puang kalimbubu
adalah kalimbubunya dari kalimbubu seseorang.
3.
Rakut Sitelu
Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo
adalah Rakut Sitelu atau
Daliken Sitelu (artinya
secara metaforik adalah tiga tungku), yang berarti ikatan yang tiga. Arti Rakut Sitelu tersebut adalah Sangkep Nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Rakut sitelu adalah merupakan pola dasar
dari hubungan kekerabatan suku Karo, Rakut Sitelu disebut juga dengan istilah “Kuh Sangkep Nggeluh.” Hubungan ini tidak hanya terjalin karena
berdasarkan identitas adat, tetapi juga oleh hubungan darah dan perkawinan.
Sebuah pesta tradisi Karo, seperti sebuah pernikahan, misalnya, baru akan dapat
diselesaikan apabila Rakut Sitelu ini
hadir. Dalam sebuah acara pernikahan adat dengan adat Karo, maka ketiga
posisi Rakut Sitelu itu
adalah sebagai berikut:
i.
Anak beru dapat didefinisikan sebagai keluarga
yang mengambil atau menerima isteri. Selain itu, mereka juga adalah petugas
atau pekerja dalam upacara ataupun pesta adat Karo. Sama sekali tidak ada
kejanggalan atau bahkan mereka bangga menjadi “pekerja wajib” dalam upacara
adat Karo dan mereka akan marah jika tugas mereka diembankan kepada orang lain.
Misalnya tugas memasak seluruh makanan pada pesta tersebut harus diserahkan
kepada anak beru. Menjadi anak beru tidak memandang pangkat atau jabatan yang
bersangkutan di luar adat. Jika ada hal yang tidak sesuai dengan yang
seharusnya, maka mereka yang akan disalahkan. Anak beru dalam peradatan Karo
itu bisa saja seorang menteri, bupati, jendral, profesor, pendeta dan apa saja,
namun dalam posisi anak beru mereka adalah “pekerja wajib” secara adat.
Panggilan untuk anak beru adalah : bengkila (untuk laki-laki), bibi (untuk
perempuan), impal (pihak laki-laki), turang impal (pihak perempuan), bebere
(panggilan kepada anak saudari kita).
ii.
Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga
pemberi istri, pihak keluarga istri, pihak yang dihormati dan selalu dapat
tempat terhormat dalam upacara/kerja adat Karo. Kalimbubu juga disebut dibata ni idah (Tuhan yang terlihat)
karena dianggap sebagai pemberi berkat melalui anak perempuannya. Oleh karena
itu harus dihormati dan dianggap sebagai perwujudan dari Tuhan. Namun bukan
hanya pemilik langsung atau ayah dan ibu langsung dari mempelai perempuan yang
menjadi Kalimbubu, melainkan semua yang berada dalam kelompok yang sama
posisinya secara adat dengan orang tua mempelai perempuan adalah Kalimbubu.
Kalimbubu dari pihak laki-laki disebut dengan ‘si ngalo ulu emas’ sedangkan kalimbubu dari pihak perempuan
disebut dengan ‘si ngalo bere-bere’.
Panggilan yang digunakan untuk memanggil kalimbubu adalah Mama (untuk laki-laki),
Mami (untuk perempuan), impal, silih dan turangku. Sukut, Senina, dan Sembuyak
dapat didefinisikan sebagai pihak dari mempelai laki-laki, tuan rumah dan keluarga
terdekat (saudara semarga), keluarga satu garis keturunan merga atau keluarga
dekat atau keluarga inti yang merupakan penanggungjawab pesta atau upacara adat
Karo. Pangilan untuk Senina kepada laki – laki ialah kaka (untuk abang), agi
(untuk adik) dan turang (untuk perempuan).
(Tarigan 2008, 17-28)
4.
Perkade-kaden Sepuluh Dua Tambah Sada
Dari Tutur Siwaluh dan Rakut
Sitelu diatas terbentuklah Perkade-kaden sepuluh dua tambah sada (hubungan
persaudaraan), yaitu :
i.
Nini, panggilan untuk nenek;
ii.
Bulang, panggilan untuk kakek;
iii.
Kempu, panggilan untuk cucu;
iv.
Bapa, panggilan untuk orang tua laki -laki;
v.
Nande, panggilan untuk orang tua perempuan;
vi.
Anak, adalah keturunan dari orang tua laki-laki
dan perempuan;
vii.
Bengkila, panggilan untuk orang tua laki-laki
dari suami;
viii.
Bibi, panggilan untuk orang tua perempuan dari
suami;
ix.
Permen, panggilan untuk menantu perempuan atau
anak dari kalimbubu;
x.
Mama, panggilan untuk orang tua laki-laki dari
istri;
xi.
Mami, panggilan untuk orang tua perempuan dari
istri;
xii.
Bere-bere, panggilan untuk menantu laki-laki
atau anak dari saudara perempuannya kalimbubu; dan
+ 1 : yaitu adalah teman meriah, kenalan atau orang
lain di luar hubungan kekeluargaan yang terbentuk. Hubungan yang terakhir ini
menunjukkan bahwa suku Karo terbuka terhadap suku lain di luar suku Karo dan
menghargai kemajemukkan. (Tarigan 2008, 11-14)
Hingga
kini, masyarakat suku Karo masih mempertahankan budaya mereka dalam
melaksanakan adat istiadat termasuk dalam pelaksanaan sistem perkawinannya. Ada
banyak aturan dalam sistem perkawinan di masyarakat suku Karo, salah satunya
adalah Batang Unjuken.
Sifat perkawinan dalam masyarakat suku Karo
adalah eksogami artinya harus menikah atau mendapat jodoh di luar
marganya (klan). Bentuk perkawinannya adalah dengan pemberian jujuran (mas
kawin) yang bersifat religio magis kepada pihak perempuan yang menyebabkan
perempuan keluar dari klannya dan pindah ke dalam klan suaminya. Mas kawin
disebut Batang Unjuken oleh orang Karo. Batang Unjuken biasanya diterima oleh
orangtua mempelai perempuan dari pihak laki-laki sebagai simbol yang menyatakan
bahwa mereka telah menyerahkan anaknya kepada pihak laki-laki dan sebagai
imbalannya mereka memperoleh unjuken. Perempuan yang telah diganti dengan mas
kawin tersebut biasanya akan dibawa oleh pengantin laki-laki atau masuk dalam
keluarga pengantin laki-laki. Segala macam perlakuan dan perbuatan mereka
terhadap pengantin perempuan adalah sah karena dalam keyakinan mereka (sesuai
tradisi), si perempuan memang telah dibeli.
Di dalam budaya Karo, seorang perempuan tidak berhak
menentukan harga atas dirinya, melainkan para Sukut, Senina, Anak Beru, dan
Kalimbubu yang mengadakan runggu atau musyawarah untuk membicarakan perihal
unjuken ini saja yang boleh menentukan harganya sesuai dengan harga “pasaran”
yang berlaku. Kemudian batang unjuken ini nantinya akan dibagikan juga kepada
seluruh sanak saudara dan keluarga yang hadir di pesta itu. Memang tidak ada
ukuran besar atau kecilnya unjuken tersebut. Namun umumnya ada nilai pasaran
unjuken seperti yang selama ini telah berlangsung. Misalnya untuk saat ini
nilai unjuken yang paling tinggi adalah Rp. 956.000,- dan yang terendah
berkisar Rp. 356.000,-. Sebenarnya batang unjuken yang hendak diminta
seharusnya bukan atas dasar berapa banyak yang dinginkan, melainkan atas dasar
pertimbangan nilai-nilai simboliknya. Hal ini disebabkan oleh adanya
kepercayaan terkait batang unjuken yang menyatakan bahwa ada nilai magis yang
terlekat pada mas kawin atau batang unjuken yang berisi harapan bagi kehidupan
rumah tangga perempuan dan laki-laki yang akan menikah itu. Kendati demikian,
di beberapa daerah di Sumatera Utara, masih ada juga pesta pernikahan yang
batal hanya karena unjukennya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
keluarga tanpa memperdulikan bagaimana perasaan kedua calon mempelai. Hal ini mungkin disebabkan karena
kedua calon mempelai juga kurang memahami makna dari unjuken tersebut. Bahkan
saat melakukan penelitian di GBKP Desa Lingga pada tanggal 26 Januari 2014
lalu, adapula salah seorang dari Moria (persekutuan perempuan GBKP yang sudah
menikah) itu yang tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan batang unjuken.
Dalam
prakteknya, unjuken dijalankan pada saat sebelum pesta berlangsung. Jauh
sebelum terjadinya pesta adat, harus diadakan Ngembah belo selambar terlebih dahulu. Pada saat Ngembah belo selambar ini semua pihak
akan ditanyai persetujuannya. Pada tahap berikutnya akan ada proses Nganting manuk, yakni suatu acara yang
merembukkan perihal batang unjuken yang akan dibayarkan pada saat pesta adat
nantinya. Pada saat inilah harga unjuken seorang perempuan dapat ditawar apakah
menjadi lebih tinggi atau menjadi lebih rendah. Seolah perempuan memang dapat
ditakar harganya entah berdasarkan hal apa.
Pada saat proses pesta adat berlangsung, hal pertama yang
dilakukan adalah runggu untuk membicarakan kembali mengenai batang unjuken yang
akan dibayarkan sekaligus membagikannya kepada seluruh sanak keluarga yang
hadir. Adapun yang dipersiapkan dalam praktek unjuken ini adalah sebuah kain Julu berwarna hitam sebagai alas piring
dan Pinggan Pasu sebagai tempat uang
unjuken beserta dengan belo ras kuhna (sirih,
pinang, kapur, dan lain-lain),
beras piher, dan sebuah uang logam
sebagai “batu”nya. Kain Julu yang
dipergunakan sebagai alas merupakan kain yang dianggap mahal sehingga
menyimbolkan sesuatu yang berharga tinggi. Sementara belo atau sirih dianggap sebagai simbol keramahtamahan orang Karo
ketika mengunjungi ataupun menyambut orang penting. Sedangkan beras piher diartikan sebagai berkat dan
uang logam sebagai “batu” merupakan simbol penguat yang keras dan tidak mudah
hancur. Umumnya yang mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
proses ini adalah Anak Beru dari pihak perempuan. Mereka menyiapkan seluruh
perlengkapan tersebut kecuali uang unjuken yang akan dibayarkan oleh pihak
laki-laki kepada pihak perempuan.
Piring ini dijalankan sebanyak tiga kali putaran. Putaran
pertama berisi uang unjuken dan seluruh pelengkapnya akan diberikan kepada
Sukut dan Senina, yang mencakup Ayah dan Ibu dari pihak perempuan. Ibu dari
pengantin perempuan akan menerima unjuken tersebut kemudian mengambil sirih dan
menggendongnya bersama uang unjuken tersebut sebagai simbol bahwa apa yang
telah ia terima merupakan simbol dari anaknya yang telah menikah namun pertendin
(jiwa) anaknya akan tetap ia jaga seolah anaknya masih dalam pangkuannya.
Kemudian setelah itu dia akan mengambil sejumput dari beras piher yang ada di dalam piring dan meletakkannya diatas
kepala dan dibahunya sebagai simbol bahwa ia akan tetap memikirkan anaknya dan
masih akan tetap menyediakan bahunya untuk menjadi pegangan bagi anaknya kelak.
Kemudian putaran kedua, piring akan disampaikan kepada pihak singalo bere-bere,
singalo perninin, singalo perbibin. Setelah itu putaran ketiga, piring akan
diberikan kepada anak beru yang meliputi anak beru menteri dan sirembah ku lau.
Pemberian ini tidak boleh diberikan secara langsung dari Anak Beru pihak
laki-laki kepada Sukun, Senina, Kalimbubu pihak perempuan, melainkan harus
melalui anak beru pihak perempuan sebagai perantara. Seluruh uang unjuken ini
akan dibagikan kepada semua orang yang hadir. Namun jika uang unjuken ini
kurang dan masih ada keluarga yang belum mendapat bagian, maka orang tua dari
pihak perempuan berkewajiban untuk membayar uang tambahan yang nantinya akan
dibagikan kepada yang belum mendapatkan bagian unjuken tersebut.
Jauh sebelum
kekristenan masuk ke Tanah Karo, masyarakat Karo sudah mengenal suatu sistem
kepercayaan yang disebut dengan Agama Pemena atau Pemena. Pemena merupakan
kepercayaan yang ada pada masyarakat tradisional Karo, ataupun bisa juga
disebut agama asli dari masyarakat Karo. Pemena, merupakan
kepercayaan yang menganut sistem politheisme dan dinanisme. Dikatakan
politheisme, karena dalam ajaran dasar pemena, perwujudan Dibata (Tuhan) digambarkan dalam tiga
wujud, yaitu :
1. Dibata Datas (Kaci-kaci)
2. Dibata Tengah (Banua Koling), dan
3. Dibata Teruh (Paduka Ni Aji) (Arikokena 2012).
Dalam kepercayaan pemena, upacara ritual dipimpin oleh
seorang guru. Guru merupakan sebutan bagi orang-orang tertentu yang dianggap
memiliki keahlian melakukan berbagai upacara tradisional Karo, antara lain
meramal, memimpin ritual, berkomunikasi dengan roh atau mahluk gaib. Dalam
tulisannya yang berjudul “De Bataksche
Guru”, J. H. Neumamnn memandang guru sebagai ahli perawatan, ahli sejarah,
ahli teologi, ahli ekonomi, penyembuhan kesehatan, bahkan juga merupakan suatu
‘ensiklopedi’ yang mengembara di tengah-tengah masyarakat (Neumamnn 1986, 1-18). Ginting, J. G. menyebutkan
secara harfiah guru sama artinya dengan kata guru (lehrer) dalam bahasa
Indonesia, yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang mendetail mengenai
berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan. Tetapi sebagai sebuah peran,
guru cenderung diartikan dengan dukun dalam bahasa Indonesia. Sementara Achim
Siebeth menyebut guru sebagai magician-priest (Sibeth 1991, 64).
Di
dalam praktik agama Pemena terdapat beberap ritual tradisional yang dipimpin
oleh seorang atau beberapa orang perempuan. Bagi orang Karo, perempuan yang berprofesi seperti ini
disebut Guru Si Baso (Sibeth 1991, 64). Mereka terutama
memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan roh gaib atau jiwa orang yang telah
meninggal. Para perempuan ini memiliki roh pelindung. Dalam memimpin upacara,
mereka selalu berkomunikasi dengan mahluk gaib melalui keadaan kesurupan.
Guru
Si Baso memiliki peran penting disepanjang daur hidup seseorang. Peran
perempuan sebagai guru si baso memiliki fungsi sebagai berikut:
·
Si Baso sebagai Dukun Beranak
Seorang dukun beranak juga disebut sebagai guru Si Baso.
Proses kelahiran manusia baru dipandang sama dengan datangnya sesuatu dari
dunia gaib (rahim ibu) ke dunia nyata (dunia manusia). Kelahiran merupakan awal
kehidupan suatu tendi (jiwa) baru. Pemotongan tali
pusat yang dilakukan oleh Guru Si Baso dipandang sebagai sebuah legitimasi
pemutusan hubungan dengan dunia gaib. Manusia baru telah hidup di dunia nyata
dan tendinya (jiwanya) adalah milik
pribadinya seutuhnya.
·
Si Baso sebagai Dokter dan Ahli Kejiwaan
Selama masa pertumbuhan hingga dewasa, jika terjadi
gangguan kesehatan fisik atau gangguan kejiwaan yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan dari tendi (jiwa),
maka guru Si Baso akan berperan dalam proses penyembuhan. Beberapa ritual yang
dipimpin Si Baso , seperti: raleng tendi
atau ndilo tendi, ngombak belo, erpangir ku lau, perumah dibata atau jinujung,
nuan galoh, buah huta-huta, muncang atau ngeluncang, mulahken manok, dan upah
tendi. Dalam kasus penyakit yang disebabkan karena kehilangan tendi untuk
sementara. Seorang guru Si Baso akan melakukan diagnosis penyebab sakit dan
metode penyembuhannya dengan bertanya pada jenujungnya
melalui suara siulan di lehernya (i
sendongken). Si Baso harus tahu apakah sakit itu disebabkan campur tangan
pihak luar seperti guna-guna, roh jahat, atau karena kondisi fisik tertentu si
pasien, bagaimana proses kejadiannya (apakah karena melakukan pelanggaran yang
dipantangkan atau karena seseorang itu mempunyai musuh), kapan gejala dimulai,
serta di mana pertama kali terjadi. Perlu juga informasi mengenai latar
belakang keadaan fisik, keturunan (apakah dari keluarga guru atau orang biasa),
persoalan keluarga dan masalah dalam hubungan kekerabatan, kondisi ekonomi, dan
beberapa hal-hal lain yang dipandang perlu oleh guru Si Baso.
·
Si Baso sebagai ‘Master of Ceremonies’
Setelah seseorang meninggal, maka guru Si Baso juga
berperan melalui ritual perumah begu. Bahkan apabila akan dilakukan upacara
memindahkan tulang-belulang dari makam lama ke geriten, guru Si Baso juga memimpin ritualnya dengan nama
ngampeken tulan-tulan. Perpindahan makam dipandang sebagai suatu perpindahan
tempat juga bagi begu (roh) orang
yang telah meninggal itu. Roh itu harus kembali diintegrasikan dalam tempat
peristirahatan terakhirnya yang baru. Guru Si Baso akan menyanyi dan menari
dalam memimpin upacara ini sembari menjujung sekumpulan tulang-belulang leluhur
di atas kepalanya. Roh pemilik tulang tersebut diharapkan mengikuti langkah
guru Si Baso menuju geriten baru. Selesai acara ini, maka akan dilakukan
perumah begu pada malam harinya,
khusus bagi begu (roh) yang
dipindahkan tulangnya. Nyanyian guru Si Baso memanggil jenujung adalah
memanggil raja kepultaken (penguasa
matahari terbit) dan raja kesunduten (penguasa matahari terbenam):
Enda
maka kurudangken rudang kapias, ras pe rimo malem. Kuturangken kam melias dapet
ate malem. O…turang rudang kapias rudang tara tinggi, e bandu kepe rudangta.
Mare nini raja keputaken berkat kam kerina raja kesunduten, maka si dungi
dahinta. Adi la kam reh la aku beloh. Kuleboh kel kam kerina, masok kel kam
kerina ku dagingku, adi la kem reh la aku beloh ermag-mag.
Penerjemahan oleh penulis:
Ini telah kubungakan bunga kapias, juga jeruk kesejukan. Kujadikan kamu
saudara yang baik untuk mendapat perasaan damai. O…saudara bunga kapias bunga
tara tinggi, kiranya itu jadi bunga kita. Mari penguasa matahari terbit,
berangkatlah kamu beserta penguasa matahari terbenam, supaya kita selesaikan
pekerjaan kita. Jika kamu tidak datang tidak mampu aku melakukannya sendiri.
Aku memanggil kamu semua, masuklah ke dalam tubuhku, kalau kamu tidak datang,
aku tidak akan mampu untuk bercerita dan bernyanyi.
·
Si Baso sebagai Pencerita Kembali
Peran sebagai penceritera kembali kisah hidup dari orang
yang telah meninggal ini dilakukan pada saat
begu (roh) yang datang adalah orang yang baru dikebumikan pada sore
harinya. Dalam keadaan kesurupan, Si Baso akan berkisah mengenai dirinya dengan
tokoh aku (saya). Aku yang dimaksud adalah diri si begu (roh) yang datang memasuki tubuh Si Baso. Kisah yang
dipaparkan dapat dikelompokkan dalam tiga bagian. Pertama mengenai pribadi aku,
kisah antara aku dan kerabat, dan mengenai harapan-harapanku.
Si Baso harus dapat bernyanyi dengan bagus dan merangkai
kata-kata untuk menciptakan suasana gaib di ritual tersebut. Suasana ini
dibutuhkan untuk menciptakan ‘keterbukaan’ agar para penyelenggara dapat
meluapkan segala sesuatu yang mengganjal perasaannya selama ini untuk semua
masalah yang berhubungan dengan orang yang baru meninggal itu semasa hidupnya.
·
Si Baso sebagai Pendeta
Sebagai seseorang yang memiliki kekuatan supranatural,
seorang guru Si Baso memiliki fungsi untuk pemenuhan kebutuhan rohani bagi
warganya. Sebagai penyambung rasa antara manusia dan Dibata la idah (Tuhan penguasa alam semesta yang tidak kelihatan).
·
Si Baso sebagai Ahli Tafsir dan Penasehat
Sebagai orang yang menguasai pengetahuan tentang kosmos
(alam semesta), guru Si Baso juga berfungsi sebagai biak penungkunen (biro
konsultasi). Warga akan meminta penjelasan mengenai mimpi mereka, peristiwa
aneh yang dialami, dan mengharapkan nasehat-nasehat sebagai tindakan lanjutan.
Nasehat terutama sangat dibutuhkan dalam kasus konflik antarwarga atau antar
kerabat. Jika kasus terjadi dalam lingkup kerabat dekat, Si Baso akan
menyarankan diadakannya perumah dibata dan disusul dengan perumah begu pada malam harinya dengan hanya
melibatkan kerabat terdekat yang bersengketa. Fokus dalam acara diarahkan pada
penyelesaian konflik. Dalam kasus ini, Si Baso juga berfungsi sebagai pengikat
solidaritas sosial.
·
Si Baso sebagai Mediator
Si Baso juga berperan sebagai perantara antara dua kerabat
yang berselisih paham. Dalam hal ini, peran Si Baso sebagai perantara
perdamaian untuk dua kelompok kerabat yang berkonflik. Begu (roh) atau arwah yang memasuki
tubuh Si Baso bertindak sebagai juru damai dan memberi beberapa nasihat.
Selain menjaga keseimbangan dalam diri manusia, secara
tidak langsung Si Baso juga berperan menjaga keseimbangan berjalannya norma dan
nilai adat-istiadat. Pergeseran norma dan nilai adat dapat menjadikan jalannya
adat menyimpang dan menyebabkan para leluhur marah dan mencelakakan manusia. (Sembiring 1992, 13-18)
Menjadi
seorang anak perempuan di dalam suku Karo bukanlah sesuatu yang mudah. Seorang
perempuan Karo memiliki banyak sekali kewajiban terhadap keluarga yang harus
mereka tanggung, baik itu sebelum mereka menikah maupun sesudah mereka menikah.
Sejengkal di atas Lutut, Sejengkal di bawah Leher (terkait
dengan tradisi, aturan, dan larangan adat mengenai apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan oleh anak perempuan yang belum menikah)
·
Sikap dan Prilaku Perempuan Karo sebelum menikah
Seorang perempuan Karo yang belum menikah akan dihujani
dengan berbagai macam aturan dan larangan yang berkaitan erat dengan tradisi
dan adat budaya Karo. Segala hal yang dipantangkan bagi perempuan itu dianggap
sebagai nilai-nilai inti yang pada akhirnya menjadi panduan bagi mereka untuk
dijadikan pedoman dalam bertingkah laku. Berdasarkan hasil wawancara dengan
seorang pemerhati budaya Karo yang bernama Malem Ukur Ginting, ada beberapa hal
yang dijadikan sebagai aturan bagi seorang perempuan Karo, misalnya sebagai
berikut:
-
Seorang perempuan Karo harus mengenakan sarung
ketika berada di dalam rumah saat berkumpul dengan keluarga maupun ketika
berada di luar rumah. Hal ini jelas ingin mempertegas bahwa seorang perempuan
Karo yang belum menikah harus menjaga kesopanan ketika bertemu dengan orang
lain. Di satu sisi, penggunaan sarung atas nama kesopanan memang dinilai
membawa makna yang positif. Namun pada sisi lain, dengan adanya penggunaan
sarung, seorang perempuan seolah tidak memiliki kebebasan yang penuh. Perempuan
Karo seolah tidak boleh mengekspresikan dirinya dengan mengenakan pakaian lain
melainkan harus dengan mengenakan sarung yang berarti seluruh bagian tubuh
tertutupi hingga ujung kaki. Selain itu dengan mengenakan sarung, otomatis
pergerakan perempuan itu pun dibatasi. Perempuan menjadi kelihatan lebih
gemulai, berjalan pelan dalam balutan sarung, dan sulit untuk berlari. Bahkan
ketika mandi pun seorang perempuan Karo harus tetap mengenakan sarung yang
disematkan di dadanya.
-
Seorang perempuan Karo yang sudah memasuki usia
remaja tidak boleh tinggal di rumahnya sendiri bersama orang tuanya dan tidak
diperbolehkan untuk berada di rumahnya jika hanya ada dia dan ayahnya atau
saudaranya laki-laki juga berada di rumah pada waktu yang bersamaan. Para anak
perempuan akan ditempatkan di rumah janda-janda pada malam hari dan tidur di
rumah itu hingga pagi. Ketika pagi hari, mereka diperbolehkan kembali ke
rumahnya untuk membantu orangtuanya ataupun berangkat sekolah. Hal ini
bertujuan untuk menghindari zinah antar anggota keluarga.
-
Seorang perempuan Karo dilarang untuk berboncengan
menggunakan sepeda motor dengan saudaranya laki-laki meski dengan alasan
apapun. (Ginting 2014)
·
Runggu Tanpa Diberu
Seorang perempuan Karo, yang biasa disebut diberu, tidak
pernah mendapatkan posisi di dalam budaya runggu (musyawarah). Biasanya di
dalam acara pernikahan atau acara kedukaan, orang Karo selalu memulainya dengan
runggu. Segala hal yang berkaitan dengan acara tersebut akan diputuskan di
dalam runggu itu. Namun umumnya hanya laki-laki saja yang bertugas untuk
runggu, sementara perempuan hanya mendapat kesempatan untuk bertugas menyiapkan
minuman, atau duduk di luar lingkaran runggu tersebut. Hal ini semakin
membuktikan bahwa pada dasarnya kemampuan perempuan dipertanyakan. Selain itu
juga menunjukkan bahwa perempuan memang tidak pernah diikutsertakan dalam
pengambilan keputusan. Kaum perempuan boleh tetap duduk untuk mendengar dan
menyaksikan berjalannya runggu, tetapi tidak memiliki andil apapun untuk ikut
menyumbangkan suaranya.
·
Perempuan Tanpa Warisan
Seorang perempuan Karo tidak memiliki hak waris atas
warisan orangtuanya. Dengan sistem kekeluargaan patrilineal yamg dianut masyarakat
Karo, hanya anak laki-laki yang diyakini dapat menjadi penerus garis keturunan
dari orang tuanya maka hanya anak laki-laki yang berhak mewarisi harta kekayaan
orang tuanya. Atas alasan itu pula maka perempuan di dalam adat masyarakat Karo
sejak dahulu bukan merupakan ahli waris. Dia hanya berhak atas harta suaminya
yang diperoleh suaminya dari keluarganya kelak jika dia telah menikah ataupun
pemberian dari saudaranya laki-laki. Perempuan Karo masih menduduki posisi yang
termajinalkan dan tersubordinasi dalam hal warisan. Hal ini dapat dilihat dari
hasil penelitianTesis Mberguh Sembiring dengan judul Sikap Masyarakat Batak
Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 179/K/SIP/1961 (Studi di Desa
Lingga) yang mengatakan bahwa
pada asasnya dalam susunan masyarakat Karo yang mempertahankan garis keturunan
laki-laki (patrilineal), anak perempuan hanya dapat memperoleh harta dari orang
tuanya dengan cara pemberian yang didasari oleh kasih sayang saja dan juga
pemberian yang dimaksud tergantung pada kemampuan orang tua mereka. Hal ini
menunjukkan tidak ada persamaan kedudukan antara anak laki-laki dan anak
perempuan dalam hal mewaris dari kedua orang tuanya. Padahal Keputusan Mahkamah
Agung tersebut dengan jelas mengatakan: bahwa anak perempuan dan anak laki-laki
dari seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas harta warisan, dalam
arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan (Sembiring 2003, 49).
Jika kita melakukan pengamatan sepintas tentang perempuan
Karo yang sudah menikah, mungkin ada anggapan awal bahwa perempuan Karo sama
dengan perempuan-perempuan lainnya dalam suatu masyarakat pada umumnya dengan
berbagai aktifitas domestik yang mereka lakukan. Namun apabila dilakukan
penelitian dengan cermat terhadap perempuan Karo, maka akan ditemukan berbagai
kenyataan yang menunjukkan perbedaan mereka dengan perempuan-perempuan pada
masyarakat tradisional lainnya.
·
Ndehara
singukat nakan (perempuan sebagai ibu rumah tangga yang mengerjakan
pekerjaan rumah tangga)
Di dalam pemahaman orang Karo pada umumnya, seorang
perempuan yang sudah menikah memiliki kewajiban untuk menjaga stabilitas rumah
tangga, mengerjakan setiap pekerjaan rumah tangga, hingga mengurus anak dan
suami sekalipun dia bekerja di luar rumah. Oleh karena itu ada ungkapan di
dalam bahasa Karo Ndehara singukat nakan.
Jika diterjemahkan secara harafiah, ungkapan ini berarti istri yang
menyendokkan nasi. Dengan kata lain, ungkapan ini ingin memperlihatkan bahwa
seorang istri di dalam kelurga Karo memiliki tugas untuk “menyendokkan nasi”
kepada anggota keluarganya. Sehingga sangat sulit untuk menggeserkan tugas dan
tanggungjawab itu untuk diembankan kepada laki-laki karena khawatir akan
pergeseran makna yang nantinya terjadi. Sehingga, hingga saat ini sangat jarang
ada laki-laki yang mau mengerjakan pekerjaan domestik dan membantu istrinya
memasak di dapur, membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan lain-lain.
·
Nande maka
Nande (terkait memahami Perempuan Karo sebagai sumber berkat ketika ia
dapat melahirkan keturunan bagi suaminya)
Secara umum, perbedaan yang terlihat antara perempuan dan
laki-laki adalah fungsi mereka secara biologis. Banyak orang yang beranggapan bahwa perempuan
dikodratkan untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui anak. Padahal secara biologis, kodrat perempuan
adalah memiliki vagina, rahim, kelenjar susu, dan lain-lain. Sementara
mengandung, melahirkan, dan menyusui anak merupakan peran gender mereka. Fungsi
ini jelas sekali tidak dapat diambil alih oleh laki-laki. Namun menurut penulis, peran biologis ini merupakan
eksistensi perempuan, bukan konstruksi sosial atau hal yang dikembangkan oleh
budaya. Sehingga perempuan berhak untuk memilih untuk memakai alat reproduksi
yang mereka miliki itu untuk mengandung, melahirkan dan menyusui, atau tidak
sama sekali.
Minimnya
pengetahuan masyarakat Karo tentang kodrat dan peran gender yang berbeda ini
terkadang mampu membuat perempuan terpojokkan ke dalam suatu situasi yang sulit
dan merugikannya sebagai perempuan. Bahkan tidak sedikit orang Karo yang masih
tabu membicarakan tentang kodrat dan peran gender perempuan ini. Salah satu
contoh dari kenyataan ini yang dapat kita temui di dalam budaya Karo adalah
sangat sedikit orang yang berani menyebut vagina dan payudara baik menggunakan
bahasa Karo maupun bahasa Indonesia. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk
menggantikan istilah itu dengan sebutan lain seperti “barangmu” (ajangmu) atau
“burung”. Namun istilah itupun hanya untuk menyebut penis, sedangkan untuk
menyebut vagina, orang Karo belum memiliki istilah yang dapat mewakilinya
sehingga jarang sekali disebutkan. Hal itu membuktikan bahwa beberapa hal yang
berkaitan dengan tubuh perempuan masih tabu untuk dibicarakan di dalam
masyarakat Karo. Bahkan bila ada yang berani menyebutnya, maka pasti akan
ditegur karena menyebut kata vagina dan payudara dianggap “cakap kotor”.
Bagi masyarakat Karo sendiri, memiliki keturunan berarti
dilimpahi berkat. Apalagi jika di dalam keluarga itu dikaruniai anak laki-laki.
Seorang perempuan barulah dianggap mempunyai kedudukan apabila dia telah
melahirkan dan anak itu adalah laki-laki. Namun demikian seorang perempuan akan
dianggap kurang beruntung jika tidak memiliki anak laki-laki di dalam
keluarganya. Oleh karena itu tidak sedikit perempuan yang terus menerus,
dipaksa ataupun dengan keinginannya sendiri, untuk melahirkan hingga nantinya
akan berhasil mendapat anak laki-laki. Sebab di dalam pemahaman orang Karo,
satu anak laki-laki lebih berharga bila dibandingkan dengan sembilan anak
perempuan. Bahkan jika seorang perempuan tidak dapat melahirkan keturunan atau
tidak melahirkan anak laki-laki, maka suaminya akan diijinkan oleh semua
keluarga untuk menikahi perempuan lain dan diharapkan dapat mendatangkan
keturunan laki-laki. Hal ini dilandasi dengan alasan bahwa jika seseorang
tersebut tidak memiliki anak laki-laki di dalam keluarganya, maka orang itu
akan dinamai masap atau “hilang
terhapus”. Bukan orangnya yang hilang, melainkan identitasnya yang terhapus
karena tidak memiliki penerus silsilah atau pengganti yang dapat meneruskan
merganya. Tentu saja hal ini sangat tidak menguntungkan pihak perempuan. Karena
perempuanlah yang dianggap tidak mendatangkan berkat bagi keluarganya jika
tidak memiliki anak laki-laki. Padahal mungkin saja suaminya juga yang tidak
mampu untuk memberikan keturunan, bukan hanya perempuan saja. Namun hal ini
selalu dilihat sepihak saja, hanya dari sisi perempuan.
Laki-laki dihormati karena dia adalah laki-laki, dan hal
itu sudah merupakan alasan yang cukup kuat untuk mempunyai kedudukan. Tetapi
perempuan baru dipandang setelah dia dapat melahirkan anak laki-laki. Hal ini
memperlihatkan bahwa nasib perempuan tergantung kepada sesuatu yang di luar dirinya.
Sekarang setelah melihat eksistensi perempuan Karo dengan
latar belakang budaya adat istiadat Karo yang cukup mengikat, bagaimana peran
perempuan dalam Agama Pemena, dan bagaimana partisipasi mereka dalam kehidupan
mereka sehari-hari dengan masyarakat telah cukup membantu kita untuk melihat
dan menyadari bagaimana peran dan status perempuan Karo sebelum masuknya
kekristenan. Oleh karena itu, pada bab selanjutnya penulis akan memaparkan
bagaimana pula sebenarnya eksistensi perempuan Karo dalam GBKP yang menyoal
posisi, peran, dan status perempuan baik itu di dalam dan di luar gereja serta
pengaruhnya bagi kehidupan perkawinan seorang perempuan Karo setelah
kekristenan berhasil menapakkan kakinya di Bumi Turang, Tanah Karo dan
menyentuh hampir setiap hati masyarakat Karo.
Persekutuan Kaum Ibu di GBKP disebut dengan Moria. Moria
GBKP sudah ada sejak tanggal 16 Oktober 1957 (Sinulingga 2008, 10). Awal mula pembentukan
persekutuan kaum ibu (Moria) ini dipicu oleh adanya keinginan untuk melibatkan
perempuan di dalam kehidupan bergereja. Sekalipun Moria GBKP baru muncul 68
tahun setelah GBKP sudah dapat berdiri kokoh dengan kakinya, sebenarnya
pemikiran untuk memajukan kaum perempuan Karo sudah muncul sejak lama, yakni
sejak kehadiran misionaris Belanda di Tanah Karo. Pemikiran mengenai kemajuan
perempuan Karo ini mulai direalisasikan oleh misionaris pertama di Buluh Awar,
yakni Pdt. H. C. Kruyt dan Nora Willemien de Light (1890-1892). Dalam
pendekatannya terhadap masyarakat Karo, mereka juga memberi perhatian kepada
kaum perempuan Karo, yang pada masa itu masih termarjinalkan dan tersubordinasi
karena pengaruh budaya patriakal yang dianut oleh masyarakat Karo.
Pada mulanya, mereka mengadakan pelayanan pendidikan
sekolah dan pelayanan kesehatan di lima Pos Pekabaran Injil dan menempatkan
Guru-guru dari Minahasa di desa-desa sekitar Bunuh Awar pada tahun 1891. Sejak
saat itu, lama kelamaan masyarakat Karo menjadi ingin tahu, semakin ingin
mendengar, bahkan pada akhirnya mereka juga ingin belajar.
Pada
tahun 1892, Nora Pdt. Wijngaarden memberikan pendidikan kepada kaum perempuan
Karo seperti jahit menjahit, belajar membaca dan menulis, serta sedikit
pengetahuan tentang kesehatan (Sinulingga 2008, 44){Ginting, 2014 #2}. Hal ini berlanjut hingga 43 tahun kemudin setelah
injil masuk akhirnya keluarga-keluarga misionaris Belanda, yang dipelopori oleh
para Nora, semakin merasakan akan pentingnya pendidikan untuk kemajuan
perempuan Karo kelak. Oleh karena itu, disamping menjalankan misi Pekabaran
Injil mereka juga memberikan pendidikan melalui sekolah yang mereka dirikan dan
pelayanan kesehatan melalui Poli Klinik dan Rumah Sakit. Hal ini didukung juga
oleh Nora Pdt. Van den Berg, Ny. Dr. de Klijn, Suster Meyer, Nora Pdt. Neumann
dan Nora Pdt. Vuurman selaku pembina perempuan Karo. Pada tanggal 10 Agustus
1933 di Kabanjahe diadakan pertemuan kaum Perempuan Karo oleh Nora Pdt. Ny. G.
Neuman Bosch yang dihadiri oleh kurang lebih 20 orang perempuan muda Karo yang
sudah berpendidikan dan yang sudah mengikuti pembinaan dari Nora-nora (keluarga
misionaris Belanda). Perempuan muda Karo yang diajar dan mendapat pendidikan
umumnya adalah anak-anak pengulu, pegawai, guru agama, guru sekolah dan
anak-anak dari keluarga tertentu lainya. Pada waktu itulah dibentuk organisasi
perempuan dengan nama Christelyke Meisjes
Club Majoe (CMCM). Organisasi ini makin semakin berkembang, baik dalam
jumlah maupun kegiatan mereka, misalnya seperti belajar bernyanyi, berdoa,
membaca, menulis, pengetahua umum termasuk kesehatan, kebersihan, tata boga
(masak memasak), menata dan melayani jamuan makan, menjahit, dan yang
terpenting mereka juga diberi kesempatan untuk mempelajari Pengetahuan tentang
Alkitab (Sinulingga 2008, 10). Anggotanya bukan hanya
perempuan muda Karo saja, melainkan juga kaum ibu-ibu rumah tangga.
Dalam sejarah perjalan Pekabaran Injil, kaum Perempuan
Karo sudah mulai mengikuti pendidikan sekolah umum (intelektual) dan pendidikan
rohani dan gerejawi (spiritual). Dari Pemahaman Alkitab, Perempuan Karo mulai
melihat dan menyadari bahwa keadaan terkekang oleh adat istiadat yang berlaku
ditengah-tengah masyarakat Karo yang sangat membatasi ruang gerak hidup
perempuan, sangatlah tidak sesuai dengan hakekat pemberian Tuhan kepada
perempuan. Selaku ciptaan Tuhan, kaum perempuan harus hidup sesuai dengan
kehendak dan panggilan Tuhan. Kaum perempuan GBKP adalah anak-anak Tuhan
sebagai “garam dan terang dunia” yang dipanggi untuk menggarami dan menerangi
adat istiadat manusia (adat Karo). Dari pendidikan sekolah, mereka diajari
untuk membaca buku-buku sejarah sehingga mereka dapat mengenal dan mempelajari
tokoh-tokoh perempuan Indonesia yang berjuang bagi kemajuan perempuan dan
bangsa Indonesia seperti Raden Ajeng Kartini, Tjut Nyak Dien, Tjut Mutia, dan
lain-lain. Selain itu mereka juga mempelajari buku-buku pengetahuan umum dan
buku lainnya yang membuat perempuan Karo dapat berpikir secara kritis sehingga
wawasan berpikirnya pun semakin terbuka.
Perjalanan sejarah pemikiran GBKP dalam penerimaan
Perempuan sebagai Pendeta Pelayan Khusus Penuh Waktu (PKPW) tentu tidak
terlepas dari sejarah tumbuhnya dan kemajuan kaum perempuan GBKP, yang biasa
disebut dengan Moria. Hal ini juga didukung oleh adanya hubungan oikumenis GBKP
baik dalam negeri dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) maupun
dengan Gereja-gereja Luar Negeri antara lain: Dewan Gereja-gereja se-Dunia (World Council of Churches), Persekutuan
Gereja-gereja Reformasi se-Dunia (World
Alliance of Reformed Churches), Persekutuan Gereja-gereja Asia (Christian Conference of Asia),
Persukutuan Misi Injili Gereja-geraja di Tiga Benua Eropa (Jerman, Asia,
Afrika/United Evangelical Mission,
dan lain-lain). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa sungguh sangatlah tidak
mudah untuk mencapai kemajuan bagi perbaikan status perempuan Karo dengan latar
belakang penganut sistem budaya patriakal tersebut. Selain karena pada masa
awal masih sedikit keterlibatan, kehadiran dan peran aktif perempuan dalam
gereja, proses ini juga memakan waktu yang tidak singkat. Namun demikian proses
itu tetap berjalan lancar karena tidak ada penolakan dari berbagai pihak
terhadap keikutsertaan perempuan dalam perkembangan Pekabaran Injil dan
kehidupan GBKP, bahkan sejak masuknya injil ke masyarakat Karo. Hal ini
terlihat dari dibuka kesempatan bagi perempuan Karo untuk mengikuti pendidikan
Guru dan Evangelis di Sekolah Guru dan Evangelis pada angkatan kedua pada tahun
1938-1940 di Kabanjahe yang didirikan oleh Pdt. J. V. Muylwijk. Di antara enam
belas murid yang dididik, enam orang di antaranya adalah murid perempuan. Guru
dan Evangelis ini nantinya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan guru Pendidikan
Agama Keristen di desa-desa. Namun yang menjadi penekanan penting dengan
hadirnya guru-guru perempuan di desa-desa diharapkan dapat memberikan pandangan
yang lebih luas dan terbuka terhadap peran perempuan dalam masyarakat Karo.
Demikianlah usaha Pekabaran Injil dan usaha memajukan kaum Perempuan Karo (Abram 1997, 81-115).
Pada tahun 1953, GBKP menahbiskan sebelas Guru Agama dan
Evangelis. Dua orang di antaranya adalah perempuan, yaitu Gr. Ag. Rahel br
Sinuraya dan Gr. Ag. Ruth br Tarigan. Sejak tahun 1960-an, sudah ada Penatua
dan Diaken perempuan yang melayani di gereja walaupun pada mulanya pelayanannya
masih terbatas pada menghitung uang persembahan, melakukan pelayanan diakonia,
mengurus keperluan konsumsi pada rapat Majelis (Runggun) Gereja, dan lain-lain.
Namun diakhir tahun 1980-an, Penatua atau Diaken perempuan mulai diberi
kesempatan untuk memimpin Ibadah (Kebaktian Minggu), baik sebagai liturgos
maupun pengkhotbah, karena mereka sudah terlebih dahulu belajar dan mendapat
pembekalan melalui Sermon Penatuadan Diaken di Runggun Gereja dan Kursus Pertua
dan Diaken perempuan oleh BPP (Badan Pengurus Pusat) Moria.
Meskipun GBKP tidak melakukan penolakan secara prinsipil
terhadap peran Pendeta Perempuan, namun sebelum tahun 1979, Sinode GBKP masih
belum terdorong untuk membekali, memperlengkapi dan menyekolahkan perempuan ke
sekolah-sekolah teologi di Indonesia untuk menjadi pendeta. Sama seperti
kebanyakan gereja-gereja anggota PGI lainnya di Sumatera Utara dan ditempat
lain, penerimaan perempuan untuk menduduki jabatan pendeta baru terjadi di tiga
dekade terakhir. Beberapa hal yang menjadi hambatan bagi perempuan untuk
menjadi pendeta antara lain:
1.
Pandangan tradisional
Adanya pandangan dari sikap kebanyakan orang dalam
masyarakat patriakal yang menganggap perempuan hanyalah mahluk lemah yang harus
dilindungi, dihidupi, dimiliki, bahkan untuk dicintai menyebabkan perempuan
berada dalam posisi pasif yang selalu harus dijadikan objek oleh pihak yang
memposisikan diri sebagai subjek atas perempuan. sehingga perempuan selalu dinomorduakan,
tidak mendapat posisi yang baik untuk berkembang karena ruang geraknya dibatasi
dengan pekerjaan rumah tangga, melahirkan dan membesarkan anak, dan
menyenangkan hati suami. Bahkan bagi kebanyakan masyarakat Karo hal ini sudah
merupakan tugas, tanggung jawab, dan kewajiban utama seorang perempuan Karo
yang sudah dinikahi dan “dibeli” oleh suaminya melalui proses unjuken yang
sudah merupakan bagian dari tradisi adat-adat Karo dalam suatu perkawinan.
Dengan demikian perempuan dianggap harus tunduk kepada kehendak suami, sehingga
tidak penting bagi perempuan untuk mengikuti pendidikan akademis. Hal ini juga
disebabkan karena adanya pemahaman bahwa perempuan itu dianggap tidak mempunyai
kemampuan dalam hal kepemimpinan. Bahkan kedudukannyapun terancam jika dia
tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai anak laki-laki, karena mungkin saja
dia akan diceraikan oleh suaminya. Praktik budaya Karo yang seperti inilah yang
tidak mendukung kesetaraan gender dan menjadi tantangan bagi perkembangan
perempuan Karo dalam menunjukkan eksistensinya. Sebab hanya laki-laki yang
lebih banyak diberikan peran baik di dalam pengambilan kebijakan dan tanggung
jawab di dalam keluarga, gereja, dan masyarakat.
2.
Pemahaman yang keliru tentang Alkitab
Masih ada sebagian masyarakat Karo yang beranggapan bahwa
laki-laki dianggap lebih penting, lebih tinggi derajatnya, lebih mampu
memimpin, dan lebih dapat diandalkan untuk menguasai kehidupan, karena di dalam
Alkitab dikatakan bahwa laki-laki lebih dulu diciptakan daripada perempuan dan
perempuan berasal dari laki-laki sehingga perempuan hanyalah bagian kecil dari
laki-laki (Kej. 1:27; 2:18, 21-22). Bahkan ada pula yang mengutip dari surat
Rasul Paulus (I Kor. 14:34-35) yang melarang perempuan berbicara dihadapan
jemaat. Nats ini sering kali pula dijadikan sebagai alasan kuat untuk tidak
bersedia menerima perempuan menjadi pendeta. Padahal jika diteliti kembali,
kita dapat melihat bahwa teman sekerja Rasul Paulus dalam Pekabaran Injil juga
perempuan, antara lain Priskila, Febe, Trifena, Trifosa, Persis, Ibu Rufus,
Eudia, dan Sintikhe.
3.
Pemahaman dari diri perempuan itu sendiri
Kaum perempuan sendiri belum menyadari panggilannya
ataupun kurang percaya diri dengan kemampuannya untuk memimpin dan melayani
jemaat karena merasa kurang kompeten akibat kurangnya kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan. Sehingga kebanyakan perempuan masih berwawasan sempit,
tidak terampil, pasif dan kurang berpartisipasi dalam kegiatan gereja, keluarga
maupun masyarakat. Bahkan kesibukannya sebagai ibu dan istri yang mengurus
rumah tangga turut menghalangi dirinya untuk berperan aktif sehingga pada
akhirnya hal itu juga dapat mereka jadikan sebagai alasan untuk tidak ikut
mengambil bagian dalam suatu kegiatan gereja pada kesempatan mendatang.
Kendati banyak hal yang menjadi hambatan dan kendala bagi
perempuan untuk menjadi seorang pendeta, namun pada tanggal 15 Maret 1987 GBKP
menahbiskan pendeta perempuan yang pertama, yakni Pdt. Rosmalia br. Barus yang
merupakan lulusan Institut Theologia Makassar dengan gelar Sarjana Muda
Theologia. Pada tahun yang sama, tanggal 6 Desember 1987, dua orang perempuan
lagi ditahbiskan menjadi pendeta, yaitu Pdt. S. U. br Tarigan S.Th dan Pdt.
Ratna br Sembiring S.Th yang merupakan lulusan dari Fakultas Teologi
Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta
(Sinulingga 2008, 50). Menurut Pdt. Suenita Sinulingga, adanya penerimaan yang demikian
merupakan hasil dari pergeseran budaya Karo sehingga perempuan sudah mulai
diberi kesempatan untuk berkarya. Selain itu, menurut beliau, GBKP juga sudah
semakin dapat menerima perempuan sebagai pendeta dan membuka peluang bagi
perempuan dalam jabatan struktural disegala tingkatan (Sinulingga 2014). Berdasarkan Data Penempatan
Personalia GBKP yang memuat 438 orang pendeta dan calon pendeta, 293 orang di
antaranya adalah perempuan dan 145 orang lainnya adalah laki-laki (GBKP 2013). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
perempuan sudah dapat diterima sebagai pemimpin di gereja, namun masih banyak
juga pendeta perempuan yang ditempatkan di daerah pedesaan. Hal ini jelas
memperlihatkan bahwa meski sudah ada pendeta perempuan yang ditahbiskan, tetapi
peran mereka masih terbatas, yakni hanya mendapat peran di pelosok dengan tugas
pelayanan standar. Berbeda halnya dengan tugas pelayanan pendeta yang ada di
daerah perkotaan. Jadi dengan kata lain, di dalam gereja pun ternyata perempuan
masih menjadi subordinat yang membuat mereka masih harus menghadapi hambatan
agar perempuan itu dapat menunjukkan eksistensinya sehingga tidak terus-menerus
dinomorduakan.
Jika ingin melihat eksistensi perempuan di dalam GBKP,
kita jangan hanya melihat pendeta perempuan saja, tetapi juga perempuan lain
(Moria) yang juga mampu berjuang untuk memperlihatkan eksistensinya di dalam GBKP.
Moria adalah salah satu persekutuan kategorial kaum ibu di
GBKP yang bertujuan untuk melaksanakan pembinaan, pelayanan bagi anggotanya
serta memperjuangkan hak-hak perempuan di keluarga, gereja dan masyarakat.
Moria juga terpanggil untuk menjalankan Tritugas Panggilan Gereja yakni
koinonia, marturia dan diakonia. Diharapkan melalui panggilan ini Moria dapat
meningkatkan kualitas spiritual (pertumbuhan rohani), kualitas sumber daya
sebagai perempuan sekaligus meningkatkan kualitas jemaat GBKP. Untuk itu,
perempuan ditengah GBKP dalam kurun waktu tahun 2005-2010 “dibukakan pintu”
untuk melayankan potensinya dan dikurangi hambatan-hambatannya dan sekaligus
mencari penyelesaian masalah. Umumnya, Ibadah Moria GBKP dilakasanakan
oleh masing-masing gereja dan dibagi berdasarkan sektor. Kegiatan PA Moria
biasanya diadakan seminggu sekali di GBKP ataupun di rumah-rumah.
Kenyataan yang dihadapi Moria saat ini adalah:
-
Masih banyak anggota Moria yang belum
mengembangkan potensinya oleh karena sikap yang masih diwarnai ketidak-setaraan
jender, sehingga anggota Moria sendiri masih menempatkan dirinya sebagai warga
kelas dua.
-
Masih banyak anggota Moria yang belum berperan
aktif (30-55%). Hal ini dikarenakan selama ini persentase jumlah Moria yang
hadir sangat jauh dari yang diharapkan, yakni hanya 10 sampai 15 orang saja
yang hadir untuk mengikuti ibadah Moria.
-
Pengurus Moria belum berperan secara maksimal
terutama di pedesaan baik dalam perencanaan maupun operasional.
-
Kehidupan keluarga yang merupakan gereja mini
yang masih lemah dalam ketaatan akan kebenaran Firman Tuhan yang dibuktikan
dengan tingginya angka perceraian, konflik keluarga, konflik suami-isteri dan
kenakalan anak-anak.
-
Menjadi satu kenyataan saat ini, tingkat stress
sangat tinggi akibat manusia tidak mampu menyesuaikan keinginan dengan
kemampuannya sesuai dengan Firman Tuhan. Dan juga manusia cenderung melakukan
kekerasan yang korbannya adalah perempuan dan anak-anak.
Upaya yang ditempuh dalam rangka peningkatan kualitas SDM
(Sumber Daya Manusia) baik dari segi pertumbuhan rohani maupun dari segi
pengetahuan dan keterampilan, maka Moria menyusun program untuk 5 (lima) tahun
mendatang sebagai berikut :
-
Bidang Persekutuan/Rohani: Mengadakan Retreat,
PA, Pastoral Konseling, Pelatihan Kemitraan, Perayaan Tahun Gerejani,
Pemberdayaan Perempuan, Orientasi Peranan Nora (sebutan untuk istri
Pendeta/Penatua/Diaken).
-
Bidang Pelayanan/Sosial: Diakonia, Pendidikan,
Litbang, Kesehatan, Pembinaan KWK, Kepemimpinan, Crisis Centre. Meliputi pelayanan
terhadap masyarakat pada umumnya dan khususnya kaum perempuan Walaupun tidak
tertutup kemungkinan bagi kaum laki-laki yang mengalami penderitaan dan stress
dalam hidupnya akibat tekanan, kekerasan dan sebagainya. Tujuan dari Crisis Center ini adalah memberikan
tempat yang aman dan terlindung bagi seluruh jemaat (perempuan) bermasalah,
sebagai wadah sharing antar perempuan
bermasalah dan mendampingi perempuan dalam proses penyelesaian masalahnya dari
sudut konseling dan advokasi. Sasarannya adalah perempuan yang bermasalah atau
yang mengalami kekerasan (di rumah tangga, pekerjaan, lingkungan sosial dan
lain-lain), Aron-Aron (buruh harian di Tanah Karo) dan perempuan yang
bermasalah dengan Narkoba. KWK GBKP atau Kursus Perempuan Kristen adalah salah
satu pelayanan GBKP untuk menjawab tantangan angkatan kerja perempuan muda
dengan memberikan keterampilan-keterampilan. Dengan memberi keterampilan
angkatan kerja perempuan muda diharapkan akan mendapat peluang berwirausaha
dibidang keterampilan perempuan untuk mengangkat derajat hidupnya serta
menciptakan lapangan kerja sendiri. Dengan demikian KWK adalah suatu
pemberdayaan perempuan-perempuan muda Kristen yang kurang mampu untuk
mendapatkan dan menciptakan lapangan kerja.
-
Bidang Kesaksian: Koor, Senibudaya,
Evangelisasi/Pekabaran Injil (PI).
-
Bidang Usaha: Mengupayakan dana untuk pelayanan
GBKP Moria khususnya melalui pengadaan usaha-usaha yang tidak bertentangan
dengan Tata GBKP dan Firman Tuhan misalnya pengaktifan iuran, lelang-lelang,
bazar dan sebagainya.
-
Bidang Umum: Sidang-Sidang : Mupel, MPL,
Kunjungan Kerja Antar Tingkat Pengurus, Mengevaluasi dan Membuat Program Kerja,
dan Rapat-Rapat.
Moria memang merupakan komisi perempuan tersendiri di
dalam GBKP, namun peran Moria sebagai perempuan di dalam gereja juga terlihat
di dalam gereja melalui perannya sebagai Penatua dan Diaken perempuan yang
melayani di gereja. Jika dulu tugas merencanakan, memimpin, dan mengambil
keputusan adalah tugas laki-laki, sementara tugas pelaksanaan dan membantu
secara materi diembankan kepada perempuan, maka sekarang dengan adanya
perempuan yang berperan di dalam gereja, tugas laki-laki juga dapat dilakukan
oleh perempuan. Misalnya dalam merencakan suatu hal yang berguna bagi gereja,
baik bagi perempuan maupun laki-laki. Namun sebagai tantangannya adalah hanya
ada ruang kecil yang disediakan bagi perempuan. Sehingga jumlah perempuan yang
berperan di dalam suatu gereja kadang tidak mencapai setengah dari jumlah
partisipan keseluruhan.
Seiring perkembangan pengetahuan yang semakin meluas
tentang perempuan, maka sekarang ini sudah semakin banyak Moria ataupun
perempuan yang sudah menikah tetap diperbolehkan bekerja di luar rumah oleh
suaminya. Namun harus tetap melakukan pekerjaan rumah tangga yang sudah
diembankan kepadanya. Seolah setiap perempuan yang bekerja itu seperti memikul
peran ganda. Beban ganda itu terlihat misalnya: seorang ibu selain harus
melakukan peran biologisnya seperti hamil, melahirkan, menyusui, dia juga harus
melayani suami, anak, bahkan anggota keluarga lainnya yang tercakup dalam peran
merawat dan mengurus rumah tangga. Padahal dia sudah bekerja di luar rumah,
ikut mencari nafkah tetapi masih harus tetap melakukan tugas dan tanggung jawab
tersebut.
Adanya peluang dan tantangan yang diterima oleh perempuan
di dalam perkawinan tersebut juga tidak luput dari pengaruh unjuken yang
seringkali dimaknai secara salah oleh beberapa orang suami terhadap istrinya.
Makna unjuken sebagai pengikat keluarga dan pemersatu kedua belah pihak
seringkali hanya dimaknai sebagai bukti pembelian yang dilakukan oleh suami
terhadap istrinya. Sehingga tidak jarang suami mengungkit perihal unjuken agar
istrinya mau menurut kepadanya. Misalnya dengan mengatakan “Mbarenda pe ku empoi kam, gelah lit sinangger nakanku. Enggo kap ken
kam kutukur.” Artinya, “Dulu pun aku menikahi kamu supaya ada yang
mengurusku dan memasak nasiku. Aku kan sudah membelimu” atau dengan kata lain
dengan mengatakan seperti itu, suaminya ingin mengatakan “Bukankah untuk itu
kau ku beli? Yaitu untuk memenuhi kepentinganku”. Dan dengan pemahaman yang
salah pula perempuan mau tunduk dan seolah menjadi milik suami sepenuhnya
seperti harta dan barang lainnya. Akibatnya istri selalu taat kepada suami,
apapun yang diminta dan diperintahkan suami akan dituruti oleh istri. Sebab
jika tidak, maka akan ada kekerasaan di dalam rumah tangga yang selanjutnya
akan terjadi. Bukan hanya
sekadar kekerasaan verbal berupa perkataan, tetapi mungkin saja tindak
pemulukan juga dapat diterima oleh istri dari suaminya. Dan di dalam
suatu adegan kekerasan di dalam rumah tangga, perempuan adalah korban yang
paling banyak menerima kekerasan tersebut.
Namun itulah gunanya ada wadah seperti Moria yang
mengayomi perempuan Karo. Gereja, melalui ibadah PA Moria setidaknya mampu
memberikan pembelajaran yang membekali Moria hingga mampu menghadapi semua
tantangan baik itu di dalam ranah domestik maupun dalam ranah publik.
Diskriminasi
dan penindasan terhadap kaum perempuan terjadi hampir di semua aspek kehidupan,
baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan. Anak perempuan dalam
masyarakat Karo tidak pernah dipandang sederajat dengan anak laki-laki.
Pandangan ini pada akhirnya juga berakibat pada relasi anak laki-laki dan anak
perempuan serta sikap anak laki-laki terhadap perempuan bahkan hingga mereka
dewasa. Sejak kecil anak perempuan dididik agar selalu bersikap tuduk terhadap
orangtua dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga bersama ibunya. Segala tugas
dan tanggung jawab rumah tangga sudah diembankan kepada anak perempuan sejak
dini. Mereka harus membersihkan rumah, memasak makanan, mencuci, bahkan juga
turut bekerja di ladang. Anak perempuan dibebani dengan banyak tugas dan
tanggung jawab sementara anak laki-laki bebas dari pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga. Sifat submissive tersebut
pada akhirnya sudah mendarah daging bagi anak perempuan sedangkan sikap bebas
dan menjadi penguasa diajarkan kepada laki-laki.
Apa
yang diajarkan sejak kecil pada akhirnya diterapkan ketika di dalam kehidupan
berumahtangga. Kebanyakan orang akan melakukan demikian, termasuk perempuan di
dalam GBKP. Hal ini juga menurun kepada anak dan cucunya kelak. Apa yang mereka
terima sebagai pelajaran untuk menjadi istri yang baik atau perempuan ideal,
juga akan diajarkan kembali kepada anak-anak perempuan mereka. Sebagian besar
perempuan Karo yang tergabung dalam Moria GBKP juga demikian. Seolah eksistensi
mereka sudah ada patronnya tersendiri. Oleh karena itu, gereja melalui Moria
GBKP berusaha membina perempuan-perempuan Karo dalam GBKP untuk dapat
melangkaui hal tersebut dan memperlihatkan eksistensi mereka.
Menurut pengamatan penulis, sejauh ini, GBKP bukan tidak
berupaya dalam mewujudkan kesetaraan dan memperjuangkan peran perempuan untuk
tampil di dunia publik. Namun tidak dapat sangkal bahwa hal tersebut belum
berhasil secara merata sebab baru perempuan di perkotaan saja yang mendapat
keleluasaan yang lebih dalam mengespresikan diri. Gereja dengan segala upayanya
telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memperjuangkan hak perempuan.
Namun kenyatannya hal ini hanya berlaku pada perempuan di daerah perkotaan yang
sudah terbuka dengan dunia luar yang memungkinkan perempuan untuk dapat lebih
ekspresif menunjukkan jati dirinya. Tetapi bagi perempuan di daerah pedesaan
yang masih terikat dengan segala aturan adat yang mengikat mereka, tentu saja
mereka belum merdeka dan belum dapat menunjukkan eksistensinya sebagaimana
mestinya.
Gambaran
tentang peran anak laki-laki dan perempuan tersebut seolah sudah menjadi prototype dari relasi perempuan atau
istri dengan laki-laki atau suami. Misalnya, di dalam rumah tangga laki-laki
memegang kontrol atas istri dan anak-anak di dalam pengambilan keputusan
sementara istri seolah hanya bertugas untuk menjalankan perintah dan keputusan
suaminya. Berdasarkan hal tersebut maka di dalam bab selanjutnya akan dibahas
beberapa analisis yang berkaitan mengenai eksistensi dan posisi serta peran
perempuan Karo.
Mengapa Allah
menciptakan dunia? Mengapa Ia membutuhkannya? Dan jawab para ahli kitab setelah
merenungkannya berabad-abad adalah: bahwa Ia menciptakan dunia karena cinta.
Mengapa karena cinta? Karena cinta adalah satu-satunya hal yang membutuhkan
yang lain. Karena itu Ia menciptakan manusia menurut citraNya.
Munculnya teori-teori sosial tentang perempuan yang
diangkat berdasarkan hasil studi pada berbagai wilayah tentang pandangan,
status, dan peran perempuan yang lebih rendah dibandingkan dengn laki-laki,
banyak diangkat dari aspek-aspek kekuasaan dan ekonomi yang kemudian melihat
tentang status perempuan yang rendah dan peran perempuan yang begitu lemah bila
dibandingkan dengan laki-laki, karena didasarkan pada perbedaan jenis kelamin.
Padahal jika diteliti dengan menggunakan ajaran agama, diperoleh gambaran bahwa
laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Hal tersebut dapat
dilihat dari Kejadian 1: 26-27 dan 31a:
Berfirmanlah Allah:
”Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka
berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan
atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di atas bumi.
Maka Allah menciptakan menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan
perempuan diciptkan-Nya mereka. Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya
itu sungguh amat baik.”
Dari firman Tuhan itu, maka menurut Stefania Cartore
(dalam Sulistyowati Irianto, 2006), yang diwahyukan adalah:
-
Laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai hasil
keputusan yang khusus dari Allah
-
Laki-laki dan perempuan merupakan makhluk yang
berasal dari Allah yang satu dan sama; Khalik mereka
-
Laki-laki dan perempuan memiliki kesempurnaan
dengan Allah. Sebagai gambar Allah, baik laki-laki maupun perempuan, mereka
dimungkinkan untuk (1) berelasi dengan Allah sebagai orangtua, dengan-Nya,
mereka memiliki “keserupaan” (2) bertindak menurut teladan-Nya (3) melanjutkan
karya penciptaan-Nya, entah melalui eksistensi manusia yang lain atau dengan
memelihara dunia ciptaan-Nya
-
Laki-laki dan perempuan memiliki martabat yang
sama dalam segala aspeknya. Martabat mereka didasarkan pada “keserupaan” mereka
denga Allah yang mendorong mereka untuk dapat melangkaui apa yang dapat mereka
capai dan mendekati apa yang telah direncanakan Allah bagi hidup mereka.
Melalui penciptaan ini kita dapat melihat bahwa Allah
adalah kasih dan sumber kasih sehingga Ia menciptakan laki-laki dan perempuan
dengan penuh kasih pula. Allah yang pengasih tidak pernah pilih kasih dengan
memihak hanya mengasihi laki-laki saja atau perempuan saja. Namun Ia mengasihi
keduanya dengan sempurna. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan
kasih dan karena kasih. Oleh karena Allah adalah kasih, Ia menciptakan manusia,
laki-laki dan perempuan, segambar denganNya untuk menunjukkan kasihNya kepada
manusia, bukan menunjukkan kuasaNya. Semua semata-mata karena kasih. Oleh
karena itu, maka Allah yang penuh kasih itu juga tidak akan pernah mengijinkan
laki-laki untuk menindas perempuan. Melainkan karena manusia sudah terlebih
dahulu menerima kasih Allah, maka tugas manusia selanjutnya seharusnya adalah
meneruskan kasih Allah dengan cara mengasihi sesama, bukan hanya sesama
laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan, melainkan juga
antara laki-laki dan perempuan. Sebab tidak ada alasan bagi laki-laki untuk
menindas perempuan maupun sebaliknya karena di dalam Kej. 2:18 juga tertulis
bahwa perempuan diciptakan untuk menjadi rekan sekerja laki-laki ataupun
menjadi penolong yang sepadan bukan sebagai budak (helper, not servant),
melainkan menjalankan tugas yang sama bersama-sama (Richards 1999, 4). “Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik,
kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan seorang penolong
baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kejadian 2:18).
Pada Kejadian 1:1-2:7 diperlihatkan bahwa dalam hal
prokreasi, laki-laki dan perempuan adalah sepadan, seharga, dan setingkat
karena keduanya diciptakan sesuai dengan gambar Allah dan keduanya sama-sama
diberkati oleh Allah. Karena sama-sama diberkati oleh Allah, maka keduanya
berhak untuk memakai dan mempertanggungjawabkan berkat Allah itu secara optimal
demi kebaikan bersama seluruh ciptaan. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan
diharapkan dapat membentuk relasi yang saling tolong-menolong. Laki-laki dan
perempuan adalah ezer kenegdo atau
penolong yang sepadan. Ezer kenegdo tidak
diartikan sebagai pembantu dengan kadar kemanusiaan yang lebih rendah, atupun
dengan gambar Allah yang tidak sempurna. Melainkan ezer kenegdo harus dipahami dalam kerangka saling tolong-menolong
yang merupakan bagian dari kemanusiaan laki-laki dan perempuan dalam rangka
meneruskan kasih Allah yang telah mereka terima sebelumnya.
Kehadiran perempuan sebagai penolong bagi laki-laki bukan
dengan maksud untuk menjadi pembantu laki-laki dan bukan untuk memberikan
dirinya melakukan apa saja yang dikehendaki oleh laki-laki. Sebaliknya
perempuan jug tidak boleh memperlakukan laki-laki menurut kehendaknya sendiri.
Dalam hal ini keduanya dipanggil untuk saling menghargai, saling menghormati,
dan saling menopang sehingga laki-laki dan perempuan mampu berkarya bersama.
Menjadi penolong juga berarti bertanggungjawab atas
kehidupan orang yang ditolongnya. Laki-laki dan perempuan adalah penolong satu
sama lain. Laki-laki dan perempuan tidak dapat mengandalkan diri sendiri sebagi
orang yang lebih kuat karena keduanya memang saling membutuhkan penolong yang
sepadan seperti yang telah disediakan oleh Allah.
Di hadapan Allah, perempuan sepadan dengan laki-laki.
Artinya, tidak lebih rendah atau lebih tinggi. Hawa diciptakan dari tulang
rusuk Adam sebagai “penolong yang sepadan” bagi Adam (Kej. 2:18, 21-22). Memang
ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya perbedaan secara fisik,
psikis dan karakter, tetapi keduanya sama-sama mahkluk yang dikasihi, dihargai,
dipercayai dan dipedulikan Allah.
Kendati demikin, tidak dapat disangkal pula bahwa tidak
jarang Kitab Suci juga digunakan untuk mendukung kecenderungan
men-dewi-tololkan perempuan. Di dalam Kitab Suci memang terdapat bagian yang
jelas-jelas menyisihkan perempuan dari kehidupan sosial. Bagian-bagian ini yang
paling sering diangkat untuk menekan kebebasan kaum perempuan. Namun jika
diperhatikan dengan seksama, isi Kitab Suci bukanlah sepenuhnya meminggirkan
kaum perempuan hanya karena Kitab Suci adalah produk dari masyarakat yang
bersifat androsentrisme. Melainkan Kitab Suci juga memuat kisah yang menyoal
perempuan, yakni seperti Hawa, Sarah, Ratu Ester, Hakim Debora, Rut, dan
lain-lain, yang juga dipakai Allah untuk berperan dalam menghidupi kehidupan
pada masanya.
Hawa adalah perempuan pertama yang diciptakan oleh Allah.
Adam terlahir untuk Hawa dan Hawa tercipta untuk Adam. Sebagai penolong yang
sepadan bagi Adam, Hawa juga diberi tugas yang sama pentingnya dengan Adam,
yaitu mengelola dan menatalayani seluruh ciptaan di bumi ini. Namun karena
kejatuhannya ke dalam penggodaan iblis, ia disebut-sebut sebagai perempuan
pembawa dosa ataupun sumber dosa.
Alkitab mencatat bahwa hubungan yang timpang antara
laki-laki dan perempuan itu terjadi setelah manusia memakan buah yang dilarang
oleh Allah (Kej. 3:12dst). Adam mempersalahkan Hawa sebagai pembawa dosa,
sedangkan Hawa mempersalahkan ular sebagai penggoda. Tetapi akhirnya Allah
menghukum Adam dan Hawa. Adam dihukum bukan hanya karena Adam ikut-ikutan makan
buah yang Allah larang, tetapi juga karena ketika Hawa berdialog dengan ular
sampai memetik buah, Adam ada bersama Hawa (Kej. 3:6). Adam hadir di sana
tetapi ia bungkam. Dengan kata lain, perbuatan Hawa sebenarnya mendapat restu
dari Adam. Karena itu kesalahan ada pada kedua pihak. Itu berarti bahwa Adam
dan kaum laki-laki tidak bisa menghakimi Hawa dan kaumnya sebagai pembawa dosa.
Dalam perkembangan selanjutnya, hal ini terus berdampak bagi peran perempuan
dan ruang geraknya pun selalu dibatasi, sehingga hal ini yang menciptakan
dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Kejatuhan manusia kedalam dosa seharusnya tidak sepenuhnya
menyalahkan Hawa dan mengecam seluruh perempuan adalah sebagai sumber dosa.
Sumber dosa yang pertama adalah iblis yang menggoda perempuan. perempuan sama
sekali tidak tertarik pada isi kata-kata ular, ia lebih terkesan pada buah itu.
Keinginan untuk memiliki buah serta memakan buah itulah yang mendorong
perempuan untuk mengambil dan memakan buah itu, bukan hasrat ingin menyaingi
Allah seperti yang ditawarkan oleh iblis (Pr. 2003,
16). Bila direnungkan dengan seksama akan terlihat betapa pintarnya
ular dan betapa polosnya manusia. Allah sendiri melihat hal itu sehingga yang
pertama kali dihukum adalah iblis yang menjelma sebagai ular (Kej. 3:13-15),
dan kemudian manusia (Kej. 3: 16-19).
Terkait dengan hal itu, di dalam budaya Karo sendiri
perempuan tidak sepenuhnya dianggap sebagai sumber dosa. Namun ada kecurigaan
bahwa perempuan dianggap cukup dekat dengan dosa dan hal-hal yang kurang baik.
Perempuan yang berprofesi sebagai Si Baso
menjadikan sosok perempuan
mempunyai dua sisi yang berlawanan. Disatu sisi perempuan yang menjadi Si Baso
itu merupakan perantara antara masyarakat dengan alam ghaib dan begu, tetapi di sisi lain perempuan juga
dianggap mendatangkan kebaikan dan sebagai perantara antara masyarakat dan
Tuhan (berdasarkan kepercayaan agama Pemena pada masa itu). Sehingga sulit
untuk menyatakan dengan lantang apakah perempuan di dalam budaya Karo juga
disebut sebagai sumber dosa atau tidak.
Dosa adalah tindakan manusia secara perorangan maupun
secara kelompok yang menyimpang dari kehendak dan hukum Allah (Browning 2008). Dosa adalah perbuatan yang
melanggar hukum Tuhan atau agama (DEPDIKBUD 1989, 242). Dosa adalah musuh yang
setiap saat telah mengintip di depan pintu hati manusia untuk memasukinya (Kej.
4 : 7). Berikut ini adalah beberapa defenisi mengenai dosa:
·
Dosa Warisan
Iblis membawa dosa kepada umat manusia di taman Eden
ketika dia mencobai Adam dan Hawa dengan godaan “engkau akan menjadi sama
seperti Allah.” Kejadian 3 menjelaskan bahwa pemberontakan manusia itu melawan
Allah dan perintah-perintahNya. Sejak saat itu manusia menjadi berdosa dan
dosanya diwariskan kepada semua generasi umat manusia. Dan kita sebagai
keturunan Adam, ikut mewarisi dosa darinya. Manusia menjadi orang-orang berdosa
bukan karena mereka berbuat dosa, mereka berbuat dosa karena mereka adalah
orang-orang berdosa yang sudah mewarisi dosa sejak lahir. Inilah keadaan yang
disebut sebagai dosa warisan. Sama seperti kita mewarisi karakteristik fisik
dari orangtua kita, kita mewarisi dosa dari Adam. Roma 5:12 memberitahukan
bahwa melalui Adam dosa masuk ke dalam dunia dan kematian diwariskan kepada
semua orang karena upah dosa adalah maut (Roma 6:23) (Blocher 1997, 32-33).
Dalam penelusuran yang dilakukan oleh penulis, penulis
menemukan beberapa sebutan atau istilah berbahasa asing yang digunakan untuk
mengkategorikan dosa warisan ini, yakni Universal
sinfulness, Natural sinfulness, Inherited sinfulness, dan Adamic sinfulness (Blocher 1997, 19-35). Ironisnya, tidak ada satupun
istilah atau sebutan untuk dosa warisan ini yang mengacu kepada Hawa atau
menyebut nama Hawa. Sehingga hal ini seperti celah kecil yang memungkinkan kita
untuk membela Hawa yang kerap dipersalahkan dan disebut-sebut sebagai sumber
dosa oleh banyak orang. Sebab tidak ada penjelasan yang jelas yang dapat
menjelaskan apa maksud dari sebutan oleh banyak orang terhadap Hawa sebagai
sumber dosa karena memang tidak ada istilah yang mengacu pada Hawa secara
khusus.
·
Dosa Pribadi
Dosa pribadi atau dosa perbuatan adalah dosa yang dilakukan
oleh manusia itu sendiri baik secara sengaja atau tidak sengaja dan diperbuat
melalui hati/pikiran/pandangan mata/perkataan dan perbuatan. Dosa pribadi
adalah dosa yang harus dipertanggungjawabkan sendiri, misalnya seperti dosa
membunuh, mencuri, berzinah, dan lain-lain. Dosa ini mengacu pada pelanggaran
yang dilakukan atas hukum Taurat yang tertulis pada Kel. 20:1-17, baik terkait
peraturan yang berkenaan dengan relasi antara manusia dengan Allah maupun
antara manusia dengan sesamanya.
·
Dosa Sosial
Selain dosa pribadi terdapat pula dosa sosial yang sudah
membentuk struktur sehigga pribadi-pribadi di dalamnya sulit untuk terbebas
darinya. Dosa-dosa berlembaga dan berbentuk sistem inilah yang yang menindas,
mempermiskin, memperbodoh, dan mengintimidasi, serta membunuh dengan kekerasan
yang spiral semakin meningkat. Kedosaan struktural itu mengambil bentuk
globalisasi ekonomi dan politik-ideologi yang tidak terkendali oleh segi-segi
manusiawi yang ada pada globalisasi ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya.
Selain itu, rasisme, seksisme, diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan
juga merupakan bagian dari dosa sosial.
Seseorang yang miskin kerap kali dianggap sebagai sebuah
akibat dari dosanya. Padahal seseorang yang miskin atau menjadi miskin bukan
karena dia berdosa, tetapi karena sistem yang menindas akhirnya menjadikan
mereka menjadi semakin menderita dengan kemiskinan mereka. Kemiskinan yang
mereka alami disebabkan karena perbudakan, pencabutan warisan, hak milik
melalui kolonialisasi (Rubianto 1996, 45). Orang-orang kaya dan pemerintah menindas mereka yang miskin
melalui struktur dan sistem yang mereka ciptakan dengan alasan bahwa kemiskinan
mereka adalah akibat dari dosa mereka sendiri. Sehingga tidak ada yang dapat
menolong mereka dari dosa kemiskinan itu. Menurut penulis, terlahir miskin
bukanlah suatu dosa. Demikian juga halnya dengan perempuan. Terlahir sebagai
perempuan juga bukanlah suatu dosa. Sehingga tidak ada alasan bagi siapapun
untuk tidak memanusiakan perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan berhak
menerima penindasan, diskriminasi, dan subordinasi karena dia adalah seorang
perempuan yang merupakan keturunan Hawa sebagai ibu pembawa kehidupan sekaligus
kematian melalui dosa.
Dengan kata lain, perempuan selalu dilihat secara
ambivalensi dan seperti memiliki dua sisi yang berlawanan seperti istilah yang
diungkapkan Sherry Ortner. Menurut Sherry Ortner, perempuan pada kenyataannya
memang memiliki posisi yang selalu lebih rendah daripada laki-laki sehingga
perempuanlah yang paling sering menerima kesan yang kurang baik atau dicap
buruk. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa di sisi lain, perempuan juga
dianggap sebagai sumber berkat karena selain seorang perempuan dikodratkan
menjadi seorang ibu, perempuan sesungguhnya memiliki peran dalam rumah tangga,
memiliki kecakapan tersendiri untuk memotivasi serta menginspirasi manusia lain
(laki-laki), dan mereka juga dekat dengan alam (Radford Ruether 1983, 65). Kendati demikian, masih banyak juga perempuan yang terbelenggu
dan tetap tersisih oleh karena adanya sistem patriakal.
Sistem patriakal yang dianut oleh banyak budaya, termasuk
budaya Karo, akhirnya menjadi sistem yang menyiksa dan menindas perempuan.
Sehingga menurut penulis, sistem patriakal juga dapat dikatakan sebagai salah
satu dosa sosial yang kerap dilakukan oleh banyak orang terhadap perempuan
hanya karena dia seorang perempuan. Jika struktur dan sistem seperti ini tidak diputuskan,
maka dosa sosial seperti ini nantinya akan terjadi secara turun temurun dan
mengakibatkan penindasan yang tidak pernah terputus bagi perempuan. Sayangnya,
masih banyak orang yang tidak memahami dosa sosial ini. Bagi sebagian orang,
yang dimaksud dengan dosa hanyalah pelanggaran yang dilakukan terhadap hukum
Taurat dan juga dosa warisan tersebut. Sementara praktik penindasan,
diskriminasi, dan kekerasan yang mereka lakukan terhadap orang lain kadang
tidak diperhitungkan sebagai dosa. Hal itu kemungkinan disebabkan pula oleh
gereja yang hanya menekankan tentang dosa warisan dan dosa pribadi tetapi
kurang menekankan pengajaran mengenai dosa sosial ini di dalam pemberitaan
firman. Padahal gereja adalah tempat di mana tidak ada penindasan dan diskriminasi
bagi setiap orang, termasuk bagi perempuan. Sehingga seharusnya gereja juga
berbicara mengenai pertobatan manusia dari dosa sosial mereka, bukan hanya
bertobat dari dosa pribadi yang mereka lakukan.
Kisah ini menceritakan tentang seorang perempuan yang
diadukan berzinah. Maka sudah dapat dipastikan bahwa ia adalah seorang istri
yang sudah mempunyai suami. Berdasarkan peraturan Yahudi yang berlaku pada saat
itu, seorang istri yang berzinah itu harus dilempari batu sampai mati (Im.
20:10; Ul. 22:22-24, 28-29). Tetapi pelaksanaan peraturan ini tentu tidak
sesederhana apa yang dituliskan tersebut. Dengan kata lain, orang tidak
seharusnya main hakim sendiri, tetapi harus ada ketentuan lain yang menjamin
pelaksanaan hukuman yang demikian (Yoh. 18:13). Namun yang paling menarik dari
kisah ini adalah bahwa di dalam kisah ini yang paling dikedepankan adalah
perempuan yang berzinah, sementara laki-laki yang berzinah itu tidak disebutkan
sama sekali. Padahal sesuai aturan, baik laki-laki maupun perempuan yang
berzinah harus dihukum mati. “Bila
seorang laki-laki berzinah dengan istri orang lain, yakni berzinah dengan istri
sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang berzinah itu” (Ul.
20:10). Selain itu,
suaminya pun sama sekali tidak disebutkan. Sehingga memunculkan kecurigaan apakah
benar ini sungguh merupakan kasus perzinahan atau hanya sekadar rekayasa semata
yang ingin menyudutkan perempuan itu.
Kisah ini seolah gambaran persoalan yang hampir mustahil
untuk dipecahkan. Jika Yesus membiarkan perempuan itu dilempari batu, maka Ia
akan didakwa sebagi guru yang keras, bahkan akan dilaporkan kepada pejabat
pemerintah Romawi yang akan menghukum tindakan demikian. Tetapi jika Yesus
menolak pelemparan batu tersebut, maka Ia dapat didakwa sebagai penentang
Taurat. Dengan kata lain, situasinya sungguh menjepit. Tetapi Yesus tampaknya
tidak memperhatian tantangan itu, melainkan memikirkan hal lain. Ia menulis di
tanah seperti menunjukkan seolah Ia tidak ambil pusing soal itu, tetapi tetap
mencari jalan keluar sambil menenangkan hatinya sendiri. Lalu ketika didesak,
Ia menyampaikan jawaban jitu, yakni “siapa yang tidak bersalah boleh
melemparkan batu pertama!” Dalam Ul 17:1 disebutkan bahwa dalam kasus demikian
harus pula didatangkan saksi.
Dengan
sikap seperti itu, Yesus lembut terhadap pendosa dan keras terhadap orang yang sok tahu. Ia kemudian menulis kembali di
tanah, seolah ingin memberi waktu kepada orang-orang yang ingin menghukum
perempuan itu, untuk menenangkan diri dari emosi mereka. Mereka mendapat
kesempatan untuk melihat sisi lain dari masalah ini bahwa setiap orang dapat
melakukan kesalahan dan yang harus dipecahkan bersama adalah bagaiman membantu
sesama yang jatuh dalam kesalahan.
Teks
menyebutkan bahwa mereka yang ingin menghukum perempuan itu akhirnya bergiliran
pergi, mulai dari yang tua-tua sampai akhirnya tinggal perempuan itu bersama
Yesus. Yesus tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah dengan
perempuan yang kedapatan berzinah tersebut. Melainkan memberikan peringatan
moral kepada perempuan itu sehingga memberi kemungkinan untuk memperbaiki
kehidupan di kemudian hari.
Jika
kisah ini dibaca dengan latar belakang jemaat waktu itu, akan terlihat jelas bahwa
perempuan pada masa itu memiliki kedudukan yang tersisih dan rawan dalam
kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan pribadi di dalam keluarga.
Sherry Ortner, seorang Antropolog Feminis juga menyatakan bahwa perempuan di
berbagai kebudayaan memang selalu dikaitkan dengan sesuatu atau nilai yang
dianggap rendah oleh masyarakat (Ortner 1974, 67-68). Artinya, posisi subordinat
perempuan dalam masyarakat itu dibangun oleh konstruksi budaya (simbolik) yang
selalu menganggap perempuan itu lebih rendah dari laki-laki. Demikian pula
halnya dengan konstruksi budaya Karo yang juga mengaitkan perempuan dengan
nilai. Sehingga pada akhirnya terlahirlah penafsiran yang salah atas budaya
unjuken. Tidak sedikit orang yang pada akhirnya menilai perempuan menjadi lebih
rendah daripada laki-laki hanya karena adanya budaya unjuken tersebut yang
diberlakukan hanya kepada perempuan, bukan kepada laki-laki. Sehingga setiap
perlakukan yang dilakukan untuk merendahkan perempuan pun pada akhirnya dinilai
sah. Namun dimata Yesus, tidak demikian. Seharusnya laki-laki dan perempuan
diharapkan mampu saling mengampuni dan menciptakan dunia baru yang kaya akan
alternatif untuk berkembang. Bukan saling menyisihkan, melainkan bekerjasama
sesuai kemampuan masing-masing.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa di lingkungan Yesus,
perempuan sudah mempunyai kedudukan dan peran yang hampir sama dengan
laki-laki. Yesus tidak menjauhkan diri dari perempuan yang dianggap sebagai
pendosa oleh sebagian orang (Luk. 7:36-50; Mrk. 14:3-9; Mat. 26:6-13; Yoh.
12:1-8). Melainkan Yesus membuka jalan bagi perempuan untuk dapat mempunyai
kedudukan dan peran yang sama dalam jemaat. Hal ini dapat dilihat dalam Luk.
10:38-42 terkait sikap Maria dan Marta. Maria duduk di dekat kaki Yesus dan
mendengarkan perkatanNya. Sementara Marta yang sibuk melayani orang banyak
merasa sikap saudarinya itu bukanlah sesuatu yang wajar untuk dilakukan oleh
seorang perempuan pada masa itu. Sehingga ia meminta Yesus untuk menegur Maria
agar mau membantu Marta dan melayani orang banyak. Tapi Yesus menolaknya.
Kesibukan Marta yang disebut sebagai pelayan dan melayani
seolah memberi gambaran mengenai seluruh kegiatan perempuan dalam rumah tangga.
Sementara sikap Maria yang mendengarkan Yesus memperlihatkan kesediaannya untuk
mengikut Yesus. Namun yang menjadi paling istimewa dari kisah ini adalah sikap
Yesus yang mengijinkan perempuan untuk duduk mendengarkan firman. Padahal jika
dianalisa, pada masa itu Yesus hidup di tengah masyarakat patriakal yang memang
mengharuskan perempuan untuk selalu berada di dapur dan tidak mencampuri urusan
laki-laki (Radford Ruether 1983, 158). Sementara bagi Yesus, perempuan juga berhak mendapatkan
pengajaran dan tidak harus selalu berada di dapur untuk melayani.
Berdasarkan
pengamatan penulis, hal ini masih terus berpengaruh pada praktek kehidupan kita
bergereja. Di dalam gereja, ketika ada rapat penatua dan diaken, sangat jarang
ditemui laki-laki yang menyediakan konsumsi rapat. Kebanyakan dari prakteknya,
perempuanlah yang turun tangan untuk menangani konsumsi, sementara laki-laki
dapat tetap duduk mengikuti diskusi atau rapat. Hal yang demikian juga ditemui
oleh penulis ketika menjalankan konsumsi saat Ibadah Rumah Tangga atau
Perpulungen Jabu-jabu (PJJ) di dalam GBKP. Pada saat seluruh partisipan PJJ
mengikuti diskusi yang masih berhubungan dengan ibadah itu, sebagaian perempuan
harus pergi ke dapur untuk membantu tuan rumah melayani para tamu PJJ. Mereka
mengantar makanan dari dapur untuk diletakkan di depan setiap orang yang hadir
dalam PJJ itu. Jika kesetaraan memang sudah terjadi di dalam gereja termasuk
GBKP, mengapa laki-laki tidak ikut berpartisipasi dan mengambil bagian untuk
melayani dan membagikan konsumsi? Dengan analisis yang demikian, dapat
dikatakan bahwa kesetaraan belum terjadi secara maksimal, termasuk di dalam
tubuh gereja dan jemaat itu sendiri. Lalu jika demikian, apa yang menjadi
masalahnya jika Yesus sendiri menerima perempuan dan membiarkannya untuk tetap
duduk dan mendengarkanNya, mengapa gereja tidak dapat bersikap seperti Yesus?
Pagi-pagi benar pada hari Minggu, setelah matahari terbit
di ufuk Timur, beberapa orang perempuan pergi ke kubur Yesus. Mereka adalah
Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Salome. Mereka hendak memberikan
pelayanan terakhir terhadap mayat Yesus yang sempat tertunda karena hari Sabat.
Sepagi mungkin setelah hari Sabat lewat, mereka berangkat dengan membawa
rempah-rempah untuk meminyaki mayat Yesus. Mengapa para perempuan? Bukankah masih
ada murid-murid lain yang lebih gagah perkasa? Hal ini memberi kesan dan pesan
tertentu. Di dalam masyarakat patriarkis yang meminggirkan kaum perempuan,
justru peranan kaum perempuan diberikan tempat yang sentral oleh Allah.
Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Salome diberikan
kesempatan pertama untuk mendengar warta kebangkitan Kristus. Mereka pula yang
pertama kali diberi kepercayaan untuk mewartakannya. Kaum perempuan yang
seringkali dianggap lemah dan tersingkir justru diangkat sebagai duta dan
pewarta kabar baik, sedang lelaki yang dianggap kuat justru digambarkan sebagai
orang yang mula-mula tidak percaya atau ragu-ragu terhadap kabar baik itu.
Tiga perempuan itu, Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan
Salome adalah wakil perempuan-perempuan lainnya. Mereka diberi-Nya kepercayaan
untuk mengambil peranan karena cinta kasih mereka terhadap Tuhan Yesus. Di
dalam pelayanan Tuhan Yesus, para perempuan yang senantiasa menyiapkan
keperluan-Nya. Pada saat Ia bergumul menghadapi kematian, seorang perempuan
yang datang mengurapi-Nya dengan minyak narwastu. Para perempuan juga yang
berani berada dekat dengan-Nya ketika Ia terpaku di kayu salib. Mereka tidak
pernah menyangkal Yesus, melainkan terus menyertai Yesus hingga Ia mati dan
mayat-Nya diletakkan dalam lubang kubur. Setelah lewat hari Sabat, pagi-pagi
benar mereka sudah datang ke kubur Yesus dan menyaksikan kebangkitan Yesus (Drinkwater 1978, 9).
Dalam kisah kebangkitan Yesus, perempuan adalah orang
pertama yang memberi tahu murid-murid lainnya tentang kebangkitan Yesus. Ini
berarti bahwa mereka tidak hanya menjadi pihak pertama yang melihat kubur Yesus
kosong, tetapi juga menjadi pihak pertama yang membawa pesan kepada orang lain
tentang Yesus yang bangkit. Betapa luar biasanya hak istimewa yang diberikan
kepada para perempuan ini, khususnya pada era mereka hidup. Dengan berani
mereka menyampaikan berita kebangkitan itu kepada murid-murid laki-laki Yesus,
yaitu Petrus dan teman-teman, seolah-olah tanpa batas gender yang mengungkung
kehidupan sosial saat itu. Lalu, bagaikan gelombang yang terus bergulung di
dalam sejarah dunia, berita kebangkitan Kristus itu terus tersebar semakin luas
dan semakin jauh sampai ke masa kini.
Kendati demikian, memang tidak
dapat dipungkiri bahwa pada saat itu budaya patriarki yang mengekang perempuan
menjadikan mereka tidak dipercayai oleh siapapun. Kebudayaan Romawi dan Yahudi
yang memperlakukan perempuan sebagai warga negara kelas dua menjadikan
kesaksian seorang perempuan tidak dihargai, tidak dianggap di pengadilan,
bahkan diremehkan secara terang-terangan dan dengan sengaja disingkirkan. Hal itu
dapat terlihat juga dari respons awal para murid ketika perempuan-perempuan
tersebut memberi tahu mereka bahwa Yesus telah bangkit dari kematian. Seperti
yang dikatakan Lukas dalam Luk. 24:11: “Tetapi bagi mereka perkataan-perkataan itu seakan-akan omong
kosong dan mereka tidak percaya kepada perempuan-perempuan itu.” Kejadian itu pada akhirnya mendorong
Petrus untuk segera pergi ke kubur dan melihat sendiri bahwa Yesus benar-benar
bangkit dari kematian.
Entah
suka atau tidak, para perempuan cenderung dianggap bukan sebagai saksi mata
terpercaya dalam karya kebangkitan Kristus. Dalam 1 Kor. 15, perempuan dalam
kisah kebangkitan Kristus secara diam-diam dihilangkan. Mungkin karena akan
menjadi sangat memalukan untuk menyadari bahwa para saksi mata untuk peristiwa
luar biasa itu adalah para perempuan (Evans and Wright 2008, 101-102). Padahal sesungguhnya
pemilihan para perempuan sebagai saksi kebangkitan merupakan hal yang unik.
Meski bobot kesaksian mereka tidak terlalu dianggap oleh masyarakat Yahudi,
tapi Allah tetap memilih mereka sebagai saksi karya kebangkitan Kristus. Mereka
pantas untuk mendapatkannya karena mereka yang terus-menerus mengikuti Yesus di
masa-masa sukar. Kasih mereka yang besar akhirnya membuahkan hasil yang luar biasa.
Perempuan memegang peranan penting dalam pelayanan,
kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus. Tuhan Yesus tidak mengabaikan
perempuan, apalagi menyepelekannya. Perempuan diberi tempat dan tanggung jawab
yang tidak kalah pentingnya dari laki-laki. Pentingnya perempuan bukan hanya
masa lalu, tetapi juga masa kini dan masa yang akan datang. Dunia saat ini
membutuhkan saksi-saksi kebangkitan Kristus. Bukan kaum lelaki saja yang Tuhan
panggil, tetapi juga kaum perempuan. Menjadi saksi itu perlu diwujudkan dalam
hidup, pewartaan, pelayanan, dan peranan yang nyata.
Dalam kisah kebangkitan, dengan menyingkapkan diri-Nya
sendiri untuk pertama kalinya kepada para perempuan, Allah sekali lagi
menjungkirbalikkan hal tabu dalam budaya dan mengatakan bahwa para perempuan,
meskipun dipandang sebagai penduduk kelas dua di Israel, adalah penduduk kelas
pertama dalam kerajaan-Nya. Paulus yang banyak mengajarkan hal ini di Galatia dalam
Gal. 3:28: “Dalam hal
ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang
merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di
dalam Kristus Yesus.”
Berdasarkan
pengamatan penulis, hal seperti ini juga tidak jarang terjadi di dalam budaya
Karo. Perempuan jarang diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dengan
lantang. Meskipun sekarang sudah ada kesempatan yang sama yang diberikan kepada
perempuan seperti kesempatan yang sama kepada laki-laki, namun hal itu tidak
terjadi secara merata di seluruh aspek kehidupan. Salah satu contohnya adalah
di dalam adat budaya Karo, perempuan tidak pernah diberi kesempatan untuk dapat
memimpin suatu runggu atau musyawarah. Runggu atau musyawarah di dalam adat
Karo merupakan bagian yang cukup penting dari berbagai rangkaian acara apapun
yang akan dilakukan menurut adat Karo. Namun sayangnya perempuan tidak pernah
mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki untuk ikut memimpin runggu. Meminjam
istilah berbahasa Karo, perempuan ibarat “Belo
la ertangke. Ikut sada kepiten, tading bas beligan”. Perempuan sama seperti
sirih yang tidak bertangkai. Ikut dalam satu kepitan, tapi tidak masuk
hitungan. Perempuan ikut sebagai bagian dari Rakut Sitelu (entah sebagai Sukut, Anak Beru, atau Kalimbubu),
tetapi tidak dianggap ketika runggu sedang berlangsung. Padahal ketika runggu,
komponen dari Rakut Sitelu harus
hadir agar runggu dianggap pantas untuk dilakukan. Namun pada kenyataannya
perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap saja. Hadir atau tidak hadirnya
perempuan dalam suatu runggu, pada akhirnya sama sekali tidak mempengaruhi
runggu itu.
Pada dasarnya
konsep unjuken dalam
masyarakat Karo mengandung banyak makna yang sangat bervariasi. Bagi penulis
sendiri, ada beberapa makna dari unjuken tersebut. Pertama, unjuken adalah
keseluruhan pemberian dalam ritus perkawinan di Karo, kedua, unjuken adalah
adat Karo itu sendiri, ketiga, unjuken adalah suatu simbol nilai penghargaan
yang diberikan oleh pihak laki-laki sebagai penghargaan bagi perempuan, keempat,
unjuken merupakan jembatan antara dua belah pihak keluarga yang tujuannya untuk
mengikat kedua keluarga. Sebab kedua belah pihak keluarga sebelumnya belum
saling mengenal. Namun seiring berjalannya waktu, banyak orang yang pada
akhirnya menyalahartikan makna dari unjuken yang sebenarnya sehingga tidak
jarang hal ini berujung pada kekerasan yang dilakukan oleh pihak suami terhadap
istrinya sebagai bentuk penguasaan diri perempuan yang telah dibeli oleh
laki-laki itu. Jika analisis secara seksama:
-
Batang unjuken harus dilihat sebagai alat
pemersatu kedua keluarga karena melalui unjuken kedua keluarga dapat
terhubungkan dalam sebuah relasi saling memberi dan menerima.
-
Batang unjuken hanya sebagai ungkapan terima
kasih dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang telah merelakan anaknya
untuk dinikahi. Dengan demikian unjuken tidak disalahartikan menjadi upaya
menjengkal seorang perempuan Karo dengan menakar harganya.
-
Jika unjuken memang hanya sekadar simbol
pemersatu, mengapa harus ada harga yang berbeda di antara tiap perempuan Karo?
Bukankah dengan demikian semakin menunjukkan bahwa unjuken seolah memberi label
kepada perempuan, sehingga unjuken pada akhirnya terjerumus pada pemahaman yang
salah, yakni sebagai upaya menjengkal yang terus dipupuk di dalam budaya Karo.
Jadi, jika memang harus tetap diberlakukan pemberian harga atas diri seorang
perempuan Karo melalui proses unjuken, mengapa tidak disamaratakan saja
harganya? Atau diubah simbol unjukennya menjadi sesuatu yang lebih simbolik,
tetapi bukan dalam bentuk nomimal uang.
Di dalam pandangan umum orang Karo, antara perempuan dan
laki-laki tidak memiliki kedudukan yang sama. Dalam hal ini, seorang perempuan
memiliki status yang lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki. Keadaan
ini mungkin sama dengan perempuan-perempuan lain pada masyarakat-masyarakat
adat tertentu yang masih berpegangan pada pandangan mereka tentang perempuan,
baik yang dipandang oleh perempuan itu sendiri maupun oleh kelompok masyarakat
itu secara keseluruhan. Namun jika ditilik dengan lebih mendalam, maka akan
terlihat jelas bahwa di dalam hal tertentu, perempuan jelas memiliki peran yang
cukup penting sehingga seharusnya dapat membuat status seorang perempuan tidak
lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini terlihat dari bagaimana seorang
perempuan juga turut berpartisipasi sebagai penerus silsilah keluarga. Namun
memang tidak dapat sangkal juga bahwa hingga saat ini masih banyak juga
perempuan Karo yang tidak menyadari peran mereka sebagai penerus silsilah
keluarga. Berdasarkan hasil kuisioner yang dibagikan kepada 100 orang perempuan
Karo baik di kota maupun di desa, hampir 70% tidak mengetahui apa peran mereka
sebagai penerus silsilah, bahkan ada pula yang mengaku baru mendengar hal
tersebut.
Di dalam budaya Karo, ertutur atau perkenalan dianggap
cukup penting. Bukan hanya sekadar menyebutkan merga atau beru mereka tetapi
juga harus menyebutkan bere-bere, perkempun, binuang, kampah, dan soler (Karo 1996, 43):
-
Merga atau beru adalah identitas utama orang
Karo yang berasal dari merga ayah dan kemudian diturunkan kepada anaknya baik
laki-laki maupun perempuan. Merga ayah menjadi merga untuk anak laki-laki dan
menjadi beru untuk anak perempuan.
-
Bere-bere adalah Beru dari ibu yang menjadi
bere-bere untuk anak laki-laki dan anak perempuan.
-
Perkempun adalah Bere-bere dari ibu menjadi
perkempun untuk anak laki-laki dan anak perempuan.
-
Binuang adalah Bere-bere dari ayah menjadi
binuang untuk anak laki-laki dan anak perempuan.
-
Kampah adalah Bere-bere Nini Bulang (Kakek) dari
ayah menjadi kampah untuk anak laki-laki dan anak perempuan.
-
Soler adalah Bere-bere Nini Bulang (Kakek) dari
ibu menjadi Soler untuk anak laki-laki dan anak perempuan.
Contohnya:
Nama :
Shandy Joan
Marga/Beru :
Barus (berasal dari merga ayah saya)
Bere-bere :
Ginting (berasal dari beru ibu saya)
Perkempun :
Sinulingga (berasal dari beru nenek saya dari pihak ibu)
Binuang :
Tarigan Tua (berasal dari beru nenek saya dari pihak ayah)
Kampah : Ginting Jawak (berasal dari beru
nenek buyut saya dari pihak ayah atau beru dari nenek ayah saya)
Soler : Tarigan (berasal dari beru
nenek buyut saya dari pihak ibu atau beru dari nenek ibu saya).
Nenek Buyut dari pihak ibu
(perempuan)
Nenek Buyut dari pihak ayah
(perempuan)
Nenek dari pihak ayah
(perempuan)
Nenek dari pihak ibu
(perempuan)
Ibu
(perempuan)
Saya
(perempuan)
Jika dianalisis
dan diperhatikan secara seksama, dapat dikatakan bahwa hampir sebagian besar
identitas tersebut berasal dari perempuan.
Hampir seluruh bagian dari istilah petuturken (perkenalan)
ini berasal dari bere-bere yang diwariskan oleh ibu kepada anaknya. Semua yang
digunakan dalam petuturken ini diambil dari beru yang dimiliki oleh perempuan.
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa sebenarnya perempuan juga jelas
menentukan garis silsilah keturunan. Sehingga seharusnya perempuan juga
mendapat status yang sama dengan laki-laki, bukan hanya dipandang sebelah mata
saja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya perempuan juga turut
mewarnai adat dan budaya Karo. Oleh
sebab itu seharusnya perempuan mendapat penghargaan yang layak juga dengan
pengorbanannya maupun dengan fungsinya. Bukan hanya dihargai dengan unjuken
yang tidak seberapa melainkan harus dihargai melangkaui dari nilai ekonomis
unjuken tersebut. Sehingga setidaknya perempuan mendapat status yang sama
dengan laki-laki, bukan selalu disubordinatkan pada posisi yang lebih rendah.
Namun pada kenyataannya perempuan sendiri kerap melemparkan dirinya sendiri ke
dalam pemahaman yang salah seolah dirinya memang dilahirkan sebagai objek dan
pelengkap penderita semata. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis
di Desa Lingga kepada Moria (Persekutuan Kaum Ibu) GBKP Runggun Lingga pada
hari Minggu tanggal 26 Januari 2014 melalui kuisioner seputar perempuan, adat
dan unjuken, hampir 70% dari peserta tidak tahu dan tidak menyadari apa peran
mereka di dalam kehidupan berumahtangga mereka selain menjadi ibu yang merawat
anak dan istri yang melayani suami. Bahkan hampir sebagian besar peserta baru
menyadari bahwa mereka juga turut menjadi penerus silsilah melalui Beru yang
mereka sandang selama ini melalui Bere-bere, Perkempun, Binuang, Kampah, dan
Soler. Bahkan adapula ibu-ibu yang mengaku baru mendengar istilah-istilah
tersebut. Sulit dibayangkan bagaimana jadinya keturunan-keturunan mereka jika
mereka tidak dapat menjelaskan bagaimana silsilah mereka kelak. Padahal sudah
seharusnya mereka mengetahui hal itu. Seharusnya mereka lebih terbuka untuk
membicarakan perannya di dalam adat dan silsilah sehingga mereka mampu melihat
dirinya sebagai bagian kehidupan adat dan menjadi subjek yang bermartabat
sekaligus juga turut menentukan dinamika adat.
Dengan demikin, unjuken seharusnya dapat lebih
memperlihatkan rasa penghormatan akan martabat perempuan di dalam budaya Karo
daripada sekadar menjengkal perempuan itu hanya karena dia adalah seorang
perempuan. Seolah dengan memberikan unjuken, kita seakan menakar harga
perempuan Karo hanya dengan melihat nilai ekonomisnya saja. Padahal dibalik itu
ada hal lain dari diri perempuan Karo yang melangkaui nilai ekonomisnya dan
malah mengedepankan martabatnya sebagai perempuan seutuhnya, yakni perannya
sebagai penerus silsilah yang tersirat di dalam budaya Karo.
Feminisme eksistensialis dipelopori oleh Simone de
Beauvoir. Pemikirannya dipengaruhi filsafat eksistensialisme, khususnya
pemikiran Jean Paul Sartre.
Jean Paul Sartre adalah seorang filsuf eksistensialis
berpendapat bahwa manusia itu bebas. Di dalam bukunya yang berjudul Being and Nothingness, Sartre
menegaskan, bahwa kodrat terdalam manusia adalah kebebasannya (Muzairi 2002, 82). Manusia tidak memiliki
hakikat, yang dimilikinya adalah pilihan. Pilihan tersebut yang nantinya akan
menentukan hakikatnya. Sartre mengungkapkan bahwa eksistensi manusia (pilihan
cara hidupnya) mendahului esensinya (hakikat dirinya yang tidak berubah).
Menurutnya, keputusan bebas adalah bagian dari kodrat alamiah manusia. Dalam
arti ini kebebasan adalah adalah hakikat dari diri manusia yang terus berubah,
seturut dengan pilihan-pilihan yang dibuatnya di dalam kehidupan. Kebebasan
tersebut terkait dengan keberadaan (existence)
orang tertentu. Fokus utama kebebasan adalah ekspresi diri sejati (genuine self expression) dari orang yang
terkait, walaupun ekspresi diri sejati yang dinamis tersebut seringkali berbeda
dengan masyarakat pada umumnya. Mengikuti pemikiran Jean Paul Sartre, penulis juga ingin
mengajukan argumen, bahwa kodrat manusia yang paling dalam adalah kebebasannya
untuk eksis, atau untuk berada sesuai dengan pilihannya. Kodrat melibatkan
hakikat manusia, termasuk kemampuannya untuk membuat keputusan bebas tentang
hidupnya dan bertanggung jawab atas pilihannya tersebut. Menurut Sartre,
manusia ada sebagai dirinya sendiri dengan kesadaran. Dengan demikian maka Ada
tidak dapat dipertukarkan. Hal ini jugalah yang menyebabkan manusia berbeda
dari benda-benda atau hal-hal lain. Dengan kata lain, bagi manusia, eksistensi
adalah keterbukaan, keberadaan, yang berbeda dengan benda-benda lain yaitu Ada
sekaligus merupakan esensi, maka bagi manusia eksistensi mendahului esensi, “Man is nothing else but what he makes of himself. Such is the first
principle of existentialism” (Muzairi 2002, 7).
Inilah asas eksistensialisme.
Teori eksistensialis adalah teori yang memandang suatu hal
dari sudut keberadaan manusia, teori yang mengaji cara manusia berada di dunia
dengan kesadarannya. Sedangkan, feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan
karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan
mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya (Humm 2002, 158). Feminisme berjuang untuk
mendapatkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Jadi, teori feminisme
eksistensialis merupakan kajian yang melihat adanya ketimpangan pengakuan
terhadap perempuan. Keberadaan perempuan adalah objek bagi laki-laki. Perempuan
hanya dianggap sebagai “second sex”
maka tidak bisa mendapat kesamaaan hak seperti halnya laki-laki. Eksistensi
perempuan hanya dinilai dari keterampilannya melakukan pekerjaan domestik dan
mengikuti konstruksi yang ada dimasyarakat terutama mengenai femininitas.
Karena itu, femininitas, menurut de Beauvoir adalah nilai-nilai yang membelenggu
perempuan. Padahal perempuan tidaklah harus feminin untuk menjadi seorang
perempuan karena tidak semua perempuan memiliki kemampuan yang sama terutama
dibidang domestik, ada juga perempuan yang mampu berkiprah di ranah publik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pandangan Sartre, orang
lain merupakan ancaman bagi eksistensi Diri. Liyan selalu dipandang sebagai
ojek pengamatan Diri. Liyan tampil di hadapan diri seolah-oleh di bukanlah
subjek. Padahal Liyan itu juga adalah Diri, dan sebagai subjek dia memasuki
dunia Diri. Munculnya Liyan dalam dunia Diri berarti monopoli Diri atas
dunianya diterjang oleh Liyan. Ibarat sebuah taman yang diciptakan, dibina
dengan segala cita-cita dan keinginan, oleh Diri sebagai dunia milik pribadi
kemudian harus didiami bersama orang lain (Liyan). Dan didalam pandangan de
Beauvoir, dengan memakai istilah sang Diri dan sang Liyan, de Beauvoir
mengemukakan bahwa laki-laki dinamai sang Diri, sedangkan perempuan disebut
sang Liyan. Jika bagi Sartre sang Liyan merupakan ancaman bagi sang Diri, maka
perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Oleh karena itu, jika laki-laki ingin
tetap bebas dan berkemungkinan, ia harus mensubordinasi perempuan.
Perbedaan pandangan terhadap perempuan dan laki-laki
menyebabkan perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki, sehingga
mengundang banyak reaksi dari perempuan. Kenyataannya, perempuan ataupun
laki-laki adalah being, manusia. De
Beauvoir menunjukkan kejanggalan yang diterima oleh perempuan (de Beauvoir 2003, 40). Kaum laki-laki selalu menjadi kaum yang diunggulkan daripada
perempuan. Menentang pendapat Freud yang mengatakan adanya penis envy pada diri perempuan terhadap laki-laki, Beauvoir dengan
jelas mengatakan bahwa perempuan tidak cemburu pada penis, namun lebih merasa
cemburu kepada keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh kaum laki-laki karena
memiliki penis (Putnam Tong 2005, 265). Hal ini dialami seorang
perempuan sejak ia masih kecil dan terus semakin menjadi-jadi ketika ia tumbuh
sebagai perempuan dewasa. Ketika dalam pergaulannya seorang perempuan kemudian
menyadari bahwa teman-teman, pelajaran, dan permainan-permainan, serta apa yang
dibacanya menariknya dari lingkaran maternal. Saat inilah ia melihat bahwa yang
menguasai dunia adalah laki-laki, bukannya perempuan (de Beauvoir 2003, 30). Perempuan menjadi Liyan bukan karena tidak memiliki penis,
tetapi karena tidak memiliki kekuasaan.
Beauvoir membuat spesifikasi peran sosial yang sejalan
dengan mekanisme utama Sartre mengenai Diri (subjek) yang ingin menguasai Liyan (objek). Beauvoir mendefinisikan
tindakan perempuan yang menerima ke-Liyanan mereka sebagai sebuah misteri
feminin yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi di
kalangan perempuan. Ia menyatakan bahwa perempuan menyadari perbedaan tubuhnya
dengan tubuh laki-laki pada usia muda. Sejalan dengan perkembangan tubuhnya,
anak-anak perempuan dipaksa untuk menerima dan menginternalisasi tubuhnya
sebagai Liyan, yang memalukan dan inferior. Ke-Liyanan ini kemudian dilekatkan
dalam lembaga perkawinan, sebagai istri dan ibu.
Dalam pengertiannya, de Beauvoir
menyatakan bahwa perempuan yang feminin sangat menjamin dirinya kepada
ke-superior-an suaminya. “Seorang perempuan yang sudah menikah dan mengikuti
femininitas percaya bahwa tugas mereka terhadap dirinya sendiri, kepada
masyarakat, dan kepada keluarganya adalah mencintai suaminya dan berbahagia” (de Beauvoir 2003, 277).
Bahkan bagi seorang feminin, mendapatkan suami adalah
seni, mempertahankannya adalah suatu pekerjaan dan membutuhkan keahlian tinggi
untuk melakukannya (de Beauvoir 2003, 285). Oleh karena pengertian
inilah seseorang yang feminin selalu melekatkan di dalam hatinya bahwa tugas
atau pekerjaan utama mereka adalah untuk mendapatkan keluarga yang bahagia.
Bagi mereka dirinya bukan berarti apa-apa selain bagian dari suaminya. Selain
itu, feminin identik dengan sikap seorang perempuan yang baik, benar-benar
tulus, mengabdi, setia, murni dan bahagia, dan ia berpikir apa yang layak untuk
dia pikirkan. Dia akan diam saja ketika suaminya yang tidak mengucapkan
terimakasih kepada istrinya yang selalu berada di sampingnya dan merawatnya
ketika suaminya sedang sakit (de Beauvoir 2003, 293). Tuntutan untuk mendampingi
suami, mendiskusikan segala tujuan suaminya, memberikan nasihat, berkolaborasi
dengan pekerjaannya adalah tujuan utama seorang feminin.
Peran sebagai istri seperti itu, menurut Beauvoir
sebenarnya membatasi kebebasan perempuan. Ia meyakini bahwa lembaga perkawinan
merusak hubungan pasangan. Perkawinan mentransformasi perasaan yang tadinya
diberikan secara tulus menjadi kewajiban yang diperoleh dengan cara
menyakitkan, dengan kata lain bentuk perbudakan. Selain menawarkan kenyamanan,
ketenangan, dan keamanan, perkawinan juga mengambil kesempatan perempuan untuk
bisa menjadi hebat. Mengapa demikian? Sebab, begitu perempuan masuk dalam
lembaga perkawinan, maka deretan pekerjaan yang berjudul “melahirkan, mengurus
anak, suami dan rumah tangga” sudah menanti. Umumnya tanpa disadari baik oleh
istri maupun suami, tugas-tugas tersebut akan mengikat badan, hati dan pikiran
perempuan ke rumah sejak ia bangun pagi hingga malam hari. Kadangkala karena
desakan kebutuhan ekonomi, istri juga diperbolehkan untuk bekerja di luar
rumah. Akan tetapi hal ini pun tidak serta merta membebaskannya dari kewajiban
utamanya itu. Malah bebannya semakin bertambah. Seolah semua memang berlangsung
teratur sebagaimana mestinya dan memang beginilah seharusnya kehidupan
berkeluarga yang normal dan alamiah bagi seorang perempuan. Hingga akhirnya
keteraturan itu mencapai titik jenuh. Banyak perempuan yang kemudian merasa
tersiksa dengan pembatasan peran mereka dan banyaknya tugas yang diembankan
kepada mereka.
Ketidaksetaraan dan ketidakbebasan yang dialami perempuan
berlanjut ketika sudah menikah, oleh karena hal tersebut kaum feminis tidak
setuju dengan pernyataan lembaga pernikahan yang menyatakan bahwa suami adalah
pelindung bagi istri. Karena pada dasarnya masih banyak laki-laki hanya
memperlakukan istri sebagai kaum yang lemah yang tidak memiliki pengaruh
apa-apa, dari hal tersebut laki-laki melakukan hal sesuka hati terhadap istri
mereka. Seperti contoh, suami akan dengan bangga menampar istrinya yang berani
menjawab dan mengutarakan isi hatinya secara terus terang. Mereka bangga dengan
arti, mereka merasa bahwa yang mereka lakukan adalah suatu kebenaran, suatu
sikap yang baik untuk mengembalikan sang istri ke jalan yang benar yakni menjadi
seorang perempuan ideal dalam masyarakat. Contoh lainnya ialah, seorang suami
akan dengan mudah menyampaikan kekesalannya terhadap istri dengan ucapan kasar
karena tidak dengan cekatan melayani sang suami ketika waktunya makan. Suami
beralasan bahwa melayani suami adalah suatu kewajiban seorang istri. Bahkan
perempuan tidak memiliki hak atas tubuhnya sendiri. Seperti yang dikutip oleh
De Beauoir dari pendapat masyarakat bahwa Perempuan adalah Rahim (de Beauvoir 2003, v). Laki-laki menganggap bahwa
perempuan itu adalah sebuah “wadah”, hanya sebuah tempat bagi laki-laki untuk
calon bayinya. Hal seperti inilah salah satu yang ditentang oleh kaum feminis.
Michel Foucault, seorang filsuf asal Prancis, berbicara
tentang disiplin tubuh, yang mengupas tentang nilai kuasa seseorang untuk
menguasai orang lain atas tubuhnya. Menurutnya, bahwa dalam setiap masyarakat,
tubuh senatiasa menjadi objek kuasa. Tubuh dimanipulasi, dilatih, dikoreksi,
menjadi patuh, bertanggungjawab, menjadi terampil dan meningkat kekuatannya.
Tubuh senantiasa menjadi sasaran “kuasa” baik dalam artian “anatomi-metafisik”
yakni seperti yang dibuat oleh para dokter dan filsuf, maupun dalam arti
“teknis politis” yang hendak mengontrol, mengatur dan mengoreksi segala
aktivitas tubuh (Foucault 1997, 82-85). Seolah perempuan itu tidak
memiliki kebebasan atas segala aktivitas tubuhnya karena sudah sejak lama
terkontrol dan terikat secara paksa oleh tuntutan masyarakat, tradisi, dan
budaya.
Sistem patriarki mengisyaratkan bahwa keluarga dan rumah
tangga berada dalam kendali laki-laki. Konstruksi masyarakat sudah sangat
melekat dalam masyarakat dan secara gamblang menyimpulkan bahwa laki-laki
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini
salah satunya disebabkan oleh pandangan bahwa perempuan dianggap sebagai
pengasuh dan menjaga anak dan seluruh isi rumah, sedangkan laki-laki pulang
dari pekerjaannya diartikan sebagai pekerjaan yang memiliki nilai lebih baik
dari pekerjaan di rumah. Lama-lama pemilahan ini menimbulkan konstruksi
bagaimana menjadi “perempuan ideal” atau feminin.
Perempuan yang ideal adalah perempuan yang memenuhi
beberapa kondisi seperti berikut ini. Pertama, perempuan harus menyadari bahwa
tempatnya adalah di dalam rumah dengan keluarganya karena tujuan akhir
perempuan adalah merawat suami dan anak-anak. Perempuan akan dikatakan baik
jika berhasil merawat keluarganya dan tidak menelantarkan mereka hanya karena
pekerjaan lain di luar pekerjaan rumah tangga yang dia lakukan. Kedua,
perempuan tidak memiliki hak untuk menentukan keputusan yang sangat penting.
Sering sekali perempuan hanya sebagai pembantu laki-laki untuk memenuhi
keputusan yang sudah diputuskan oleh laki-laki. Ketiga, perempuan ditunjukkan
sebagai orang yang tergantung pada laki-laki dan sangat membutuhkan penerimaan
dan perhatian laki-laki. Hal ini terlihat pada perempuan yang berusaha
mempercantik diri demi dapat menyenangkan laki-laki (de Beauvoir 2003, 97). Keempat adalah keindahan bagi seorang perempuan. Laki-laki
menganggap perempuan hanya sebagai objek seksual dan yang memiliki status yang
lebih rendah dari dirinya. Stereotip ini sangat merusak identitas seorang
perempuan. Dengan memproyeksikan perempuan sebagai “second sex” membuat pemikiran bahwa laki-lakilah yang memiliki
kekuatan untuk menentukan perempuan ideal atau tidak.
Keadaan yang dimiliki perempuan menurut de Beauvoir adalah
keadaan yang dibayangi oleh batasan. Bahkan jika seorang perempuan mampu
membaca, mendengarkan pelajaran, melakukan kemampuan mereka; perempuan tetap
tidak dapat mengutarakan alasan secara masuk akal bukan karena kesalahan mental
ini; pengalamanlah yang belum menggerakkan mereka untuk memberikan alasan kuat.
Perlakuan diskriminasi semakin kuat menguasai kehidupan
perempuan, sehingga banyak dari perempuan yang berusaha untuk menunjukkan diri
mereka dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan yang masyarakat
gariskan terhadap perempuan. Kaum Feminis berusaha untuk menghapus paradigma
masyarakat terhadap diri mereka yang menyatakan bahwa perempuan tidak mampu
menghasilkan sesuatu hal yang berharga. Kaum feminis dalam prakteknya selalu berjuang untuk
memperlihatkan kepada laki-laki bahwa kemampuan dirinya lebih dari kemampuan
laki-laki yang mereka bisa lakukan atau hasilkan. Hanya saja mereka menuntut
kesempatan untuk membuktikannya. Akan tetapi, kebanyakan masyarakat masih
memiliki keyakinan bahwa perempuan tidak mampu ataupun tidak layak untuk
melakukan hal-hal yang laki-laki lakukan.
Akhirnya, perempuan merasa bahwa mereka tidak mampu untuk
menyatakan sudut pandang secara pasti atau membuat sesuatu secara pasti karena
kepercayaan mereka; mengganggap bahwa mereka tidak memiliki nilai intelektual
yang lebih tinggi daripada laki-laki. Sementara laki-laki akan dengan mudah
mendominasi kendati kemampuannya masih di bawah rata-rata perempuan. Laki-laki
yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari perempuan tidak akan pernah
lelah untuk membuktikan kepada perempuan kalau dialah yang paling benar, dan
laki-laki tersebut sama sekali tidak menganggap opini seorang perempuan yang
berada di bawahnya. Sering sekali logika yang dimiliki laki-laki menjadi sangat
susah untuk dibantah karena perempuan susah untuk membuktikan dengan kemampuan
perasaan yang mereka miliki.
Pada
awal 1960-an beberapa teolog perempuan dan mahasiswi teologi di Amerika Serikat
mengembangkan satu jurusan teologi baru yang mereka sebut dengan Teologi
Feminis. Teologi ini dipengaruhi oleh gerakan pembebasan perempuan yang mewabah
ke seluruh dunia, khususnya bagi masyarakat Amerika Utara. Akar dari
aliran Feminisme ini sudah ada sejak awal abad 20, yaitu pada masa sesudah
penghapusan perbudakan dan hak pilih kaum perempuan diakui dan dilegitimasi di
Amerika dalam undang-undang (Grenz and Oslone 1992, 225). Lalu mulai ada beberapa
penulis perempuan mengembangkan dan memperluas pengaruh gerakan feminisme ini
ke dalam suatu karya tulis.
Mereka menyoroti pengaruh kecenderungan
patriarkat yang menurut mereka begitu dominan ada di dalam Alkitab dan juga
dalam penafsiran tradisi gereja secara socio-kultural, terutama dalam konsep
perihal Allah Tritunggal.
Tokoh-tokoh
utama dalam gerakan teologi Feminis antara lain, Elizabeth Schüssler Fiorenza
dengan karyanya In Memory of Her: A Feminist Reconstruction of Christian Origins
1983, Mary Daly dengan karyanya The Church and the Second Sex (1968) dan Beyond God
the Father (1973), Letty M. Russell dengan karyanya Human Liberation in
a Feminist Perspective Theology dan Feminist Interpretation of
the Bible (1985), Rosemary Radford Ruether dengan karyanya Sexism and
God-Talk: Toward a Feminist Theology, Women-Church: Theology and Practice
(1985),Virginia Ramey Mollenkott dengan karyanya The Divine Feminine:
The Biblical Imagery of God as Female, Michael
Amaladoss dalam Life in Freedom: Liberation Theologies From Asia (1997), Choan-Seng
Song dalam The Tearts of Laddy Meng: A Parable of Peoples Political
Theology (1981), dan lain-lain.
Kaum
Feminis mengembangkan tiga langkah dalam berteologi feminis. Pertama, dimulai
dengan kritik terhadap peristiwa masa lampau, terutama terhadap tradisi gereja
dan budaya yang cenderung bernuansa patriarkat. Kritik tersebut dimaksudkan sebagai semacam
penyembuhan atas ingatan akan adanya bahaya penindasan yang dialami
kaum perempuan pada masa lampau yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Kedua, mencari
alasan, istilah dan alternatif lain untuk mendukung gerakan yang disesuaikan
dengan keinginan mereka, terutama dari Kitab Suci, dan juga dari luar
Alkitab. Ketiga, mereka mengembangkan metode teologi untuk merevisi
doktrin yang tidak sesuai dengan lingkup dunia perempuan. Seperti yang dituliskan Rosemary
Radford Ruether dalam
karyanya Sexism and God-Talk: Toward a
Feminist Theology tentang
karya penyelamatan Kristus yang berlaku bagi setiap orang tanpa terkecuali termasuk
perempuan.
Munculnya
pandangan bahwa perempuan bukanlah gambaran Allah sehingga perempuan dilarang
untuk menjadi pemimpin, penghotbah dan pengajar dalam ibadah pelayanan gereja
turut mempengaruhi pandangan banyak orang terhadap perempuan. Bapa-bapa
gereja juga turut terpengaruh dengan perkataan Paulus di 1 Korintus
14:34-35 dan 1 Timotius
2:12-1 yang melarang perempuan untuk berbicara dan
mengajar dalam pertemuan-pertemuan jemaat. Sehingga membuat perempuan
hampir-hampir tidak mempunyai peran dalam gereja dan perempuan dianggap dibawah
dominasi laki-laki hingga berlanjut sampai abad-abad berikutnya.
Para
teolog feminis memberikan kritik terhadap tradisi gereja terutama kritik
terhadap pandangan para Bapa Gereja. Sebagai contoh, Rosemary Radford Ruether,
mengkritik para Bapa gereja dan ahli filsafat seperti Origenes, Agustinus, Socrates,
Plato, dan lain-lain, yang menurutnya hanya menghargai keberadaan kaum
laki-laki sebagai “the Image of God” sedangkan perempuan bukan ”the Image of
God”. Sementara Thomas Aquinas dinilai hanya menghargai perempuan sebagai
seorang laki-laki yang dilupakan. Menurut beberapa teolog feminis,
meski demikian, para
Bapa reformasi tidak berusaha mengubah status perempuan di dalam
gereja, bahkan Karl Barth pun mengatakan perempuan di dalam
perjanjian dengan Allah menduduki tempat nomor dua. (Radford Ruether 1983, 193-194) Sementara
itu, Tertulianus menyebut perempuan sebagai “gerbang iblis”. Terakhir Agustinus
berpendapat bahwa hanya laki-laki sendirilah yang merupakan citra Allah, sementara
seorang perempuan adalah citra Allah hanya jika dia bersama dengan
suaminya. (Clifford
2002, 19-52)
Pendapat
di atas menurut Marie Claire Barth-Frommel cukup hidup dalam masyarakat, seperti
terjadi di Asia. Sebagai seorang teolog perempuan yang menganalisis dan mengembangkan wawasannya tentang teologi feminis
di Asia, dia menulis pendapatnya demikian: ”Dominasi kaum laki-laki atas kaum
perempuan pada umumnya dibenarkan
oleh paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki-laki
adalah kuat, pemberani, rasional, produktif, menghasilkan kekayaan, menciptakan
budaya, sanggup membuat perencanaan. Sedangkan kodrat perempuan adalah lemah
lembut, penakut, perasa, reproduktif, suka memelihara apa yang ada dan
meneruskan ketrampilan lama, biasa melayani dan suka dipimpin.” (Barth-Frommel 2003, 3-4)
Pandangan yang merendahkan perempuan bukan hanya ada di
luar kekristenan. Di dalam gereja sendiri, sering kali perempuan dipandang
sebagai harta milik, objek, polusi yang membahayakan, dan yang paling keras
adalah, perempuan dinilai tidak mampu menjadi gambar Allah sehingga mereka
dilarang untuk menjadi pemimpin, pengkhotbah dan pengajar dalam ibadah maupun
pelayan di gereja. Teologi feminis berusaha memperbaharui teologi, gereja dan
masyarakat. Mereka menafsirkan kembali secara kritis sumber iman Kristen, yaitu
Alkitab dengan tujuan berteologi dalam kategori yang lain selain patriarkat. Teolog-teolog
feminis memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan doktrin
gereja. Salah satunya adalah Rosemary Radford
Reuther yang memahami bahwa Kristus dapat menyelamatkan baik laki-laki
maupun perempuan. (Radford Reuther
1983, 116)
Baik De
Beauvoir maupun Rosemary Radford
Reuther dan teolog feminis
lainnya ingin menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa cara penilaian
terhadap manusia sangat tidak masuk akal jika hanya menilainya dari gender.
Akan menjadi sebuah keadilan jika menilai sesuatu hal itu sesuai dengan
eksistensinya (keberadaannya), artinya keberadaannya ketika melakukan sesuatu
hal ataupun kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu hal. Demikian juga
halnya bagi perempuan Karo yang akan lebih baik jika tidak harus dijengkal dan
ditakar harganya hanya karena dia adalah seorang perempuan. Melainkan
seharusnya memperhitungkan eksistensi perempuan itu yang sebenarnya dan
martabat yang melangkaui harga dan nilai yang diberikan oleh masyarakat melalui
proses unjuken. Tidak hanya
itu, perempuan Karo hendaknya juga diberi ruang dan kesempatan yang lebih luas
untuk berkecimpung di dalam gereja dan melayani tanpa batasan-batasan tertentu
yang kerap kali ditetapkan oleh gereja hanya karena dia adalah seorang
perempuan. Jika Allah saja mau memberi tempat dan posisi yang sama kepada
laki-laki dan perempuan, masakah kita tidak mau melakukan hal yang sama kepada
sesama kita?
Bab III
ini merupakan analisis feminis yang digunakan oleh penulis sebagai pisau bedah
dalam mengkaji permasalahan yang telah dikemukan oleh penulis. Dengan demikian,
pada bab berikutnya kita akan diantarkan untuk masuk ke dalam bagian akhir dari
tulisan ini yang merupakan sebuah kesimpulan dari apa yang telah ditulis oleh
penulis pada bab-bab sebelumnya.
Penutup
Penempatan perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan
merupakan akibat dari streotipe ideologi patriaki terhadap perempuan. Ideologi
ini menempelkan label pada perempuan, tidak saja pada aspek psikologis, tetapi
juga pada aspek teknis. Perempuan dianggap sebagai makhuk yang lemah, lembut,
dan cengeng sehingga harus dilindungi. Pelabelan ini membuat perempuan tidak
mampu memimpin karena pemimpin membutuhkan karakter yang kuat, tegas, dan
rasional, dan memiliki kemampuan teknis yang handal. Dalam konteks keluarga,
perempun ditetapkan sebagai pihak yang dipimpin, sedangkan laki-laki adalah
pemimpin. Akibatnya, perempuan tidak memiliki hak untuk memutuskan sesuatu
dalam keluarga. Sehingga mau tidak mau, perempuan harus bersandar sepenuhnya
kepada laki-laki karena ia tidak diijinkan bergantung pada dirinya sendiri.
Ulasan yang dikedepankan oleh penulis ini menggambarkan
upaya beberapa perempuan dalam memperluas ruang geraknya dan memberi makna yang
berbeda pada perkawinan mereka, khususnya perempuan dalam budaya Karo. Budaya
Karo pada dasarnya masih melihat perempuan dalam ambivalensi. Pada satu sisi,
perempuan mendapatkan penghargaan, namun di sisi lain, perempuan juga masih tetap
mengalami diskriminasi. Penggalian filosofi dan mitologi Karo tentang perempuan
di dalam adat Karo telah menunjukkan bahwa perempuan Karo memang cukup memiliki
posisi yang penting di dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Di dalam
budaya Karo, perempuan seolah ditakar harganya melalui budaya unjuken, namun di
sisi lain, budaya Karo secara tidak langsung juga mengangkat tinggi martabat
perempuan dengan menjadikanya sebagai penerus silsilah yang tersirat. Meski
demikian tetap tidak dapat dipungkiri bahwa patriakalisme dalam budaya Karo
masih menyebabkan diskriminasi terhadap perempuan Karo baik secara
terang-terangan maupun secara tertutup. Untuk menciptakan keadilan bagi perempuan
Karo dalam kehidupan perkawinan, maka seharusnya sejak awal pernikahan ia harus
mengalami pembebasan.
Melalui tulisan ini penulis ingin menguak perihal
eksistensi perempuan yang seringkali dibatasi dan dijengkali. Oleh karena itu,
pada Bab I, penulis sudah menjelaskan tentang bagaimana eksistensi perempuan
Karo dalam konteks adat dan budaya Karo, yakni mengenai adat ertutur
(perkenalan) dan budaya unjuken, yakni suatu konsep mas kawin yang diberlakukan
kepada perempuan dalam budaya Karo. Konsep unjuken di dalam budaya Karo ini
tidak jarang seolah memberi kesan bahwa perempuan seperti mendapat nilai
tertentu dan bahkan ditakar harganya.
Pada bab I ini juga penulis juga membahas mengenai
bagaimana eksistensi perempuan Karo dalam agama Pemena yang dulu mendapat peran
yang cukup penting dalam membantu masyarakat Karo untuk berhubungan dengan
Tuhan mereka. Kendati di satu sisi perempuan sebagai Si Baso dalam praktik
agama Pemena yang mampu menghubungkan orang-orang yang masih hidup dengan
orang-orang yang sudah meninggal ( begu)
dan dinilai negatif, namun di sisi lain, perempuan sebagai Si Baso juga mempunyai
peran positif yang dapat membantu masyarakat, yakni perannya sebagai mediator,
dukun penyembuh, dan lain-lain. Selain melihat eksistensi perempuan Karo
sebagai Si Baso, pada bab ini penulis juga mengedepankan mengenai eksistensi
perempuan yang sudah menikah maupun yang belum menikah, yakni sebagai ibu
maupun sebagai anak perempuan di dalam budaya Karo yang masih harus hidup
dengan ter(di)kekang oleh berbagai aturan adat yang diberlakukan bagi mereka.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam banyak hal, secara
langsung maupun tidak langsung, gereja terkadang justru ikut melestarikan
budaya patriarki, baik secara institusional, misalnya melalui pernikahan,
baptisan, atau penetapan jabatangerejawi, maupun secara struktural, misalnya
dalam pembentukan pelayanan gerejawi dan keterlibatan perempuan dalam lingkup
lokal, klasikal, sinodal, regional, sampai nasional. Oleh karena itu, pada Bab
II, penulis memaparkan tentang bagaimana eksistensi perempuan dalam GBKP.
Tujuan penulis untuk memaparkan hal ini adalah agar kita dapat melihat sejauh
mana perempuan dapat berperan aktif di dalam gereja dan bagaimana sikap dari GBKP
yang sudah dapat menerima perempuan sebagai pemimpin gereja meski masih ada
hambatan yang menghalangi mereka untuk berkarya dengan bebas. Pada bab ini
penulis juga memaparkan tentang hal-hal apa saja yang dapat menjadi peluang dan
tantangan yang diterima oleh Moria (Kaum Ibu) di dalam kehidupannya bergereja
maupun dalam kehidupan perkawinannya. Sebagai seorang ibu, tentu tidak mudah
bagi perempuan untuk dapat berkarya sekaligus mengurus keluarga. Moria tidak
harus terus menerus hidup dalam kungkungan urusan rumah tangga, tetapi juga
seharusnya dapat melakukan pekerjaan luar biasa lainnya di berbagai aspek
kehidupan. Sebab peranan perempuan tidak hanya bersifat domestik, tetapi juga
di gereja, masyarakat dan dunia. Hal inilah yang hendak diperjuangkan oleh
perempuanKaro demi mempertahankan eksistensinya sekaligus tidak menomorduakan
keluarganya.
Pada Bab III, penulis berusaha untuk menganalisis
bagaimana perihal eksistensi perempuan. Penulis berusaha untuk menganalisa
persoalan pelik tentang perempuan Karo ini dengan menggunakan sudut pandang
teologis, budaya Karo, dan juga feminisme eksistensialis.
Pada bab III kita dapat melihat bagaimana Alkitab
memberikan gambaran yang terang dan jelas mengenai posisi perempuan baik, mulai
dari rancang penciptaan hingga sejarah penebusan Allah bagi manusia melalui
Yesus Kristus. Perempuan sering disebut sebagai sumber dosa. Padahal perempuan
hanyalah diperalat oleh Iblis untuk menjalankan misinya dan menjadikan manusia
jatuh ke dalam dosa. Dengan demikian, bukankah akan lebih baik jika kita
menyebut perempuan bukan sebagai sumber dosa melainkan sebagai saksi pertama
dari dosa. Namun di sisi lain, perempuan seringkali mendapat kesempatan yang
istimewa untuk menyaksikan hal-hal yang istimewa pula. Selain menjadi saksi
pertama dari dosa, perempuan juga menjadi saksi pertama atas kehidupan melalui
kelahiran anak-anaknya. Bukankah itu sebuah berkat dan anugrah yang istimewa?
Bahkan saat kebangkitan Yesus pun perempuan adalah orang pertama yang menjadi
saksi kebangkitanNya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sesungguhnya perempuan
diciptakan seharkat dan semartabat dengan laki-laki. Baik laki-laki maupun
perempuan diberikan panggilan dan peran yang sama-sama penting di hadapan
Allah. Dan oleh karya Yesus Kristus, baik laki-laki maupun perempuan dihargai
dan difungsikan eksistensi mereka. Meskipun laki-laki maupun perempuan
mempunyai kelemahan dan keterbatasan masing-masing, tetapi Yesus Kristus telah
menjadikan mereka semua sebagai saksi-nya, sebagai murid-nya, dan sebagai
pemberita Injil Kristus. Maka dalam misi Kristiani di manapun dan kapanpun,
kaum laki-laki dan perempuan Kristen harus terus membangun kerjasama yang
saling mengisi, saling menguatkan dan saling mendukung. Sehingga tidak
sepantasnya ada sikap yang menempatkan kaum perempuan seolah sebagai kelompok
masyarakat kelas dua, atau menjadikan kaum laki-laki seolah sebagai superior.
Namun tidak jauh berbeda dengan tradisi Yahudi yang
menomorduakan perempuan, di dalam budaya Karo juga terjadi hal yang sama. Namun
di dalam budaya Karo, tradisi Karo juga masih memandang perempuan seperti
sebuah koin yang memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, perempuan seolah
ditakar harganya melalui praktik unjuken dan tidak memiliki fungsijabatan adat
dalam runggu. Namun di sisi lain perempuan tetap berharga karena sesungguhnya
mereka adalah penerus silsilah yang tersirat.
Demikian juga halnya dengan feminisme eksitensialis yang
menganalisis bagaimana ketidakadilan terjadi terhadap keberadaan (eksistensi)
perempuan. Teori feminis eksistensialis ini merupakan kajian yang melihat bahwa
ada ketimpangan pengakuan terhadap perempuan. Keberadaan perempuan hanya
dianggap sebagai objek yang menyebabkan perempuan tidak memiliki hak yang sama
dengan laki-laki. Sehingga memberi kesan negatif, yakni perempuan bukanlah
apa-apa selain bagian dari laki-laki. Seolah eksistensi perempuan tidak pernah
ada tanpa laki-laki. Sehingga dengan meminjam istilah dari bahasa Karo yang
mengataan “Ikut la atan, sirang la ngasup” (Kalau ikut, tidak mampu. Kalau
berpisah, tidak sanggup), perempuan digambarkan sebagai sesosok makhluk yang
lemah yang bahkan ekistensinya pun dipertanyakan.
Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa sebelum datangnya agama, adat adalah agama. Sehingga hal-hal yang
merupakan hukum adat adalah sesuatu yang harus dilaksanakan tanpa pengecualiaan.
Namun penulis berharap dengan adanya tulisan seperti yang diungkapkan oleh
penulis, budaya Karo dan GBKP dapat mempertimbangkan kembali mengenai peran dan
kedudukan perempuan Karo itu sendiri di dalam kehidupan bergereja maupun dalam
praktek adat. Harapan penulis terhadap GBKP adalah agar GBKP sebagai tempat
terdekat bagi perempuan Karo untuk bernaung juga memberi kesempatan bagi
perempuan untuk dapat memenuhi panggilan Allah dalam kehidupan mereka. Untuk
itu, GBKP ditantang untuk membina, memperlengkapi, serta memberdayakan kaum
perempuan di dalam pelayanan gereja sehingga tidak ada lagi keterkekangan bagi
perempuan Karo untuk dapat menunjukkan eksistensi dirinya sebagai perempuan
yang seutuhnya. Sehingga dengan demikian tidak akan ada lagi celah bagi
siapapun untuk menjengkal perempuan dan menakar harganya karena perempuan jauh
lebih berharga melangkaui harga yang telah ditetapkan masyarkat pada dirinya.
1.
Kepada GBKP
Pergumulan masyarakat juga adalah pergumulan gereja.
Gereja hadir di tengah masyarakat sebagai alat Allah untuk bersama-sama dengan
masyarakat untuk menjawab setiap pergumulan. Beberapa saran yang dapat
ditawarkan kepada GBKP antara lain:
-
Gereja harus mengadakan pembinaan berkesetaraan
gender kepada seluruh warga jemaat GBKP terkait dengan perempuan
-
Gereja harus membuka peluang bagi perempuan GBKP
untuk dapat beraktualisasi di tengah-tengah gereja melalui pelayanannya di
dalam GBKP.
-
Penempatan Pendeta tidak didasarkan pada jenis
kelamin perempuan atau laki-laki, tetapi didasarkan pada potensi dan
kemampuannya.
-
Harus diadakan pertemuan dan pembinaan kepada
suami/istri pendeta agar dapat mendukung pelayanan suami/istrinya sebagai
pendeta.
-
Harus diadakan pertemuan dan pembinaan kepada
suami/istri penatua dan diaken agar dapat mendukung pelayanan suami/istrinya sebagai
penatua dan diaken.
-
Memperhatikan muatan khotbah yang akan
disampaikan kepada jemaat. Jangan sampai khotbah dari pendeta justru menjadi
sarana untuk menjatuhkan perempuan karena khotbah yang menyerang gender
tertentu.
-
Perempuan tidak hanya dijadikan sebagai bagian
dari seksi konsumsi ketika rapat, melainkan perempuan juga harus diberi
kesempatan yang sama dengan laki-laki, yakni mengikuti rapat dan juga diberi
kesempatan untuk mengambil keputusan.
-
GBKP diharapkan dapat berusaha mencari
alternatif lain dalam proses unjuken sehingga tidak memberi kesan seolah
perempuan Karo itu memang dijengkali dengan cara ditakar harganya melalui
proses unjuken.
-
Mengupayakan secara optimal penyuluhan tentang
kesetaraan perempuan dan laki-laki di dalam rumah tangga lewat pengajaran
ketekisasi pernikahan pada saat pra pernikahan. Sehingga mengurangi tingkat
kekerasan di dalam rumah tangga dan juga perceraian di dalam GBKP.
2.
Kepada Pengurus Moria GBKP
Beberapa saran
yang dapat diberikan kepada pengurus Moria GBKP antara lain:
-
Komisi perempuan (Pengurus Moria GBKP) dapat
memfasilitasi pertemuan khusus pendeta perempuan dalam rangka terbentuknya
persaudaraan dan rasa saling memiliki dikalangan pendeta perempuan.
-
Komisi perempuan (Pengurus Moria GBKP) dapat
memfasilitasi pertemuan khusus penatua dan diaken perempuan dalam rangka
terbentuknya persaudaraan dan rasa saling memiliki dikalangan penatua dan
diaken perempuan.
-
Memberikan pelatihan kepada perempuan, khususnya
perempuan yang masih berada di pedesaan dan belum mengenal arti kesetaraan.
-
Memasukkan beberapa poin pengajaran tentang
kesetaraan perempuan dan eksistensi perempuan di dalam buku-buku PA Moria dan
Permata.
3.
Kepada Perempuan Karo
Jika ingin dihargai oleh orang lain, maka penghargaan itu
haruslah pertama-tama datangnya dari diri perempuan itu sendiri. Apabila
perempuan sendiri tidak dapat menghargai dirinya, tidak menyadari kemampuannya,
bahkan tidak merasa jika ia juga memiliki martabat yang sama dengan laki-laki,
maka sampai kapanpun harkat dan martabatnya tidak akan pernah dianggap ada oleh
orang lain. Beberapa hal yang dapat diberikan kepada perempuan Karo antara
lain:
-
Perempuan Karo harus lebih menyadari potensi
yang ia miliki
-
Perempuan Karo harus menyadari bahwa mereka juga
memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai hal
-
Perempuan Karo harus mau membuka diri untuk
setiap kesempatan yang ditawarkan kepadanya
-
Perempuan Karo harus dapat membuktikan
eksitensinya dengan tidak berdiam diri saja, melainkan harus berkarya.
Arikokena. 2012. http://arikokena.blogspot.com/2012/05/pemena-dan-senata-dharma-tali.html (diakses 25 Maret 2014).
Blocher, Henri. 1997. Original
sin: Illuminating the riddle. United Kingdom: APOLLOS.
Clifford, Anne M. 2002. Memperkenalkan teologi feminis. Maumere: Ledalero.
GBKP. 2013. GBKP Online. http://www.gbkp.or.id/index.php/114-gbkp/headline-news/183-data-penempatan-personalia-gbkp-terbaru (diakses 23 Maret 2014).
Wawancara dengan Komisi Perempuan GBKP:
1.
Bagaimana
sejarah pendeta perempuan di GBKP?
2.
Apa
peran perempuan dalam GBKP?
3.
Apa
peran perempuan dalam adat Karo?
4.
Bagaimana
peran dan posisi perempuan Karo dalam pernikahan terkait dengan Moria?
5.
Apa
saja pergumulan GBKP dalam mewujudkan keadilan bagi perempuan Karo? Apa jalan keluar yang dapat ditawarkan?
6.
Bagaimana
pandangan pendeta pengurus Moria GBKP tentang unjuken?
7.
Apakah
ada data dari Moderamen GBKP tentang peran perempuan sebagai pemimpin dari
tingkat sinode hingga jemaat? Bagaimana presentase pejabat gereja perempuan bila
dibandingkan dengan laki-laki?
8.
Apa
pengaruh kekristenan terhadap perempuan Karo?
9.
Bagaimana
pandangan GBKP dan Komisi Perempuan Moria terhadap budaya patriakal yang
dipahami dan dianut oleh orang Karo?
10.
Bagaimana
peran GBKP dalam mewujudkan kesetaraan gender?
11.
Apakah
bahan katekisasi pernikahan di GBKP sudah menekankan perihal kesetaraan gender?
Apa manfaat dan kerugiannya bagi perempuan?
A.
Silahkan
lingkari salah satu jawaban dari pertanyaan berikut:
1.
Usia saat ini:
a.
17-22 tahun (Belum Menikah) c. 41-55 tahun (Keluarga Mapan)
b.
23-40 tahun (Keluarga Muda) d. 56-70 tahun (Keluarga
Lanjut)
2.
Pendidikan terakhir:
a.
Tidak sekolah c.
SMA/SMK/STM
b.
SD - SMP d. Kuliah (D3/S1/S2)
3.
Pekerjaan:
a.
Wira swasta/ Karyawan swasta c. Tidak bekerja
b.
PNS atau Profesional (Dokter,
Pengacara,dll) d. Lain-lain (Petani/Buruh/Ibu
rumah
tangga/pelajar)
4.
Bagaimana pendapat Anda bila
anak perempuan Karo tampil dengan rok mini?
a.
Biasa saja c. Tidak
setuju
b.
Setuju d. Tidak peduli
5.
Apa yang Anda ketahui tentang
posisi perempuan Karo di dalam keluarga terkait dengan hak anak perempuan yang
berbeda dengan hak anak laki-laki?
a.
Hak waris anak perempuan dalam
keluarga tidak ada, sementara anak laki-laki memiliki hak waris
b.
Anak perempuan tidak berhak
untuk mengemukakan pendapat
c.
Jawaban A dan B adalah benar
d.
Tidak tahu
6.
Apakah ada
aturan/larangan/tradisi yang Anda ketahui pernah/masih diberlakukan bagi
perempuan Karo? (misalnya dulu ada budaya yang mengharuskan anak perempuan
untuk mengenakan sarung ketika berada di rumah)
a.
Ada c. Tidak tahu
b.
Tidak ada d. Ragu-ragu
7.
Menurut Anda, apakah yang
menjadi tugas atau tanggung jawab seorang perempuan yang belum menikah bagi
keluarganya?
a.
Membantu pekerjaan domestik
Ibunya c. Jawaban A dan B adalah benar
b.
Menjaga nama baik keluarga d. Tidak ada karena dia belum
menikah
8.
Apakah sejauh ini Anda cukup
merasa adil terhadap segala bentuk perlakuan yang diberlakukan terhadap
perempuan Karo yang belum menikah?
a.
Ya c. Tidak peduli
b.
Tidak d. Tidak tahu
9.
Menurut Anda, apakah yang
menjadi tugas/ kewajiban seorang perempuan yang sudah menikah bagi keluarganya?
a.
Melayani suaminya, anak-anaknya,
dan keluarganya
b.
Penerus silsilah keluarga
c.
Jawaban A dan B benar
d.
Tidak tahu
10. Menurut
Anda, apakah yang menjadi hak seorang perempuan Karo yang sudah menikah di
dalam keluarganya?
a.
Hak mengemukakan pendapat di
dalam rumah tangga
b.
Tidak ada. Perempuan yang sudah
menikah masih tetap tidak punya hak di dalam keluarga sama seperti perempuan
yang belum menikah
c.
Hak mendapatkan warisan
d.
Tidak tahu
11. Menurut
Anda, apakah perempuan yang sudah menikah masih boleh bekerja di luar rumah?
a.
Ya, boleh bekerja c.
Tergantung suami
b.
Tidak boleh bekerja d. Harus
bekerja
12. Bolehkah
seorang suami juga mengerjakan pekerjaan domestik seperti yang dikerjakan oleh
istrinya?
a.
Tidak boleh karena tidak pantas c. Sah-sah saja
b.
Tidak dibenarkan oleh
adat/budaya d.
Jawaban A dan B adalah benar
13. Apakah
sejauh ini Anda cukup merasa adil terhadap segala bentuk perlakuan yang diberlakukan
terhadap perempuan Karo yang sudah menikah?
a.
Ya c. Tidak peduli
b.
Tidak d. Tidak tahu
14. Bagi
Anda yang sudah menikah, apakah selama ini Anda sudah merasa cukup dihargai
oleh suami dan anak Anda di dalam keluarga?
a.
Sudah c. Hal itu bukan kewajiban
mereka
b.
Belum d. Tidak peduli
15. Bagi
Anda yang sudah menikah, apakah selama ini Anda pernah menerima kekerasan di
dalam rumah tangga?
a.
Pernah c. Kadang-kadang
b.
Tidak pernah d. Sering
16. Kekerasan
di dalam rumah tangga yang Anda pahami adalah:
a.
Suami berlaku kasar kepada istri
(misalnya memukul, meninju, menendang, dsb)
b.
Suami berkata-kata kasar kepada
istri
c.
Suami melecehkan dan merendahkan
istri
d.
Semuanya benar
17. Menurut
Anda, apakah perempuan yang sudah menikah berhak untuk memiliki suatu
kebebasan?
a.
Tidak, karena sudah memiliki
suami dan anak-anak
b.
Ya, karena kodrat paling dasar
dari diri manusia adalah suatu kebebasan
c.
Tergantung keluarga dan
suaminya, apakah mereka memberikan kebebasan kepada perempuan Karo itu atau
tidak
d.
Bebas atau tidak, terserah
perempuan itu sendiri
18. Apakah
yang Anda ketahui tentang Unjuken yang
diberlakukan oleh adat Karo bagi perempuan?
a.
Mahar c. Biaya pesta
b.
Biaya hidup d. Tidak tahu
19. Bagaimanakah
pandangan Anda tentang Unjuken?
a.
Harus tetap dijalankan c. Hanya sebuah tradisi
b.
Harus dihapuskan d. Tidak tahu
20. Apa
dampak Unjuken terhadap perempuan
Karo yang belum menikah?
a.
Memberi pemasukan bagi
keluarganya
b.
Tidak berdampak sama sekali
c.
Hanya sebagai mas kawin
d.
Tidak tahu
21. Apa
dampak Unjuken terhadap perempuan
Karo yang sudah menikah?
a.
Memudahkan suami berlaku kasar
bagi istri
b.
Tidak berdampak sama sekali
c.
Sebagai penanda dia sudah dibeli
oleh suaminya
d.
Tidak tahu
22. Menurut
Anda adakah peran perempuan di dalam budaya?
a.
Tidak ada c. Tidak peduli
b.
Ada d. Tidak tahu
23. Menurut
Anda, apakah GBKP sudah memperhatikan perempuan Karo (Moria dan Permata)?
a.
Sudah c. GBKP kurang memperhatikan
b.
Belum d. Tidak tahu
24. Apa
yang dimaksud dengan Merga atau beru?
a.
Merga Ayah menjadi merga untuk
anak laki-laki dan menjadi beru untuk anak perempuan
b.
Beru Ibu menjadi merga untuk
anak laki-laki dan menjadi beru untuk anak perempuan
c.
Bere-bere Ibu menjadi merga untuk anak laki-laki dan menjadi beru
untuk anak perempuan
d.
Bere-bere Ayah menjadi merga
untuk anak laki-laki dan menjadi beru untuk anak perempuan
25. Apa
yang dimaksud dengan Bere-bere?
a.
Merga Ayah menjadi bere-bere
untuk anak laki-laki dan anak perempuan
b.
Beru Ibu menjadi bere-bere untuk
anak laki-laki dan anak perempuan
c.
Bere-bere Ibu menjadi bere-bere untuk anak laki-laki dan anak
perempuan
d.
Bere-bere Ayah menjadi bere-bere
untuk anak laki-laki dan anak perempuan
26. Apa
yang dimaksud dengan perkempun?
a.
Bere-bere Ayah menjadi perkempun
untuk anak laki-laki dan anak perempuan
b.
Bere-bere Ibu menjadi perkempun
untuk anak laki-laki dan anak perempuan
c.
Bere-bere Nini Bulang (Kakek)
dari Ayah menjadi perkempun untuk anak laki-laki dan anak perempuan
d.
Bere-bere Nini Bulang (Kakek)
dari Ibu menjadi perkempun untuk anak laki-laki dan anak perempuan
27. Apa
yang dimaksud dengan binuang?
a.
Bere-bere Ayah menjadi binuang
untuk anak laki-laki dan anak perempuan
b.
Bere-bere Ibu menjadi binuang
untuk anak laki-laki dan anak perempuan
c.
Bere-bere Nini Bulang (Kakek)
dari Ayah menjadi binuang untuk anak laki-laki dan anak perempuan
d.
Bere-bere Nini Bulang (Kakek)
dari Ibu menjadi binuang untuk anak laki-laki dan anak perempuan
28. Apa
yang dimaksud dengan kampah?
a.
Bere-bere Ayah menjadi kampah
untuk anak laki-laki dan anak perempuan
b.
Bere-bere Ibu menjadi kampah
untuk anak laki-laki dan anak perempuan
c.
Bere-bere Nini Bulang (Kakek)
dari Ayah menjadi kampah untuk anak laki-laki dan anak perempuan
d.
Bere-bere Nini Bulang (Kakek)
dari Ibu menjadi kampah untuk anak laki-laki dan anak perempuan
29. Apa
yang dimaksud dengan Soler?
a.
Bere-bere Ayah menjadi Soler
untuk anak laki-laki dan anak perempuan
b.
Bere-bere Ibu menjadi Soler untuk
anak laki-laki dan anak perempuan
c.
Bere-bere Nini Bulang (Kakek)
dari Ayah menjadi Soler untuk anak laki-laki dan anak perempuan
d.
Bere-bere Nini Bulang (Kakek)
dari Ibu menjadi Soler untuk anak laki-laki dan anak perempuan
B.
Essay
30. Apa
yang ingin Anda kemukakan, katakan atau ajukan sebagai saran atau kritik jika
Anda diberi kesempatan untuk berbicara terkait Unjuken?
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
31. Bagaimana
Anda menghargai diri Anda sendiri selaku perempuan Karo yang bermartabat?
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
32. Utarakan
pandangan Anda terkait istilah “Ndehara Singukat Nakan”
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
33. Ceritakan
sedikit tentang diri Anda baik sebagai anak perempuan di dalam keluarga, ibu
bagi anak-anak Anda, istri bagi suami, dan peran Anda di dalam kehidupan
bergereja di GBKP.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Lampiran III
Daftar Responden
Daftar Responden
Tidak ada komentar:
Posting Komentar