Rabu, 20 Maret 2013

Kekristenan di Semenanjung Korea (Sebuah Kekristenan yang Khas)


Kekristenan di Semenanjung Korea
(Sebuah Kekristenan yang Khas)

Prawacana
            Korea Selatan merupakan salah satu negri yang namanya sedang mencuat di dunia global, baik dalam kancah politik, ekonomi, otomotif, telekomunikasi, dan entertaiment. Bukan hanya dalam kelima ranah itu saja Korea Selatan mencuat, tetapi juga dalam hal dunia keagamaan Korea Selatan menjadi sorotan orang-orang Kristen di seluruh dunia. Hampair setiap orang mengetahui tentang perkembangan dan kebudayaan yang ada di Korea. Kita dapat melihat di jalanan, bagaimana jalanan kita dihiasi dengan produk otomotif Korea. Kita juga dapat melihat pada tangan-tangan orang di manapun, mereka menggunakan gadget-gadget produk Korea. Bukan hanya itu, hampir setiap panggung-panggung hiburan diisi dan dihiasi oleh artis-artis dari Korea, bahkan artis-artis non-Korea mengikuti gaya bermusik dan band Korea. Bukan hanya di ranah profan, dalam ranah gerejawi Korea juga turut mewarnai atau menjadi pusat contoh bagi gereja-gereja. Korea yang dahulu bukan apa-apa, kini telah menjadi pusat sorotan dunia dan hampir semua orang tertarik dengan Korea. Sepertinya Korea memiliki sesuatu yang “khas” dalam dirinya, dan memang benar ia memiliki sesuatu yang “khas” dalam dirinya sebagai sebuah bangsa di Asia, semenanjung Korea kerap menjadi buah pembicaraan orang banyak di manapun.

Situasi dan konteks sosial, politik, budaya, agama, dan kependudukan Korea,
            Apabila kita ingin membahas mengenai misi, gereja dan teologi di mana pun juga, termasuk di Korea sejak abad ke-16 hingga ke-20, tentu lebih baik rasanya jika kita mempunyai gambaran umum terlebih dahulu tentang latar belakang negeri tersebut. Latar belakang yang dimaksudkan ialah mengenai situasi konteks sosial, politik, budaya, agama dan penduduknya. Dengan mengacu pada hal-hal tersebut, maka kita akan mendapatkan gambaran yang jelas tentang faktor-faktor perkembangan Kekristenan di Korea, beberapa tokoh dan metode misinya (Katolik dan Protestan) dan bahkan teologi yang khas, yang lahir dari negeri tersebut.
            Nama Korea ternyata mempunyai sejarah pekembangan yang cukup panjang dan unik. Pada awalnya orang menyebut negeri Korea dengan sebutan Cho-Sun, dan kemudian orang-orang menulisnya dengan istilah Cho-sen, yang berarti negeri pagi hari yang tenang. Nama Cho-sen itu sendiri merupakan nama resmi yang diberikan langsung oleh Raja Tan’gun pada tahun 2332 S.M dan secara resmi mulai digunakan oleh rakyat untuk menyebut negri Korea. Pada waktu Dinasti Yi (1392-1897 M) yang berkuasa di Korea, nama Cho-sen ternyata juga dipakai untuk menyebut Korea. Sedangkan nama Korea itu sendiri (nama yang kita kenal) mulai dipakai orang pada masa pemerintahan Dinasti Koryu (918-1392 M), yang artinya tinggi dan indah atau gunung yang tinggi dengan aliran-aliran sungai yang berkilauan. Akan tetapi, pada tahun 1897 nama Korea ini sempat berubah menjadi Tai-Han, yang artinya Great Han, namun pada tahun 1910 pemerintah kembali menggunakan istilah Cho-sen sebagai nama resmi Korea. Namun karena orang-orang Barat sudah lebih mengenal nama Korea, maka sampai saat ini negeri pagi hari yang tenang ini tetap disebut Korea. (Sukamto 2006, 1-2)
            Negeri Korea adalah sebuah semenanjung, yang menjulur di bagian selatan dari Asia Timur Laut. Semenanjung ini di bagian timurnya di batasi oleh Laut Timur dan sebelah baratnya di batasi oleh Laut Kuning. Sedangkan di sebelah utaranya di batasi oleh wilayah negeri Cina dan Rusia dan sebelah selatan di batasi oleh kepulauan Jepang. Oleh karena itu, secara geografis, negara ini menjadi penghubung antara Jepang dan benua Asia (Sukamto 2006, 2). Posisi yang demikian strategis ini tentu menguntungkan bagi negeri Korea, karena mereka akan dengan mudah menyerap kebudayaan negara tetangga. Namun dibalik itu, negara ini selalu menjadi sasaran dari agresi militer negera-negara tetangganya sendiri, sehingga ia pernah digambarkan sebagai “udang yang menjadi korban di tengah-tengah pertempuran ikan paus. Korea menjadi medan perang untuk pertempuran negara-negara tetangga. (Ruck 1997, 176)
            Korea memiliki area sangat luas, yakni 221.607 km². Negeri ini terbagi menjadi dua bagian saat ini, yaitu Republic of Korea (Republik Korea Selatan) dan Democratic People’s Republic of Korea (Korea Utara). Korea memiliki empat musim, yaitu musim semi, panas, gugur dan salju. (Sukamto 3-6). Aksara Korea disebut Han-gul. Aksara ini pertama kali diciptakan oleh Raja Sejong Yang Agung, yaitu raja keempat dari Kerajaan Chosen, yang biasa disebut hunmin Chong-um. (Sukamto 2006, 10)
            Mengenai asal-usul bangsa Korea sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan, namun ada indikasi bahwa mereka adalah campuran antara bangsa Mongolia (Tungusic) dan Jepang (Causic). Mengenai karakteristiknya, bangsa Korea dikenal rajin dan pekerja keras. Apapun bidang pekerjaan yang mereka tekuni, maka akan mereka kerjakan dengan sunguh-sunguh dan tekun. Oleh karena itu, budaya pale-pale (cepat dan tepat) menjadi ciri khas tersendiri bagi bangsa ini (Sukamto 2006, 7). Tidak heran jika Korea kita kenal sebagai salah satu negara yang sangat maju dan disegani di Asia saat ini, misalnya di bidang ilmu pengetahun dan teknologi, kesehatan, perfilman, persenjataan dan lain sebagainya.
            Mengenai adat dan kebiasaan, Korea ternyata mengalami perubahan yang begitu cepat. Perubahan ini terutama dipengaruhi oleh budaya pop Amerika. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat misalnya dari bentuk arsitektur rumah mereka, pakaian, makanan, standar kehidupan, acara pernikahan, dan bahkan cara pergaulan mereka. Akan tetapi, walaupun di tengah kemajuan yang luar biasa tersebut, mengenai hubungan antara orang yang lebih tua dan orang yang lebih muda, masyarakat Korea termasuk masyarakat yang sangat menghargai orang yang lebih tua. Misalnya ketika berbicara atau berpapasan dengan orang yang lebih tua, maka orang yang lebih muda akan langsung menunjukkan sikap yang menghormati, yaitu dengan membungkukkan badan atau berbicara dengan sangat santun. (Sukamto 2006, 7-10)
            Orang atau warga Korea sejak dahulunya adalah bangsa yang religius. Negara ini terdiri dari beberapa agama, seperti Shamanisme, Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, Islam dan Kristen. Shamanisme adalah kepercayaan tertua di Korea. Sebelum kedatangan agama-agama seperti Buddhisme, ajaran Kong Hu Cu dan Taoisme dari Cina (permulaan abad ke-5) dan belakangan disusul oleh agama Kristen (Katolik Roma 1777 dan Protestan 1885) bangsa Korea memeluk agama mereka sendiri, yaitu Shamanis. Adapun inti dari ajaran agama ini ialah bahwa persekutuan antara dewa-dewa dan manusia itu dimungkinkan terjadi. Oleh karena, untuk mengendalikan peristiwa-peristiwa alam atau nasib dari seseorang, orang Korea saat itu perlu mempunyai hubungan yang benar dan baik dengan para dewatanya, sebagai sumber kekuatan (Yewangoe 1996, 135). Sehingga dalam kepercayaan Shamanis, masyarakat Korea pada umumnya menyembah berbagai unsur alam seperti: matahari, bulan, bintang-bintang, udara, awan, hujan, gunung, batu, gu-gua, dan lain sebagainya, karena di dalam semuanya pasti terdapat dewa-dewa. (Sukamto 2006,  27)
            Buddhisme datang ke Korea pada Tahun 372 M, yaitu pada masa pemerintahan Raja Sosurim. Ia adalah seorang raja yang berasal dari Kerajaan Koguryo, salah satu dari tiga kerajaan di Korea pada waktu itu. Buddhisme yang berhasil masuk ke Korea saat itu tergolong pada aliran Mahayana, yang secara harafiah berarti “kendaraan besar”dan aliran ini berbeda sekali dengan aliran Hinayana (Theravada atau “kendaraan kecil”) yang jauh lebih tua dan dekat dengan ajaran Sang Buddha. Aliran Mahayana ini lebih muda dan mereka biasanya dapat dibedakan melalui kemampuan dalam menyesuaikan diri dan penyimpangannya dari ajaran-ajaran yang asli. Kemampuannya untuk menyesuaikan diri inilah yang membuat agama Buddha saat itu merupakan salah satu agama yang diterima dengan baik kehadirannya, baik oleh masyarakat Korea maupun oleh rezim pemerintah (negara). Dengan kata lain, Buddha adalah agama yang cukup besar di Korea, bahkan sempat menjadi agama negara (Yewangoe 1996, 139).
            Ajaran Kong Hu Cu dan Taoisme juga merupakan agama-agama penting bagi orang Korea. Sama seperti agama Buddhisme, baik Kong Hu Cu maupun Taoisme sama-sama berasal dari negeri Cina. Ajaran Kong Hu Cu pada saat itu berkembang lebih pada bidang etika sedangkan Taoisme lebih kepada penafsiran mistik-religius atas gagasan tentang tao. Menurut salah seorang teolog bernama Song dan pandangan ini pun diperkuat oleh para teolog Minjung, ajaran Kong Hu Cu pada saaat itu menjadi agama masyarakat kelas atas atau yang berkuasa di Korea, sedangkan Shamanisme dianut oleh massa. (Yewangoe 1996, 139).

Orang Korea membawa Kekristenan ke Korea
            Di Korea kekristenan tidak di bawa oleh badan misi asing, tetapi malah dibawa oleh orang Korea sendiri ke tanah kelahirannya (Moffett 2005, 309). Kekristenan masuk ke Korea sekitar abad ke-18, dibawa oleh Lee Seng Hoon yang sedang belajar di Cina (Beijing) (Kim 2008, 129). Dalam perjalanan studinya, Lee bertemu dengan seorang misionaris Jesuit yang bernama Jean Joseph Grammont, kemudian ia menjadi Kristen dan dibaptis tahun 1784 di Peking. Ketika ia dibaptis, ia diberi nama Pierre (Peter) oleh Rm. Grammont. Lee adalah anak seorang duta besar yang diutus ke Cina dan ia termasuk ke dalam akademisi muda Korea (Moffett 2005, 309).
Ketika ia kembali ke Korea, ia mengenalkan kekristenan kepada kedua temannya yaitu Lee Byok dan Kwon Il Shin (Moffett 2005, 309). Kemudian kekristenan di Korea menjadi sangat berkembang pesat saat itu, mungkin ada sekitar seribu umat di Korea yang terpisah dengan gereja universal (Heuken 2011, 101). Mereka ingin merayakan ibadat minggu dan menerima sakramen tobat, maka dengan terpaksa mereka harus mengangkat beberapa orang sebagai imam dan bahkan sebagai uskup (Heuken 2011). Sekitar tahun 1789 dan 1790 komunitas misionaris dikejutkan dengan pertumbuhan dan perkembangan kekristenan di Korea tanpa seorang uskup dan bahkan tanpa pekerjaan misi (Moffett 2005, 310).
Kemudian pemerintah mulai mengendus ajaran baru yang mulai tersebar di Semenanjung Korea (Heuken 2011, 102). Korea merupakan wilayah terlarang untuk berkembangnya hal-hal yang ada di luar tradisi mereka, maka menjadi sebuah keheranan ketika gereja atau kekristenan berkembang dengan pesat di sana. Setelah beberapa orang Korea beralih untuk memeluk agama Kristen, kebanyakan dari mereka tidak lagi menjalankan tradisi turun-temurun mereka yaitu menyembah leluhur. Akibatnya pada tahun 1791, banyak dari mereka dicurigai kemudian ditangkap lalu dibunuh. Mungkin sekitar empat ratus orang beriman yang disiksa (Heuken 2011, 102). Bagi orang-orang Korea yang sudah menjadi Kristen, kekristenan adalah sebuah kebenaran yang mutlak ketimbang ajaran moral Konfusianisme, hal itulah yang memicu penindasan dan siksaan terhadap mereka (Moffett 2005, 311). Di dalam masa-masa sulit tersebut, Lee Seng Hun yang adalah pencetus dan pemimpin gereja kala itu tidak dapat diharapkan menjadi imam yang menguatkan umatnya.[1]

Gereja Berkanjang dan Arus Penyiksaan tahun 1801
Akan tetapi, sekalipun kekristenan sedang dalam masa-masa sulit, tetapi pada masa 1792-1801 kekristenan berkembang dan bertumbuh dengan pesat sekali (Kim 2008, 129). Pada masa itu dikirimlah seorang imam Cina yaitu Yakobus Chou Wen-mo (nama Korea Chou Moon Mo) untuk melayani empat ribu orang beriman (Heuken 2011). Dengan pelayanan Rm. Chou yang gigih dan tekun, selama 5 tahun pelayanannya sudah ada 10.000 orang Kristen di Korea (Moffett 2005, 313). Salah seorang janda kaya yang bernama Columba Kang Wan-Suk adalah murid perempuan Korea pertama Rm Chou (Moffett 2005,311).
Pada tahun 1801-1867, selama 65 tahun telah terjadi penyiksaan yang hebat dan kejam. Pada tahun 1801 telah terjadi arus penyiksaan pertama dan berat bagi umat Kristen Korea, Rm. Chou sempat disembunyikan di rumah Columba Kang, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada pemerintah (Moffett 2005, 311). Rm. Chou mengatakan, I’m a Catholic. I have heard of the killing of many innocent people, and I wish to join the ranks of death. Dua bulan kemudian Rm. Chou turut dieksekusi oleh pemerintah. Sekitar 200 orang menyerah dan menyerahkan hidupnya kepada Allah, dan 400 orang dikirim ke pembuangan (Moffett 2005, 311). Berbeda dengan Columba Kang, ia dilindungi oleh hukum Korea yaitu melarang menghukum seorang bangsawan perempuan. Namun, hal tersebut tidak menjauhkan dia dari kematian. Pada usia 41 tahun, ia disiksa, kakinya diikat sampai tulangnya keluar dan kemudian itu ia dipancung
Pada masa itu, bukan hanya banyak martir, tetapi juga berkembang literatur-lietaratur tentang kekristenan yang dikembangkan oleh kaum intelektual Kristen Korea (Moffett 2005, 314). Chung Yak Chong adalah salah satu akademisi muda yang dikirim belajar ke Cina. Pada tahun 1897, ia dibaptis dan diberi nama Agustinus, ia merupakan teolog Kristen Korea pertama. Judul buku karyanya adalah Principles of Christian Faith, dan buku ini adalah buku teologi Kristen pertama yang ditulis oleh seorang Kristen Korea asli dan dalam bentuk abjad Korea hankul (Moffett 2005, 314).

Penyiksaan yang Berkelanjutan
Penyiksaan terhadap orang-orang Kristen Korea tidak berhenti pada tahun 1791 dan 1801, tetapi berlangsung terus sepanjang abad ke-19 penyiksaan itu kerap terjadi dan tidak terputus. Pada tahun 1839 penyiksaan itu terjadi kembali atas orang-orang Kristen Korea, dan yang menjadi korban adalah beberapa orang misionaris dari Misioner Etrange de Paris yaitu Pierre Maubant dan Jacques Chastan, dan bersama dengan Uskup Laurent Imbert (Moffett 2005, 314).
Pada tahun 1846, sudah ada imam pribumi pertama yang bernama Andreas Kim Tae-gon yang juga mati syahid dalam penyiksaan tahun itu (Heuken 2011, 103.). Pada tahun 1846 kira-kira ada 6.000 orang Kristen Korea. Namun telah terjadi perubahan di bawah kekuasaan raja Ch’ol-jong (1850-1863), ia adalah pengikut paham toleransi (Moffett 2005, 315). Pada tahun 1857, telah didirikan seminari Katolik, kira-kira ada 10 seminari. Akan tetapi, 6 tahun kemudian badai itu datang kembali dan menyapu bersih kekristenan di Korea. 
Tahun 1866-1867 merupakan tahun yang kelam bagi umat Kristen Korea. Pada tahun itu, penyiksaan besar-besaran telah terjadi dan  banyak sekali orang Kristen Korea yang menjadi korban kekejian pemerintah. Sekitar 8.000 orang Kristen Korea menjadi martir dan dengan jumlah yang sama banyak orang Kristen Korea yang dipaksa mati ketika mereka melarikan diri ke pegunungan (Kim 2008, 129). Pada masa-masa ini, gereja benar-benar luluhlantak karena penyiksaan besar ini, 9 misionaris dari Prancis mati syahid semua, dan segala aset milik gereja diberangus oleh masa (Moffett 2005, 316). Hanya tersisa 500 orang Kristen Korea di kota Seoul. Mereka semua sisa-sisa dari para martir, belum lagi mereka mati karena kelaparan dan lelah hidup bersembunyi dari pemburu orang Kristen. Penyiksaan kerap terjadi, dan mulai mereda sekitar 10 tahun kemudian 1876 ketika membuat perjanjian dagang dengan Jepang (Kim 2008, 129).

Perkembangan Misi dan Gereja Protestan di Korea
Pada tahun 1832, Karl Gutzlaff dari Jerman berkunjung ke Korea untuk melakukan misi pekabaran Injilnya.  Karl Gutzlaff dengan susah payah ia berhasil menterjemahkan doa Bapa Kami ke dalam bahasa Korea. Pada tahun 1866, Robert Thomas, seorang Wales yang diutus ke Cina oleh London Misionary Society, untuk mengunjungi Korea dengan menaiki sebuah kapal Amerika. Kapal tersebut berhasil mencapai ibukota Pyongyang, akan tetapi terjadi keributan di pelabuhan yang mengakibatkan kapal diserang dan Tomas dibunuh, bersama dengan semua awak kapal.
Pada tahun 1876, John Ross pendeta Presbiterian asal Skotlandia, melayani Tuhan di Manchuria. Pada tahun 1876 ia membaptis beberapa orang di Korea. Dengan pertolongan orang yang baru percaya tersebut, Ross dan rekannya John Mclntyre menerjemahkan Perjanjian Baru ke bahasa Korea, selama tahun 1882-1887. Seseorang dari antara mereka mengabarkan Injil kepada seseorang yang bernama Suh Kyung Jo, di desa Sollae, sebelah barat laut Korea. Suh menjadi Kristen dan kemudian ia mendirikan jemaat Kristen di desa tersebut. Suh merupakan salah seorang dari tujuh orang Korea pertama yang ditahbiskan sebagai pendeta Presbiterian. Ia mempelopori misinya di seluruh Gereja Kristen di Korea.
Penduduk Protestan pertama yang melakukan misinya ke Korea yang juga seorang dokter adalah Horace N. Allen. Ia adalah utusan gereja Presbiterian, yang berangkat ke Korea sebagai dokter pribadi kedutaan besar Amerika, pada tahun 1884. Allen tiba di Korea pada saat terjadi kekacauan politik. Pangeran Yong Ik Min terluka akibat pemberontakan. Allen dipanggil untuk memberikan pengobatan kepada pangeran, dan ternyata pengobatannya berhail menyelamatkan nyawa pangeran. Hal inilah, yang membuat Allen disenangi di istana, sehingga pada tahun 1885 ia diberi izin membuka Rumah Sakit Kerajaan di Seoul.
Lima hari sebelum rumah sakit baru dibuka di Seoul, ada juga misionaris Protestan yang tiba di Inchon. Pada tanggal 5 April, 1885, Horace G. Underwood yang adalah seorang pendeta Presbiterian dan Pendeta Henry G. Appenzeller, yang ada adalah utusan Gereja Metodis, mereka bersama-sama tiba di Korea.  (Moffett 1962, 34-38). Underwood dan Appenzeller dengan tidak sabar masuk ke pekabaran Injil. Orang pertama yang percaya berkat pelayanan Underwood dibaptis secara diam-diam pada tahun 1886. Satu tahun kemudian jemaat kecil berdiri di Seoul. Underwood berkunjung ke desa Sollae di Korea Utara dan menemukan tujuh orang, “ yang sudah percaya dan bersedia untuk dibaptis”.
Faktor lain juga yang mendorong perkembangan kekristenan di Korea adalah tersedianya Alkitab dalam bahasa Korea sebelum para pekabar Injil masuk Korea. Alkitab dan buku nyanyian rohani disebarkan secara luas. Usaha perbaikan dan penyempurnaan terjemahan berjalan terus sampai dengan tahun 1900. Setelah terjemahan Perjanjian Baru yang diterbitkan pada tahun itu juga menjadi dasar Gereja Protestan. Pada tahun 1891 badan-badan misi Protestan di Korea (empat badan Presbiterian dan dua badan misi Metodis) mencapai persetujuan bersama tentang pembagian ruang lingkup pekerjaan misi, agar mereka tidak bersaingan, tetapi bekerja sama mengabarkan Injil ke seluruh negara Korea. Gereja Presbiterian meneruskan kebijakan mengutamakan penginjilan langsung, sedangkan Gereja Metodis memprioritaskan pelayanan pendidikan.  (Ruck 1997, 180-82).
Dr. John L. Nevius penginjil di Cina, melakukan kunjungan penting di Korea pada tahun 1890. Ia memutuskan “cara baru” untuk meminimalkan dana pembayaran pekerja-pekerja setempat dalam membangun gereja dan meyokong gereja agar nantinya dapat mandiri. Dia menggunakan tiga prinsip, yaitu: perambatan- sendiri, kepemimpinan sendiri, dan kemandirian dana. Untuk maksud tersebut ia mengembangkan strategi penginjilan yang menekankan lima prinsip utama yaitu:  (Moffett 1962, 59).
1.     Pemahaman Alkitab (PA). Alkitab menjadi dasar bagi semua pekerjaan orang-orang Kristen dan diajarkan secara sistematis dalam kelas-kelas Alkitab pada musim panas dan musim dingin. PA adalah pendidikan agama bagi semua orang. (Moffett 1962, 60).
2.     Perambatan sendiri: Setiap orang Kristen terpanggil untuk mengabarkan Injil kepada tetangga-tetangga pada waktu senggang, sementara ia mencari penghidupan sendiri melalui pekerjaan dan keahlian yang sudah dimilikinya;
3.     Kepemimpinan sendiri: Struktur, organisasi dan metode gereja dikembangkan hanya sejauh kemampuan gereja nasional untuk mengurus dan menyokongnya;
4.     Kemandirian dana. Setiap kelompok diharapkan membangun gerejanya sendiri dan memangiil serta mendukung pendetanya  sendiri, sesuai dengan kemampuannya.
5.     Penginjilan keliling: Penginjilan berkeliling secara luas dengan “bantuan” seorang Korea, dan menghindari menerima bantuan daru gereja-gereja Korea. (Moffett 1962, 60).
Bagi Nevius Pendidikan Alkitab merupakan bagian metode Nevius yang sangat mendasar dan tidak boleh diabaikan. Bangsa Korea sangat menghargai kesusastraan, sehingga mereka bersemangat untuk belajar. Pada tahun 1904 dilaporkan bahwa 60% dari anggota Gereja Presbiterian ikut dalam proses penelaahan Alkitab. (Ruck 1997, 182-83).
Perkembangan Kekristenan di Korea selama masa Jepang (Ruck 1997, 183-87)
Pada tahun  1895 adalah awal masa kepahitan dalam sejarah Korea. Terjadi pemberontakan di bagian utara Korea pada tahun 1893 disusul pemberontakan Tong Hak di bagian selatan pada tahun 1894. Menghadapi kedua pemberontakan yang ada, pemerintah Korea minta bantuan dari luar negeri. Akibatnya terjadi perpecahan perang antara Cina dan Jepang, di tanah Korea. Jepang memperoleh kemenangan pada tahun 1895, pengaruh Jepang di Korea menjadi lebih besar. Pada tahun 1904-1905 tanah Korea sekali lagi menjadi medan pertempuran, ketika Jepang berperang denga Rusia merebutkan kuasa di Korea. pada tahun 1910 secara resmi negara Korea dicap menjadi daerah jajahan Jepang.
Perkembangan Gereja Protestan pada awal abad ke 20, berkembang sangat cepat. Diperkirakan pada tahun 1894 ada 236 orang Kristen Protestan sudah dibaptis di Korea. Pertumbuhan Gereja Protestan yang terbesar terjadi di pedalaman, terutama di daerah pedesaan di sekitar kota Pyongyang, Korea Utara. Para penginjilan Presbiterian Amerika memprioritaskan penginjilan langsung ketimbang pendidikan atau pelayanan medis. Metode ini merupakan salah satu faktor yang menentukan bagi perkembangan jemaat.
Namun, ada juga beberapa faktor lain yang tidak kalah pentingnya. Shamanisme lebih kuat di bagian utara Korea, sehingga masyarakat yang  belum menganut agama “tinggi” lebih terbuka terhadap pekabaran Injil. Kebanyakan petani di daerah utara adalah pemilik tanah yang lebih kaya dan berpendidikan lebih tinggi daripada masyarakat petani di Korea Selatan. Keutungan mereka peroleh dari industrialisasi Jepang, karena pengusaha Jepang menggali berbagai mineral di tanah Korea Utara. Masyarakat petani utara bebas memilih agama sendiri, dan mampu mencukupi kebutuhan gereja menurut metode yang diajarkan Nevius.
Berbeda dengan keadaan di Korea Utara, masyarakat petani di Korea Selatan terbagi dua. Golongan yangban, yaitu golongan bangsawan, yang merupakan pemilik tanah yang sangat kaya dan berpendidikan tinggi. Filsafat Kong Hu Cu kuat berakar di antara kelompok tersebut, sehingga sifatnya melawan ide-ide baru dan tertutup terhadap kekristenan. Sejumlah besar orang yang menjadi Krisren di daerah selatan berasal dari masyarakat petani penyewa ataupun buruh tanu, yang kurang mampu membiayai gereja mandiri seperti yang dibayangkan Nevius. Pertalian keluarga menjadi jaringan sosial yang sangat kuat di Korea. Jaringan tersebut dipakai sebagai jalan penyebaran Injil. Orang Korea yang menjadi Kristen menyampaikan Injil secara pribadi kepada saudara mereka dan kepada teman-teman sekampung. Peranan pekabar Injil Barat hanyalah mengajar dan membaptis orang yang sudah diinjili oleh orang Kristen Korea. Hal ini yang membuat orang Kristen Korea cepat bertumbuh dalam iman dan pengetahuan. Jemaat- jemaat berkembang menurut asas Nevius, memimpin sendiri dan membiayai sendiri. Pada tahun 1896 ada 126 jemaat dengan 69 gedung gereja di daerah baratlaut Korea.
Pada awal abad ke-20 , selain berkembang besar dan mencapai langkah pertama menuju kemandirian penuh, Gereja Protestan di Korea mengalami kebangunan rohani yang luar biasa. Kebangunan tersebut secara tidak diduga mulai pada bulan Agustus1903, di suatu Konferensi Penelaahan Alkitab untuk tenaga misi Metodis di kota Wonsan. Pada tahun 1905, terdorong oleg berita kebangunan rohani di Wales dan India, pemimpin-pemimpin gereja mengadakan beberapa “Konferensi Kehidupan yang Mendalam”di Pyongyang, Wonsan dan Seoul. Pertemuan besar-besaran ini diadakan di seluruh negara Korea.
Pembaharuan rohani mencapai puncaknya pada tahun 1907. Ratusan orang berkumpul di Kota Pyongyang untuk menghadiri konferensi tahunan pendidikan Alkitab. Pembaharuan rohani menimbulkan semangat penginjilan yang kuat. Kebaktian penginjilan atau pembangunan rohani mulai diadakan setiap tahun sekali oleh gereja-gereja Korea. Pekabar-pekabar Injil diutus ke Siberia, Jepang dan Amerika Serikat, dengan tugas penginjilan utama yang diarahkan orang Korea yang bertempat tinggal di negeri tersebut. Pada tahun 1909-1911 semua gereja Protestan dan misi Protestan bergabung melaksanakan kampanye penginjilan nasional, dengan tujuan memenangkan “Sejuta Jiwa untuk Kristus”.
Kebangunan rohani yang melanda Korea pada awal abad ke-20, telah muncul pada saat yang sangat kritis bagi bangsa Korea, yakni pada saat pengaruh Jepang semakin terasa. Pada tahun 1919, sesudah kegagalan Gerakan Maju yaitu program penginjilan nasional yang berlangsung tig tahun. Pertemuan-pertemuan penginjilan besar disertai gejala-gejala kebangunan rohani. Intinya, suasana kebangunan rohani, yang ditandai dengan pengakuan dosa dan semangat mengabarkan Injil, mewarnai kekristenan Korea. Gereja Protestan di Korea bersifat konservatif, evangelical, dan berdasar pada Alkitab. 
Hambatan-hambatan pada masa penjajahan Jepang (Ruck 1997, 187-192)
Kemenangan Jepang pada tahun 1895, mendorong perkembangan kekristenan di Korea. hal ini disebabkan Jepang mendukung pihak modern di lapangan politik Korea, yang lebih terbuka dengan Injil, sedangkan negara Cina mendukung kaum konservatifnya. Amerika Serikat menerima tanpa protes tindakan Jepang menduduki Korea. Maka para tenaga misi Protestan, yang sejumlah besar warga negara Amerika bersikap netral. Namun, banyak orang Korea berharap bahwa gereja, sebagai badan yang paling kuat di Korea yang akan memimpin perjuangan kemerdekaan. Para pendeta asing ingin supaya gereja tidak campur tangan dalam urusan politik, dengan alasan Kerajaan Allah bukan kerajaan duniawi. Tetapi berbeda dengan pandangan orang Korea. Gereja menjalin hubungan dengan nasionalisme Korea dan mendukung gerakan menentang kekuasaan Jepang. Gereja mempertahankan kebaktian dalam bahasa Korea dan tidak memakai bahasa Jepang. Liturgi berbahasa Korea menjadi lambang cinta kepada tanah air Korea.
Menjelang akhir Perang Dunia I Woodrow Wilson, Presiden Amerika Serikat, mengusulkan “Empatbelas Pokok” sebagai dasar perdamaian, termasuk “hak penentuan nasib sendiri bangsa-bangsa kecil”. Pokok tersebut memberi semangat kepada bangsa Korea, sehingga 33 orang pemimpin masyarakat, termasuk 15 orang Kristen menandatangani surat Deklarasi Kemerdekaan. Kemudian surat Deklarasi tersebut dibacakan di setiap kota Korea pada tanggal 1 Maret 1919, yang menghimbau masyarakat untuk demonstrasi tanpa kekerasan.
Pemerintahan Jepang menganggap gereja sebagai pendorong gerakan kemerdekaan, maka banyak pendeta dipenjarakan. Penghambatan ini juga terjadi bersamaan dengan kesulitan ekonomi, yang akhirnya mengurangi kecepatan pertumbuhan gereja. Banyak orang Kristen mengungsi ke Manchuria. Namun gereja bertahan dan bertumbuh. Berbeda dengan negara-negara Asia lain, kekristenan di Korea dilihat sebagai kekuatan nasionalisme, bukan sebagai alat imperialisme.
Pada tahun 1930 sekolah-sekolah Kristen menghadapi pergumulan yang rumit. Para guru, mahasiswa dan siswa di setiap sekolah dan tempat pendidikan harus menundukkan kepala di tempat suci Shinto, sebagai tanda penghormatan kepada nenek moyang kaisar Jepang. Peraturan tersebut menimbulkan percekcokan di lingkungan Kristen. Pada tahun 1930-an banyak guru dan dosen dipenjarakan, gelar-gelar pendidikan direbut, karena mereka menolak untuk tunduk di tempat suci Shinto. Dua badan misi Presbiterian mengambil  keputusan untuk membubarkan sekolah, termasuk sekolah tinggi di Pyongyang, karena tidak bersedia ikut serta dalam upacara Shinto.
Lembaga-lembaga dengan pandangan teologi liberal, misalnya Misi Metodis dan Misi Presbiterian Kanada, mengambil sikap terbuka terhadap upacara Shinto sebagai tanda penghormatan saja, bukan dijadikan sebaga ritual agama. Pada tahun 1942, dewan Kristen Korea secara bersamaan mengembangkan proyek pertanian dan industri. International Missionary Conference di Yerusalem pada tahun 1928 memperhatikan secara khusus keadaan gereja di Korea. pada tahun 1932 Dewan Kristen Korea menetapkan “ kredo sosial” yang didasarkan pada pengakuan sosial gereja Kekaisaran Jepang.
Sejalan dengan perkembangan nasionalisme Jepang, tekanan pada umat Kristen bertambah kuat. Pada tahun 1973 Jepang menyerbu Cina. Tempat-tempat suci Shinto harus diletakkan dalam setiap rumah Korea. Setiap Pertemuan umum, termasuk kebaktian Kristen, harus diawali dengan menundukkan kepala kepada gambar Kaisar Jepang. Vatikan besar Paus di Roma, memutuskan bahwa upacara Shinto Jepang merupakan acara politk bukn agama, maka orang Katolik Korea wajib menaati peraturan pemerintah. Sejumlah misionaris Presbiterian menganggap bahwa ucapara Shinto adalah pemujaan berhala.
Sejumlah besar pekabar Injil berkebangsaan asing, baik Katolik maupun Protestan, meninggalkan Korea sebelum pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1941. Banyak gereja ditutup pada masa Perang Dunia II. Gereja-gereja Protestan yang masih ada terpaksa bergabung menjadi satu seperti Gereja Protestan Jepang. Pada tahun 1945 proses mempersatukan Gereja Korea diselesaikan. Dua minggu kemudia Korea “dibebaskan” oleh tentara Rusia dan tentara Amerika, akibat keadaan gereja berubah secara drastis, karena semenanjung Korea dibagi dua.
Perkembangan Kekristenan di Korea (Utara dan Selatan) setelah tahun 1945
Sejak menyerahnya Jepang di tahun 1945 terhadap Sekutu (Perang Dunia II), situasi gereja-gereja di Korea boleh dikatakan semakin membaik, meskipun karenanya Korea saat itu terbagi menjadi dua (Korea Selatan dan Korea Utara) dan secara ideologis keduanya berbeda. Khusus di bagian utara saat itu diduduki oleh angkatan perang Rusia dan bagian selatan diduduki oleh angkatan perang Amerika. Pembagian ini pada akhirnya melahirkan dua rezim yang sangat berbeda. (Ruck 1997, 306)
Khusus di Selatan (pasca menyerahnya Jepang), dengan cepat gereja-gereja menjadi pulih dan berkembang secara luar biasa saat itu. Orang-orang Kristen yang sebelumnya sempat bersembunyi pada saat pendudukan atau penguasaan Jepang, kini muncul dari tempat persembunyiannya. Hal ini pun ditandai dengan gereja-gereja yang kembali penuh, para misionaris yang ingin mengabarkan Injil disambut dengan baik dan setiap kegiatan Kristen, yang sebelumnya sempat terhenti pada masa pendudukan Jepang dilanjutkan kembali. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa pertumbuhan gereja-gereja yang demikian cepat dan pesat di selatan, tidak berarti bahwa mereka bebas dari masalah-masalah di dalamnya. Pada saat itu, ada muncul kecurigaan besar terhadap orang-orang Kristen yang tampaknya bekerjasama dengan Jepang pada masa pendudukan. Khusus bagi kalangan Gereja Presbiterian, kesulitan-kesulitan sebagian disebabkan oleh perbedaan-perbedaan wilayah antara orang-orang Kristen dari Utara dan orang Kristen dari Selatan, sebagian lagi oleh derajat perlawanan sebelumnya terhadap tuntutan Jepang untuk ikut serta dalam upacara Shinto dan sebagian lagi oleh asal mula historis dari lembaga-lembaga pembentuk gereja-gereja. (Yewangoe 1996, 155-156) Berbeda dengan negeri-negeri Asia lainnya, di Korea Kekristenan dianggap sebagai agama modern dan agama non-imperialis. Selain itu, semangat dari orang Korea itu sendiri untuk mengabarkan Injil secara pribadi, kepemimpinan dinamis serta visi yang luas untuk misi.
Sedangkan untuk di bagian Utara, situasi sungguh berbanding terbalik. Para Missionaris yang ingin mengabarkan Injil tidak diperbolehkan masuk sama sekali dan ada pembatasan terhadap seluruh kegiatan atau aktivitas Kristen. Dengan kata lain, di Korea Utara gereja benar-benar ditindas oleh pemerintah Komunis sampai hampir punah (Yewangoe 1996, 155. Pada tahun 1946 Korea Utara bahkan mengubah undang-undang tentang kepemilikan hak tanah, sesuai dengan cita-cita Komunis saat itu dan hal ini pun berdampak bagi banyak orang Kristen yang memiliki tanah saat itu. Selain itu, orang Kristen di Korea Utara benar-benar mengalami diskriminasi, misalnya pada hari Minggu diadakan kelas-kelas pendidikan politik, pembatasan bagi anak-anak kristen untuk mendpatkan pendidikan, orang Kristen dipenjarrakan ataupun diculik tanpa alasan yang jelas. Oleh karena situasi yang tidak kondusif ini, ada banyak orang Kristen dari Utara yang memutuskan pindah ke Selatan (Ruck 1997, 306).
Akan tetapi, secara keseluruhan meskipun terdapat banyak tantangan atau kesulitan yang dialami oleh gereja, gereja-gereja di Korea, baik itu Katolik maupun Protestan, masih tetap bertumbuh dengan pesat. Menurut statistik terakhir, jumlah orang Kristen pada pertengahan tahun 1980-an bahkan mencapai 11.409.800, yang berarti 30,5% dari seluruh penduduk negara Korea. Di antara mereka, umat Protestan mencapai 7.180.677. (Yewangoe 1996, 156)

Perkembangan Teologi
Teologi Minjung
Kata Minjung terdiri dari dua suku kata: min yang berarti ‘rakyat’ dan jung yang berarti ‘massa’. “Minjung’’ adalah  rakyat jelata. Teologi Minjung adalah Teologi Korea. “Minjung” adalah istilah di mana berkembangnya pengalaman Kristen dalam perjuangan politik untuk keadilan selama sembilan tahun lamanya. Teologi Minjung atau Minjung teologi adalah kumpulan dan ucapan tentang refleksi teologi tentang pengalaman politik dari pelajar Kristen, para buruh, para wartawan, profesor, para petani, penulis dan orang-orang pintar serta teologi yang ada yang ada di Korea pada tahun 1970. Teologi ini menjelaskan bahwa mereka-mereka ini tertekan dalam situasi politik di Korea pada saat itu. Teologi Minjung merupakan refleksi dari orang-orang Kristiani miskin di Korea tentang pengalaman hidup mereka. Melihat hal itu,ada respon teologi terhadap tekanan yang terjadi untuk melakukan pelayanan gereja di Korea dan bermisi.Teologi Minjung adalah teologi yang lahir dan terbentuk, karena latar belakang sosial-politik orang Kristen di Korea pada tahun 1970an.  Ini adalah cara di mana orang Kristen Korea mempunyai hidup dan bertindak, berdoa dan berpatisipasi  dalam Perjamuan Malam Tuhan. Inilah potret di mana orang-orang Kristen Korea dalam penderitaan dan pergumulannya, tetai juga pengalaman kemenangan, mereka ingin berbicara apa yang mereka pelajari dan apa yang terefleksi secara teologis dan berbgi dengan kawan-kawan yang dalam lingkungan pergaulan sosial dan politiknya sedang mencari teologi yang relevan di Asia. (Bock 1981, 17-19).
Beberapa tokoh Minjung adalah Suh Nam-dong. Suh Nam-dong menjelaskan tentang han, pengalaman minjung dicirikhaskan han. Suh Nam-dong mengatakan bahwa, di satu pihak, han adalah perasaan kalah, pasrah, dan tidak berarti yang kuat. Di lain pihak, han adalah perasaan dengan kemauan yang kuat untuk hidup yang dialami oleh orang-orang yang lebih lemah. Han bersifat individual dan juga kolektif. Han bukan semata-mata suatu situasi ketertindasan yang objektif, melainkan pengalaman hidup ketertindasan rakyat. (Amaladoss 2001, 5).
Tokoh berikutnya adalah Kim Yong-bock. Kim Yong-bock  mengatakan bahwa Minjung adalah realitas tetap sejarah. Meskipun kerajaan-kerajaan, dinasti-dinasti, dan negara-negara timbul tenggelam, tetapi minjung tetap merupakan realitas konkret dalam sejarah, mengalami datang perginya kekuasaan-kekuasaan politis. Meskipun minjung memahami dirinya dalam hubungan dengan kekuasaan yang memerintah, minjung tidak dikungkung oleh kekuasaan itu. Kekuasaan mempunyai dasarnya dalam minjung. Kekuasaan, sebagaimana terungkap dalam kekuasaan-kekuasaan politis, tidak termasuk Minjung.  (Amaladoss 2001, 18).



Teologi Evangelical
Salah satu aliran gereja yang sangat berkembang di Korea, khususnya pada abad ke-20 adalah aliran Gerekan Pentakosta. Gereja Injil Sepenuh di Pulau Yoido, Seoul, salah satu dari aliran Gerakan Pentakosta, bahkan pernah mendaku sebagai jemaat terbasar di dunia pada tahun 1990. Salah seorang pendiri dari gereja ini, yang rasanya tidak mungkin untuk dilupakan ialah Paul Yonggi Cho.
Cho pada awalnya adalah pemeluk agama Buddha, namun belakangan ia memutuskan untuk beralih agama menjadi Kristen. Cho, seorang teolog yang mengenal ajaran teologi kemakmuran, yang belakangan dikecam oleh tokoh-tokoh Kristen non-Pentakostal, pernah mengecap dunia pendidikan teologi di Institut Alkitab Sidang Jemaat Allah, Seoul. Setelah lulus dari dunia pendidikan teologinya, Cho pun mulai mengadakan kebaktian di lapangan terbuka dan pada tahun 1961 ia mulai mendirikan gedung gereja dan terus mengalami perkembangan. Akan tetapi, pada satu kesempatam Cho pada akhirnya memisahkan diri juga dari Sidang Jemaat Allah pada tahun 1981, dikarenakan perbedaan pandangan mengenai upacara penghormatan terhadap orang mati. Kemudian Paul Yonggi Cho mulai mendirikan gereja baru yang diberi nama Sidang Yesus Allah dan gereja tersebut terus mengalami perkembangan yang pesat (Ruck 1997, 309-310). Dalam kehidupan berjemaat, ada empat hal pengajaran yang mendapat penekanan dalam gereja yang dipelopori oleh Cho, yakni ibadah kepada Allah dengan segenap hati, belajar Alkitab secara rinci, mempunyai persekutuan yang erat, penginjilan kepada tetangga jemaat. (Sukamto 2006, 75-76) 

Purnawacana sekaligus Refleksi
            Narasi kekristenan di Korea amatlah berbeda dengan narasi kekristenan di negara-negara lain di Asia. Kekristenan di Korea memiliki kekhasannya dan tidak sama dengan kekristenan lainnya di Asia. Kekhasan kekristenan Korea terletak pada masuknya kekristenan di Korea. Masuknya kekristenan di Korea bukan dengan bantuan badan misi asing dan menempel pada kekuatan imperalisme atau kolonialisme Barat. Akan tetapi, kekristenan dapat masuk ke Korea oleh karena orang Korea sendiri yang membawa kekristenan masuk ke dalam negeranya sendiri. Hal inilah yang membedakan kekristenan di Korea berbeda dengan kekristenan di negara Asia lainnya. Jadi, kekristenan di Korea tidak dipandang sebagai antek Barat, produk kolonial, dan kepanjangan tangan pemerintah Barat. Tampaknya kekristenan di Korea dipandang sebagai sebuah nilai (semangat) hidup yang cocok dengan orang-orang Korea. Kekristenan menjadi sebuah nilai yang hidup dalam jiwa orang-orang Korea dan saling melengkapi nilai-nilai yang lebih dulu ada di Korea.
















Daftar Acuan:
Amaladoss, Michael El, Teologi Pembebasan Asia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Bock, Kim Yong. Minjung Theology; People as the subjects of history. Singapore: The Christian Conference of Asia, 1981.
Heuken, Adolf, Christianity in Asia: from beginnings till Today. Jakarta: Cipta Lokal Caraka, 2011.
Kim, Sebastian C. H, Christian Theology in Asia. New York: Cambridge Press, 2008.
Moffet, Samuel Hugh, A History of Christianity in Asia. New York: Orbis Book, Mary Knoll, New York, 2005.
Moffett, Samuel Hugh. The Christians of Korea. New York: Frienship Press, 1962.
Ruck, Anne. Sejarah Gereja Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Sukamto. 2006. Rahasia Keberhasilan Gereja di Korea-Telaah Komprehensif Tentang Laju Pertumbuhan Gereja di Korea. Yogyakarta: ANDI Anggota IKAPI.
Yewangoe, A.A. 1996. Theologia Crucis di Asia: Jakarta: BPK Gunung Mulia.




[1] Menurut informasi dari Adolf Heuken, Lee Seng Hoon merupakan orang Kristen pertama dan mati dengan murtad.

Sejarah Kekristenan dan Teologi di Jepang



Sejarah Kekristenan dan Teologi di Jepang

Pendahuluan
Pertama, izinkan kami mengutipkan sebuah doa yang mempertanyakan Allah yang “membisu” kala melihat umatnya disiksa sedemikian bengis demi mempertahankan keteguhan iman mereka. Susako Endo dalam Silence menuliskan:

            “Father, I betrayed You. I trampled on the picture of Christ… for a moment this foot was on face that any man can ever know… Even no that face looking at me with eye of pity… ‘Trampled!’. Your foot must suffer like all the feet that have stepped on this plaque. That pain alone is enough. I understand.” “Lord, I resented your silence.” “I was not silent. I suffered besides you (Heuken 2011, 51).”

            Demikianlah orang-orang Kristen selama 230 tahun melakukan tradisi menginjak gambar Yesus dan Bunda Maria dengan perasaan ngeri, benci, dan tanpa daya. Mereka tidak meninggalkan Allah yang tampak tidak bertindak dan seolah membiarkan penderitaan itu berlangsung ratusan tahun. Mereka yang merasa berkhianat karena menyangkal iman dengan menginjak patung Yesus dan Bunda Maria itu, ingin menderita di samping Tuhan mereka.
            Dalam buku Christianity in Asia – From its Beginning till Today dikisahkah betapa bengis penguasa (kadang bekerjasama dengan pendatang lain juga: VOC) dan para rahib Buddhisme menyiksa dan akhirnya membunuh ribuan orang Kirishitan di Jepang (1549-1650): ada yang disalib, dibakar, dibakar kulitnya secara perlahan, digergaji anggota badannya, digantung berhari-hari di atas kotoran, diceburkan ke air belerang mendidih di Gunung Unzen, dll (Heuken 2011, 43-51). Lalu oleh penguasa pada tahun 1626-1857, pada setiap pesta tahun baru, penduduk Nagasaki dan sekitarnya harus pergi ke Balai Kota untuk menginjak gambar Yesus dan Bunda Maria, efumi namanya. Peristiwa itu diawasi pegawai kotapraja dengan sangat teliti. Kemudian mereka mengeluarkan surat bukti. Peraturan ini dilakukan duaratus tigapuluh tahun. Ada orang Kristen yang berdalih sakit, ada yang mendekatkan kaki pada gambar tanpa menjamahnya, ada yang menginjak gambar lalu langsung bertobat dan bermati-raga. Sebelumnya mereka mencuci kaki mereka sebersih-bersihnya dan berusaha jangan menginjak muka di tengah-tengah. Kebiasaan buruk itu baru dihentikan setelah saudagar-saudagar di Barat keberatan (1873). Waktu kebebasan beragama diumumkan, masih terdapat 30.000 orang Kristen (Hidden Christian : Kakure Kisrishitan) yang bertahan selama 250 tahun tanpa kontak dengan Gereja Universal dan Roma (Caldarola 1979, 17). Jumlah mereka naik menjadi lebih dari 600.000. Mereka tidak mau didaftarkan dan tetap bersikap agak tertutup (Heuken 2011, 47-50).
            Mengenai ketertutupan orang-orang Kirishitan itu, akhirnya secara institusi mereka terasing dari model Barat. Secara peradaban, mereka sangat bercorak kultural. Khas beragama mereka pada akhirnya memunculkan bentuk baru sinkretik, mengawinkan nilai-nilai konfusian dan Shintoisme dan kekristenan, namun lebih tradisional. Kode etik yang muncul terasing dari teologi sistematika, liturgi formal, dan organisasi gereja. Mereka seolah menyerukan konteks historis dan budaya dari diri mereka sendiri (Caldarola 1979, 2).
            Suasana mencekam yang kami gambarkan di atas, dan perubahan cara hidup Kristen pada era setelahnya adalah dua hal yang saling terkait: bahwa Jepang mengalami masa gelap, dan setelahnya mereka mengubah diri mereka beriman Jepang-Kristen agar mereka benar-benar merasakan Kristus itu hidup di tengah-tengah mereka, mereka ber-sinkretis. Dalam paper tersebut akan diuraikan bagian-bagian yang menceritakan lebih mendalam tentang apa yang sedang terjadi. Bagaimana para misionaris hadir dan menuai kejayaan: banyak orang dibaptis dengan kualitas iman yang militan. Lalu mengalami masa kegelapan, dan pada akhirnya dapat bernafas untuk dapat menemukan identitasnya sendiri: lebih Jepang yang Kristen daripaada Kristen yang Jepang. Pada akhirnya, kita mengenali sebuah realitas dunia Kristen yang pernah lahir, berjaya, berjuang, dan berhasil belajar dari sejarah mereka.

Kekristenan di Masa Feodalisme
Benih Kekristenan ditanam di tanah Jepang pada 1549 oleh Fransiskus Xaverius dan Cosme de Torres. Kisah bermula ketika Fransiskus Xavierius yang tengah merintis Kekristenan di Nusantara bertemu dengan Yajiro di Malaka. Ia mendengar tentang kemajuan peradaban masyarakat Negeri Matahari Terbit itu darinya. Oleh karena itulah, Xavierius memutuskan untuk menyebarkan Injil di sana. Setelah membaptis Yajiro, ia berlayar bersama Cosme de Torres, Juan Fernandez, dan dua orang Jepang lainnya.
Strategi penginjilan Xavierius adalah menerjemahkan Injil ke dalam bahasa dan tradisi Jepang. Ia meminta bantuan Yajiro untuk melaksanakan strateginya ini. Namun, terjemahannya mengandung masalah serius sehubungan terbentangnya jarak antara doktrin kekristenan dan konsep teologis agama-agama pribumi Jepang, misalnya Buddhisme dan Shintoisme. Sebagai contoh, ia mengalami kesulitan untuk menemukan terminologi yang tepat untuk mengkomunikasikan nama Allah. Terminologi Dainichi yang dipinjam Yajiro dari sekte agama Shingon malah meneguhkan konsep ketuhanan Buddhisme alih-alih kekristenan. Alhasil, Xaverius menginstruksikan orang-orang Jepang di Yamaguchi untuk berhenti menyembah Dainichi (Miyazaki 2003a, 6).
Xavierius segera mengganti strategi penginjilannya dengan berusaha mendekati Kaisar yang berada di Kyoto dengan tujuan memperoleh izinnya. Namun, keadaan politik yang belum stabil pada saat itu membuat kaisar hampir tidak memiliki otoritas. Oleh karena keadaan yang tidak kondusif dan adanya kesenjangan dalam bahasa dan tradisi, Xavier memutuskan untuk meninggalkan Jepang untuk mengurus ladang penginjilan di Cina dan India. Karyanya dilanjutkan oleh Cosme de Torres.
Torres berkarya jauh lebih lama daripada Xavierius yang hanya berada di Jepang selama dua tahun. Karyanya barulah membuah hasil ketika memasuki usia satu dasawarsa. Pada saat itu, beberapa daimyo atau tuan tanah, misalnya Omura Sumitada, Takayama Ukon dan Otomo Sorin, memutuskan untuk memeluk kekristenan. Konversi agama keduanya dilakukan dalam rangka memuluskan hubungan dagang dan militer dengan Kerajaan Portugis. Kita tidak dapat mengesampingkan konteks politik Jepang yang belum kondusif pada saat itu. Para daimyo berlomba-lomba membangun aliansi dalam rangka mewujudkan mimpi untuk menguasai seluruh Jepang. Namun, ketika kapal-kapal perang Portugis tidak kunjung menampakkan diri di pelabuhan-pelabuhan Jepang, para tuan tanah memutuskan kembali memeluk agama semula dan menganiaya orang-orang Kristen (Miyazaki 2003a, 7).
Misionaris Serikat Yesuit lain yang berkarya di Jepang adalah Alexander Valignano. Pria yang tiba pada 1579 ini melanjutkan strategi penginjilan yang diterapkan oleh Xaverius. Ia mengakomodasi budaya pribumi dengan cara menghargai alih-alih menghancurkannya. “Missionaries were to show esteem for the culture of Japan and were transplant on top of that culture the superior Christianity culture(Miyazaki 2003a, 8). Penerapan strategi ini adalah dengan cara membangun sebuah sekolah bahasa di Sakaguchi.
Selain itu, Valignano pun mendorong para misionaris untuk belajar budaya, tatakrama, dan gaya hidup sehari-sehari masyarakat setempat, termasuk cara berpakaian dan makan. Bahkan, ia memutuskan untuk mendirikan sebuah gereja yang gaya arsitekturnya khas Jepang. Tujuannya melakukan semua itu adalah memperkenalkan wajah kekristenan yang bersahabat dan tidak asing, sehingga mudah berakar dan bertumbuh di ladang misi.
Valignano menuai buah manis dari strateginya yang bersahabat dengan konteks itu. Daimyo Nagasaki tertarik untuk memeluk agama Kristen dan memutuskan dibaptis. Konversi agama yang dilakukan oleh penguasa ini menarik semakin banyak rakyat jelata untuk melakukan tindakan yang sama. Dukungan daimyo pun memungkinkan Serikat Yesuit untuk mendirikan beberapa seminari di Azuchi dan Arima dan novisiat di Usuki dan Bungo. Dengan adanya berbagai fasilitas pendidikan tersebut, ia berharap dapat menarik minat putra para bangsawan dan samurai untuk belajar agama dan pengetahuan Barat. Naradidik yang belajar di sana akan dipersiapkan menjadi imam. Alhasil, Nagasaki menjadi kota Kristen pertama di Jepang.
Namun, keadaan berubah drastis bagi kekristenan sejak tampilnya rezim Tokugawa pada 1614 di Jepang. Shogun Hideyoshi menetapkan sebuah kebijakan yang melarang adanya orang atau produk asing dalam bentuk apapun, termasuk agama Kristen. Pada awalnya, ia menjalin hubungan bilateral dengan Spanyol dalam sektor perdagangan, sehingga para misionaris dari Ordo Fransiskan dan Dominikan diizinkan berkarya di Jepang. Namun, setelah merampas seluruh muatan kapal San Felipe yang karam di Pulau Tosa, ia membatalkan kesepakatan dengan Spanyol. Dua puluh enam orang Kristen, baik misionaris asing maupun lokal, disalibkan di Nagasaki pada 1597.
Pemerintah kembali memberi angin segar pada kekristenan sejak Ieyasu Tokugawa menggantikan Hideyoshi dan mendirikan pemerintahan militer di Edo. Keperkasaan armada laut kerajaan-kerajaan Protestan, yaitu Inggris dan Belanda, menarik minat Ieyasu untuk menjalin kesepakatan dagang. Pada awalnya, kedua kerajaan itu bersedia untuk bekerjasama dengan pemerintah. Namun, pesona Jepang tidak segemerlap Malaka dan Hindia, sehingga mereka memutuskan untuk berlayar ke sana untuk berdagang.
Tidak adanya kerajaan Kristen dari Barat yang menjalin kesepakatan dagang dengan pemerintah, baik dalam rangka mendulang keuntungan maupun mendukung karya para misionaris di Jepang, mempermudah pemerintah untuk membasmi kekristenan. Dalam kurun waktu tiga puluh tahun, penganiayaan terhadap orang-orang Kristen mencapai puncaknya. Tidak sedikit, baik pribumi maupun imam asing, disiksa dengan sadis dan dibunuh karena bersikukuh mempertahankan imannya. Sebagian yang lain memilih untuk kembali memeluk agama sebelumnya dalam batasan formalitas. Mereka tetap mendaku dan menghayati diri sebagai pengikut Kristus sekalipun tidak lagi beragama Kristen. Tidak hanya sampai di situ, Ieyasu Tokugawa juga tidak membiarkan berdiri satu pun bangunan gereja atau seminari. Penganiayaan ini berlangsung selama 210 tahun dan membunuh kira-kira 5000 orang (Miyazaki 2003a, 13). Kebijakan rezim Tokugawa berdampak pada absennya imam dan misionaris yang mampu menggembalakan umat selama sekian ratus tahun. Beberapa utusan dari gereja yang berusaha masuk ke Jepang melewati jalur pantai mengalami nasib buruk, entah dipenjara atau disiksa hingga meregang nyawa di tiang gantungan. Keadaan diperparah dengan minimnya jumlah literatur dan simbol yang berhasil selamat dari pengrusakan tentara pemerintah. Alhasil, generasi-generasi senpuku Kirishitan selanjutnya semakin jauh dari pokok ajaran-ajaran kekristenan ala Barat. Bahkan tercatat ada gerakan sinkretik baru dengan corak Shinto, Buddha, dan Kristen dengan nama Shinko Shukyo yang seolah mewadahi kerinduan akan iman Kristen namun dihambat. Tercatat agama-agama baru dengan banyak pengikut, a.l. Tenrikyo (1838; 2,5 juta) dan Reiyuki Kyodan (1962; 5 juta pengikut (1859). Dan yang terbesar adalah Soka Gakkai (1930) dengan ± 10 juta anggota terutama dari kelas menengah ke bawah  (Heuken 2011, 150-151).
Demi menjaga iman dan identitas diri sebagai orang Jepang, mereka terpaksa melakukan sinkretisme dengan agama-agama pribumi. Hal ini terlihat dari pengadopsian gambar-gambar dewi Buddhisme yang digunakan karena kedekatan – baik secara tampilan maupun teologis – dengan Perawan Maria, misalnya Koyasu Kannon, sang dewi belas kasih yang digambarkan tengah menggendong seorang bayi laki-laki (Tiedemann 2006, 468).
Masa penganiayaan yang panjang mendorong terjadinya evolusi teologi Kristen di Jepang. Selain sinkretisme dan pengadopsian simbol agama-agama pribumi, penyangkalan iman melalui aksi menginjak fumie pun mempengaruhi perubahan teologi mereka. Menurut Miyazaki Kentaro, para Kirishitan yang memilih untuk menyangkal imannya di hadapan para tentara mengucapkan doa yang berisi penyesalan mendalam akan dosa setelah menginjak gambar Yesus Kristus atau Perawan Maria. “Gradually, the faith of the underground Kirishitan tended to move away from a God who was a strict father and judge and focus on a forgiving motherly God of infinite tenderness, Mary” (Miyazaki 2003b, 21).

Kekristenan di Masa Nasionalisme
Berakhirnya pemerintahan Tokugawa memberi peluang bagi kekristenan untuk kembali ke Jepang. Selama restorasi Meiji, para misionaris dapat kembali melakukan penginjilan. Dampaknya adalah pertumbuhan gereja, baik Katolik maupun Protestanisme, sangat pesat pada masa ini. Pada 1858, seorang imam Perancis bernama Ptigean tiba di Jepang untuk menghidupkan kembali gereja di Yokohama dan Nagasaki. Walaupun demikian, agama Kristen belum diterima secara penuh oleh pemerintah Jepang. Pada 1865, Ptigean harus bergumul bersama para Kirishitan no Senpuku di dalam penjara selama enam tahun (Yui 1996, 22).
Gereja Ortodoks Yunani juga datang ke Jepang setelah politik Sukoku berakhir. Nicolai, seorang imam Rusia, datang ke Hakodate di Pulau Hokkaido, Utara Jepang. Ia mengkristenkan seorang mantan samurai bernama Takuma Sawabe. Sejak itu, gereja ini berkembang pesat hingga bisa membangun Katedral Nicolai Do di Tokyo dengan jumlah anggota yang mencapai 30.000 orang (Yui 1996, 22).
Kekristenan terus berkembang pesat di Jepang pada masa ini. Proses ini ditandai dengan penggabungan beberapa jemaat hasil-hasil karya misi, yaitu jemaat milik Gereja Presbiterian Amerika Serikat, Gereja Reformed Amerika, dan juga Gereja Presbiterian Skotlandia ke dalam suatu wadah yang bernama Nihon Kirisuto Ichi Kyokai pada 1877. Tahun berikutnya American Board of Commissionaries membentuk Asosiasi Penginjilan Jepang. Setelah berkarya selama sembilan tahun, lembaga misi nii mendirikan Nihon Kumiai Kyokai atau Japan Congregational Church. Tahun 1907 merupakan masa giliran bagi beberapa Gereja Metodis di Jepang untuk menggabungkan diri ke dalam Methodist Episcopal Church, Gereja Episkopal Metodis Amerika Serikat, dan Gereja Metodis Kanada.
Tahun 1941, sejumlah besar gereja menyatu dalam Nihon Kirisuto Kyodan atau United Church of Christ in Japan (Steele 2003, 361). Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah untuk pengendalian agama di Jepang. Anggota gereja yang tidak tergabung dalam kyodan ini akan disiksa dan dipenjara. Namun, pada akhirnya, memang banyak orang Kristen di Jepang yang harus menderita dan menyatakan sebagai penganut Shinto-Kristen (Yui 1996, 24).
Setelah perang, arus penginjilan dari aliran Baptis serta Pentakostal datang ke Jepang dalam jumlah besar.  Badan misi terbesar pada saat itu adalah Evangelical Alliance Mission, Far Eastern Gospel Crusade, dan Overseas Missionary Fellowship. Pada 1968, Asosiasi Penginjilan Jepang mengadakan pembicaraan tentang kerjasama penginjilan dengan beberapa badan misi. Pada tahun itu tercatat kira-kira sejuta orang Kristen di Jepang dengan statistik sebagai berikut: Protestan = 600,000 orang; Katolik = 370,000 orang; Ortodoks Yunani = 25,000. Jumlah ini hanya 0.8% dari jumlah penduduk Jepang (Yui 1996, 26).
Para pemimpin Kristen di Jepang menentang aksi pemerintah yang melancarkan serangan dalam Perang Dunia II. Akhirnya, tidak sedikit dari mereka yang dicopot dari jabatannya secara paksa. Orang-orang ini kemudian menjadi penginjil dan banyak menulis pamflet yang mengkritik pemerintah dan perang yang dilancarkan (Steele 2003, 360).
Tahun 1967, Suzuki Masahisa, ketua dari Christian United of Christ, mengakui kesalahannya dalam mendukung agresi pada Perang Pasifik. Ia kemudian aktif di gereja dalam hal politis dan juga sebagai pengamat sosial. Hal itu kemudian melahirkan perdebatan di dalam tubuh gereja, yaitu antara kaum liberal dan konservatif. Perdebatan ini kemudian diperparah dengan pemberian dukungan dari Christian United of Christ bagi pembangunan paviliun Kristen. Kelompok liberal yang memberikan dukungan ini melihat bahwa proyek ini menjadi satu hal penting untuk menunjukkan agresi ekonominya di Asia. Di lain pihak, golongan konservatif melihat bahwa ini tidak berbeda dengan pemberian dukungan gereja pada perang yang dilancarkan pemerintah di waktu yang lalu.

Perkembangan Teologi Jepang pada abad 19-20
Pada masa kepemimpinan Kanzo Uchimura, orang-orang Kristen di Jepang memberontak terhadap dominasi institusi luar negeri dan menegaskan kekristenan pribumi mereka. Mereka menyebut diri sebagai mukyokai atau orang-orang Kristen non-gereja (1891). Pada saat yang sama muncul gerakan Makuya. Mereka menolak ritual, hirarki imamat, dan dogma. Dewasa ini, 35.000 orang Kristen memusatkan kegiatan mereka pada agama non-gereja dan melakukan pendalaman Alkitab dengan model pemuridan lama, yaitu sensei-deshi (Caldarola 1979, 2). Model yang dinamakan Caldarola sebagai akulturasi ini mengusulkan tiga tahap teologi kembali kepada tradisi, yaitu reorientation, reaffirmation, dan integration (Caldarola 1979, 9). Bagi Uchimura, kekristenan di Jepang cukuplah bicara tentang 2J: Jesus dan Japan, artinya cukuplah dengan Kitab Suci dan pembatisan saja  (Heuken 2011, 133).
            Kemajuan di Jepang pada bagian kedua abad 19 cukup menimbulkan aneka masalah sosial, yang menjadi perhatian beberapa orang muda Kristen, misalnya Toyohiko Kagawa (†1960). Salah satu kritik dari pemerhati kekristenan di Jepang, a.l. Ebina, Sesuji Otsuka dan Toyohiko Kagawa adalah ketidaksetujuan mereka terhadap “pemberhalaan” kaisar. Bagi mereka, tentang kecintaan masyarakat Jepang menjadikan kaisar sebagai titik pusat atau lambang kebanggaan nasional, tak perlu sampai “menjadikan yang berkuasa sebagai Allah yang hidup.” Bagi Kagawa sendiri, Yesus Kristus yang adalah penjelmaan ilahi Allah itu dapat dijadikan sebagai prinsip Kristen untuk merespons kondisi sosial. Salib digambarkan sebagai pilihan yang dilakukan Kristus secara sadar di mana hukuman terhadap dosa-dosa manusia (memasabodohkan kepedihan dan kedukaan yang ditimpakah pada sesama kita, bagi Allah, adalah dosa yang kejam) ditimpakan kepada-Nya. Kesadaran Yesus akan salib ini, demikian Kagawa, harus menjadi kesadaran manusia yang dengannya ikut berpartisipasi dalam karya penebusan dalam mengikut Yesus  (Yewangoe 2004, 230-231).
            Umat Protestan di Jepang yang pada akhir abad 19 mencakup ± 4000 orang beriman dalam beberapa gereja, sebagian besar dipimpin oleh pendeta pribumi, yang sebagian besar bekas samurai, berkembang lancar. Pada akhir abad ke-19 terjemahan Kitab Suci selesai (1879-83) dan menjadi best seller (Heuken 2011, 133). Tiga universitas Protestan sampai kini termasuk perguruan tinggi favorit, a.l. Doshisa University di Kyoto, Universitas Yochi Daigaku atau Sophia di Tokyo (1913 oleh Serikat Jesuit). Tetapi semenjak pertengahan abad ke-20 umat Kristen bertumbuh perlahan karena terjadinya nasionalisme berdasar Shintoisme pasca kemenangan atas Tiongkok. Pada awal abad 20 terdapat 70.000 orang Protestan. Pada waktu itu hanya satu persen orang Jepang beragama Kristen, seratus tahun kemudian, satu setengah persen saja (Heuken 2011, 133).



Kekristenan di Jepang pada 1970-2000
Dalam upaya pengembangan Jepang terhadap dunia internasional, pada tahun 1970 terjadi pergulatan hebat seperti yang dijelaskan sebelumnya. Jumlah orang Kristen yang hanya 1 persen dari seluruh penduduk Jepang ternyata tidak membuat mereka berhenti untuk bersuara, atau mengkritisi apa yang menjadi program pemerintah.Pada tahun 1970-an, kebingungan terjadi di antara banyak agama dan denominasi di Jepang.
Adanya ketidakjelasan hubungan antara agama dan negara membuat banyak sekali perdebatan di antara penganut dan juga pemimpin agama. Kasus demi kasus yang berakitan dengan keagamaan tidak dipandang serius, entah itu dari Shinto, Buddha, Konghucu, maupun Kristen. Tidak menjadi masalah jika ada konversi dari agama satu ke agama yang lain, selama tidak mengganggu kebijakan pemerintah (Reid 1991, 54). Bagi Jepang, tidak bisa dipungkiri bahwa pemahaman dan ajaran Kristen berperan cukup banyak dalam membentuk masyarakat (Reid 1991, 57). Namun tetap saja pada kenyataannya pemerintah Jepang lebih melihat bukan kepada komunitas berbasis agama.
Dari sudut pandang Kristen di Jepang, kebijakan menasionalkan kuil didasarkan pada alasan berikut: keterlibatan pemerintah akan menyalahi aturan sejak adanya kebijakan pemisahan agama dan politik; adanya kekhawatiran bahwa sikap ini akan mengarah pada militerisasi Jepang. Kepercayaan terhadap roh nenek moyang dan juga penghormatan kepada kaisar menjadi tantangan bagi gereja dan juga orang Kristen di Jepang. Maka tugas gereja di Jepang adalah untuk mengkomunikasikan ajaran Kristen untuk mereformasi ajaran dan budaya di Jepang (Yui 1996,  40)
Dalam dunia industri dan komunikasi, Jepang sangat unggul bahkan menjadi satu yang utama di Asia. Pemerintah Jepang mengadopsi slogan, “Semangat Jepang dan teknologi Barat”. Dengan begitu, sedikit banyak pengaruh Barat datang menghampiri kehidupan masyarakat Jepang. Kebutuhan untuk kerja lebih lama membuat banyak orang Kristen di Jepang sulit untuk berkegiatan lebih sering di gereja. Keterikatan jadwal sekolah yang padat juga mempengaruhi minat anak-anak Jepang untuk hadir di Sekolah Minggu (Yui 1996, 42).


Teologi Kristen Jepang
  1. Kazoh Kitamori - Teologi Luka Allah[1]
Kazoh Kitamori lahir dalam keluarga non-Kristen yang tinggal di Kumamoto, Jepang pada tahun 1916. Ia dikenal sebagai seorang Kristen Jepang yang berhasil mengkonstruksi teologi kontekstual berdasarkan locus tanah kelahirannya. Teologi ini, yaitu Teologi Luka Allah, lahir setelah Jepang menelan pil pahit kekalahan dalam Perang Dunia II pasca dihantam bom atom oleh Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki. Rakyat Jepang tidak hanya menderita karena kehilangan harta benda dan orang-orang yang dikasihi, tetapi juga kehilangan identitas, masa depan, dan semangat. Ia menuangkan pemikirannya itu dalam buku yang berjudul Kami No Itami No Shingaku.
Teologi Luka Allah berbicara mengenai Allah yang menderita rasa sakit. Konsep ilahi ini bertentangan dengan teologi klasik Kristen yang memahami bahwa Allah tidak dapat menderita alias impassibilis. Penderitaan Allah lahir akibat dari kasih-Nya yang luar biasa kepada ciptaan yang seharusnya tidak layak menjadi arah perasaan itu. The Lord was unable to resolve our death without putting himself to death. God himself was broken … and suffered, because He embraced those who should not be embraced” (Kitamori 1965, 22).
Rasa sakit yang Allah alami bukanlah sekadar simpati atas penderitaan manusia. Kitamori menggunakan konsep tsurasa yang dalam literatur dan drama klasik Jepang untuk membuktikan kontekstualitas teologinya. Tsurasa merupakan sebuah bentuk emosi yang terjadi hanya saat seseorang tidak mempunyai pilihan cara untuk menyelamatkan nyawa orang lain, kecuali membunuh dirinya sendiri atau orang lain yang dikasihinya. Si penyelamat merasakan kesedihan dan kepahitan tak terperi di saat yang bersamaan (Tang 2004, 91).

2.      Kosuke Koyama – Pikiran yang Disalibkan
Kosuke Koyama dapat digolongkan sebagai teolog kontekstual, mistikal, Yesus-Kristus-sentris, dan barangkali tergolong post-kolonial juga. Dalam “No Handle on The Cross”, Koyama menyuguhkan bagaimana hidup beragama manusia seharusnya tak jumawa dengan rasionya.  Beragama adalah soal bagaimana menggantungkan segala keputusan kepada Allah. Menjadi Kristen juga tak semudah menjinjing koper kala berangkat ke kantor atau seperti rantang makanan bergagang, melainkan harus menyangkal diri dengan patuh memikul salib tanpa gagang (Koyama 2012, 4). Salib yang beratnya sulit ditolerir. Yesus yang tercabik-cabik dan menyembuhkan dunia lebih cocok dibicarakan untuk mencari sumbangan iman bagi kondisi dunia dengan manusia yang lapar kuasa, cenderung mencuri  (Yewangoe 2004, 251)  dan  “lapar tombol” (istilah kelompok) agar hidup minim beban  (Edwood 2006, 103). Koyama lebih melihat bahwa beriman bukan mempercepat langkah bahagia, melainkan mencukupkan diri melaju berkecepatan 3 mil per jam, menjadi tersalib, berhenti, dan berjalan bersama Allah yang penuh kasih berbela rasa tanpa sikap “menjajah  (Edwood 2006).”
Selanjutnya, Koyama menyatakan bahwa misi Kristen bukanlah “mengkampanyekan” Allah, sebab itu merupakan penghinaan (merendahkan dan menistakan Juruselamat) bagi Allah sendiri (Koyama 2012, 52). Jika pun kita memperdengarkan Allah yang penuh kasih itu, maka hal itu perlu dibimbing dan diterangi oleh “pikiran yang disalibkan.” Pikiran yang disalibkan merujuk pada pandangan teologis tentang “daya pikir yang dibaptis secara teologis.” Dalam hal ini, Koyama ingin membangkitkan daya pikir Asia yang tidak dikendalikan oleh Barat. Orang Asia memiliki “strategi yang lebih baik” yang patut diberi tempat untuk berpartisipasi dalam bermisi.
Istilah-istilah Koyama merujuk pada detail-detail cerita Yesus yang menakjubkan: “menyangkal diri”; “membungkuk”; “tangan tidak terbuka dan tidak tertutup” dsb untuk memberikan sebuah penguatan pada cara pandang Asia yang memang tidak absolut dalam berteologi dan beriman. Hal tersebut terbukti dari sikap hidup menyintasnya orang-orang Kirishitan dalam lebih dari dua abad:  hidup silent (Endo: Silence) itu telah menyelamatkan mereka. Pada akhirnya, teologi Koyama dapat disimpulkan sebagai dorongan untuk hidup beragama adalah hidup membumi, mengalami Kristus dalam keseharian bersama-sama kekayaan agama lain: Buddha, Hindu, Islam dll. Dengan mengkritik perilaku beragama Kristen yang kurang berpikir historis (padahal Kristen adalah agama yang historis terhadap “Allah Pengeluaran” (Koyama 2012, 135), Koyama hendak menyarankan orang-orang Kristen di Asia supaya benar-benar kembali kepada sikap hidup “Yesus yang diludahi” supaya mereka menyadari risiko imannya. Tips yang paling tepat adalah, jangan meniru Barat yang pada akhirnya hanya memperburuk Asia ( (Koyama 2012, 136) dengan berbagai gejala kejahatan: korupsi, eksploitasi tenaga manusia secara kejam, penolakan secara terang-terangan tentang hak-hak asasi manusia, timbulnya pemerintahan otoriter dsb. Padahal Asia memiliki “ceritanya” sendiri.



  1. Masao Takenaka – Nasi dan Allah
Masa Takenaka adalah seorang profesor di Doshisha University. Ia aktif dalam kegiatan ekumenis, misalnya menjadi pembicara di sidang raya WCC ketiga di India, kuliah memorial John R. Mott di EACC, kuliah memorial Burns di Knox College, dan kuliah Karnahan di Union Theological Seminary New York. Sarjana ekonomi lulusan Universitas Kyoto menempuh studi teologi di Doshisha dan Yale University. Gelar Doctor Philosophie-nya di bidang etika sosial diraih pada 1954 dan meraih Ph.D-nya dalam bidang etika sosial tahun 1954. (Mikio 2001, 819). Dalam bukunya yang berjudul Nasi dan Allah, Takenaka mengatakan bahwa Allah lebih tepat dianalogikan sebagai nasi alih-alih roti dalam konteks Jepang. Alasannya adalah nasi merupakan makanan pokok orang-orang Asia, termasuk Jepang. Dengan demikian, Allah-Nasi ini lebih akrab dibandingkan dengan Allah-Roti. Implikasi teologisnya adalah dengan membahasakan Allah sebagai nasi, konsep tentang kasih-Nya dapat lebih mudah dikomunikasikan kepada orang-orang Asia  (Takenaka 1996).

Sebuah Testimoni
Testimoni ini sekadar untuk melihat “karakter” orang-orang di Jepang dalam hidup beriman – berteologi. Dalam hal ini kami mengambil sikap orang Jepang dua tahun lalu, 2011, saat Jepang diguncang oleh tsunami yang mengakibatkan kebocoran reaktor nuklirnya. Tidak mengapa jika testimoni ini disilih dari orang bukan Jepang, namun dari Martin Lukito Sinaga, orang Indonesia. Sinaga menulis:
Ada yang mencatat, bagaimanapun rakyat Jepang melihat guncangan itu sebagai a calm chaos sehingga warga dari kota-kota yang luluh lantak itu bisa perlahan merajut kembali kebersamaan hidup. Kita pun mendengar gema ganbare ’bertahanlah’ bergetar di banyak tempat. Seorang pendeta dari Chubu mengirim berita dengan kutipan kitab Ayub ini, ”Bagi pohon masih ada harapan: apabila ditebang, ia bertunas kembali, dan tunasnya tidak berhenti tumbuh” (Kompas 2011).
Sikap teologis itu ditulis dalam judul Bersama yang Tersalib dan Yang Terguncang. Dalam kehancuran itu pasca peristiwa itu, Sinaga melihat sebuah sikap “tegar” orang-orang Jepang ketika menghadapi peristiwa “yang tersalib dan terguncang.” Peristiwa yang tersalib kami pahami dekat dengan sikap “pikiran yang tersalib” dari Koyama. Sedangkan “yang terguncang” kami pahami pada peristiwa penyiksaan dan pembunuhan yang sering masal pada orang-orang Kirishitan pada abad-abad 16 dan 17. Bagi Sinaga, dengan mendengarkan suara-suara mereka “yang terguncang dan tersalib” – narasi keseharian sebagai modal terbesar dalam hidup beriman itu, - sebuah solidaritas akan bangkit dan hendak mengatasi (melewati) pengalaman pahit dengan sebuah keterbukaan, tidak undur ke dalam amnesia: justru melangkah dan menata ulang hidup. “Kematian” itu diteruskan dengan “kebangkitan”, kebangkitan sebuah tradisi baru bagi Jepang dan khususnya bagi gereja: membagi roti, saling peduli (solidaritas) dan menyongsong pembaruan pasca guncangan dan ketersaliban. Barang kali, teologi ini juga cocok menjadi refleksi atas pengalaman dan sejarah Jepang yang pernah “tersalib dan terguncang” dalam hidup beriman.

Sebuah Rekonsiliasi dan Pembelajaran Sejarah  (Aritonang 2011)
Rasa-rasanya kita memang layak memuji semangat bushido yang mengakar di Jepang. Salah satu keberanian itu dapat kita lihat dalam proses rekonsiliasi gereja-gereja di Jepang terhadap pemerintahan. Tak dapat dipungkiri bahwa gereja selalu berjumpa dengan pemerintahan dalam berbagai kepentingan (baca: urusan). Pengakuan Kyodan[2] (Nihon Kirisuto Kyodan : penyatuan gereja-gereja di Jepang) yang dilakukan oleh gereja sebagai penyesalannya karena telah menaati tuntutan pemerintah untuk terlibat Perang Dunia II (bahkan pengerja dan warga gereja ikut menjadi serdadu) dipandang oleh gereja-gereja di dunia sebagai keberanian dan sekaligus pembelajaran sejarah yang mengingatkan pemerintah Jepang supaya tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan, memanfaatkan gereja sebagai alat perang. Pengakuan itu membebaskan gereja di Jepang dari rasa bersalah dan membangkitkan rasa hormat dari gereja di seluruh dunia kepada gereja di Jepang.

Simpulan dan Refleksi
Jika ada pembicaraan ihwal menyintas iman, kekristenan di Jepang dapat dijadikan model yang relevan untuk diteladani. Tentang membahasakan Allah, mereka memilih jalan yang tidak lazim supaya mereka tetap “berpegangan” pada Allah itu. Bahasa itu adalah “silence.” Demikian pergolakan antara kekuasaan, budaya, politik, agama, dan penginjilan bersilang-kepentingan dan mengakibatkan berbagai peristiwa miris, tak beradab, namun juga sangat imani. Dalam kurun yang tidak singkat, kekristenan (Katolik & Protestan) hadir dan bertumbuh dengan wajah yang khas dari kekristenan di tempat lain. Peristiwa demi peristiwa – baik yang menorehkan luka mendalam maupun pertumbuhan iman yang memukau itu telah mengajari umat Khirisitan untuk menyintas dan menemukan warna teologi mereka, teologi sinkretis dan lebih berwatak tradisional-kontekstual.
            Beberapa teolog kontekstual (Koyama, Kitamori, Takenaka dll) bangkit, menyuarakan dan menunjukkan betapa agama Kristen adalah agama yang membumi dan membawa solusi bagi berbagai persoalan masyarakat di Asia, khususnya di Jepang sendiri. Teologi yang lahir dari kekayaan hidup keseharian (nasi, koper, penderitaan) dan refleksi mendalam terhadap Injil itu menjadi populer di kalangan teologi, khususnya Asia. Yesus menjadi hidup dan turut bekerja bersama dengan umat-Nya, Allah benar-benar “bersahabat” dan mengajari setiap orang percaya untuk tetap bersikap “bergantung pada Allah” tanpa ingin mengendalikan Allah sendiri.
            Sejarah telah mengajari orang-orang Kristen di Jepang untuk tidak jatuh pada kesalahan yang sama, bahwa ketika agama bertumpang tindih dengan kepentingan kekuasaan, termasuk kekuasaan atas hidup yang serakah, agama menjadi kacau dan menimbulkan penderitaan yang tak kunjung sembuh. Keberanian berefleksi, berteologi kontekstual dan bertindak teologis (pengakuan dosa) itu adalah bukti bahwa Jepang memang belajar dari kesalahan. Salah satu hal yang patut diberi penghormatan dalam hidup beriman di Jepang adalah keterbukaan berdialog dengan nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal, dalam hal ini kita melihat bukti bahwa keberanian gereja di Jepang mengakui kesalahannya dalam keterlibatan mereka dalam PD II adalah buah dari sinkretisnya agama dan budaya Jepang. Tindakah teologis ini bukan saja mengajari bahwa manusia memang makhluk lemah yang dapat terjebak dalam kesalahan sejarah, namun agama mengajarkan bahwa pertobatan dan rekonsiliasi dapat menyembuhkannya, walau tidak total.
Daftar Acuan

Aritonang, Jan Sihar. Berpikir dan Bertindak Historis Sekaligus Teologis. Jakarta: STT Jakarta, 2011
Caldarola, Carlo. Christianity: The Japanese Way. Leiden: Brill, 1979.
Edwood, Duglas J. Teologi Kristen Asia. Translated by B.A Abednogo. Jakarta: Gunung Mulia, 2006.
Heuken, Adolf. Christianity in Asia. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2011.
Kitamori, Kazoh. Theology of the Pain of God. Virginia: John Knox Press, 1965.
Koyama, Kosuke. Tidak Ada Gagang Pada Salib. Dialihbahasakan oleh S. H. Widyapranawa dan H. P. Nasution. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Mikio, Robert. “Takenaka Masao.” Dalam Dictionary of Asian Christianity, disunting oleh Scott W. Sunquist, 819. Michigan: William B. Eerdemans Publishing Co., 2001.
Miyazaki, Kentaro. “Roman Catohlic Mission in Pre-Modern Japan.” Dalam Handbook of Christianity in Japan, disunting oleh Mark R. Mullins, 1-18. Leiden: Brill, 2003.
Miyazaki, Kentaro. “The Kakure Kirishitan Tradition.” Dalam Handbook of Christianity in Japan, disunting oleh Mark R. Mullins, 19-34. Leiden: Brill, 2003.
Steele, M. William. “Christianity and Politics in Japan.” Dalam Handbook of Christianity in Japan, disunting oleh Mark R. Mullins, 359-384. Leiden: Brill, 2003.
Takenaka, Masao. Nasi dan Allah. Jakarta: Gunung Mulia, 1996.
Tang, Edmond. “East Asia.” Dalam An Introduction to Third World Theologies, disunting oleh John Parrat, 74-104. New York: Cambridge University Press, 2004.
Tiedemann, R. G. Christianity in East Asia. Vol. VII, dalam Cambridge History of Christianity, disunting oleh Stewart J. Brown dan Timothy Tackett, 451-474. New York: Cambridge University Press, 2006.
Yewangoe, A.A. Theologia Crucis di Asia. 1st. Translated by Stephen Suleeman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Yui, Yoshiaki. “The Church in Japan.” Dalam Church in Asia Today: Challenges and Oppurtunities, disunting oleh Saphir Athyal, 19-47. Singapura: Asia Lausanne Committee for World Evangelization, 1996.



[1] Bagian ini disadur dari makalah berjudul Pain of God yang ditulis oleh Abraham L. R. A. Suriadikusumah dan Tyson Parulian Hutabarat. Makalah tersebut disajikan dalam kuliah Teologi Kontestual di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta pada 4 Maret 2013.
[2] We freshly realized yet again the mistakes we committed in the mane of the Kyodan at the time of our formation and during the following war years. We therefore seek the mercy of our Lord and the forgiveness of our neighbors. In those years, the government of our country, out of the imperatives of waging war, demanded as a matter of national policy that religious bodies be consolidated and cooperate with the war effort. Even as our country committed sin, so we too, as a church, fell into the same sin. We neglected to perform our mission as a “watchman". Now, with deep pain in our hearts, we confess our sin and ask the Lord for forgiveness. We also seek the forgiveness of the people of all nations, particularly in Asia, and of the churches therein and of our brothers and sisters in Christ throughout the world; as well as the forgiveness of the people in our own country. Over twenty years have passed since that war ended; and we are fearful that our beloved country, set in today's problem-plagued world, is once again headed in a dangerous direction.  At such a moment, we seek God's help and guidance so that the Kyodan may not repeat its errors but, rather, may rightly carry out its mission in Japan and in the world. Looking toward tomorrow, we hereby make public this resolution.