Selasa, 01 Mei 2012

Pendidikan Agama Kristen Pra-Reformasi


Pendidikan Agama Kristen Pra-Reformasi
Dalam perkembangan sejarah Eropa dan dunia, pada abad 16 adalah hal yang sangat penting. Reformasi gereja oleh kaum reformis menimbulkan banyak gejolak yang terjadi di masyrakat. Pada saat itu, pendidikan di sekolah dan universitas sedang berkembang pesat. Dengan begitu, banyak perubahan yang terjadi diantaranya adalah timbulnya rasa nasionalisme di Spanyol, Portugal, Belanda, dan Inggris. Penemuan mutakhir pada zaman itu pun bermunculan, salah satunya adalah mesin cetak oleh Yohanes Gutenberg pada 1438 dan juga teori heliosentris oleh Kopernikus.
Pergerakan kaum humanis dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan mereka terhadap gereja. Awalnya ada pembaruan di ordo biarawan dan biarawati. Lalu ada Wycliffe di Inggris, Hus di Ceko, dan Groote di Belanda. Mereka bertiga mengatakan kekuasaan paus adalah sumber penyakit yang ada dalam gereja. Namun hanya Groote yang menunjukkan rasa tidak puasnya dengan jalan lain. Dia mendirikan rumah persaudaraan atau Brethren of the Common Life). Dalam lembaga ini, polanya mirip dengan biara hanya saja ini terbuka bagi siapa saja. Pembelajaran yang diperoleh bukan saja tentang kehidupan spiritual mereka dengan Sang Pencipta tapi juga nilai-nilai moral dan ilmu pengetahuan. Para pendidik dalam lembaga ini mengajar dengan memahami setiap anak didik dan tidak ada kekerasan dalam mencapai kedisiplinan. Anak didik dihormati sebagai pribadi yang utuh. Tamatan lembaga ini tercatat sebagai tokoh-tokoh penting pada zamannya. Salah satunya adalah Erasmus.
Erasmus rajin menuntut ilmu untuk mencapai cita-citanya meraih gelar Doktor Teologi. Karya pentingnya adalah naskah Perjanjian Baru yang paling asli yang ia cari lalu ia terjemahkan ke dalam bahasa Latin. Dalam hidupnya, Erasmus tidak ingin ada pembatasan kemerdekaan pribadi atas dirinya dan orang lain.
Erasmus, dalam buku Boehlke, disebut-sebut memiliki dua peran dalam pendidikan agama Kristen. Yang pertama adalah sebagai pendidik yang oikumenis. Apa yang dia pikirkan adalah setiap warga Kristen harus mengamalkan kelakuan Yesus, terutama dalam hal rendah hati, lemah lembut, murah hati, kasih, damai, dan kerelaan mengampuni serta berkorban demi sesama. Dia juga mengajarkan bahwa upacara gerejawi bukanlah suatu hal yang mutlak. Ia juga menantang masyarakat dan gereja atas pandangan pernikahan, hak memperoleh pendidikan, perceraian, dan hidup selibat.
Menurutnya, pernikahan harus dibangun atas dasar persetujuan calon mempelai, walaupun orangtua menolak hal tersebut. Mengenai perempuan yang pada saat itu tidak berhak menerima pendidikan, Erasmus mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan harusnya memperoleh hak yang sama dalam menerima pendidikan. Tentang perceraian, Erasmus memungkinkan hal itu jika hubungan suami-istri itu tidak dapat terselamatkan lagi karena kehilangan dasarnya, yaitu cinta kasih. Mengenai kehidupan selibat, Erasmus berdasar pada Kej. 2:23-24 di mana Allah memerintahkan manusia untuk menikah sehingga manusia tidak boleh melarang apa yang sudah Allah rencanakan sejak awal untuk kebahagiaan orang lain.
Peran Erasmus yang kedua ialah sebagai pendidik khusus. Menurutnya, pendidikan di mana pun harus mengembangkan karunia pelajar dalam suasana yang memberikan kebebasan berpikir dan mendorong lahirnya inovasi baru dalam terang Injil. Melalui pendidikan, Erasmus berharap dapat menghasilkan orang-orang Kristen yang beradab. Erasmus tidak menggunakan istilah kurikulum, dia memakai buku sumber untuk merumuskan pembelajaran yang akan diajarkan. Dasar pembelajarannya adalah Alkitab, khususnya Injil. Tidak ada metodologi khusus yang digunakannya. Dia hanya mengemas pengajarannya dalam bentuk yang menarik untuk mengajar. Ia mengembangkan suasana kelas yang melancarkan pengalaman belajar dan tidak ada kekerasan dalam kelas. Baginya, kekerasan itu adalah tanda bahwa pendidik itu tidak mempersiapkan diri untuk mengajar.


Masuk Zaman Reformasi
1.    Martin Luther
Ø Dasar Teologisnya bagi Pendidikan Agama Kristen
Dalam hal ini, Boehlke mengambil empat dasar teologis yang terdapat di dalam tulisan Luther yang menjadi landasan bagi teori dan praktek pendidikan agama Kristen: (a) Keadaan berdosa setiap warga: banyak teolog lain yang juga mengakui dosa asal, tetapi pengakuan itu cenderung tetaplah sebuah ajaran kering saja. Namun berbeda halnya dengan Luther yang melalui pengalamannya[1] mendorong dia untuk mencari jalan keluar yang mengenyangkan kelaparan jiwa, yang menurutnya tidak bisa diatasi melalui seluk-beluk sistem sakramental yang merupakan soko-guru gereja zamannya. Karena itu baginya usaha menyelamatkan jiwa menjadi pendorong utama menuju jalan memperbarui gereja dan bukan pertengkarannya dengan lembaga Kepausan;
(b) Pembenaran oleh iman: melalui penderitaan jiwanya, Luther diyakinkan tentang kebenaran dosa sebagai faktor dalam diri seiap orang. Dosa itu meresap ke dalam semua kebajikan insane di samping tindakannya yang buruk. Jadi, dampaknya mengendalikan segala kegiatan yang diprakarsai manusia termasuk pendidikan agama Kristen. Oleh karena itu ia mutlak diperhatikan oleh para pendidik di kalangan jemaat/ gereja; (c) Imamat semua orang percaya: menurut Luther, di dalam pengalaman pembenaran karena iman tersebut tersirat pula persamaan hak setiap orang di hadapan Allah. Tidak ada satu golongan tertentu yang menjadi penyalur anugerah Tuhan sehingga kemudian disampaikan kepada orang yang lebih rendah martabatnya. Sebenarnya semua oleh iman telah dijadikan makhluk baru dalam Yesus Kristus. Dengan kata lain, setiap warga adalah imam bagi warga seimannya; (d) Firman Allah: dasar teologi ini sudah tersirat dalam ketiga dasar lainnya, karena semuanya berakar dalam Alkitab[2], yaitu: Yesus secara pribadi dan ajaran-Nya aalah Firman Allah, Alkitab sebagai Firman dan Firman sebagai Amanat Allah yang Diberitakan kepada Para Warga kristen.

Ø  Dasar “sosiologi” untuk Pendidikan Agama Kristen
Dasar sosiologi yang dimaksudkan di sini tentang bagaimana dinamika dan unsur sosial turut memperlancar pelaksanaan pembaruan gereja dan masyarakat atau sebaiknya menghambatnya. Dalam arti inilah akan dibahas tentang padangan Luther terhadap dua bagian pokok dalam masyarakat, yaitu: Orangtua dan Penguasa sipil. Hal tersebut dilakukan karena kemerosotan mutu pendidikan yang terjadi di sekolah-sekolah dan universitas-universitas merupakan salah satu dampak sampingan dari pembaruan gereja di Jerman.
Luther mengakui peranan pokok yang diperankan oleh para orangtua dalam mendidik anak mereka. Namun bagi Luther justru tugas inilah yang dilalaikan, karena pertimbangan ekonomi. Untuk memperkuat argumentasinya tentang kewajiban yang harus dilakukan oleh orangtua, Luther memberikan tiga hal pokok, yaitu contoh dari alam: dengan memberikan gambaran bagaimana binatang-binatang yang tidak berakal selalu memelihara serta melatih anak-anak mereka dan jika dibandingkan dengan para orangtua, maka para orangtua tentu akan jauh memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka; kebutuhan masyarakat: Luther juga sangat prihatin kepada orangtua yang merasa puas apabila putranya hanya menerima pendidikan paling dasariah saja, yang dipandang cukup untuk tugasnya (misalnya menjadi seorang pedagang). Pandangan tersebut menurut Luther tidaklah bertanggung jawab, karena masyarakat menyeluruh termasuk kaum pedagang memerlukan pemuda yang diajar sedalam-dalamnya demi keamanan dan kesejahteraan umum; dan yang terakhir kehendak Allah: berdasarkan kehendak Tuhan, yang ditarik Luther dalam Mazmur 78:5[3], di mana para orangtualah yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak mereka. Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa seluruh tugas dibebankan kepada orangtua saja. Semua penguasa sipil, khususnya mereka yang bekerja di dalam pemerintahan wajib menyediakan dana dan sarana demi kepentingan pendidikan bagi kaum muda.
Luther memberikan beberapa alasan mengapa para pemimpin pemerintahan wajib menyediakan kesempatan belajar bagi kaum muda, antara lain: kalau orangtua tidak mau mendidik anak-anak, atau tidak mampu, atau mampu tetapi mempunyai waktu atau uang cukup untuk pendidikan, maka terdapat satu lembaga yang mempunyai keuangan yang dapat dipergunakan untuk kesejahteraan umum. Walaupun dana yang dikeluarkan tidak sedikit jumlahnya, namun Luther telah memikirkannya yaitu melalui kas gereja, para dermawan, dan kas Negara.

Ø  Asas-asas Pelayanan Pendidikan Agama Kristen di Jemaat
(1)   Tujuan Pendidikan Agama Kristen
Di dalam tulisan-tulisannya, Luther memberikan beberapa pokok pendidikan yang semuanya itu berakar paling tidak dalam dasar teologi dan sosiologi yang dibahas di atas. Pertama, dengan pendidikan Kristen[4] Luther ingin menyadarkan anak didik dan orang dewasa tentang keberdosaan mereka dan untuk menjelaskannya Luther membahas arti Dasa Titah dalam Ketekismusnya. Dengan harapan mereka mengetahui hukum yang menyatakan tuntunan Allah terhadap para warga jemaat entah muda atau lebih dewasa, agar mereka mengerti betapa lebarnya jurang yang memisahkan manusia dari Allah dan mengantar mereka kepada kesadaran akan dosa mereka pribadi. Kedua, para warga hendaknya mendengar isi Kabar Baik dalam Yesus Kristus serta mengamalkannya. Ketiga, para pelajar diharapkkan memahami doa, serta melaksanakan kehidupan doa. Itulah sebabnya mengapa Doa Bapa Kami merupakan doa teladan bagi kaum tua dan muda.

(2)   Pengajar dalam Pelayanan Pendidikan Agama Kristen
Luther mengakui bahwa Allah sendiri merupakan pengajar pokok dalam pendidikan agama Kristen dan bukan manusia. Bagi Luther, gaya mengajar yang diberikan oleh Allah sebaiknya menjadi contoh bagi semua perkara pedagogis. Dalam hal ini, Luther menjelaskan bahwa peran orangtua, terutama ayah dan guru sangat menentukan dalam memberikan pengajaran kepada anak.

(3)   Pelajar
Dalam penjelasan sebelumnya, Luther secara tersirat telah menyebutkan beberapa jenis pelajar. Luther berpandangan bahwa yang menyandang status pelajar bukan hanya anak-anak/ nara didik saja, akan tetapi orangtua dan guru pun wajib menyandangnya. Menurut Luther, orangtua dan guru haruslah terlebih dahulu diberikan pengajaran, sebelum mereka mulai mengajar. Hal ini dilakukan agar para orangtua dan guru memiliki dasar yang kuat dalam mengajar anak-anak/ nara didik. Para pelajar kedua adalah para anak-anak/ nara didik, baik itu laki-laki maupun perempuan. Menurut pandangan umum pada saat itu, pendidikan untuk anak perempuan sangat disepelekan. Masyarakat menganggap bahwa hanya anak laki-laki saja yang dapat menerima pendidikan, bukan perempuan. Namun pandangan ini ditolak oleh Luther. Menurut Luther, tingakatan pendidikan yang diterima anak perempuan haruslah sama dengan anak laki-laki.
Para pelajar lainnya yang menerima perhatian Luther adalah para orang dewasa. Luther berpandangan bahwa orang dewasa pun perlu diperlengkapi dengan pengetahuan dan pengertian tentang iman Kristen. Serta untuk mereka yang melek huruf, Luther telah menyusun Katekismus Besar, sebuah sumber tercetak yang menolong orang dewasa memperoleh pengetahuan minimal tentang iman Kristen. Tetapi kalau tidak dibuat demikian, maka secara praktis terdapat wadah lain lagi yang tersedia, yaitu kebaktian pagi pada umumnya, dan khotbah pada khususnya.
Golongan pelajar yang terakhir adalah para imam, biarawan dan awam yang ingin dipersiapkan untuk dapat berkhotbah. Untuk para pelayan ini, Luther menyusun khotbah khusus yang dapat dibaca pada jam kebaktian di jemaat lainnya. Sebagiannya dimanfaatkan pula sebagai contoh atau pedoman bagi orang yang sedang dipersiapkan untuk memberitakan injil. Khotbah-khotbah yang disalin itu kemudian dicetak dan disebar-luaskan ke mana-mana.

(4)   Kurikulumnya
Pandangan Luther tentang kurikulum tidaklah sama dengan pandangan pada umumnya. Pandangan tersebut coba digolongkan oleh Boehlke ke dalam tiga hal. Pertama, membahas tentang ruang lingkup kurikulum Luther. Kedua, isi Katekismus merupakan kurikulumnya yang paling lengkap dan teratur. Ketiga, pandangannya tentang isi kurikulum di sekolah-sekolah[5]. Penjelasan mengenai ketiga akan dijelaskan di bawah ini.
(a)   Ruang lingkup Kurikulum yang Luther sebutkan sepintas lalu dalam karyanya
Di dalam ruang lingkup kurikulumnya, Luther memasukkan unsur musik sebagai sarana belajar bagi semua pelajar. Menurutnya, musik merupakan salah satu karunia Tuhan yang paling indah. Tetapi Luther tidak hanya memasukkan vak musik ke dalam kurikulumnya. Dia sendiri telah menggugah paling tidak sepuluh buah nyanyian rohani, yang di antaranya termasuk nyanyian Reformasi yang terkenal, yaitu “Allahku benteng yang Teguh” (“Ein Feste Burg Ist Unser Gott”).[6]
Selain vak musik, Luther juga menerapkan vak sejarah ke dalam keurikulumnya. Luther berpandangan bahwa sejarah tidak lain daipada kisah yang bersaksi atas pemeliharaan Allah sepanjang abad terhadap manusia. Dengan mengetahui serta memahami arti baik buruknya sejumlah peristiwa yang terjadi pada masa lampau, maka warga diperkaya dalam keperluan mengambil keputusan bermakna pada zaman sekarang ini. Selain itu, vak ilmu hitung dan olahraga yang menurut Luther juga perlu ada dalam sekolah-sekolah, di samping semua vak khusus yang berkaitan dengan bahasa Latin. Walaupun semua vak-vak di atas adalah vak-vak pelengkap yang penting, namun bagi Luther tidak ada pokok pelajaran yang lebih penting daripada Alkitab. Pembelajaran tentang Alkitab dipermudah dengan adanya terjemahan Kitab Suci dalam bahasa Jerman.

(b)   Isi Katekismus
Pada tahun 1529, Luther menghasilkan dua buku katekismus, yaitu yang Kecil untuk anak-anak dan Besar untuk kaum dewasa. Kedua-duanya berporos pada lima tema, yaitu Dasa Titah, Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami, Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus, serta Jabatan Kunci. Luther berusaha menjelaskan arti setiap tema dengan menyusun suatu seri pertanyaan yang diajukan kepada anak didik oleh guru/ pendeta, dan jawaban yang hendaknya diungkapkan oleh setiap pelajar. Sebagai contoh kita dapat melihat beberapa pokok pertanyaan yang termuat dalam Katekismus Kecil[7], antara lain tentang: (i) Pengakuan Iman Rasuli: “Aku percaya kepada Allah Bapa yang Mahakuasa, yang menciptakan bumi dan semesta langit”; (ii) Doa Bapa Kami: “Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”; dan (iii) Sakramen Perjamuan Kudus.
Luther berpandangan bahwa katekismus itu hendaknya dipakai oleh pendeta sebagai dasar khotbahnya, tetapi pada pokoknya ia merupakan sumber pendidikan agama Kristen di rumah tangga. Dengan buku katekismus dalam tangannya, seorang ayah mampu mendidik anak-anaknya dalam pokok-pokok iman Kristen, walaupun pendidikannya terbatas.
(c)    Isi Kurikulum di Sekolah-sekolah
Selain menentukan pokok kurikulumnya, Luhter juga telah menentukan isi dari kurikulumnya, antara lain: (i) Anak-anak yang duduk di sekolah pada tahap pemula akan diajarkan membaca. Buku pertamanya memuat alphabet (abjad), Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli di samping doa-doa. Selain itu, anak-anak tidak belajar membaca dan menulis bahasa Jerman, melainkan bahasa Latin. Oleh sebab itu, setiap anak diwajibkan menghafalkan beberapa kata setiap hari dan kemudian mengucapkannya kembali secara tertulis dan lisan; (ii) Bagian Kedua: Di dalam tahap ini adalah anak-anak yang sudah mampu membaca dan menulis, mata pelajarannya mencakup tiga vak pokok, yaitu: tata bahasa Latin, Dongeng-dongeng Aesop dan pendidikan agama Kristen; (iii) Bagian Ketiga: Hanyalah anak-anak yang paling mampu dalam tata bahasa Latin boleh naik tingkat bagian ketiga ini. Sepanjang pagi waktunya dimanfaatkan membaca karangan klasik dalam bahasa Latin di samping mengupas berbagai pokok tata bahasa yang ada di dalamnya. Dalam seminggu anak-anak diwajibkan menyusun sebuah syair dalam bahasa Latin. Selain itu, pembicaraan dalam semua mata pelajaran hendaknya berlangsung dalam bahasa Latin juga. Vak yang lebih ringan seperti musik dipelajari sesudah makan siang. Anehnya, vak pendidikan agama Kristen hanya dipelajari secara tidak langsung melalui kebaktian saja.
Sesungguhnya gaya mengajar yang disarankan Luther lebih maju ketimbang pendekatan yang lazim dikenal di sekolah-sekolah sezamannya, namun dengan semua tekanan atas menaati pola tetap, kekhawatiran terhadap ucapan pribadi, khususnya dalam penelaahan katekismus, dan latihan terus-menerus menyatakan metode-metode mengajar yang dinamakan pembiasaan (Conditioning)[8].

Setelah melihat penjelasan tentang pemikiran yang Luther berikan untuk pendidikan agama Kristen, paling tidak kita mendapatkan beberapa pokok yang bermakna terhadap perkembangan pendidikan agama kristen, antara lain: (a) Luther mengaitkan teologi sebagai dasar pendidikannya, serta (b) berpandangan bahwa semua orang berhak belajar membaca dan menulis sebagai dasar pendidikan bagi anak laki-laki dan perempuan. (c) Luther juga menyusun bahan pendidikan khusus untuk anak didik, yaitu Katekismus kecil. (6) Dia sangat prihatin pada perbedaan sifat setiap anak, sebagai suatu fakta yang perlu diperhatikan sebagai dasar mengembangkan tugas-tugas belajar yang sesuai dan penggunaan kurikulum yang digunakan.
(7) Walaupun gaya mengajarnya tidak sempurna, namun ia cenderung lebih maju ketimbang pendekatan yang dominan di antara kebanyakan pendidik sezamannya. Hal itu terlihat dalam pada saat (8) Dia menitik-beratkan peranan musik dalam proses mendidik orang-orang di samping menjadi unsur liturgi. (9) Dia juga amat sadar akan kemungkinan-kemungkinan yang tersirat dalam pengalaman pendidikan, dengan berakibat kepada warga Kristen yang berhak bertumbuh dalam iman Kristen sehingga dihayatinya dalam kehidupan sehari-hari.
 

2.  Calvin
Pemikiran Calvin tentang pendidikan, jarang sekali ia bahas, karena ia mentitik-beratkan dogmatika bukan pendidikan maupun pembinaan, tetapidengan mutu karyanya yang begitu tinggi, dia berhak di gelari “Pengajar gereja”[9]. Calvin ditinggal ibu kangdungnya sejak ia berumur tiga tahun, dan tak lama kemudian setelah ibunya meninggal, ayahnya menikah lagi dan akhirnya calvin tinggal bersama ibu tirinya dan ayah kandungnya. Semasa itu Calvin hidup dengan kepribadian yang disiplin dan serius karena ia dididik oleh ayahnya. Ia mendapatkan gelar doctor hukum di universitas Orléans. Pada 1536 ia menetap di Jenewa, ketika ia dihentikan dalam perjalannya ke Basel, oleh bujukan pribadi dari William Farel, seorang reformator. Ia menjadi pendeta di Strasbourg dari 1538-1541, lalu kembali ke Jenewa. Ia tinggal di sana hingga kematiannya pada 1564. Yohanes Calvin berniat menikah untuk menunjukkan sikap positifnya terhadap pernikahan daripada kehidupan selibat. Pada 1539 ia menikah dengan Idelette de Bure, janda seseorang yang dulunya anggota Anabaptis di Strasbourg. Idelette mempunyai seorang anak laki-laki dan perempuan dari almarhum suaminya. Namun hanya anak perempuannya yang pindah bersamanya ke Jenewa. Pada 1542, suami-istri Calvin mendapatkan seorang anak laki-laki yang dua minggu kemudian meninggal dunia. Idelette Calvin meninggal pada 1549.
Calvin memiliki dasar teologi tentang pendidikan agama Kristen, yaitu kedaulatan Allah, Alkitab sebagai firman Allah, ajaran tentang manusia, ajaran gereja, dan ajaran tentang hubungan gereja dengan Negara[10].
Ø Apa itu pendidikan agama Kristen[11]
Calvin menjelaskan tentang pendidikan Kristen yang yang mendasarkan bahwa orang Kriten pada mulanya sudah dipilih oleh Allah sehingga sering timbul pertanyaan bahwa mengapa perlu mendidik jika Allah sudah memilih orang orang tertentu(Kristen)?[12]. Hal ini Calvin menjelaskan bahwa setiap manusia yang di pilih oleh Allah harus memiliki tanggung jawab terhadap hidupnya. Boehlke menjelaskan melalui perumpamaan bayi yang lahir tanpa apa-apa, dengan dorongan alamiah hingga bertumbuh. Dalam pertumbuhan manusia yang semakin dewasa harus diberi pendidikan untuk lebih mengenal Allah, seperti yang diajarakan Yesus yaitu kasih. Menurut Boehlke calvin memandang pendidikan agama Krsiten adalah pemupukan akal orang-orang percaya dan anak-anak mereka dengan Firman Allah dibawah bimbingan Roh Kudus melalui sejumlah pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja, sehingga pertumbuhan rohani akan dihasilkan oleh mereka yang semakin dalam, pertumbuhan ini menjadikan tindakan-tindakan kasih terhadap sesamanya.[13]

Ø Tujuan Pendidikan Kristen[14]
Pandangan calvin terhadap tujuan pendidikan dipandang melalui hidup Yesus yang sebagai seorang yang rajin berdoa dan beribadah. Calvin melihat diri Yesus yang hidup tanpa menginginkan seturut dengan kemauan-Nya melainkan demi keprihatinan Allah terhadap manusia. Yesus yang menjalankan tugasnya yang begitu berat tetapi Ia bertanggung jawab untuk melaksanakan tugasnya. Sehingga tujuan Calvin adalah setiap warga yang mawas diri terhadap kepentingan dirinya sehingga ia melupakan bahwa dirinya bukan kepunyaannya sendiri melainkan kepunyaan Allah. Pendidikan agama Kristen mempunyai tujuan untuk mendidik para putra putri melalui ibu (gereja), dan dilibatkan dalam penelaahan Alkitab sebagaimana menurut roh kudus, dan mengambil bagian dalam kebaktian, dan dapat mejalankan tugas panggilan sehari-hari.[15]

Ø Para pelajar[16]
Calvin menggunakan contoh gereja purba, yaitu keperluan untuk mendidik anak-anak(laki-laki dan perempuan) dalam ajaran iman. Jemaat kedua adalah anak muda, mereka harus wajib menghadiri kebaktian minggu maupun hari-hari lainnya yang sudah terlebih dahulu di beritahukan. Jika terlambat maupun tidak hadir  tanpa izin maka akan di berikan denda, kebaktian sangatlah penting bagi pendidikan Kristen menurut Luther dan Calvin, karena mereka berdua memandang khotbah sebagai wadah yang disediakan Tuhan untuk mendidik  orang dewasa. Golongan ketiga adalah golongan pelajar maupun pendeta. Calvin ingin pemimpin gereja dipimpin oleh orang-orang yang terpelajar, mereka-merekalah yang mengerti akan Alkitab.

Ø Siapakah pendidik Kristen?[17]
Pengjaran berawal dari firman Allah yang tertulis dalam Alkitab, karena dalam kehidupan di Alkitab terdapat pengalaman mengajar dan belajar. Allah mengajar melalui orang-orang yang menaklukan dirinya kepada Firman Allah. Menurut Calvin  pengajar di bagi menjadi dua yaitu Pendeta dan guru. Di jenewa Calvin menggabungkan jabatan tersebut, yaitu pendeta yang sebagai gembala Jemaat dan ia juga mengajar sebagai guru dan melayani jemaat sebagai guru juga. Selain Allah dan pendeta sebagai pengajar, perlu juga orang lain di ajar untuk dapat menjadi pengajar, sehingga didirikannya Akademi di Jenewa.[18] Sehingga keteratuaran yang terjadi dalam pengajaran di gereja akan semakin kuat karena adanya dukungan satu sama lain.

Ø Kurikulum[19]
Menurut Calvin katekimus sangat penting, katekimus hampir sama dengan ilmu pendidikan. Terdapat empat tinjauan umum sebelum terbentuknya isinya yaitu, pertama tugas menyusun katekimus(disusun oleh orang-orang yang terpercaya), kedua bahan studi bagi anak yang disesuaikan menurut dengan kemampuan anak didik, ketiga pengalaman pengajaran katekimus menentukan pembentukan kurikulum, keempat buku kategkismus hendak memupuk hubungan di antara gereja-gereja yang terpisah. Kurikulum ini mencakup pada empat tema pokok yaitu  hukum, iman, doa dan sakramen-sakramen.
Ø  Tanggapan
            Peranan Calvin dalam rangka Pendidikan agama Kristen begitu terlihat, terbukti perananya dalam pembentukan kurikulum. peranan Tanggung Jawab bagi Calvin hal yang penting, yanitu tanggung jawab sebagai orang Kristen, maksudnya warga Kristen yang tidak semena-mena dengan Kekristenannya, tanggung jawab terhadap Tuhan dengan cara menyangkal dirinya untuk kehidupan dalam rangka melayani, bukan mementingkan dirinya sendiri. Gereja sebagai sumber dari pengajaran, bagi Calvin harus memiliki tanggung jawab dalam pelayanannya salah satunya ialah mendidik. Calvin pun menginginkan pengajar-pengajar yang berada di gereja memiliki sebuah kecerdasan didalam bidang Pendidikan Kristen sehingga tahapan yang seharusnnya diberikan oleh pelajar tepat. sehingga  tujuan dari pendidikan Kristen dapat terwujud dalam kehidupan.

3.    Ignatius Loyola
Tokoh ini adalah salah satu pendiri ordo Yesuit pada masa reformasi. Beliau adalah pensiunan tentara. Ia mengalami cedera akibat perang di Pamplona, Spanyol Utara. Dalam keadaan cedera, Ignatius memikirkan sesuatu seperti yang dilakukan Santo Dominikus atau Santo Fransiskus. Akhirnya, dengan izin Paus, Ignatius mendirikan Ordo Yesuit sebagai tanda dari kontra-reformasi. Dengan begitu dia pensiun sebagai ksatria duniawi dan menjadi bagian dari ksatria rohani.
Sebagai veteran, Ignatius menganggap pentingnya komando dari atasan kepada bawahan. Komando utama ada di tangan Yesus, dan sebagai bawahannya kita semua harus menaati perintah demi kemuliaan Kristus di manapun juga. Selain dasar militer, Ignatius juga menekankan dasar kebatinan atau kehidupan rohani. Kehidupan rohani, ia tekankan, agar kita aktif. Tidak seperti Doa Bapa Kami yang mengatakan “..datanglah kerajaanMu”. Dia menegaskan bahwa kita harus rajin mengetuk pintu Sorga hingga pintu itu terbuka. Artinya, kita harus mencari kehendak Allah, bukan menanti apa yang Allah perintahkan. Selain itu, sebagai seorang Katolik yang saleh, Ignatius melatih rohani para pengikutnya dalam Ordo Yesuit untuk melayani gereja Katolik pada akhirnya.
Ignatius mendaftar beberapa hal yang menjadi petunjuk betapa pentingnya kehidupan gerejawi.1)Mengesampingkan urusan pribadi untuk kepentingan gereja, mempelai perempuan Kristus, dan ibu dari semua orang percaya. 2)Mengaku dosa dan mengikuti ekaristi sesering mungkin (sekali seminggu). 3)Menjunjung tinggi keikutsertaan dalam segala upacara gerejawi dan peraturannya. 4)Menghargai jabatan gerejawi, keperawanan, pertarakan, dan pernikahan. 5)Memuji ketaatan, kemiskinan, dan kesucian. Ini adalah tiga landasan penting alam Ordo Yesuit yang dipimpinnya. 6)Memuji barang keramat kaum suci serta berdoa atau berziarah. 7)Menghormati peraturan gerejawi. 8)Harus mengatakan atau menyampaikan hal-hal yang positif tentang para pejabat gerejawi di depan umum. 9)menekankan perbuatan baik sebagai bentuk kesetiaan kita kepada Tuhan selain percaya dan beriman padaNya.
Asas-asas pendidikan Kristen menurut Ignatius pokoknya adalah bagaimana menaklukan kehendak manusia menjadi kehendak Allah yang dirumuskan oleh Paus dan gereja. Maka dari itulah ia menekankan pelatihan rohani bagi para muridnya. Wadah pendidikan Kristen sendiri adalah sekolah Yesuit yang ia dirikan pada saat itu. Dalam sekolah itu, Ignatius menyusun sebelas asas umum. Dalam asas-asas itu, secara keseluruhan, menekankan adanya keseimbangan atas nilai spiritual dan juga moral. Kegiatan di luar kegiatan rohani pun menjadi pilihan, selama hal itu dapat mendukung iman dan tujuan akhir mereka yaitu memperoleh keselamatan dan mengerti serta memahami maksud Allah.
Sekolah ordo Yesuit dibiayai oleh donatur, baik yang diminta maupun sukarela. Namun lebih dari itu, Ignatius memilih seorang kepala atau rektor untuk mengelola dana-dana yang masuk untuk kepentingan lembaganya. Pada saat itu, biaya sekolah para anak didik ditanggung juga oleh donatur. Maka dari itu pendidikan ini sampai pada tombol “off”. Tidak hanya sekolah, Ordo ini juga memiliki universitas. Pengajarannya hampir sama dengan unversitas lain pada abad pertengahan. Hanya saja pengajaran ilmiah diramu dengan pengajaran spiritual. Hasilnya, banyak tamatan universitas ini yang memegang teguh iman Katolik Roma.
Sebagai seorang Kristen yang baik, Ignatius menjadikan Yesus sebagai pengajar utamanya. Sebagaimana dilihatnya cara Yesus mengajar, maka menurutnya guru pun harus bisa seperti Yesus dalam hal mengajar. Guru-guru pada sekolah yang berada di bawah naungan Ordo ini harus taat pada disiplin yang telah ditetapkan oleh ordo tersebut. Pelajarnya adalah anak laki-laki berusia 14-23 tahun. Para pelajar ini terdiri dari dua, yaitu yang benar-benar (ingin menjadi bagian dari Serikat Yesuit (skolastik) dan yang hanya ingin belajar lebih lanjut (ekstern). Kebanyakan mereka, setelah lulus, menjadi pemimpin gereja yang berpengaruh dalam penanggulangan reformasi di Eropa.
Susunan pembelajaran di sekolah adalah pemakaian bahasa Latin untuk menyampaikan gagasan dalam tulisan maupun lisan. Ada juga pembelajaran tentang isi iman kristen atau katekismus. Para pelajar diajar untuk bertindak moral sehingga menjadi suatu kebiasaan dalam diri mereka.
Metodenya ada tiga yaitu di kelas, latihan rohani, dan latihan ketaatan. Berikut akan dijelaskan satu persatu, antara lain:
Ø Di kelas
Jumlah anak didik dalam satu kelas bisa mencapai 200 orang. Maka guru bertindak aktif, menjelaskan pelajaran kepada setiap murid. Dalam murid sendiri dibagi kelompok-kelompok belajar untuk memeprmudah tugas guru. Agar tidak bosan, guru melibatkan siswa dalam kegiatan semacam perlombaan. Perlombaan ini bisa perorang atau perkelompok.
Ø Latihan rohani
Latihan ini dilakukan dengan menghadirkan sosok Kristus dalam pikiran hingga sosok itu benar-benar meresap ke dalam pribadi setiap pelajar. Latihan ini meliputi pengakuan dosa, kehidupan Yesus, penderitaan Yesus, dan kebangkitan serta kenaikanNya ke surga.
Ø Latihan ketaatan
Sebagaimana sistem militer yang mengutamakan ketaatan setiap orang kepada perintah, demikian halnya dalam pendidikan Kristen ini. Ignatius memahami bahwa kesetiaan adalah yang terpenting dari pada korban sembelihan, seperti yang dipahami oleh Gregorius. Ketaatan terdiri dari tiga tingkatan. Yang pertama adalah ketaatan akan perintah atasan. Yang kedua kemauan atasan menjadi kemauan bawahan. Yang ketiga adalah pemahaman bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang diingini atasannya.
Ø  Tanggapan
Ignatius memiliki latar belakang militer yang kuat. Dengan sistem pendidikan seperti itu, akan ada senioritas dan kecemburuan sosial sehingga tidak mendidik anak didik untuk mengembangkan bakatnya. Mereka harus taat pada yang lebih tua dan melakukan apa yang baik di mata mereka, mau tak mau. Hal ini akan sangat sulit jika diterapkan pada remaja saat ini, di mana kebabasan adalah hal utama. Lagi pula sudah diatur oleh undang-undang bahwa setiap anak memiliki hak dan kewajiban tersendiri. Untuk taat kepada Tuhan, tentu saja itu baik. Jadi, ketaatan di sini seharusnya lebih merujuk ketaatan pada Tuhan, dan orangtua juga tapi harus juga memperhatikan kebutuhan dan aspirasi anak itu sendiri. Di gereja juga masih beranggapan bahwa yang muda masih belum tahu apa-apa sehingga yang lebih tua merasa lebih benar dan lebih tahu. Hal ini yang perlu diperbaiki dari paradigma masyarakat dan gereja. Sudah saatnya masyarakat dan gereja belajar menerima inovasi yang baru untuk sesuatu yang baik.

4.    Kesimpulan dan Tanggapan Kelompok
Kelompok dengan segala keterbatasannya memohon maaf jika laporan presentasi kami terdapat kekurangan maupun kesalahan. Namun ini merupakan usaha kami untuk bisa menyajikan materi kepada rekan-rekan sekalian. Untuk menutup presentasi ini, kami menyimpulkan bahwa ada kesamaan antara tiga tokoh yang kami soroti kali ini yaitu Luther, Calvin, dan Ignatius. Mereka bertiga memfokuskan pandangan pendidikan mereka kepada anak-anak usia remaja (kira-kira SMP dan SMA). Selain pada objek pendidikan, pedoman pendidikan mereka pun sama-sama didasarkan pada Alkitab. Mereka juga menempatkan Yesus sebagai pengajar yang baik dan teladan bagi para pengajar. Perbedaan pun juga terdapat dan terungkap dengan sangat jelas. Pemahaman mereka mengenai cara mendidik dipengaruhi dengan latar belakang mereka pribadi. Contohnya Ignatius, dengan latar belakang militer ia memilih latihan ketaatan sebagai salah satu pembelajaran. Menurut Calvin, seorang reformis, pendidikan pada dasarnya adalah pendidikan Kristen sehingga tidak perlu lagi pendidikan Kristen.
Menurut kelompok, pemikiran ketiga tokoh itu sangat berguna bagi pendidikan sekarang ini. Walaupun muncul beberapa abad yang lalu, tapi konstribusi mereka sangat penting. Mereka mulai merumuskan bagaimana pendidikan yang baik dengan kurikulum serta tenaga pengajar yang memadai untuk mengembangkan pendidikan, khususnya pendidikan Kristen. Mereka sudah meletakkan dasar yang baik, yaitu Alkitab dan Yesus. Walaupun memberikan sumbangan yang berbeda tapi mereka sudah sangat memahami kebutuhan anak didik mengenai pendidikan yang dapat membuat mereka lebih cerdas, baik intelektual maupun spiritual dan moral.




[1] Pengalaman yang terjadi pada saat perjalanan ke Erfurt, membuat kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat dari masa depannya yang sudah jelas pada saat itu. (Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran Dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, hlm. 309)
[2] Ibid., hlm. 328-334
[3] Mazmur 78:5 – “Telah ditetapkanNya peringatan di Yakub dan hukum Taurat diberiNya di Israel; nenek moyang kita diperintahkanNya untuk memperkenalkannya kepada anak-anak mereka..” (Ibid., hlm. 337) bnd dengan kalimat yang terdapat di dalam Alkitab BIS
[4] Bagi Luther, pendidikan agama Kristen dan pendidikan umum sama artinya, kecuali taraf yang pendidikan lebih tinggi (Ibid., hlm 340)
[5] Pandangannya dapat kita lihat dalam buku yang berjudul “ Instructions for the Visitors of Parish Pastors in Electoral Saxony”, dalam Bergendorff, Luther’s Works, vol. 40 (Ibid., hlm. 349)
[6] Tiga ratus tahun kemudian, penggugah ternama Felix Mendelsohn menggugah “Simfoni Reformsi” dalam rangka HUT ke-300 pengakuan Augsburg pada tahun 1830.
[7] Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat melalui penjelasan Boehlke dalam buku yang berjudul “Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen”, hlm. 352-353
[8] Berdasarkan penilaian Strauss (Ibid., hlm. 358)
[9] Ibid. hlm 384.
[10] Ibid. hlm 385.
[11] Ibid. hlm 411.
[12] Ibid.
[13] Ibid. hlm 413
[14] Ibid.
[15] Ibid. hlm 413-415
[16] Ibid. hlm 415
[17] Ibid. hlm 417.
[18] Ibid. hlm  418
[19] Ibid. hlm.  419.

Dasar-dasar Kurikulum dalam Pengajaran Kristen


Dasar-dasar Kurikulum dalam Pengajaran Kristen

I.    Pendahuluan
Setelah pembahasan dasar-dasar Alkitab, teologis, dan filosofis sebagai dasar utama pada pengajaran, kita juga telah diperlengkapi dengan dasar historis dan sosiologis sebagai faktor penuntun implementasi secara kontekstual yang sama pentingnya dengan dasar utama. Kita juga telah membahas dasar psikologis yang menuntun kita mengetahui bagaimana cara orang membangun/berkembang, belajar, dan berinteraksi dengan sesamanya. Kini, kita akan membahas dasar kurikulum yang merupakan isi materi pembelajaran yang akan menuntun pengajar, naradidik maupun lembaga pengajaran  dalam mengimplementasikan ajaran.
 Sebagaimana telah disinggung di atas, ada banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu kurikulum, baik kurikulum secara umum maupun kurikulum secara khusus (kurikulum Kristiani). Kali ini kelompok akan mencoba membahas faktor-faktor tersebut. Adapun materi yang disampaikan kelompok hanya berdasarkan satu sumber pustaka saja karya Robert R. Pazmino yaitu Foundational Issues in Christian Education-An Introduction in Evangelical Perspective, bab 7.

II.    Definisi kurikulum menurut beberapa tokoh
Buku yang dikarang Pazmino menyediakan definisi dari beberapa tokoh :
-          Kurikulum sebagai isi yang tersedia (content made available) untuk para siswa.
à Dwayne F. Huebner
-          Kurikulum sebagai perencanaan dan pengalaman belajar yang terarah dari para naradidik. àJohn Dewey
-          Kurikulum sebagai pengalaman aktual dari para naradidik  atau partisipan.
à Alice Miel
-          Secara umum, kurikulum termasuk material dan pengalaman dalam belajar. Secara spesifik, kurikulum adalah rangkaian pelajaran yang tertulis untuk belajar yang digunakan oleh edukasi Kristen.
à Lois E. LeBar
-          Kurikulum sebagai organisasi dari kegiatan belajar yang diarahkan oleh guru dan bertujuan akan adanya perubahan perilaku.
à Lois E. LeBar
-          Kurikulum sebagai isi yang tersedia (content made available) untuk para naradidik dan pengalaman belajar aktual mereka yang dibimbing oleh guru.
à Robert W. Pazmino
Tantangan dalam membuat kurikulum adalah untuk menyatukan baik isi dan pengalaman Kristiani sehingga pikiran dan kehidupan naradidik dipengaruhi dan diubah oleh kebenaran Tuhan. Lois E. LeBar berpendapat bahwa isi kekristenan tanpa pengalaman adalah hampa dan pengalaman tanpa isi adalah kebutaan. Isi yang esensial dari pengajaran Kristiani adalah kebenaran – kebenaran sebagaimana diungkapkan / diwahyukan oleh Kristus dan dalam Alkitab melalui bimbingan roh kudus.
Agar dapat menggabungkan baik isi maupun pengalaman yang dialami, pengajar Kristen dituntut untuk memperhatikan baik kebenaran dan kasih dalam pengajaran mereka serta pengalaman yang dialami oleh murid-muridnya. Pengajar dituntut untuk memperhatikan setiap muridnya yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, memperhatikan hal-hal yang mereka bagikan kepada muridnya dan mengungkapkan potensi transformatif dalam kehidupan muridnya, dan memperhatikan konteks di mana murid tersebut hidup, termasuk komunitas mereka dan dunia yang merefleksikan kasih Allah pada seluruh ciptaan-Nya.

III.    Pertanyaan-Pertanyaan Mendasar
Ada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang perlu dipikirkan dalam membuat sebuah kurikulum :
-          Apakah yang akan diajarkan secara spesifik ?
-          Mengapa hal-hal ini yang akan diajarkan ?
-          Di manakah pengajaran akan dilakukan ?
-          Bagaimana pengajaran dilakukan ?
-          Kapan hal-hal baru diajarkan ?
-          Siapakah yang mengajar, dan siapakah yang diajar ?
-          Apa yang menyatukan prinsip-prinsip yang telah ada?

Melengkapi pertanyaan-pertanyaan di atas, Cam Waykoff mengajukan satu pertanyaan lagi, yaitu: dalam bidang apa pengajaran Kristen sebaiknya dijalankan ?  Hal ini menyangkut etos (sifat, karakter, atau mutu) kehidupan yang dikembangkan dalam ajaran.
Pertanyaan-pertanyaan dan jawaban yang dijelaskan di atas memungkinkan pendidikan Kristen membuat suatu bentuk kurikulum yang sesuai dengan kebutuhannya. Pertanyaan-pertanyaan dan jawaban di atas itu juga dapat membantu kita untuk menganalisa kurikulum yang sudah ada. Namun, sebaiknya kurikulum yang akan digunakan adalah kurikulum yang diciptakan sendiri karena akan lebih sesuai dengan konteks yang dimiliki.
Jika kita berniat untuk mengadopsi dan menggunakan kurikulum yang sudah ada, ada tujuh pedoman yang harus diperhatikan, yaitu:
  1. Apakah teologi penerbit dan penulis kurikulum cocok dengan teologi gereja yang akan mengadopsinya ? Apakah konsep-konsep teologi yang diberikan tepat untuk berbagai tingkatan usia ?
  2. Apakah kurikulum menegaskan bahwa Alkitab memiliki otoritas, dalam arti dipegang oleh Gereja atau berguna bagi masyarakat ? Apakah nasihat Kitab Suci yang diamanatkan dalam susunan kurikulum tersebut tepat pada kelompok usia tersebut ? Disamping Kitab Suci, adakah sumber lain yang dapat berfungsi dalam penyusunan kurikulum?
  3. Apakah aktivitas-aktivitas yang diberikan kepada para pelajar berhubungan sekaligus mengubah situasi kehidupan mereka? Apakah para pelajar secara aktif terlibat dalam pembelajaran dan ditantang untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang cocok dengan kelompok mereka mengenai iman Kristen?
  4. Apakah rencana pembelajaran memungkinkan materi yang akan diajarkan beradaptasi dengan batas waktu,  sumber-sumber yang tersedia, ukuran kelas, dan perbedaan kemampuan pelajar ?
  5. Apakah bahan-bahan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan, minat, dan perhatian para pelajar? Apakah para pelajar diperlengkapi dengan cara yang tepat untuk dapat mempergunakan iman Kristen dan didorong untuk menanggapi panggilan Kristus dalam segala bidang kehidupan?
  6. Apakah materi yang akan diajarkan menarik perhatian pelajar  ? Dapatkah kurikulum tersebut digunakan lebih dari sekali?

Mereka yang mengevaluasi harus menyadari kekuatan dan kelemahan materi yang ada dan kebutuhan-kebutuhan yang khusus dari tata cara pengajaran mereka. Para pengajar harus memperlengkapi diri untuk dapat menggunakan dan menyesuaikan diri dengan kurikulum yang telah diputuskan dengan para naradidik mereka dalam kelas-kelas.
Jika ingin mengembangkan suatu kurikulum, para pengajar Kristen harus mempertimbangkan  keberlanjutan, rangkaian, dan integrasi dari kurikulum tersebut. Keberlanjutan menilai sejauh mana tema-tema Alkitab, teologi, atau tema-tema yang berhubungan dengan kehidupan diajarkan secara terus-menerus bagi kelompok usia tertentu melalui rangkaian pelajaran yang diberikan. Rangkaian ialah ukuran bagimana arus pembelajaran dan pengetahuan dibangun dengan melihat pengetahuan yang sudah ada sebelumnya demi pembelajaran yang akan datang. Integrasi menilai sejauh mana usaha-usaha dalam suatu aspek program pengajaran, seperti pengajaran yang diajarkan dalam gereja, berhubungan dengan aspek-aspek yang lain, seperti Sekolah Minggu dan kegiatan pemuda. Hal-hal ini seringkali dituliskan oleh para penerbit dalam  perencanaan mereka tetapi pada akhirnya diabaikan.
Para pengajar merupakan kunci dalam pengajaran. Pengajar harus bersandar pada tuntunan Roh Kudus dan menunjukkan kasih yang sungguh-sungguh kepada para pelajar yang mereka didik. Kurikulum Allah melebihi bahan-bahan yang dapat ditulis oleh manusia, dan para pengajar harus fleksibel dalam menggunakan suatu kurikulum.

   IV.    Metafora-metafora bagi Kurikulum
Ada tiga metafora kurikulum yang diajukan oleh Herbert M. Kliebard, yaitu: metafora produksi, metafora pertumbuhan dan metafora perjalanan. Semua metafora ini memiliki pengaruh dalam pemikiran dan praktek bidang kurikulum, baik dalam pengajaran secara umum maupun dalam pengajaran Kristen.

  1. Metafora produksi
Dalam metafora ini, para pelajar dipandang sebagai bahan mentah yang akan ditransformasikan kedalam hasil akhir yang berguna melalui proses yang diberikan para guru. Para pengajar dipandang sebagai pemahat atau insinyur sosial yang secara aktif membentuk para pelajar. Pengajaran dilihat sebagai ilmu pengetahuan yang memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan dari para pelajar.
Pendukung terkuat dari konsep pengajaran ini ialah B. F. Skinner, yang menekankan pembentukan perilaku manusia melalui ketelitian dan kondisi yang sistematis, atau perubahan perilaku. Dalam bidang pembentukan kurikulum, Ralph Tyler mengembangkan dasar pemikiran yang berpengaruh dalam perencanaan dan penulisan kurikulum. Empat langkah-langkah dasar dari pemikiran ini memperkenalkan tujuan-tujuan pengajaran, memilih pengalaman-pengalaman pembelajaran yang tepat, mengatur pengalaman-pengalaman pembelajaran, dan mengevaluasi pembelajaran.
Kekuatan-kekuatan dari pemikiran Tyler, yaitu:
  1. Kerangka ini secara umum telah berhasil dan terkenal luas.
  2. Kerangka Tyler tidak menekankan rincian hal-hal yang kecil dalam penulisan tujuan.
  3. Kerangka Tyler merupakan contoh yang kuat untuk bidang-bidang teknis kurikulum. Aspek-aspek tersebut dapat diukur dan dievaluasi.
  4. Tyler menekankan kenetralan atau kebebasan dalam menghadapi perbedaan dalam tujuan.
  5. Menurut Tyler pengajaran merupakan proses perubahan pola-pola perilaku manusia. Perilaku menurut pemahamannya memiliki arti yang luas yang mencakup pemikiran, perasaan dan tindakan.
  6. Tyler memandang pelajar sebagai orang yang aktif dalam arti memberikan respon terhadap apa yang mereka telah terima. Pengalaman-pengalaman pembelajaran akan menyeimbangkan kedisiplinan dan kebebasan .
  7. Pemikiran Tyler berfokus pada perencanaan yang khusus untuk mencoba dan menempatkan tujuan program pengajaran.  

Adapun kelemahan dari metafora produksi, yaitu:
  1. Philip Jackson menyatakan bahwa pemahaman Tyler terlalu menyederhanakan relasi yang terjadi dalam kelas-kelas pengajaran. Pengajaran dari guru memang penting, tetapi kita juga tidak boleh melupakan pentingnya interaksi dalam kelas. Pengajaran dan perencanaan kurikulum harus mempertimbangkan kesempatan pelajar untuk saling berinteraksi.
  2. Perencanaan dan penerapan kurikulum lebih menyerupai suatu seni atau hasil karya daripada sekedar ilmu pengetahuan.
  3. Pemikiran Tyler dapat meniadakan pertimbangan-pertimbangan yang lain, seperti gaya yang berbeda dalam pembelajaran. Hal ini dapat membatasi keefektifan tujuan-tujuan yang ingin dicapai suatu kelompok. Seorang pengajar harus menyadari  respon, keseragaman, dan fleksibilitas dalam pengajaran.
  4. Pernyataan atau perumusan tujuan menjadi langkah yang penting dalam pemikiran Tyler, tetapi tidak cukup mendorong pertimbangan-pertimbangan suatu nilai atau filsafat seseorang.
  5. Patut dipertanyakan apakah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, pada saat menunjukkan tujuan-tujuan eksternal yang menurut orang dicapai melalui pengalaman-pengalaman pembelajaran yang dimanipulasi, merupakan cara yang bermanfaat untuk menyusun perencanaan kurikulum  .
  6. Konsep Tyler tentang pengalaman belajar interaksi antara pelajar dan kondisi-kondisi di lingkungan luar gagal untuk berbicara mengenai hubungan antarpribadi yang sebenarnya mendasar dalam kegiatan belajar mengajar.
  7. Evaluasi dapat mengabaikan hasil-hasil laten karena berkonsentrasi pada hal-hal yang diantipasi saja. Hasil-hasil laten tersebut dapat saja bermanfaat bagi tujuan yang sebenarnya ingin diraih.   

  1. Metafora Pertumbuhan
Kiasan ini mengumpamakan kurikulum sebagai suatu program perawatan dan pemeliharaan bagi tumbuhan yang beraneka ragam dalam suatu wadah yang disebut greenhouse. Naradidik yang diumpamakan sebagai tumbuhan yang beraneka ragam dirawat secara khusus sesuai dengan kebutuhan masing-masing jenis oleh pengajar yang diumpamakan sebagai tukang kebun.
Perumpamaan ini berkonsentrasi pada kepribadian dari setiap naradidik dan kebutuhan akan motivasi untuk belajar. Kelemahan dari pendekatan perumpamaan ini  adalah cenderung berasumsi bahwa naradidik sudah pasti memiliki kecakapan dalam menyelesaikan tugas secara mandiri yang berdasarkan peningkatan motivasi. Selain itu karena cenderung memperhatikan kebutuhan personal/individu jadi mengabaikan pentingnya kebutuhan komunitas.

  1. Metafora Perjalanan
Pada jenis metafora ini, naradidik diumpamakan sebagai seorang wisatawan yang hendak  mengadakan perjalanan. Pengajar diumpamakan sebagai pemandu wisata yang membagikan pengalamannya kepada naradidik. Pengajar juga berperan sebagai rekanan/teman seperjalanan naradidik yang memberikan perhatian dan motivasi selama perjalanan itu berlangsung. Sedangkan proses mengajar adalah pandangan seperti sebuah upaya bekerjasama.

  V.    Tempat dari Nilai-Nilai dalam Kurikulum yang Eksplisit
Suatu kurikulum tentunya mengandung nilai-nilai ajaran yang berkaitan dengan minat, sikap, keterampilan, dan perilaku yang dapat mempengaruhi naradidik. Demikian juga bagi kurikulum bagi pengajaran Kristen, harus mengandung nilai-nilai kristiani yang sesuai dengan pandangan kekristenan. Ada empat hal yang membantu kita memahami bagaimana menempatkannya.
1.       Umat  Kristen harus memiliki dan menjalankan nilai-nilai yang dimilikinya.
2.       Umat Kristen harus menuangkan nilai-nilai itu ke dalam tujuan dari kurikulum.
3.       Kebutuhan untuk mengejar nilai-nilai institusi yang kita temui sehari-hari. Aturan institusi ini mencakup rumah, gereja, sekolah, komunitas, masyarakat umum, dan kelompok lainnya. Hidup tidak terpisahkan dari komunitas sosial dan organisasi.
4.       Evaluasi nilai-nilai menurut perkembangan kebutuhan secara berkesinambungan.

VI.    Hidden Curriculum (Kurikulum yang Tersembunyi)
Merujuk pada pandangan Vallance, kurikulum tersembunyi dikenal sebagai efek samping yang bersifat nonakademik dan sistematis dari pengajaran yang digunakan, tapi tidak dirasa cukup dibukukan bagi oleh referensi ke kurikulum yang jelas. Kurikulum yang eksplisit itu sendiri adalah pernyataan atau tujuan umum dan khusus dari sebuah program pengajaran. Vallance menyajikan 3 dimensi Hidden Curriculum:
1.       Kurikulum tersembunyi dapat mengacu pada suatu konteks dari pengajaran, termasuk interaksi naradidik-pengajar, susunan kelas, atau seluruh aturan organisasi dari pendirian pengajaran sebagai dunia kecil dari sistim nilai sosial.
2.       Kurikulum tersembunyi dapat menunjang pada jumlah dari proses operasional dalam atau melalui sekolah, gereja, atau rumah, mencakup nilai-nilai perolehan, sosialisasi, dan pemeliharaan dari struktur sosial.
3.       Kurikulum tersembunyi dapat mencakup pembedaan tingkatan dari maksud dan kedalaman yang “tersembunyi” berkisar dari hal yang kurang penting dan tidak diharapkan dari produk dari komposisi kurikular untuk hasil yang melekat lebih dalam dalam fungsi secara historis dari pengajaran dalam komunitas yang berbeda.

Ada sebuah contoh kurikulum tersembunyi dari sebuah universitas evangelis :
1.       Setiap orang dalam komunitas harus memiliki pengalaman pribadi dengan Yesus sebagai Tuhan dan Penyelamat.
2.       Ilmu pengetahuan, pelayanan, disiplin, atau ketaatan adalah nilai tertinggi dalam sekolah Kristen.
3.       Kebebasan dipandang sebagai musuh dari iman evangelis.
4.       Lulusan dari sekolah evangelis atau institusi sangat disanjung.
5.       Orang-orang evangelis adalah anggota dari partai republik; atau pemikir evangelis adalah anggota dari partai demokrat.
6.       Evangelis bukanlah komunis, aktivis sosial, atau pengusaha sukses. Evangelis adalah orang yang dicurigai jika mereka mengupayakan hal politik atau ekonomi.
7.       Evangelis adalah tulang punggung dari komunitas sosial kelas menengah di US.
8.       Komunitas  evangelis adalah orang-orang perwujudan dari sejarah kekuasaan kekristenan pada jaman modern.
9.       Jika Yesus hidup sekarang, Ia akan menjadi seorang evangelis.

VII.    The Null Curriculum (Kurikulum yang tidak ada)
                Elliot Eisner mendefinisikan the null curriculum sebagai sesuatu yang tidak diajarkan dengan sengaja. Menurutnya, apa yang tidak diajarkan mungkin sama pentingnya dengan apa yang diajarkan karena ketidaktahuan mempengaruhi salah satu pilihan yang dapat dipertimbangkan. Identifikasi dari null curriculum memungkinkan pengajar untuk mengenali keterbatasan dan penerimaan/ anggapan/ asumsi mereka terhadap usaha mereka.
                Pengajar Kristen harus mempertimbangkan null curriculum dalam rencana kurikulum, implementasi, dan evaluasi. Kurikulum yang eksplisit berhubungan dengan apa yang diajarkan, sedangkan null curriculum berhubungan dengan apa yang tidak diajarkan. Pada sisi lain, hidden curriculum lebih menekankan kepada apa yang diterima oleh seseorang, bukannya apa yang diajarkan oleh pengajar.               
Maria Harris mengatakan bahwa the null curriculum adalah sesuatu yang bersifat paradoks. Kurikulum ini ada karena kurikulum ini tidak ada. Null curriculum membantu kita untuk melihat pilihan-pilihan yang dapat kita pertimbangkan di luar apa yang telah kita pilih untuk ajarkan.  Null curriculum menjadikan sebuah dasar bagi kritik terhadap kurikulum yang telah ada.

A Larger Vision
                Sebuah penelitian terhadap kurikulum menyatakan bahwa mayoritas orang menetapkan apa yang perlu seorang pelajar ketahui, rasakan, atau lakukan sebagai sebuah hasil dari sebuah kelas tertentu. Kejelasan dan ketetapan dalam suatu hubungan adalah untuk sebuah tujuan, maksud, dan sebagai objek untuk memperkokoh dan menguatkan, tetapi visi yang luas disini maksudnya adalah mengritik sesuatu dengan menggunakan Injil sebagai sumbernya.
                Salah satu tokoh Alkitab yang dapat kita jadikan sebagai contoh untuk menjawab semua pertanyaan yang berhubungan dengan kurikulum ini adalah Titus. Titus aktif dalam pelayanan gereja, mengajar dalam berbagai macam kelompok, baik kelompok orang tua hingga yang muda sekalipun. Dalam pengajarannya, Titus mendorong setiap orang untuk dapat menjadi sesuatu ataupun sesuatu yang lain. Baginya, tidak hanya pengetahuan, perasaan dan kelakuan yang nampak sebagai panggilan, tapi bertanggung jawab untuk tujuan dan pandangan ke depan yang lebih besar.
                Titus mengajarkan kita untuk dapat mengajarkan yang benar dan apa yang sesuai dengan akal sehat. Kita dapat melihat contoh pengajaran Titus yang mengajarkan pria dan wanita dalam kelompok usia yang berbeda. Laki-laki dan perempuan dalam kelompok usia lebih tua memiliki cobaan yang berbeda, peluang dan kegagalan yang berbeda dari kelompok usia yang lebih muda. Titus mendesak mereka untuk menunjukkan karakter yang sesuai dengan status mereka yang lebih tua dari pada laki-laki muda. Mereka diharapkan mampu menjadi contoh bagi laki-laki muda dan menuntun laki-laki muda yang cenderung lebih labil dan belum mampu mengontrol diri. Laki-laki yang lebih tua hendaknya dapat hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan.
Titus juga mengajarkan perempuan-perempuan yang lebih tua untuk dapat hidup sebagai orang-orang yang taat beribadah, tidak bersaksi dusta, tidak menjadi peminum, dan cakap dalam mengajarkan hal-hal yang baik. Perempuan-perempuan muda juga diajarkan oleh perempuan-perempuan yang lebih tua untuk mengasihi suami dan anak-anak mereka, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya.
                Titus, sebagai orang muda, menjadikan dirinya sendiri sebagai pedoman dan contoh yang nyata dengan melakukan hal-hal yang baik dan memperlihatkan integritas, keseriusan, kebijaksaanannya dan kecakapannya.
Berdasarkan hal diatas dapat dikatakan bahwa Titus mengajarkan orang lain dengan mengandalkan kasih Allah, dengan menjadikan dirinya sebagai contoh dan dengan mengajarkan kebenaran dan dalam kasih.


1.       Mengandalkan kasih Allah
Kasih Allah tidak hanya menyelamatkan seseorang tetapi juga mengajar dan melatih seseorang itu untuk hidup sederhana, bijaksana dan saleh. Hubungan yang baik dengan Allah melalui doa dan tuntunan dari Roh Kudus juga menjadi elemen yang penting dalam proses belajar mengajar.
2.       Menjadikan diri sebagai pedoman dan contoh bagi orang lain
Pengajar harus menyadari bahwa mereka adalah contoh dan model yang akan ditiru oleh naradidiknya. Sama halnya dengan Titus yang selalu menjadikan dirinya sebagai contoh bagi para nara didiknya untuk dicontoh, hendaknya pengajar juga demikian. Titus menjadikan dirinya sendiri sebagai pedoman dan contoh yang nyata dengan melakukan hal-hal yang baik dan memperlihatkan integritas, keseriusan, kebijaksaanannya dan kecakapannya.
3.       Mengajarkan kebenaran dan kasih
Titus mengajarkan hal yang benar dan tidak menyesatkan orang lain. Titus mengajar dengan wewenang yang ia miliki namun secara bijaksana.

Kesimpulan
Kurikulum merupakan salah satu pendukung bagi pengajaran Kristen untuk mewujudkan pengajaran yang maksimal kepada para naradidik. Oleh karena itu, ada tiga hal yang  harus kita perhatikan yaitu: pembuatan, pengimplementasian, dan pengevaluasian kurikulum. Kurikulum harus disesuaikan dengan konteks yang ada dalam komunitas belajar-mengajar. Kita dapat saja mengikuti kurikulum dari pihak lain, namun ada baiknya juga bila kita menyusun kurikulum untuk komunitas kita sendiri.